BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Denque Haemorrhagic Fever (DHF) merupakan salah satu penyakit menular yang masih menyerang penduduk dunia sampai saat ini. Berbagai serotipe virus Dengue endemis di beberapa daerah tropis. Di Asia virus Dengue endemis di daerah China Selatan, Hainan, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Myanmar, India, Pakistan, Sri Langka, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura. Negara dengan endemisitas rendah di Papua New Guinea, Bangladesh, Nepal, Taiwan dan sebagian besar negara pasifik (Depkes, XXXX).
Menurut WHO (XXXX) jumlah penduduk dunia yang beresiko terinfeksi DBD lebih dari 2,5 sampai 3 milyar orang terutama penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Diperkirakan setiap tahunnya ada 300 juta kasus di Indonesia, dan 500.000 kasus DBD yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan minimal 12.000 diantaranya meninggal dunia, terutama anak-anak (Depkes RI, XXXX).
Di Indonesia, penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang belum dapat ditanggulangi (Hindra, XXXX). Penyakit DBD bahkan endemis hampir di seluruh propinsi. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir jumlah kasus dan daerah terjangkit terus meningkat dan menyebar luas serta sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) (Depkes, XXXX).
Sejak pertama kali ditemukan di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968, tercatat 54 kasus dengan 24 kematian (CFR 41,5%). Sejak itu penyakit DBD tersebar di berbagai daerah, dan angka kejadian penyakit DBD meningkat. Pada tahun 1972 ditemukan DBD di luar Jawa yaitu X, X, dan X. Kejadian Luar Biasa penyakit DBD terjadi di sebagian besar daerah perkotaan dan beberapa daerah pedesaan, di mana sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah perdesaan. Sampai dengan bulan November XXXX, kasus DBD di Indonesia telah mencapai 124,811 (IR: 57,51/100.000 penduduk) dengan 1.277 kematian (CFR: 1,02%) (Depkes, XXXX).
Secara teoritis peningkatan jumlah penderita DBD dipengaruhi oleh adanya mobilitas penduduk dan arus urbanisasi yang tidak terkendali, kurangnya jumlah dan kualitas SDM pengelola program DBD di setiap jenjang administrasi, kurangnya kerjasama serta komitmen lintas program dan lintas sektor dalam pengendalian DBD, sistim pelaporan dan penanggulangan DBD yang terlambat dan tidak sesuai dengan standar, perubahan iklim yang cenderung menambah jumlah habitat vektor DBD, infrastruktur penyediaan air bersih yang tidak memadai, serta letak geografis Indonesia di daerah tropik mendukung perkembangbiakan vector dan pertumbuhan virus serta kurangnya partisipasi masyarakat dalam penanggulangan DBD (Depkes RI, XXXX).
Berdasarkan kompleksitas faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian DBD, maka Departemen Kesehatan telah menetapkan 5 kegiatan pokok sebagai kebijakan dalam pengendalian penyakit DBD, yaitu menemukan kasus secepatnya dan mengobati sesuai prosedur tetap, memutuskan mata rantai penularan dengan pemberantasan vektor (nyamuk dewasa dan jentik-jentiknya), kemitraan dengan wadah Kelompok Kerja Operasional DBD (POKJANAL DBD), pemberdayaan masyarakat dalam gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan peningkatan profesionalisme pelaksana program (Depkes XXXX).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi terjadinya peningkatan kasus, salah satu diantaranya adalah dengan memberdayakan masyarakat dalam kegiatan PSN melalui gerakan 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur). Kegiatan ini telah diintensifkan sejak tahun 1992 dan pada tahun XXXX dikembangkan menjadi 3M plus, yaitu dengan cara menggunakan larvasida, memelihara ikan, abatisasi, menggunakan kelambu dan menggunakan penolak nyamuk. Sampai saat ini upaya tersebut belum menampakkan hasil yang diinginkan, karena setiap tahun masih terjadi peningkatan angka kematian (Depkes, XXXXb).
Hal ini disebabkan oleh upaya peningkatan peran serta masyarakat yang belum optimal. Meskipun telah disadari bahwa peran serta masyarakat sangat berperan besar dalam penanggulangan penyakit DBD, namun masyarakat masih sering dijadikan objek yang akan diintervensi, bukan sebagai subjek yang mampu untuk melakukan intervensi untuk dirinya sendiri. Tingkat partisipasi yang dapat diterjemahkan sebagai kemauan dan kemampuan belum sepenuhnya dioptimalkan. Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat, adanya perbedaan status dan lain-lain (Siswono, XXXX).
Untuk meningkatkan daya dan hasil guna upaya pemberantasan penyakit DBD di tingkat desa/kelurahan dibentuk Kelompok Kerja Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (POKJA DBD) melalui Surat Keputusan Lurah/Kepala Desa dan Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL DBD) pada tingkat yang lebih tinggi. Ini merupakan forum koordinasi kegiataan pemberantasan DBD dalam wadah LKMD dan tujuan program adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat serta memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata.
Pengumpulan data program P2 DBD untuk memperoleh gambaran tentang besarnya permasalahan DBD dan besarnya masalah diketahui dari jumlah desa/ endemis dan sporadis, jumlah penderita dan kematian penyakit DBD. Upaya penanggulangannya diketahui dari jumlah desa/kelurahan yang dilakukan tindakan pengasapan/fogging, abatisasi serta keberadaan Pokja DBD yang mengorganisasikan penggerakan masyarakat dalam PSN (Depkes RI, XXXX).
Di Provinsi X jumlah penderita penyakit DBD sudah melebihi indikator nasional sebesar 5 per 100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD pada tahun XXXX dilaporkan sebanyak 795 kasus dengan angka kesakitan/Incidence Rate (IR = 18,5 per 100.000 penduduk) dan kematian sebanyak 13 orang (CFR = 1,7%) (Profil Dinas Kesehatan Provinsi X, XXXX).
Kota X terdiri dari 12 kecamatan dan 58 kelurahan, salah satu kecamatan adalah X. Pada tahun XXXX di Kecamatan X terjadi KLB DBD dengan kasus 138 orang dan 2 kematian (CFR = 1,51%). Pada tahun XXXX jumlah penderita DBD sebesar 52 orang dan pada tahun XXXX di Kecamatan X jumlah kasus DBD sebanyak 57 orang. CFR di Kecamatan X adalah 2,35% dan IR = 87,66 sedangkan Kecamatan Sukajadi IR = 47,61, Senapelan IR = 24,09, X Kota IR = 31,78, Rumbai Pesisir IR = 29,78, Rumbai IR = 31,03, Sail IR = 73,68, Limapuluh IR = 45,34, Tenayan IR = 40,38, X IR = 87,66, Marpoyan Damai IR = 35,62, Tampan IR = 55,70, Payung Sekaki IR = 50,31 (IR per 100.000 penduduk) (Profil Dinas Kesehatan Kota X, XXXX)
Upaya penanggulangan yang telah dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota X berupa abatisasi dan pengasapan untuk memutuskan rantai penyebaran dan perkembangbiakan vektor. Namun karena tingginya biaya dan keterbatasan anggaran maka upaya tersebut kurang berkesinambungan. Salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan dalam upaya penanggulangan DBD tanpa biaya mahal adalah dengan PSN antara lain gerakan 3 M (menguras, menutup dan mengubur) yang berupa pengurasan dan penutupan tempat-tempat penampungan air, dan menimbun barang-barang tempat perkembangbiakan vektor di mana kegiatan ini merupakan tindakan yang praktis, murah, dan dapat dilakukan oleh siapapun dan di manapun (Depkes RI, XXXX).
Upaya meningkatkan peran serta masyarakat agar ikut berpartisipasi merupakan upaya pemberdayaan masyarakat khususnya keluarga. Partisipasi masyarakat menjadi faktor yang menentukan dalam pemberantasan DBD. Keberhasilan ini ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat, baik dalam menyumbangkan masukan (input) maupun dalam menikmati hasilnya.
Kenyataan di lapangan, program pemberantasan DBD kurang memperoleh parti sipasi masyarakat khususnya keluarga karena kurangnya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat. Di lain pihak juga dirasakan kurangnya informasi yang disampaikan kepada masyarakat mengenai kapan, dan dalam bentuk apa mereka dapat untuk berpartisipasi dalam pemberantasan DBD (Depkes, XXXX).
Dengan demikian diperlukan upaya pencegahan DBD melibatkan partisipasi keluarga. Keluarga adalah satu kesatuan unit terkecil dari masyarakat sehingga dengan tingginya kesehatan keluarga maka semakin baik kesehatan keluarga. Selain itu keluarga sebagai suatu kelompok dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki masalah-masalah dalam kelompoknya. Masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan. Dalam kehidupan sosial keluarga merupakan cara hidup yang didukung oleh masyarakat, jadi pembentukan keluarga tidak terlepas dari kondisi dan lingkungan yang terdapat di sekitarnya. Keluarga mempunyai fungsi di mana individu-individu itu pada dasarnya dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan dalam hidupnya (Friedman, 1998).
Dari uraian di atas, maka dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai bagaimana determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, DBD merupakan masalah kesehatan yang masih memerlukan perhatian dan penanganan khususnya Kecamatan X di Kota X mengingat daerah ini merupakan daerah endemis, maka dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis determinan partisipasi keluarga dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.
1.4. Hipotesis Penelitian
Ada determinan partisipasi keluarga (kesempatan, kemampuan dan kemauan berpartisipasi) dalam tindakan pencegahan DBD di Kecamatan X Kota X.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota X sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan penyusunan program pengendalian DBD.
2. Bagi Puskesmas dan lintas sektor di Kecamatan X sebagai bahan pertimbangan untuk kebutuhan masyarakat setempat.