Search This Blog

TESIS HUBUNGAN KUALITAS PERENCANAAN DAN PENGAWASAN KEPALA SEKOLAH DENGAN EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI LESSON STUDY

TESIS HUBUNGAN KUALITAS PERENCANAAN DAN PENGAWASAN KEPALA SEKOLAH DENGAN EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI LESSON STUDY

(KODE : PASCSARJ-0125) : TESIS HUBUNGAN KUALITAS PERENCANAAN DAN PENGAWASAN KEPALA SEKOLAH DENGAN EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI LESSON STUDY (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 menyatakan pendidikan nasional Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Demi tercapainya tujuan itu dibentuklah suatu sistem pendidikan nasional Indonesia yang dilandaskan kepada akar budaya dan filsafat bangsa dengan berorientasi kepada persaingan global dalam kemajuan peradaban dunia melalui manajemen pendidikan nasional.
Manajemen pendidikan nasional menata setiap komponen sistem pendidikannya, yaitu tenaga pendidikan, peserta didik, kurikulum dan sarana prasarana, secara sistematis agar dapat menghasilkan output pendidikan sesuai dengan tujuan tersebut. Dalam pelaksanaannya, Fattah, N. (2008 : 1) mengungkapkan pengelolaan setiap komponen sistem pendidikan tidak terlepas dari fungsi-fungsi manajemen, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemimpinan (leading) dan pengawasan (controlling). Fungsi-fungsi tersebut bertujuan untuk mengatur proses kegiatan pendidikan, termasuk di sekolah sebagai wahana pendidikan, agar dapat berjalan dengan baik sehingga pada gilirannya tercapai efektivitas dan efisiensi.
Peningkatan efektivitas dan efisiensi kualitas pendidikan harus terus menerus dilakukan melalui berbagai upaya untuk memenuhi perkembangan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan dan hasil pendidikan. Bicara masalah pelayanan dan hasil pendidikan selalu diidentikkan dengan profesionalisme dan kinerja guru. Guru, sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan, seyogianya menguasai 4 kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10.
Keempat kompetensi tersebut bersifat holistik dan integratif yang ditunjukkan dalam kinerja guru. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/silabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Sedangkan kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, secara obyekif mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan. Pengembangan kompetensi sosial juga tak kalah penting karena merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang mengharuskan seorang guru dapat berkomunikasi dengan baik dan mampu bergaul dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali dan masyarakat sekitar secara santun. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Secara khusus tugas dan fungsi tenaga pendidik didasarkan pada Undang-Undang no 14 tahun 2007, yaitu sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu guru dalam proses belajar mengajar harus memiliki kompetensi tersendiri guna mencapai harapan yang dicita-citakan dalam melaksanakan pendidikan pada umumnya dan proses belajar mengajar khususnya. Agar memiliki kompetensi tersebut guru perlu membina dan mengembangkan kemampuan peserta didik secara profesional di dalam proses belajar mengajar.
Berkaitan dengan peran dan tugas guru, Cooper (Satori, D. et al 2007 : 2.2) membagi kemampuan dasar guru ke dalam empat komponen, yakni (a) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (b) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya, (c) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, dan (d) mempunyai keterampilan dalam teknik mengajar.
Berdasarkan Undang-Undang no 20 tahun 2003 Pasal 39 ayat 2 pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dari pandangan tersebut peranan dan tugas guru dapat diidentifikasi dalam dua bagian pokok yaitu sebagai pengelola dan sebagai pelaksana pendidikan dan pengajaran di kelas. Artinya guru sebagai pengelola harus memiliki kemampuan manajerial yaitu menguasai perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian. Lalu, sebagai pelaksana, guru harus mampu memiliki kemampuan teknis yang terkait dengan bagaimana menggunakan segala sumber daya pendidikan yang ada dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, dalam hal ini guru harus mampu mengelola kegiatan belajar mengajar yang baik melalui berbagai strategi dan metode sekaligus menjadi sumber belajar bagi siswa.
Kenyataannya mutu pendidikan Indonesia dinilai secara rendah. Dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 diantara 130 negara di dunia.
Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0,935, dibawah Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965), Jawa Pos, edisi 12 Desember 2007 (Pujianto, W. 2008 : 1). Fakta tentang rendahnya mutu pendidikan Indonesia ini tentunya tidak terlepas dari masih lemahnya aspek manajemen pendidikan di Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkinan dari rendahnya kemampuan guru sebagai ujung tombak pendidikan dalam mengejawantahkan keempat kompetensinya tersebut. Oleh karena itu pengembangan keprofesionalan guru harus selalu ditingkatkan, karena peningkatan keprofesionalan guru akan diikuti oleh peningkatan efektivitas kegiatan belajar mengajar dan secara tidak langsung peningkatan keprofesionalan guru juga akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan secara luas.
Lesson Study dipercaya sebagai salah satu upaya menciptakan guru yang profesional. Lesson Study memang bukan suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi lebih merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi, dan melaporkan hasil pembelajaran. Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning community) yang secara konsisten dan sistematis melakukan untuk perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial. Mulyana, S. (2007 : 2) memberikan pandangan tentang Lesson Study yaitu sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.
Lesson Study dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan keprofesionalan guru karena memungkinkan guru selain untuk memikirkan dengan cermat mengenai tujuan pembelajaran jangka pendek dan jangka panjang terhadap materi pokok, strategi dan metode pembelajaran, Lesson Study juga membuat guru merancang pembelajaran yang kolaboratif. Hal ini menyebabkan terjadinya saling koreksi antar pelaksana Lesson Study demi perbaikan pembelajaran berikutnya.
Dalam pelaksanaannya program Lesson Study memerlukan fungsi-fungsi manajemen, terutama perencanaan yang kuat. Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang menempati posisi pertama dan utama di antara fungsi-fungsi manajemen lainnya. Ini berarti bahwa perencanaan merupakan titik pangkal berbagai program dalam manajemen atau organisasi. Perencanaan adalah proses menentukan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan jalan dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu seefisien dan seefektif mungkin.
Sejalan dengan pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah fakta mengenai pentingnya peran Kepala Sekolah dinyatakan dalam http://yberlantai.1971.multiply.com/jounal/item/26 dalam International Conference of Lesson Study awal Maret 2009 di SMPN 4 X dinyatakan bahwa : "Lesson Study di X diakui ada yang gagal dan ada yang berhasil. Berhasil karena ada dukungan dari pengawas, Kepala Sekolah, dan Dinas setempat. Jadi ternyata agar berhasil Lesson Study ini perlu dukungan bottom up dan top down. Petunjuk teknis tetap di perlukan. Ujung tombak keberhasilan Lesson Study ternyata ada di Kepala Sekolah sebagai leader of innovation and motivator. Kepala Sekolah ternyata kunci keberhasilan sekolah dan juga guru".
Dari pernyataan tersebut bisa diindikasikan bahwa pengawasan dari Kepala Sekolah menduduki peran yang sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan program Lesson Study ini. Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktivitas yang terlaksana sesuai dengan yang telah direncanakan. Pengawasan yang dilakukan Kepala Sekolah merupakan sebuah pengawasan internal yang pada hakikatnya meliputi pengujian dan evaluasi terhadap kecukupan dan keefektifan sistem pengendalian intern yang dimiliki oleh sekolah dan kualitas dari pelaksanaan program Lesson Study.
Perencanaan dan pengawasan yang efektif dapat melahirkan pelaksanaan program yang efektif pula. Menciptakan suasana kondusif agar semua guru mampu melaksanakan tugas bukan hanya sekedar tanggung jawab kesupervisian Kepala Sekolah, tetapi lebih sebagai akuntabilitas, yang tarafnya lebih tinggi dari tanggung jawab. Kepala Sekolah bertanggungjawab membangun sekolahnya sebagai tempat pembelajaran yang kondusif demi terciptanya sekolah yang efektif. Lunenburg (2008 : 14) dalam bukunya The Principalship : Vision to Action, menyatakan "The role of instructional leader helps the school to maintain a focus on why the school exists, and that is to help all students learn ". Hal ini berarti Kepala Sekolah sebagai pimpinan sekolah berperan sangat penting dalam membuat sekolah tetap fokus kepada mengapa sekolah tersebut ada, dan sekolah ada hanyalah untuk membantu siswa belajar. Kepala Sekolah merupakan the key person keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Kegagalan dan keberhasilan sekolah banyak ditentukan oleh kepala sekolah, karena kepala sekolah merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh sekolah menuju tujuannya.
Salah satu alasan utama penelitian ini dilakukan, yaitu sejalan dengan pendapat para ahli tentang peran Kepala Sekolah sebagai key person dalam organisasinya tersebut. Secara kontekstual peranan kepala sekolah sangat menentukan keefektifan implementasi program di sekolahnya termasuk Lesson Study, namun kenyataan di lapangan keberlangsungan Lesson Study perlu mendapat perhatian. Melalui beberapa kali pengamatan di beberapa sekolah, sebagian kepala sekolah tidak memiliki pengetahuan kepemimpinan, tidak hadir di hari efektif belajar mengajar, belum mampu menyusun program kerja tahunan, belum mampu merumuskan dan menjabarkan visi dan misi sekolahnya, dan belum melakukan pengawasan internal secara efektif terutama pada program Lesson Study. Hal ini tentu saja mempengaruhi keberlangsungan Lesson Study sebagai upaya perbaikan mutu pembelajaran, mutu lulusan dan mutu sekolah.
Terkait dengan penyelenggaraan Lesson Study, ada dua tipe penyelenggaraan Lesson Study, yaitu Lesson Study berbasis sekolah dan Lesson Study berbasis MGMP. JICA (Japan International Cooperation Agency) bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama Republik Indonesia membuat suatu program peningkatan kualitas SMP/MTs. Program ini baik mendukung terlaksananya Lesson Study berbasis MGMP maupun berbasis sekolah. Lesson Study berbasis MGMP merupakan pengkajian tentang proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh kelompok guru mata pelajaran tertentu, dengan pendalaman kajian tentang proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu, yang dapat dilaksanakan pada tingkat wilayah, kabupaten atau mungkin bisa lebih diperluas lagi. Sedangkan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) dilaksanakan oleh semua guru dari berbagai bidang studi dengan kepala sekolah yang bersangkutan dengan tujuan agar kualitas proses dan hasil pembelajaran dari semua mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan dapat lebih ditingkatkan.
Program Lesson Study Berbasis Sekolah menjadi menarik untuk dipelajari karena keterlibatan Kepala Sekolah yang sangat kuat dalam menciptakan iklim sekolah yang nyaman demi terlaksananya program tersebut. Beberapa penelitian menemukan beberapa fakta betapa sulitnya seorang Kepala Sekolah membangun iklim sekolah yang efektif. Beberapa diantaranya adalah :
1. masih tingginya tingkat ketidakhadiran guru dengan berbagai alasan, 45% tanpa alasan yang jelas, 36% karena sakit, dan 19% karena mendapat tugas resmi secara kedinasan (Usman, Ahmadi, dan Suryadarma, 2004, dalam Koesoema, 2009 : 194)
2. masih terjadinya mismatch teaching karena ketidakmerataan ketersediaan guru yang memungkinkan pengajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian guru (Koesoema, 2009 : 194)
3. masih adanya kultur sekolah yang negatif seperti senioritas dan bias gender (Kauffman and Liu, 2001, dalam Koesoema, 2009 : 195)
4. masih adanya norma privasi dalam kultur dalam profesi guru yang mengutamakan individualisme, meyakini bahwa pekerjaan guru merupakan urusan pribadi guru dan murid di dalam kelas di mana rekan kerja atau orang lain di luar kelas tidak berhak ikut campur (Fullan, 2007, dalam Koesoema, 2009 : 195)
5. dinamika, struktur, dan rutinitas pekerjaan guru yang cenderung sama setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun yang membuat guru terjerumus dalam kebosanan, kehilangan gairah dalam mengajar, terlalu terfokus pada mengajar tanpa memperkaya dirinya untuk belajar, mengakibatkan guru sulit menerima dan melakukan perubahan terutama dalam cara membelajarkan anak didiknya (Huberman, 1983; Hargreaves, 2005, dalam Koesoema 2009 : 82).
Masalah tersebut menjadi dasar bagi Kepala Sekolah dalam membuat kebijakannya dalam program Lesson Study yang menuntut guru untuk mau melakukan perubahan. Oleh karena itu perencanaan bersama dan pengawasan program Lesson Study oleh Kepala Sekolah adalah suatu keharusan demi terwujudnya keefektifan implementasi program.

B. Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dalam penelitian ini maka berikut ini adalah beberapa variabel yang akan menjadi fokus penelitian.
1. Efektivitas implementasi Lesson Study di sekolah pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS)
2. Perencanaan Lesson Study sebagai langkah awal pelaksanaan program Lesson Study yang dilakukan tim guru-guru yang bersangkutan dengan Kepala Sekolahnya
3. Pengawasan Lesson Study sebagai tindakan penilaian Kepala Sekolah sebagai pengawas internal
Bertolak dari latar belakang penelitian yang telah diungkapkan di atas dan fenomena yang telah dipaparkan bahwa perencanaan dan pengawasan merupakan faktor yang dapat meningkatkan efektivitas implementasi Lesson Study, maka fokus penelitian ini didasari oleh beberapa permasalahan yang muncul dalam manajemen sekolah khususnya manajemen pelaksanaan program Lesson Study di sekolah pelaksana LSBS yang terjadi saat ini berkisar pada perencanaan, pengawasan dan pelaksanaannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dengan judul : Hubungan Kualitas Perencanaan dan Pengawasan Kepala Sekolah dengan Efekti vitas Implementasi Lesson Study (Studi Analitik Terhadap Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri Pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah di Kabupaten X). Adapun rumusan masalah tersebut dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana hubungan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study?
2. Bagaimana hubungan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study?
3. Bagaimana hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah secara simultan dengan efektivitas implementasi Lesson Study?

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasionalnya
Penelitian ini berjudul "Hubungan Kualitas Perencanaan dan Pengawasan Kepala Sekolah dengan Efektivitas Implementasi Lesson Study". Untuk memberikan arahan yang jelas tentang maksud dari judul penelitian tersebut, perlu dijelaskan operasionalisasi variabel penelitian sebagai berikut.
1. Variabel bebas (X) atau disebut juga variabel prediktor adalah "variabel penyebab atau yang diduga memberikan suatu pengaruh atau efek terhadap peristiwa lain" (Sudjana, N. & Ibrahim, 1989 : 12). Variabel bebas dalam penelitian ini ada dua, yakni kualitas perencanaan LSBS (X1) dan pengawasan Kepala Sekolah (X2).
Variabel kualitas perencanaan LSBS terdiri dari beberapa aspek berikut :
1. Penyusunan tujuan
2. Metode/Teknik
3. Tingkat prioritas
4. Alokasi sumber daya/dana
5. Perumusan kriteria keberhasilan
6. Pembuatan revisi program
Sedangkan variabel pengawasan Kepala Sekolah terdiri dari beberapa aspek berikut :
1. Relevansi, yaitu kesesuaian pengawasan dengan tujuan efektivitas, efisiensi dan produktivitas.
2. Ketepatan, kesesuaian hasil pengawasan dengan standar penilaian.
3. Kejelasan, yaitu kejelasan tujuan pengawasan demi perbaikan dan pemecahan masalah.
4. Keadilan, kesesuaian pengawasan dengan job description dan dengan jadwal.
5. Akses, kesesuaian tugas mengawas oleh pihak yang berwenang selain Kepala Sekolah.
2. Variabel terikat (Y) atau disebut juga variabel respon, yakni "variabel yang ditimbulkan oleh variabel bebas" (Sudjana, N. & Ibrahim, 1989 : 12).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah efektivitas implementasi Lesson Study berbasis sekolah yang meliputi aspek berikut.
1. Kuantitas pekerjaan
2. Mutu pekerjaan
3. Pengetahuan pekerjaan
4. Kreativitas
5. Kooperatif
6. Keterkaitan
7. Prakarsa
8. Kualitas Pribadi

D.Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data empirik tentang besaran hubungan perencanaan dan pengawasan terhadap implementasi Lesson Study khususnya di sekolah pelaksana LSBS. Selanjutnya dianalisis dan diinterpretasikan untuk membuktikan hipotesis. Penganalisaan informasi dan data yang diperoleh dapat dijadikan bahan untuk pengembangan akademis pada level sekolah lain baik pelaksana LSBS maupun LS berbasis MGMP.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fenomena tentang :
a. Hubungan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.
b. Hubungan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.
c. Hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat dan kegunaan sebagai berikut :
a. Manfaat Teoretis
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah menambah wawasan keilmuan khususnya dalam bidang pendidikan yang berkenaan dengan manajemen pendidikan khususnya perencanaan dan pengawasan terhadap implementasi Lesson Study. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan studi lanjutan yang relevan terhadap pengembangan konsep peningkatan mutu tenaga pendidik dan pengembangan manajemen sekolah.
b. Manfaat Praktis
Hasil dari wawasan keilmuan tersebut dapat digunakan untuk upaya praktis diantaranya :
1. Perbaikan mutu implementasi Lesson Study di SMP terkait dalam menciptakan society learning yang berkesinambungan.
2. Perbaikan hubungan antara guru dan sesamanya, antara guru dan kepala sekolah dalam menuju iklim dan kultur sekolah yang kondusif.
3. Bahan perbandingan bagi para kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kinerja guru melalui Lesson Study dan pelaksanaan fungsi manajemen organisasi.
4. Bagi penulis sendiri, digunakan sebagai temuan awal untuk melakukan penelitian tentang model pengembangan kompetensi guru dan pelaksanaan fungsi manajemen organisasi.

F. Asumsi-Asumsi
Penelitian ini mempersoalkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi Lesson Study khususnya di sekolah pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah. Awal dari pemikiran bahwa efektivitas implementasi Lesson Study ini akan berjalan dengan baik di sekolah yang efektif. Mengutip pendapat Edmonds (1979) dalam buku The Principalship karya Lunenburg (2006 : 103) setidaknya ada tujuh dimensi yang berkorelasi menciptakan keefektifan sekolah berdasarkan riset yang ia kembangkan. "Edmond sets forth what he believed the research concluded were six (then seven) correlates for an Effective School : (1) clear and focused mission, (2) instructional leadership, (3) high expectation, (4) opportunity to learn and time on task, (5) frequent monitoring of student progress, (6) safe and orderly environment, dan (7) positive home-school relation. Lunenburg (2006) sangat setuju dengan pendapat Edmond bahwa sekolah yang efektif memiliki misi yang jelas, kepemimpinan yang kuat, target yang tinggi, memberikan kesempatan pembelajaran dan penugasan yang luas, memonitor kemajuan siswa secara rutin, memiliki lingkungan yang teratur dan aman, dan memiliki hubungan dengan lingkungan dan rumah dengan baik. Sejalan dengan pendapat mereka, lebih jauh lagi Danim, S. (2007 : 61) mengungkapkan beberapa kriteria yang menjadi ukuran dasar bagi sekolah yang efektif diantaranya mempunyai standar kerja yang tinggi dan jelas, menggunakan metode pembelajaran yang berbasis pada hasil penelitian dan mempunyai instrumen evaluasi yang terkait dengan standar yang telah ditentukan.
Dari pendapat para ahli tersebut peneliti menganggap bahwa Lesson Study sebagai program sekolah membutuhkan wadah yang tepat, yaitu sekolah yang efektif. Sekolah yang efektif dibangun oleh kesamaan visi pemimpin sekolah dan gurunya sehingga mereka bersama-sama sebagai perencana yang berkualitas di sekolahnya tersebut. Lebih jauh lagi sekolah yang efektif selalu melakukan pengawasan dan penilaian yang berkesinambungan baik oleh pemimpin sekolah, maupun petugas yang berwenang. Efektivitas pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah dibangun oleh perencanaan yang berkualitas dan pengawasan Kepala Sekolah yang berkesinambungan.

G. Hipotesis
Didasari oleh kerangka berpikir dan asumsi penelitian tersebut, diajukan hipotesis yang menunjukkan tentang "hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study" sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan yang signifikan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah
2. Terdapat hubungan yang signifikan pengawasan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas perencanaan dan pengawasan secara simultan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah

H. Metode dan Teknik Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan pendekatan korelasional, dimana metode ini digunakan untuk menemukan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survey, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian terhadap sampel penelitian.
Bentuk studi yang akan dikembangkan dan teknik pengurupulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah : (1) studi kepustakaan, (2) studi lapangan yang akan dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner. Angket tersebut akan disebarkan kepada guru-guru Sekolah Menengah Pertama Negeri pelaksana LSBS di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten X yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini akan dilakukan secara acak (simple random sampling), yaitu sebuah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota sampel.
Adapun teknik analisis data yang digunakan, Sugiyono (2008 : 215) karena menguji hipotesis asosiatif/hubungan yang datanya berbentuk interval maka diperlukan Korelasi Product Moment untuk menguji hipotesis hubungan antara satu variabel independen dengan satu variabel dependen dan Korelasi Ganda untuk menguji hipotesis tentang dua variabel independen atau lebih secara bersama-sama dengan satu variabel independen.
SKRIPSI PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

SKRIPSI PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

(KODE : FISIP-AN-0018) : SKRIPSI PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 telah banyak membawa perubahan yang fundamental kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketidakpuasan masyarakat akan sistem pemerintahan yang sentralistik, buruknya kinerja pemerintah, kualitas pelayanan publik yang rendah dan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tuntutan reformasi itu sendiri tertuju pada aparatur pemerintah. Rakyat mengharapkan lahirnya good governance dan mereka cukup paham bahwa pemerintahan yang baik itu antara lain dapat terwujud melalui kebijakan desentralisasi.
Namun, berbagai tuntutan itu tidaklah akan terbentuk secara otomatis. Banyak langkah yang mesti direncaanakan, dilakukan, dan dinilai secara sistematis dan konsisten. Dalam konteks ini, penataan sumber daya aparatur menjadi hal yang sangat penting dilakukan. Terlebih lagi di era otonomi daerah seperti sekarang. Penataan sumber daya aparatur yang profesional dalam manajemen otonomi daerah harus diprioritaskan, karena reformasi dibidang administrasi pemerintahan mengharapkan hadirnya pemerintah yang lebih berkualitas, lebih mampu mengemban fungsi-fungsi pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan sosial ekonomi.
Dengan adanya semangat otonomi daerah, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan berbagai Peraturan Perundang-undangan dalam rangka desentralisasi kepegawaian, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 3 ayat 1 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Sejalan dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan desentralisasi bidang kepegawaian kepada daerah otonom tersebut diatas, maka unit pengelola sumber daya aparatur dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil sudah selayaknya ditangani oleh sebuah lembaga teknis daerah berbentuk badan atau kantor, Selama ini daerah otonom hanya memiliki kewenangan terbatas dalam pengelolaan sumber daya aparatur, antara lain menyangkut usulan kenaikan pangkat, usulan mutasi, usulan pengisian jabatan kerja dan usulan pemberhentian, sedangkan keputusan terakhir tetap berada di tangan Pemerintah Pusat. Keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut pemberian kewenangan dalam bidang kepegawaian perlu diimbangi dengan penataan manajemen dan kelembagaan yang mengelola sumber daya aparatur.
Untuk memberi landasan yang kuat bagi pelaksanaan desentralisasi kepegawaian tersebut, diperlukan adanya pengaturan kebijakan manajemen Pegawai Negeri Sipil secara nasional tentang norma, standar, dan prosedur yang sama dan bersifat nasional dalam setiap unsur manajemen kepegawaian. Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah merupakan Perangkat Pemerintah Daerah yang berwenang melaksanakan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kinerja pegawai dalam rangka menunjang tugas pokok Gubernur, Bupati/Walikota. Kelancaran pelaksanaan tugas organisasi ini sangat tergantung pada kesempurnaan dari pegawai yang berada didalamnya yang mampu bekerja secara profesional, efektif dan efisien guna meningkatkan kelancaran roda pemerintahan.
Aparatur pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan bagi masyarakat sekaligus sebagai penanggung jawab fungsi pelayanan umum di Indonesia yang mengarahkan tujuannya kepada public service, memikirkan dan mengupayakan tercapainya sasaran pelayan kepada seluruh masyarakat dalam berbagai lapisan. Hal ini mengharuskan pihak pemerintah senantiasa mengadakan pembenahan menyangkut kualitas pelayanan yang dihasilkan. Pelayanan yang berkualitas berarti pelayanan yang mampu memberi kepuasan kepada pelanggan (masyarakat) dan mampu memenuhi harapan masyarakat. Sebab pelanggan adalah orang yang menerima hasil pekerjaan. Oleh sebab itu hanya pelanggan (masyarakat) yang dapat menentukan kualitas pelayanan dan mereka pula yang dapat menyampaikan apa dan bagaimana kebutuhan mereka.
Pelayanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah atas kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan publik atau masyarakat. Dengan demikian, kegiatan tersebut mengandung adanya unsur-unsur perhatian dan kesediaan serta kesiapan dari pegawai pemerintah. Rasa puas masyarakat dalam pelayanan publik akan terpenuhi ketika apa yang diberikan oleh pegawai sesuai dengan apa yang mereka harapkan selama ini, dimana dalam pelayanan tersebut terdapat tiga unsur pokok yaitu biaya yang relatif lebih murah, waktu untuk mengerjakan relatif lebih cepat dan mutu yang diberikan relatif lebih bagus.
Dalam hal ini Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten X, sebagai institusi pelayanan teknis mempunyai tugas kewenangan di bidang pelayanan publik antara lain: merumuskan perencanaan dan melaksanakan kebijakan teknis manajemen kepegawaian daerah, melaksanakan kegiatan penata usahaan Badan Kepegawaian Daerah, memberikan pertimbangan atau penetapan mutasi kepegawaian bagi PNS daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan memberikan pertimbangan pensiun PNS dan penetapan status kepegawaian diwilayah kerjanya.
Dari hasil pengamatan penulis, ada beberapa masalah yang ditemukan di Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) X diantaranya
1. BKPP X dinilai bobrok dan amburadul, terbukti dengan semrautnya administrasi penempatan tugas para CPNS formasi 2008, beberapa CPNS tenaga guru yang ditempatkan di sebuah sekolah sesuai yang tercantum dalam SK tapi ternyata ketika dicek oleh CPNS yang bersangkutan, ternyata sekolah yang tertera dalam SK pengangkatan tersebut tidak ada dilapangan.
2. Tidak ada lagi harmonisasi kerja, beberapa pegawai berjalan sendiri-sendiri, tidak ada lagi koordinasi.
3. Indikasi adanya oknum pejabat BKPP yang menerima suap dari beberapa oknum CPNS tertentu agar ditempatkan di instansi yang lebih refresentatif (basah) (www.harianglobal.com/12 September 2009).
Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya ketegasan dalam memberikan sanksi hukum terhadap oknum pejabat yang melakukan kecurangan. Selain beberapa masalah diatas terdapat juga kasus adanya tenaga honorer fiktif, banyak data tenaga honorer yang direkayasa oleh pihak-pihak tertentu dengan cara mengeluarkan surat keterangan mengabdi sebagai tenaga honorer, padahal oknum honorer itu tidak pernah mengabdi dan terdaftar sebagai tenaga bakti (http://www.harianberitasore.com/3 Maret 2009).
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah ini terjadi akibat minimnya kinerja pegawai terhadap tanggung jawab mereka sebagai pekerja (PNS), rendahnya mutu pelayanan publik yang diberikan oleh pegawai tersebut menjadi citra buruk BKPP itu sendiri ditengah masyarakat. Bagi masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi selalu mengeluh dan kecewa terhadap tidak layaknya pegawai dalam memberikan pelayanan. Pelayanan kepada masyarakat tidak akan dapat terlaksana secara optimal tanpa adanya kesiapan pegawai yang professional untuk melaksanakan visi dan misi pemerintah kabupaten /kota. Contohnya seperti yang dialami oleh Ibu Herawati, seorang CPNS tenaga guru SD warga Meukek. Dalam SK pengangkatan ia ditugaskan di sebuah SD di kawasan Kecamatan Kluet Tengah. Ternyata ketika ia mendatangi SD tersebut tidak ada. Akhirnya ia belum tahu harus bekerja di mana, sementara SK pengangkatan menjadi CPNS telah didapatkannya. Herawati tidak sendiri, beberapa CPNS yang lainnya juga mengalami nasib yang serupa, kasusnya pun berbeda-beda. Berdasarkan investigasi Global di BKPP X, Jumat (11/9) terungkap, dari 242 CPNS formasi umum tahun 2008 yang telah diserahkan SK nya itu, mayoritas dari keseluruhannya disinyalir kuat tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Dalam kenyataannya pelayanan yang diberikan pegawai belum sesuai dengan yang diharapkan. Adanya anggapan bahwa di era otonomi daerah, kualitas pelayanan publik justru semakin buruk dari sebelumnya (Sherwod 1997:7 dalam Revida 2007:1) bahwa profesionalisme pelayanan pemerintah didaerah sedang mengalami kemunduran. Aparatur Negara atau pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat diperlukan untuk melaksanakan kegiatan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah dalam melakukan pembangunan nasional. Dalam hal ini diperlukan pegawai yang profesional agar mampu meningkatkan mutu, pengetahuan, keterampilan karena didorong dengan banyaknya tanggung jawab tugas pemerintah serta pengabdiannya kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pegawai. Pegawai atau aparatur pemerintah yang profesional sangat berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap kemajuan dan peningkatan kualitas pelayanan organisasi pemerintah. Hal ini disebabkan bahwa pegawai pemerintah sebagai penentu, perencana, pelaksana, dan pengawas administrasi pemerintahan.
Kurangnya profesionalisme aparatur dalam pengelolaan pelayanan publik mengakibatkan kurangnya kemauan untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan dan adanya rasa apatis masyarakat terhadap pemerintahan mengakibatkan masyarakat merasa tersisihkan dari proses pemerintahan.
Dari berbagai bidang pekerjaan yang digeluti aparatur pemerintah jelas sekali yang menjadi permasalahan adalah menyangkut kekurang-profesionalan pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas penting yang dipercayakan kepadanya sehingga mengakibatkan banyak kerugian di pihak masyarakat yang sangat menginginkan hasil kerja pegawai yang optimal dalam memberikan pelayanan publik.
Mengingat pentingnya profesionalisme kerja sebagai persyaratan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka setiap pegawai dituntut untuk senantiasa meningkatkan profesionalismenya, berdasarkan asumsi saya terlihat bahwa profesionalisme kerja pegawai belumlah sesuai dengan kondisi yang diharapkan yaitu profesionalisme kerja yang dapat mendukung terlaksananya dan terwujudnya kualitas pelayanan yang lebih baik.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: "PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Studi Pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X)."

1.2 Perumusan Masalah
Dalam penelitian, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka peneliti harus merumuskan masalahnya dengan jelas, sehingga akan jelas pula darimana harus dimulai, kemana harus pergi dan apa yang akan dilakukan. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah meng-intepretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam penelitian, (Arikunto, Suharsimi, 1996: 19). Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: "Sejauh Mana Pengaruh Profesionalisme Kerja Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik di Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X?"

1.3 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau apa yang menjadi tujuan penelitian tentunya jelas diketahui sebelumnya. Suatu riset khusus dalam ilmu pengetahuan empiris pada umumya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu ilmu pengetahuan itu sendiri.
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana profesionalisme kerja pegawai di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui bagaimana kualitas pelayanan publik yang diberikan di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X kepada masyarakat.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap kualitas pelayanan publik pada Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara subyektif Sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir dalam menulis karya ilmiah tentang profesionalisme kerja pegawai dan kualitas pelayanan publik.
2. Secara praktis. Sebagai masukan/sumbangan pemikiran bagi Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional.
3. Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik dalam bidang ini.
SKRIPSI PERANAN PEMBINAAN DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL

SKRIPSI PERANAN PEMBINAAN DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL

(KODE : FISIP-AN-0017) : SKRIPSI PERANAN PEMBINAAN DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL




BAB 1
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Setiap organisasi baik swasta maupun instansi pemerintahan, memiliki visi untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan. Hal itu dapat diwujudnyatakan melalui peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa. Dalam pencapaian cita-cita tersebut di butuhkan beberapa strategi yang pada dasarnya di ejawantahkan dalam sasaran misi organisasi maupun Instansi pemerintahan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang pesat, secara langsung disadari maupun tidak disadari pasti memiliki dampak yang luar biasa terhadap perkembangan organisasi. Perubahan tersebut selain memiliki dampak positif di sisi lain dapat berdampak negatif terhadap organisasi. Dengan demikian di butuhkan sumber daya manusia yang mampu menyikapi perubahan yang tidak pernah berhenti. Sumber daya manusia di harapkan dapat mengolah sumber-sumber lain yang dapat mendukung pencapaian visi organisasi.
Uraian-uraian di atas dapat di perhatikan di setiap bidang organisasi atau instansi. Dengan demikian di butuhkan beberapa usaha atau strategi yang dapat mengembangkan beraneka ragam pengetahuan setiap elemen yang ada di dalam organisasi tersebut. Negara kita memiliki jumlah organisasi yang sangat banyak, baik yang diolah oleh pihak swasta maupun milik Negara. Setiap instansi ataupun badan pemerintahan yang berdiri di bawah pimpinan Negara merupakan sarana pendukung demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang merupakan cita-cita bangsa yang tertuang dalam UUD 1945. Salah satu badan yang berada di dalam naungan pemerintahan Negara Kesatuan Repulik Indonesia adalah Badan Kepegawaian Negara. Badan inilah yang memiliki fungsi untuk memperhatikan kondisi kepegawaian Indonesia. Badan ini memiliki unit yang lain salah satunya adalah Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Pihak-pihak atau badan yang tersebut diatas memiliki peran yang besar dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Pegawai negeri sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat mempunyai peran sangat penting dalam pembangunan untuk menciptakan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk melaksanakan tugas mulia itu diperlukan pegawai negeri yang mempunyai kemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam kedudukan dan tugasnya, pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam praktek, Pegawai Negeri Indonesia pada umumnya masih banyak kekurangan yaitu kurang mematuhi peraturan kedisiplinan pegawai, sehingga dapat menghambat kelancaran pemerintahan dan pembangunan nasional, antara lain adalah masih adanya jiwa kepegawaian dengan berfikir mengikuti kebiasaan bagian, bukan terletak pada kesatuan yang harmonis melainkan kesatuan pada bagian tersendiri, mempunyai bentuk dan corak yang berbeda serta kurang menghargai ketepatan waktu. "Jiwa kepegawaian yang mempunyai sifat seperti tersebut di atas akan berakibat negatif terhadap prestasi kerja pegawai negeri yang bersangkutan karena tidak adanya pengembangan pola pikir kerja sama
Untuk lebih meningkatkan peran pegawai negeri agar lebih efisien dan efektif mengisi kemerdekaan dan pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, pegawai Republik Indonesia hams dibina sebaik-baiknya. Efektifitas dan efisiensi setiap pegawai negeri hams selalu berhasil melaksanakan tugas secara berdaya dan berhasil guna dengan mengedepankan pelayanan kepada masyarakat yang pada gilirannya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraannya. Maka, dibentuklah Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) pada 29 September 1971 sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 sebagai satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina selumh pegawai Republik Indonesia di luar kedinasan, guna lebih meningkatkan pengabdian dalam mengisi kemerdekaan dan melaksanakan pembangunan. Anggota Korpri adalah pegawai negeri meliputi pegawai negeri sipil, pegawai BUMN, BUMD dan anak pemsahaannya, serta petugas yang menyelenggarakan umsan pemerintahan desa. Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagai organisasi pegawai Republik Indonesia, Korpri mengalami pembahan-pembahan orientasi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.
Berdasarkan Rubrik yang ditulis pada 4 September 2008 oleh Syahrizal pulungan dalam www.rubrik., menyatakan bahwa Gubernur X (Gubsu) H Syamsul Arifin, SE kembali melakukan inspeksi mendadak (Sidak) ke unit kerja, Rabu (3/9). Kali ini Gubsu mengunjungi Badan Kepegawaian Daerah (BKD), yang berkantor masih di lingkungan Kantor Gubernur Jl Diponegoro X. Saat Sidak, bukan saja PNS BKD Provinsi X yang terkejut karena tidak menyangka bahwa Gubsu akan melakukan inspeksi mendadak. Syamsul Arifin sendiri juga terperanjat karena mendapati kantor itu kosong melompong. Hanya ada beberapa PNS di instansi yang tugas utamanya melakukan pembinaan kepegawaian itu.
Gubsu menyatakan kecewa karena pegawai di lingkungan Badan Kepegawaian Daerah yang harusnya menjadi contoh dan teladan, malah tidak mengikuti disiplin jam masuk kerja. Ketika Gubernur menanyakan ketidakhadiran PNS yang lain kepada staf yang hadir, staf tersebut menyatakan sebagian pegawai ke lapangan. "Itu lagu lama. Lebih baik terus terang," kata Gubsu yang merasa tidak puas mendengar jawaban staf tersebut. Gubernur X meminta pembinaan dan disiplin bisa ditingkatkan. Dalam hal ini, BKD harus menjadi contoh dan teladan, mulai soal kehadiran, disiplin, cara berpakaian dan hal-hal lainnya yang menyangkut kepegawaian. "Lakukan pendataan dengan cermat, buat terobosan dalam memberikan aspek jera terhadap PNS supaya jangan bolos. Kita butuh PNS yang disiplin, karena dengan kedisiplinanlah kinerja yang profesional bisa ditegakkan," kata Gubernur.
Selain masalah di atas peneliti juga memperhatikan bahwa para pegawai banyak yang keluar masuk kantor pada jam kerja bahkan ada yang hadir tidak tepat waktu. Melihat dan menimbang masalah yang tercantum di atas sangat di harapkan adanya perubahan yang semakin baik, supaya kualitas pelayanan publik bagi para pegawai di BKD X memberikan kualitas pelayanan yang baik.
Dengan demikian perlu di tegakkan dan ditingkatkan kualitas pembinaan di BKD Provinsi X. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi, meningkatkan produktifitas dan kwalitas kerja dan lain sebagainya, Mangkunegara (2003 : 52)
Karena menyadari pentingnya di terapkan pembinaan dalam peningkatan kwalitas kinerja pegawai maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana "PERANAN PEMBINAAN DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH PROVINSI X”.

B. Perumusan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas, maka perlu adanya pembatasan masalah. Maka pembatasan masalah tersebut adalah :
1. Bagaimanakah Pembinaan pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Provinsi X?
2. Bagaimanakah Profesionalisme kerja pegawai Badan Kepegawaian Daerah Provinsi X?
3. Bagaimana peranan pembinaan dalam meningkatkan Profesionalisme Kerja Pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Provinsi X?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui model pembinaan Pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Provinsi X.
2. Untuk mengetahui bagaimana Profesionalisme kerja pegawai pada Badan Kepegawaian Provinsi X.
3. Untuk mengetahui bagaimana peranan pembinaan dalam meningkatkan profesionalisme kerja Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Provinsi X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penulisan adalah :
1. Bagi pihak BKD, diharapkan dapat menjadi masukan untuk meningkatkan profesionalisme kerja pegawai dengan diterapkannya model pembinaan yang akan dibahas.
2. Bagi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik diharapkan dapat memperkaya ragam penelitian Mahasiswa Jurusan Administrasi Negara.
3. Bagi Peneliti/penulis akan sangat bermanfaat untuk mengembangkan potensi yang ada selama maupun sesudah proses penelitian berlangsung, bahkan dapat mengaplikasikan Ilmu yang telah di peroleh selama perkuliahan pada tempat kerja mendatang.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari 6 (enam) bab dan masing-masing bab dibagi lagi menjdi beberapa sub bab. Sistematika tersebut digambarkan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional, hipotesa, sistematika penulisan.
BAB II : METODE PENELITIAN
Bab ini akan menguraikan bentuk penelitian,lokasi penelitian,populasi dan sampel, pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini memuat gambaran umum kantor BKD X, Sejarah berdirinya BKD X , tugas dan fungsi bagian-bagian di dalam organisasi.
BAB IV : PENYAJIAN DATA
Bab ini berisikan seluruh rangkaian hasil penelitian yang dirangkum dan memuat hasil penelitian serta distribusi jawaban responden.
BAB V : ANALISIS DATA
Bab ini berisikan analisa dan implementasi data yang diperoleh peneliti selama penelitian
BAB VI : PENUTUP
Penutup adalah Bab terakhir yang memuat kesimpulan serta saran yang dianggap penting.
SKRIPSI PERANAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

SKRIPSI PERANAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

(KODE : FISIP-AN-0016) : SKRIPSI PERANAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah akan sangat bergantung pada kesiapan Pemerintah Daerah dalam menata sistem pemerintahannya agar tercipta pembangunan yang efektif, efesien, transparansi, dan akuntabel serta mendapat partisipasi dari masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
Sesuai dengan amanat Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipandang perlu untuk menekankan pada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (Good Governance) dan pemerintahan yang bersih (Clean Governance) dalam mewujudkan pembangunan daerah yang desentralistik dan demokratis.
Maka dalam penyelenggaraan pembangunan desa diperlukan pengorganisasian yang mampu menggerakkan masyarakat untuk mampu berpatisipasi dalam melaksanakan pembangunan desa serta melaksanakan administrasi pembangunan desa. Dengan demikian diharapkan pembangunan dan pelaksanaan administrasi desa akan berjalan lebih rasional, tidak hanya didasarkan pada tuntutan emosional yang sukar dipertanggungjawabkan kebenarannya (Suwignjo, 1982 : 1).
Hal ini mengisyaratkan bahwa keikutsertaan masyarakat di dalam perencanaan pembanguanan desa memang benar-benar sangat dibutuhkan untuk mensinkronkan rencana pembangunan desa yang akan dilaksanakan dengan apa yang dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan kehidupan dan penghidupannya di desa. Karena bila tidak demikian, bisa saja pembangunan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan sehingga pembangunan yang dilaksanakan sia-sia belaka dan masyarakat sendiripun akan bersifat apatis terhadap pelaksanaan perencanaan pembangunan desa itu.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan Kecamatan, karena Kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan kelurahan, desa memiliki hak untuk mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.
Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa yang meliputi Kepala Desa, Perangkat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa merupakan pimpinan penyelengaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfiingsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Dari keterangan dan paparan di atas terlihat bahwa perencanaan pembangunan desa adalah sesuatu yang sangat penting. Karena dari perencanaan pembangunan inilah arah pembangunan desa ditentukan. Karena itu sudah menjadi kewajiban pemerintahan desa untuk menampung aspirasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa. Aspirasi masyarakat dapat tertampung dengan cara melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dalam perencanaan pembangunan tersebut. Karena pada dasarnya merekalah yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang merupakan sarana bagi Kantor Kepala Desa di Desa X Kecamatan X dan masyarakat guna merencanakan pembanguanan desanya. Di sini dibutuhkan prakarsa dan swadaya masyarakat untuk ikut serta dalam merencanakan pembangunan di desanya sendiri. Berarti masyarakat dapat dikatakan harus berpartisipasi dan sebagai subjek dalam perencanaan pembangunan di desanya.
Sebagai subjek pembangunan tentunya warga masyarakat hendaknya sudah dilibatkan untuk menentukan perencanaan pembangunan sesuai dengan kebutuhan objektif masyarakat yang bersangkutan. Dalam arti bahwa perencanaan pembangunan yang akan dilaksanakan dapat menyentuh langsung kebutuhan masyarakat sehingga program perencanaan pembangunan desa yang akan dicanangkan, masyarakat dapat berpartisipasi seoptimal mungkin. Ide-ide pembangunan harus berdasarkan pada kepentingan masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhannya yang menunjang terhadap pembangunan nasional. Ide-ide pembangunan desa demikian inilah yang akan ditampung dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan akan dimufakatkan bersama dalam musyawarah pembangunan desa sehingga dapat direncanakan dengan baik antara pemerintah dengan masyarakat. Hal ini pada akhirnya akan menumbuhkan prakarsa dan swadaya masyarakat serta partisipasi aktif nantinya pada saat pelaksanaan pembangunan desa.
Oleh karena itu, perencanaan pembangunan desa akan dilaksanakan pada musyawarah pembangunan desa antara pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupannya. Seperti kita ketahui bersama baik di media massa maupun media elektronik memberitakan bahwa perencanaan pembangunan desa sering tertunda. Oleh karena itu yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah apakah BPD benar-benar telah melaksanakan peranannya dalam perencanaan pembangunan desa sesuai dengan yang telah disepakati bersama.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian ilmiah dengan judul "Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Perencanaan Pembangunan Desa (Suatu Studi Deskriptif Tentang Proyek Desa Melalui APBD Di Desa X Kecamatan X)".

1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah ini berfiingsi untuk membatasi studi dan mengacu pada pelaksanaan panelitian secara objektif terhadap objek penelitian. Selain itu dengan perumusan masalah yang jelas, akan memenuhi kriteria untuk memasukkan dan mengeluarkan data yang diperoleh dari objek penelitian. Jadi berdasarkan pemikiran ini dan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah yang akan dibahas adalah : Bagaimanakah peranan Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) dalam perencanaan pembangunan desa di Desa X Kecamatan X.

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang penulis harapkan dapat dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam perencanaan pembangunan desa di Desa X Kecamatan X.

1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan penulis dengan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir melalui karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang telah penulis terima selama perkuliahan di Departeman Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X.
2. Sebagai kontribusi bagi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam perencanaan pembangunan desa di Desa X Kecamatan X.

1.5. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, definisi operasional, serta sistematika penulisan.
BAB II METODE PENELITIAN
Dalam bab ini bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Dalam bab ini disajikan gambaran umum lokasi penelitian seperti batas-batas wilayah, penduduk, mata pencaharian, pendidikan, agama, pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa serta rekapitulasi usulan proyek melalui APBD.
BAB IV PENYAJIAN DATA PENELITIAN
Bab ini memuat penyajian data dan analisa data secara mendalam yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan dan saran.
SKRIPSI PENGARUH PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH TERHADAP PRESTASI KERJA (STUDI PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X)

SKRIPSI PENGARUH PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH TERHADAP PRESTASI KERJA (STUDI PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X)

(KODE : FISIP-AN-0015) : SKRIPSI PENGARUH PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH TERHADAP PRESTASI KERJA (STUDI PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional tergantung dari kesempurnaan aparatur negara. Pegawai negeri merupakan aparatur negara sehingga kalau kita berbicara mengenai kedudukan pegawai negeri dalam Negara Republik Indonesia berarti kita berbicara mengenai kedudukan aparatur negara secara umum. Dalam posisi aparatur negara sebagai alat untuk melaksanakan pembangunan, diperlukan adanya pegawai yang benar-benar mampu, berdaya guna, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Pegawai Negeri Sipil mempunyai peran yang menentukan, yaitu sebagai pemikir, pelaksana, perencana, dan pengendali pembangunan. Dengan demikian, PNS mempunyai peranan yang sangat penting dalam memperlancar jalannya roda pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional.
Mengingat pentingnya peranan tersebut, PNS perlu dibina dengan sebaik-baiknya agar diperoleh PNS yang setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah, serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, kuat, berdaya guna, berhasil guna, bersih, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur Negara.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam paradigma baru mengenai orientasi pelayanan para aparatur/birokrat adalah pemberdayaan (empowerment). Pemberdayaan dalam hal ini dimaksudkan sebagai proses transformasi dari berbagai pihak yang mengarah pada saling menumbuhkembangkan, saling memperkuat, dan menambah nilai daya saing global yang saling menguntungkan. Tujuan dari pemberdayaan itu sendiri adalah untuk meningkatkan mutu, keterampilan, serta memupuk kegairahan dalam bekerja sehingga dapat menjamin terwujudnya kesempatan berpartisipasi dan melaksanakan pembangunan secara menyeluruh, dalam hal ini pemberdayaan terhadap aparatur pemerintah disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Usaha pemberdayaaan aparatur pemerintah harus ditingkatkan demi tercapainya tujuan organisasi/pemerintahan. Pemberdayaan yang dilakukan terhadap aparatur pada akhirnya akan meningkatkan prestasi kerja yang lebih baik. Untuk meningkatkan prestasi kerja maka perlu diadakan peningkatan sumber daya manusia selaku tenaga kerja melalui usaha-usaha pemberdayaan. Berkaitan dengan hal itu maka seorang aparatur perlu mendapatkan pemberdayaan. Didasarkan pada adanya pemberdayaan aparatur pemerintah maka kemungkinan prestasi kerja meningkat atau sebaliknya adanya pemberdayaan tetapi prestasi kerja tetap atau bahkan menurun.
Namun, ternyata tidak seluruhnya dari para pegawai negeri sipil yang mampu menyadari akan tugas dan peranannya sebagai seorang aparatur Negara. Sebuah penelitian dari Lembaga Manajemen Publik Indonesia (LMPI) menyatakan bahwa kinerja atau prestasi kerja pegawai negeri sipil masih sangat rendah. Penelitian itu menunjukkan hanya 20% total jam kerja yang dijalankan, sisanya 80% digunakan untuk santai dan berleha-leha (Pikiran Rakyat, 13 Juni 2006).
Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis pada saat pra penelitian juga ditemukan fakta-fakta yang mengindikasikan minimnya prestasi kerja para pegawai negeri sipil di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X yang semakin menguatkan hasil penelitian dari LMPI tersebut yaitu banyaknya pegawai yang terlambat masuk kerja, pulang sebelum waktunya, dan minimnya semangat untuk melaksanakan tugas. Tidak jarang juga terlihat pegawai yang berada di luar kantor padahal jam kerja masih berjalan, sehingga menyebabkan sulit menemui pegawai, lambatnya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yang dibebankan kepadanya padahal pekerjaan itu seharusnya dapat diselesaikan secepat mungkin, ini kemungkinan disebabkan oleh pegawai tersebut tidak memahami pekerjaan yang diberikan kepadanya, ada juga pegawai yang melimpahkan pekerjaannya kepada orang lain dengan berbagai alasan, padahal itu merupakan tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya.
Dengan berbagai permasalahan tersebut, hal ini mendorong penulis untuk mengkaji dan meneliti secara ilmiah tentang prestasi kerja aparatur pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X dalam sebuah kegiatan penelitian yang berjudul : "Pengaruh Pemberdayaan Aparatur Pemerintah Terhadap Prestasi Kerja (Studi pada kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X)".

1.2 Perumusan Masalah
Untuk dapat memudahkan penelitian ini dan agar penelitian memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahannya. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
"Adakah Pengaruh Pemberdayaan Aparatur Pemerintah terhadap Prestasi Kerja pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X".

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pemberdayaan aparatur pemerintah pada kantor Badan Kepegawaian Pemerintahan Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui prestasi kerja pada kantor Badan Kepegawaian Pemerintahan Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui pengaruh pemberdayaan aparatur pemerintah terhadap prestasi kerja pada kantor Badan Kepegawaian Pemerintahan Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
Yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis telah terima selama perkuliahan di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X.
2. Bagi pihak Pemerintahan Kabupaten X, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pelaksanaan pemberdayaan aparatur pemerintah terhadap prestasi kerja pemerintahan kabupaten X.
3. Bagi Departemen Ilmu Administasi Negara, penelitian ini akan melengkapi ragam peneltian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan dan atau referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.

1.5 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, definisi konsep, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik penentuan skor, dan teknik analisa data.
BAB III (DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN)
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini memuat gambaran umum tentang lokasi penelitian, data atau karakteristik objek penelitian yang relevan dengan topik penelitian.
BAB V ANALISA DAN INTERPRETASI DATA
Bab ini memuat penyajian data-data yang diperoleh selama penelitian di lapangan atau berupa dokumen-dokumen yang akan dianalisis.
Bab ini memuat pembahasan dari data-data yang telah diperoleh, kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan korelasi hubungan antar variabel.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memuat tentang kesimpulan dari hasil-hasil penelitian dan saran-saran yang dianggap penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
SKRIPSI PENGARUH PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PT. PLN

SKRIPSI PENGARUH PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PT. PLN

(KODE : FISIP-AN-0014) : SKRIPSI PENGARUH PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PT. PLN




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pada setiap organisasi besar maupun organisasi kecil dapat dikatakan bahwa salah satu sumber daya yang penting adalah manusia yang berkedudukan sebagai karyawan, buruh ataupun pekerja. Bagaimanapun majunya teknologi dewasa ini yang mampu menggantikan sebagian besar tenaga kerja manusia, namun masih banyak kegiatan yang tidak dapat menggunakan alat perlengkapan mekanis dan sepenuhnya otomatis tersebut. Dikatakan paling berharga karena dari semua sumber yang terdapat dalam suatu organisasi, hanya sumber daya manusialah yang mempunyai harkat dan martabat yang harus dihargai dan dijunjung tinggi. Selain itu, hanya sumber daya manusialah yang memiliki kemampuan berpikir secara rasional. (Notoadmodjo, 1998 : 5)
Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh kualitas orang-orang yang bekerja di dalamnya. Perubahan lingkungan yang begitu cepat menuntut kemampuan mereka dalam menangkap fenomena perubahan tersebut, menganalisa dampaknya terhadap organisasi dan menyiapkan langkah-langkah guna menghadapi kondisi tersebut. Menyimak kenyataan diatas maka peran manajemen sumber daya manusia dalam organisasi tidak hanya sekedar administratif tetapi justru lebih mengarah pada bagaimana mampu mengembangkan potensi sumber daya manusia agar menjadi kreatif dan inovatif.
Seperti yang dilansir dari www.elektroindonesia.com, pembangunan instalasi tenaga listrik dari tahun ke tahun semakin kompleks sejalan dengan perkembangan teknologi ketenagalistrikan. Kini, tenaga listrik tidak hanya harus memenuhi kualitas dan keandalan sistem, tetapi juga harus berwawasan lingkungan. Tuntutan akan kualitas, keandalan dan berwawasan lingkungan tersebut mengharuskan teknologi ketenagalistrikan berkembang dari tahun ke tahun dan sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia masih pada tahap pemakai teknologi ketenagalistrikan tersebut, walaupun dalam skala kecil sudah memiliki industri peralatan tenaga listrik. Program pengembangan sumber daya manusia diperlukan untuk setiap pegawai/petugas baik pada saat awal memasuki sebuah perusahaan maupun secara berkelanjutan mengikuti tuntutan pekerjaan. Pelatihan diawal pekerjaan bertujuan meningkatkan kompetensi yang harus dimiliki tenaga teknik, yang merupakan persyaratan yang ditetapkan oleh perusahaan. Pelatihan lanjutan dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensinya ke jenjang keahlian yang lebih tinggi dibidangnya atau penyesuaian apabila ada teknologi baru yang harus ditangani dibidangnya atau membentuk kemampuan baru jika pindah bidang kerjanya.
Dengan profil sumber daya manusia di bidang ketenagalistrikan yang beraneka ragam, maka masalah yang menonjol saat ini adalah tidaklah mungkin suatu lembaga pendidikan formal secara spesifik dapat menyediakan sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Lulusan dari lembaga pendidikan formal tidak mungkin dapat langsung mampu bekerja sesuai dengan jenjang kualifikasi tenaga teknik. Mutu atau kualitas lulusan dari berbagai lembaga pendidikan yang setingkat juga masih sangat bervariasi sehingga pada saat awal memasuki pekerjaan sering dijumpai kesenjangan yang dapat menghambat tercapainya sasaran yang diinginkan.
Di bidang pekerjaan instalatur, masalah menonjol adalah sampai saat ini belum mempunyai sertifikasi keahlian atau keterampilan yang standar. Sedangkan masalah menonjol di bidang pembangkit tenaga listrik adalah perlu adanya sertifikasi kemampuan dan keahlian bagi sumber daya manusia kontraktor atau sub kontraktor pada proyek pembangunan pembangkit listrik. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan program pengembangan sumber daya manusia baik dari dalam organisasi maupun dari luar organisasi itu sendiri, misalnya melalui lembaga pendidikan non formal untuk dapat menunjang program pendidikan formal. Program tersebut dirancang berorientasi kepada peningkatan/pengembangan kompetensi dari lulusan pendidikan formal agar dapat memasuki lapangan kerja atau melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tuntutan jenjang keahliannya.
Maka jelaslah bahwa dalam setiap organisasi peranan sumber daya manusia sangatlah penting. Namun demikian, tentulah yang diharapkan adalah sumber daya manusia yang berkualitas, dalam artian memiliki kemampuan dan kecakapan serta keterampilan dalam melaksanakan tugas sehingga pelayanan dapat diselenggarakan dengan tertib dan lancar. Sorotan terhadap sumber daya manusia yang dimiliki organisasi tidak hanya ditujukan pada pemanfaatannya secara optimal, akan tetapi juga pada pengembangannya, perlakuannya, serta estafet penggantiannya. Maka dalam rangka peningkatan efisiensi kerja, perhatian utama ditujukan pada pengembangannya. Pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi merupakan hal yang perlu mendapat perhatian, karena melalui pengembangan sumber daya manusia maka diharapkan kinerja daripada orang-orang yang berada di dalam organisasi tersebut tercapai dengan baik.
Seiring dengan persaingan yang semakin tajam karena perubahan teknologi yang cepat dan lingkungan yang begitu drastis pada setiap aspek kehidupan manusia maka setiap organisasi membutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai kompentensi agar dapat memberikan pelayanan yang prima dan bernilai. Dengan kata lain organisasi tidak hanya mampu memberikan pelayanan yang memuaskan (customer satisfaction) tetapi juga berorientasi pada nilai (customer value). Sehingga organisasi tidak sematamata mengejar pencapaian produktifitas kerja yang tinggi tetapi lebih pada kinerja dalam proses pencapaiannya. Kinerja setiap kegiatan dan individu merupakan kunci pencapaian produktivitas. Karena kinerja adalah suatu hasil dimana orang-orang dan sumber daya lain yang ada dalam organisasi secara bersama-sama membawa hasil akhir yang didasarkan pada tingkat mutu dan standar yang telah ditetapkan. Konsekuensinya, organisasi memerlukan sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan kemampuan yang unik sesuai dengan visi dan misi organisasi.
Dengan kata lain, penilaian kinerja adalah merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan perusahaan. Dukungan dari tiap manajemen yang berupa pengarahan, dukungan sumber daya seperti, memberikan peralatan yang memadai sebagai sarana untuk memudahkan pencapaian tujuan yang ingin dicapai dalam pendampingan, bimbingan, pelatihan serta pengembangan akan lebih mempermudah penilaian kinerja yang obyektif.
Namun demikian, dalam beberapa organisasi masih sering ditemukan masalah yang berkenaan dengan kinerja pegawai. Pertama, kurangnya kecakapan yang dimiliki para pegawai. Hal ini terlihat dari masih seringnya terdapat pekerjaan yang tidak selesai tepat pada waktunya dan adanya keluhan pelanggan yang menyatakan kurang puas terhadap pelayanan yang diberikan. Misalnya : pembuatan laporan operasional dari setiap bagian yang ada terkadang tidak selesai tepat pada waktunya. Kedua, rendahnya motivasi para pegawai pelaksana. Indikasinya antara lain loyalitas, tanggung jawab, disiplin serta komitmen pegawai terhadap pekerjaan terlihat masih rendah. Pada PT. PLN (Persero) Cabang X sendiri walaupun jumlahnya relatif sedikit, namun masih terdapat pegawai yang kurang disiplin berkenaan pada masalah jam pulang kantor. Selain itu, motivasi bekerja pegawai pada bagian pengukuran dan proteksi secara umum masih rendah. Sehingga masalah yang kemudian muncul adalah maraknya aksi 'pencurian arus listrik' di tengah-tengah masyarakat kota X. Hal ini juga yang menimbulkan berbagai implikasi sehingga PT. PLN (Persero) Cabang X mengalami kerugian. Padahal dengan menyandang status sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara maka PT. PLN (Persero) Cabang X seharusnya bisa memberikan keuntungan untuk menambah kas negara. Ketiga, kurangnya personil yang terlatih. Hal ini terlihat dari masih adanya pegawai yang menunggu perintah dalam mengerjakan pekerjaannya serta masih sering terdapat pekerjaan yang tertunda. Pada sub-bagian perencanaan distribusi, tampak para pegawai masih menunggu perintah dari atasan untuk membuat rencana-rencana kerja ke depan. Keempat, sedikitnya pegawai yang memiliki keterampilan pengelolaan. Masih ada pegawai yang tidak bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang telah dilaksanakan serta tidak konsisten dalam mengerjakan tugas. Pada PT. PLN (Persero) Cabang X masalah ini secara umum dialami oleh para pegawai, namun masih dapat diatasi oleh pihak manajemen perusahaan, diantaranya melalui pelaksanaan program pengembangan sumber daya manusia. (Siagian 2003)
Pengelolaan sumber daya manusia terkait diperlukan untuk mempengaruhi kinerja organisasional dan tidak hanya terbatas pada pegawai operasional semata, namun juga meliputi tingkatan manajerial. Perumusan wewenang dan tanggung jawab yang harus dicapai pegawai harus ditetapkan dengan standar atau tolak ukur yang telah disepakati oleh bawahan dan atasan. Bawahan bersama atasan masing-masing dapat menetapkan sasaran kerja dan standar kinerja yang harus dicapai serta menilai hasil-hasil yang sebenarnya dicapai pada akhir kurun waktu tertentu. Peningkatan kinerja karyawan secara perorangan akan mendorong kinerja sumber daya manusia secara keseluruhan, yang direkflesikan dalam kenaikan produktifitas.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh Pengembangan Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Pegawai PT. PLN (Persero) Cabang X."

1.2. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : "Seberapa besar Pengaruh Pengembangan Sumber Daya Manusia terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor PT. PLN (Persero) Cabang X?"

1.3. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengembangan sumber daya manusia pada kantor PT. PLN (Persero) Cabang X.
2. Untuk mengetahui bagaimana kinerja pegawai pada kantor PT. PLN (Persero) Cabang X.
3. Untuk memperoleh kejelasan bagaimana pengaruh pengembangan sumber daya manusia terhadap kinerja pegawai pada kantor PT. PLN (Persero) Cabang X.

1.4. Manfaat Penelitian.
Manfaat yang diharapkan oleh penulis dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi penulis, sebagai usaha untuk melatih, meningkatkan, mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui penulisan karya ilmiah.
2. Bagi PT. PLN (Persero) Cabang X sebagai masukan dalam meningkatkan kinerja pegawai.
3. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , sebagai penambahan kualitas dan kuantitas referensi di bidang ilmu sosial lainnya khususnya dalam bidang Ilmu Administrasi Negara.

1.5. Sistematika Penulisan.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, definisi konsep, definisi operasional dan sistematika penulisan.
BAB II METODE PENELITIAN
Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sample, teknik pengumpulan data, teknik penentuan skor dan teknik analisa data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisi gambaran umum tentang objek atau lokasi penelitian yang relevan dengan topik penelitian.
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini berisi hasil data yang diperoleh dari lapangan dan atau berupa dokumen yang akan dianalisis.
BAB V ANALISA DATA
Bab ini berisi tentang uraian data-data yang diperoleh setelah melaksanakan penelitian.
BAB VI PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan yang dianggap penting bagi pihak yang membutuhkan.
TESIS PENGARUH MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA GURU

TESIS PENGARUH MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA GURU

(KODE : PASCSARJ-0124) : TESIS PENGARUH MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KINERJA GURU (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Reformasi pendidikan merupakan salah satu konsekuwensi sebagai akibat bangsa Indonesia tengah menjalani proses tumbuh kembang berbangsa dan bernegara dalam transisi dari sentralistik ke desentralistik. Maka makin menguatnya pemberlakuan otonomi daerah sesuai Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yaitu penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Masalah ini membawa implikasi tersendiri dalam manajemen penyelenggaraan pendidikan di tingkat sekolah, salah satu pendekatan yang mengakomodasi tuntutan terbaru pengelolaan pendidikan di daerah adalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang ditetapkan melalui Permendiknas Nomor 053/u/2001. Konsep ini bertujuan untuk mendirikan, memberikan otoritas kepada sekolah memberdayakan sekolah, keleluasaan mengembangkan program sekolah, dan mengelola sumber daya dan potensi yang ada di sekolah sehingga akan terwujud sekolah efektif dan bermutu.
Berdasarkan konsep perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan pendidikan politik masyarakat lokal yang memberikan keleluasaan pemerintah melayani public agar lebih efektif , efisien dan ekonomis. Maka Penyelenggaraan Pendidikan khususnya yang menyangkut Sistem Manajemen Sekolah harus pula berubah, sinergis dengan esensi tujuan pendidikan yang ditetapkan UU RI nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Departemen Pendidikan Nasional memperkenalkan konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Disederhanakan menjadi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dengan memprioritaskan indikator utama yaitu otonomi sekolah. Peningkatan mutu suatu organisasi yang mengadakan perubahan akan membawa organisasi pada situasi yang lain dari sebelumnya. Perubahan yang terjadi dapat diperkuat atau diperlemah dalam kehidupan organisasi, perubahan dalam organisasi ini melibatkan sumber daya manusia yang berperan dalam peningkatan kinerja organisasi (Alford, 1998 : 63). Peran sumber daya manusia pada masa kini akan menjadi penentu bagi keberhasilan pendidikan . Oleh karena itu, amat dibutuhkan pemeliharaan dan pengembangan sumber daya manusia sebagai asset Pendidikan
Globalisasi pendidikan masa kini diharapkan lebih modern dan profesional sehingga mampu mewujudkan peranannya secara efektif dengan keunggulan dalam kepemimpinan, staf, proses belajar mengajar, pengembangan staf, kurikulum, tujuan dan harapan, iklim sekolah, penilaian diri, komunikasi, dan keterlibatan orang tua/masyarakat.
Permasalahan dalam peningkatan kualitas pendidikan berkaitan dengan strategi pembangunan pendidikan, yang selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi tersebut didasarkan kepada asumsi bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan.
Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan. Dengan demikian pembangunan pendidikan tidak hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan saja tetapi juga hams lebih memperhatikan faktor proses pendidikan. Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas-batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan.
Untuk dapat mengemban maksud tersebut, secara efektif dibutuhkan kepemimpinan yang handal agar dapat memberikan perubahan yang sangat berarti dalam suatu sistem yang diharapkan untuk meningkatkan efektivitas dan produktivitas pelayanan pendidikan, untuk mewujudkan sistem manajemen sekolah yang berbasis keunggulan. Tentu saja hal ini berakibat pada seluruh tatanan sistem organisasi, yang dirasakan langsung pada sistem kepegawaian, motivasi dan kualitas kehidupan kerja organisasi.
Sebagai seorang manajer di sekolah, kepala sekolah mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar dalam membuat keputusan. Berbagai studi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dalam suasana perubahan lingkungan yang cepat, salah satu hal yang menyebabkan prestasi sekolah dan mutu lulusan menurun adalah kepemimpinan kepala sekolah yang kurang berhasil (Departement of education State of Delaware, 2001). Kepala sekolah sebagai pimpinan di sekolah memiliki peran strategis dalam upaya meningkatkan mutu pembelajaran yang pada akhirnya akan meningkatkan mutu lulusan,yang mampu menunjukan daya juang dan sifat kompetitifnya dalam persaingan global.
Kepala sekolah memiliki wewenang secara formal dan bisa jadi kharismatik sebagai pemimpin sekolah sehingga karena wewenangnya tersebut muncul sebuah kekhawatiran yang besar apabila kepala sekolah kurang bisa memimpin sekolah. Keberhasilan kepala sekolah dalam menjalankan sekolahnya tidak akan terlepas dari kemampuan kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah dalam melaksanakan fungsi dan peran sebagai kepala sekolah.
Untuk itu, seorang kepala sekolah dituntut mampu memiliki kesiapan dalam mengelola sekolah. Kesiapan yang dimaksud adalah berkenaan dengan kemampuan manajerial sebagai seorang pimpinan. Kemampuan managerial yang dimaksudkan disini adalah berkenaan dengan kemampuannya dalam membuat perencanaan (planning), mengorganisasikan (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling). Dengan kemampuan semacam itu, diharapkan setiap pimpinan mampu menjadi pendorong dan penegak disiplin bagi para karyawannya agar mereka mampu menunjukkan produktivitas kerjanya dengan baik.
Berangkat dari konsep Hersey (dalam Sumidjo, 2002 : 99) yang menyatakan dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas manajerial diperlukan tiga macam bidang keterampilan, yaitu : technical, human dan conceptual. Dengan memiliki ketiga keterampilan dasar tersebut di atas, kepala sekolah dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan ketentuan, sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan yang bermutu. Maka dari itu kemampuan manajerial kepala sekolah ditandai oleh kemampuan untuk mengambil keputusan (decision making) dan tindakan secara tepat, akurat dan relevan.
Ketiga kemampuan manajerial kepala sekolah tersebut ditandai dengan kemampuan dalam merumuskan program kerja, mengkoordinasikan pelaksanaan program kerja, baik dengan dewan guru maupun dengan yang lainnya yang terkait dalam pendidikan suatu kemampuan dalam melakukan evaluasi terhadap program kerja sekolah yang telah dilaksanakan. Penerapan kemampuan manajerial kepala sekolah di atas, pada akhirnya akan tertuju pada penyelenggaraan dan pencapaian mutu pendidikan di lingkungannya.
Dalam suatu organisasi modern, peran lingkungan adalah melakukan sejumlah fungsi, antara lain : memperkuat organisasi beserta perangkat kerjanya, menerapkan tapal batas artinya menciptakan perbedaan yang jelas antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya, memberi standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan apa yang dilakukan oleh para pegawai, sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memadu dan membentuk sikap serta perilaku pegawai.
Selain mempunyai berbagai fungsi yang berdampak positif, organisasi justru dapat ditimpa kegagalan karena peran lingkungan yang tidak diharapkan, yaitu tidak mendorong pada pencapaian kinerja sebuah organisasi., sehingga organisasi yang mempekerjakan pegawai yang tidak mampu melakukan integrasi dan adaptasi terhadap lingkungan dan atau sebaliknya, maka akan menghasilkan tingkat pencapaian kinerja yang relatif rendah.
Dalam pengelolaan suatu organisasi di bidang pendidikan, sumber daya manusia (tenaga kependidikan) menempati posisi yang sangat penting dalam menjamin kelancaran kerja, karena merekalah yang berhadapan langsung dengan aktivitas utama organisasi untuk menghasilkan output tertentu yang diusahakan. Akibatnya tenaga kependidikan yang berhubungan langsung dengan aktivitas utama organisasi, dituntut agar dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan tersebut yang akhirnya secara langsung dapat diterima dari jumlah, maupun kwalitasnya. Pencapaian persyaratan-persyaratan pekerjaan inilah yang dewasa ini biasa disebut dengan istilah "kinerja" (Simamora, 1995 :327).
Pernyataan di atas memberikan gambaran bahwa seorang pimpinan harus mampu mengelola segala sumber daya yang ada di sekolah, mengarahkan dan sekaligus mempengaruhi berbagai aktivitas yang memotivasi berkaitan dengan tugas para anggotanya yang ada di bawahnya. Berkenaan dengan penelitian ini, maka kemampuan tersebut sangat diperlukan. Maksudnya bahwa kemampuan mengarahkan dan mempengaruhi anggotanya adalah berkaitan dengan bagaimana seorang kepala sekolah mampu menjalin suatu budaya di sekolah dengan cara menanamkan nilai-nilai yang dikembangkan di sekolah, tentunya tidak dapat dilepaskan dari keberadaan sekolah itu sendiri sebagai organisasi pendidikan, yang memiliki peran dan fungsi untuk berusaha mengembangkan, melestarikan dan mewariskan nilai-nilai budaya kepada para siswanya.
Di sekolah terjadi interaksi yang saling mempengaruhi antara individu dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan dalam organisasi ini akan dipersepsi dan dirasakan oleh individu tersebut sehingga menimbulkan kesan dan perasaan tertentu. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menciptakan suasana lingkungan kerja yang kondusif dan menyenangkan bagi setiap anggota sekolah, melalui berbagai penataan lingkungan, baik fisik maupun sosialnya. Moh. Surya (1997 : 24) menyebutkan bahwa :
Lingkungan kerja yang kondusif baik lingkungan fisik, sosial maupun psikologis dapat menumbuhkan dan mengembangkan motif untuk bekerja dengan baik dan produktif. Untuk itu, dapat diciptakan lingkungan fisik yang sebaik mungkin, misalnya kebersihan ruangan, tata letak, fasilitas dan sebagainya. Demikian pula, lingkungan sosial-psikologis, seperti hubungan antar pribadi, kehidupan kelompok, kepemimpinan, pengawasan, promosi, bimbingan, kesempatan untuk maju, kekeluargaan dan sebagainya.
Fenomena yang menarik di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu masih ada pimpinan yang cenderung kurang mampu menerapkan si stem manajerial yang baik. Hal ini dapat dilihat dari kurang matangnya perencanaan yang dibuatnya, sehingga dalam pelaksanaannya menjadi kurang efektif. Begitu pula kurangnya pengawasan yang diberikan kepada guru, sehingga guru merasa bebas untuk tidak melakukan kegiatan. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya guru yang malas,tidak disiplin,kurang rasa tanggung jawab sehingga menyebabkan kinerja guru semakin rendah. Padahal kalau ditelaah kemampuan manajerial pimpinan sangat diperlukan sekali. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Stogdil (Aminah, 1999 : 24) yaitu : "kepemimpinan sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari anggota kelompok".
Beberapa pemikiran untuk meningkatkan sekolah berbasis keunggulan dalam pendidikan adalah peningkatan sumber daya manusia, pendidikan apapun bentuknya harus diorientasikan pada proses belajar mengajar. Seperti pengembangan fasilitas, kurikulum, tenaga kependidikan dan lain-lain harus diorientasikan pada proses belajar mengajar. Peningkatan mutu harus didekati secara komprehensif dari seluruh komponen. Empat dimensi yang dapat dilihat untuk pendekatan mutu adalah dimensi input, proses, output, dan outcome (dampak). Pelanggan utama yang hams diposisikan sebagai pihak yang hams dilayani oleh pendidikan adalah peserta didik. Artinya pendidikan yang hams mengasah kepekaan siswa menyangkaut "olah rasa" (afektif), "olah pikir" (kognitif), dan "olah raga" (kinestetik) sebagai basis berbagai inovasi, solusi, dan ide-ide kreatif berkaitan dengan pendidikan hams senantiasa mempertimbangkan peserta didik. Berkaitan dengan perkembangan lingkungan dimana pendidikan itu berada, maka mutu pendidikan diorientasikan pada pembekalan peserta didik untuk bisa/mampu bembah setiap saat, menyesuaikan dengan perkembangan lingkungannya. Mutu dalam kondisi ini yang paling utama adalah membekali peserta didik menjadi orang yang senantiasa mampu belajar terns menerus,dimana guru memegang peranan penting dan utama baik secara kualitas pribadi dan profesional dalam upaya peningkatan pendidikan. Peran pendidik yang professional diperlukan sekali untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, sesuai dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa jabatan guru sebagai pendidik mempakan jabatan Profesional. Untuk mampu bersaing di fomm nasional maupun internasional, profesionalisme guru dituntut untuk terns berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam mendidik maka diperlukan keterampilan khusus bagi guru untuk dapat menyampaikan mated atau membimbing siswa.
Keberadaan guru amatlah penting bagi suatu bangsa, terlebih bagi keberlangsungan hidup bangsa ditengah-tengah lintasan perjalanan jaman dengan teknologi yang kian canggih dan segala pembahan serta pergeseran nilai. Hal ini membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan dan kemampuannya. Berkaitan dengan jabatan dan profesi tadi, fenomena sekarang terlihat di beberapa tempat bahwa masih terdapat guru yang belum memiliki keahlian yang ditunjukan dengan sertifikat atau ijazah dan akta sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya. Hal ini menjadi sangat berpengaruh terhadap kinerja guru itu sendiri, baik dalam pembelajarannya maupun di dalam kelas serta terhadap hasil yang diharapkan pada anak didik. Contohnya untuk mata pelajaran matematika, pada tingkat SMK di Kabupaten X belum memiliki guru matematika yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya, pengajar matematika dipegang oleh guru yang latar belakang Agama, Bahasa Sunda, Fisika, dan lain-lain.
Kepahaman akan mata pelajaran yang diajarkan kepada anak didik seolah-olah dikesampingkan, yang ada hanyalah terpenuhinya mata pelajaran yang hams disampaikan pada anak didik, tidak menghiraukan kesesuaian dengan latar belakang pendidiknya dan tidak memandang kompetensi yang hams dimiliki oleh seorang guru tadi, apakah mampu menyampaikan pelajaran pada anak didik atau tidak, guru dan murid hanya beda satu malam dalam pemahamannya. Demikian juga untuk pembuatan rencana pembelajaran, mereka kurang maksimal. Hal ini tentu sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan pada umumnya. Padahal saat ini pemerintah bemsaha meningkatkan kualitas pendidikan, mengingat tantangan abad ke-21 terhadap dunia pendidikan di Indonesia yang semakin berat, terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta etika. Hal ini sangat mendasar sehubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membawa perubahan hampir di semua aspek kehidupan manusia, dan jawaban semua itu ada pada penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan serta teknologi. Selain hal tersebut, Pemerintah tidak saja meningkatkan kualitas tetapi kuantitas juga sangat diutamakan, shingga angka partisipasi anak bersekolah akan semakin tinggi. Terkait dengan itu maka penguasaan akan keterampilan dan pengetahuan tentang keguruan yang maksimal mutlak hams dimiliki oleh Guru.
Budaya organisasi yang kerap disebut dengan iklim kerja yang menggambarkan suasana dan hubungan kerja antara sesama guru, antara guru dengan kepala sekolah, antara guru dengan tenaga kependidikan lainnya serta antar dinas di lingkungannya mempakan wujud dari lingkungan kerja yang kondusif. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan guru dan kepala sekolah untuk melaksanakan pekerjaannya dengan lebih efektif. Budaya sekolah dapat digambarkan melalui sikap saling mendukung {supportive), tingkat persahabatan (collegia!), tingkat keintian (intimate) serta kerja sama (cooperative). Kondisi yang terjadi atas keempat dimensi budaya sekolah tersebut berpotensi meningkatkan kinerja guru.
Proses pendidikan tidak akan terjadi dengan sendirinya melainkan hams direncanakan, diprogram, dan difasilitasi dengan dukungan dan partisipasi aktif guru sebagai pendidik. Tugas dan tanggung jawab guru adalah mengubah perilaku peserta didik kearah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pencapaian tujuan pendidikan sangat bergantung kepada pelaksanaan tugas dan kinerja guru di samping kemampuan peserta didik itu sendiri serta dukungan komponen sistem pendidikan lainnya. Posisi strategis guru mempakan salah satu faktor penentu kualitas proses dan hasil pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan akan ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mengarahkan peserta didiknya melalui kegiatan pembelajaran. Ketika pembelajaran berlangsung, guru tidak sekedar menyampaikan pelajaran akan tetapi juga menciptakan suasana belajar dengan lancar. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan siswa sehingga kelas menjadi tempat yang menyenangkan dan siswa lebih mudah memahami pelajaran.
Dari informasi data Pengawas Pembina SMK Kabupaten X bahwa jumlah guru yang mengajar sesuai latar belakang 94%, jumlah guru yang mengikuti kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dari 12 mata pelajaran 7 mata pelajaran yang telah berjalan berarti 58,33% yang telah mengikti MGMP, dan peralihan dari guru SMP ke SMK Kabupaten Purwakarat 10% sehingga permasalahan tersebut belum menunjukkan kinerja dan produktifitas kerja yang tinggi sesuai yang diharapkan. Apabila sekolah menginginkan mutu sekolah unggul, maka mutu hams diorientasikan secara terns menems (dibudayakan), sehingga menjadi program keseharian untuk setiap kegiatan yang dilakukan.
Dari hasil observasi awal di lokasi penelitian (tahun 2009), peneliti mendapatkan informasi yang mengindikasikan bahwa kinerja guru tingkat SMK di Kabupaten X belum optimal. Dalam dugaan peneliti, hal ini disebabkan antara lain oleh faktor-faktor kepemimpinan kepala sekolah, dan budaya sekolah. Karena pada saat ini, maupun yang akan datang, baik penentu maupun pelaksana kebijakan pendidikan harus berkemampuan merespon pembahan tuntutan masyarakat akan pendidikan yang bermutu tinggi. Salah satu implikasinya adalah peningkatan kinerja guru. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru antara lain : kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah sumber daya manusia (guru & TU); kebijakan pemerintah; biaya dan fasilitas; sarana dan prasarana. Salah satu faktor yang dominan mempengaruhi kinerja guru yaitu kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang akan menitik beratkan terhadap kinerja guru dengan judul : "Pengaruh Manajerial Kepala Sekolah dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Guru pada Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten X."

B. Rumusan Masalah dan Pembatasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah penelitian yang disajikan dalam topik ini dirumuskan sebagai berikut : "Seberapa besarkah Pengaruh Manajerial Kepala Sekolah dan Budaya organisasi terhadap Kinerja Guru pada SMK di Kabupaten X".
Permasalahan yang dikemukakan di atas, dapat dielaborasi sebagai berikut :
a. Bagaimana gambaran manajerial kepala sekolah, budaya organisasi dan kinerja Guru pada SMK X?
b. Bagaimana pengamh manajerial kepala sekolah terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X?
c. Bagaimana pengamh budaya organisasi terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X?
d. Bagaimana pengamh manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi secara bersama terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X?
2. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya faktor yang berpengamh pada efektivitas kerja guru dan agar lebih fokus maka penelitian ini dibatasi pada dua variabel bebas, yakni : manajerial kepala sekolah (X1), dan budaya organisasi (X2), serta satu variabel terikat, yaitu, kinerja guru (Y). Penelitian ini terbatas pada guru SMK se-Kabupaten X.

C. Maksud dan Tujuan Penelitian
1. Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk mencari dan meneliti fakta-fakta tentang masalah-masalah yang diteliti pada SMK di Kabupaten X, dalam hal ini mengenai pengamh manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi terhadap kinerja guru.
2. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini untuk mengetahui manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi terhadap kinerja guru pada SMK di Kabupaten X.
b. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran tentang :
1) Manajerial kepala sekolah dalam pengelolaan sekolah di SMK se-Kabupaten X.
2) Budaya organisasi yang berkembang di SMK se-Kabupaten X.
3) Kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.
4) Manajerial kepala sekolah terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.
5) Budaya organisasi terhadap kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.
6) Pengaruh manajerial kepala sekolah dan budaya organisasi dalam kinerja guru di SMK se-Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan mempunyai kegunaan baik dari segi teoritis maupun segi praktis sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
Dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan. Pengembangan keilmuan administrasi pendidikan, khususnya dalam manajerial kepala sekolah, budaya organisasi dan kinerja guru.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan bahan lebih lanjut baik bagi peneliti maupun bagi kepada kepala sekolah dan guru-guru pada Sekolah Menengah Kejuruan di Kabupaten X dalam upaya pengembangan kinerja lembaga sekolah dalam mewujudkan lulusan yang berkualitas yang siap terjun ke dunia kerja maupun yang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
TESIS MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MELALUI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA GURU DAN PENERAPAN TEKNOLOGI INFORMASI

TESIS MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MELALUI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA GURU DAN PENERAPAN TEKNOLOGI INFORMASI

(KODE : PASCSARJ-0123) : TESIS MENINGKATKAN EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN MELALUI PENGEMBANGAN SUMBER DAYA GURU DAN PENERAPAN TEKNOLOGI INFORMASI (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5 Ayat 1), bahkan setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat 1). Dalam pelaksanaannya, pendidikan akan berhasil dan berjalan efektif jika pengelolaan sumber daya manusia khususnya guru mendapatkan perhatian khusus dan signifikan.
Dalam pengertian umum, kualitas/mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlihat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana, sumber daya lainnya dan penciptaan suasana yang kondusif.
Kualitas dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir semester, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan {student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (ujian blok dan ujian nasional). Dapat pula prestasi di bidang non akademis seperti prestasi dalam cabang olah raga, kesenian atau bidang lain. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi abstrak {intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dan sebagainya.
Proses pencapaian mutu pendidikan tidak lepas dari sosok dan peran guru sebagai pelaku utama, disamping lingkungan sekolah dan kebijakan pemerintah terhadap pendidikan. Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses memajukan pendidikan di Indonesia sehingga kualitas guru harus ditingkatkan dan dikembangkan mutunya sesuai dengan kompetensi yang telah diatur dalam undang-undang.
Pengembangan sumber daya guru, apabila mengacu pada undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen yang tercantum di pasal 10, tentang kopetensi guru meliputi kompetensi pedagogic, kompetensi kepribadian, kompetensi social dan kopetensi professional.
Kompetensi pedagogik artinya bahwa guru yang ideal adalah memiliki pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, memiliki pemahaman terhadap peserta didik, dapat melakukan pengembangan kurikulum/silabus, dapat membuat rancangan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, memanfaatkan teknologi pembelajaran, melakukan evaluasi hasil belajar, serta dapat mengembangkan peserta didik dalam mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki.
Kompetensi kepribadian adalah guru harus memiliki sikap-sikap mantap, berakhlak mulia, arif dan bijaksana, berwibawa, stabil, dewasa, jujur, mampu menjadi teladan bagi peserta dan masyarakat, mampu secara obyektif mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan.
Kompetensi sosial artinya bahwa guru harus mampu berkomunikasi secara lisan, tulisan dan isyarat, mampu menggunakan teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional, mampu bergaul dengan seluruh komponen, bergaul secara santun sesuai dengan norma yang ada di masyarakat, serta menerapkan prinsip-prinsip persaudaraan sejati dan semangat keberamaan.
Kompetensi profesional adalah kemampuan guru dalam penguasaan mated secara luas dan mendalam sesuai dengan standar isi program satuan pendidikan, mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran yang diampu, menguasai konsep-konsep dan metode disiplin keilmuan, teknologi atau seni yang relevan, yang secara konseptual menaungi atau koheren dengan program satuan pendidikan, mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran yang diampu.
Mengingat efektivitas pembelajaran sangat berpengaruh terhadap peningkatan mutu pendidikan sebab pendidikan merupakan proses pembinaan individu yang sedang mengalami pertumbuhan ke dalam lingkup masyarakat. Dalam kegiatan pendidikan terjadi pembinaan terhadap perkembangan potensi peserta didik untuk memenuhi kelangsungan hidupnya secara pribadi dan kesejahteraan kolektif di masyarakat. Sebagai usaha sadar, pendidikan diarahkan untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan dalam rangka mengisi peranan tertentu di masyarakat pada masa yang akan dating. Pengaruh guru yang sangat besar terhadap perkembangan peserta didik tersebut maka guru dituntut untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara maksimal. Sehingga ada pengamh antara peningkatan efektivitas pembelajaran dengan peningkatan sumber daya manusia.
Pada lingkup Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi standar isi; standar proses; standar kompetensi lulusan; standar pendidik dan tenaga kependidikan; standar sarana dan prasarana; standar pengelolaan; standar pembiayaan; dan standar penilaian pendidikan, menandakan bahwa standar pendidik dalam hal ini guru sangat di hamskan oleh pemerintah dalam menciptakan pendidikan yang lebih maju untuk proses belajar mengajar. Oleh sebab itu guru hams memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai dengan bidang keahlian keilmuannya sehingga memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Namun demikian pada kenyataan yang ada di lapangan, masih banyak dijumpai guru yang mengajar di luar bidang keahliannya yang secara teknis (mismatch), antara lain sebagai contoh ekstrim guru sejarah mengajar matematika dan IPA.
Guru mempakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang utama dalam penyelenggaraan pendidikan, mempakan orang yang bekerja dalam suatu lembaga pendidikan. Sumber Daya Manusia mempakan aset yang paling berharga karena tanpa manusia maka sumber daya pendidikan dan kependidikan tidak akan dapat mencapai tujuan pendidikan sebagai mana mestinya. Sebagai sumber daya manusia yang mempunyai potensi individu, guru hams mengembangkan diri dalam fungsinya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam lembaga pendidikan yang senantiasa bembah dengan cepat, sejalan dengan terjadinya globalisasi. Dalam atmosfir seperti ini, sekolah dituntut untuk melakukan pengembangan sumber daya guru secara optimal.
Mengingat permasalahan daya saing dalam dunia pendidikan yang semakin terbuka,, maka tantangan yang dihadapi dunia pendidikan tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan daya saing yang tinggi niscaya pendidikan Indonesia tidak akan mampu menciptakan lulusan yang kompeten di bidangnya. Oleh karena itu, upaya meningkatkan daya saing dan membangun keunggulan kompetitif pendidikan Indonesia tidak dapat ditunda-tunda lagi dan sudah selayaknya menjadi perhatian berbagai kalangan, bukan saja bagi para pelaku pendidikan itu sendiri tetapi juga bagi aparat birokrasi, berbagai organisasi dan anggota masyarakat yang merupakan lingkungan yang berkepentingan dengan dunia pendidikan.
Realitas globalisasi yang demikian membawa sejumlah implikasi bagi pengembangan SDM di Indonesia. Salah satu tuntutan globalisasi adalah daya saing pendidikan. Daya saing tersebut akan terwujud bila didukung oleh sumber daya guru yang handal.
Pendidikan merupakan kegiatan yang kompleks, dan meliputi berbagai komponen yang saling berkaitan satu dengan lainnya. Untuk memperoleh pendidikan berkualitas dan mampu berperan aktif dalam menjalankan misinya untuk mendidik dan melatih sumber daya manusia, maka setiap komponen yang ada harus mampu bersinergi dan membentuk keselarasan dalam menjalankan peran dan fungsinya secara optimal. Ketimpangan salah satu dari komponen penyangga akan berakibat kurang harmonisnya operasional pendidikan yang dilakukan.
Pengelolaan pendidikan dapat dibedakan secara mikro maupun secara makro. Secara mikro pendidikan lebih berkaitan antara kegiatan yang dilakukan guru dan siswa. Sedangkan secara makro, pendidikan menjangkau beberapa elemen yang sangat luas yang salah satunya adalah pemerintah sebagai regulator, masyarakat dan siswa beserta guru dan didukung oleh berbagai perangkat pendukung lainnya.
Cukup banyak faktor yang terlibat dalam organisasi atau lembaga untuk pengelolaan pendidikan, beberapa lembaga yang cukup berperan adalah departemen pendidikan nasional sebagai wadah umum dalam penyelenggaraan pendidikan, yang selanjutnya diteruskan dan dibantu oleh lembaga yang lebih operasional seperti dinas maupun seksi-seksi pendidikan yang ditempatkan pada wilayah dan kota-kota tertentu. Lembaga tersebut memiliki peran dan fungsi yang berbeda satu dan lainnya, namun secara umum dimaksudkan untuk memberikan pelayanan pendidikan yang optimal bagi masyarakat agar mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Untuk mendapat sumber daya manusia yang berkualitas tinggi tersebut, hanya ada satu jalan pemecahan yang harus ditempuh, yakni melalui pendidikan dan pelatihan yang akan meningkatkan kemauan, kemampuan dan kesempatan bagi seseorang untuk berperan dalam kehidupannya, baik secara individu maupun bermasyarakat. Disamping sumber daya guru yang kompeten, media pembelajaran yang tepat di gunakan dalam proses pembelajaran akan turut menentukan keberhasilan pembelajaran yang efektif. Teknologi informasi adalah salah satu media pembelajaran yang dirasa efektif dan efisien dalam proses pembelajaran yang berkembang pada saat ini. Dengan informasi dan teknologi yang berkembang saat ini, sehingga mampu menjawab berbagai tantangan dan kegiatan pembelajaran pun akan berjalan sesuai dengan target yang sudah ditentukan. Sehingga peran guru bukan sebagai central dalam kegiatan pembelajaran melainkan guru bisa sejajar dengan peserta didik dan menjadi mitra dalam kegiatan proses belajar mengajar.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat diidentifikasi masalah yang berkenaan dengan efekti vitas pembelajaran di SMPN (RSSN) di wilayah X, yaitu :
1. Kepemimpinan kepala sekolah
2. Pengembangan sumber daya guru
3. Sarana dan prasarana
4. Hubungan dengan dewan komite
5. Pembiayaan
6. Kurikulum/perangkat pembelajaran
7. Media pembelajaran yang relevan

C. BATASAN MASALAH.
Dari ke (7) masalah yang di identifikasi. Peneliti hanya membatasi pada pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi sebagai media pembelajaran untuk menunjang Pembelajaran yang efektif. Dikatakan efektif apabila dalam proses pembelajaran setiap elemen berfungsi secara keseluruhan, peserta didik merasa senang, puas dengan hasil pembelajaran, membawa kesan, sarana/fasilitas memadai, mated dan metode yang tepat dan guru yang professional (Udin S. Saud, 2005 :24).
Hal ini didasari oleh sudah berjalan nya penggunaan media teknologi informasi di SMPN (RSSN) di wilayah X. Disamping itu pelatihan yang berkenaan dengan penggunaan media teknologi informasi di kalangan guru pun sudah berjalan, Untuk melihat bagaimana efektivitas pembelajaran yang dipengamhi oleh pengembangan sumber daya guru SMP dan pelatihan penerapan teknologi informasi, maka perlu adanya studi tentang pengembangan sumber daya guru sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran yang akan berimplikasi terhadap mutu pendidikan.

D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan pembatasan masalah, maka masalah dapat dijabarkan ke dalam mmusan-mmusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran pengembangan sumber daya guru yang dilakukan di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
2. Bagaimana gambaran penerapan teknologi informasi di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
3. Bagaiman gambaran efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
4. Seberapa besar kontribusi pengembangan sumber daya guru terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
5. Seberapa besar kontribusi penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
6. Seberapa besar kontribusi pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran secara bersama-sama di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?

D. TUJUAN PENELITIAN
Sejalan dengan perumusan masalah di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi dalam menunjang efektivitas pembelajaran di SMPN RSSN se wilayah X Kabupaten X Jawa Barat. Untuk mencapai tujuan umum tersebut dapat dirinci dalam tujuan khusus sebagai berikut.
1. Mengetahui dan menganalisis gambaran pengembangan sumber daya guru yang dilakukan di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
2. Mengetahui dan menganalisis gambaran penerapan teknologi informasi di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
3. Mengetahui dan menganalisis gambaran efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
4. Mengetahui dan menganalisis kontribusi pengembangan sumber daya guru terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
5. Mengetahui dan menganalisis kontribusi penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?
6. Mengetahui dan menganalisis kontribusi pengembangan sumber daya guru dan penerapan teknologi informasi terhadap efektivitas pembelajaran di SMPN sebagai rintisan sekolah standar nasional di wilayah X?

E. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat penelitian ini baik secara teoritis maupun secara praktis yang dapat diambil hikmahnya adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Secara Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk mengembangkan wawasan tentang ilmu administrasi pendidikan baik pada tingkatan makro dalam administasi pendidikan di lembaga birokrasi pendidikan, maupun pada tingkatan mikro dalam administrasi pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Khususnya pada tingkat sekolah, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menemukan model-model baru dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dan untuk meningkakan mutu pembelajaran. Selain itu hasil penelitian ini dapat menemukan permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kerjasama antara guru dan peserta didik dalam meningkatkan efektivitas pembelajaran.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan kepada pihak sekolah, khususnya kepala sekolah dan guru agar dapat dan mau melaksanakan segala upaya yang berhubungan dengan peningkatan efektivitas pembelajaran dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
b. Memberikan masukkan kepada Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten X sebagai Pemerintah Daerah Otonom yang memiliki tanggun jawab lebih besar dalam memajukan lembaga pendidikan dalam semangat desentralisasi pendidikan yang harus melibatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan. Secara praktis, bagi pemerintah penelitian ini dapat menjadi umpan balik (feedback) yang diharapkan dapat memberikan gambaran sekaligus evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran di Kabupaten X.