A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi ekonomi telah menjadi suatu hal yang populer lebih dari satu dekade lamanya. Para politisi, staf-staf pemerintahan, para pelaku bisnis, aktivis lingkungan, ahli ekonom bahkan sampai pengacara semuanya membicarakan tentang globalisasi ekonomi. Adapun konsep mengenai globalisasi dan globalisasi ekonomi secara keseluruhan, telah banyak digunakan untuk menggambarkan suatu kondisi yang sedang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Joseph Stiglitz seperti yang dikutip oleh Peter van den Bossche mendefinisikan mengenai konsep globalisasi sebagai berikut :
the closer integration of the countries and peoples of the world has been brought about by the enermous redustion of costs of transportation and communication, and the breaking down of artificial barriers to the flow of goods, capital, knowledge and (to a lesser extent) people across border
Berbicara tentang globalisasi ekonomi dan perdagangan internasional yang terkesan tanpa batas, maka hal ini dikaitkan dengan masyarakat internasional sebagai pelaku ekonomi dengan kepentingan ekonominya masing-masing.
Dapat dikatakan bahwa globalisasi yang ada saat ini adalah bentuk lain yang baru dari pembangunan kapitalisme sebagai sistem ekonomi internasional saat ini. Seperti pada waktu yang lalu, untuk mengatasi krisis, perusahaan multi nasional mencari pasar baru dan memaksimalkan keuntungan dengan mengekspor modal dan reorganisasi struktur produksi.
Pada tahun 1950-an, investasi asing memusatkan kegiatan penggalian sumber alam dan bahan mentah untuk pabrik-pabriknya. Tiga puluh tahun terakhir ini, perusahaan manufaktur menyebar keseluruh dunia. Dengan pembagian daerah operasi melampaui batas-batas negara, perusahaan-perusahaan tidak lagi memproduksi seluruh produk di satu negara saja. Manajemen diberbagai benua, penugasan personel tidak lagi terikat pada bahasa, batas negara dan kewarganegaraan.
Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk ekspor dan impor serta penanaman modal. Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku-pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi melewati batas-batas negara, meningkatkan intensitas persaingan. Gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi teknologi. Adanya perbedaan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing negara dalam rangka pembangunan negaranya masing-masing mengakibatkan adanya beberapa karakteristik negara dalam masyarakat internasional, yaitu negara maju, negara berkembang dan negara terbelakang.
Seperti yang dikatakan di atas, bahwa globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku-pelaku ekonomi dunia. Kecenderungan manusia untuk tidak dapat lepas dari bantuan dan pertolongan orang lain, dapat dilihat dalam interaksi kehidupan antar negara. Negara maju yang dapat dicirikan sebagai negara yang memiliki modal besar dan menguasai teknologi, tingkat pendidikan penduduknya yang tinggi dan tingkat kesejahteraan yang tinggi. Selain itu, negara berkembang dikategorikan sebagai negara dengan standar hidup yang rendah, ditandai dengan pendapatan nasional per kapita yang rendah, distribusi pendapatan nasional yang tidak merata, tingkat kemiskinan yang
tinggi, angka pendidikan dan kesehatan yang buruk dan saat ini yang menjadi tujuan negara berkembang terutama adalah pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi. Negara berkembang dengan segala keterbatasan yang dimiliki, berusaha dengan sekuat tenaga dalam rangka pembangunan ekonomi negaranya dan mensejajarkan diri dengan negara maju di dunia tidak dapat melepaskan diri dengan bantuan luar negeri. Disisi lain, kepentingan ekonomi negara maju sangat dominan dalam memperoleh pangsa pasar dunia di negara berkembang.
Mengenai keterlibatan negara berkembang dalam dunia perdagangan internasional, Supachai Panitchpakdi, seperti yang dikutip oleh Peter van den Bossche, menyatakan sebagai berikut:
"Enhanced South-South activity offers a potentially great source of expanded trade opprtunities in the coming trade. Between 1990 and 2001, South-South trade grew faster than world trade with the share of intra-developing country trade in world merchandise exports rising from 6,5 % to 10,6 %"
Dengan ketidakseimbangan posisi inilah sehingga mampu membuat negara maju memaksakan kehendaknya kepada negara berkembang dalam bentuk syarat-syarat yang harus dipenuhi bahkan menutup pasar mereka dari negara berkembang jika negara berkembang bermaksud mengadakan perjanjian ekonomi dengan negara maju dan bersaing dengan produk yang mereka hasilkan.
Disini, negara berkembang seperti tidak memiliki posisi tawar yang tinggi sebagai negara berdaulat untuk menolak syarat-syarat yang diajukan jika memang ada dampak negatif yang ditimbulkan. Selain itu, negara berkembang memiliki keterbatasan informasi yang dapat menghambat mereka dalam bernegosiasi dengan negara maju dalam bidang perdagangan. Dengan kondisi demikian, mengakibatkan negara berkembang tidak mendapatkan secara maksimal
keuntungan dari adanya suatu perjanjian internasional dalam rangka tercapainya perdagangan internasional yang adil dan merata. Sehingga wajar saja jika dikemudian hari, banyak sisi-sisi yang dikorbankan termasuk dunia perdagangan.
Mengenai hal ini, Kofi Annan seperti yang dikutip oleh Peter van den Bossche menyatakan sebagai berikut :
"Try to imagine what globalization can possibly mean to the half humanity that has never made of received a telephone call, or to the people of' Sub-Saharan Africa, who have less internet access than the inhabitans of the borough of Manhattan "
Pada sisi yang lain sektor perdagangan menjadi sangat penting peranannya bagi negara berkembang dalam pembinaan perekonomian, baik dalam konteks perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional yang menuju era perdagangan bebas yang semakin kompetitif. Hal ini menjadi sangat penting mengingat bahwa perdagangan yang terjadi tidak hanya dalam satu negara saja, tetapi juga telah melewati batas teritorial antar negara. Sehingga diperlukan suatu sistem perdagangan internasional di bawah suatu organisasi perdagangan internasional.
Saat ini, terdapat satu organisasi perdagangan internasional sebagai salah satu wujud kesepakatan internasional dalam rangka mencapai suatu sistem perdagangan internasional yang adil dan kompetitif yaitu di bawah komando organisasi World Trade Organization (untuk selanjutnya disingkat dengan WTO).
WTO sebagai organisasi Perdagangan Dunia adalah suatu organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan perdagangan dunia melalui pengurangan hambatan tarif dan non tarif serta menerapkan pemberlakukan tarif untuk perdagangan barang. Selain itu juga untuk menata sistem perdagangan dunia agar lebih efisien dan efektif. Organisasi ini juga merupakan suatu forum negosiasi bagi para anggota untuk merundingkan kepentingan nasional masing-masing negara anggota.
WTO merupakan penguatan dari General Agreements on Trade and Tariff (dan untuk selanjutnya disingkat dengan GATT) yang berdiri pada tahun 1947. GATT merupakan suatu perjanjian multilateral dimana tujuan pokoknya adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan guna tercapainya kesejahteraan umat manusia. GATT sendiri telah menunjukkan eksistensinya sejak setengah abad yang lalu. Selain itu, GATT telah juga memuat peraturan-peraturan mengenai perdagangan internasional dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional yang cukup tinggi. Terlepas dari keberhasilan tersebut, GATT sebagai organisasi dan peraturan-peraturan yang dihasilkan masih bersifat sementara.
Namun demikian dalam perjalanannya, GATT 1947 belum dapat memberikan kepuasan bagi negara-negara anggota karena GATT hanyalah merupakan sekumpulan aturan sehingga bila terjadi sengketa antar anggota tidak dapat diselesaikan karena GATT tidak memiliki badan penyelesaian sengketa.
Adapun yang menjadi keluhan mengenai kelemahan sistem penyelesaian sengketa dalam GATT tersebut antara lain:
1. Prosedur dalam mekanisme penyelesaian sengketa dianggap memakan waktu terlalu banyak. Salah satu hal yang menjadi penyebabnya adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk menyusun panel. Selain itu, adanya berbagai perjanjian khusus yang walaupun diadministrasikan oleh GATT, akan tetapi merupakan perjanjian tersendiri dengan prosedur penyelesaian sengketa tersendiri.
Kondisi hal tersebut di atas ternyata telah menimbulkan forum shopping dimana negara yang bersengketa dapat memilih untuk mengajukan penyelesaian sengketa pada berbagai forum. Sehingga dengan demikian, proses tersebut menimbulkan waktu yang terbuang untuk memperdebatkan prosedur yang akan digunakan.
2. Adanya perbedaan paham mengenai prosedur penyelesaian sengketa yang menerapkan prosedur yang terdapat dalam GATT atau prosedur yang berlaku dalam perjanjian khusus yang menimbulkan perdebatan mengenai substansi tentang prosedur.
3. Seringkali timbul kesulitan untuk mencari anggota panel yang tepat untuk suatu kasus yang timbul. Hal ini mengingat bahwa belum adanya pemahaman yang merata mengenai isu-isu dalam dunia perdagangan internasional.
4. Lambatnya pemutusan dari laporan panel yang diserahkan kepada council yang bertindak atas nama Contracting Parties.
5. Pihak yang kalah dalam sengketa dapat mencegah diterimanya laporan kepada council karena adanya aturan bahwa keputusan dalam council yang diambil dengan cara konsensus juga melibatkan negara yang bersengketa dalam proses pengambilan keputusan mengenai kasus yang sedang dibahas.
6. Adanya panelis yang dalam laporannya mengemukakan pandangannya secara tidak jelas sehingga menimbulkan keputusan yang tidak berlandaskan pada argumentasi hukum yang kuat.
7. Adanya tekanan yang tidak wajar dari suatu negara terhadap para panelis. Hal ini terjadi mengingat adanya posisi yang tidak seimbang antara negara anggota WTO itu sendiri
Selain itu, kemampuan sistem penyelesaian sengketa berdasarkan GATT dianggap tidak efektif. Hal ini disebabkan karena sistem penyelesaian sengketa berdasarkan GATT lebih menitik beratkan pada proses-proses diplomatik dan prosedur penyelesaian sengketa yang berdasarkan kekuasaan (power based procedur). Selanjutnya dikatakan bahwa peraturan-peraturan yang terdapat dalam GATT membuka kemungkinan bagi pihak yang kalah untuk menolak klaim-klaim yang diajukan tanpa adanya suatu konsekuensi tertentu.
Berikut ini sebagai contoh kasus yang pernah terjadi dimana prosedur penyelesaian sengketa berdasarkan GATT mengandung kelemahan-kelemahan dimana para pihak yang bersengketa selalu dapat menunda-nunda proses pengambilan penyelidikan oleh panel atau pengambilan keputusan oleh contracting parties.
Salah satu contoh yang jelas adalah kasus antara MEE vs Amerika Serikat dalam perkara Domestic International Soles Corporation (DISC) tahun 1973. Sebagai penggugat, Amerika Serikat meminta panel untuk menetapkan bahwa suatu prinsip dalam hukum pajak Eropa memberikan dampak subsidi ekspor sehingga bertentangan dengan pasal XVI GATT. Amerika Serikat mengakui bahwa gugatan yang diajukannya tidak realistik karena tidak semua negara pun akan membiarkan struktur perpajakannya didikte oleh suatu ketentuan dalam perjanjian internasional yang mengatur kebijakan perdagangan. Amerika Serikat mengajukan gugatan tersebut dalam rangka menguatkan pendapatnya dalam menghadapi gugatan sebelumnya yang diajukan MEE. Dalam gugatannya MEE menuduh peraturan DISC Amerika Serikat melanggar ketentuan Pasal XVI GATT. Amerika Serikat sendiri mengakui bahwa DISC, sekali pun merupakan subsidi ekspor terselubung, lebih banyak mencontoh perundang-undangan pajak Eropa yang memberikan dampak subsidi terselubung. Dalam perkara DISC ini Amerika Serikat sengaja menghubungkan satu persoalan dengan persoalan lain karena menyadari bahwa gugatan MEE tidak akan diproses tanpa menyertakan gugat balik dari Amerika Serikat. Putusan Panel baru keluar tiga tahun kemudian yaitu pada tahun 1976 dan isinya mcnyatakan bahwa baik DISC mau pun perundangan-undangan perpajakan Eropa sama-sama melanggar Pasal XVI GATT. Dalam hal ini, MEE tidak bersedia menerima kesimpulan Panel tersebut sehingga akibatnya seluruh temuan Panel harus ditinjau kembali sebelum diterima atau ditindaklanjuti oleh contracting parties. Rekomendasi Panel tersebut terus berada dalam agenda council selama enam pertemuan antara tahun 1976-1978. Council akhimya memutuskan akan menangguhkan persoalan tersebut sampai pertemuan berikutnya. Namun demikian, ternyata rnasalah ini tidak pernah diangkat kembali ke permukaan.
Dari pengalaman tersebut maka pada perundingan akhir Uruguay Round pada tahun 1994, para Menteri Perdagangan anggota GATT bersepakat untuk mendirikan suatu organisasi yang kuat yaitu WTO, yang berdiri secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995. Dengan adanya kesepakatan Uruguay Round tersebut pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko maka dimulailah babak baru dalam hubungan perdagangan internasional, dengan demikian diharapkan agar perdagangan dunia yang bebas, adil dan terbuka dapat tercapai.
Selain itu juga dengan disepakatinya kerjasama WTO dengan organisasi internasional lainnya seperti International Monetary Fund (untuk selanjutnya disingkat dengan IMF) dan World Bank, sistem penyelesaian sengketa secara terpadu dan yang dilakukan secara reguler diharapkan dapat menjadi suatu standar mekanisme sebagai sarana tinjauan kebijaksanaan perdagangan dalam rangka meningkatkan transparansi.
Sehingga dengan demikian, untuk pertama kalinya dalam perkembangan sistem perdagangan multilateral, negara-negara telah berhasil menciptakan satu kesatuan sistem penyelesaian sengketa (overall unified dispute settlement) yang mencakup semua bidang perjanjian WTO. Dengan sistem yang menyatu ini tidak ada lagi sistem penyelesaian sengketa sendiri-sendiri yang diatur oleh masing-masing bidang perjanjian.
Di samping itu terhadap aturan dan prosedur penyelesaian sengketa telah dilakukan penyempurnaan sehingga pelaksanaannya diharapkan dapat lebih efektif dibandingkan dengan sistem dalam GATT 1947. Adanya perubahan sistem ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa terciptanya penyelesaian sengketa yang lebih efektif sangatlah penting bagi berfungsinya sistem perdagangan multilateral secara baik, lancar dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dunia secara merata.
Hal ini seperti yang diungkapkan dalam pertemuan tingkat menteri perdagangan delapan bulan sebelum berdirinya WTO, bertemu di Marrakesh pada 15 April 1994 dalam rangka mengadopsi Marrakesh Declaration, yaitu :
"salute the historic achievement represented by the conclusion of the [Uruguay] Round, which they believe will strengthen the world economy and lead to more trade, investment, employment and income growth throughout the world".
Disisi lain, WTO sebagai suatu lembaga perdagangan multilateral yang permanen maka peranan WTO akan lebih kuat daripada GATT selama ini. Hal ini tercermin dari struktur organisasi yang melibatkan negara anggotanya sampai pada tingkat Menteri. Adapun struktur organisasi WTO, terdiri dari :
a. Ministerial Conference (Konferensi Tingkat Menteri), yang merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi. Forum ini secara rutin mengadakan pertemuan setiap dua tahun.
b. General Council (Dewan Umum), badan ini berada di bawah Ministerial Conference yang bertugas sebagai pelaksana harian, terdiri dari para wakil negara anggota dan mengadakan pertemuan sesuai dengan kebutuhan baik untuk kegiatan di bawah Multilateral Trade Agreements maupun Plurilateral Trade Agreements.
c. Council for Trade in Goods (Dewan Perdagangan Barang), badan di bawah General Council yang bertugas memantau pelaksanaan persetujuan yang dicapai di bidang perdagangan barang.
d. Council for Trade in Service (Dewan Perdagangan Jasa), badan di bawah General Council yang bertugas memantau pelaksanaan persetujuan yang dicapai di bidang perdagangan jasa.
e. Council for Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (Dewan untuk Aspek Dagang yang terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual). Badan yang berada di bawah General Council ini bertugas memantau pelaksanaan persetujuan di bidang perdagangan Hak Atas Kekayaan Intelektual.
f. Dispute Settlement Body (Badan Penyelesaian Sengketa), badan ini berada di bawah Ministerial Conference yang menyelenggarakan forum penyelesaian sengketa perdagangan yang timbul diantara negara anggota.
g. Trade Policy Review Body (Badan Peninjau Kebijakan Perdagangan), badan ini berada di bawah Ministerial Conference yang bertugas menyelenggarakan mekanisme pemantauan kebijakan di bidang perdagangan.
Dengan demikian, peranan WTO sebagai suatu organisasi perdagangan multilateral, yaitu :
a. Mengadminsitrasikan berbagai persetujuan yang dihasilkan Uruguay Round di bidang barang dan jasa, baik multilateral maupun plurilateral serta mengawasi pelaksanaan komitmen akses pasar di bidang tarif maupun non tarif.
b. Mengawasi praktek-praktek perdagangan internasional dengan secara reguler meninjau kebijaksanaan perdagangan negara anggotanya dan melalui rosedur notifikasi.
c. Sebagai forum dalam menyelesaian sengketa dan menyediakan mekanisme konsiliasi guna mengatasi sengketa perdagangan yang timbul.
d. Menyediakan bantuan teknis yang diperlukan bagi anggotanya, termasuk bagi negara-negara berkembang dalam melaksanakan Putaran Uruguay.
e. Sebagai forum bagi negara anggotanya untuk terus menerus melakukan perundingan pertukaran konsesi di bidang perdagangan guna mengurangi hambatan perdagangan dunia.
Adapun sistem penyelesaian sengketa yang terdapat di WTO merupakan elemen pokok dalam menjamin keamanan dan kepastian terhadap perdagangan multilateral. Mekanisme penyelesaian persengketaan WTO sangat penting dalam rangka penerapan disiplin dan fungsi WTO secara efektif.
Perkembangan sistem penyelesaian sengketa WTO ini adalah sebuah tuntutan penyesuaian yang cukup luas dari sistem GATT yang memerlukan perubahan yang cukup luas dalam menangani perluasan kegiatan perdagangan dunia. Dalam evolusinya, sistem penyelesaian sengketa yang dikembangkan oleh GATT semakin dipusatkan pada perbaikan-perbaikan konkret yang dapat dilakukan dan dianggap perlu serta dimungkinkan untuk diterapkan. Dengan perbaikan itu maka sistem penyelesaian sengketa menjadi cukup lengkap dari segi prosedural maupun dari segi kelembagaan.
Adapun perkembangan yang menyangkut perbaikan dan penyempurnaan atas sistem penyelesaian sengketa yang terdapat dalam GATT telah semakin meningkat dan menjadi agenda pada Uruguay Round. Pada tahun 1986 yang merupakan salah satu putaran Uruguay Round, tepatnya di Punta del Este, pada pertemuan tingkat menteri telah dideklarasikan dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa, bahwa :
"In order to ensure prompt and effective resolution of disputes to the benefit of all contracting parties, negotiations shall aim to improve and strengthen the rules and the procedures of the disputes settlement process, while recognizing the contribution that would be made by more effective and enforceable GATT rules and disciplines. Negotiations shall include the development of adequate arrangement for overseeing and monitoring of the procedures that would facilitate compliance with adopted recommendations".
Adapun substansi pokok yang menyangkut perbaikan dan penyempurnaan tersebut di atas adalah tersebut di bawah ini:
a. Adanya penggunaan panel untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Hal ini berarti telah terjadi "pengukuhan" prosedur yang sifatnya lebih yuridis dalam sistem penyelesaian sengketa dengan adanya penerapan ketentuan dalam sengketa yang menggunakan third party adjudication dengan menggunakan panels of independent expert. Hal ini berbeda dengan instrumen yang digunakan dalam GATT sebelumnya bahwa proses tersebut lebih mengandung proses politis karena hanya melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan atas sengketa yang terjadi dalam penyelesaian atas tiap sengketa yang ada.
b. Sejak tahun 1962, dengan hasil dari kasus yang diadukan kepada GATT oleh pemerintah Uruguay dengan laporan GATT, yaitu Uruguay's Recourse to Article XXIII, maka GATT semakin mengarahkan perhatiannya kepada masalah violation complaints dan breaches of obligations. Sehingga dengan demikian, adanya pembatasan, secara bertahap, melalui proses penyelesaian sengketa, dari jenis-jenis keluhan dalam bentuk non-violation complaints yang rumusannya terlalu samar-samar dan umum mengenai kerugian atas dampak tindakan subsidi produksi yang diterapkan oleh suatu negara.
c. Peningkatan kadar yuridis dari GATT's diplomat's jurisprudence dan "de-politisasi" dari prosedur panel antara lain dengan menggunakan temuan dari hasil panel sebelumnya, yang semakin mendekati case law dan penggunaan precedence walaupun belum sepenuhnya, dengan pengembangan hak untuk meminta dibentuknya panel, penggunaan metode customary law dalam treaty interpretation, peningkatan penggunaan ahli hukum dalam panel, dari semakin mengembangnya penerimaan adopsi laporan panel secara otomatis.
d. Adanya kejelasan waktu dalam setiap tahap proses penyelesaian sengketa.
e. Adanya kemungkinan untuk dibuatnya appellate review terhadap suatu panel report.
Selain itu, mengingat adanya kelemahan yang terdapat dalam sistem penyelesaian sengketa yang terdapat dalam GATT, WTO berusaha untuk merancang suatu sistem penyelesaian sengketa yang baru. Suatu sistem yang memperkenalkan sistem sanksi atas keberatan-keberatan yang diajukan oleh tiap negara-negara anggota. Karakteristik lainnya adalah bahwa sistem penyelesaian sengketa WTO berdasarkan atas hukum (rule based system) dan adanya suatu proses yang dilegalisasikan. Oleh karena itu, hal ini dapat dikatakan bahwa sistem penyelesaian sengketa WTO memberikan suatu landasan yang lebih baik dibandingkan dengan sistem penyelesaian sengketa yang terdapat dalam GATT.
Sehingga dengan demikian, hal-hal tersebut di atas secara progresif merupakan tahap penting dalam memperkuat sistem penyelesaian sengketa seperti yang diterapkan oleh WTO melalui badannya yaitu Disputes Settlement Body (dan untuk selanjutnya disingkat dengan DSB) saat ini. Negara-negara anggota menaruh kepercayaan yang sangat besar pada sistem penyelesaian sengketa WTO terutama negara-negara yang tergolong dengan negara berkembang.
Hal ini terbukti dari perjalanan organisasi ini selama tujuh tahun sejak berdirinya yang telah menerima dan menyelesaikan lebih dari 250 kasus. Sebagian besar kasus yang diajukan dapat diselesaikan tanpa harus menempuh seluruh tahapan proses penyelesaian sengketa. Dalam hampir semua kasus yang diajukan ke DSB, negara responden telah dapat melaksanakan rekomendasi DSB tanpa harus dilakukan tindak lanjut berupa tindakan pemaksaan (enforcement measure).
Keberhasilan untuk menciptakan rezim multilateral di bidang perdagangan dinilai sebagai suatu hasil pencapaian yang besar. Sehingga menjadi suatu kondisi yang wajar apabila negara peserta menaruh harapan yang besar pada sistem yang baru ini. Namun demikian, penerapan sistem ini ternyata menimbulkan keluhan dari berbagai pihak terutama negara berkembang.
Merujuk pada bagian pembukaan dari WTO Agreement, telah ditegaskan bahwa:
" Recognizing that their relations in the field of trade and economic endeavour should be conducted with a view to raising standards of living, ensuring full employment and a large and steadily growing volume of real income and effective demand, and expanding the production of and trade in goods and services, while allowing for the optimal use of the world's resources in accordance with the objective of sustainable development, seeking both to protect and preserve the environment and to enhance the means for doing so in a manner consistent with their respective needs and concerns at different levels of economic development, Recognizing further that there is need for positive efforts designed to ensure that developing countries, and especially the least devel-oped among them, secure a share in the growth in international trade commensurate with the needs of
Berdasarkan hal tersebut di atas telah ditegaskan bahwa yang menjadi tujuan penting keberadaan WTO adalah dalam rangka menciptakan standar hidup yang layak, adanya hasil yang dicapai atas tiap pekerjaan yang dilakukan, adanya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan efektifitas atas permintaan, ekspansi atas hasil-hasil produksi perdagangan, baik perdagangan barang maupun jasa, serta perlindungan atas lingkungan dunia. Selain itu, dalam rangka pengurangan tarif dan hambatan lainnya dalam perdagangan dunia dan untuk mengurangi diskriminasi karena adanya perbedaan kemampuan antara masing-masing negara.
Selain itu juga, telah dijelaskan dalam bagian pembukaan bahwa dalam rangka mencapai tujuan tersebut di atas, WTO wajib mengambil langkah-langkah yang dianggap perlu dalam rangka menjaga suatu kondisi yang baik atas tiap kebutuhan yang diperlukan bagi negara berkembang. Dalam bagian ini sangat ditekankan pentingnya pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan terintegrasinya negara berkembang, dan khususnya bagi negara yang dikategorikan sebagai negara terbelakang dalam sistem perdagangan dunia saat ini. Kedua aspek tersebut di atas tidak menjadi suatu hal yang dianggap perlu dalam GATT 1947.
Hal ini telah ditegaskan dalam pernyataan appellate-body dalam kasus US55-Shrimp :
"The language of the Preamble of the WTO Agreement demonstrates recognition by WTO negotiators that optimal use of the world's resources should be made in accordance with the objective of sustainable development. As this preambular language reflects the intentions of negotiators of the WTO Agreement, we believe it must add colour, texture and shading to our interpretation of the agreements annexed to the WTO Agreement, in this case, the GATT 1994. We have already observed that Article XX(g) of the GATT 1994 is appropriately read with the perspective embodied in the above preamble".
Seperti yang telah disebutkan di atas, WTO adalah organisasi penting dalam rangka mengadministrasikan berbagai peraturan dalam bidang perdagangan internasional. WTO juga sebagai badan yang memantau secara langsung perjanjian-perjanjian dalam bidang perdagangan diantara negara-negara anggotanya. Hal ini menjadi penting dalam rangka memastikan bahwa perdagangan internasional berjalan dengan semestinya berdasarkan perjanjian yang telah disepakati bersama. Selain itu, WTO juga dianggap sebagai forum dalam rangka penyelesaian sengketa perdagangan yang terjadi diantara sesama negara-negara anggotanya.
Dalam rangka untuk menjamin bahwa segala peraturan yang ada dapat berjalan secara efektif, maka keberlangsungan mekanisme penyelesaian sengketa dalam WTO adalah menjadi suatu keharusan tersendiri. Hal ini tidak hanya untuk memberikan jaminan tercapainya penyelesaian sengketa yang efektif, tetapi juga dalam rangka membuktikan kualitas dari adanya suatu perdagangan internasional, dimana setiap negara-negara anggotanya mematuhi dan melaksanakan setiap perjanjian yang disepakati bersama dalam bidang perdagangan internasional. Oleh karena itu, sistem penyelesaian sengketa WTO harus memberikan kedudukan perlindungan yang seimbang untuk semua negara-negara anggotanya.
Selain itu dikatakan bahwa yang menjadi tujuan dari sistem penyelesaian sengketa WTO adalah untuk memastikan bahwa sistem perdagangan multilateral adalah suatu sistem yang diakui dan dapat diprediksi. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai tujuan ini, sistem penyelesaian sengketa harus dapat menyelesaikan setiap sengketa yang diajukan secara adil dan dilaksanakan tanpa adanya pihak yang diutamakan. Dalam teorinya, sistem penyelesaian sengketa WTO adalah berdasarkan atas hukum, hal ini dapat menjadi suatu jaminan bahwa setiap keputusan yang dihasilkan dapat didasarkan atas hukum dan sesuai dengan klaim yang diajukan, tanpa adanya kepentingan-kepentingan ekonomi dan kekuatan politik yang dapat menekan salah satu pihak yang bersengketa.
Kemudian, hal lain yang menjadi sangat penting adalah bagaimana sistem penyelesaian sengketa WTO dapat berjalan dengan baik sesuai dengan fungsinya, terutama dalam kaitannya dengan kepentingan-kepentingan negara berkembang, khususnya Indonesia. Dalam hal ini berusaha menekankan bahwa sistem penyelesaian sengketa WTO dapat dirasakan kebermanfaatannya tidak hanya bagi negara maju, tetapi juga negara berkembang khususnya Indonesia.
B. Pokok Permasalahan
Adapun dalam penelitian ini, yang akan menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang?
2. Bagaimanakah seharusnya pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO dan manfaatnya bagi kepentingan nasional Indonesia ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang akan menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang.
2. Untuk mengetahui pengaturan khusus yang seharusnya mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO dan manfaatnya bagi kepentingan nasional Indonesia
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan sangat berguna baik untuk para praktisi maupun akademisi.
1. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pembuat kebijaksanaan atau pembentuk hukum di bidang ekonomi dalam rangka penyempurnaan sistem yang baik dalam sengketa dagang internasional.
2. Kegunaan teoritis
Penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum dan dapat digunakan sebagai data sekunder, khususnya bagi para akademisi yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut dalam rangka pelaksanaan pembangunan ekonomi yang menyeimbangkan kepentingan negara maju dan negara berkembang.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum untuk memahami penerapan norma-norma hukum terhadap fakta-fakta yang tersaji yang dalam hal ini keberadaannya untuk mengubah keadaan dan menawarkan penyelesaian yang berpotensi untuk menyelesaikan setiap masalah kemasyarakatan yang konkret.
Pilihan tersebut di atas penulis pilih dalam rangka memahami penerapan norma-norma hukum yang terdapat di dalam Disputes Settlement Understanding atau konvensi internasional lainnya dalam penyelesaian sengketa melalui forum WTO-DSB. Dalam penelitian ini juga penulis lengkapi dengan analisis terhadap sengketa yang melibatkan Indonesia dalam forum penyelesaian sengketa WTO baik sebagai pihak complainant, respondent maupun third parties.
Adapun penelitian yang dilakukan adalah doktrinal dengan optik preskriptif59 yaitu penelitian untuk menemukan kaedah hukum secara hermeneutis, yaitu suatu kaedah yang akan menentukan apa yang menjadi kewajiban dan hak yuridis subyek hukum dalam situasi kemasyarakatan tertentu berdasarkan kerangka tatanan hukum yang berlaku dengan selalu mengacu kepada positivitas, koherensi, keadilan dan martabat manusia. Dalam istilah yang lain dapat juga dikatakan bahwa penelitian dengan optik preskriptif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. Adapun pemilihan tersebut dilakukan untuk mengetahui pengaturan yang seharusnya dimiliki dalam DSU yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia.
2. Data Yang Digunakan
Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the books. Dengan demikian, objek yang dianalisis adalah norma hukum, yaitu mengkaji tentang Disputes Settlement Understanding yang mengatur tentang sistem penyelesaian sengketa di WTO. Selain itu, penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang dilakukan dalam rangka memperoleh data sekunder baik yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Dalam penelitian ini, maka akan diawali terlebih dahulu dengan melakukan inventarisasi perjanjian-perjanjian internasional dan putusan-putusan Dispute Settlement Body yang berkaitan dengan masalah tersebut di atas.
Setelah dilakukan pengkajian lebih dalam atas peraturan yang terkait tersebut di atas, maka perlu didukung dengan bahan hukum sekunder yang berupa tulisan para ahli dan bahan hukum tersier lainnya.
Data sekunder yang akan diteliti terdiri dari :
1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat, antara lain berupa perjanjian-perjanjian internasional yang berhubungan dengan masalah ekonomi dan perdagangan internasional termasuk didalamnya WTO Agreement, Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU), GATT, GATS dan perjanjian-perjanjian internasional lainnya.
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer antara lain berupa tulisan atau pendapat pakar hukum mengenai masalah ekonomi dan perdagangan bebas terkait dengan penyelesaian sengketa dagang internasional.
Dalam mengumpulkan data yang digunakan untuk menyusun penelitian ini, penulis melakukan studi kepustakaan dengan membaca tulisan-tulisan yang berhubungan dengan topik yang dibahas yaitu tentang analisis sistem penyelesaian sengketa dagang internasional yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang, khususnya Indonesia yang terdapat dalam buku-buku, tulisan-tulisan dalam jurnal internasional, surat kabar, majalah, makalah hasil seminar, dan artikel ilmiah. Data-data yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis dengan maksud memberikan gambaran yang komprehensif mengenai tema penelitian ini.
3. Metode Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis dengan pendekatan kualitatif, yaitu berusaha untuk menganalisis suatu data secara mendalam dan menyeluruh. Pilihan atas metode tersebut agar dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh dari fenomena hukum yang dikaji, sehingga gambaran yang dihasilkan tidak bias normatif dan juga tidak bias faktual. Sehingga dengan demikian penelitian ini akan mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
F. Sistematika Laporan Penelitian
Hasil penelitian ini akan disusun mengikuti sistematika sebagai berikut: Bab Kesatu sebagai pendahuluan akan menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, jenis penelitian, data yang digunakan dan metode analisis data, kerangka teori dan definisi operasional serta sistematika laporan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab Kedua akan menjelaskan mengenai pengaturan penyelesaian sengketa WTO yang diatur dalam DSU.
Bab Ketiga akan menjelaskan mengenai mengenai keberadaan WTO secara umum, sejarah dan latar belakangnya, termasuk didalamnya mengenai pengaturan khusus penyelesaian sengketa yang dianut dalam WTO Agreement yang bermanfaat bagi negara-negara berkembang pada umumnya dan khususnya sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia.
Bab Keempat akan menjelaskan mengenai bagaimana seharusnya pengaturan khusus mengenai sistem penyelesaian sengketa WTO yang sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia dengan mengambil pelajaran dari sengketa yang menghadapkan Indonesia dalam forum penyelesaian sengketa WTO.
Bab Kelima sebagai bagian penutup berisikan kesimpulan dan saran.