1.1 Latar Belakang
Millenium Development Goals (MDGs) merupakan suatu komitmen internasional dalam meningkatkan pembangunan di berbagai negara. Komitmen ini menjadi suatu acuan bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia dalam menyusun rencana pembangunan. Terdapat delapan tujuan dari ditetapkannya MDGs (BPK, 2009). Pembangunan dibidang kesehatan termasuk di antara kedelapan tujuan yang ingin dicapai tersebut. Kedelapan tujuan MDGs tersebut, yaitu :
(i) Memberantas kemiskinan dan kelaparan ekstrem;
(ii) Mewujudkan pendidikan dasar untuk semua;
(iii) Mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
(iv) Menurunkan angka kematian anak;
(v) Meningkatkan kesehatan ibu;
(vi) Memberantas HIV dan AIDS, malaria serta penyakit lainnya;
(vii) Memastikan kelestarian lingkungan;
(viii) Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
Seperti terlihat di atas, tujuan ke (iv) sampai dengan (vi) merupakan tujuan yang langsung berkaitan dengan bidang kesehatan. Menurunkan angka kematian anak harus dicapai melalui peningkatan kesehatan anak. Semakin sehat seorang anak, semakin kecil peluang untuk meninggal dini. Peningkatan kesehatan ibu, di samping berkaitan dengan semakin kecil peluang para ibu meninggal ketika melahirkan, juga semakin besar peluang untuk melahirkan anak-anak yang sehat, yang akan berusia panjang. Memberantas HIV, AIDS, malaria dsb (penyakit-penyakit menular) berkaitan dengan upaya untuk mencegah kematian secara masal.
Penyediaan pelayanan kesehatan, baik oleh pihak swasta maupun pemerintah, merupakan salah satu bagian dari pembangunan dibidang kesehatan. Karena pelayanan kesehatan ini di Indonesia kini masih jauh dari kebutuhan untuk mencapai tujuan MDGs tadi maka penyediaannya mesti didorong (Saraswati, 2009).
Data BPS tahun 2009, hingga bulan Maret, mencatat bahwa sebanyak 32,5 juta penduduk Indonesia adalah miskin. Semua penduduk miskin ini tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan secara memadai. Kemiskinan (rendahnya pendapatan) menyebabkan mereka tidak mampu membiayai seluruh ongkos yang diperlukan untuk memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana yang diperlukan. Para penduduk miskin ini, apabila mereka sakit, seringkali lebih memilih pengobatan alternatif yang murah (dukun) daripada ke tempat-tempat pelayanan kesehatan yang formal; atau berusaha mengobati sendiri dengan membeli obat-obat tradisional ataupun illegal, yang tidak diuji oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan (www.bps.go.id). Menurut data BPS tahun 2008, sebanyak 65,59% penduduk melakukan pengobatan sendiri dan sebanyak 22,26% menggunakan obat tradisonal.
Kondisi seperti yang dikemukakan ini membuat pemerintah Indonesia memandang perlu untuk memberi subsidi kesehatan bagi mereka yang miskin. Pada tahun 2009 subsidi itu dianggarkan sekitar Rp 4,5 trilliun. Tahun 2010 direncanakan subsidi ini akan berjumlah sekitar Rp 4,6 trilliun. Alokasi tersebut untuk pembiayaan Jamkesmas bagi 76,4 juta penduduk miskin dan hampir miskin yang masuk kuota pemerintah pusat (Antara, 2010). Sedangkan pembiayaan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin yang tidak masuk kedalam kuota Jamkesmas pemerintah pusat ditanggung pemerintah daerah melalui program-program Jamkesda.
Komitmen pemerintah untuk memberi subsidi pelayanan kesehatan bagi mereka (masyarakat) yang miskin --yang seringkali disingkat dengan sebutan "maskin" diwujudkan melalui berbagai program. Puskesmas dan rumah sakit secara langsung ditunjuk oleh pemerintah sebagai agen utama bagi pemberi pelayanan kesehatan kepada maskin itu.
Program pemberian subsidi pelayanan kesehatan untuk maskin tersebut bermula pada tahun 1998-2001, yaitu melalui Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Program ini kemudian dilanjutkan dengan program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PDPSE-BK) pada tahun 2001-2002. Selanjutnya pada tahun 2002-2004 program PDPSE-BK ini diubah menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Bidang Kesehatan (PKPS BBM-BK). Pada periode ini dilaksanakan pula uji coba Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin (JPK Gakin) di tiga provinsi dan 13 kabupaten. Pada akhir tahun 2004, dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (SK Menkes RI) No. 1241/Menkes/SK/XI/2004 Tanggal 12 November 2004, diberlakukan program baru yaitu Program Jaminan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (PJKMM). PT. Askes (persero) merupakan lembaga keuangan yang ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana penyalur dana program PJKMM. PT. Askes (persero) mengelola sepenuhnya dana penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan bagi maskin, baik untuk pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas dan jaringannya serta pelayanan kesehatan rujukan di RS.
Sebagaimana dikemukakan oleh BPK (2009), sejumlah permasalahan telah muncul dalam pengelolaan PJKMM ini. Permasalahan tersebut antara lain : terjadinya perbedaan data jumlah maskin yang dicatat oleh BPS dengan data maskin yang sebenarnya di tiap daerah, minimnya SDM PT. Askes (persero), minimnya biaya operasional dan manajemen di Puskesmas, dll. Adanya permasalahan-permasalahan ini membuat pemerintah kemudian merubah lagi mekanisme penyelenggaraan program pemberian subsidi pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin (BPK, 2009).
Penyelenggaraan PJKMM, sebagaimana yang dikemukakan di atas, dikelola dengan mekanisme asuransi. Dengan kata lain pembayaran klaim dan verifikasi dilakukan oleh PT. Askes. Sehingga program ini kemudian dikenal dengan nama program Askeskin. Program ini berjalan hingga hingga tahun 2007. Pada tahun 2008, setelah pemerintah mengetahui adanya permasalahan-permasalahan di atas, PT Askes (persero) tidak lagi secara penuh mengelola dana penyelenggaraan program ini. Menurut keterangan pemerintah, hal ini untuk mengatasi keterbatasan jumlah sumber daya manusia yang ada pada PT.Askes (persero), terutama untuk memonitor pelaksanaan program (BPK, 2009). Terjadi pemisahan fungsi antara fungsi pengelola dengan fungsi pembayaran. Pemisahan fungsi ini diimplementasikan dengan menempatkan tenaga verifikator disetiap RS. Program ini selanjutnya disebut dengan Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Sumber dana Jamkesmas berasal dari APBN dan APBD.
Pada tahun 2009, provinsi Bali menerima luncuran dana Jamkesmas sebesar Rp 75,4 miliar. Dana tersebut dialokasikan kepada RS yang ada di kabupaten maupun kota di provinsi Bali (8 kabupaten dan 1 kota). Sampai dengan bulan November 2009, artinya setelah 9 bulan bulan provinsi ini menerima luncuran dana, sebesar Rp 62,9 miliar belum juga dilaporkan dan dipertanggungjawabkan (Rekapitulasi Laporan Klaim Jamkesmas, November 2009). Menurut Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2009 penggunaan dana harus dilaporkan oleh tim pengelola Jamkesmas Povinsi kepada Departemen Kesehatan adalah setiap tanggal 20 bulan berjalan. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan dana yang diterimanya maka sebesar 83,4% dana tersebut belum dilaporkan dan dipertanggungjawabkan. Angka ini relatif lebih besar di bandingkan dengan daerah lain seperti : Jatim (58,7%), Jateng (61,6%), Jabar (49,1%).
Menurut hasil evaluasi kinerja yang dilakukan secara tahunan oleh rumah sakit tahun 2009, ditemukan empat kelemahan terkait organisasi dan SDM di BLUD X ini (RBA BLUD X, 2010). Keempat kelemahan yang diungkapkan dalam RBA tersebut adalah : (i) jumlah tenaga kurang memadai khususnya perawat, (ii) tingkat ketrampilan staf masih kurang, (iii) disiplin pegawai masih kurang dan (iv) komitmen staf belum optimal. Kelemahan tersebut telah mempengaruhi kinerja BLUD X (termasuk mutu pelayanan). Berdasarkan Rencana Bisnis dan Anggaran BLUD X 2010, peningkatan mutu pelayanan akan menjadi target yang utama. Untuk menempuh target itu maka : peningkatan kompetensi SDM -melalui pendidikan dan latihan—akan dilakukan; selain itu juga sistem pelayanan dengan ukuran standar pelayanan minimum akan diterapkan; dan sarana serta prasarana medis dan non medis akan ditingkatkan ketersediaannya maupun pemeliharaannya.
Informasi tentang kurang memadainya pelayanan kesehatan BLUD X sering diberitakan di media masa, terutama media lokal. Pelayanan yang kurang memadai ini bukan hanya dirasakan oleh pasien peserta (penerima) program Jamkesmas saja, tetapi juga pada pasien non-Jamkesmas. Ketua Fraksi Demokrat DPRD X, dalam harian Radar tanggal 28 November 2009, menyatakan bahwa sarana, fasilitas dan SDM BLUD X memang masih kurang. Kemudian juga salah satu anggota Komisi D DPRD X, sebagaimana dimuat Antara tanggal 12 Januari 2010, menyatakan bahwa BLUD X belum mampu memberikan pelayanan maksimal. Akibatnya, munculah keluhan-keluhan warga (pasien).
Hasil polling yang dilakukan secara online oleh BLUD X pun menunjukkan bahwa sebesar 54% responden menganggap pelayanan BLUD X masih belum sesuai dengan keinginan (www.Xkota.go.id). Sementara studi Razak (2007), meskipun dua tahun telah lewat, menyimpulkan bahwa waktu tunggu pasien untuk mendapatkan pelayanan terlalu lama.
Berdasarkan prioritas BLUD X dan informasi dari berbagai sumber diatas, maka penting untuk diketahui aspek-aspek apa saja yang harus diatasi untuk meningkatkan mutu pelayanan RSUD X. Menurut konsep SERVQUAL yang dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry terdapat lima determinan (dimensi) kualitas pelayanan terkait dengan persepsi pelanggan. Kelima dimensi tersebut adalah (Rosjid, 1997) :
(i) Tangible, atau bukti langsung yang bisa dilihat dan dirasakan oleh pelanggan, sperti keadaan gedung dan fasilitas.
(ii) Reliability, kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan secara handal dan akurat.
(iii) Responsiveness, kemauan dan daya tanggap untuk selalu siap membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat.
(iv) Assurance, jaminan pengetahuan dan kemampuan petugas, keamanan, kesopanan dan dapat dipercaya.
(v) Emphaty, perhatian secara pribadi dan memahami kebutuhan pelanggan.
Kelima dimensi tersebut merupakan variabel mutu pelayanan untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan (pasien). Pengukuran dilakukan dengan cara membandingkan ekspektasi dan persepsi pasien atas kelima dimensi tersebut. Dengan demikian dapat diketahui dimensi-dimensi mana saja yang menimbulkan kepuasan maupun ketidakpuasan pasien dalam pelayanan. Informasi yang didapat juga digunakan untuk menentukan dimensi mana yang perlu dikoreksi untuk meningkatkan kualitas pelayanan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang hendak dikaji adalah :
1. Bagaimanakah kualitas pelayanan kesehatan BLUD X menurut pasien Jamkesmas?
2. Aspek-aspek apa saja yang menyebabkan pasien merasa kualitas pelayanan BLUD X tidak memuaskan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui persepsi pasien terhadap masing-masing determinan kualitas pelayanan (kelima dimensi SERVQUAL).
2. Mengetahui dimensi apa yang perlu segera diperbaiki oleh RSUD X untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi pasien Jamkesmas.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dimensi-dimensi mana saja yang masih kurang dalam pemberian pelayanan kesehatan oleh RSUD X.
2. Menentukan langkah perbaikan yang diperlukan berdasarkan informasi gap yang diperoleh.
1.5 Sistematika Penulisan
Tesis ini akan tersusun dalam lima bab. Hal-hal yang akan diuraikan dalam masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab pertama menguraikan mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, lingkup penelitian dan sistematika penyajian.
Bab II : Penilaian Kualitas Jasa (Pelayanan) : Tinjauan Literatur
Bab kedua berisi teori-teori yang berkaitan dengan obyek yang diteliti.
Bab III : Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Meningkatkan Akses Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin
Bab ketiga berisi tentang berbagai kebijakan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan terhadap maskin. Dalam bab ini juga akan dipaparkan perihal perkembangan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RSUD X.
Bab IV : Persepsi Pasien Jamkesmas Terhadap Pelayanan BLUD X
Bab keempat akan menguraikan analisa dan evaluasi data. Analisa tersebut mencakup pemberian skor berdasarkan kuisioner. Analisa juga dilakukan untuk mengetahui perbedaan (gap) antara persepsi dan ekspektasi pasien.
Bab V : Penutup
Bab kelima berisi kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya serta saran-saran yang diperlukan dalam upaya mengatasi gap yang terjadi. Dalam bab ini juga disebutkan mengenai keterbatasan studi.