BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomena sepanjang sejarah Indonesia. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life, mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi mereka menerima upah yang sangat sedikit (Sahdan, 2004).
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat
untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik (Sahdan, 2004).
Bappenas (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, Bappenas menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan (Sahdan, 2004).
Indonesia sedang berada di ambang era yang baru. Sesudah mengalami krisis multi-dimensi (ekonomi, sosial, dan politik) pada akhir tahun 1990-an, Indonesia sudah kembali bangkit. Secara garis besar, negeri ini telah pulih dari krisis ekonomi yang menjerumuskan kembali jutaan warganya ke dalam kemiskinan pada tahun 1998 dan telah menurunkan posisi Indonesia menjadi salah satu negara berpenghasilan rendah. Belum lama ini Indonesia telah berhasil kembali menjadi salah satu negara berkembang berpenghasilan menengah. Angka kemiskinan yang meningkat lebih dari sepertiga kali selama masa krisis telah kembali pada kondisi sebelum krisis. Sementara itu, Indonesia telah mengalami transformasi besar di bidang sosial dan politik, berkembang dengan demokrasi yang penuh semangat dengan adanya desentralisasi pemerintahan, serta keterbukaan yang jauh lebih luas dibandingkan dengan masa lalu (Steer, 2006).
Penyebab kemiskinan dapat dikelompokkan atas dua hal, yaitu (1) faktor alamiah: kondisi lingkungan yang miskin, ilmu pengetahuan yang tidak memadai, adanya bencana alam dan lain lain yang bermakna bahwa mereka miskin karena memang miskin, dan (2) faktor non alamiah:akibat kesalahan kebijakan ekonomi, korupsi, kondisi politik yang tidak stabil, kesalahan pengelolaan sumber daya alam. Jadi untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, langkah yang dilakukan tidak lain daripada mempertimbangkan kedua faktor tersebut, yaitu mengubah kondisi lingkungannya menjadi lebih baik, meningkatkan kualitas sumber daya manusianya, dan melakukan perbaikan terhadap sistem yang ada melalui pemberantasan korupsi dan menetapkan pengelola yang kompeten baik dari kemampuan, integritas, maupun moral (Lubis, 2006).
Penanganan kemiskinan tentunya harus dilakukan secara menyeluruh dan kontekstual. Menyeluruh berarti menyangkut seluruh penyebab kemiskinan, sedangkan kontekstual mencakup faktor lingkungan si miskin. Beberapa di antaranya yang menjadi bagian dari penanggulangan kemiskinan tersebut yang perlu tetap ditindaklanjuti dan disempurnakan implementasinya adalah perluasan akses kredit pada masyarakat miskin, peningkatan pendidikan masyarakat, perluasan lapangan kerja dan pembudayaan entrepeneurship (Hureirah, 2005).
Selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di samping itu, tidak adanya tatanan pemerintahan yang demokratis menyebabkan rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk menanggulangi kemiskinan dengan cara mereka sendiri (Hureirah, 2005).
Pemerintah menargetkan penurunan tingkat kemiskinan dari 16% di tahun 2005 menjadi 8,2% terhadap jumlah penduduk di tahun 2009. Selain itu, menurunkan tingkat pengangguran dari 10,4 % tahun 2006 menjadi 5,1% terhadap 106,3 juta orang jumlah angkatan kerja tiga tahun 2007 (Bappenas, 2004).
Dalam rangka mempercepat penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia, Presiden Republik Indonesia pada tanggal 10 September 2005 melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2005 membentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) yang merupakan penyempurnaan dan kelanjutan dari Keppres No. 124 Tahun 2001 jo. Keppres No. 8 tahun 2002 jo. Keppres No. 34 Tahun 2002 mengenai Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK). Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) ini merupakan forum lintaspelaku - forum nasional, forum regional dan/atau forum nasional-regional - yang terdiri dari semua unsur, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, lembaga keuangan dan perbankan, usaha nasional, kelompok swadaya masyarakat, akademisi, dan unsur masyarakat lainnya, untuk menggalang kontribusi gagasan dan saran implementasi yang konstruktif dan maju, bagi peningkatan keberhasilan penanggulangan kemiskinan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) merupakan investasi Pemerintah RI dalam bentuk aset, sistem pembangunan partisipatif dan kelembagaan. Program ini bertujuan untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan di perdesaan melalui peningkatan pendapatan masyarakat, penguatan kelembagaan masyarakat dan pemerintah daerah, serta perwujudan prinsip-prinsip good governance. Melalui program ini diharapkan terwujud sistem pengaturan dan pengurusan (governance system) segala bentuk sumberdaya secara sehat, dimana semua pelakunya bersikap saling memberdayakan, memperkuat dan melindungi (Indroyono, 2003).
Selama tiga tahun pertama disebut sebagai fase I PPK, dan pada masa yang akan datang sebagai fase II, maka persoalan pada fase II perlu ditekankan pada masalah-masalah pelembagaan dari tiga lembaga yang ditangani dalam program PPK, yaitu: Musyawarah Antar Desa (forum UDKP), UPK (Unit Pengelola Keuangan) di tingkat kecamatan, dan kelompok-kelompok masyarakat (target group). Dari sisi kelembagaan, menurut moderator, perlu diperkuat keberadaan lembaga-lembaga yang telah diberdayakan selama fase pertama (institutional strenghtening). Di samping itu, saat ini muncul pemikiran tentang masa depan bentuk UPK (yang sekarang berubah dari Unit Pengelola Keuangan menjadi Unit Pengelola Kegiatan) yang telah bertugas melayani masyarakat selama 3-4 tahun terakhir. Terdapat 3 pilihan yang berkembang diantara para pelaksana program PPK, yakni: berbadan usaha bank, koperasi, atau lembaga keuangan bukan bank (LKBB) (Indroyono, 2003).
Keberhasilan program PPK dapat dilihat dari hasil penelitian Fajar (2006), menyimpulkan Prasarana transportasi jalan mempunyai peran yang sangat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat kawasan perdesaan,hal ini disebabkan dengan prasarana transportasi jalan yang baik mobilitas angkutan komoditi dari lokasi produksi ke pusat perdagangan berjalan lancar. Proporsi volume produksi terhadap volume perdagangan lebih unggul pada kawasan perdesaan dengan prasarana transportasi memadai atau setiap komoditi yang dihasilkan lebih berpeluang untuk dapat dipasarkan dibandingkan pada kawasan perdesaan yang mempunyai prasarana transportasi jalan kurang memadai. Pada desa yang memiliki prasarana transportasi jalan memadai, mempunyai pertumbuhan ekonomi masyarakat yang lebih tinggi,hal ini nampak dari tingginya proporsi persentase volume produksi terhadap volume perdagangan dari semua komoditi andalan yang dihasilkan, yaitu setiap pertumbuhan volume produksi sebesar 1,06%,akan mempunyai peluang untuk dapat diperdagangkan sekitar 3,33%, dimana laju pertumbuhan perdagangan adalah gambaran jumlah komoditi yang dapat dinilai dengan penerimaan, sehingga peningkatan ekonomi masyarakat juga lebih baik. Sedangkan pada desa yang memiliki prasarana transportasi jalan kurang memadai, mempunyai pertumbuhan ekonomi masyarakat lebih lambat, hal ini nampak dari rendahnya proporsi persentase pertumbuhan volume produksi terhadap volume perdagangan dari semua komoditi andalan yang dihasilkan yaitu dari setiap pertumbuhan volume produksi sebesar 1,46%, akan mempunyai peluang untuk dapat diperdagangkan sebesar 2,67%, dimana peluang terjualnya suatu komoditi merupakan gambaran penerimaan masyarakat Nampak bahwa terjadi perbedaan pertumbuhan ekonomi di kedua kawasan perdesaan yang disebabkan oleh perbedaan peluang perdagangan sebagai akibat dari keadaan kondisi prasarana transportasi jalan.
Hasil survei pendahuluan di Kecamatan X dan X Kabupaten X sebagai lokasi pelaksanaan Program Pengembangan Kecamatan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan untuk menggerakkan perekonomian di kedua kecamatan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan penduduk.
Kecamatan X mempunyai penduduk dengan mata pencaharian terbesar adalah petani dan nelayan, sehingga dana bantuan melalui progam PKK digunakan untuk menunjang peningkatan kegiatan ekonomi para nelayan seperti: peningkatan sarana dan prasarana irigasi dan peralatan penangkap ikan, sedangkan di Kecamatan X sebagian masyarakat mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian dan buruh, sehingga dana yang bersumber dari program PPK dikembangkan untuk menunjang peningkatan kegiatan ekonomi pertanian dan buruh.
1.2. Rumusan Masalah
Bertitik tolak latar belakang diatas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Berapa besar dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana sosial dasar terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
2. Berapa besar dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
3. Berapa besar dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan lapangan kerja terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini:
1. Untuk mengetahui dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana sosial dasar terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan sarana ekonomi terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui dampak Program Pengembangan Kecamatan (PPK) melalui penyediaan lapangan kerja terhadap pengentasan kemiskinan di Kabupaten X.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai :
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam evaluasi Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di Kabupaten X.
2. Bahan perbandingan bagi peneliti lain.