Search This Blog

Tesis Respons Kultural Dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan Di Kota X

(Kode STUDPEMBX0016) : Tesis Respons Kultural Dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan Di Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak pemerintah kolonial Belanda berupaya membuka areal perkebunan di tanah Deli dan sekitarnya, yang dipelopori oleh Jacob Nienhuys pada tahun 1863 dengan menyewa tanah seluas 4.000 bau dari Sultan Mahmud untuk jangka waktu selama 20 tahun (O’Malley, 1983:30-49). Kemudian areal ditambah lagi seluas 26.000 bau, pada tahun 1869 dengan tenaga kerja sebanyak 1.525 orang, yang kebanyakan didatangkan dari Cina. Sehingga daerah ini menjadi ramai dan terkenal (Said, 1990). Dikalangan para investor lain pun banyak yang tertarik perhatiannya untuk datang ke tanah Deli. Tanaman kebun yang terpenting dan sangat dikenal pada waktu itu adalah tembakau. Daun tembakau yang dihasilkan dari daerah ini merupakan daun tembakau yang mutunya dianggap terbaik. Sebab, daun tembakau dari tanah Deli ini dapat dijadikan sebagai bahan baku pembalut cerutu dan dikenal sebagai “tembakau Deli” (Sinar, 1994: 25). “Tembakau Deli pada akhir abad ke-19 dan ketiga dasawarsa pertama dari abad ke20 menjadi suatu komoditi ekspor yang amat penting dan yang menjadi sangat terkenal di pasaran dunia” (Koentjaraningrat, 1982: 246).
Untuk pusat kegiatan administrasi perkatoran perkebunan, pada mulanya Jacob Nienhuys memusatkannya di kampung Labuhan, pusat perkantoran itu dinamakan Deli Maatschappij (Deli Mij). Karena kampung Labuhan mudah dilanda banjir bila dimusim penghujan, maka pusat perkantoran perkebunan dipindahkan di kampung X pada tahun 1869. Lambat-laun kampung X akhirannya lebih dikenal dengan sebutan X saja.
Sejak adanya pusat perkantoran perkebunan tembakau inilah, ramai orang-orang berdatangan. Ternyata mereka tidak hanya melakukan aktivitas berbisnis saja, tetapi juga membuat daerah ini sebagai tempat-tempat pemukiman. Berangsur-angsur semakin banyaklah kelompok-kelompok pemukiman dan akhirnya tumbuh menjadi perkampungan-perkampungan baru, seperti: kampung Petisah Hulu, kampung Petisah Hilir, kampung Sungai Rengas, kampung Aur, kampung Keling, kampung Baru dan lain sebagainya. Masing-masing wilayah kampung biasanya dipimpin oleh seorang Kepala kampung. Bangunan kantor-kantor yang lainnya pun didirikan, seperti bangunan emplasmen stasiun kereta-api yang dinamai Deli Spoorweg Maatschappij pada tahun 1883,1 bangunan hotel—Grand Hotel—pada tahun 1884. Bangunan bank—Javasche Bank—pada tahun 1909.2 Bangunan pertokoan di sekitarnya yang disebut Kesawan. Bangunan Kantor Pos pada tahun 1909. Bangunan gedung bioskop, dan berbagai sarana umum lainnya (Passchier, 1995: 56).
Perubahan dan kemajuan zaman tak bisa dibendung, X telah menjadi sebuah kota yang semakin besar dan semakin ramai. Gedung-gedung, sarana jalan dan kantor-kantor, beserta toko-toko tempat perbelanjaan, semakin banyak menghiasi kota X. X terus berkembang cepat dengan mengalirnya para pendatang yang berasal dari berbagai wilayah, juga dari India, Pakistan, Cina, dan Eropa. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memberikan status pemerintahan yang otonom untuk wilayah X pada tanggal 4 April 1918. Sejak saat itulah X menjadi sebuah kota yang sepenuhnya berada dalam pengelolaan pemerintahan kotapraja. Untuk menambah prasarana dan sarana perkotaan, pemerintah menambah lagi jaringan jalan-jalan baru, membangun berbagai gedung, jembatan, rumah sakit, saluran pipa air minum, fasilitas jaringan listerik, dan lain-lain sebagainya. Perkembangan kota X yang demikian pesatnya, sehingga dirasakan oleh orang-orang dari Eropa sebagai “Parijs van Sumatera” pada awal abad ke-18 (Breman, 1997).
Kalau dahulunya kota X, hanyalah sebuah perkampungan kecil saja di tanah Deli, dan hanya berfungsi sebagai lokasi tempat pemukiman penduduk asli setempat (suku-bangsa Melayu), yaitu kampung X. Letak kampung X ini dahulu berada di pertemuan antara delta sungai Deli dan delta sungai Babura, yakni sekitar 10 km di sebelah Selatan kampung Labuhan. Namun kini wilayah kampung X sudah berubah menjadi kota X, menjadi mekar dan menjadi lebih luas. X berkembang menjadi sebuah kota yang besar, bukan disebabkan oleh kegiatan perdagangan, tetapi justeru dipicu oleh pengaruh bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya.
Berbeda dengan kota-kota di Indonesia yang lainnya, yang pada umumnya timbul sebuah kota pra-sejarah bermula disebabkan oleh pusat-pusat istana, seperti: Gianyar dan Klungkung di Bali, Yogya dan Solo di Jawa Tengah; atau pusat keagamaan, seperti: kota Gede dekat Yogyakarta; dan pelabuhan, seperti: Banten, Demak, Gresik, dan Ujung Pandang (Koentjaraningrat, 1982: 251)). Kota X merupakan kota bentukkan baru, yang bermula sebagai pusat administarai yang timbul berkat pengaruh kolonial Belanda guna penyaluran investasi ke daerah ini. Proses perkotaan di sini disebabkan oleh perkembangan di bidang demografi, pertambahan penduduk yang besar dengan mendatangkan para migran untuk pengelolaan perkebunan (Nas, 1979: 97-98).
Pada saat ini perluasan kota X sudah sampai pada daerah-daerah di sekitarnya. X sedang menuju menjadi sebuah kota metropolitan yang terletak di wilayah bagian Barat Indonesia dan dikenal sebagai daerah MMA (Sirojuzilam, 2005). Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota X dipercepat lagi oleh pengaruh kemajuan teknologi, yakni: transportasi, telekomunikasi, dan travel/tourism. X kini bukan hanya perkampungan kecil dan bekas pusat perkebunan, tetapi juga telah menjadi kota industri dan perdagangan yang bertaraf internasional. X merupakan salah satu dari lima kota di Indonesia yang berprioritas menuju kota metropolitan, selain Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang (Wahid, dkk., 2005: 7-8). Kendatipun perkembangan kota X telah dipicu bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya, namun pertumbuhan dan perkembangannya yang demikian pesat, tidaklah terlepas dari proses sejarah dan peristiwa kultural kehidupan masyarakatnya sendiri. “Orang tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat juga turut mempengaruhi dan menentukan perkembangan kota-kota” (Menno, 1992: 13)
Proses sejarah dan peristiwa kultural diantaranya, yang dapat diduga menjadi salah satu faktor pendorong lajunya pertumbuhan dan perkembangan di kota X, tidaklah luput dari upaya kreativitas warga masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di X. Kedatangan mereka ke tanah Deli—khususnya di X dengan jumlah yang relatif cukup besar—adalah upaya Jacob Nienhuys. Pada mulanya mereka didatangkan untuk menjadi kuli di perkebunan yang ada di sekitarnya. Gelombang pertama di datangkan dari Singapura, sebanyak 300 orang menurut catatan yang terdaftar dibagian arsip kedatangan di pelabuhan Belawan, kemudian menyusul sebanyak 100 orang lagi. Sebagian besar orang-orang Tionghoa yang didatangkan ke daerah ini berasal dari Penang, yang dahulunya adalah orang Tionghoa yang berasal dari suku Teo Chiu (dari propinsi Kwantung, Cina Selatan). Mereka dikumpulkan oleh broker-broker (Keh tau), dan sekaligus merupakan kepala gerombolan Kongsi Toh Pe Kong yang ada di sana (Sinar, 1994:58). Ada pula yang langsung didatangkan dari daratan Cina bagian Selatan yaitu dari Propinsi Fukien dan Kwantung. Jumlah mereka, pada tahun 1874, sudah mencapai 4.476 orang, dan dalam tahun 1890 meningkat menjadi 53.806 orang. Selanjutnya pada tahun 1900 jumlah mereka sudah sebanyak 58.516 orang. Namun dalam proses perkembangan selanjutnya, kedatangan orang-orang Tionghoa ini tidak hanya sebagai kuli saja, tetapi ada juga yang melakukan aktivitas untuk perniagaan. Menurut sensus pada tahun 1920, migran Tionghoa jumlahnya sudah mencapai 121.716 orang, yang terdiri dari 92.985 orang pria dan hanya 18.731 orang saja yang wanita (Vleming Jr, 1989:185).
Dapat diperkirakan tidak sedikit diantara warga penduduk asli pribumi lainnya di kota X, yang kebutuhan hidupnya juga sangat bergantung pada kesuksesan bisnis orang Tionghoa ini. Warga penduduk asli pribumi ada yang menjadi pekerja sebagai karyawan/karyawati di pabrik-pabrik milik pengusaha Tionghoa, bahkan ada pula yang menjadi pekerja sebagai pelayan di pertokoan maupun sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah keluarga orang-orang Tionghoa. Secara tidak disadari keberhasilan masyarakat Tionghoa di kota X dalam merespons pembangunan telah menimbulkan sebuah rangkaian rantai pekerjaan baru bagi penduduk X yang lainnya. Keberadaan dan keberhasilan mereka di kota X tidaklah sedikit membuat motivasi yang kuat terhadap masyarakat non-Tionghoa yang lainnya, sehingga tanpa disadari sudah menjadi suatu masyarakat yang kreatif (a creative society) dalam membangun kota X itu sendiri.
Namun di sisi lain dengan adanya “dominasi-ekonomi” orang-orang Tionghoa terhadap jaringan-jaringan perdagangan di kota X, yang telah memberikan keuntungan yang besar bagi mereka, dan sulit untuk diterobos, ternyata hal ini memberikan kesan yang bersifat ekslusif. Kenyataan semacam itu, menjadi pemicu pula terhadap peristiwa-peristiwa rasialis yang cukup serius. Terbukti dengan adanya sejumlah tindakan-tindakan kekerasan, bentrokan-bentrokan fisik, serta serangkaian tindakan ekstrim lainnya. Peristiwa ini tidak hanya pernah terjadi di kota X saja tetapi hampir semua kota di Indonesia. Sebagai contoh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai berikut (Husodo: 1985, hal.42):
* Kegiatan anti Tionghoa pada tahun 1911, pada masa sekitar berdirinya Sarekat Dagang Islam untuk menandingi penguasaan ekonomi oleh orang-orang Tionghoa.
* Pada masa-masa revolusi kemerdekaan, telah timbul di beberapa tempat, akibat adanya kesan bahwa di antara golongan non-pribumi Tionghoa telah ikut membantu penjajahan Belanda.
* 10 Mei 1963 di Jawa Barat, serangkaian peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dibeberapa kota mulai dari kota Cirebon, menjalar ke kota-kota lain di Jawa Barat, Jawa Timur dan berakhir di Yogya pada tanggal 21-22 Mei 1963.
* Peristiwa Aceh tahun 1966.
* 5 Agustus 1973 di Bandung.7
* November 1980 di Solo-Semarang dan sekitarnya yang bermula di Solo dan seminggu kemudian nyaris menjalar ke kota-kota di Jawa Timur.
* Peristiwa di Tanjung Periok pada tahun 1984.
* Puncaknya, pada tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
Penyebab kerusuhan yang terjadi sebagian besar adalah berkisar pada masalah ekonomi. Golongan pribumi merasa pemerataan kegiatan usaha di bidang ekonomi belum diperolehnya. Sedangkan golongan orang-orang Tionghoa dianggap telah menguasai perekonomian. Oleh karena itu golongan pribumi (non-Tionghoa) menganggap, kehidupan orang-orang Tionghoa bisa menjadi lebih kaya dari pada golongan pribumi. Kecemburuan sosial tersebut dijadikan alasan kemarahan kaum pribumi terhadap golongan non-pribumi keturunan Tionghoa ini. Sasaran-sasaran dari kemarahan kaum pribumi adalah pusat-pusat perdagangan dan pertokoan, yang sebagian besar dikuasai oleh golongan masyarakat Tionghoa, ataupun tempat-tempat tinggal yang sejak dari dahulu sudah merupakan tempat-tempat bermukimnya orang-orang Tionghoa secara eksklusif (Husodo: 1985, hal. 43).
Menurut hasil penelitian yang di lakukan oleh Haida Jasin dan Alan W. Smith pada tahun 1976, di X, dijelaskan bahwa: orang-orang Tionghoa yang jumlahnya hanya 8% dari jumlah penduduk di kota X, namun mereka dapat menguasai 58% sektor perekonomian daerah ini. Sedangkan penduduk pribumi yang jumlahnya mencapai 84% dari jumlah penduduk di kota X, hanya 40% saja yang dapat bergerak di sektor ekonomi (Jasin, 1978: 165-173). Demikian pula pendapat Usman Pelly; di kota X masyarakat Tionghoa merupakan kelompok yang penting dan berarti, terutama karena dapat menguasai kehidupan disektor ekonomi, baik perdagangan maupun industri tingkat menengah dan atas (Pelly, 1983:6). Pemukiman etnis Tionghoa pada umumnya berada di kawasan elite strategis dan bergengsi (Bergerak, 1994: 4)

1.2. Perumusan Masalah.
Pengalaman kultural dan struktural yang dimiliki masyarakat Tionghoa di X merupakan sumber pembelajaran bagi mereka, yang telah membentuk pandangan teleologis dalam hidupnya. Pandangan teleologis itu sendiri merupakan daya pendorong ataupun faktor penyebab untuk bertindak hidup dengan berprinsip hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Yang menjadi masalah dan hal yang perlu diungkapkan dalam penelitian ini adalah, apa dan bagaimana pandangan teleologis atau futurologis mereka itu dalam menghadapi kehidupan ini ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini berupaya mengkaji pandangan teleologis yang dimiliki masyarakat Tionghoa X dalam rangka merespons fenomena kehidupan yang mungkin ada dan terjadi di kota X. Peristiwa-peristiwa apa atau perobahan-perobahan apa yang bakal ada dan terjadi di kota X. Bagaimana mereka membuat prediksi, bereaksi, membuat strategi, berprinsip dan sekaligus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dan bakal terjadi tersebut. Secara rinci ada tiga hal yang ingin dikaji dalam penelitian ini:
1. Kemungkinan-kemungkinan apa, yang ada dan bakal terjadi dalam kehidupan di kota X
2. Bidang usaha apa kiranya, yang dianggap mempunyai peluang keberhasilan/keuntungan yang cukup besar nantinya.
3. Persiapan-persiapan yang bagaimana harus dilakukan untuk menghadapi hal tersebut.
Ke-piawai-an semacam itu sungguh suatu pelajaran yang tak terhingga nilainya. Mana kala potensi pengalaman hidup berbudaya semacam itu dapat terungkap dan terbukti dalam penelitian ini, dapatlah dipetik untuk dijadikan pelajaran bagi masyarakat yang lainnya. Dengan kata lain, belajar dari pengalaman budaya orang lain dalam merespons kehidupan yang berupa pandangan teleologis, tidaklah mengurangi nilai dan makna kehidupan itu sendiri. Bahkan dapat dijadikan sebagai alat untuk mengkoreksi, introspeksi, dan mengevaluasi diri terhadap kekurangan-kekurangan maupun kelemahan-kelemahan yang kita miliki selama ini. Nilai-nilai budaya yang tidak lagi relevan dalam membuat pandangan teleologis atau memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang ada dan yang bakal terjadi, seperti perobahan-perobahan, peristiwa-peristiwa yang mungkin timbul, sebaiknya diperbaiki. Pada gilirannya nanti, selain dapat memperkaya khazanah nilai-nilai budaya yang selama ini sudah kita dimiliki, juga dapat memperkecil kesenjangan-kesenjangan sosial yang sering kali, justeru menimbulkan kecemburuan sosial di antara sesama warga di dalam masyarakat.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »