Search This Blog

TESIS POLA INTERAKSI KONFLIK DAN REAKTUALISASI PENDIDIKAN KARAKTER

TESIS POLA INTERAKSI KONFLIK DAN REAKTUALISASI PENDIDIKAN KARAKTER


(KODE : PASCSARJ-0149) : TESIS POLA INTERAKSI KONFLIK DAN REAKTUALISASI PENDIDIKAN KARAKTER (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan, memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, pelestarian nilai-nilai tradisi masyarakat yang merupakan modal dasar untuk memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Akan tetapi sampai saat ini pendidikan belum sepenuhnya berhasil membentuk individu yang memiliki keterampilan resolusi konflik serta gagal membentuk karakter, watak kepribadian yang berdampak pada degradasi moral dan kehancuran bangsa.
Sejak Indonesia merdeka, kebudayaan di berbagai tempat tidak mendapatkan tempat yang layak dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk diekspresikan sehingga melahirkan berbagai akibat yang saat ini dialami bersama : gerakan pemisahan diri dari pusat, konflik sosial yang meluas, kredibilitas negara yang rendah, teror, dan masalah etnisitas (Abdullah 2006 : 63). Abdullah mengemukakan bahwa mengerasnya batas-batas kelompok (group boundaries) sebagai akibat langsung dari kesalahan sejarah dalam pengelolaan keragaman budaya. Mulai dari manajemen keragaman budaya di Indonesia hingga masalah ruang politik bagi keragaman budaya yang akhirnya menjadikan kita sekarang dihadapkan pada jalan panjang penataan persatuan dalam keragaman budaya (Abdullah 2006 : 65-79).
Setelah rezim Orde Baru berakhir, masalah konflik sosial yang disebabkan oleh perbedaan agama dan etnisitas yang belum hilang dari bumi Indonesia. Bahkan di era otonomi daerah ada kecenderungan agama dan etnisitas menguat. Lokalitas dan kembalinya etnisitas menumt Kalidjernih (2009) merupakan salah satu dampak globalisasi, selain homogenisasi dan hibridisasi. Di era globalisasi, identitas nasional tetap kuat, khususnya dalam hal yang bertalian dengan hak-hak legalitas dan warganegara, tetapi identitas lokal, regional dan komunitas menjadi semakin signifikan.
Pada tingkat nasional, fenomena agama dan etnisitas dalam dinamika politik lokal di Indonesia dapat dipahami sebagai keinginan untuk menunjukkan eksistensi dan identitas yang terkait dengan permasalahan ketidakadilan yang selama ini mereka rasakan dan terpaksa mereka terima. Pada tingkat lokal, akar permasalahan etnisitas biasanya berhulu pada aspek yang berkaitan dengan ikatan primordial, terutama suku dan agama, serta berkaitan dengan aspek keruangan di mana para pelaku berada (biasanya elite dan institusi lokal) yang membutuhkan ruang gerak (space) untuk mewujudkan eksistensi dan identitasnya sesuai dengan keinginan mereka (Setyanto dan Pulungan 2009 : 20).
Selanjutnya bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pluralistik dengan keanekaragaman suku bangsa (etnis), budaya, adat istiadat, bahasa dan agama. Setiap suku bangsa atau etnis memiliki identitas kebudayaan, adat istiadat, dan bahasa sendiri yang khas. Keanekaragaman suku bangsa atau etnis dengan keunikan kebudayaan dan adat istiadatnya merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Namun di lain sisi keanekaragaman dan perbedaan tersebut merupakan potensi untuk memicu terjadinya konflik budaya dan konflik sosial yang pada akhirnya mengancam terjadinya disintegrasi pada bangsa Indonesia, jika tidak mampu dikelola dengan baik. Hasil studi dari Suwarsih Warnaen (2002 : 44) menunjukan bahwa salah satu masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai bangsa multietnis adalah masalah integrasi nasional. Ekspresi rasa kesukubangsaan tampak masih sering menimbulkan ketegangan dalam hubungan antar suku bangsa.
Konflik adalah aspek instrinsik dan tidak dihindari dalam perubahan nilai. Konflik merupakan ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan kenyakinan yang timbul oleh perubahan sosial. Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan. Setiap pilihan resoluasi konflik yang diambil selalu mempertimbangkan kesesuaian-kesesuaian budaya dan lingkungan dimana resolusi konflik itu dipergunakan, sehingga dapat menghindari hambatan-hambatan kultural dan structural sosial (Salahudin, 2002;34).
Sementara itu perkembangan kreatifitas individu, menurut Simmel (Munandar, 1988 : 65-66) menuntut untuk menginternalisasikan produk budaya obyektif yang ada dalam kesadaran subyektifnya meskipun kenyataan subyektif ini jarang sempurna dan mungkin justru menghasilkan ketegangan-ketegangan baru. Meskipun kreativitas individu ini dapat menimbulkan ketegangan baru atau konflik, namun konflik dapat diarahkan sebagai pemeliharaan solidaristas, menciptakan aliansi, mengaktifkan peranan individu yang terisolasi dan sebagai sarana komunikasi sehingga posisi masing-masing lawan yang berkonflik saling diketahui.
Konflik sosial cenderung di nilai banyak orang sebagai sesuatu yang buruk. Pandangan seperti ini ada benarnya walaupun tidak selumhnya, karena secara teoritik konflik di samping memiliki beberapa dampak negatif ternyata konflik juga memiliki sejumlah fungsi yang positif. Dari segi negatif, konflik menjadi pengganggu ketertiban sosial, menimbulkan inefisiensi, menciptakan ketidakstabilan, menyulut persengketaan dan menyebabkan kehancuran. Sedangkan segi positifnya, konflik dapat menjadi pencegah bagi terciptanya konflik yang lebih serius, sebagai pemacu kreativitas dan inovasi masyarakat, sarana mempercepat kolusi sosial, dan mempakan alat saling kendali antar orang atau kelompok, antar pemerintah dan masyarakat yang diperintahnya (Amstuts, dalam Harjadmo, 1996 : 37)
Konflik dalam bentuk kekerasan terjadi bukan hanya dalam suatu masyarakat atau negara, tetapi juga di kampus, meskipun dalam skala yang sedang. Konflik atau kekerasan diantara mahasiswa akhir-akhir ini meningkat. Peningkatan konflik/kekerasan ini pada umumnya merupakan suatu masalah yang serius, misalnya : membawa senjata tajam, perkelahian fisik, mengancam mahasiswa lain dan dosen, menggunakan narkotika, dan sebagainya. Konflik atau kekerasan antar mahasiswa di Indonesia telah meningkat dalam bentuk perkelahian fisik secara masal atau tawuran yang merupakan masalah yang paling pelik bagi perguruan tinggi. Selain itu, banyak mahasiswa yang juga terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dan obat-obat terlarang, perampokan, perusakan fasilitas kampus dan fasilitas umum serta kekerasan yang merusak lainnya, bentuk lainnya dalam kegiatan perguruan tinggi sehari-hari yang mengancam mahasiswa lainnya dan dosen baik secara fisik maupun psikologis.
Ketika mahasiswa pada umumnya mempunyai konflik, mereka cenderung untuk menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalahnya. Banyak diantara mereka tidak mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. Dalam banyak kasus, konflik antara mahasiswa dan dosen diselesaikan oleh pihak yang memiliki otoritas. Keterlibatan pihak otoritas untuk memecahkan konflik antar mahasiswa dan dosen terjadi karena dalam banyak kasus tidak ada yang mengajari/memberikan contoh kepada mahasiswa tentang bagaimana menyelesaikan konflik dalam cara-cara yang konstruktif melalui pendekatan langsung (seperti melalui pembelajaran).
Menurut Freud (1856-1939) manusia itu bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar “unconscious mind", sehingga seringkali manusia berbuat kejahatan atas pikiran yang tidak disadarinya. Di lain sisi dapat dikatakan bahwa tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual "sexual drive") yang mengarah kepada prinsip kesenangan (pleasure principle) yang dikendalikan oleh id-nya masing-masing. Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realitas (reality principle), sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip moral (morality principle) (Wade and Tavris, 1992; Craig, 1986; Ross and Vasta, 1990). 
Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap manusia berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan dikuasai oleh id-nya, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan dikuasai oleh super-egonya. Idenya yang kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilaku manusia yang menurutnya didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari (unconscious desires) dan pengalaman masa lalu manusia berupa sexual desires dan sexual expression pada masa kanak-kanaknya.
Thomas Lickona (1992) mendukung pendapat Freud dengan mengatakan terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa yaitu : meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya perilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral.
Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu upaya penanggulangan melalui dunia pendidikan, Horace Mann (1796-1859) mengatakan bahwa sekolah negeri haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Pendapat tersebut mendapatkan dukungan dari Mann maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).
Namun disisi lain, menurut Kosasih Djahiri (Budimansyah dan Syaifullah, 2006 : 8) Visi pendidikan nilai-moral disamping membina, menegakkan dan mengembangkan perangkat tatanan nilai, moral dan norma luhur adalah juga pencerahan diri dan kehidupan manusia secara kaffah dan berahklak mulia serta kehidupan masyarakat Madaniah (Civil Society). Pendidikan nilai, moral dan norma membawakan misi : (1) memelihara/melestarikan dan membina nilai, moral dan norma menjadi lima sistem kehidupan yang mengikat (sistem nilai, sistem budaya, sistem sosial, sistem personal, dan sistem organik); (2) mengklarifikasi dan merevitalisasi sub (1) sebagai "moral conduct" diri dan kehidupan manusia/masyarakat/bangsa/dunia dimana yang bersangkutan berada; 3) memanusiakan (humanizing), membudayakan (civilizing) dan memberdayakan (empowering) manusia dan kehidupannya secara utuh (kaffah) dan beradab (norm/value based). Insan/masyarakat bermoral (morally mature/healthy person) dan masyarakat bangsa berkepribadian; (4) membina dan menegakkan "law and order" serta tatanan kehidupan yang manusiawi-demokratis-taat azas; (5) khusus dinegara kita, disamping hal-hal diatas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan manusia/masyarakat/bangsa yang modern namun tetap berkepribadian Indonesia (sebagaimana kualifikasi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Paradigma lain yang mengharuskan pendidikan nilai, moral dan norma adalah : (1) kehidupan manusia menurut Talkot Parsons merupakan kehidupan yang organis (lahir-tumbuh-berkembang-mati/hilang), selalu memiliki lima sistem yang norm-based (sistem nilai, sistem budaya, sistem sosial, sistem personal, dan sistem organik) yang selalu mengacu pada salah satu atau sejumlah sumber norma baku yang hidup/diakui masyarakat yang bersangkutan. Khusus dalam masyarakat Indonesia sumber norma baku itu meliputi norma : agama (sebagai syariah yang normatif-imperatif dan agama sebagai norma budaya kehidupan beragama), norma budaya/cultural, hukum positif (regional-nasional-internasional), hukum/dalil keilmuan dan norma metafisis. Kelima sistem kehidupan organis yang diutarakan diatas ada dalam setiap aspek kehidupan (Ipoleksosbudag) dan diwarnai oleh salah satu atau sejumlah norma baku serta hidup dalam lingkaran kehidupan (diri pribadi dan keluarga; masyarakat sekitar dan bangsa-negara)dimana manusia berada, sehingga jika dijumlahkan sistem nilai-moral jumlahnya tak terhingga; (2) maka oleh karenanya lahirlah postulat bahwa kehidupan manusia sarat dengan perangkat nilai-moral dari pelbagai sumber norma; yang berakibat adanya keharusan buat manusia untuk mampu : memahami, menyerap/mempribadikan, menganut, memilih dan memilah/menentukan dan melaksanakan pilihan nilai-moral yang menurutnya paling baik/sesuai/fungsional. Kemahiran menentukan/menampilkan kelayakan pilihan nilai-moral inilah yang menentukan kualifikasi insan bermoral-tidaknya seseorang; (3) bahwa agama sebagai rujukan normatif utama bukan hanya karena tuntutan normatif-imperatif semata melainkan juga karena secara faktualnya manusia/masyarakat Indonesia selalu menyatakan dirinya beragama (sekalipun hanya "akuan" saja) serta selalu menetapkan rujukan kelayakan/kepatutan dari rujukan norma dan budaya agama (haram, halal, dosa, pahala). Bahkan sejumlah penelitian keilmuan (a.l. Prof. DR. Yus Rusyana) menentukan temuan bahwa budaya Indonesia umumnya diwarnai oleh rujukan normatif keagamaan/Islam. (Budimansyah dan Syaifullah, 2006 : 53-54)
Namun kenyataan yang terjadi Indonesia khususnya pendidikan karakter yang diungkapkan oleh Doni Koesoema A (2007) dalam bukunya "Pendidikan Karakter" mencatat alasan kemunduran pendidikan karakter, antara lain : (1) adanya perbedaan pandangan dan visi tentang pendidikan karakter sehingga tidak semua orang sepakat dan sepaham tentang pendidikan karakter; (2) filosofis positivisme yang membedakan antara fakta ilmiah, teruji didukung bukti dengan nilai yang bagi kaum positivistik dipahami hanya sekedar ekspresi perasaan bukan sebagai kebenaran obyektif; (3) personalisme yang merayakan nilai subyektif. Otonomi, dan rasa tanggung jawab pribadi; (4) pluralisme sosio-politik-kultural.
Sejalan dengan pendapat tersebut, maka dalam penelitian sejarah yang dilakukan oleh Bigalke (Jamie S.Davidson & David Henley,Sandra Moniaga, 2010 : 43-44), menyingkapkan bahwa konflik dan ketidakstabilan bahkan dalam tata agraria yang tampaknya paling indah sekalipun. Hal ini menegaskan bahwa gagasan tentang adat sebagai sebuah jaminan perdamaian dan keselarasan adalah menyesatkan bukan saja sebagai sebuah preskripsi bagi masa depan, melainkan juga sebagai interpretasi tentang masa lampau.
Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dan sangat determinan dalam pembentukan karakter dan internalisasi nilai-nilai moral dan etika. Demoralisasi yang terjadi di masyarakat selama ini disinyalir salah satunya disebabkan oleh disorientasi pendidikan dan paradigma yang salah dalam proses pendidikan. Dapat dikatakan bahwa pendidikan yang berlangsung selama ini hanya diartikan sebagai proses transfer dalam pembelajaran dan tidak memperhatikan pembentukan jati diri yang dipengaruhi oleh lingkungan dan akan bertumbuh menjadi karakter yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku peserta didik.

B. Rumusan Dan Pembatasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikemukakan identifikasi masalah dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :
a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan situasi konflik dapat terjadi dikalangan mahasiswa pada tingkat fakultas dan universitas ?
b. Bagaimana pola interaksi konflik yang dilakukan oleh mahasiswa dan fakultas pada tingkat universitas ?
c. Bagaimana reaktualisasi pendidikan karakter pada personal, lingkungan belajar, pelaksanaan pembelajaran dan program-program kerja di tingkat fakultas dan universitas ?
d. Bagaimanakah upaya pengelolaan situasi konflik yang digunakan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas ?
2. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dari penelitian ini adalah :
a. Pola interaksi konflik dibatasi pada : (1) metode resolusi konflik; (2) gaya manajemen konflik; (3) situasi konflik.
b. Mahasiswa dibatasi pada : mahasiswa Papua dan mahasiswa Non Papua

C. Maksud Dan Tujuan Penelitian
1. Maksud Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan mengenai pola interaksi konflik dan reaktualisasi pendidikan karakter di universitas Cenderawasih. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan pula untuk mengkaji faktor-faktor dominan yang mempengaruhi reaktualisasi pendidikan karakter dan dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pembangunan karakter individu, karakter baik dan karakter bangsa.
2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan situasi konflik dapat terjadi dikalangan mahasiswa pada tingkat fakultas dan universitas.
b. Untuk mengetahui dan mengkaji pola interaksi konflik yang dilakukan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas.
c. Untuk mengetahui dan mengkaji reaktualisasi pendidikan karakter pada personal, lingkungan belajar, pelaksanaan pembelajaran dan program-program kerja di tingkat fakultas dan universitas.
d. Untuk mengetahui dan mengkaji upaya pengelolaan situasi konflik yang digunakan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas.

D. Kegunaan Penelitian
Di harapkan dengan pelaksanaan penelitian ini akan dapat memberikan minimal dua kegunaan antara lain :
a. Aspek Pengembangan Ilmu
Secara keilmuan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan meningkatkan mutu pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berpusat pada pendidikan resolusi konflik melalui pengintegrasian dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya yang berkaitan dengan membangun karakter mahasiswa yang mampu menyelesaikan konflik secara damai dengan keluaran konflik berupa solusi atas suatu konflik, seperti win & win solution, win & lose solution, serta lose & lose solution. Keluaran konflik juga bisa menciptakan suatu perubahan sistem sosial.
b. Aspek Guna Laksana
Secara praktis penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan yang bermanfaat dalam menentukan program pendidikan resolusi konflik melalui pendekatan komprehensif, yang berarti melibatkan seluruh aktivitas perguruan tinggi yang terintegrasikan ke dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga masuk ke dalam kegiatan intrakurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler, meskipun tidak berdiri sendiri sebagai mata kuliah tersendiri. Pengintegrasian pendidikan resolusi konflik ke dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ini karena sejalan dengan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata kuliah yang membina mahasiswa menjadi warga negara yang baik, demokrasi dan bertanggungjawab. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi dan dijadikan acuan bagi model resolusi konflik yang terjadi di luar masyarakat kampus.
TESIS PERAN MUTASI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI KERJA DI PD PASAR

TESIS PERAN MUTASI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI KERJA DI PD PASAR


(KODE : PASCSARJ-0148) : TESIS PERAN MUTASI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI KERJA DI PD PASAR (PROGRAM STUDI : STUDI PEMBANGUNAN)




BAB I 
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Birokrasi merupakan lembaga yang memiliki kemampuan besar dalam menggerakkan organisasi, karena birokrasi ditata secara formal untuk melahirkan tindakan rasional dalam sebuah organisasi. Birokrasi merupakan sarana dan alat dalam menjalankan kegiatan pemerintah di era masyarakat yang semakin modern dan kompleks, namun masalah yang dihadapi oleh masyarakat tersebut adalah bagaimana memperoleh dan melaksanakan pengawasan agar birokrasi dapat bekerja demi kepentingan rakyat banyak.
Setelah berjalan 12 tahun era reformasi, Indonesia berusaha bangkit dari keterpurukan yang melanda di setiap bidang baik itu ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya. Hal ini dapat kita lihat dari sistem pemerintahan, dimana Pemerintah cenderung tidak lagi dipercaya masyarakat. Sejak reformasi, sudah 4 (empat) orang Presiden yang memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan visi dan misi terbaiknya berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintahan yang dipimpinnya.
Pentingnya kejelasan mekanisme dan prosedur kerja berkaitan erat dengan pengelolaan suatu organisasi dengan pendekatan kesisteman. Mekanisme dan prosedur kerja merupakan "peraturan permainan" yang harus ditaati dalam penyelesaian tugas lintas sektoral dan muldimensional. Karena ini menyangkut interaksi, interdependensi, dan koordinasi antar instansi di samping berlaku secara internal dalam lingkkuan satu-satuan kerja.
Kejelesan mekanisme dan prosedur kerja berkaitan erat dengan transparansi dan keterbukaan pemerintah dalam penyelenggaraan fungsi dan kegiatannya, termasuk dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perumusan dan penentuan kebijaksanaan, penegakan disiplin masyarakat, dalam malakukan pemungutan dana dari masyarakat serta penggunaannya, dan dalam memeberikan pelayanan umum kepada masyarakat luas.
Pemerintah dengan segala perangkatnya sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin dihadapkan kepada kompleksitas global. Peranannya harus mampu dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan, melalui hirearki yang lebih tinggi sampai kepada hirearki yang terendah.
Sesuai dengan Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural dimana dijelaskan bahwa untuk menciptakan sosok Pegawai Negeri Sipil sebagaimana Pegawai Negeri Sipil yang memiliki keunggulan kompetitif dan memegang teguh etika birokrasi dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan dan keinginan masyarakat.
Masalah pelayanan publik merupakan suatu masalah tersendiri bagi birokrasi Pemerintahan. Pelayanan pemerintah pada umumnya dicerminkan oleh kinerja biroraksi pemerintah, apabila saat sekarang terjadi ekonomi biaya tinggi dan segala bentuk inefisiensi di sektor pemerintah, hal ini setidak-tidaknya bersumber dari kinerja birokrasi yang masih belum baik dan memuaskan masyarakat, dengan kata lain Prestasi Kerja birokrasi itu belum tercapai.
Prestasi kerja merupakan suatu hasil dari keterampilan dan kemampuan dari pegawai atau anggota pada suatu organisasi atau instansi-instansi pemerintah tertentu. Adapun faktor yang mempengaruhi dalam mencapai prestasi kerja tersebut adalah Mutasi Kerja. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka Mutasi harus berjalan sesuai dengan prosedurnya agar pelaksanaan terhadah rencana berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Mutasi harus mempunyai kategori atau standarisasi agar prestasi kerja dapat dikatakan atau dapat dinilai apakah baik ataupun kurang baik. Mutasi Kerja merupakan salah satu faktor utama agar pengawai mempunyai disiplin yang tinggi bertanggung jawab atas wewenang yang diberikan kepada pegawai tersebut.
Perusahaan daerah merupakan suatu badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk mengembangkan perekonomian daerah dan menambah penerimaan daerah. Berhubungan dengan itu Perusahaan Daerah didasarkan atas azas-azas ekonomi perusahaan yang sehat, dengan kata lain harus melakukan kegiatannya secara berdaya guna dan berhasil guna.
Perusahaan bertugas dalam lapangan sesuai dengan urusan rumah tangganya menurut peraturan-peraturan yang mengatur pokok-pokok pemerintahaan daerah. Sejalan dengan prinsip desentralisasi dimana menghendaki daerah yang dibentuk dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya maka perlunya sumber-sumber keuangan bagi pembiayaan pemerintah daerah sehingga daerah dapat mendirikan perusahaan tersebut adapun modal perusahaan daerah dapat seluruhnya atau sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.
PD. Pasar Kota X merupakan suatu instansi pemerintah yang berada dibawah naungan Pemerintah Kota X. Tujuan dibentuknya PD. Pasar adalah untuk mengelola berbagai unit pasar yang ada di Kota X, baik itu pasar tradisional maupun pasar modern guna untuk memenuhi ataupun menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota X.
Dalam mewujudkan prestasi kerja tersebut, PD.Pasar Kota X telah menetapkan suatu target. Target yang dimaksud adalah ketetapan peningkatan pendapatan dalam pemenuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dimana target tersebut merupakan tujuan utama PD. Pasar Kota X sendiri. Dalam mencapai target tersebut PD. Pasar telah menetapkan berusaha semaksimal mungkin, hal ini dapat dilihat dari penetapan yang sesuai dengan fungsi manajemen baik itu seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan koordinasi. Namun kenyataan di lapangan, tujuan yang telah ditetapkan tidak tercapai. Dari target 3 tahun terakhir (2007-2009) yaitu Rp. 15.400.078.000 (tahun 2007), Rp. 15.405.080.000 (tahun 2008), dan Rp. 15.407.100.000 (tahun 2009) PD.Pasar Kota X hanya memenuhi ataupun mampu memperoleh pendapatan rata-rata hanya 80%. Dimana pendapatan 3 tahun berturut-turut adalah Rp. 12.320.062.400 (80%) untuk tahun 2007, Rp. 12.940.267.200 (84%) untuk tahun 2008, dan Rp. 11.707.860.800 (76%) untuk tahun 2009.
Adapun penyebab tidak tercapainya tujuan sehingga prestasi kerja buruk adalah Mutasi Kerja yang masih berbau Kolusi bukan prestasi ataupun kemampuan kerja dari seorang pegawai. Dimana pegawai yang dimutasi masih dianggap kurang pas dalam menduduki jabatan yang diberikan oleh atasan. Hal ini mengakibatkan Satuan Kerja yang telah ditetapkan kurang berjalan maksimal.
Komponen organisasi dan Sumber Daya Manusia yang paling penting adalah penentuan pekerjaan atau jabatan. Untuk mencapai tujuan, organisasi perlu menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang harus dilaksanakan. Manajemen perusahaan khususnya manajemen sumber daya manusia mutlak perlu mempunyai informasi dan data yang lengkap dan tepat mengenai semua jabatan yang ada agar dapat melaksanakan setiap fungsi manajemen secara keseluruhan. Informasi dan data jabatan tersebut diperoleh dari analisis jabatan.
Analisis jabatan merupakan proses untuk mempelajari dan mengumpulkan berbagai informasi yang berhubungan dengan suatu jabatan. Untuk itu, perlu diketahui pekerjaa apa saja yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan mengapa pekerjaan itu harus dilakukan serta persyaratan untuk menduduki suatu jabatan. Dengan kata lain, analisis jabatan dapat diartikan sebagai suatu proses yang sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis data dan informasi suatu jabatan.
Analisis jabatan ini sendiri perlu seorang pimpinan dalam menganalisis hasil kerja seorang atau beberapa pegawai dalam pencapaian suatu prestasi kerja. Dengan analisis kerja ini juga, seorang pimpinan akan mampu menempatkan pegawainya sehingga mengadakan mutasi kepada berbagai pegawai baik itu yang berpotensi maupun kurang potensi sesuai dengan kemampuan masing-masing pegawai.
Mutasi bukanlah bertujuan untuk mencari-cari kesalahan terhadap apa dan siapa yang akan di angkat ataupun dipindah tugaskan, tetapi apa dan bagaimana masalah tersebut dapat diatasi dengan pengangkatan ataupun pemindahan seorang pegawai sehingga prestasi kerja pegawai baik.
Pemimpin atau atasan merupakan orang yang berhak membawa ke arah mana tujuan organisasi yang dipimpinnya. Dengan demikian, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mendengarkan keluhan-keluhan bawahan, memberikan masukan atau bimbingan pengarahan kepada bawahan, serta menghargai prestasi pegawai dengan suatu pengangkatan jabatan.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa Mutasi kerja sangat penting dalam peningkatan prestasi pegawai. Dari hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul : "Peran Mutasi Dalam Meningkatkan Prestasi Kerja di PD. Pasar Kota X".

1.2 Perumusan Masalah 
Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam proposal itu dipandang menarik, penting dan perlu diteliti. Di dalamnya dirumuskan dengan jelas dan tegas permasalahan yang perlu diteliti sehingga mudah diketahui ruang lingkup masalah dan arah penelitian yang akan dilakukan.
Gambaran Mutasi Kerja yang baik, merupakan kondisi dilematis dalam peningkatan prestasi dalam suatu organisasi. Sehingga setiap organisasi mengharapkan mempunyai pimpinan yang baik bagi kemajuan organisasi.
Dari uraian di atas, maka perlu dibuat suatu perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dilakukan dalam penelitian sehingga dapat terarah dalam membahas masalah yang akan diteliti.
Adapun perumusan masalah yang dibuat penulis dalam penelitian ini yaitu : "Seberapa besar peran Mutasi dalam meningkatkan Prestasi Kerja Pegawai di PD. Pasar Kota X".

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Merupakan bagian yang secara tegas apa yang hendak dijawab atau dapat diperoleh dari suatu penelitian. Adapun yang mejadi tujuan dari penelitian yang dilakukan ini adalah :
a. Untuk mengetahui Pelaksanaan Mutasi Kerja yang ada di PD. Pasar Kota X.
b. Untuk Mengetahui seberapa besar tingkat prestasi kerja pegawai di PD. Pasar Kota X.
c. Untuk Mengetahui seberapa besar tingkat Peran Mutasi Kerja terhadap Prestasi Kerja Pegawai di PD. Pasar Kota X.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Berisi uraian tentang kegunaan Penelitian dan operasionalisasi hasilnya. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagi penulis, penelitian ini menambah wawasan, meingkatkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Magister Studi Pembangunan.
b. Diharapkan secara teoritis dapat mendukung pengembangan PD. Pasar Kota X dalam meningkatkan Prestasi Kerja sehingga memperoleh hasil kerja yang maksimal. Secara praktis dapat mendukung kebijakan-kebijakan pimpinan dalam menerapkan Mutasi Kerja di PD. Pasar Kota X.
TESIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER BERBASIS PEMBIASAAN (STUDI DI SDN X)

TESIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER BERBASIS PEMBIASAAN (STUDI DI SDN X)


(KODE : PASCSARJ-0147) : TESIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER BERBASIS PEMBIASAAN (STUDI DI SDN X) (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai tujuan nasional tidak hanya ditentukan oleh sumber daya alam yang melimpah ruah, akan tetapi juga ditentukan oleh sumber daya manusianya. Marcus Tullius Cicero, pakar hukum dan negara dari Romawi (106-43M) adalah peletak dasar dari pendidikan karakter, mengatakan bahwa "within the character of the citizen, lies the welfare of the nation", (Suparma Santosa, 2004 : iii) Dari pendapat Cicero tersebut dapat diartikan bahwa akhlak yang mulia setiap warga negara terdapat negara yang sejahtera.
Hal ini dapat dipahami bahwa manusia yang berkarakter adalah manusia yang dalam setiap pikiran dan tindakannya akan memberikan manfaat dan nilai tambah pada lingkungannya. Sebaliknya, pikiran dan tindakan manusia yang berkarakter buruk akan banyak membawa kerusakan di muka bumi. Apabila dalam suatu bangsa banyak manusia yang berkarakter buruk maka bangsa tersebut akan buruk pula.
Hubungan antara aspek moral dengan kemajuan bangsa juga dikemukakan oleh Thomas Lickona (1992 : 13-18) mengungkapkan ada sepuluh tanda kemerosotan zaman dari remaja yang harus diwaspadai. Memang tidak seluruh remaja seperti itu, namun jika tanda-tanda itu sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju kehancuran. Kesepuluh tanda-tanda itu adalah :
1) Violence and vandalism, 2)Stealing, 3) Cheating, 4) Disrespest for authority, 5) Peer cruelty, 6) Bigotry, 7) Bad language, 8) Sexual precocity and abuse, 9) Increasing self-centeredness and declining civic responsibility, 10) Self destructive behavior.
Dwi Astuti Martianto (2002 : 2-3) mengartikan bahwa sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran bangsa dari Thomas Lickona itu adalah sebagai berikut :
1) Meningkatnya kekerasan di kalangan pelajar
2) Penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk
3) Pengaruh/ ?eer group yang kuat dalam tindak kekerasan
4) Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan sek bebas
5) Semakin kaburnya pedoman baik dan buruk
6) Menurunya etos kerja
7) Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
8) Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara
9) Membudayakan ketidakjujuran
10) Adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama.
Tanda-tanda yang dikemukakan oleh Thomas Lickona tersebut di atas, sepertinya telah muncul di dalam masyarakat Indonesia. M. Soeparno (2005 : 1) mengungkapkan bahwa untuk mengentaskan bangsa Indonesia yang selama beberapa tahun terakhir semakin terpuruk, yang dibutuhkan adalah tindakan atau langkah kongkret.
"Waktunya semakin sempit, negara lain, bahkan negara-negara tetangga yang dulu menjadi murid kita, sekarang semakin jauh melesat meninggalkan kita di segala bidang kehidupan. Lebih memprihatinkan lagi, selain kondisinya semakin terpuruk, bangsa Indonesia masih harus dibebani segepok citra buruk yang dipikulnya seperti julukan bangsa kuli, bangsa paling kurop di dunia, tidak disiplin, munafik, ceroboh, jorok, suka melempar tanggung jawab, sarangnya kaum teroris, dan entah hinaan apalagi." (M. Soeparno, 2005 : 1).
Citra buruk itu, menurut M. Soeparno (2005 : 2), sebetulnya hanya bongkahan kecil yang menyeruak ke luar dari problem bangsa Indonesia. Bongkahan besar problem bangsa ini sesungguhnya berakar di dalam dan dasar bumi, yakni hancurnya karakter dan moral bangsa.
Civic Education adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakat.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar dalam proses penyiapan warganegara tersebut.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memiliki visi, misi, tujuan, dan ruang lingkup isi. Visi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah terwujudnya suatu mata pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (nation and character building) dan pemberdayaan warga negara. Salah satu tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah mengembangkan kompetensi peserta didik agar memiliki watak dan kepribadian yang baik, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tujuan tersebut sejalan dengan aspek-aspek kompetensi yang hendak dikembangkan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Aspek-aspek kompetensi tersebut mencakup pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan watak atau karakter kewarganegaraan (civic dispositions) (Budimansyah dan Suryadi, 2008 : 55-62).
PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), GBHN dan perundangan negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara. PKn adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Cogan (1999 : 4) mengartikan Civic Education sebagai "...the fundamental course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives". Atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.
Dalam suatu penelitian tentang jati diri "citizenship education" yang melaporkan temuan David Kerr (1999 : 5-7) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan minimal, didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran Kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan. Menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya mudah diukur. Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan maksimal, didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsur masyarakat. Kombinasi pendekatan formal dan informal, dilabeli citizenshp education, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun di luar kelas.
Sejalan dengan itu maka Mahoney (Soemantri, 2001 : 295) merumuskan bahwa batasan dari Civic Education adalah memasukan seluruh kegiatan sekolah, termasuk kegiatan ekstrakurikulernya dalam kerangka Civic Education : kegiatan di dalam dan di luar kelas, diskusi, dan organisasi siswa (Student Government). Pendeknya, seluruh kegiatan sekolah menjadi tanggung jawab sekolah untuk di masukkan ke dalam Civic Education.
Watak atau karakter kewarganegaraan sesungguhnya merupakan materi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi ini dapat dipandang sebagai muara dari pengembangan kedua dimensi. Pertama-tama perlu memiliki pengetahuan kewarganegaraan yang baik, memiliki keterampilan intelektual maupun partisipasif, dan pada akhirnya membentuk suatu karakter atau watak yang mapan, sehingga menjadi sikap dan kebiasaan sehari-hari. Watak yang mencerminkan warga negara yang baik itu misalnya sikap religius, toleransi, jujur, adil, demokratis, taat hukum, menghormati orang lain, memiliki kesetiakawanan sosial dan lain-lain.
Penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler dalam rangka pengembangan pendidikan karakter siswa dilakukan secara terjadwal dan fleksibel, dengan memperhatikan kemajuan kegiatan ekstrakurikuler, kedalaman dan ritme dalam belajar, kegiatan ini dilaksanakan dengan bimbingan para pembina yang menguasai bidangnya masing-masing dan guru PKn dapat mengambil peran dalam upaya menyelesaikan program ekstrakurikuler dengan pembelajaran PKn.
Yang dimaksud kegiatan ekstrakurikuler dalam kerangka Civic Education yang diselenggarakan di luar jam pelajaran, selain membantu siswa dalam pengembangan minatnya, juga membantu siswa agar mempunyai semangat baru untuk lebih giat belajar serta menanamkan tanggung jawabnya sebagai warga negara yang mandiri. Bahkan pengertian Civic Educationn ini diperluas National Council for Social Studies (NCSS) yang dikutip Wuryan dan Syaifullah (2008 : 6) sebagai berikut :
“Citizenship Education is a process comprissing all the positive influence which are intended to shape a citizens view to this role in society. It comes powerly from formal schooling psrtly from parental influence and partly from learning outside the classroom and the home. Through citizenship education, our youth are helped to again understanding of our national ideals, the common good and the process of self government.” (NCSS, 1970 : 20).
Berdasarkan definisi di atas, bahwa pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) memperoleh pengaruh-pengaruh positif dari :
- Pendidikan di sekolah
- Pendidikan di rumah
- Pendidikan di luar kelas dan sekolah
Hal tersebut harus mendapatkan pertimbangan dalam penyusunan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) agar siswa dapat memahami dan memengapreasiasikan cita-citanya.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) persekolahan (school civics) yang bercirikan civic culture Indonesia yang dapat dikembangkan sekolah, melaluli PKn tetapi juga dapat melalui kegiatan ekstrakurikuler yang diperkaya dengan muatan lainnya yang bernafaskan Pendidikan Kewarganegaraan dengan pengembangan budaya secara bersamaan yang diarahkan untuk "nation and character building".
Di dalam lingkungan sekolah yang ingin diciptakan melalui kegiatan ekstra kurikuler adalah setidaknya sekolah memiliki upaya-upaya sadar untuk memberikan kontribusi terhadap pengembangan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler.
SDN X merupakan sebuah lembaga pendidikan formal yang siswanya paling banyak dan aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler terutama kegiatan ekstrakurikuler pramuka bila dibandingkan dengan sekolah dasar lain yang berada di wilayah Kecamatan X, adanya pembinaan yang sungguh-sungguh terhadap kegiatan ekstrakurikuler dari pihak sekolah, adanya program dan rencana kegiatan ekstrakurikuler, kehadiran pembina yang tepat waktu setiap kegiatan, merupakan ciri khas dari sekolah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis bermaksud untuk meneliti secara komprehensif pengembangan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X.

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, penulis mengajukan rumusan masalah pokok penelitian ini, yaitu bagaimanakah pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X ?
Agar penelitian ini lebih terarah dan terfokus pada pokok permasalahan, maka masalah pokok tersebut penulis jabarkan dalam beberapa sub masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah gambaran umum kondisi pengembangan pendidikan karakter di SDN X ?
2. Metode apa saja yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X ?
3. Kendala apa yang dihadapi dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X ?
4. Bagaimanakah upaya untuk menanggulangi kendala dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X ?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X.
Sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan hal-hal sebagai berikut :
1. Gambaran umum kondisi pengembangan pendidikan karakter di SDN X.
2. Metode yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X.
3. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X.
4. Upaya untuk menanggulangi kendala dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Signifikansi dan manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh data konseptual dan gambaran mengenai alternatif pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan.
1. Secara teoretis
Diharapkan dapat memberikan manfaat pada dunia pendidikan terutama dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang handal dan kokoh dengan melalui berbagai upaya untuk pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan.
2. Secara Praktis
a. Memberi masukan kepada guru dalam upaya pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan.
b. Memberi masukan kepada siswa dengan adanya kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat membentuk karakter yang baik sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
c. Memberi masukan kepada sekolah untuk meningkatkan kembali kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Dengan pembiasaan siswa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat membentuk karakter siswa yang diharapkan.
d. Memberi masukan kepada orang tua akan pentingnya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sebagai upaya pembiasaan untuk pengembangan karakter siswa.
TESIS PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA

TESIS PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA


(KODE : PASCSARJ-0146) : TESIS PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya terus menerus yang bertujuan mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan peserta didik dalam mempersiapkan mereka agar mampu menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya. Dengan demikian, di satu sisi pendidikan merupakan sebuah upaya penanaman nilai-nilai kepada peserta didik dalam rangka membentuk watak dan kepribadiannya. Selanjutnya, pendidikan mendorong peserta didik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut ke dalam perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Fungsi pendidikan dalam Islam antara lain untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya di muka bumi, baik sebagai 'abdullah (hamba Allah yang harus tunduk dan taat terhadap segala aturan dan kehendak-Nya serta mengabdi kepada-Nya) maupun sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang menyangkut tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga, dalam masyarakat dan tugas kekhalifahan terhadap alam.
Manusia memang memiliki potensi dasar atau yang disebut fitrah, tetapi manusia juga punya keterbatasan. Keterbatasan atau kelemahan tersebut menyadarkan manusia untuk lebih memperhatikan eksistensi dirinya yang serba terbatas jika dibandingkan dengan Sang Maha Pencipta yang serba tak terbatas. Karena itu pendidikan dalam Islam antara lain bertugas untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar menyadari akan eksistensi dirinya sebagai manusia yang serba terbatas, serta menumbuhkembangkan sikap iman dan takwa kepada Allah yang serba Maha Tak Terbatas. Di samping itu, pendidikan juga bertugas untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengendalikan diri dan menghilangkan sifat-sifat negatif yang melekat pada dirinya agar tidak sampai mendominasi dalam kehidupannya, sebaliknya sifat-sifat positifnya yang tercermin dalam kepribadiannya.
Pengendalian diri yang disebutkan di atas terkait dengan emosi. Dalam konteks pendidikan, keberhasilan siswa tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya belaka, tapi ada kecerdasan lain yang ikut menentukan yakni kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional (EQ) bukan didasarkan pada kepintaran anak, melainkan pada sesuatu yang dahulu disebut karakteristik pribadi atau "karakter". Penelitian-penelitian sekarang menemukan bahwa keterampilan sosial dan emosional ini mungkin bahkan lebih penting bagi keberhasilan hidup ketimbang kemampuan intelektual. Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat.
Banyak orang yang tertarik pada konsep kecerdasan emosional dimulai dari perannya dalam membesarkan dan mendidik anak-anak, tetapi selanjutnya orang menyadari konsep ini baik di lapangan kerja maupun di hampir semua tempat lain yang mengharuskan manusia saling berhubungan. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan EQ yang sama untuk membuat anak atau peserta didik yang bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga.
Melihat urgensi EQ di atas, hendaknya pendidikan di mulai sejak dini yakni dalam lingkungan keluarga. Setiap orang tua tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang sehat, kuat, berketerampilan, cerdas, pandai, dan beriman. Bagi orang Islam, beriman itu adalah beriman secara Islam. Untuk mencapai tujuan itu, orang tualah yang menjadi pendidik pertama dan utama. Sedangkan yang menjadi posisi peserta didik tentulah si anak. Sekalipun demikian, sebenarnya semua anggota keluarga adalah peserta didik juga, tetapi dilihat dari segi pendidikan anak dalam keluarga, yang menjadi si terdidik adalah anak.
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam lingkungan keluarga inilah anak pertama kali memperoleh pendidikan dan bimbingan. Dalam perundang-undangan disebutkan bahwa keluarga memberikan keyakinan agama, menanamkan nilai moral, etika, dan kepribadian estetika, serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan keluarga dalam pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 merupakan jalur pendidikan informal. Setiap anggota keluarga mempunyai peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing, dan mereka memberi pengaruh melalui proses pembiasaan pendidikan di dalam keluarga.
Adapun bahan pendidikan atau bisa juga disebut kurikulum pendidikan dalam keluarga berbeda dengan kurikulum sekolah yang tegas. Kurikulum itu dalam garis besarnya ialah kurikulum untuk pengembangan jasmani dan keterampilan, kurikulum untuk pengembangan akal, dan kurikulum untuk pengembangan rohani anak. Kurikulum ini mengacu pada teori tentang aspek-aspek kepribadian dalam garis besar.
Kunci pendidikan dalam keluarga sebenarnya terletak pada pendidikan rohani dalam arti pendidikan kalbu, lebih tegas lagi pendidikan agama bagi anak. Karena pendidikan agamalah yang berperan besar dalam membentuk pandangan hidup seseorang. Ada dua arah mengenai kegunaan pendidikan agama dalam keluarga. Pertama, penanaman nilai dalam arti pandangan hidup, yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akalnya. Kedua, penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam menghargai guru dan pengetahuan di sekolah. Pendidikan yang harus diberikan oleh orang tua kepada anaknya, tidaklah cukup dengan cara "menyerahkan" anak tersebut kepada suatu lembaga pendidikan. Tetapi lebih dari itu, orang tua haruslah menjadi guru yang terbaik bagi anak-anaknya. Orang tua yang demikian, tidak hanya mengajarkan pengetahuan (yang harus diketahui) dan menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya, tetapi lebih dari itu orang tua juga harus menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Melalui keteladanan dan kebiasaan orang tua yang gandrung pada ilmu inilah, anak-anak bisa meniru, mengikuti dan menarik pelajaran berharga.
Dengan demikian, jika kecerdasan emosional merupakan salah satu unsur pokok dalam pendidikan anak, dan pendidikan itu berawal dari keluarga, maka pendidikan agama dalam keluarga khususnya akan menjadi kunci pula dalam pembentukan kecerdasan emosional pada anak atau peserta didik.
Namun satu hal yang tidak akan dilupakan, mungkin untuk sebagian besar orang, yaitu suatu tragedi yang mengejutkan terjadi di tanah Jombang. Seorang Ryan yang berasal dari keluarga dan lingkungan Islami, bahkan sempat mengenyam pendidikan di pesantren ternyata terlibat pembunuhan berantai yang menelan belasan korban. Tentu saja ulah mantan guru ngaji tersebut sontak membuat umat Islam mengernyitkan dahi serasa tidak percaya akan hal itu. Jadi ada kesenjangan di sini. Betapa tidak, karena pendidikan agama yang dipelajarinya ternyata jauh dari perbuatannya. Oleh karena itu, hal ini perlu penelusuran lebih jauh tentang teori yang menyebutkan bahwa pendidikan agama (Islam) dalam keluarga berperan besar dalam kecerdasan emosional, yang di dalamnya termasuk pengendalian diri.
Kembali terkait dengan kecerdasan emosional di atas, sekolah-sekolah dipandang sebagai informasi praktis tentang efektifitas pengajaran kecerdasan sosial dan emosional. Tentu saja jika dilihat praktiknya di lapangan, pendidikan agama Islam (PAI) memiliki kedudukan yang sangat potensial sehubungan dengan pengajaran kecerdasan emosional ini.
Pemahaman tentang PAI di sekolah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu PAI sebagai aktivitas dan PAI sebagai fenomena. PAI sebagai aktifitas, berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Sedangkan PAI sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih dan/atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak. Pemahaman yang demikian mengandung esensi bahwasanya PAI memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian yang selaras dengan ajaran dan nilai-nilai Islam, termasuk dalam pembentukan kecerdasan emosional yang tinggi. Nampaknya peranan ini terbentur dengan kenyataan yang sebaliknya yaitu semakin maraknya kemerosotan moral (krisis multi-dimensional) dan umumnya juga terjadi di kalangan pelajar, sehingga PAI dianggap tidak berhasil dalam mengejawantahkan nilai-nilai universalnya. Memang sebaiknya tidak terburu-buru menyimpulkan bahwa krisis moral atau akhlak merupakan kesalahan pendidikan agama semata, karena bertolak dari suatu pandangan bahwa kegiatan pendidikan merupakan suatu proses penanaman dan pengembangan seperangkat nilai dan norma yang implisit dalam setiap bidang studi sekaligus gurunya, maka tugas mendidikkan akhlak yang mulia sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama an sich.
Terlepas dari siapa penanggung jawab utama masalah krisis akhlak di atas, perlu dibahas lebih lanjut adalah solusi-solusi baik secara teoritis maupun praktis. Namun sebelumnya, jika krisis akhlak atau moral merupakan pangkal dari krisis multi-dimensional, sedangkan PAI banyak menggarap masalah akhlak, maka perlu ditelaah apa yang menjadi penyebab titik lemah dari pendidikan agama tersebut.
Mochtar Buchori menyatakan, bahwa kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Karena itu seharusnya para guru atau pendidik agama bekerja sama dengan guru-guru non-agama dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Pernyataan senada telah dinyatakan oleh Soedjatmoko, bahwa pendidikan agama harus berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama. Pendidikan agama, termasuk PAI, tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan non-agama kalau ia ingin mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Keberhasilan pendidikan agama dalam menanamkan nilai-nilai bagi pembentukan kepribadian dan watak siswa sangat ditentukan oleh proses yang mengintegrasikan antara aspek pengajaran, pengamalan, dan pembiasaan serta pengalaman sehari-hari yang dialami siswa baik di sekolah, keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Keterpaduan, konsistensi, dan sinkronisasi antara nilai-nilai yang diterima peserta didik dari pengajaran yang diberikan guru di depan kelas dengan dorongan untuk pengamalan nilai-nilai tersebut ke dalam bentuk tindakan dan perilaku nyata sehari-hari, tidak saja dari siswa sendiri, tetapi juga dari seluruh pelaku pendidikan, termasuk guru dan staf sekolah. Pengamalan dan pembiasaan perilaku sehari-hari yang sejalan dengan nilai-nilai agama yang diajarkan dan yang berlangsung secara terus menerus itulah yang akan menciptakan suatu lingkungan pendidikan yang melahirkan pribadi-pribadi siswa yang utuh. Sebaliknya, inkonsistensi dan tidak sinkronnya pengetahuan tentang nilai-nilai ajaran agama yang diperoleh siswa dari guru di depan kelas dengan tindakan dan perilaku sehari-hari yang dialami siswa, baik di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat, akan melahirkan split personality (pribadi pecah) pada siswa.
Adapun salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan penciptaan budaya religius di sekolah. Penciptaan suasana atau budaya religius berarti menciptakan suasana atau iklim kehidupan keagamaan. Dalam konteks PAI di sekolah berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah. Dalam arti kata, penciptaan suasana religius ini dilakukan dengan cara pengamalan, ajakan (persuasif) dan pembiasaan-pembiasaan sikap agamis baik secara vertikal (habluminallah) maupun horizontal (habluminannas) dalam lingkungan sekolah. Melalui penciptaan ini, siswa akan disuguhkan dengan keteladanan kepala sekolah dan para guru dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan, dan salah satunya yang paling penting adalah menjadikan keteladanan itu sebagai dorongan untuk meniru dan mempraktikkannya baik di dalam sekolah atau di luar sekolah. Sikap siswa sedikit banyak pasti akan terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, selain peranan pendidikan agama dalam keluarga, kecerdasan emosional pun dimungkinkan akan terlatih melalui penciptaan budaya religius di sekolah.
Dengan demikian, adanya budaya religius dan pendidikan agama Islam dalam keluarga ini menarik untuk diteliti lebih dalam kaitannya dengan pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional siswa yaitu dengan judul penelitian "PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SMAN X".

B. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang terkait dengan judul tesis ini adalah sebagai berikut :
Tesis karya I Wayan Suija yang berjudul Hubungan Iklim Sekolah dan Pola Asuhan dalam Keluarga dengan Perilaku Bermasalah Siswa SMA Negeri Kotamadya Denpasar tahun 1996. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif dan juga korelasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim sekolah dan pola asuhan dalam keluarga memberi sumbangan yang berarti terhadap perilaku bermasalah. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara iklim sekolah dengan perilaku bermasalah, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuhan dalam keluarga dengan perilaku bermasalah siswa SMA Negeri Kotamadya Denpasar.
Disertasi karya Esther Heydemans tahun 2008 yang berjudul Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua, Konsep Diri, Motivasi Diri, Iklim Sekolah dengan Kesadaran Emosi Siswa SMP Negeri di Kota Malang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional yaitu mencari hubungan antara variabel independen pola asuh orang tua, konsep diri, motivasi diri, iklim sekolah dengan variabel independen kesadaran emosi, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum variabel pola asuh orang tua, konsep diri, motivasi diri, iklim sekolah dan kesadaran emosi siswa SMP Negeri di Kota Malang menunjukkan kategori sedang. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama terdapat hubungan antara pola asuh orang tua, konsep diri, motivasi diri, iklim sekolah terhadap kesadaran emosi dan memberi sumbangan efektif yang signifikan terhadap kesadaran emosi siswa kecuali konsep diri yang tidak memberi pengaruh yang signifikan.
Disertasi karya Musa Sukardi yang berjudul Pengaruh Penerapan Model Self-Science terhadap Kecerdasan Emosional Siswa Sekolah Menengah Pertama yang ditulis tahun 2008. Penelitian ini menggunakan rancangan kuasi eksperimen non-equivalent control group design. Penerapan model pengembangan self-science dilakukan dalam kegiatan layanan bimbingan di kelas dan di luar kelas. Analisis data menghasilkan temuan penelitian sebagai berikut : Pertama, penerapan model pengembangan self-science efektif dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa sekolah menengah pertama. Kedua, ada perbedaan kecerdasan emosional pada siswa yang diberi model pengembangan self-science dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran sebagaimana biasanya. Model pengembangan self-science secara signifikan memberi pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran sebagaimana biasanya terhadap kecerdasan emosional siswa sekolah menengah pertama.
Berdasarkan hasil temuan di atas, maka tema yang diajukan dalam penelitian ini memiliki peluang untuk memperdalam kesimpulan-kesimpulannya dengan variabel independen berbeda, yaitu pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius di sekolah, serta kecerdasan emosional sebagai variabel dependen.

C. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan agama Islam dalam keluarga terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X ?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X ?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X ?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan antara pendidikan agama Islam dalam keluarga terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X.
2. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan antara budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X.
3. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini dapat memperkaya teori dan wawasan berupa studi ilmiah yang dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI).
b. Penelitian ini bisa digunakan sebagai referensi akademik dan bahan masukan bagi penelitian serupa di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
Bagi lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun informal, penelitian ini dapat memberikan gambaran secara riil mengenai kondisi pendidikan agama Islam dalam keluarga siswa dan budaya religius di sekolah secara umum serta pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional siswa, sehingga bisa menjadi masukan untuk mengadakan evaluasi dan pengembangan ke arah yang lebih baik.

F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh, sistematika penulisan tesis ini dibagi dalam enam bab, yaitu sebagai berikut.
Bab I memaparkan latar belakang masalah, penelitian terdahulu, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis penelitian, batasan penelitian, definisi operasional dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan kajian teori, yang mencakup pembahasan tentang pendidikan agama Islam dalam keluarga; budaya religius sekolah; kecerdasan emosional; dan hubungan kecerdasan emosional dengan pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius sekolah.
Bab III merupakan metode penelitian yang mencakup pendekatan dan jenis penelitian, populasi dan sampel, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisis data, uji validitas dan reliabilitas, pengecekan keabsahan data, dan tahapan penelitian.
Bab IV merupakan hasil penelitian, meliputi profil sekolah, deskripsi variabel penelitian, hasil pengujian persyaratan analisis, dan hasil pengujian hipotesis.
Bab V merupakan pembahasan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan.
Bab VI merupakan bab terakhir yang berisikan tentang kesimpulan dari semua isi atau hasil penelitian ini. Dalam bab ini, juga dikemukakan beberapa saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan.
TESIS PENGARUH ARAHAN PENDIDIKAN OLEH KELUARGA DAN KOMPETENSI GURU THD PEMBENTUKAN KARAKTER (CHARACTER BUILDING) SISWA

TESIS PENGARUH ARAHAN PENDIDIKAN OLEH KELUARGA DAN KOMPETENSI GURU THD PEMBENTUKAN KARAKTER (CHARACTER BUILDING) SISWA


(KODE : PASCSARJ-0145) : TESIS PENGARUH ARAHAN PENDIDIKAN OLEH KELUARGA DAN KOMPETENSI GURU THD PEMBENTUKAN KARAKTER (CHARACTER BUILDING) SISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan sesungguhnya memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa. Peningkatan taraf hidup, status sosial dan martabat manusia dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Hal ini sangat mungkin karena salah satu fungsi pendidikan adalah proses memanusiakan manusia dalam rangka mewujudkan budayanya. Ishomuddin (1996 : 11) menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fithrah. Fithrah dalam al-Qur'an pada dasarnya memiliki arti kesiapan manusia untuk menerima kondisi yang ada di sekelilingnya dan mampu menghadapi tantangan serta dapat mempertahankan dirinya untuk survive dan berkembang selaras dengan al-Qur'an dan al-Sunnah.
Naquib Al-Attas (dalam Wan Muh Noor Wan Dawud, 2003 : 163) menegaskan bahwa secara umum ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama lebih berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik. Pandangan kedua lebih berorientasi kepada pembentukan individu. Pandangan ini menganggap bahwa pendidikan sangat efektif dalam rangka membentuk pribadi seutuhnya pada setiap peserta didik.
Secara spesifik, pendidikan Islam mengharuskan terjadinya proses intemalisasi nilai ketuhanan (ilahiah) pada diri manusia secara bertahap sesuai tugas perkembangannya. Pada tujuan inilah semestinya akan terbentuk kepribadian manusia yang utuh secara lahir dan batin, yang menampakkan corak wataknya dalam amal perbuatan dan tingkah laku. Ini adalah suatu pola kehidupan ideal yang hendak dibentuk melalui proses pendidikan yang islami.
Dengan demikian, baik secara mikro maupun makro posisi pendidikan Islam menduduki tempat yang sangat strategis dalam membentuk kepribadian individu yang pada akhirnya akan memberi warna pada karakter suatu bangsa.
Namun demikian cita-cita mulia yang terkandung pada setiap konsep pendidikan di negeri ini ternyata masih belum mampu menunjukkan hasil yang membanggakan. Dalam kajian nasional tentang mutu pendidikan di Indonesia masih didapatkan data yang menunjukkan bahwa mutu pendidikan di negeri ini belum mampu memenuhi target yang diinginkan. Banyak indikator yang mengarah pada kesimpulan tersebut.
Situs www.salimow.com merilis sebuah deskripsi kuantitatif berupa laporan UNDP (United Nations Development Programme) pada lima tahun terakhir tentang posisi Indonesia dalam aspek Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia yang masih mengkhawatirkan. Pada tahun 2005, dari 177 negara yang diteliti, Indonesia berada di peringkat 100. Posisi ini masih jauh apabila dibandingkan dengan negara Malaysia (urutan 61) dan Thailand (urutan 73).
Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2006, Indonesia berada di posisi 108, setingkat dengan negara Vietnam yang berada di posisi 109. Pada pencapaian ini Indonesia berada di level menengah. Sedangkan pada saat itu negara-negara berkembang lainnya sudah berada di level atas. Singapura di peringkat 25, Brunei di peringkat 34 dan Malaysia di peringkat 61.
Kondisi yang hampir sama terjadi pada tahun 2007, pada tahun tersebut berdasarkan laporan UNDP yang dikeluarkan tanggal 27 Nopember 2007, Indonesia masih di peringkat 108. Hasil penelitian ini kemudian menempatkan usia harapan hidup bangsa Indonesia di peringkat 100, tingkat pemahaman aksara (melek huruj) orang dewasa di posisi 56 dan tingkat pendaftaran pada sekolah lanjutan di posisi 100.
Kondisi tersebut di atas setidaknya merupakan gambaran nyata tentang kualitas dan daya saing sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Apabila salah satu tujuan pendidikan yang disepakati adalah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya, artinya deskripsi tersebut men-visual-kan sebuah keadaan yang bertolak belakang dari harapan yang diinginkan.
Pada skala mikro mutu pendidikan di Indonesia juga selalu dipertanyakan. Dengan jumlah sekolah yang sedemikian besar ternyata tidak sebanding dengan keberhasilan dalam membentuk moral dan karakter bangsa. Fakta yang ada akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan merebaknya dekadensi moral di segenap lapisan masyarakat. Kemajuan sains-teknologi yang diharapkan mampu membawa keberkahan, ternyata membawa efek negatif yang sukar dikendalikan. Anak-anak muda yang seharusnya menjadi aset umat di masa depan, secara mencolok terseret berbagai gaya hidup hedonis-materialistik yang dikampanyekan lewat piranti-piranti canggih. Nilai-nilai religius dan etis yang dianut generasi terdahulu, pelan-pelan diremehkan, untuk kemudian dilupakan samasekali. Dan harus diakui bahwa hal itu merupakan salah satu akibat penerapan sistem pendidikan yang salah.
Keberadaan lembaga pendidikan yang sebenarnya sangat strategis dalam membentuk sumber daya manusia, dewasa ini cendemng berorientasi pada materi. Pekerjaan mendidik anak bangsa yang demikian mulia menjadi ternodai oleh penerapan sistem yang salah, yaitu cendemng materialistik. Sistem tersebut sesungguhnya terbukti telah gagal melahirkan manusia sholih yang sekaligus mampu menguasai iptek dan mandiri. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama.
Pengajaran yang berorientasi pada nilai-nilai agama sangat tidak berimbang bila dibandingkan dengan muatan pendidikan ilmu-ilmu umum. Kalaupun ada hanyalah etika (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Proses pembelajaran hanya sebatas transfer ilmu pengetahuan saja. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan agar tumbuh menjadi manusia yang ideal menumt pandangan agama, justm kurang tergarap secara serius.
Banyak hal yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi. Terlalu dini apabila justifikasi kegagalan tersebut hanya ditujukan pada aspek tertentu saja. Secara mendasar barang kali perlu dikaji tentang kurikulum yang disajikan, sistem yang digunakan, visi dan misi tentang pendidikan, lingkungan asal anak didik dan tentunya sumber daya tenaga pengajarnya.
Sebagai agama yang sempurna, Islam memberikan konsep yang utuh tentang tatanan ideal proses pendidikan. Abdurrahman An-Nahlawi (2004 : 19) menyatakan, sistem pendidikan dalam Islam amat sempurna mencakup sumber, landasan, metode, sarana, sejarah hingga persoalan yang kerap melanda manusia.
Ajaran Islam menempatkan keluarga pada tempat yang utama dalam proses transfer nilai-nilai asasi dalam hidup. Pusat aktivitas sehari-hari segenap anggotanya, tempat pemenuhan perlindungan dan kasih sayang, tempat penguatan jati diri dan penghargaan, dan proses pembiasaaan dan tauladan bagi segenap anggotanya. Uraian tadi mengungkap betapa dalam keluarga banyak tanggung jawab dan peran yang harus dijalankan
Orang tua secara syar'i yang harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Bukan orang lain. Karena tugas tersebut dibebankan oleh Allah kepada setiap orang tua. Sehingga setiap orang tua wajib menyadari bahwa dirinya berfungsi sebagai pendidik bagi diri mereka sendiri dan bagi anak-anak yang menjadi tanggung jawab mereka.
Menurut Al-Ghazali (dalam Zainuddin, 1991 : 88), tanggung jawab keluarga dalam mendidik anak muncul karena 2 (dua) alasan, yaitu :
1. Anak lahir dalam keadaan bersih, suci dan sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa anak lahir dalam keadaan tidak berdaya dan belum dapat berbuat apa-apa sehingga sangat menggantungkan kepada orang lain yang lebih dewasa. Orang tua adalah tempat menggantungkan diri dan tempat berlindung anak secara wajar berdasarkan atas adanya hubungan keduanya sebagai anak dan orang tua.
2. Kelahiran anak di dunia ini merupakan akibat langsung dari perbuatan kedua orang tuanya. Oleh karena itu orang tua sebagai orang yang telah dewasa harus menanggung segala resiko yang timbul akibat perbuatannya, yaitu bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pendidikan anaknya sebagai amanat Tuhan yang wajib dilaksanakan.
Banyak hal yang diasumsikan mampu membentuk karakter seorang anak. Dari pandangan umum difahami bahwa tanggung jawab pendidikan berada pada diri orang tua. Dengan demikian perlu terus diadakan penelitian seberapa besar pengaruh orang tua dalam membentuk karakter siswa.
Dalam kajian tentang peran keluarga dalam membentuk karakter siswa, Islam memandang bahwa tanggung jawab pendidikan pada awalnya sesungguhnya berada di pundak orang tua. Allah membebankan tanggung jawab tersebut seiring dengan besarnya peranan do'a yang diberikan oleh anak kepada orang tua ketika sudah meninggal.
Selain orang tua, yang perlu disoroti dalam kaitannya dengan proses pembelajaran di lembaga pendidikan adalah sumber daya manusia, khususnya guru. Guru dalam sebuah lembaga pendidikan merupakan ujung tombak bagi tercapainya tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, penempatan seorang gum dalam kelas tidak bisa dilakukan dengan main-main.
Dalam hubungan ini Mohamad Athiyah al-Abrasyi (dalam Abuddin Nata, 2001 : 112) mengatakan bahwa seorang gum harus bersifat zuhud, berpenampilan bersih lahir batin, ikhlas dalam bekerja, pemaaf, berkepribadian sebagai bapak, dan mengetahui tabiat murid. Dalam hubungan ini Abuddin Nata (2001 : 112) juga mengutip pendapat Crow and Crow yang mengatakan bahwa seorang pendidik harus memiliki sepuluh ciri sebagai berikut : (1) memiliki perhatian dan kesenangan pada subjek didik; (2) memiliki kecakapan dalam merangsang subjek didik untuk belajar dan mendorong berpikir; (3) berpenampilan simpatik; (4) bersikap jujur dan adil terhadap para siswanya; (5) dapat menyesuaikan diri dan memperhatikan pendapat orang lain; (6) menampakkan kegembiraan dan antusiasme; (7) luas perhatiannya; (8) adil dalam tindakan; (9) menguasai diri; (10) menguasai ilmu yang diajarkannya.
Menumt perspektif keagamaan, secara khusus seorang gum agama harus pula memiliki sifat-sifat sebagai berikut : (1) senantiasa menyayangi murid-muridnya; (2) mau memberi nasihat; (3) bertujuan ibadah dalam mengajar; (4) lemah lembut; (5) tidak merendahkan pelajaran lain; (6) menyesuaikan dengan kemampuan muridnya; (7) mengamalkan ilmu yang diajarkannya; (8) mendorong para murid agar berpikir; (9) mengajarkan ilmu dimulai dari yang rendah; (10) bersikap adil terhadap semua murid.
Dengan menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada siswa, dapat menyampaikan dan mengaj arkan ilmu pengetahuan tersebut secara efektif dan efisien serta memiliki budi pekerti dan kepribadian yang luhur dan sifat-sifat lainnya sebagaimana disebutkan di atas, maka seorag guru dapat dikatakan sebagai petugas profesional.
Asumsi bahwa orang tua dan guru mampu membentuk karakter siswa berlaku pada setiap sekolah. Di lingkungan SMP X, cerminan pribadi siswa dalam bentuk tampilan lahiriah, misalnya cara berpakaian, beribadah, berorganisasi, kepemimpinan, pergaulan dengan lawan jenis, sikap terhadap orang tua, guru dan teman dan sebagainya untuk sementara dapat dijadikan sebagai tolok ukur karakter yang sudah terbentuk.
Penampilan (performance) lahiriah para siswa SMP X diukur berdasarkan pengamatan dan penilaian yang dilakukan oleh para guru, pengasuh, karyawan, maupun antarteman. Hasil penilaian tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah laporan perkembangan prestasi belajar (raport) setiap individu yang berisi kumpulan hasil evaluasi secara menyeluruh pada setiap aspek perkembangan termasuk kepribadian siswa, dan disampaikan kepada siswa dan orang tua pada setiap akhir semester.
Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana signifikansi peranan pendidikan yang telah diupayakan oleh keluarga dan kompetensi yang dimiliki guru dalam membentuk karakter (character building) siswa di SMP X.
Penelitian ini dilakukan dalam konteks manajemen pendidikan Islam. Sehingga diharapkan hasilnya nanti bermanfaat sebagai referensi bagi para praktisi dan pengelelola lembaga pendidikan Islam, khususnya pada aspek manajemen. Meski tidak mengkaji secara menyeluruh tentang manajemen pendidikan sebagai sebuah kerangka ilmu pengetahuan, penelitian ini mengkaji secara lebih detail bagian-bagian penting yang ada dalam proses pengelolaan dan pengembangan sebuah lembaga pendidikan.
Minimal ada 3 (tiga) bagian penting dari konsep manajemen sekolah yang dikaji dalam penelitian ini. Pertama, konteks manajemen kesiswaan. Dalam hal ini penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangan tentang pentingnya memberi perhatian terkait pembentukan karakter siswa. Kedua, manajemen sumber daya manusia dalam pendidikan, yaitu identifikasi tentang posisi penting seorang guru dalam proses pembentukan karakter siswa. Ketiga, manajemen hubungan masyarakat dalam pendidikan. Dalam hal ini berhubungan dengan keniscayaan sekolah menjalin kerja sama dengan para orang tua untuk bersama-sama membimbing dan mengembangkan karakter anaknya.

B. Rumusan Masalah
Penelitian ini berangkat dari konsep bahwa pendidikan yang dikelola secara profesional dengan memperhatikan setiap aspek yang berhubungan dengan pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Adakah pengaruh positif signifikan arahan pendidikan oleh keluarga terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?
2. Adakah pengaruh positif signifikan kompetensi guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?
3. Seberapa besar pengaruh arahan pendidikan oleh keluarga dan kompetensi guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis :
1. Pengaruh arahan pendidikan yang telah diberikan oleh keluarga terhadap pembentukan karakter siswa SMP X.
2. Pengaruh kompetensi kepribadian guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X.
3. Seberapa besar pengaruh arahan pendidikan yang telah diberikan oleh keluarga dan kompetensi guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan proses pendidikan, antara lain :
1. Bagi para guru, penelitian ini diharapkan memberi gambaran bagaimana pentingnya menempatkan diri sebagai seorang pendidik yang mampu memberi teladan dalam rangka memaksimalkan setiap potensi yang dimiliki para siswanya.
2. Bagi orang tua, penelitian ini menyajikan sebuah kajian mendalam dan bermanfaat tentang arti penting keluarga, khususnya kedua orang tua yang bagi perkembangan kepribadian seorang anak.
3. Bagi para praktisi dan pengelola lembaga pendidikan, penelitian ini setidaknya dapat dijadikan sebagai referensi untuk mengembangkan manajemen lembaganya masing-masing
4. Bagi para peneliti, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi untuk melakukan penelitian di tempat lain.
5. Khusus bagi pengelola SMP X, hasil yang tersajikan dalam penelitian ini nantinya merupakan kondisi nyata yang ada pada lembaga bersangkutan. Sehingga diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan pengelolaan lembaga ke depan.
SKRIPSI PENGARUH METODE BERCERITA MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA ANAK USIA DINI

SKRIPSI PENGARUH METODE BERCERITA MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA ANAK USIA DINI


(KODE : PG-PAUD-0019) : SKRIPSI PENGARUH METODE BERCERITA MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA ANAK USIA DINI




BAB I
PENDAHULUAN 


A. Latar Belakang
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa, seorang dapat menyampaikan ide, pikiran, perasaan kepada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini sejalan dengan pendapat Keraf (2004 : 1), bahwa bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Pengembangan bahasa di TK ialah usaha atau kegiatan mengembangkan kemampuan anak untuk berkomunikasi dengan lingkungannya melalui bahasa.
Menurut pendapat Hurlock (1997 : 175) bahwa :
Usia tiga sampai enam tahun anak sedang dalam masa peralihan dari masa egosentris menuju kemasa sosial. Pada usia ini anak mulai berkembang rasa sosialnya. Anak mulai banyak berhubungan dengan lingkungannya, terutama lingkungan sosialnya. Anak mulai bertanya segala macam yang dihayatinya. Disamping itu, anak juga mulai banyak mengeluarkan pendapat dan menanggapi hal-hal yang dapat diamati atau didengarnya.
Anak TK adalah individu yang mengalami suatu proses pertumbuhan dan perkembangan. Pada usia ini anak berada dalam keadaan yang sangat peka untuk menerima rangsangan dari luar. Rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu merupakan ciri yang paling menonjol. Aspek perkembangan anak yang meliputi perkembangan fisik, motorik, intelektual, emosi, bahasa, serta sosial berlangsung sangat cepat dan akan berpengaruh besar terhadap perkembangan selanjutnya.
Menurut Depdiknas (2003 : 105) fungsi pengembangan bahasa bagi anak TK adalah : (a) Sebagai alat untuk berkomunikasi dengan lingkungan. (b) Sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak. (c) Sebagai alat untuk mengembangkan ekspresi anak. (d) Sebagai alat untuk menyatakan perasaan dan buah pikiran kepada orang lain.
Bahasa dipergunakan pada sebagian besar aktivitas manusia, tanpa bahasa manusia tidak dapat menggungkapkan perasaannya, menyampaikan keinginan, memberikan saran dan pendapat, bahkan sampai tingkat pemikiran seseorang yang berkaitan dengan bahasa. Semakin tinggi tingkat penguasaan bahasa seseorang, semakin baik pula penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Manusia dalam mengungkapkan bahasanyapun berbeda-beda, ada yang lebih suka langsung menbicarakannya dan ada juga lebih suka melalui tulisan.
Berbicara termasuk pengembangan bahasa yang merupakan salah satu bidang yang perlu dikuasai anak usia dini. Pada masa ini anak usia dini memerlukan berbagai rangsangan yang dapat meningkatkan perkembangan bahasa anak, sehingga dengan pemberian rangsangan yang tepat maka bahasa anak dapat tercapai secara optimal.
Keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen yang terdiri dari keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis (Tarigan, 1984 : 1). Keempat keterampilan tersebut memiliki hubungan yang saling terkait satu sama lain, yang merupakan satu kesatuan. Keempat keterampilan tersebut perlu dilatih pada anak usia dini karena dengan kemampuan berbahasa tersebut anak akan belajar berkomunikasi dengan orang lain, sebagaimana dalam kurikulum 2004 diungkapkan bahwa kompetensi dasar dari pengembangan bahasa untuk anak usia dini yaitu "anak mampu mendengarkan, berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata dan mengenal simbol-simbol yang melambangkannya".
Salah satu masalah yang berkaitan dengan bahasa pada anak usia dini adalah keterampilan berbicara anak usia dini kurang mendapatkan perhatian dari para pengajar, karena lebih memfokuskan pada keterampilan membaca dan menulis. Akibatnya perbendaharaan kata yang dimiliki anak usia dini masih terbatas, sehingga anak usia dini kurang mampu mengungkapkan gagasan atau ide ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru dan anak kadang merasa belum paham dengan apa yang dibicarakannya.
Strand (Brian Boscolo, 2002 : 4) mengklaim bahwa "adanya stimulasi berkelanjutan, proses interaksi dan rumusan bahasa secara verbal dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak".
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Strand, maka sewajarnya anak-anak dari usia dini difasilitasi proses interaksinya, atau dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan gagasannya dalam bentuk lisan. Sehingga dengan anak terampil dalam berbicara memungkinkan untuk dapat menjalin komunikasi lisan yang baik dengan orang dewasa atau bahkan dengan teman sebayanya.
Wortham, Sue (2006 : 212) menyatakan bahwa "kesiapan anak untuk berinteraksi dengan orang dewasa berarti berkembangnya pemahaman mereka mengenai aturan dan fungsi bahasa, akhirnya percakapan dengan orang dewasa menyediakan hubungan dengan konsep".
Sependapat dengan yang dikemukakan oleh Wotham Sue, bahwa anak akan belajar dengan orang-orang di sekitarnya, anak menjadi sering peniru yang baik ketika dihadapkan pada lingkungan tempat tinggalnya. Kemampuan berbicara pada usia dini remaja akan sangat tergantung terhadap pemerolehan kemampuan berbicara pada waktu kecil. Berhasilnya anak melewati masa-masa kritis perkembangan bicara akan menghasilkan kesuksesan di masa depannya.
Arsyad dan Mukti U.S (1993 : 23) dalam (Chista Rosita, 2007) mengungkapkan bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucap kalimat-kalimat untuk mengekpresikan, menyatakan pikiran, gagasan dan perasaan.
Menyikapi hal tersebut, seyogyanya taman kanak-kanak sebagai salah satu bentuk pendidikan anak usia dini yang berada pada jalur formal untuk anak usia 4-6 tahun, perlu mempersiapkan dan melakukan pembenahan diri dalam rangka menghadapi serta mamasuki era globalisasi, salah satu caranya dengan meningkatkan kemampuan berbicara pada anak.
Dalam Pedoman Guru TK (1984) dikemukakan bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan perkembangan bahasa di TK hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Tiap anak diberi kesempatan yang sebaik-baiknya untuk mengembangkan bahasanya.
2. Dalam memelihara ketertiban, spontanitas anak sebaiknya jangan ditekan dan sebaiknya disalurkan.
3. Pendidikan bahasa hendaknya diberikan dalam suasana keakraban antara guru dengan murid.
4. Bahan untuk mengembangkan bahasa anak, hendaknya memenuhi syarat-syarat seperti :
a. Di ambil dari lingkungan anak.
b. Sesuai dengan usia dan taraf perkembangan anak.
c. Mengandung unsur-unsur yang merangsang perkembangan intelegensi, fantasi, social dan moral.
Banyak guru TK dalam membantu mengembangan bahasa anak kurang memperhatikan prinsip-prinsip di atas, sehingga dalam pelaksanaannya tidak optimal menggunakan beberapa metode yang biasa di gunakan di TK, seperti : bercerita, pemberian tugas, praktek langsung, bercakap-cakap, tanya jawab, menyanyi, deklamasi, peragaan, karya wisata, demonstrasi dan bermain peran.
Menurut Soejanto Sandjaja (tt : 4) dikutif dari Edisari berdasarkan usia kronologis anak antara dua sampai enam tahun, anak-anak menyukai buku yang didominasikan oleh gambar-gambar nyata.
Terkait hal tersebut di atas, bercerita dapat menjadi salah satu metode pengantar anak untuk terampil berbicara. Berbicara sangat penting artinya guna mendukung seseorang dalam peningkatan berkomunikasi antar manusia, karena sebagai manusia memilki keterbatasan dalam mengetahui sesuatu.
Bercerita juga tidak selalu baik bagi seseorang tergantung apa yang akan diceritakan dan manfaat bagi yang diceritakannya. Untuk kenyataan itu perlu memilihkan atau mengarahkan anak untuk terbiasa berbicara bahan bercerita yang memiliki makna baik, apalagi masa kanak-kanak merupakan masa yang paling baik untuk menanamkan sesuatu untuk bekal masa depannya kelak. bercerita secara lisan sangat cocok diterapkan pada anak usia dini karena selain melatih keberanian berbicara, juga melatih agar anak terampil berbicara melalui bercerita.
Metode bercerita cara bertutur kata dan menyampaikan cerita atau memberikan penerangan kepada anak secara lisan, metode tersebut dapat melatih siswa terbiasa untuk dapat mengungkapkan persaaannya lewat bercerita dan siswa dapat termotivasi untuk terampil mengungkapkan perasaannya di depan kelas tanpa malu-malu.
Paul (1998) dalam penelitian Brian Boscolo (2002 : 4) menyatakan bahwa anak tidak dapat menghasilkan kefasihan berbicara yang utuh kalau tidak ada bagian atau komponen yang bisa tersedia dari ingatan membaca yang baik.
Pada kenyataannya anak-anak belum dapat memahami makna simbol dari sebuah kata atau kalimat yang terdapat dalam buku, karenanya buku cerita bergambar merupakan alat yang baik untuk menarik anak-anak berkonsentrasi pada buku. Anak dapat membaca cerita dari sebuah buku cerita bergambar berdasarkan pemahaman atau pengetahuan yang dimilikinya.
Beberapa hasil penelitian sebelumnya tentang penggunaan metode bercerita telah banyak diteliti oleh beberapa mahasiswa. Salah satu penelitian yang menggunakan metode bercerita adalah Aam Aminah (2009) dari jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dengan judul Penerapan Metode Bercerita (Story Telling) untuk Meningkatkan Keterampilan Menyimak dalam Pembelajaran Bahasa Inggris. Penelitian tersebut telah membuktikan bahwa penerapan metode bercerita memberikan pengaruh yang lebih besar dalam keterampilan menyimak anak. Anak lebih antusias, dapat berkonsentrasi, serta menunjukkan ekspresi ketika mendengarkan cerita, dan dapat menjawab pertanyaan dari guru.
Penelitian dengan menggunakan metode bercerita juga diteliti oleh Eulis Siti Aisyah (2009) dari jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dengan judul Penerapan Metode Bercerita untuk Meningkatkan kemampuan Anak dalam Mengenal Bilangan. Penelitian tersebut dapat merangsang kemampuan anak dalam mengenal bilangan melalui ilustrasi gambar.
Berdasarkan penelitian dan latar belakang tersebut peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang "Pengaruh Metode Bercerita Menggunakan Buku Cerita Bergambar Terhadap Keterampilan Berbicara Anak Usia Dini".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Bagaimana pengaruh metode bercerita menggunakan buku cerita bergambar terhadap keterampilan berbicara anak usia dini". Dengan batasan masalah keterampilan berbicara anak usia dini dengan metode bercerita menggunakan buku cerita bergambar. Secara lebih rinci rumusan masalah diuraikan sebagai berikut :
1. Bagaimana keterampilan berbicara anak usia dini pada kelas yang tidak menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar ?
2. Bagaimana keterampilan berbicara anak usia dini pada kelas yang menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar ?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara metode bercerita terhadap peningkatan keterampilan berbicara anak usia dini ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian secara umum adalah untuk mengetahui pengaruh metode bercerita menggunakan buku cerita bergambar terhadap keterampilan berbicara anak usia dini. Secara lebih rinci di uraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui keterampilan berbicara anak usia dini pada kelas yang tidak menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar.
2. Untuk mengetahui keterampilan berbicara anak usia dini pada kelas yang menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar.
3. Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan antara metode bercerita terhadap peningkatan keterampilan berbicara anak usia dini.
SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL

SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL


(KODE : PG-PAUD-0018) : SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Anak TK adalah individu yang berusia sekitar 4 hingga 6 tahun yang sedang menjalani proses pertumbuhan dan perkembangan. Anak pada usia TK mulai merasakan pendidikan di lingkungan sekolah yang lebih formal sebagai bentuk pengembangan dari pendidikan di lingkungan rumah yang biasa mereka hadapi. Anak TK juga berada dalam keadaan yang sangat peka untuk menerima rangsangan dari luar, memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi dan memiliki sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu. Pendapat tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Jamaris (2006), bahwa :
Usia Taman Kanak-kanak yaitu usia 4-5 atau 6 tahun merupakan usia yang mengandung masa keemasan bagi perkembangan fisik dan mental anak tersebut. Pada masa ini, anak sangat sensitif menerima segala pengaruh yang diberikan oleh lingkungannya. Anak pada usia ini dapat dianalogikan dengan sepotong karet busa yang menyerap air sepenuhnya dengan tidak mempedulikan apakah air tersebut kotor atau bersih. Oleh sebab itu, masa kanak-kanak adalah masa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan anak di masa depan. Kesuksesan anak dalam melalui masa ini menjadi pondasi bagi kesuksesan anak tersebut di masa depan.
Aspek yang perlu dikembangan pada anak meliputi perkembangan fisik, motorik, intelektual, emosi, bahasa serta sosial. Pernyataan ini sesuai dengan hasil Konferensi Jenewa yang menyepakati bahwa terdapat berbagai aspek yang perlu dikembangkan pada anak TK yaitu : bahasa, kognitif, psikomotorik, emosi, moral, sosial dan kepribadian (Yudha & Rudiyanti, 2005 : 3). Selaras dengan hasil konferensi Jenewa, Paud Anak Ceria Berbudaya Lingkungan mengungkapkan bahwa "Perkembangan anak usia TK yang terentang antara usia empat sampai dengan enam tahun merupakan bagian dari perkembangan manusia secara keseluruhan. Perkembangan pada usia ini mencakup perkembangan fisik dan motorik, kognitif, sosial emosional, serta bahasa".
Perkembangan tersebut berlangsung sangat cepat dan akan berpengaruh besar terhadap perkembangan selanjutnya, juga merupakan usia kritis sekaligus strategis dalam pendidikan yang akan mewarnai proses serta hasil pendidikan pada usia selanjutnya.
Salah satu aspek perkembangan anak yang dapat dikembangkan sebagai bekal kehidupan sekarang dan masa yang akan datang adalah aspek perkembangan sosial karena manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bias hidup tanpa adanya interaksi dengan manusia lainnya. Plato (Nugraha, 2004 : 113) "Secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon)". Pendapat serupa diungkapkan Syamsuddin (1995 : 105) bahwa "sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk sosial", sedangkan menurut Loree (1970 : 86) "sosialisasi merupakan suatu proses di mana individu (terutama) anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya) serta belajar bergaul dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya".
Anak adalah mahkluk sosial dan memiliki potensi sosial yang dibawanya sejak lahir. Potensi sosial yang sudah dimiliki anak, dengan mulai menunjukkan keinginannya untuk berhubungan dengan orang lain. Interaksi sosial pada anak pertama kali terjadi dalam lingkungan keluga terutama orang tua dan saudara, .pada tahap perkembangan usianya anak akan berinteraksi dengan lingkungan baru seperti berinteraksi dengan lingkungan sosial sekolah. Sehingga sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat dijadikan media untuk memfasilitasi perkembangan sosial anak, yang dapat dilihat secara langsung melalui suatu proses pembelajaran serta memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pembentukan perkembangan manusia dalam setiap tahap tugas perkembangannya.
Peran sekolah dalam pengembangan keterampilan sosial anak adakalanya tidak sesuai dengan yang diharapkan, karena fakta di lapangan banyak ditemukan siswa Taman Kanak-kanak yang kurang memiliki keterampilan sosial. Ini ditunjukkan dengan munculnya perasaan malu yang acap kali menjadi penghambat bagi anak untuk bergaul atau berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Anak menjadi canggung dan sulit membangun komunikasi di tengah teman-teman, anak merasa asing dan terkucil dari lingkungan, sehingga anak cenderung menarik diri dari lingkungannya (Surya, 2006 : 34).
Kazdin (Hanabi, 2009) menyebutkan bahwa dari seluruh anak-anak yang dirujuk karena mengalami gangguan klinis, sepertiga sampai setengah di antaranya mengalami gangguan perilaku sosial. Fenomena seperti ini umum terjadi di banyak Negara. Misalnya, penelitian epidemiologi di beberapa Negara seperti di Kanada, Queensland, dan Selandia Baru menunjukkan sekitar 5-7% anak-anak mengalami gangguan perilaku diungkapkan oleh Grainger (Desvi Yanti : 2005). Sementara itu di Indonesia, pada tahun 2000, BAPAS (Balai Permasyarakatan) mencatat bahwa di Lampung saja setiap bulan terjadi 35 kasus anak yang berkonflik dengan hukum, yang berarti satu tahunnya berjumlah 420 kasus. Kejahatan yang mereka lakukan bermacam-macam, mulai dari pencurian, pemerasan, pengeroyokan sampai penggunaan obat-obatan, pemerkosaan, serta pembunuhan (Lembaga Advokasi Anak-Damar Lampung, 2002). Kasus tersebut menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia banyak mengalami permasalahan dalam hal keterampilan sosial, pengembangan keterampilan sosial pada anak masih kurang sehingga sekolah sebagai lembaga pendidikan formal khususnya Taman Kanak-kanak memiliki tanggung jawab untuk dapat mengembangkan keterampilan sosial pada anak usia dini.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Crick, Dodge, dan Lohman (Hanabi, 2009) dapat disimpulkan bahwa anak yang memiliki keterampilan sosial rendah menunjukkan prasangka permusuhan, saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif. Mereka juga kurang mampu mengontrol emosi, sulit memahami perasaan dan keinginan orang lain, dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial.
Permasalahan yang berkaitan dengan keteramplan sosial pada anak TK pun kerapkali muncul, seperti : maladjustment, egois, agresif dan perilaku anti sosial, negativisme, pertengkaran, mengejek dan menggertak, perilaku sok kuasa, prasangka, serta antagonisme jenis kelamin. Padahal seyogyanya anak usia TK memiliki kesempatan luas untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Sekolah serta rumah tempat tinggal menjadi tempat bagi anak untuk dapat melatih kepekaan sosial anak. Yusuf (2001 : 122) bahwa perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anak bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari atau proses ini disebut dengan sosialisasi.
Kegagalan anak dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya yang dalam hal ini adalah tugas untuk bersosialisasi, akan mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang sehingga sulit diterima oleh kelompok. Kurniati (2006 : 38) menjelaskan bahwa "...tidak semua anak memiliki keterampilan sosial sesuai dengan tuntutan kelompoknya". Jika terdapat anggota kelompok yang menunjukkan pola-pola perilaku yang tidak diharapkan oleh anggota kelompok maka anak tersebut tidak akan disukai anggota kelompok lainnya sehingga anak akan dikucilkan dan dijauhi kelompoknya. Sejalan dengan pernyataan Hurlock (1978 : 307) "Efek penolakan dan pengabaian yang dilakukan oleh kelompok sosial terhadap anak sampai tingkat tertentu, akan bergantung pada sejauh mana makna penting persetujuan dan penerimaan sosial bagi mereka".
Semua permasalahan di atas menuntut para pendidik untuk dapat membantu peserta didik khususnya anak usia Taman Kanak-kanak mengembangkan keterampilan sosial yang dimilikinya, dengan berbagai metode pembelajaran sehingga dapat membentuk individu yang berkualitas sebagai bekal bagi jenjang pendidikan selanjutnya.
Ada berbagai metode pembelajaran yang diberikan bagi proses pembelajaran anak usia Taman Kanak-kanak, namun metode yang dirasakan tepat untuk mengatasi masalah keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak di sekolah adalah metode bermain. Hal ini sesuai dengan yang di ungkapkan Moeslichatoen (2004 : 33) bahwa :
Melalui bermain anak dapat mengembangkan kemampuan sosialnya, seperti membina hubungan dengan anak lain, bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat, menyesuaikan diri dengan teman sebaya, dapat memahami tingkah lakunya sendiri, dan paham bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya.
Salah satu teknik dalam metode bermain adalah permainan, permainan merupakan teknik yang sesuai untuk dapat mengembangkan keterampilan sosial. Karena teknik permainan menciptakan suatu suasana santai dan menyenangkan. Suasana yang santai dan menyenangkan membuat seseorang dapat belajar lebih baik. Penelitian kurniati (2006) membuktikan penggunaan permainan dalam bimbingan dapat mengembangkan keterampilan sosial. Menurut Cremer & Siregar (1993 : 17) tingkah laku seseorang dalam permainan sama dengan tigkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mengenai cara untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah, merencanakan sesuatu dan berkomunikasi. Sehingga dengan permainan yang diberikan, pendidik dapat mengetahui tingkah laku siswa atau peserta didik yang sebenarnya, yang dapat membantu memudahkan proses pengembangan keterampilan sosial.
Pendapat-pendapat lain tentang permainan yang dikemukakan oleh Elly Fajarwati (www.nasimaedu.com) antara lain : Santrock (1995) mengemukakan "Permainan adalah suatu kegiatan yang menyenangkan". Bagi Freud dan Erikson, "Permainan adalah suatu bentuk penyesuaian diri manusia yang sangat berguna untuk menolong anak menguasai kecemasan dan konflik". Kak Seto (2004) menyatakan "Permainan bersifat spontan dan sukarela, tidak ada unsur keterpaksaan dan bebas dipilih oleh anak". Piaget (1962) melihat "Permainan sebagai suatu media yang dapat meningkatkan perkembangan kognitif anak-anak". Vygotsky (1962) juga meyakini "Permainan adalah suatu seting yang sangat bagus bagi perkembangan kognitif. Daniel Berlyne (1960) menjelaskan "Permainan sebagai sesuatu yang mengasyikan dan menyenangkan karena permainan itu memuaskan dorongan penjelajahan kita".
Pendapat-pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa permainan merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan, dilakukan tanpa paksaan, bentuk penyesuaian diri, sebagai media meningkatkan perkembangan kognitif dan dapat memuaskan dorongan untuk menjelajah. Terdapat banyak jenis permainan yang dapat digunakan dalam dinamika kelompok. Secara umum kita dapat mengklasifikasikannya ke dalam dua jenis yaitu permainan modern dan permainan tradisional. Permainan modern memerlukan biaya tinggi dan rentan terhadap masalah telah mengarahkan pada suatu pemikiran untuk lebih memperkenalkan siswa pada jenis permainan tradisional. Permainan tradisional memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan permainan modern, permainan tradisional yang diberikan pada anak memberikan banyak nilai-nilai pendidikan diantaranya dari gerakan yang dilakukan, syair lagu yang dinyanyikan maupun tembangnya. Selain itu permainan tradisional juga dapat memberikan rasa senang sebagai stimulus untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa taman kanak-kanak. Kelebihan dari permainan tradisional yaitu mengutamakan kelompok dan kebersamaan, sederhana, memiliki nilai-nilai perilaku filosofi, dan nilai-nilai sosial. Selain itu, permainan tradisional tidak dapat dipisahkan dengan fungsi psikologis perkembangan anak, tidak hanya sekedar memberi perasaan senang, juga mengembangkan fungsi kognitif, psikomotorik, sosial dan aspek emosional yang ditonjolkan seperti meningkatkan afiliasi dengan teman sebaya, kontak sosial, konservasi dan keterampilan sosial.
Aspek kompetensi sosial yang dapat dikembangkan melalui permainan tradisional meliputi pemecahan masalah, pengendalian diri, empati dan kerja sama. Seperti yang diungkapkan dalam (kurniati, 2006 : 47) bahwa "Permainan tradisional yang sarat dengan nilai-nilai budaya dapat membantu mengembangkan keterampilan sosial, dan dinamika kelompok dapat diarahkan pada pembentukan perilaku untuk mengatasi masalah penyesuaian sosial".
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, penulis mencoba untuk melakukan penelitian untuk mengetahui lebih lanjut mengenai keefektifan penerapan metode permainan tradisional dalam meningkatkan keterampilan sosial anak TK. Permainan tradisional yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah boy-boyan yang berasal dari daerah Jawa Barat. Oleh karena itu penelitian ini berjudul "Meningkatkan Keterampilan Sosial Anak Taman Kanak-kanak Melalui Permainan Tradisional".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Anak usia TK hendaknya memiliki kesempatan luas untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Menurut Syamsu Yusuf (2001 : 122), perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anak bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari atau proses ini disebut dengan sosialisasi. Sueann Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif. Semakin banyak kesempatan yang diberikan pada anak untuk bersosialisasi maka akan semakin banyak pula keterampilan-keterampilan yang didapat dan dikuasai oleh anak. Hasil yang diperoleh dari proses sosialisasi tersebut merupakan keterampilan sosial yang mempunyai kedudukan strategis bagi anak untuk dapat membina hubungan antarpribadi dalam berbagai lingkungan dan kelompok orang (Moeslichatoen, 2004 : 21).
Ketika proses sosialisasi berlangsung, tidak semua anak mampu menunjukkan keterampilan sosialnya dengan baik dan ini memungkinkan anak tidak dapat diterima oleh kelompok sosialnya. Adanya anak yang tidak diterima oleh kelompok sosialnya ini berarti keterampilan sosial anak yang dimiliki harus ditingkatkan.
Penyediaan lingkungan yang kondusif untuk belajar sambil bermain dan peran guru sebagai fasilitator disekolah sangat membantu anak untuk meningkatkan keterampilan sosial anak. Pemilihan metode pembelajaran yang tepat dan cocok dengan karakteristik dan kebutuhan anak adalah hal yang penting untuk meningkatkan keterampilan sosial anak.
Beragam teknik dapat digunakan dalam dinamika kelompok, salah satunya adalah melalui permainan. Permainan telah terbukti dapat mengembangkan sejumlah kemampuan fisik maupun psikis. Menurut Schafer & Reid (2001 : 105) permainan tidak hanya membuat seseorang senang tetapi dapat juga mengembangkan pemahaman dan penerimaan sosial. Berikut definisi para ahli mengenai permainan, yaitu :
1. John W. Santrock (1995 : 272) mengartikan permainan (Play) sebagai kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri .
2. Dockett & Fleer (Kurniati, 2006 : 48) mendefmisikan permainan sebagai aktivitas bermain yang di dalamnya telah memiliki aturan yang jelas dan disepakati bersama.
Permainan yang digunakan dalam penelitian adalah permainan tradisional. Cooney (Kurniati : 2006 : 49) menjelaskan Traditional play forms are those activities handed down from one generation to the next and conti nuosly followed by most people. Artinya permainan tradisional terbentuk dari aktivitas yang diturunkan terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya oleh banyak orang.
Jenis permainan tradisional yang digunakan dalam penelitian ini adalah permainan tradisional Jawa Barat. Menurut Kurniati (2006 : 48) permainan tradisional Jawa Barat merupakan suatu aktivitas bermain (kaulinan Barudak) yang tumbuh berkembang di Jawa Barat, yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan tata nilai kehidupan masyarakat sunda dan diajarkan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Berdasarkan anggapan bahwa keterampilan sosial anak TK itu penting untuk dimiliki dan ditingkatkan melalui penerapan metode bermain dengan teknik permainan tradisional maka penelitian ini difokuskan untuk mengetahui apakah keterampilan sosial anak TK dapat meningkat setelah diterapkan metode bermain dengan permainan tradisional boy-boyan, bagaimana proses pelaksanaannya dan bagaimana peran guru dalam menerapkan metode permainan tradisional tersebut. Atas dasar perumusan masalah maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik keterampilan sosial yang dimiliki anak ?
2. Bagaimana upaya peningkatan keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak melalui permainan tradisional ?
3. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh guru dalam melakukan kegiatan teknik permainan tradisional untuk meningkatkan keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian yang dilaksanakan adalah untuk mengetahui gambaran tentang penerapan teknik permainan tradisional dalam meningkatkan keterampilan sosial pada anak TK.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1. Memahami karakteristik keterampilan sosial anak.
2. Memahami upaya peningkatan keterampilan sosial melalui permainan tradisional.
3. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh guru dalam melakukan teknik permainan tradisional untuk meningkatkan keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak.

D. Manfaat Penelitian
Berpijak pada latar belakang penelitian, hasilnya diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca dan para pendidik untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dibidang pendidikan anak usia taman kanak-kanak, lebih spesifik manfaat yang diharapkan diantaranya sebagai berikut :
a. Bagi Guru
1. Menambah wawasan guru mengenai metode pembelajaran dengan teknik permainan tradisional yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan sosial anak
2. Meningkatkan pemahaman guru tentang pentingnya pengembangan keterampilan sosial anak melalui penerapan teknik permainan tradisional
3. Memberikan pengalaman bagi guru dalam merancang metode bermain dengan menggunakan permainan tradisional
b. Bagi Lembaga Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada lembaga penyelenggara pendidikan pada umumnya dan untuk sekolah Taman Kanak-Kanak pada khususnya dalam rangka meningkatkan keterampilan sosil anak.
c. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang metode bermain dan penerapan metode bermain dengan permainan tradisional untuk meningkatkan keterampilan sosial anak.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti efektifitas peningkatan keterampilan sosial anak TK melalui permainan tradisional.