Search This Blog

TESIS KONTRIBUSI BUDAYA MASYARAKAT DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SOSIAL SISWA DI SMAN X

TESIS KONTRIBUSI BUDAYA MASYARAKAT DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SOSIAL SISWA DI SMAN X


(KODE : PASCSARJ-0163) : TESIS KONTRIBUSI BUDAYA MASYARAKAT DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SOSIAL SISWA DI SMAN X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya pendidikan berperan untuk meningkatkan kualitas manusia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, mandiri, maju, kreatif, trampil, bertanggung jawab, produktif serta sehat jasmani dan rohani, sehingga mampu menghadapi segala pembahan era globalisasi yang menuntut kesiapan sumber daya manusia bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga harus mampu sebagai pelaku. Konsekuensi dari masuknya budaya asing, pelaku bisnis, politik, ekonomi, dan sebagainya, bahkan nilai-nilai budaya asing, seperti perilaku free sex, pergaulan bebas tanpa batas dan bertolak belakang dengan budaya bangsa Indonesia, yang mampu menggeser budaya bangsa Indonesia. Untuk itu, yang mampu menghadapi masalah dan perubahan zaman adalah pemahaman budaya masyarakat perlu ditanamkan pada siswa sehingga mampu memilah dan memilih yang terbaik untuk menentukan sikap perilaku yang terbaik bagi diri sendiri dan bangsa Indonesia.
Kegiatan interaksi belajar mengajar harus selalu ditingkatkan efektifitas dan efisiensinya. Dengan banyakya kegiatan pendidikan di sekolah, dalam usaha meningkatkan mutu dan frekuensi isi pembelajaran, maka sangat menyita waktu siswa untuk mengatasi keadaan tersebut, guru perlu memberikan tugas-tugas di luar jam pelajaran. Disebabkan bila hanya menggunakan seluruh jam pelajaran. Disebabkan bila hanya menggunakan seluruh jam pembelajaran yang ada untuk tiap mata pelajaran hal itu tidak akan mencukupi tuntutan di dalam kurikulum. Dengan demikian perlu diberikan tugas-tugas, sebagai selingan untuk variasi teknik penyajian ataupun dapat berupa pekerjaan nimah. Tugas semacam itu dapat dikerjakan di luar jam pelajaran, di rumah maupun sebelum pulang, dan atau kegiatan ekstrakurikuler, sehingga dapat dikerjakan bersama temannya.
Seperti yang berlangsung pada kegiatan ekstrakurikuler yang berupa seni budaya yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian, menanamkan kesadaran, dan membina mental siswa serta menumbuhkembangkan sikap perilaku siswa agar sanggup menerima, memahami, dan mengerti tentang kebudayaan, baik budaya tradisional, budaya masyarakat maupun budaya asing yang bersifat selektif.
Apakah budaya ? Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang telah ditanyakan dan dicari jawabnya sejak era Ibnu Khaldun sampai saat ini. Seolah-olah jawaban atas pertanyaan itu tidak pernah ada, atau mungkin ketika ditemukan jawabannya oleh seseorang, maka yang didefinisikan itu (budaya) lantas berubah. Oleh karenanya orang tak pernah sampai pada keputusan final yang disepakati oleh semua orang. Apalagi budaya dilihat dari kacamata berlainan tergantung yang melihatnya. Alhasil konsep budaya berbeda-beda tergantung siapa yang mendefinisikan konsep tersebut. Dalam buku-buku pengantar antropologi selalu disebutkan hasil temuan Kroeber & Kluckhon yang mengidentifikasi definisi budaya. Mereka mencatat sekurang-kurangnya terdapat 169 definisi berbeda. Hal itu menunjukkan betapa beragamnya sudut pandang yang digunakan untuk melihat budaya. Masing-masing disiplin ilmu memiliki sudut pandangnya sendiri. Bahkan di dalam satu disiplin ilmu terdapat perbedaan karena pendekatan yang digunakan berbeda. Dalam disiplin ilmu psikologi misalnya, mungkin saja mereka yang tertarik dengan persoalan emosi akan mendefinisikan berbeda dengan mereka yang tertarik pada persoalan kesehatan mental (Mendatu, 2007. "Apakah Budaya". www.psikologi.omline.co.id.)
Kemampuan beradaptasi atau penyesuaian diri merupakan bentuk perilaku pada umumnya yang didasarkan atas keseimbangan kemampuan akal (kognisi) dan kemampuan rasa (afeksi), dan psikomotor, karena manusia tidak hanya memiliki otak tetapi juga mempunyai emosi dan keterampilan, baik keterampilan berkomunikasi maupun keterampilan fisik jasmaniah. Oleh karena itu, kesadaran terhadap perbedaan daya pikir, emosi, dan keterampilan manusia merupakan aspek penting keberhasilan penyesuaian diri. Mengingat manusia tidak hanya berperilaku atas dasar kemampuan akal semata, tetapi juga didasarkan pada kemampuan rasa, yakni kemampuan menilai perasaan kepuasan diri sendiri dan orang lain dalam masa perkembangan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.
Keseimbangan antara komponen kognisi, afeksi, dan psikomotor mutlak diperlukan. Seseorang yang terlalu mengagungkan kecerdasan akalnya tanpa diimbangi dengan kemampuan emosional atau sikap, dan psikomotor diprediksikan bahwa dia akan dapat mengalami kegagalan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kecakapan emosi bukan berarti memanjakan perasaan dan mengistimewakan sikap, dalam arti memuaskan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain, tetapi mengelola perasaan, sikap, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama.

B. Identifikasi Masalah
Kemampuan beradaptasi atau penyesuaian diri merupakan bentuk perilaku pada umumnya yang didasarkan atas keseimbangan kemampuan akal (kognisi) dan kemampuan rasa (afeksi), dan psikomotor, karena manusia tidak hanya memiliki otak tetapi juga mempunyai emosi dan keterampilan, baik keterampilan berkomunikasi maupun keterampilan fisik jasmaniah.
Perbedaan daya pikir, emosi, dan keterampilan manusia merupakan aspek penting keberhasilan penyesuaian diri. Mengingat manusia tidak hanya berperilaku atas dasar kemampuan akal semata, tetapi juga didasarkan pada kemampuan rasa, yakni kemampuan menilai perasaan kepuasan diri sendiri dan orang lain dalam masa perkembangan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Keseimbangan antara komponen kognisi, afeksi, dan psikomotor mutlak diperlukan.
Seseorang yang mengagungkan kecerdasan akalnya tanpa diimbangi dengan kemampuan emosional/sikap, dan psikomotor diprediksikan dia akan dapat mengalami kegagalan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kecakapan emosi bukan berarti memanjakan perasaan dan mengistimewakan sikap, dalam arti memuaskan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain, tetapi mengelola perasaan, sikap, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga secara tepat memungkinkan bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama.
Aktivitas bebajar siswa, baik yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah, rumah atau tempat lain, senantiasa perlu memperhatikan kemampuan beradaptasinya, sehingga diperoleh hasil belajar yang optimal, yaitu menguasai mated yang dipelajari dan mampu berprestasi dengan baik.

C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada masalah budaya masyarakat, pergaulan teman sebaya, dan perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X.

D. Rumusan Masalah
1. Adakah kontribusi budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ?
2. Adakah kontribusi budaya masyarakat terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ?
3. Adakah kontribusi pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ?

E. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan tentang budaya masyarakat, pergaulan teman sebaya, dan perilaku sosial siswa. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini ingin mendeskripsikan tentang kontribusi budaya masyarakat terhadap perilaku sosial siswa, kontribusi pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa, dan kontribusi budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dapat digunakan sebagai referensi dan penelitian berikutnya yang sejenis.
2. Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis bagi siswa, memberikan informasi arti pentingnya budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X, bagi masyarakat, memberikan masukan bahwa budaya masyarakat dapat membentuk perilaku sosial dan membangun nilai-nilai pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X.

TESIS KINERJA KEPALA SEKOLAH SMAN X DLM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

TESIS KINERJA KEPALA SEKOLAH SMAN X DLM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


(KODE : PASCSARJ-0162) : TESIS KINERJA KEPALA SEKOLAH SMAN X DLM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanana undang-undang tersebut. Peraturan Pemerintah yang telah dikeluarkan dan harus segera dilaksanakan penyesuaian-penyesuaian aturan dibawahnya adalah Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan mengatur tentang stndar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, stadar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Dalam aturan tersebut ditetapkan pula kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan/akademik yang berlaku dalam satu tahun pelajaran.
Sejatinya, sekolah adalah sebuah masyarakat kecil (mini society) yang menjadi wahana pengembangan siswa. Aktifitas didalamnya adalah proses pelayanan jasa. Murid datang ke sekolah untuk mendapatkan pelayanan, sementara kepala sekolah, guru dan tenaga lain adalah para profesional yang terus menerus berinovasi memberikan pelayanan yang terbaik untuk kemajuan sekolah.
Mengembangkan model pembaharuan adalah tugas yang sulit karena proses pembaharuan adalah usaha yang multidimensional. Tidak ada satu model pun yang dapat menjelaskan dengan sempurna betapa rumitnya pengembangan sekolah. Yang akan diusulkan oleh para konsultan adalah kerangka kerja yang memberi pedoman pada proses pembaharua. Dalam mengkaji-ulang data pada model "pengembangan sekolah" yang telah dipilih, dua proses utama telah diidentifikasi. Pertama, keinginan kepala sekolah untuk meningkatkan intensitas komunikasi di antara para pemegang peran merupakan alat untuk mengundang mereka untuk menjadi mitra dalam transformasi sekolah. Kesadaran yang lebih tinggi tentang berbagai masalah dan pandangan para pemegang peran dapat menciptakan peluang untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh sekolah dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan. Kedua, dalam menggambarkan tanggung jawab pengambilan-keputusan oleh para pemegang peran mengakibatkan pemecahan masalah yang lebih cepat dan membebaskan kepala sekolah untuk berfungsi sebagai fasilitator dalam pengembangan sekolah. Kedua proses tersebut menyebabkan adanya tanggung jawab yang lebih besar bagi para pemegang peran. Hal ini meningkatkan motivasi dan jati diri para pemegang peran. Pemegang peran menggunakan berbagai istilah, misalnya kemitraan dan suasana kekeluargaan untuk menggambarkan adanya hubungan yang baru di sekolah (Depdiknas. 2007. "Model Pembaharuan pada Sekolah Menengah Umum : Pengalaman Indonesia"). (www.school.development.com).
Sebagaimana sekolah dipahami sebagai suatu organisasi, kepemimpinan dan manajemen menjadi menarik untuk diperdebatkan. Sebagai suatu organisasi, sekolah memerlukan tidak hanya seorang manajer untuk mengelola sumberdaya sekolah, yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan administratif lainnya, melainkan juga memerlukan pemimpin yang mampu menciptakan sebuah visi dan mengilhami staf dan semua komponen individu yang terkait dengan sekolah. Wacana ini mengimplikasikan bahwa baik pemimpin maupun manajer diperlukan dalam pengelolaan sekolah.
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi (Dharma, 2003. "Manajemen Berbasis Sekolah". www.depdiknas.go.id).
MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka pada papan sekolah. Keterbukaan ini telah meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan kenaikan sumbangan orang tua untuk menunjang dan meningkatkan pemberdayaan mutu pendidikan sekolah.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di tingkat yang paling operasional, yaitu sekolah

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian
Era desentralisasi seperti saat ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, praksis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun kepentingan nasional. Manajemen sekolah saat ini memiliki kecenderungan ke arah school based management (manajemen berbasis sekolah/MBS).
Segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional adalah sebagai berikut : (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan. Dalam era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung. Beberapa fenomena pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita sebutkan, antara lain, sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan NEM (nilai ebtanas murni) secara instruktif. Keadaan ini berakibat pada terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses pembaruan dan inovasi. (Suyanto, 2007. "Kepemimpinan Kepala Sekolah". www.diknas.go.id ) Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru ?
2. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam pengelolaan sarana prasarana ?
3. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam hal pengelolaan dana pendidikan ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan tentang kinerja kepala sekolah dalam manajemen berbasis sekolah, dan tujuan khusus ingin mendiskripsikan kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru. pengelolaan sarana prasarana, dan pengelolaan dana pendidikan.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dapat digunakan sebagai referensi dan pengembangan penelitian berikutnya yang sejenis. Sedangkan manfaat praktis, bagi kepala sekolah, dapat meningkatkan kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru. pengelolaan sarana prasarana, dan pengelolaan dana pendidikan.

TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF

TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF


(KODE : PASCSARJ-0161) : TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF (PROGRAM STUDI : ILMU KOMUNIKASI)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana demokrasi yang menjadi ajang bagi kedaulatan rakyat. Dalam negara demokratis, pemilu yang notabene merupakan cerminan suara rakyat menjadi penentu bagi keberlangsungan sebuah negara untuk menentukan nasib dan tujuan sebuah bangsa. Suara-suara inilah yang akan diwadahi oleh partai politik-partai politik yang mengikuti pemilu menjadi wujud wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilihan Umum menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada tahun 2009 bangsa Indonesia telah mengadakan pemilihan umum untuk kesepuluh kalinya. Pelaksanaan pemilu secara periodik menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem negara demokrasi. Sejak Pemilihan Umum tahun 1999 Indonesia telah dianggap sebagai negara terbesar ketiga yang menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis. Pemilihan umum ini menjadi wahana aspirasi politik rakyat Indonesia yang digelar setiap lima tahun sekali, sebagai amanat dari Undang-Undang Dasar 1945. Pemilu juga menjadi ajang paling massif, bebas, dan adil untuk menentukan partai dan tokoh yang berhak mewakili rakyat. Dalam sistem perwakilan, tak ada cara lain yang paling absah untuk memilih para wakil rakyat kecuali melalui pemilu.
Pemilihan umum legislatif tahun 2009 di ikuti oleh 38 partai politik yang lolos seleksi verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditambah enam partai politik lokal di Aceh (www.kpu.go.id/index.php). Adanya banyak partai politik yang mengikuti pemilu 2009, sebagai konsekuensi sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia. Terdapatnya banyak partai politik juga berdampak pada ketatnya kompetisi antar partai politik dalam menggaet suara pemilih untuk memperebutkan kursi di parlemen. Keberhasilan sebuah partai politik dalam perolehan suara, membuktikan betapa besarnya dukungan dan kepercayaan rakyat terhadap partai politik tersebut.
Guna memenangkan kompetisi di ajang pemilu, para kontestan partai politik saling bersaing satu sama lain dengan menerapkan berbagai strategi komunikasi politik yang jitu. Tentu, komunikasi politik yang dilakukan oleh partai politik menyesuaikan dengan sistem politik yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, sistem politik mau tidak mau turut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komunikasi yang dilakukan oleh partai politik. Almond (1990 : 34) melihat bahwa komunikasi politik merupakan salah satu masukan yang menentukan bekerjanya semua fungsi dalam sistem politik. Komunikasi politik menyambungkan semua bagian dari sistem politik sehingga aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan.
Strategi komunikasi politik partai dalam menghadapi pemilu harus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada tentang pemilu, walaupun perumusan undang-undang itu sendiri sempat menjadi perdebatan panjang antar partai politik, karena terjadi tarik-menarik kepentingan, yaitu bagaimana undang-undang yang dibuat bisa menguntungkan partai politik tertentu. Untuk mengatur pelaksanaan pemilu tahun 2009, maka dibuatlah UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilanm Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pada dasarnya Undang-undang Pemilu tahun 2008 dengan Undang-undang Pemilu tahun 2003 mempunyai kesamaan arti, namun terdapat beberapa pasal yang berbeda isi. Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 107, ayat 2, menyebutkan :
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu Daerah Pemilihan, dengan ketentuan :
a. nama calon yang mencapai angka BPP ditetapkan sebagai calon terpilih;
b. nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah
pemilihan yang bersangkutan.
Isi pada UU Pemilu tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 107, ayat 2 di atas hampir sama dengan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 214, ayat 2 yang menyebutkan :
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan :
a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP;
b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP;
c. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;
d. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Perubahan isi pada UU Pemilu tahun 2008 muncul ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 214 huruf a.b.c.d.e. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dinyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, huruf, b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian penetapan calon legislatif untuk pemilu 2009 ditentukan dengan sistem suara terbanyak bukan berdasarkan nomor urut (Dumadi, 2009).
Perbedaan isi undang-undang pemilu tahun 2003 dan tahun 2008 (setelah keluarnya putusan MK) inilah yang diduga berimplikasi terhadap strategi komunikasi politik partai politik dalam menghadapi pemilu legislatif 2009. Dengan demikian masing-masing partai politik dalam strategi komunikasi politiknya cenderung mengalami perubahan dibanding pada pemilu 2004, karena harus menyesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang ada. Secara prinsip, sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu 2009 adalah sistem pemilu yang lebih demokratis berdasarkan kebutuhan peningkatan derajat keterwakilan dan geopolitik Indonesia.
Implikasi dari perbedaan isi UU Pemilu tahun 2003 dan tahun 2008 adalah ada dua hal. Pertama, UU Pemilu tahun 2003 berdampak pada aktifnya peran partai politik dalam berkampanye dan berkomunikasi politik dibandingkan calon anggota legislatifnya. Kedua, UU Pemilu tahun 2008 berimbas pada lebih aktifnya para calon anggota legislatif dalam kampanye dan berkomunikasi politik dibandingkan partai politik itu sendiri. Kenyataan inilah yang dapat dilihat dan ditemukan pada pemilu tahun 2009. Para calon anggota legislatif saling jor-joran menggelontorkan dana dan tenaga bahkan kelewat batas dalam beriklan dan berkampanye memperebutkan suara pemilih. Kondisi ini terjadi karena para calon anggota legislatif menyadari bahwa penetapan calon didasarkan para suara terbanyak bukan nomor urut, oleh sebab itu tidak bisa hanya mengandalkan pada partai politik dalam berkampanye.
Implikasi lain dari perbedaan isi Undang-undang Pemilu tahun 2003 dengan tahun 2008 adalah pola strategi penggunaan media oleh partai politik. Sebagaimana diketahui bahwa belanja iklan politik yang dilakukan oleh partai politik dan pemerintah tahun 2009 naik 100 persen, yaitu sebesar Rp. 800 milyar dibanding pada pemilu 2004 sebanyak Rp. 400 milyar (www.okezone.com). perbedaan inilah yang disinyalir bahwa sebuah Undang-undang dapat mempengaruhi terhadap keputusan partai politik dalam berkomunikasi melalui media dalam kampanye pemilihan umum.
Penggunaan media sangatlah penting dalam proses kampanye dan sosialisasi politik pada pemilu. Menurut Pawito (2009 : 91) "Dalam konteks politik modern, media massa bukan hanya menjadi bagian yang integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik." Dengan sifatnya yang massif, media massa menjadi kekuatan yang besar dalam menginformasikan pesan-pesan politik dari partai politik. Dengan karakter yang dimilikinya, media menjadi kekuatan yang bisa menyatukan isu dan opini di masyarakat dengan memberikah arah ke mana mereka harus harus berpihak dan prioritas-prioritas apa yang harus dilakukan. Dengan kemampuannya media dapat memberi semangat, menggerakkan perubahan, dan memobilisasi masyarakat untuk suatu tujuan.
Salah satu kontestan pada pemilu legislatif 2009 adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS merupakan partai dakwah yang berazaskan islam. Pada pemilu 1999 nama PKS adalah partai keadilan (PK) tetapi karena tidak memenuhi ambang batas 2% sebagai syarat mengikuti pemilu tahun 2004, maka partai Keadilan berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Kehadiran. PKS -bagi sebagian orang- telah memberi secercah harapan bagi rakyat Indonesia bahwa ada partai yang bermoral (bersih), anti korupsi, dan peduli pada rakyat. PKS juga dinilai mampu menumbuhkan kembali kepercayaan orang pada partai Islam. Indikatornya adalah meningkatnya jumlah konstituten mereka di Pemilu 2004 lalu (Irfan, 2004).
Hasil pemilu 2009 menunjukkan perolehan suara PKS 7.88% atau 8.206.955 suara. Perolehan suara pemilu 2009 ini bagi PKS relatif stabil atau ada kenaikan sedikit dibanding pada pemilu sebelumnya yaitu 7.34% secara Nasional (www.calegindonesia). Dan untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, PKS memperoleh 176,645 suara atau 7 kursi di DPRD Propinsi, dengan tingkat partisipasi pemilih sebanyak 72,95% dalam pemilu 2009 ((www.kpud-diyprov.go.id).
Perolehan suara partai secara Nasional ini menjadi alasan mengapa penelitian ini memilih PKS sebagai studi kasus penelitian tentang strategi komunikasi politik partai politik dalam pemilu legislatif 2009. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa, disaat suara Partai Demokrat naik secara tajam dan partai-partai besar lainnya cenderung mengalami penurunan seperti Partai Golkar, PDIP, PKB, dan PPP, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa stabil dengan mempertahan perolehan suaranya seperti pada pemilu 2004. Kenyataan ini juga menimbulkan pertanyaan yang memerlukan jawaban, kiranya strategi apa yang di pakai oleh PKS dalam pemilu legislatif 2009.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana penyikapan Partai Keadilan Sejahtera terhadap perubahan UU. No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD ?
2. Bagaimana strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera sesudah perubahan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD pada pemilu legislatif 2009 ?
3. Bagaimana penggunaan media oleh Partai Keadilan Sejahtera dalam kampanye pemilu legislatif 2009 ?
4. Apa dampak dari penerapan strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera terhadap perolehan suara partai pada pemilu legislatif 2009 ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan mendeskripsikan masalah strategi komunikasi politik partai politik dalam menghadapi pemilu 2009, dengan mengarahkan kajiannya pada :
1. Penyikapan Partai Keadilan Sejahtera terhadap perubahan UU. No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD ?
2. Strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera sesudah perubahan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD pada pemilu legislatif 2009 ?
3. Penggunaan media oleh Partai Keadilan Sejahtera dalam kampanye pemilu 2009.
4. Dampak dari penerapan strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera terhadap perolehan suara partai pada pemilu legislatif 2009.

D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan ilmu komunikasi, khususnya pada kajian komunikasi politik yang berkaitan dengan strategi komunikasi politik oleh partai politik dalam menghadapi pemilihan umum.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini juga diharapkan bisa bermanfaat sebagai informasi dan bahan masukan bagi para pengurus dan kader partai politik secara umum dan khususnya Partai Keadilan Sejahtera serta masyarakat luas dalam menentukan kebijakan dan strategi komunikasi pada pemilu-pemilu selanjutnya.

TESIS IMPLEMENTASI AKAD IJARAH PADA PEGADAIAN SYARIAH

TESIS IMPLEMENTASI AKAD IJARAH PADA PEGADAIAN SYARIAH


(KODE : PASCSARJ-0160) : TESIS IMPLEMENTASI AKAD IJARAH PADA PEGADAIAN SYARIAH (PROGRAM STUDI : HUKUM EKONOMI SYARIAH)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupan senantiasa berinteraksi antara satu dengan yang lain. Masing-masing individu saling bergantung satu sama lain dalam memenuhi hajat hidupnya. Tidak ada satu orang pun di dunia yang dapat hidup dengan sempurna tanpa jasa orang lain.
Dari sifat kehidupan manusia yang saling bergantung satu sama lain ini, muncullah berbagai problematika kehidupan baik yang meliputi aspek ritual maupun sosial. Problem kehidupan ini tentunya harus segera direspon dengan serangkaian garis-garis hukum yang mampu memecahkan setiap permasalahan yang timbul dalam kehidupan manusia.
Dalam menjawab pemasalahan yang timbul nampaknya peranan hukum lslam dalam konteks kekinian dan kemoderenan dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat dihindarkan. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan jaman membuat hukum Islam harus menampakkan sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik dan bisa memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.
Mendasarkan pada kemaslahatan tersebut maka Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk saling bantu membantu, yang kaya membantu yang miskin.
Bentuk saling membantu ini dapat berupa pemberian tanpa ada pengembalian dari yang diberi (karena berfungsi sosial), seperti infaq, zakat dan shodaqoh, ataupun berupa pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang memberi pinjaman minimal mengembalikan pokok pinjamannya. Syari'at Islam juga memerintahkan umatnya supaya saling tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk tolong menolong ini bisa berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman.
Dalam konteks pinjam-meminjam hukum Islam membolehkan baik melalui individu maupun melalui lembaga keuangan, Mengenai Pembiayaan didalam Hukum Islam, Kepentingan Kreditur sangat diperhatikan dan dijaga jangan sampai dirugikan. Oleh sebab itu, dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Dalam Dunia Finansiil barang itu dikenal dengan obyek jaminan (collateral) atau barang agunan. Konsep tersebut dalam fikih Islam dikenal dengan istilah rahn. Kontrak gadai yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan rahn sebenarnya bukan hal baru dalam praktek perekonomian. Kontrak gadai sudah ada dalam tradisi bangsa Arab sebelum Islam. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Sabiq bahwa : Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab, bahwa apabila orang yang menggadaikan barang tidak mampu melunasai utangnya maka barang gadai itu dikeluarkan dari miliknya.
Sampai Islam datang, ternyata perjanjian gadai masih berlaku, tentunya dengan batasan syarat dan rukun tertentu, bahkan mendapat legitimasi hukum sebagai perbuatan jaiz atau dibolehkan, baik menurut ketentuan al Qur'an, Sunnah maupun ijma' Ulama.
Dalam al Qur'an (QS al Baqoroh 283) disebutkan : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis. maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berepiutang) akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhan-nya ;dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang berdosa hatinya ; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 283).
Kalimat "Hendaklah ada barang tanggungan" dapat diartikan sebagai "gadai". Sedangkan dalam Sunnah Rasulullah SAW dapat ditemukan dalam ketentuan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Aisyah r.a. berkata :
Artinya : "Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau." (HR. Bukhori Muslim).
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur Ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih. Dalam Islam gadai mempunyai pengertian yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara' sebagai jaminan uang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang, atau bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu.
Menurut aturan dasar pegadaian, bahwa barang-barang yang dapat digadaikan di lembaga ini hanyalah berupa barang-barang bergerak padahal mempunyai berbagai resiko yang tinggi.
"Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Namun pada kcnyataannya dalam masyarakat konsep tersebut dinilai tidak adil. Dilihat dari segi komersial, yang meminjamkan uang merasa dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan berlarut-larut,sementara barang jaminan tidak laku."
Seiring dengan kemajuan zaman dan tuntutan masyarakat Muslim di Indonesia yang sangat merindukan bertransaksi berdasarkan prinsip -prinsip Islam dalam berbagai aspek termasuk di bidang Pegadaian, kemudian Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, Undang-undang memberikan peluang untuk diterapkan praktek perekonomian sesuai Syariah dibawah perlindungan hukum positif, sebagaimana termuat pada pasal 1 ayat 12 dan 13 :
"Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan dengan imbalan atau bagi hasil.
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara Bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudhorobah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyarokah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Murobahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (Ijarah), atau adanya pilihan pemindahan kepemilikan barang atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (Ijarah wa iqtina).
Berdasarkan Undang-undang tersebut kemudian terwujudlah lembaga keuangan syariah, pada awalnya Perbankan Syariah, Asuransi Syariah kemudian Pegadaian Syariah dan lain-lain, dari sekian banyak lembaga keuangan Syariah yang sudah mempunyai payung Hukum Positif adalah Perbankan Syariah, sedangkan lembaga keuangan syariah yang lainnya belum mempunyai payung hukum tersendiri, seperti Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah dan Pegadaian Syariah.
"Pegadaian Syariah adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang jasa keuangan non bank dengan kegiatan utama menyalurkan pinjaman kepada Masyarakat berdasarkan hukum gadai, fidusia dan usaha lain yang menguntungkan".
Pegadaian Syariah Cabang X beberapa produknya telah dibeli oleh masyarakat, nasabah di Pegadaian Syariah belum tentu orang Islam yang tau dan taat menjalankan Syariatnya bahkan non muslim boleh bertransaksi di Pegadaian Syariah, Pada bidang transaksi bisnis Agama bukan suatu keharusan non muslim boleh menundukkan diri pada Hukum Islam darisitulah tergambar Islam rohmatan HI alamin, mereka kebanyakan dari kalangan bawah yang amat sangat terpaksa kekurangan uang untuk kebutuhan hidup sehari hari sehingga tidak tau prinsip Syariah atau bukan Syariah yang penting datang bawa barang pulang bawa uang, lain lagi bagi kalangan menengah keatas, bukan karena kekurangan uang untuk kebutuhan sehari-hari, akan tetapi kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya sehingga mereka mengetahui ada pilihan yang tepat untuk mencari modal yang Islami.
Adapun landasan hukum operasional Pegadaian adalah diatur dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2000 yaitu :
a. Penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai.
b. Penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam mulia dan batu adi, unit toko emas, dan insutri perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan.
Disamping berdasarkan ketentuan tersebut di atas untuk penerapan prinsip Syariah. mendasarkan pada :
a. Pasal 1 ayat 12 dan 13 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 9 /DSN-MUI/IV/2000. Tentang Pembiayaan Ijarah
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor Nomor : 29/DSN-MUI/IV/2002. Tentang Rahn.
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murobahah
Pegadaian Syariah masih menggunakan kebijakan gadai konvensional, disisi lain harus menerapkan prinsip-prinsip syariah, dan pengawasannya secara kolektif dari pusat, hal yang demikian itulah yang menarik untuk dikaji dan dievaluasi secara kritis.
Lembaga tersebut mengklaim dirinya mengatasi masalah tanpa masalah, apakah hal itu betul atau justru tidak mengatasi masalah tetapi membuat masalah.
Pada zaman sekarang ini banyak bermunculan lembaga keuangan baik bank atau bukan bank yang yang mengklaim dirinya sebagai lembaga keuangan Syariah dan banyak juga yang hanya kulitnya saja tapi prakteknya tidak Syariah.
Perum Pegadaian Syariah Cabang X berdiri pada tahun 2004 dan mulai efektif bekerja melayani gadai yang sesuai Syariah, sampai sekarang sudah berusia lima tahun berjalan, perkembangan gadai syariah tersebut tidak sepesat Perbankan Syariah yang memang diminati banyak nasabah kelas menengah keatas, karena kesan gadai adalah hanya diminati oleh masyarakat kelas bawah yang bersifat konsumtif, hal ini terlihat dari produk yang ditawarkan oleh gadai Syariah X belum banyak karena peminatnya masih relatif didominasi oleh kalangan bawah yang dengan terpaksa lari ke Pegadaian karena kebutuhan yang mendesak, hal ini penulis ketahui ketika berada di Pegadaian dan mencoba wawancara dengan nasabah yang datang di Pegadaian Syariah. Sepintas yang menarik adalah Pegadaian mengatasi masalah tanpa masalah, hal ini terlihat dari kredit pinjaman yang ditawarkan oleh Pegadaian dengan garis batas minimal Rp. 20.000 sampai dengan Rp 150.000,- dengan proses yang amat sederhana dan cepat cukup dengan waktu lima belas menit uang sudah bisa diterima, dari sinilah sepintas benar-benar mengatasi masalah tanpa masalah, akan tetapi dari sisi lain yang terkait dengan sewa modal dan akad yang dibuat oleh nasabah dengan Pegadaian apakah tidak akan menimbulkan masalah, terkait dengan barang agunan yang tidak mempunyai setandar pasar yang pasti seperti barang-barang elektronik dan kendaraan bermotor, dari sinilah yang mendorong penulis untuk mengkaji hal-hal yang terkait dengan akad Rahn Ijarah di Pegadaian Syariah, apakah gadai Syariah menggunakan konsep Islami yang sesuai dengan al Qur'an dan al Hadits yang di Implemntasikan oleh Ulama Imam Mazhab dalam Kitab-kitab Fiqih, ataukah hanya sekedar merobah akad konvensional menjadi akad Syariah akan tetapi sistemnya tetap sama seperti konvensional.
Berdasarkan klaim Perum Pegadaian dan uraian tersebut diatas Penulis tertarik untuk meneliti dan mengevaluasi tentang Implementasi akad ijarah pada Pegadaian Syariah Cabang X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kajian ini hanya dibatasi pada masalah :
Apakah Implementasi akad ijarah pada Perum Pegadaian Syariah Cabang X sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan bagian pokok Ilmu Pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis dan praktis.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui sistem gadai dengan akad Ijarah pada Perum Pegadaian Syariah Cabang X.
2. Mengetahui sejauhmana penerapan prinsip Syariah pada akad Ijarah di Perum Pegadaian Syariah Cabang X.

D. Manfaat Penelitan
Dari hasil penelitian dapat diharapkan memberi manfaat penelitian sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi berbagai pihak, yang senantiasa antusias dengan sebuah sistem yang Islami, terutama sekali kepada segenap Penegak Hukum, Penasehat Hukum, Konsultan Hukum, Ekonom dan para Mahasiswa Fakultas Hukum untuk dapat memahami dan mendalami sistem ekonomi Syariah (di bidang Pegadaian) yang kini berkembang pesat.
2. Manfaat Praktis
Sebagai tambahan pengetahuan, sehingga masyarakat mengetahui tentang mekanisine aktivitas perjanjian gadai yang sesuai dengan prinsip Syariah, sehingga gadai Syariah menjadi pilihan utama bagi masyarakat Muslim khususnya di sekitar wilayah X dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk bertransaksi yang benar-benar Islami.

TESIS STRATEGI PENINGKATAN MOTIVASI KERJA APARATUR DLM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

TESIS STRATEGI PENINGKATAN MOTIVASI KERJA APARATUR DLM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN


(KODE : PASCSARJ-0159) : TESIS STRATEGI PENINGKATAN MOTIVASI KERJA APARATUR DLM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyelenggaraan pemerintahan kecamatan memerlukan adanya seorang pemimpin yang selalu mampu untuk menggerakkan bawahannya agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara berdayaguna dan berhasil guna. Keberhasilan pembangunan akan terlihat dari tingginya produktivitas, penduduk makmur dan sejahtera secara merata (Budiman, 1995 : 4). Kondisi seperti ini tentunya tidak terlepas dari peranan sumber daya manusia (Rachbini, 2002 : 198). Pendapat seperti tersebut di atas sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yang dalam penjelasannya menyatakan bahwa kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya pegawai negeri.
Kecamatan dilihat dari sistem pemerintahan Indonesia, merupakan ujung tombak dari pemerintahan daerah yang langsung berhadapan dengan masyarakat luas. Citra birokrasi pemerintahan secara keseluruhan akan banyak ditentukan oleh kinerja organisasi tersebut. Masyarakat perkotaan yang peradabannya sudah cukup maju, mempunyai kompleksitas permasalahan lebih tinggi dibandingkan pada masyarakat tradisional sehingga diperlukan aparatur pelayanan yang profesional.
Ketidaktergantungannya kepada alam menyebabkan masyarakat kota sangat menghargai waktu. Persaingan yang ketat dan tajam menuntut adanya kecepatan, ketepatan, serta kecermatan pengambilan keputusan. Masyarakat perkotaan pada umumnya berorientasi ke masa depan. Penjelasan ini sejalan seperti yang dikemukakan oleh Ndraha (1991 : 88) bahwa dalam masyarakat yang tak berdaya (powerless) bersifat nrimo atau dibuat seperti itu, tuntutan tidak setajam dan tekanan terhadap struktur supra pada sistem politik tidak seberat jika masyarakat peka, sensitive, aktif, responsif dan vokal.
Menghadapi kondisi pertama beban para pejabat lebih ringan dan tidak begitu pusing memikirkan distribusi nilai secara adil ke dalam masyarakat. Kondisi semacam ini secara teoritis dapat dijelaskan melalui konsep yang dikemukakan oleh Riggs (1985) dengan model masyarakat prismatic-nya. Masyarakat yang masih sederhana, berbagai fungsi masih memusat pada segelintir orang atau badan tertentu. Kemudian setelah melalui tahap perubahan, yang digambarkan seperti sinar yang memasuki kaca prisma, fungsi-fungsi tersebut akan memencar kearah spesialisasi.
Gambaran seperti tersebut di atas berkaitan dengan beban kerja yang harus dipikul oleh seorang pimpinan organisasi. Beban tugas yang besar harus dipikul oleh seorang pimpinan menurut Manila (1996 : 3) dapat diatasi dengan tiga hal yaitu penerapan asas staf umum, pendelegasian wewenang dan tanggungjawab serta penyelesaian melalui bantuan suatu tim. Adanya de-birokratisasi di Indonesia pada hakekatnya adalah untuk menjawab tantangan masyarakat yang sedang berubah. Konsep pelayanan one-stop service yang menghendaki adanya kejelasan prosedur, biaya maupun waktu menjadi dambaan semua kalangan masyarakat terutama kaum usahawan.
Semangat de-birokratisasi menyongsong era industrialisasi sudah mulai dijiwai oleh aparat pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun aparat pemerintah pusat yang ada di daerah. Tetapi semangat tersebut saja tidak cukup untuk mengatasi berbagai masalah manajerial yang masih melilit organisasi kecamatan dalam usaha mencapai tujuan organisasi secara berhasil guna dan berdaya guna. Padahal hasil capai organisasi di tingkat kecamatan sebagai sebagai subsistem, berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap hasil capai organisasi pemerintahan secara keseluruhan. Hal ini sejalan yang dikemukakan oleh Supriatna (1999 : 30) bahwa kualitas sumber daya manusia dan kualitas pemimpin khususnya merupakan faktor penentu sukses tidaknya organisasi atau usaha baik didunia bisnis maupun di dunia pendidikan, kesehatan, agama, sosial, politik, pemerintahan, dan menentukan keberhasilan lembaga atau organisasinya. Pemimpin harus mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi, dapat mengoreksi kelemahan, sanggup membawa organisasi kepada sasaran dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Kecamatan merupakan line office dari pemerintah daerah yang berhadapan langsung dengan masyarakat dan mempunyai tugas membina desa/kelurahan harus pula diselenggarakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Sebagai sebuah organisasi yang hidup dan melayani kehidupan masyarakat yang penuh dinamika, kecamatan mengalami banyak masalah sebagai organisasi administratif. Masalah yang dihadapi juga lebih banyak bersifat manajerial dibandingkan dengan masalah yang bersifat politik. Kompleksitas masalah yang dihadapi berkaitan erat dengan banyaknya jumlah penduduk yang dilayani, tingkat heterogenitasnya (asal usul, pendidikan, umur, kemapuan ekonomi) banyaknya desa/kelurahan bawahan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Wasistiono (1991 : 55) bahwa di tingkat kecamatan, camat adalah manajer puncak, oleh karena itu camat juga menjalankan keempat fungsi manajemen secara berimbang. Tanpa adanya dukungan pegawai yang memadai kualitas maupun kuantitasnya, maka camat akan lebih banyak menghabiskan waktu dan pemikirannya dibelakang meja menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis administratif. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa kunci keberhasilan organisasi terletak pada kinerja pegawai-pegawainya (Cushway dan Lodge, 1987 : 133).
Pelaksanaan pekerjaan oleh para pegawai di lingkungan organisasi pemerintahan kecamatan pada dasarnya berlangsung dalam kondisi pegawai sebagai manusia, suasana batin dan psikologis seorang pegawai sebagai individu dalam masyarakat organisasi yang menjadi lingkungan kerjanya sangat besar pengaruhnya pada pelaksanaan pekerjaannya. Suasana batin itu terlihat dalam semangat atau gairah kerja yang menghasilkan kegiatan kerja sebagai kontribusi bagi pencapaian tujuan organisasi tempatnya bekerja. Kenyataan menunjukkan bahwa dari segi psikologis, bergairah atau bersemangat dan sebaliknya tidak bergairah atau tidak bersemangat seorang pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh motivasi kerja yang mendorongnya. Berdasarkan hal tersebut di atas maka setiap aparatur pemerintah memerlukan motivasi yang kuat agar bersedia melaksanakan pekerjaan secara bersemangat, bergairah dan berdedikasi sehingga dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat, karena hubungan antara motivasi dan prestasi kerja menurut Armstrong (1988 : 75) adalah sesuatu yang positif, meningkatnya motivasi akan menghasilkan lebih banyak usaha dan prestasi kerja yang lebih baik. Prinsip tersebut tidak menutup kemungkinan kondisi bahwa dalam keadaan terpaksa seseorang mungkin saja melakukan sesuatu yang tidak disukainya.
Seiring dengan besarnya tuntutan akan penerapan good governance, tuntutan akan pelayanan publik yang berkualitas juga menjadi semakin besar. Pemerintah merespon tuntutan ini dengan menetapkan tahun 2004 sebagai tahun peningkatan pelayanan publik. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka meningkatkan pelayanan, seperti misalnya pelayanan prima dan standar pelayanan minimal. Akan tetapi perbaikan kualitas masih belum berjalan sebagaimana diharapkan.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah Kecamatan X dalam berbagai sektor pelayanan terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat (seperti pelayanan KK, KTP, UUG, IMB, Akta Kelahiran dan sebagainya) masih belum seperti yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat antara lain dari banyaknya pengaduan atau keluhan dari masyarakat dan dunia usaha, baik melalui surat pembaca maupun media, sebagaimana dimuat dalam pemberitaan AP Post terbitan 23 Maret 2005 yang mengungkapkan keluhan konsumen berupa keberatan terhadap biaya pengurusan KTP di Kecamatan X. Fakta lainnya adalah hasil Laporan Observasi Lapangan Diklatpim Tingkat IV Kabupaten Sambas Tahun 2005 yang menyimpulkan bahwa pengelolaan produk layanan penerbitan KTP oleh Kecamatan X tahun 2004 belum optimal, hal ini terbukti dari data 37.398 wajib KTP, hanya 7.796 atau 20,84% penduduk memiliki KTP. Selanjutnya pengelolaan layanan izin gangguan dan izin mendirikan bangunan juga belum optimal, hal ini terbukti dengan tidak terdapatnya data yang akurat tentang kepemilikan izin gangguan dan IMB oleh masyarakat yang memanfaatkan ruang publik untuk kegiatan usahanya.
Fenomena sebagaimana tersebut di atas, mengisyaratkan bahwa manajemen sebagai proses mendayagunakan orang lain untuk mencapai suatu tujuan, hanya akan berlangsung efektif dan efisien jika para pimpinan mampu memotivasi para bawahan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Organisasi pemerintahan perlu didukung oleh seorang pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan dengan menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang profesional, mempunyai strategi yang mampu menggerakkan dan memotivasi bawahan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Hal yang menarik dalam paradigma baru administrasi publik, dikembangkannya kepemimpinan visioner yaitu kepemimpinan organisasi publik yang menuntut visi, misi dan strategi untuk mampu bertindak simultan sebagai pemberi arah, agen pembaharuan, juru bicara dan pembimbing dalam rangka menyatukan, mengerakkan dan menciptakan iklim organisasi yang kondusif.
Kenyataan yang kita hadapi, pendekatan motivasi klasik masih seringkali dilakukan oleh pimpinan yaitu dengan mengatur sistem gaji dan promosi. Pendekatan ini perlu disadari bukan merupakan cara terbaik, karena kebutuhan pegawai sebagai manusia sangat komplek. Mereka bisa terdorong bekerja dengan semangat kalau memiliki pimpinan yang akomodatif, penuh kreatif, inovatif, memberikan kesempatan dalam perencanaan, pengembangan potensi diri, keadilan, memiliki teman-teman yang baik dimana mereka dihargai dan diperhitungkan sebagai bagian dari organisasi.
Fakta menunjukkan bahwa di instansi pemerintah pemenuhan kebutuhan tersebut di atas sering diabaikan oleh pimpinan dengan alasan belum ada anggaran atau panjangnya rantai birokrasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemenuhan akan kebutuhan pegawai baik materi maupun non materi belum menjadi skala prioritas, yang terpenting bagi organisasi dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Namun mereka belum sadar bahwa kunci keberhasilan organisasi tergantung dari sumber daya manusianya.
Hal tersebut di atas diperparah lagi dengan munculnya isu yang sangat popular di setiap organisasi publik yaitu menyebarnya gejela parkinson. Di Indonesia gejela ini dapat dilihat ketika para pejabat memasukkan anggota keluarganya, teman dekat, dan sebagainya sebagai hasil korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun beban kerja relatif tetap. Hal ini tentunya merugikan beban anggaran negara karena telah terjadi pemborosan yaitu mempekerjakan orang-orang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Berdasarkan data kepegawaian yang ada di Kecamatan X menunjukkan bahwa terdapat 34 orang pegawai yang berstatus PNS dan 3 orang yang berstatus pegawai honorer. Jumlah pegawai 37 orang dirasakan sudah lebih dari cukup untuk melayani masyarakat setiap harinya dengan kualitas yang prima.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dirasakan perlunya mengadakan kajian mengenai strategi memotivasi kerja pegawai. Beberapa hasil penelitian seperti yang dilakukan oleh Ma'rifah (2005) dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pekerja Sosial pada UPT Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur, dan penelitian yang dilakukan oleh Suwandi (2004) dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh Kejelasan Peran dan Motivasi Kerja terhadap Efektifitas Pelaksanaan Tugas Jabatan Kepala Sub Bagian di Lingkungan Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Timur, memfokuskan pada pengaruh motivasi terhadap kinerja dan pelaksanaan tugas pegawai. Penelitian tersebut di atas belum membahas strategi yang digunakan oleh pimpinan untuk motivasi kerja pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas penelitian ini dianggap sebagai upaya baru untuk mengkaji strategi yang diterapkan oleh pimpinan untuk memotivasi kerja pegawai. Penelitian mengenai strategi memotivasi kerja pegawai di Kecamatan X belum pernah dilakukan. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat aparatur di tingkat kecamatan merupakan ujung tombak pelayanan. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dalam sebuah tesis yang berjudul Strategi Peningkatan Motivasi Kerja Aparatur Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan : Studi Kasus di Kecamatan X.

B. Ruang Lingkup Masalah
Mengingat ruang lingkup permasalahan motivasi kerja pegawai cukup luas dan komplek, maka dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan pada strategi yang dilakukan oleh pimpinan untuk memotivasi pegawai.

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan ruang lingkup permasalahan tersebut di atas, dapatlah dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana strategi yang dilakukan oleh pimpinan untuk memotivasi pegawai ?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi yang dilakukan oleh pimpinan unit kerja untuk memotivasi pegawai agar bekerja lebih giat.

E. Kegunaan Penelitian
Ada 2 (dua) manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu :
1) Kegunaan Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama di bidang Administrasi Negara.
2) Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah Kecamatan X dalam membuat suatu kebijakan untuk meningkatkan motivasi kerja aparatur.

TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KECAMATAN X

TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KECAMATAN X


(KODE : PASCSARJ-0158) : TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KECAMATAN X (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman yang semakin maju, dibutuhkan pemerintahan yang responsif dan mandiri. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih kreatif mencari terobosan untuk meningkatkan pendapatan daerahnya. Sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari komponen Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS), Dana Alokasi dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), Pinjaman daerah dan penerimaan lain yang sah. Pendapatan daerah dari sektor pajak termasuk dalam komponen pendapatan asli daerah yang nilainya signifikan dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya. Pada sektor pajak, sumbangan terbesar untuk PADS Kabupaten X diberikan oleh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu sebesar 23,3% pada tahun 2005.
Penerimaan daerah dari sektor PBB telah diatur dalam undang-undang nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, sebagimana telah disempurnakan dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, dimana pembagiannya ditetapkan untuk pemerintah pusat 10%, Pemerintah Provinsi 16,2%, Pemerintah Kabupaten 64,8% dan Upah Pungut 9%. Bagi pemerintah daerah pemasukan dari pembagian pemasukan PBB ini cukup penting dalam menopang jalannya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, oleh karena itu dibutuhkan adanya menajemen yang baik untuk mengendalikan penagihan PBB ini.
Kenyataan yang terjadi di Kabupaten X, pendapatan dari sektor PBB belum dapat mencapai target seperti yang diharapkan. Data penerimaan PBB dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang fluktuatif.
Setiap tahun terjadi peningkatan realisasi penerimaan yang cukup besar. Meskipun pada tahun sebelumnya masih ada tunggakan tetap saja terjadi kenaikan realisasi PBB. Besarnya tunggakan dari tahun ke tahun tidak menunjukkan trend yang konstan melainkan bersifat fluktuatif. Perolehan pemungutan PBB di tingkat kecamatan sejak tahun 2000 juga selalu menyisakan adanya tunggakan PBB.
Dari tahun ke tahun selalu ada tunggakan PBB yang berkisar antara 5 sampai 15 persen per tahun. Besarnya tunggakan PBB di Kecamatan X Membutuhkan perhatian serius karena Kecamatan X merupakan kecamatan yang memberikan kontribusi terbesar dari penerimaan sektor PBB dibandingkan 16 Kecamatan lainnya di wilayah Kabupaten X.
Kontribusi penerimaan PBB Kecamatan X terhadap total penerimaan PBB tingkat Kabupaten X cukup signifikan. Penerimaan PBB dari Kecamatan X menyumbangkan 23 sampai dengan 30 persen total penerimaan PBB di Kabupaten X.
Adanya tunggakan yang selalu terjadi setiap tahun merupakan permasalahan rutin yang tidak mudah untuk diselesaikan. Untuk menjawab permasalahan ini dibutuhkan strategi yang tepat untuk memberikan arah bagi pelaksanaan kebijakan yang komprehensif dan menyentuh akar permasalannya. Penyusunan strategi yang tepat membutuhkan informasi yang cukup dan akurat mengenai hambatan-hambatan dalam proses implementasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan X Kabupaten X.
Permasalahan yang menyebabkan tidak optimalnya pemungutan PBB dapat dilihat dari berbagai segi diantaranya dari segi kebijaksanaan publik yang meliputi Formulasi maupun implementasi kebijakannya. Dari segi otoritas pelaksana kebijakan pemungutan PBB, Kewenangan Pemungutan PBB telah dilimpahkan oleh pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 1007/KMK/04/1995. Pelimpahan tersebut meliputi pelimpahan mekanisme penagihannya sedangkan urusan prinsipal mengenai pendataan subyek dan obyak pajak, penetapan besarnya nilai PBB sampai pada pemaksaan dan sanksi masih berada pada Departemen Keuangan dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.
Dengan adanya pemisahan kewenangan antara Pemerintah Kabupaten dan Kantor Pelayanan pajak, seringkali terjadi permasalahan dan kendala dalam implementasi pemungutan PBB antara lain : 1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) seringkali terlambat disampaikan kepada masyarakat maupun tempat pembayaran, 2. Setiap ada kesalahan administratif mengenai data yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) harus diselesaikan melalui KP PBB. 3. Penentuan besaran pajak oleh KP PBB seringkali tidak akurat sehingga masyarakat yang merasa tidak diperlakukan secara adil atau merasa keberatan tidak mau melunasi PBB, sedangkan untuk mengajukan keberatan harus dilakukan di KP PBB. 4. KP PBB X memiliki cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas meliputi Kabupaten Sragen, Kota X dan Kabupaten X dengan jumlah Wajib pajak yang dilayani mencapai 2 juta Wajib pajak, sehinga pelayanan tidak dapat diberikan secara cepat dan optimal karena keterbatasan kemampuan sumber daya yang dimiliki dibandingkan dengan cakupan pelayanan yang seharusnya diberikan.
Lemahnya koordinasi dalam administrasi pertanahan ditengarai juga menyebabkan kendala dalam pemungutan PBB. Contohnya koordinasi antara Badan Pertanahan Nasional dan KP PBB dalam hal pengadministrasian mutasi tanah. Hal ini ditandai dengan banyaknya mutasi kepemilikan tanah yang tidak diikuti oleh mutasi administrasi PBB, sehingga pada saat penagihan nama yang tercantum dalam SPPT tidak mau membayar dengan alasan sudah tidak menguasai tanah yang tercantum dalam SPPT PBB nya ditagihkan kepadanya. Akibatnya petugas pemungut yang notabene merupakan aparat pemerintah desa setempat pun menemui kesulitan untuk melakukan penagihan. Tidak adanya penegakan hukum berupa sanksi yang tegas kepada para penunggak PBB adalah faktor lain penyebab tidak optimalnya pemungutan PBB.
Berbagai kendala sebagaimana disebutkan diatas menyebabkan pemungutan PBB Tidak dapat optimal dengan hasil lunas 100%, tetapi selalu menyisakan tunggakan dari tahun ketahun.

B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Bagaimana implementasi pemungutan PBB di Kecamatan X Kabupaten X ?"

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di Kecamatan X Kabupaten X
2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB.

D. Manfaat Penelitian 
Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Kecamatan X Kabupaten X dalam rangka meningkatkan penerimaan dari sektor PBB.
2. Secara umum hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan pendapatan negara dari sektor PBB.
3. Sebagai masukan bagi kalangan akademis yang tertarik untuk mlelaksanakan penelitian sejenis.

TESIS ANALISIS PENGARUH KOMPENSASI, GAYA KEPEMIMPINAN, DAN KONDISI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL

TESIS ANALISIS PENGARUH KOMPENSASI, GAYA KEPEMIMPINAN, DAN KONDISI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL


(KODE : PASCSARJ-0157) : TESIS ANALISIS PENGARUH KOMPENSASI, GAYA KEPEMIMPINAN, DAN KONDISI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENYAJIAN MASALAH PENELITIAN

A. Latar Belakang Masalah
Direktorat Penilaian Kekayaan Negara adalah unit organisasi setingkat eselon II yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, Direktorat Penilaian Kekayaan Negara diberi tugas untuk melaksanakan perumusan kebijakan, standardisasi, bimbingan teknis, analisis, supervisi, evaluasi, rekomendasi, dan pelaksanaan tugas di bidang penilaian kekayaan negara, berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
Direktorat Penilaian Kekayaan Negara mulai dibentuk pada pertengahan tahun 2006 seiring dengan pengembangan organisasi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Pada awal pembentukannya, sebagai unit organisasi yang relatif baru, pengisian jabatan Eselon II dan Eselon III pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara berasal dari promosi pejabat atau pegawai yang berada satu tingkat di bawahnya. Hal ini dilakukan karena untuk menduduki jabatan pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara di samping harus memiliki kemampuan manajerial atau kepemimpinan, juga dibutuhkan keahlian khusus di bidang penilaian. Di lain pihak, jumlah pejabat yang memiliki keahlian di bidang penilaian jumlahnya masih relatif sedikit.
Pada pertengahan tahun 2007, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mencanangkan program penertiban barang milik negara, yang didalamnya termasuk kegiatan penilaian atas barang milik negara yang berada pada seluruh Kementerian/Lembaga yang berada di dalam negeri maupun luar negeri. Program tersebut harus diselesaikan pada bulan Maret 2010. Selain melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam penyusunan kebijakan teknis penilaian, pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara juga harus melakukan pelayanan penilaian atas permohonan pemanfaatan atau pemindahtanganan barang milik negara yang diajukan oleh pimpinan Kementerian/Lembaga serta memberikan bantuan teknis penilaian kepada instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang tersebar di seluruh Indonesia. Beban kerja yang tinggi serta tuntutan kinerja yang semakin baik dan pencapaian target yang harus diselesaikan telah mendorong jajaran pimpinan untuk mendorong kinerja para pegawai. Akibatnya tanpa disadari para pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara lebih berorientasi pada tugas dibanding orientasi pada hubungan manusia. Di sisi lain, kegiatan penilaian yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara memiliki potensi risiko yaitu merugikan keuangan negara, apabila hasil penilaiannya ternyata dibawah nilai yang seharusnya atau batalnya pemanfaatan atau pemindahtanganan barang milik negara, apabila hasil penilaiannya terlalu tinggi. Gaya kepemimpinan Pejabat Direktorat Penilaian Kekayaan Negara yang demikian sering kali dikeluhkan oleh Pegawai Negeri Sipil yang berstatus sebagai pelaksana dan Pejabat Eselon IV di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Keluhan tersebut mengindikasikan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang berstatus sebagai pelaksana dan Pejabat Eselon IV di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum mendapatkan kepuasan yang optimal atas gaya kepemimpinan Pejabat di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik, pada tahun 2007 Menteri Keuangan mencanangkan secara resmi program reformasi birokrasi sebagai program prioritas di Kementerian Keuangan. Program reformasi birokrasi mencakup penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya manusia. Penataan organisasi meliputi modernisasi dan pemisahan, penggabungan, serta penajaman fungsi organisasi. Perbaikan proses bisnis meliputi analisa dan evaluasi jabatan, analisa beban kerja, dan penyusunan standard operating procedure (SOP). Sedangkan peningkatan manjemen sumber daya manusia meliputi penyelenggaraan pendidikan dan latihan berbasis kompetensi, pembangunan assessment , penyusunan pola mutasi, peningkatan disiplin dan pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Pegawai.
Sebagai bagian dari program reformasi birokrasi, untuk meningkatkan kinerja pegawai dan mengurangi tindak korupsi, pada akhir tahun 2007 para pegawai Kementerian Keuangan termasuk pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara diberikan remunerasi yang besarannya tergantung dari grading jabatan yang diukur berdasarkan beban kerja dan risiko pekerjaannya. Dengan demikian, besaran penerimaan yang diterima masing-masing pegawai berbeda-beda. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, program reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan telah memberikan perbaikan penghasilan, namun dengan adanya penilaian kinerja yang cukup ketat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.01/2008 tentang Pedoman Penetapan, Evaluasi, Penilaian, Kenaikan dan Penurunan Jabatan dan Peringkat Bagi Pemangku Jabatan Pelaksana di Lingkungan Kementerian Keuangan, para pegawai merasakan adanya tuntutan pekerjaan yang semakin berat dan menuntut penyelesaian yang semakin cepat dan akurat, sehingga dirasakan besaran penghasilan yang diterima belum memenuhi harapan para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Rumitnya penggunaan fasilitas asuransi kesehatan serta kecilnya besaran pertanggungan juga belum sesuai dengan harapan para pegawai. Tidak adanya perlindungan asuransi jiwa dalam pelaksanaan pekerjaan para pegawai serta kebijakan cuti bersama juga sering dikeluhkan oleh para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, patut diduga bahwa kompensasi finansial yang diterima belum memberikan kepuasan yang optimal bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Saat ini pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara menempati separuh lantai 6 Gedung Syafrudin Parwiranegara yang kondisinya telah cukup tua, pernah mengalami kebakaran sebanyak dua kali, mengalami keretakan pada struktur bangunan, dan mengalami kemiringan sebesar tiga centi meter akibat gempa yang mengguncang Jakarta pada tahun 2009. Ruangan Pejabat Eselon II dan III dipisahkan oleh sekat atau partisi, sedangkan ruangan eselon IV dan pelaksana menggunakan satu ruangan terbuka yang tidak dipisahkan oleh sekat atau partisi. Karena ruangan tidak sebanding dengan jumlah pegawai, maka meja pegawai berdesakan dan mengakibatkan suhu di ruangan terasa panas. Di samping itu, kenyamanan pegawai dalam bekerja terganggu karena kegaduhan dan privasi pegawai kurang terjaga. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, patut diguga bahwa kondisi kerja yang ada saat ini belum memberikan kepuasan yang optimal bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Untuk mencapai tujuan organisasi, sumber daya organisasi baik sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal harus dikelola secara efektif dan efisien. Di antara sumber daya tersebut, sumber daya manusia mempunyai peran yang sangat penting bagi pencapaian tujuan organisasi karena seluruh sumber daya organisasi dikendalikan oleh sumber daya manusia. Oleh karena itu, pengelolaan atau manajemen sumber daya manusia harus dilakukan secara hati-hati mengingat baik subjek maupun objek pengelolaannya adalah manusia. Di samping itu, upaya pencapaian tujuan organisasi sering menghadapi kendala yang berasal dari sumber daya manusia, yang salah satu sumber penyebabnya adalah adanya ketidakpuasan kerja dari para pegawainya yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai maupun kinerja organisasi.
Berdasarkan hasil pengamatan, diduga kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum memberikan kepuasan kerja yang optimal bagi pelaksana dan Pejabat Eselon IV Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Oleh karena itu, pimpinan perlu menaruh perhatian pada usaha-usaha untuk memberikan kepuasan kerja, karena kepuasan kerja mempunyai peranan penting terhadap prestasi kerja. Pada saat pegawai merasakan kepuasan dalam bekerja maka pegawai tersebut dengan segenap kemampuan yang dimilikinya akan berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tugasnya yang pada akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi organisasi. Dari sisi organisasi, kepuasan kerja pegawai secara langsung maupun tidak langsung akan pengaruh terhadap produktivitas organisasi. Ketidakpuasan pegawai merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi seperti kemangkiran, konflik pimpinan bawahan dan perputaran pegawai.
Sedangkan dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, dan menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Penelitian mengenai kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting karena terbukti besar manfaatnya bagi kepentingan pegawai, Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, dan masyarakat. Atas dasar fakta-fakta yang ada di lapangan perlu dilakukan penelitian apakah kompensasi yang telah diberikan kepada para pegawai, gaya kepemimpinan pimpinan, dan kondisi kerja Direktorat Penilaian Kekayaan Negara telah memberikan kepuasan kerja bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara yang dituangkan tesis yang berjudul "Analisis Pengaruh Kompensasi, Gaya Kepemimpinan, dan Kondisi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Negeri Sipil Pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pengamatan penulis di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, ditemukan masalah bahwa :
1. Kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum optimal karena pengaruh faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, baik secara sendiri-sendiri maupun secara serentak.
2. Kepuasan kerja para Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara masih harus ditingkatkan.
3. Sistem kompensasi di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara masih harus disempurnakan.
4. Beban kerja pelaksana dan Pejabat Eselon IV Direktorat Penilaian melebihi kapasitasnya.
5. Remunerasi di Kementerian Keuangan diikuti dengan tuntutan kualitas pekerjaan dan kecepatan penyelesaian pekerjaan, sehingga besaran remunerasi masih dirasakan belum sebanding dengan beban pekerjaan dan risiko pekerjaan.
6. Pelaksanan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum didukung dengan peralatan keselamatan dan asuransi jiwa.
7. Asuransi kesehatan yang telah diberikan belum secara penuh menjamin kesehatan Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
8. Pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara lebih berorientasi pada tugas, dibanding orientasi pada hubungan kemanusiaan.
9. Ruangan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum memberikan keleluasaan gerak dan privasi.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Mengingat keterbatasan waktu, dana, dan tenaga, maka penelitian dibatasi pada masalah pengaruh kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara di Jakarta yang berkedudukan sebagai pelaksana dan Pejabat Struktural setingkat Eselon IV.

D. Perumusan Masalah
Kepuasan kerja merupakan pokok bahasan yang menarik bagi para ahli psikologi industri maupun manajemen karena kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda dalam dirinya sehingga tidak mudah memuaskan pegawai.
Setelah diketahui identifikasi masalah dan ruang lingkup penelitian, dapat ditentukan rumusan masalah dalam tesis ini yaitu :
1. Apakah terdapat pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
2. Apakah terdapat pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
3. Apakah terdapat pengaruh kondisi kerja terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
4. Apakah terdapat pengaruh kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
5. Diantara faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, faktor manakah yang paling berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, baik secara sendiri-sendiri maupun simultan terhadap kepuasan kerja yang diperoleh Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
2. Kegunaan Penelitian
a. Bagi pegawai, penelitian tentang kepuasan kerja memungkinkan usaha-usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja dan kebahagiaan pegawai.
b. Bagi organisasi, khususnya bagi Bagian Kepegawaian dan jajaran pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, penelitian mengenai kepuasan kerja berguna untuk meningkatkan kinerja organisasi melalui perbaikan sikap dan perilaku pegawai.
c. Bagi masyarakat, penelitian mengenai kepuasan kerja akan membantu masyarakat menikmati kapasitas maksimun pelayanan organisasi serta naiknya nilai manusia dalam konteks pekerjaan.

SKRIPSI PERAN DPPKAD DALAM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH (STUDI TENTANG PENGELOLAAN PAD) KABUPATEN X

SKRIPSI PERAN DPPKAD DALAM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH (STUDI TENTANG PENGELOLAAN PAD) KABUPATEN X


(KODE : FISIP-IP-0006) : SKRIPSI PERAN DPPKAD DALAM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH (STUDI TENTANG PENGELOLAAN PAD) KABUPATEN X


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian
Salah satu tuntutan Reformasi 98’ adalah Otonomi Daerah. Lahirnya tuntutan ini bisa dimaknai sebagai strategi atau solusi atas maraknya isu disintegrasi daerah. Ada banyak sebab lahirnya tuntutan itu. Salah satunya karena cara-cara penyelesaian problem kebangsaan oleh pemerintah yang militeristik. Padahal militeristik adalah ciri fasisme. Selain itu, otonomi daerah ini adalah bentuk kompromi dari pertikaian panjang antara dua konsep bentuk negara dengan akar historis dan filosofis sangat berbeda. Kedua konsep itu adalah bentuk negara federal dan bentuk Negara kesatuan yang masing-masing diadopsi dan dipertahankan oleh Muhammad Hatta dan Soekarno.
Reformasi telah membawa suasana baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prestasi reformasi (Chrisnandi, 2008) ditandai dengan rezim lama diturunkan dan digantikan rezim baru. Politik otoritarianisme digantikan politik demokrasi. Sentralisme dikubur dengan desentralisasi. Konstitusi lama (UUD 1945) diamandemen sebanyak empat kali. Multipartai menyediakan ruang bagi setiap orang untuk berkumpul dan mendirikan partai politik. Dibentuk lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui asas desentralisasi, otonomi daerah hadir untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sendiri urusan pemerintahan dalam upaya meningkatkan kemandirian daerah.
Desentralisasi merupakan sebuah proses di mana pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menjalankan segala urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang berkaitan dengan urusan Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional, dan Agama. Karena itu adalah urusan pemerintahan yang hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Urusan itu meliputi : (a) perencanaan dan pengendalian pembangunan, (b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, (c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, (d) penyediaan sarana dan prasarana umum, (e) penanganan bidang kesehatan, (f) penyelenggaraan pendidikan, (g) penanggulangan masalah sosial, (h) pelayanan bidang ketenagakerjaan, (i) fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, (j) pengendalian lingkungan hidup, (k) pelayanan pertanahan, (l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipl, (m) pelayanan administrasi umum pemerintahan, (n) pelayanan administrasi penanaman modal, (o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, (p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 
Selanjutnya, dalam urusan keuangan, diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintah Daerah didasarkan atas penyerahan tugas kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal.
Otonomi Daerah telah lama menjadi wacana publik Indonesia. Meski demikian, dalam pelaksanaan otonomi daerah ini belum berjalan sebagaimana tujuan awalnya. Terdapat banyak ketimpangan dalam upaya pengimplementasian konsep otonomi daerah. Beragam realitas empirik dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut Keban (Fakrulloh dkk, 2004), ada beberapa hal yang dapat mengganggu kinerja pencapaian tujuan otonomi daerah yaitu (1) adanya kesalahan strategis dalam perwujudan otonomi daerah, (2) perbedaan persepsi dan pemahaman tentang konsep otonomi daerah, (3) perbedaan paradigma otonomi daerah yang dianut oleh para elit politik, (4) paradigma birokrasi masih kuat.
Selain itu, salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian daerah kabupaten/kota dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan PAD. Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya PAD. Kecenderungan berpikir ini tidak lahir begitu saja tanpa landasan rasional dan empiris mengingat masih banyak daerah otonom yang masih mengandalkan dana perimbangan sebagai sumber utama keuangan daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Artinya, daerah-daerah itu belum mampu menjalankan desentralisasi.
Merujuk pada hasil penelitian Badan Peneliti dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada, Syarifuddin Tayeb menyatakan bahwa dari 292 Daerah Kabupaten yang diteliti menunjukkan rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah. Berikut rinciannya :
- 122 Daerah Kabupaten berkisar antara 0,53%-10%
- 86 Daerah Kabupaten berkisar antara 10%-20%
- 43 Daerah Kabupaten berkisar antara 20,1%-30%
- 17 Daerah Kabupaten berkisar antara 31,1%-50%
- 2 Daerah Kabupaten berkisar di atas 50%
Rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah, karena daerah hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana pajak dan yang mampu memenuhi hanya sekitar 20%-30% dari total penerimaan untuk membiayai kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70%-80% didrop dari pusat.
Mengingat banyaknya sumber-sumber PAD yang bisa dioptimalkan, daerah otonom tidak perlu mengandalkan dana perimbangan dalam pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Apalagi dalam konteks Kabupaten X yang memiliki banyak kekayaan sumber daya alam. Pengelolaan kekayaan alam itu berbanding lurus dengan peningkatan jumlah wajib pajak dan retribusi daerah.
Kabupaten dengan visi “Menuju Kabupaten Agribisnis 2012" ini menyimpan kekayaan alam di sektor perkebunan, pertanian, peternakan, kelautan, pertambangan, dan pariwisata yang melimpah yang bisa dikelola untuk menambah sumber-sumber PAD dalam rangka meningkatkan kemampuan daerah dalam membiayai secara mandiri urusan rumah tangga daerah. Sektor-sektor potensial ini jika dikelola secara maksimal akan membantu mempercepat pertumbuhan perekonomian masyarakat yang pada gilirannya akan menambah jumlah objek PAD. Misalnya, di sektor pertambangan dan perkebunan yang cukup mendominasi di Kabupaten X, para pengusaha pertambangan dan perkebunan untuk melaksanakan usahanya pasti mengurus Surat Izin Usaha dan dokumen-dokumen lain yang dikenakan pajak maupun retribusi. Sebagai gambaran, pada tahun 2010 sektor pertambangan nikel memberikan kontribusi ke PAD sebesar Rp 4 M.
Terkait dengan itu, ada beberapa hal yang relevan untuk dipertanyakan. Misalnya apakah secara aktual aparat DPPKAD Kabupaten X dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan sebagaimana Peraturan Daerah ?
Dalam hal strategi, apakah Pemerintah Daerah telah mengubah strategi mengenai teknis operasional lapangan terutama sistem pendataan ulang dalam rangka menjaring semaksimal mungkin obyek pajak maupun subyek pajak sebagai dasar perhitungan dan pengenaan pajak ? Untuk mengatasi permasalahan tersebut, apakah Pemerintah Kabupaten X melalui DPPKAD telah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap seluruh sumber penerimaan daerah, telah mengidentifikasi secara optimal sumber-sumber PAD yang baru ?
Atas dasar ini, penulis melakukan penelitian tentang bagaimana peran salah satu SKPD yang banyak bergelut dalam pengelolaan keuangan daerah. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten X, dengan judul “Peran DPPKAD dalam Manajemen Keuangan Daerah (Studi Tentang Pengelolaan Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten X”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul penelitian ini, rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimana Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X ?
1.2.2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X ?

1.3. Tujuan Penelitian 
1.3.1. Untuk mengetahui Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X.
1.3.2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan studi ilmiah untuk mengetahui Peran DPPKAD dalam Manajemen Keuangan Daerah dan secara spesifik pengelolaan PAD Kabupaten X.
b. Sebagai bahan studi perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan Peran DPPKAD dalam Manajemen Keuangan Daerah dan secara spesifik pengelolaan PAD Kabupaten X beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
c. Sebagai bahan studi pustaka di almamater peneliti.
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan kajian praksis bagi DPPKAD Kabupaten X untuk mengevaluasi kinerjanya.
b. Sebagai bahan kajian praksis bagi DPPKAD Kabupaten X untuk merumuskan desain strategi dalam upaya pengelolaan PAD Kabupaten X ke depannya.

SKRIPSI PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PADA DINAS PARIWISATA DI KABUPATEN X

SKRIPSI PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PADA DINAS PARIWISATA DI KABUPATEN X


(KODE : FISIP-IP-0005) : SKRIPSI PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PADA DINAS PARIWISATA DI KABUPATEN X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional tergantung dari kesempurnaan aparatur negara. Pegawai negeri merupakan aparatur negara sehingga kalau kita berbicara mengenai kedudukan pegawai negeri dalam Negara Republik Indonesia berarti kita berbicara mengenai kedudukan aparatur negara secara umum. Dalam posisi aparatur negara sebagai alat untuk melaksanakan pembangunan, diperlukan adanya pegawai yang benar-benar mampu, berdaya guna, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Memberi pelayanan yang berkualitas dan mampu memberikan kepuasan bagi masyarakat merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah. Kinerja pelayanan publik akan menjadi tolak ukur bagi kinerja pemerintah. Fungsi pemerintah beserta aparaturnya merupakan salah satu tuntutan dari reformasi birokrasi. Persepsi masyarakat yang selama ini cenderung dijadikan objek pelayanan, dalam arti masyarakat yang melayani harus dihilangkan.
Setiap aparat pemerintah harus mulai bersikap profesional dalam memberikan pelayanan dan menjadikan masyarakat yang harus dilayani. Oleh sebab itu seluruh aparat pada tiap-tiap organisasi pemerintah haruslah bersinergi satu sama lain agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik selama ini haruslah terus menerus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan dalam pelayanan.
Menghadapi kenyataan itu maka pemberdayaan aparatur pemerintah yang memberikan pelayananan publik harus terus menerus dilakukan, agar hal tersebut tidak sebatas konsep, tapi menjadi kenyataan. Pemberdayaan aparatur merupakan salah satu strategi yang tepat untuk meningkatkan kinerja pelayanan, dan memberikan penghargaan kepada unit-unit pelayanan yang dipandang mampu dalam memberikan pelayanan yang berkualitas disegala bidang. Suatu organisasi akan dapat menjalankan tugas fungsinya dengan efektif dan efisien apabila didukung oleh aparatur yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya. Hal ini diharapkan menjadi kunci keberhasilan dalam penyediaan pelayanan. Berbagai bentuk pelayanan, baik berupa barang, jasa, dan administratif sangat ditentukan oleh bagaimana pegawai dalam organisasi tersebut melakukan pekerjaannya. Oleh sebab itu menjadi tantangan setiap organisasi pemerintah baik ipusat dan didaerah bagaimana mengelola pegawainya dengan sebaik-baiknya. Strategi yang biasa dilakukan dalam pengelolaan pegawai untuk mewujud kan pelayanan yang optimal adalah pemberdayaan pegawai. Hal ini merupakan suatu proses untuk mengikut sertakan para pegawai disemua level dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
Pegawai Negeri Sipil mempunyai peran yang menentukan, yaitu sebagai pemikir, pelaksana, perencana, dan pengendali pembangunan. Dengan demikian, PNS mempunyai peran yang sangat penting dalam memperlancar jalannya roda pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Mengingat pentingnya peranan tersebut, PNS perlu dibina dengan sebaik-baiknya agar diperoleh PNS yang setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah, serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, kuat, berdaya guna, berhasil guna, bersih, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur Negara.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam paradigma baru mengenai orientasi pelayanan para aparatur/birokrat adalah pemberdayaan (empowerment). Pemberdayaan dalam hal ini dimaksudkan sebagai proses transformasi dari berbagai pihak yang mengarah pada saling menumbuhkembangkan, saling memperkuat, dan menambah nilai daya saing global yang saling menguntungkan. Tujuan pemberdayaan itu sendiri adalah untuk meningkatkan mutu, keterampilan, serta memupuk kegairahan dalam bekerja sehingga dapat menjamin terwujudnya kesempatan berpartisipasi dan melaksanakan pembangunan secara menyeluruh, dalam hal ini pemberdayaan terhadap aparatur pemerintah disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Usaha pemberdayaan aparatur pemerintah harus ditingkatkan demi tercapainya tujuan organisasi/pemerintahan. Pemberdayaan yang dilakukan terhadap aparatur pada akhirnya akan meningkatkan prestasi kerja yang lebih baik. Untuk meningkatkan prestasi kerja maka perlu diadakan peningkatan sumber daya manusia selaku tenaga kerja melalui usaha-usaha pemberdayaan. Berkaitan dengan hal itu maka seorang aparatur perlu mendapatkan pemberdayaan. Didasarkan pada adanya pemberdayaan aparatur pemerintah maka kemungkinan prestasi kerja meningkat atau sebaliknya adanya pemberdayaan tetap prestasi kerja tetap atau bahkan menurun.
Pemberdayaan terhadap aparatur daerah senantiasa mengacu pada perbaikan kualitas yang harus dinilai sejak rekruitmen dengan menggunakan suatu sistem yang benar-benar dapat menjamin diperolehnya sumber daya yang mempunyai kualitas dasar yang baik, dan berorientasi pada pemberdayaan PNS daerah, serta mengimplementasikannya pemberdayaan aparatur pemerintah daerah melalui pembinaan terhadap penugasan yang mendidik, pengembangan program pelatihan yang memungkinkan tersedianya tenaga-tenaga siap pakai khususnya pada PNS daerah, yang tidak lain adalah PNS yang bekerja pada pemerintah daerah otonom yang gajinya dibebankan pada APBD. Dengan konsekuensi peningkatan kesejahteraan yang memadai dan pemberian jaminan hari tua secara nyata.
Dengan demikian, pemberdayaan aparatur pemerintah daerah merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kinerja aparatur untuk mencapai hasil secara optimal. Untuk itu, maka dengan memperhatikan Implementasi pada Dinas Pariwisata Kabupaten X sehingga dapat ditafsirkan bagaimana upaya pemberdayaan aparatur pemerintahnya, bila tidak melakukan suatu upaya ataupun langkah-langkah yang secara sistematis untuk pemberdayaan sumber daya aparatur pemerintah daerah pada Dinas Pariwisata, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan melalui judul yaitu : Pemberdayaan Aparatur Pemerintah Daerah Pada Dinas Pariwisata Di Kabupaten X.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten X untuk pemberdayaan aparatur pemerintah daerah ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pemberdayaan aparatur pemerintah daerah pada Dinas Pariwisata di Kabupaten X ?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten X dalam pemberdayaan aparatur pemerintah daerah.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemberdayaan aparatur pemerintah daerah pada Dinas Pariwisata di Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan untuk mengevaluasi proses pemberdayaan aparatur pemerintah daerah di lingkungan Dinas Pariwisata Kabupaten X.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu syarat untuk menempuh/memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada Program Ilmu Politik/Pemerintahan.
Bagi penulis penelitian ini sebagai wahana untuk melatih diri serta memperluas wawasan sebagai bekal untuk menjalankan tugas selanjutnya.
SKRIPSI PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI INSPEKTORAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X

SKRIPSI PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI INSPEKTORAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X


(KODE : FISIP-IP-0004) : SKRIPSI PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI INSPEKTORAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Strategi Pembangunan Indonesia yang diarahkan untuk membangun Indonesia disegala bidang yang merupakan perwujudan dari amanat yang tertera jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pemenuhan hak dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh.
Penyelenggaraan pembangunan nasional merupakan suatu proses yang memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang matang. Salah satu aspek yang sangat penting dan menunjang adalah kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Keberhasilan penyelenggaraan pembangunan sangat bergantung pada kemampuan manusia pelaksananya. Sebab apapun yang dimiliki oleh suatu bangsa; kekayaan alam, sosial, budaya, dan lain-lain tidak akan berarti bila tidak di tangani oleh manusia-manusia berkualitas. Baik itu berkualitas dari segi moral intelektual maupun dari segi mental spiritual. Sumber daya manusia yang berkualitas adalah yang bisa tetap bertahan dari iklim persaingan yang sangat ketat dewasa ini.
Kelancaran pembangunan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan tergantung dari kesempurnaan aparatur pemerintah yang pada pokoknya tergantung pula pada kesempurnaan pegawai negeri sipil (PNS). Dalam usaha mencapai tujuan nasional di perlukan adanya PNS sebagai unsur aparatur pemerintah dan abdi masyarakat yang penuh kesetian dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah, berdaya guna dan sadar akan tanggung jawab dalam menyelenggarakan tugasnya.
Guna lebih mengembangkan peran ini, pembangunan aparatur pemerintah diarahkan untuk meningkatkan kualitas aparatur agar lebih bersikap arief dan bijaksana serta berdedikasi yang tinggi terhadap pengabdian, sehingga dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal sesuai tuntutan perkembangan zaman yang berlangsung selama ini.
Oleh karena itu, maka urusan penyelenggaraan pemerintahan yang hampir semuanya dilaksanakan melalui pusat sudah mulai didistribusikan kepada daerah berdasarkan kewenangan daerah yang diatur dalam undang-undang, hal ini mengingat volume dan aneka ragam urusan pemerintahan dan pembangunan yang diselenggarakan di daerah sedemikian kompleksnya serta memerlukan penyelesain yang cepat dan tepat, diperlukan adanya pengawasan yang intensif. Hal ini dimaksudkan guna menjamin terselenggaranya urusan pemerintahan dan pembangunan dalam kerjasama yang serasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah tingkat atasnya.
Pengawasan erat sekali kaitannya dengan perencanaan, yang artinya harus ada sesuatu obyek yang diawasi, jadi pengawasan hanya akan berjalan kalau ada rencana program/kegiatan untuk diawasi. Rencana digunakan sebagai standar untuk mengawasi, sehingga tanpa rencana hanya sekedar meraba-raba. Apabila rencana telah ditetapkan dengan tepat dan memulai pengawasannya begitu rencana dilaksanakan, maka tidak ada hal yang menyimpang. 
Pada umumnya pengawasan terdiri dari 3 (tiga) langkah yaitu :
1. menentukan standar,
2. mengukur hasil atas dasar standard
3. mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan
Standar pengukuran yang dipakai biasanya sudah ditentukan oleh penanggung jawab program/kegiatan, yang selanjutnya pengawas mengukur hasil-hasilnya dengan mengacu kepada standar tersebut. Hasil pengukurannya sebagai dasar untuk apakah pelaksanaan kegiatan telah diselenggarakan secara efisien, efektif, ekonomis dan tertib aturan. Pengawasan akan sia-sia tanpa tindakan perbaikan, apabila dalam pengukuran hasil ditemukan keadaan tidak sesuai standar yang direncanakan, maka pengawas harus menganjurkan tindakan perbaikan. Mengetahui adanya ketidakberesan, maka pengawas berkewajiban melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
Oleh karena itu dengan pelaksanaan pembentukan kualitas aparatur pemerintahan, maka ditunjuklah inspektorat selaku badan pengasawan internal pemerintah kabupaten/kota, yang berfungsi untuk mengawasi kinerja pemerintah, pada kegiatan pembangunan, kegiatan kepegawaian, dan pelayanan pada masyarakat. Agar tercipta pemerintahan yang baik (Good Governance), dan bersih di daerah.
Demikian pula halnya dengan pelaksanaan pengawasaan pemerintahan di Kantor Bupati X, dalam hal ini tugas dan fungsi inspektorat sebagai salah satu bagiannya sudah diterapkan sebagai pengawas fungsional. Namun menurut pengamatan penulis pelaksanaan tugas dan fungsi inspektorat terhadap pegawai negeri sipil pada umumnya dan pada badan kepegawaian yang dimana bagian ini menjadi tempat urusan menengenai kepegawaian tentu saja akan berbeda dengan yang lain, sehingga tentu saja konsep pengawasaan yang ditgunakan akan membawa sesuatu yang berbeda terhadap Pegawai Negeri Sipil di instansi tersebut.
Memahami pentingnya pelaksanaan fungsi pengawasan yang diterapkan terhadap pegawai negeri sipil sebagai aparat pemerintah dan unsur penyelengaran pemerintahan di Kantor Bupati X terkhusus pada Badan Kepegawaian Daerah, maka penulis tertarik untuk memilih judul ; “Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Inspektorat Pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X”.

1.2. Rumusan Masalah
Memperhatikan uraian tersebut maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi inspektorat kabupaten X terhadap badan kepegawaian daerah kabupeten X ?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi inspektorat kabupaten X dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penilitian
1.3.1.Tujuan Penelitian
Penelitian ini di laksanakan dengan tujuan, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui seberapa tepat inspektorat dalam melaksanakan tugas dan fungsi.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja inspektorat dalam melaksanankan fungsi dan tugasnya.
1.3.2.Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat membawa manfaat baik pada tataran theoritis akademis maupun pada hal praktis yang utamanya adalah efektifitas kinerja lembaga pengawasan agar bisa menekan tingkat penyimpangan.
1. Manfaat Teoritis Akademis.
Manfaat secara teoritis akademis diharapkan dapat menjadi referensi baru dalam bidang pengawasan, untuk memperkaya bahan kajian pengawasan. Selain itu memberikan kesadaran kolektif dan menumbuhkan kesadaran moral bagi masyarakat mengenai arti pentingnya pengawasan yang perlu dibangun untuk terjadinya sinergi yang baik antara aparat pengawas formal pada lingkup pemerintahan dengan stakeholder’s yang punya kepedulian.
2. Manfaat Praktis.
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi unit kerja pengawasan, para pimpinan unit kerja pelaksana dan perencanaan untuk terwujudnya peningkatan akuntabilitas kinerja pemerintahan dan pembangunan lingkup sub bagian kepegawaian.