A. Latar Belakang Masalah
Penelitian tentang dunia usaha dan pelayanan publik dengan fokus belum optimalnya minat usaha kecil dalam mengurus perijinan di Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten X, Provinsi X, dalam bab pendahuluan ini akan di jelaskan tentang latar belakang masalah pentingnya masalah ini untuk diangkat sebagai fokus penelitian. Bab pendahuluan ini juga berturut-turut menggambarkan perumusan masalah yang dianggap penting untuk dijawab, tujuan dan signifikansi penelitian serta sistematika penulisan.
Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (selanjutnya di tulis KPT saja) di Kabupaten X, Provinsi X telah berdiri sejak tahun 2006 tepatnya tanggal 1 September 2006. KPT Kabupaten X di dirikan berdasarkan peraturan Bupati X Nomor 10 tahun 2006 tentang pembentukan unit pelayanan perijinan terpadu satu pintu. KPT Kabupaten X untuk pertama sekali melayani sebanyak 8 (delapan) jenis perijinan yang terdiri dari: ijin gangguan (HO), ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin usaha jasa konstruksi (IUJK), ijin usaha perdagangan (IUP), ijin usaha industri (IUI), ijin usaha gudang, ijin usaha penggilingan padi, huler dan penyosohan beras, dan tanda daftar perusahaan (TDP).
Penerapan KPT untuk 8 (delapan) unsur perijinan di Kabupaten X merupakan upaya mewujudkan deregulasi dan debirokratisasi Pemerintah Kabupaten X dalam memberikan pelayanan perijinan kepada masyarakat. Deregulasi maksudnya menyangkut pengaturan kembali/penghapusan berbagai aturan yang pernah dilakukan dalam penyelenggaraan pelayanan umum, sedangkan debirokratisasi bermakna penyederhanaan prosedur untuk mempermudah hirarki, guna peningkatan kecepatan pelayanan kepada masyarakat (Buku Panduan, 2006:4).
Dalam mengurus perijinan, masyarakat tidak perlu lagi datang ke semua dinas terkait seperti dulu lagi, tetapi saat ini cukup dengan mendatangi satu kantor saja dan semua urusan perijinan tersebut diselesaikan melalui satu kantor saja. KPT sederhananya adalah sebuah kantor yang mengkoordinasi dan mengkonsolidasi penerbitan ijin, penyederhanaan proses perijinan, serta mengurangi jumlah meja yang harus dilalui oleh pelaku usaha. Satu pintu juga berarti bahwa masyarakat yang hendak mengurus ijin usahanya, hanya mendatangi satu pintu (loket) saja, setelah itu seluruh proses akan dikerjakan oleh kantor KPT dan diselesaikan sesuai tenggat waktu yang telah dijanjikan.
Kebijakan pelayanan perijinan satu pintu sesungguhnya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah secara nasional. Kebijakan menyangkut pelayanan perijinan terpadu di tegaskan melalui Peraturan Menteri Pendayagunan Aparatur Negara (Permen-PAN) Nomor Per/20/M.PAN/04/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Kebijakan tersebut berlaku secara nasional dan bertujuan mendorong seluruh Kabupaten dan Kota serta Propinsi untuk segera mengimplementasikan kebijakan pelayanan perijinan terpadu satu pintu di daerahnya masing-masing tidak terkecuali Kabupaten X (Ratminto & Winarsih, 2006:13).
Pelayanan perijinan terpadu memang di dirikan untuk masyarakat utamanya masyarakat pengusaha dengan tujuan meningkatkan kualitas pelayanan, menciptakan transparansi, meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah, dan memberikan jaminan kepastian hukum. Pelayanan perijinan terpadu, dengan begitu akan merangsang pengusaha (usaha besar, menengah maupun kecil) untuk mengurus ijin usahanya sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi dan memberi peluang berinvestasi dalam rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat daerah. Bersamaan dengan tujuan tersebut, KPT Kabupaten X dalam buku panduan Persyaratan dan Proses Perijinan, UPPTSP Kabupaten X (2006:5) juga menegaskan bahwa tujuan KPT adalah agar masyarakat menerima pelayanan yang sederhana, jelas, pasti, aman, transparan, efisien, ekonomis, adil dan merata serta tepat waktu.
Salah satu sektor yang sangat besar pengaruhnya dalam memajukan perekonomian nasional adalah keberadaan dunia usaha terutama usaha kecil (mikro). Di Indonesia, usaha kecil mulai mendapat perhatian besar ketika usaha kecil mampu bertahan bahkan berperan sebagai "katup pengaman" ketika terjadi krisis ekonomi. Perhatian dari berbagai pihak ini diantaranya terlihat dari meningkatnya jumlah kredit yang disalurkan kepada usaha kecil dari tahun ke tahun (Abdullah, 2005:1). Peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia pada dasarnya sudah besar sejak dulu. Namun demikian sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, peranan UKM meningkat dengan tajam. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa persentase jumlah UKM dibandingkan total perusahaan pada tahun 2001 adalah sebesar 99,9%.
Pada tahun yang sama, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini mencapai 99,4% dari total tenaga kerja. Demikian juga sumbangannya pada Produk Domestik Bruto (PDB) juga besar, lebih dari separuh ekonomi Indonesia didukung oleh produksi dari UKM (59,3%). Besarnya sumbangan usaha kecil dan menengah (UKM) menunjukkan bahwa peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan output (Adiningsih, 2006:3). Menurut Suhardjo (2006:49), pemerintah daerah saat ini berada pada posisi yang strategis dalam mempengaruhi peningkatan investasi di daerahnya masing-masing, terutama investasi di usaha-usaha kecil. Hal ini karena perusahaan-perusahaan kecil lebih sensitif terhadap rangsangan atau kebijakan yang bersifat kedaerahan jika dibandingkan dengan kebijakan skala nasional yang lebih berpengaruh pada perusahaan besar.
Sangat beralasan jika usaha kecil menjadi fokus bagi pemerintah daerah untuk di lakukan pembinaan dan membantu pengembangannya terutama dalam hal perijinan. Potensi lain dari usaha kecil adalah karakter usahanya yang benar-benar serba 'kecil'. Selain bermodal kecil, juga hanya dijalankan oleh pemiliknya sendiri dan tidak memerlukan tempat yang besar meskipun untungnya juga kecil. Karakter usaha kecil memang cocok berada pada segmen rakyat kecil sebagai basis konsumen. Jumlah usaha kecil yang banyak dan tersebar luas ditopang dengan konsumen rakyat kebanyakan, menjadikan usaha kecil hidup dan lebih bertahan. Jumlahnya yang banyak juga memastikan bahwa bisnis kecil seperti ini mampu memutar uang juga dalam jumlah yang besar pula sehingga roda ekonomi masyarakat bawah bergerak (Abdullah, 2005:2).
Disamping sebagai sentral ekonomi yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, usaha kecil juga memiliki berbagai kendala dalam perkembangannya. Beberapa kelemahan usaha kecil yang yang sering tergambar diantaranya adalah dalam organisasi, manajemen, modal, sulitnya perijinan, maupun penguasaan teknologi juga perlu dibenahi. Masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh UKM membuat kemampuan UKM berkiprah dalam perekonomian nasional tidak dapat maksimal (Adiningsih, 2006:4).
Beberapa daerah Kabupaten/Kota di Indonesia yang menerapkan pelayanan perijinan satu pintu sebetulnya telah memfokuskan perhatiannya terhadap usaha kecil, dengan tujuan agar usaha kecil terdorong untuk mengurus perijinan usahanya, sehingga surat ijin itu dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan modal, utamanya ke perbankan. Pelayanan perijinan di Kabupaten Sragen terbukti telah meningkatkan pertumbuhan usaha kecil untuk mengurus perijinan ke KPT Sragen (Prasojo, Kurniawan & Solihin, 2007: 78) Berdasarkan sensus ekonomi tahun 2006 (Sensus Ekonomi, 2006:17), Kabupaten X memiliki potensi usaha kecil yang besar. Jumlah usaha kecil maupun besar ada sebanyak 46.030 unit usaha yang tersebar di 17 Kecamatan (BPS SE, 2006). Jumlah tersebut 80% terdiri dari usaha kecil dan menengah, dengan usaha terbesar. Jika dikategorikan berturut-turut adalah sebagai berikut: perdagangan eceran (21.745), akomodasi/penyedia makan minum (7.261), dan industri pengolahan (6.475).
Selain potensi usaha kecil, potensi Kabupaten X yang mendukung adalah dekat dengan Medan, dan berhadapan dengan Selat Melaka, X juga merupakan pelintasan jalan propinsi yang menghubungkan propinsi Aceh dengan propinsi Riau dan juga dengan Sumatera Barat. Daerah pelintasan tersebut berdampak pada volume lalu lintas kendaraan yang lewat sangat tinggi. Sehingga X merupakan Kabupaten yang penting. Potensi lain yang menonjol adalah bahan baku (perkebunan kelapa sawit, kelapa, laut, coklat, ubi, dan lainnya) disamping tradisi-tradisi makanan lama (dodol) yang masih bertahan sampai sekarang juga menjadi daya tarik pengembangan usaha, terutama pengusaha kecil di Kabupaten X.
Sejak diberlakukannya KPT memang terlihat terjadi peningkatan pengusaha yang mengurus perijinan di Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten X. Karakter pelayanan perijinan terpadu (KPT) yang mudah karena hanya melewati satu pintu saja, transparan, ada kepastian waktu dlama pengurusannya, juga biaya yang disebutkan secara terbuka, telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pengusaha untuk mengurus perijinannya di KPT.
Tentang kemudahan pelayanan perijinan di KPT ini, juga ditegaskan dalam Kajian Asia Foundation yang menyimpulkan bahwa kantor pelayanan terpadu mempermudah pelaku usaha dalam mengurus ijin. Rata-rata waktu pengurusan ijin untuk 4 ijin umum menjadi 60% lebih cepat, dan rata-rata biaya pengurusan berkurang hingga 30%. Jumlah pendaftaran usaha juga meningkat setiap tahunnya setelah terbentuknya layanan terpadu. Perbaikan sektor pelayanan setidaknya telah mencerminkan kewenangan yang lebih besar dan perbaikan standar pelayanan pada instansi pelayanan terpadu (Asia Foundation: 2007:1).
Di satu sisi, data-data yang ada memang menunjukkan terjadinya peningkatan pengusaha yang mendaftar ke KPT X, tetapi disisi yang lain masih banyak pengusaha kecil yang belum mengurus ijinnya ke KPT X meskipun pelayanan perijinan saat ini telah berubah. Fenomena ini penting untuk ditelusuri sehingga berbagai latar belakang yang mendasari belum tumbuhnya minat usaha kecil mendaftarkan usahanya dapat terbuka dan terjelaskan.
Pengertian usaha kecil (mikro) sendiri menurut lembaga-lembaga internasional adalah usaha non pertanian dengan jumlah pekerja maksimal 10 orang (termasuk wirausaha/pedagang, pekerja magang, pekerja upahan dan pekerja yang tidak dibayar karena termasuk anggota keluarga), menggunakan teknologi sederhana atau tradisional, memiliki keterbatasan akses terhadap kredit, mempunyai kemampuan managerial rendah dan cenderung beroperasi di sektor informal (Abdullah, 2005: 4). Sekalipun dalam pelayanan perijinan terpadu satu pintu yang di terapkan di beberapa Kabupaten memiliki tujuan yang sama seperti di Kabupaten Sragen maupun di Kabupten X, tetapi penerimaan pengusaha kecil terhadap KPT dapat saja berbeda. Belum signifikannya jumlah usaha kecil yang mendaftar di KPT Kabupaten X tentu menjadi permasalahan tersendiri sesuai dengan karakter yang ada di KPT Kabupaten X. Dalam kajian Asia Foundation juga disebutkan bahwa, sebagian besar Pusat Pelayanan Perijinan Terpadu di kota/kabupaten belum mencapai potensi maksimal. Studi yang dilakukan The Asia Foundation menunjukkan bahwa banyak dari pusat pelayanan terpadu tersebut sejauh ini belum memangkas waktu maupun mengurangi persyaratan-persyaratan perijinan. Namun terdapat cakupan kinerja yang sangat luas, di mana pusat-pusat pelayanan terpadu terbaik menunjukkan peningkatan yang besar dalam pemberian layanan mereka.
Secara konsepsional pelayanan perijinan satu pintu sebetulnya mengacu pada pelayanan terpusat. Selama ini konsep pelayanan lebih di dasarkan pada pelayanan yang terpisah, dimana setiap instansi (dinas) memegang pelayanan perijinan sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Dampak pelayanan yang terpisah menyebabkan masyarakat membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus perijinan usaha.
Ibenk (HTTP://IBENKDA.BLOGSPOT.COM) mengatakan bahwa saat ini di kalangan Pemerintahan dikenal adanya dua pola pelayanan, yaitu pola distributif dan pola sentralistis. Pola distribusi merupakan pola yang paling banyak digunakan oleh Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah, dimana pelayanan umum dikelola secara sektoral pada berbagai instansi. Proses birokrasi pelayanan umum yang memerlukan koordinasi lintas instansi dilakukan juga dengan dua pola, yaitu pertama, pelanggan/masyarakat yang harus berjalan dari satu meja pada satu instansi ke meja lain pada instansi yang lain. Pola kedua, dokumen persyaratan milik pelanggan dimasukkan ke salah satu instansi, selanjutnya birokrasi yang menyalurkan dari satu meja pada satu instansi ke meja lain pada instansi yang lain pula melalui kordinasi lintas instansi. Artinya, proses legalisasi hingga diterbitkannya sebuah dokumen publik merupakan wewenang masing-masing instansi.
Pola distribusi sebenarnya merupakan pola klasik dan cenderung tertutup, sehingga masyarakat kurang memperoleh informasi jelas terhadap proses kemajuan pengajuan dokumen publiknya. Meskipun ditetapkan nilai rupiah secara pasti sebagai biaya yang diperlukan, pada prakteknya biaya akan melebihi dari ketentuan yang berlaku. Standarisasi waktu pelayanan birokrasi biasanya juga kurang bisa dimonitor oleh pelanggan/masyarakat, sehingga cepat lambatnya proses birokrasi menjadi sangat relatif, tergantung dari ini dan itu dalam birokrasi. Pola ini yang mendorong masyarakat dan birokrat untuk menyepakati "uang pelicin".
Pola kedua adalah pola sentralistik. Pola sentralistik mulai diterapkan di beberapa daerah. Secara umum pola ini diimplementasikan melalui pembentukan Unit Palayanan Satu Atap atau juga disebut Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) sebagai satu unit mandiri dengan mencabut proses pelayanan umum dari instansi sektoralnya, dari mulai pengadaan blangko dokumen publik hingga perlengkapannya. Sebagian besar kegiatan administrasi dan tehnis dilakukan oleh Unit Pelayanan Satu Atap, sedangkan instansi sektoral lebih banyak hanya menangani laporan administratif saja.
Menurut Sitorus (2007:12) dalam pengertian sempit, pelayanan perijinan satu pintu dapat berarti sebagai satu agen pemerintah yang memiliki semua otoritas yang diperlukan untuk memberi berbagai perijinan (licenses, permits, approvals dan clearances). Tanpa otoritas yang mampu menangani semua urusan tersebut, agen pemerintah tidak dapat mengatur berbagai pengaturan selama proses. Oleh sebab itu, dalam hal ini agen tersebut tidak dapat menyediakan semua bentuk perijinan yang diperlukan dalam berbagai tingkat administrasi, sehingga harus bergantung pada otoritas lain.
Beberapa contoh yang luar biasa dan terkenal adalah kantor pelayanan investasi yang bekerja dengan sukses seperti Economic Development Board (EDB) di Singapore, Malaysian Industrial Development Authority (MIDA) dan Industrial Development Authority (IDA) di Irlandia. Pada ketiga kasus ini, investor dapat bergantung pada agen pemerintah untuk menyediakan hampir semua perijinan yang diperlukan. EDB dan IDA pada dasarnya mampu mengatur secara langsung berbagai prosedur perijinan sehingga investor hanya perlu berhadapan dengan jumlah otoritas yang sedikit, bahkan dalam kasus-kasus tersebut, kedua agen cenderung sangat efektif dalam memastikan kerjasama.
Malaysian Industrial Development Authority (MIDA) dalam hal lain, mulai sebagai mekanisme koordinasi yang murni dan mengalami masalah-masalah untuk memulai sebagai kantor pelayanan terpadu. Namun dengan dukungan yang kuat dari perdana menteri secara langsung, keterlibatan MIDA sebagai wakil investor dapat menjamin secara efektif perijinannya tanpa kesulitan. (Sitorus, 2007:13)
Pada masa lalu, kondisi pelayanan perijinan yang tidak kondusif, membawa imbas kepada masyarakat dimana masyarakat menjadi apatis terhadap aparat pelayanan publik. Apalagi 'pungli' menjadi sesuatu yang wajar sehingga mengakibatkan image pemerintah daerah menjadi buruk. Dampak yang sangat kentara, terjadi di sektor perekonomian dimana iklim investasi dan usaha baik di tingkat nasional maupun daerah menjadi tidak sehat sehingga gerak roda ekonomi daerah menjadi lambat. Pengalaman Kabupaten Solok sebelum ada penataan pelayanan juga membuktikan hal tersebut, selain perijinan yang di tangani instansi berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat, juga seringkali perijinan tersebut menyulitkan para calon investor asing yang justru telah siap berinvestasi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dihambat oleh suatu birokrasi perijinan yang kompleks, mahal, dan korup. Alat ukur kinerja Pelayanan Perijinan Terpadu dapat membantu pemerintah pusat, provinsi, dan kota/kabupaten untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi layanan perijinan usaha," ungkap Neil McCulloch Dalam tahun-tahun terakhir ini, perbaikan kebijakan-kebijakan perijinan usaha di Indonesia tampaknya menjadi perhatian penting bagi pemerintah pusat maupun daerah. Sejak akhir tahun 1990-an, pusat-pusat layanan yang pembentukannya diprakarsai pemerintah ini telah berdiri di sekitar 30% dari keseluruhan 467 kota dan kabupaten, sementara Peraturan Menteri Dalam Negeri 24/2006 mengumumkan upaya untuk mengembangkan Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu di seluruh dari 467 kabupaten/kota di Indonesia untuk menyederhanakan prosedur-prosedur, mengurangi biaya, dan menggabungkan persyaratan-persyaratan perijinan usaha. Kementerian-kementerian di tingkat pusat berupaya memberikan arahan yang lebih jelas mengenai pelaksanaan kebijakan perijinan untuk membantu memperkokoh iklim investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. (Asia Foundation, 2007:3)
Kondisi buruk di sektor perijinan tidak jarang membawa kekecewaan pada para investor. Perilaku buruk pelayanan tentu berakibat pada roda ekonomi daerah menjadi tidak berjalan dan pembangunan di berbagai sektor berjalan ditempat. Bahakan kompas mencatat tidak sedikit investor yang sudah berniat menanamkan modalnya ke Indonesia kemudian mengurungkan niatnya dan pindah ke negara lain hanya persoalan ketidak nyamanan dan ketidak jelasan pelayanan di Indonesia (Kompas, 14 Juli 2007). Minimnya investasi yang masuk seterusnya berakibat pada tidak adanya pembangunan, yang pada gilirannya tentu saja membuat tidak adanya peluang kerja bagi masyarakat sehingga penyerapan tenaga kerja minim, kecil dan terbatas.
Pelayanan perijinan sendiri sesungguhnya bagian dari pelayanan publik yang merupakan kewajiban pemerintah daerah (Kurniawan, Puspitosari, 2007:7-8). Kondisi buruk pelayanan perijinan yang diterima oleh masyarakat hari ini sudah seharusnya menjadi masukan bagi pemerintah untuk segera melakukan perbaikan. Menurut Denhardt dalam Kurniawan (2007:161) ada beberapa hal yang harus dilakukan sebagai upaya perbaikan pelayanan dan memberikan kepuasan pelayanan kepada masyarakat, yaitu: pertama, diperlukan regulasi yang berpihak kepada rakyat. Kedua, dibuatnya kesepakatan antara pemberi layanan dan pengguna layanan (citizen's charter). Ketiga, pengendalian birokrasi. Keempat, pelayanan yang berbasis teknologi. Kelima, untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelayanan sebisa mungkin setiap pelayanan publik melakukan survei tentang kepuasan konsumen.
Berlakunya kebijakan otonomi daerah saat ini, salah satunya memang untuk mendorong pelayanan publik yang prima di Indonesia sehingga masyarakat dapat menerima manfaat yang optimal menuju kesejahteraan. Intinya, otonomi daerah adalah jalan untuk melayani masyarakat semakin baik, karena sebahagian besar kewenangan untuk mengatur dan mengurus kebutuhan masyarakat sudah diserahkan pemerintah pusat kepada daerah (Hoessein 2002, 3).
Bahkan tidak hanya kewenangan mengatur dan mengurus urusan masyarakat, bersamaan dengan itu juga diserahkan kewenangan untuk mengisi keuangan daerah dengan dilakukannya desentralisasi fiskal yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 (UU 33/2004) tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Adanya pelimpahan tersebut, hanya akan berjalan maksimal jika daerah memang memiliki birokrasi yang efektif. Praktek-praktek birokrasi yang lamban, korup, 'bertele-tele' sudah saatnya ditinggalkan sehingga tidak lagi mengulang kegagalan memfungsikan birokrasi sebagai 'abdi rakyat', tetapi juga dapat memfungsikan birokrasi sekaligus juga 'abdi negara'.
Jiwa birokrasi yang buruk di masa lalu sesungguhnya telah tertanam lama di Bumi Nusantara, dan cenderung menjadi sesuatu yang 'lumrah' bahkan dikatakan oleh banyak pakar telah membudaya (Prasojo, 2005:53). Dampaknya sangat jelas terlihat pada pola-pola pelayanan birokrasi di Indonesia yang berkarakter kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Tumbuhnya karakter kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), secara diametral menegasikan peran birokrat sebagai abdi negara sehingga pencitraan birokrasi menjadi buruk di tengah masyarakat.
Dalam penerapan otonomi daerah, pemerintah daerah menjadi aktor terpenting dalam pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Nurcholis (2007:14) menyatakan bahwa pelayanan pemerintah daerah merupakan tugas dan fungsi utama pemerintah daerah yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat mewujudkan tujuan negara yaitu kesejahteraan sosial. Meskipun pihak swasta dapat menyediakan pelayanan publik tetapi posisi pemerintah daerah dalam pelayanan publik tetap merupakan yang utama. Pentingnya posisi pemerintah daerah sebagai aktor dalam pelaksanaan pelayanan publik, ditegaskan oleh Wilson dalam Nurcholish (2007:15) dimana pelayanan publik dikatakan masuk dalam kategori sektor publik, bukan sektor swasta (privat).
Pelayanan publik sendiri dalam prakteknya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (Nurcholis, 2007:17). Ketiga komponen yang menangani sektor publik itu yang kemudian menyediakan pelayanan publik seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan ketertiban, penyediaan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, bantuan sosial dan penyiaran. Karena itu, pelayanan publik memberi pengertian sebagai pelayanan yang diberikan oleh pemerintah beserta perusahaan milik negara kepada masyarakat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, menuju kesejahteraan.
Namun essensi kebijakan desentralisasi bukanlah desentralisasi itu sendiri, melainkan pencapaian pelayanan publik yang pada akhirnya akan mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah (Hoessein 2002, 3). Logikanya, pemerintah daerah yang telah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri itu, tentu akan lebih efektif dalam melayani masyarakat di daerahnya. Kebijakan desentralisasi memang telah merubah cara pandang pemerintah dalam melakukan pelayanan public. Paradigma pelayanan publik yang tidak pro-publik pada masa lalu telah digeser untuk mewujudkan pelayanan yang sesuai dengan kondisi masyarakat.
Mengenai buruknya kinerja pelayanan publik, terdapat beberapa sebab baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Sinambela (2007: 7) menjelaskan bahwa pelayanan yang diberikan lebih didasarkan pada peraturan yang sangat kaku, dan tidak fleksible, sehingga aparatur terbelenggu untuk melakukan gaya inovasi dan kreasi dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Kenyataan itu juga ditegaskan dari survey yang dilakukan oleh Centre for Population Policy Studies Universitas Gajah Mada (UGM) terhadap pelayanan publik, hal mendasar yang ditemukan adalah bahwa aparatur terjebak dalam petunjuk pelaksana (juklak) sehingga masyarakat merasa tidak puas atas kerja aparat (Sinambela, 2006:8 ).
Pelayanan publik itu sendiri terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Penyelenggara pelayanan publik dalam hal ini pemerintah daerah Kabupaten maupun Kota adalah ujung tombak dalam melakukan fungsi pelayanan kepada masayarakat, sehingga keberadaan aparat birokrasi menjadi penting. Sebagaimana yang dikemukakan Thoha dalam Napitupulu (2006:27) bahwa peran birokrasi sangat penting dalam pelayanan publik oleh karena aparat birokrasi adalah kelompok yang bertindak sebagai pelaksana kebijakan (policy implementation) yang kewenangannya telah di delegasikan oleh para penguasa politik (policy making).
Di sisi yang lain, peran birokrasi juga lebih dominan karena birokrat memiliki ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan tugasnya. Mengenai posisi dominan ini juga ditegaskan oleh Dwiyanto (2006:31) bahwa masa Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, birokrasi telah diposisikan sebagai kekuatan sentral dalam mengatur dan melayani kehidupan masyarakat. Bahakln samapi sekarangpun masyarakat masih ada yang 'takut' dengan birokrasi.
Jika dibandingkan dengan kebijakan masa lalu (Undang Undang Nomor 5 tahun 1974), merujuk pendapat Hoessein (2002, 2), bahwa terdapat sejumlah perubahan model dan paradigma pemerintahan. Sedikitnya ada tiga perubahan yang terjadi yaitu : pertama, 'structural efficency model' yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal, ditinggalkan dan dianut 'local democracy model' yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kedua, distribusi urusan pemerintahan kepada daerah juga berubah, yang semula menganut 'ultra vires doctrine' dengan merinci urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom diganti dengan 'general competence' atau 'open end arrangement' yang merinci fungsi pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah Provinsi. Ketiga, pengawasan Pemerintah terhadap daerah otonom yang semula koersif juga bergeser ke arah persuasif.
Keempat, keuangan daerah juga bergeser yang semula 'spesific grant' menjadi 'block grant'. Dengan begitu sesungguhnya terdapat kondisi yang lebih terbuka bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan sendiri.
Dalam penelitian ini konsep pelayanan publik yang menjadi fokus perhatian adalah konsep pelayanan perijinan terpadu. Pelayanan perijinan terpadu saat ini gencar diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Pelayanan perijinan terpadu juga diberlakukan di Kabupaten X, Propinsi X.
Sebagai Kabupaten yang baru mekar yang di dasari oleh kebijakan densentralisasi saat ini, Kabupaten X telah menjadi kabupaten percontohan bagi kabupaten lainnya di X dalam pelayanan perijinan terpadu. Propinsi X sendiri terdiri dari 26 kabupaten dan kota dimana, pemerintah kabupaten dan kota yang mau membuat terobosan dengan memberlakukan Pelayanan Terpadu, hanya Kabupaten X. Kabupaten X sendiri adalah kabupaten yang masih 'muda usianya'.
Namun, penerapan pelayanan perijinan terpadu di Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten X bukan tanpa masalah. Meskipun sejumlah kemudahan dalam pelayanan perijinan telah diberlakukan saat ini, tetapi masih banyak pengusaha khususnya kalangan usaha kecil, yang belum tertarik untuk mengurus perijinan usahanya ke Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPT) Kabupaten X. Penomena yang kontradiktif ini menjadi menarik untuk diteliti. Penelusuran secara mendalam diharapkan mampu mengungkap dibalik penomena yang terjadi di KPT Kabupaten X.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa usaha kecil belum optimal mendaftarkan usahanya ke KPT Kabupaten X ?
2. Bagaimana tanggapan pengusaha usaha kecil terhadap keberadaan Pelayanan Perizinan Terpadu (one stop service) di Kabupten X yang saat ini sedang berjalan ?
3. Apa sesungguhnya problem usaha kecil ?
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Menganalisis alasan-alasan yang ada di kalangan pengusaha kecil dan menengah terhadap belum optimalnya minat usaha kecil dalam mendaftarkan usahanya ke KPT Kabupaten Srdang Bedagai.
b. Menganalisis tanggapan kalangan pengusaha kecil dan menengah (UKM), terhadap penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (one stop service) di Kabupaten X.
c. Menjelaskan lebih jauh, mengenai problem usaha kecil dalam mengembangkan usahahnya.
2. Signifikansi Penelitian
Mengingat bahwa saat ini pemerintah daerah (PEMDA) di Indonesia sedang giat untuk melaksanakan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (one stop service), melakukan reformasi birokrasi, dan mewujudkan kondisi yang kondusif bagi iklim usaha di daerahnya masing-masing, maka penelitian ini nantinya akan bermanfaat dalam dua hal :
a. Signifikansi Akademis.
Signifikansi akademis penelitian ini adalah diharapkan penelitian ini menjadi salah satu sumbangan pemikiran terhadap kajian Pelayanan Publik khususnya dalam fokus Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (one stop service) dan Pengaruhnya terhadap iklim investasi di daerah. Kajian ini selain juga menjadi literatur tambahan seputar pelayanan perijinan terpadu (one stop service) juga bermanfaat menjadi pemicu bagi penelitian-penelitian selanjutnya di di bidang pelayanan publik.
b. Signifikansi Praktis
Signifikansi praktis penelitian ini adalah diharapkan menjadi masukan bagi Pemerintah Indonesia maupun secara khusus kepada Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten X. Siginifikansi praktis ini terkait dengan penilaian maupun evaluasi kebijakan tentang pelayanan perijinan terpadu (KPT) yang saat ini sedang berjalan sehingga menjadi masukan bagi perbaikan kebijakan dimasa yang akan datang.
D. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari 5 bab dan masing-masing bab kemudian dirinci ke dalam beberapa sub-bab.
Bab 1, tentang Pendahuluan, berisi di dalamnya uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada Bab 2, yaitu tentang Tinjauan Literatur dan Metodologi Penelitian yang berisi uraian tentang, pertama, teori pelayanan publik, pelayanan publik dan birokrasi, pelayanan perijinan, pelayanan perijinan satu pintu (one stop service), iklim usaha, dan hubungan pelayanan perijinan satu pintu dengan meningkatkan iklim usaha dan investasi. Kedua, menguraikan tentang pendekatan penelitian, jenis/tipe penelitian, tekhnik pengumpulan data, teknik analisa data, alasan penentuan lokasi serta keterbatasan penelitian.
Pada Bab 3, yaitu tentang gambaran umum objek penelitian, yang berisi tentang kebijakan pelayanan perijinan satu pintu, model pelayanan perijinan di Kabupaten Sragen serta gambaran tentang objek penelitian Kantor Pelayanan Perijinan (KPT) Kabupaten X, Propinsi X.
Pada Bab 4, yaitu berisi tentang pembahasan hasil penelitian, yang menguraikan tentang pembahasan analisa data Strategi analisa data dalam penelitian ini mencakup langkah-langkah berikut, pengumpulan data mentah, transkrip data, koding, kategorisasi data, penyimpulan sementara, triangulasi dan penyimpulan akhir. Analisis data sendiri dalam penelitian ini berlangsung secara terus menerus dari awal sampai akhir penelitian dengan membuat tafsiran sehingga teori yang ada dapat dikembangkan sesuai dengan data lapangan.
Pada Bab 5, yaitu tentang kesimpulan dan saran, yang menguraikan tentang kesimpulan penelitian dan saran-saran dari peneliti menyangkut hasil penelitian yang telah dilakukan.