Search This Blog

SKRIPSI PERANAN KELOMPOK TANI DALAM PENINGKATAN STATUS SOSIAL EKONOMI PETANI PADI SAWAH

SKRIPSI PERANAN KELOMPOK TANI DALAM PENINGKATAN STATUS SOSIAL EKONOMI PETANI PADI SAWAH

(KODE PRTANIAN-0001) : SKRIPSI PERANAN KELOMPOK TANI DALAM PENINGKATAN STATUS SOSIAL EKONOMI PETANI PADI SAWAH




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pembangunan seringkali diartikan pada pertumbuhan dan perubahan. Jadi pembangunan pertanian yang berhasil dapat diartikan kalau terjadi pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi sekaligus terjadi perubahan masyarakat tani dari yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Seperti diketahui sektor pertanian di Indonesia dianggap penting. Hal ini terlihat dari peranan sektor pertanian terhadap penyediaan lapangan kerja, penyedia pangan, penyumbang devisa negara malalui ekspor dan sebagainya. Oleh karena itu wajar kalau biaya pembangunan untuk sektor pertanian ini selalu tiga besar diantara sektor-sektor yang lain (Soekartawi,1993).
Menjelang abad ke-21, di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia, terjadi suatu perubahan paradigma pembangunan secara drastis. Pada masa-masa awal sesudah memperoleh kemerdekaannya, paradigma pembangunan yang dominan di negara-negara tersebut adalah industrialisasi. Selain diharapkan dapat mengangkat harkat hidup penduduk di negara-negara yang sedang berkembang, secara politis industrialisasi juga akan menyejajarkan kedudukan negara-negara tersebut dengan negara-negara Barat, yang sebagian besar adalah negara-negara yang pernah menjajah mereka. Akibat dominasi dari paradigma industrialisasi dalam proses pembangunan, maka pembangunan sektor pertanian relatif ditelantarkan. Bahkan ada anggapan bahwa indikator keberhasilan suatu pembangunan adalah mengecilnya sumbangan sektor pertanian pada total pendapatan negara. Sebaliknya, apabila jumlah kontribusi sektor pertanian pada pendapatan nasional tetap tinggi, maka negara tersebut tetap dianggap sebagai negara yang terbelakang (Soetrisno, 2006).
Namun, tidak demikian dengan sektor pertanian, sektor pertanian dalam menghadapi krisis menyebabkan terjadinya perubahan pola pikir dari para perencana pembangunan di negara-negara yang sedang berkembang. Jika semula industrialisasi diandalkan sebagai suatu model pembangunan yang akan mampu memecahkan masalah keterbelakangan negara yang sedang berkembang, setelah krisis menimpa negara-negara tersebut, pembangunan sektor pertanian kemudian menjadi harapan baru dalam pembangunan di negara dunia ketiga (Soetrisno,2006).
Peran sektor pertanian yang merupakan dasar bagi kelangsungan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan diharapkan mampu memberikan pemecahan permasalahan bagi bangsa Indonesia. Karena sektor pertanian mempunyai 4 fungsi yang sangat fundamental bagi pembangunan suatu bangsa yaitu :
1. Mencukupi pangan dalam negeri
2. Penyediaan lapangan kerja dan berusaha
3. Penyediaan bahan baku untuk industri, dan
4. Sebagai penghasil devisa bagi negara
Kondisi sosial budaya petani merupakan masalah utama dalam fungsi sektor pertanian di dalam pembangunan nasional dan kemampuan sektor tersebut untuk bersaing pada abad yang akan datang. Berdasarkan data statistik yang ada, saat ini sekitar 75% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan. Lebih dari 54% diantaranya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, dengan pendapatan yang relatif rendah jika dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di perkotaan. Perbedaan tersebut berkaitan erat dengan produktifitas para petani Indonesia, yang tidak dapat dilepaskan dari berbagai faktor, antara lain luas lahan yang dimiliki, kebijakan pemerintah dalam hal pemberian insentif kepada petani dan sebagainya.
Selama dasawarsa 1950an, masalah dasar yang dihadapi oleh pertanian rakyat di Indonesia tetap saja memproduksi pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang meningkat pesat. Produksi padi/gabah pada tahun 1951 di Jawa dan Madura diperkirakan 6,5 ton dengan hasil rata-rata 2,2 ton/hektar. Total produksi padi di Indonesia diperkirakan sekitar 10 juta ton. Banyak program dan kebijakan yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan produksi padi/gabah, diantaranya program Bimas Gotong Royong. Namun pada tahunl986 Indonesia mencapai swasembada beras oleh karena keberhasilan adopsi varietas unggul berproduksi tinggi dan penggunaan pupuk yang lebih banyak (Oudejans, 2006).
Petani memainkan peranan sebagai inti dalam pembangunan pertanian. Petanilah yang memelihara tanaman dan menentukan bagaimana usaha taninya harus dimanfaatkan. Petanilah yang harus mempelajari dan menerapkan metoda-metoda baru yang diperlukan untuk membuat usaha taninya lebih produktif. (Mosher, 1985).
Sebagian petani tidak mempunyai pengetahuan serta wawasan yang memadai untuk dapat memahami permasalahan mereka, memikirkan pemecahannya, atau memilih pemecahan masalah yang paling tepat untuk mencapai tujuan mereka. Ada kemungkinan pengetahuan mereka berdasarkan kepada informasi yang keliru karena kurangnya pengalaman, pendidikan atau faktor budaya lainnya. Disini diperlukan peran penyuluhan untuk meniadakan hambatan tersebut dengan cara menyediakan informasi dan memberikan pandangan mengenai masalah yang dihadapi.
Metode penyuluhan yang lebih menguntungkan untuk dapat menyelesaikan permasalahan petani adalah metode kelompok karena ada umpan balik yang memungkinkan pengurangan salah pengertian antara penyuluh dan petani. Interaksi ini memberi kesempatan untuk bertukar pengalaman maupun pengaruh terhadap perilaku dan norma para anggota kelompok (Van Den Ban, 2003).
Ide membuat suatu kelompok berasal dari kenyataan bahwa setiap individu tidak akan dapat memenuhi kebutuhan dan harapan seorang diri. Individu terutama dalam masyarakat modern, merasa kurang mampu, kurang tenaga, kurang waktu dan tidak berdaya bila harus memenuhi sendiri kebutuhan dasar atas makanan, naungan dan keselamatan. Bekerja bersama dalam kelompok adalah lebih murah dari pada kunjungan individu. Penyuluh pembangunan (PP) jelas terbatas yang berarti bekerjasama dengan kelompok adalah lebih rendah biayanya. Alasan terbentuknya suatu kelompok adalah oleh karena beberapa orang mempunyai persoalan yang sama (Rusdi, 1999).
Pendekatan pengembangan kelompok bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi berbagai permasalahan dan kebutuhannya. Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah terbiasa bekerja berkelompok dengan bentuk yang sesuai dengan budaya dan kondisi lokal yang ada. Dari sisi masyarakat, dengan berkelompok akan lebih mudah mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan, dibandingkan dengan bekerja sendiri. Kelompok merupakan wadah belajar bersama dimana masyarakat bisa saling bertukar pengalaman dan pengetahuan. Selain itu kelompok membangun solidaritas sesama warga desa. Pengembangan kelompok merupakan serangkaian proses kegiatan memampukan/memberdayakan kumpulan anggota masyarakat yang mempunyai tujuan bersama (Kartasapoetra, 1991).
Sasaran pengembangan kelompok adalah siapa saja yang berminat terutama mereka yang kerapkali terabaikan, seperti kelompok masyarakat yang miskin, kaum perempuan, mereka yang berpendidikan rendah, dan juga mereka yang cacat serta kelompok lainnya. Mereka yang terabaikan merupakan bagian dari masyarakat, mereka juga mempunyai potensi dalam memecahkan permasalahan yang ada. Setiap anggota kelompok dapat berpartisipasi dalam pengembangan kelompok dengan segala potensi dan keterbatasan yang mereka miliki (Sastraatmadja, 1993).
Kelompok tani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumber daya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Pembinaan kelompok tani diarahkan pada penerapan sistem agribisnis, peningkatan peranan, peran serta petani dan anggota masyarakat pedesaan lainnya, dengan menumbuhkembangkan kerjasama antar petani dan pihak lainnya yang terkait untuk mengembangkan usaha taninya. Selain itu pembinaan kelompok tani diharapkan dapat membantu menggali potensi, memecahkan masalah usaha tani anggotanya secara lebih efektif, dan memudahkan dalam mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya (Dinas Pertanian Kota X, 2008).
Sejak dulu, diantara tanaman bahan makanan, padi merupakan tanaman utama para petani Indonesia. Padi dapat ditanam di lahan kering (up-land) maupun lahan basah atau biasa disebut sawah (wet-land). Sawah berperan dominan dalam produksi padi karena pada umumnya padi memang ditanam di lahan jenis ini. Peningkatan produksi padi bermula pada awal dan berlangsungnya Pelita I, terutama hingga tingkatan swasembada. Usaha peningkatan produksi padi tersebut berkat usaha bimbingan teknis oleh pemerintah kepada para petani secara serius, juga didukung oleh perbaikan infrastruktur secara fisik (jalan desa dan irigasi) maupun prasarana ekonominya. Beras dianggap sebagai komoditi strategis yang dominan dalam ekonmi Indonesia karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia. Kebutuhan beras setiap tahun bertambah sesuai pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat dan juga karena kebutuhan per kapita meningkat. Meningkatnya kebutuhan per kapita disebabkan oleh beralihnya penduduk bukan pemakan beras menjadi pemakan beras sebagai makanan pokoknya (Adiratma Roekasah, 2004).
Tren naik dan turunnya produksi padi sangat ditentukan oleh dua faktor yaitu luas panen dan produktifitas, dimana produksi merupakan hasil perkalian antara luas panen dengan produktifitas dalam suatu musim tanam atau periode tertentu. Petani di Kecamatan X pada umumnya adalah petani tanaman pangan khususnya tanaman padi sawah. Berdasarkan sensus pertanian diketahui produksi padi sawah di kecamatan tersebut masih rendah (7.871 ton) dengan luas lahan 1.537 Ha meskipun di daerah tersebut sudah ada kelompok tani. Berikut adalah luas lahan sawah dan rata-rata produksi padi di Kecamatan X:

** tabel sengaja tidak ditampilkan **

Kecamatan X terdiri dari 30 desa, dimana ada beberapa desa yang Luas Lahan padi sawah kurang dari 10 Ha dengan produksi rata-rata 2 ton/ha. Hal ini disebabkan karena beberapa desa tersebut menanam tanaman perkebunan dan juga karena beberapa desa ada yang irigasinya sudah tidak baik lagi sehingga petani terpaksa tidak menanam padi sawah.
Sementara beberapa desa lainnya memiliki luas lahan 70 ha dengan produksi 5 ton/ha. Desa Y luas lahan 100 ha dengan produksi sekitar 6 ton/ha. Desa Z luas lahan 70 ha dengan produksi sekitar 4,5 ton/ha. Desa X luas lahan 70 ha dengan produksi sekitar 5 ton/ha. Berdasarkan hasil sensus tersebut peneliti terdorong untuk mengetahui sudah sejauh mana peranan kelompok tani dalam peningkatan ststus sosial ekonomi petani padi sawah khususnya di desa X Kecamatan X maka perlu diadakan penelitian secara ilmiah.

B. Identifikasi Masalah
Masalah yang perlu diteliti adalah 1) kegiatan yang dilakukan kelompok tani dalam peningkatan status sosial ekonomi petani, 2) perbedaan tingkat kosmopolitan, perbedaan tingkat adopsi teknologi padi sawah petani, 3) perbedaan produktifitas petani, perbedaan pendapatan petani, 4) perbedaan perubahan pola konsumsi petani sebelum dan sesudah menjadi anggota kelompok tani X selama 3 tahun terakhir, 5) kendala yang dihadapi petani dalam menjalankan usaha tani serta upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah diatas.

C. Tujuan Penelitian
Mengetahui 1) kegiatan yang dilakukan kelompok tani dalam peningkatan status sosial ekonomi petani, 2) menganalisis perbedaan tingkat kosmopolitan, tingkat adopsi teknologi padi sawah petani, produktifitas petani, pendapatan petani, serta perbedaan perubahan pola konsumsi petani sebelum dan sesudah menjadi anggota kelompok tani X, 3) mengetahui kendala yang dihadapi petani dalam menjalankan usaha tani serta upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala tersebut.

D. Kegunaan Penelitian
1) Sebagai bahan masukan bagi Badan Penyuluhan Pertanian (BPP) dalam membuat program penyuluhan pertanian untuk meningkatkan status sosial ekonomi petani.
2) Sebagai bahan referensi atau sumber informasi bagi pihak yang membutuhkan.
3) Sebagai bahan untuk membuat skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan studi di Fakultas Pertanian Universitas X.
SKRIPSI PENGARUH PROMOSI DAN MUTU PRODUK TERHADAP POSITIONING PRODUK (STUDI KASUS PADA PRODUK GSM SIMPATI) PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR

SKRIPSI PENGARUH PROMOSI DAN MUTU PRODUK TERHADAP POSITIONING PRODUK (STUDI KASUS PADA PRODUK GSM SIMPATI) PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR

(KODE T-INDSTR-0001) : SKRIPSI PENGARUH PROMOSI DAN MUTU PRODUK TERHADAP POSITIONING PRODUK (STUDI KASUS PADA PRODUK GSM SIMPATI) PT. TELEKOMUNIKASI SELULAR




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Permasalahan
Perkembangan teknologi saat ini menjadikan bisnis telekomunikasi menjadi suatu hal yang sangat menguntungkan. Hal ini menyebabkan persaingan yang begitu ketat antara provider-provider yang ada. Provider-provider tersebut harus melakukan sebuah strategi untuk tetap eksis dalam kancah persaingan yang terbentuk. ,
PT. Telekomunikasi Selular yang bergerak sebagai salah satu provider Global System for Mobile Communication (GSM) lewat produk Simpatinya terus beranjak. Berbagai promosi dilancarkan dan kualitas produk yang terus ditingkatkan ternyata mampu memberikan hasil positif dengan adanya peningkatan jumlah pelanggan yang cukup meyakinkan setiap tahunnya.
Promosi dan mutu produk merupakan pilihan utama untuk mendekatkan perusahaan dengan keinginan pelanggan yang sesungguhnya, meningkatkan loyalitas produsen kepada konsumen serta meningkatkan penjualannya. Sesuai dengan pengertiannya promosi yang merupakan salah satu bagian dari rangkaian kegiatan pemasaran suatu produk. Promosi adalah suatu kegiatan bidang pemasaran yang merupakan upaya komunikasi yang dilaksanakan perusahaan kepada pembeli atau konsumen yang memuat pemberitaan (information), membujuk (persuasion), dan mempengaruhi (influence). Segala kegiatan itu bertujuan untuk meningkatkan volume penjualan" (J. Setiadi,2003:235). Pilihan kedua dari perusahaan yaitu menerapkan mutu produk yang sesuai dengan ketetapan perusahaan dan sesuai dengan keinginan konsumen. Pengambilan keputusan tersebut dikuatkan dengan pengertian mutu produk merupakan sesuatu yang dianggap mampu memuaskan kebutuhan dan keinginan (Kotler, 1997:5). Dari pilihan utama tersebut terdapat keinginan perusahaan untuk memposisikan produknya (positioning produk) yang pada akhirnya berimbas kepada meningkatkan volume penjualan perusahaan.
Menurut Charty (2001:327), penjualan merupakan penyaluran produk yang dihasilkan perusahaan kepada pasar baik konsumsi maupun produksi tergantung pada jenis produk yang dihasilkan perusahaan agar diperoleh keuntungan-keuntungan dari proses produksi. Besar kecilnya volume penjualan ditentukan oleh seberapa jauh usaha-usaha serta kegiatan yang dilakukan, dimana para konsumen akan mempertimbangkan serta memberi penilaian terhadap kualitas, harga beli serta kekuatan. Sementara itu pihak produsen itu sendiri di samping memberi penilaian dan peraturan yang sama juga memperhatikan promosi penjualan dan mutu produk yang diterapkan perusahaan.
Promosi dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Selular untuk memperkenalkan produk yang dihasilkan oleh perusahaan kepada para pelanggan. Mutu produk yang terus ditingkatkan guna memperoleh volume penjualan yang tinggi serta didapatkannya kepuasan pelanggan setelah penggunaan produk mereka.
PT. Telekomunikasi Selular yang tersebar di seluruh daerah Indonesia menerapkan promosi dan mutu produk yang ditetapkan dari pusat. Untuk meningkatkan penjualannya, salah satu usaha yang dilakukan oleh PT. Telekomunikasi Selular X adalah meningkatkan promosi dan mutu produk yang dimilikinya sehingga positioning produk Simpati akan semakin bagus di pasar persaingan. Dengan demikian peningkatan volume penjualan akan sesuai dengan yang diharapkan oleh pihak perusahaan.
Setelah melakukan pengamatan (survey awal), penulis mengamati bahwa adanya permasalahan seberapa besar pengaruh promosi dan mutu produk terhadap keberhasilan positioning produk, mengingat promosi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kompetitor sangat signifikan. Misalnya Indosat dengan produk IM3nya menerapkan tarif promosi Rp. 0,01/detik mampu meningkatkan pelanggannya sampai September tahun 2008 sebesar 61% dari 22.026.590 menjadi 35.473.336 pelanggan bila dibandingkan September tahun 2007. PT. Excelcomindo Pratama dengan tarif promosi gratis menelpon selama 17 jam atau SMS Rp 9/SMS serta dengan menggunakan ikon artis terkenal mampu meningkatkan jumlah pelanggannya sampai September tahun 2008 sebesar 96,1% dari 12.800.000 menjadi 25.100.000 pelanggan bila dibandingkan September tahun 2007. PT. Telkomsel sendiri hanya mampu meningkatkan pelanggannya sebesar 36% dari 44.050.000 menjadi 60.050.000 pelanggan dengan promosi tarif Simpati PeDe (detikinet.com).
Dari segi mutu produk, Indosat terus memperbaiki layanannya dengan penambahan pemancar telekomunikasinya (BTS), hingga menjelang September 2008 mereka memiliki 20.100 BTS. PT. Excelcomindo Pratama sampai September 2008 telah memiliki 15.111 BTS. PT. Telkomsel sendiri pada tahun 2008 berencana menambah sebanyak 5000 BTS sehingga pada akhir tahun 2008 mereka memiliki 25.000 unit BTS (detikinet.com).
Berdasarkan data-data di atas memberikan gambaran bahwa terjadinya persaingan yang ketat antara provider-provider GSM yang ada di Indonesia. Belum lagi ditambah dengan kehadiran provider-provider baru seperti AXIS, 3, dan Iain-lain. Hal ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya (Novita Dewi: 2008). Promosi dan mutu produk adalah cara untuk memperbaiki Positioning produk di pasar persaingan. Positioning produk yang baik akhirnya akan memberikan efek positif terhadap loyalitas konsumen dan peningkatan laba perusahaan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis memilih judul "Pengaruh Promosi dan Mutu Produk Terhadap Positioning Produk (Studi Kasus pada Produk Global System for Mobile Communication (GSM) Simpati) PT. Telekomunikasi Selular X".

1.2. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan pada latar belakang permasalahan, maka penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat mengungkapkan permasalahan yang ada. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah "Seberapa besar pengaruh promosi dan mutu produk terhadap keberhasilan positioning produk (Studi Kasus pada Produk Global System for Mobile Communication (GSM) Simpati) PT. Telekomunikasi Selular X".

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara faktor promosi, mutu produk terhadap positioning produk, sehingga perusahaan dapat mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan promosi dan menerapkan sistem mutu terhadap produk mereka. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini antara lain :
1. Untuk mengetahui pengaruh promosi terhadap positioning produk di pasar.
2. Untuk mengetahui pengaruh mutu produk terhadap positioning produk di pasar.
3. Untuk mengetahui pengaruh promosi dan mutu produk terhadap positioning produk di pasar.

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain :
1. Sebagai bahan informasi bagi PT. Telekomunikasi Selular X dalam memposisikan produknya (positioning produk) dengan adanya promosi yang terencana serta mutu produk yang mempunyai daya saing.
2. Penelitian ini merupakan suatu kesempatan bagi penulis untuk menerapkan teori-teori dan literatur yang penulis peroleh dari bangku kuliah kemudian memperdalam pengetahuan dan menambah wawasan penulis.
3. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian lanjutan guna melihat seberapa besar pengaruh positioning produk dalam peningkatan volume penjualan.

1.5. Batasan Masalah
Untuk memperjelas serta membatasi ruang lingkup permasalahan sehingga menghasilkan uraian yang sistematis, maka penulis merasa perlu membuat batasan masalah yaitu:
1 Penelitian ini hanya menganalisis faktor promosi dan mutu produk terhadap positioning produk (Kasus pada Produk (GSM) Simpati).
2. Penelitian ini dilakukan terhadap mahasiswa Universitas X yang menggunakan produk GSM Simpati.
3. Lokasi penelitian adalah di lingkungan kampus Universitas X.
4. Waktu penelitian adalah pada bulan Oktober 2008 sampai dengan Desember 2008.

1.6. Asumsi-asumsi
Adapun asumsi yang digunakan adalah :
1. Semua responden yang dilibatkan dalam pengambilan data memiliki pengetahuan yang baik mengenai fungsi dan kegunaan teknologi berbasis GSM.
2. Seluruh pertanyaan pada kuesioner akhir dianggap valid setelah dilakukan pengujian validitas dan reabilitas serta perbaikan penulisan redaksi pada pertanyaan yang tidak valid. Perbaikan penulisan redaksi bertujuan untuk memperjelas maksud dari pertanyaan tersebut.

1.7. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah:
BAB I-PENDAHULUAN
Pada bab ini dijelaskan hal-hal yang melatarbelakangi penelitian ini dan masalah-masalah yang terkait dengan perusahaan, permasalahan dalam penelitian, tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, batasan-batasannya, dan sistematika yang digunakan dalam penelitian ini.
BAB II-GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
Bab ini menguraikan tentang sejarah singkat perusahaan, struktur organisasi dan manajemen dan mang lingkup kegiatan usaha.
BAB III-LANDASAN TEORI
Bab ini berisi teori-teori yang mendasari penelitian ini yang berasal dari berbagai sumber. Teori-teori inilah yang digunakan dalam menentukan pengumpulan data-data yang dibutuhkan, juga digunakan untuk melakukan pengolahan dan analisis perhitungan hubungan antara variabel-variabel yang diukur meliputi variabel promosi, mutu, dan volume penjualan.
BAB IV-METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini berisikan metodologi penelitian yang dipakai sebagai kerangka pemecahan masalah secara sistematis dalam penelitian yang akan dilakukan.
BAB V-PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA
Bab ini berisi data-data yang dibutuhkan untuk penelitian, yaitu data-data yang terkait dengan variabel promosi, mutu, dan volume penjualan.
BAB VI-ANALISA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dilakukan analisa terhadap hasil-hasil pengolahan data yang telah dilakukan yaitu hubungan antara variabel-variabel yang diukur meliputi variabel promosi, mutu, dan positioning produk.
BAB VII-KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang didapatkan dari penelitian ini ditambah dengan saran-saran dalam rangka perbaikan dan untuk penelitianya lebih lanjut.
SKRIPSI PENGARUH PROFITABILITY DAN INVESTMENT OPPORTUNITY SETTERHADAP DIVIDEN KAS PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA

SKRIPSI PENGARUH PROFITABILITY DAN INVESTMENT OPPORTUNITY SETTERHADAP DIVIDEN KAS PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA

(KODE EKONMANJ-0051) : SKRIPSI PENGARUH PROFITABILITY DAN INVESTMENT OPPORTUNITY SETTERHADAP DIVIDEN KAS PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI BURSA EFEK INDONESIA




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Setiap perusahaan memiliki tujuan serta sasaran tertentu yang berlainan yaitu memaksimalkan nilai perusahaan yang dapat diukur dari harga saham perusahaan yang bersangkutan. Untuk mendukung tujuan tersebut, perusahaan harus melakukan beberapa kebijakan. Salah satu kebijakan penting yang harus dilaksanakan manajemen dalam menyeimbangkan kepentingannya dengan kepentingan pemegang saham adalah kebijakan dividen.
Kebijakan dividen merupakan keputusan tentang laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan oleh perusahaan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa datang (Sartono, 2001:281). Bagi para pemegang saham, dividen merupakan tingkat pengembalian dari investasi mereka berupa kepemilikan saham perusahaan tersebut. Sedangkan bagi pihak manajemen, dividen merupakan arus kas keluar yang akan mengurangi kas perusahaan.
Dividen yang paling umum dibagikan perusahaan adalah dividen kas. Dalam hubungannya dengan pendapatan dividen, para investor umumnya menginginkan pembagian dividen yang relatif stabil dari tahun ke tahun karena dengan stabilitas dapat meningkatkan kepercayaan investor terhadap perusahaan. Pembayaran dividen dalam bentuk tunai lebih banyak diinginkan investor daripada dalam bentuk lain, karena pembayaran dividen tunai membantu mengurangi ketidakpastian investor dalam aktivitas investasinya ke dalam
perusahaan. Dividen kas adalah sumber dari aliran kas untuk pemegang saham yang memberikan informasi tentang kinerja perusahaan saat ini dan akan datang (Sundjaja dan Barlian, 2002:380).
Kebijakan dividen kas sebuah perusahaan memiliki dampak penting bagi banyak pihak yang terlibat di masyarakat (Suharli, 2006). Dividen yang dibayarkan kepada para pemegang saham tergantung kepada kebijakan dividen masing-masing perusahaan, sehingga memerlukan pertimbangan yang lebih serius dari manajemen perusahaan. Perusahaan harus bisa membuat sebuah kebijakan yang optimal. Kebijakan yang diambil harus bisa memenuhi keinginan kedua belah pihak dimana perusahaan tetap bisa memenuhi kebutuhan dana, sedangkan pihak investasi memperoleh apa yang diinginkan, sehingga investor tidak mengalihkan investasinya ke perusahaan lain.
Pada umumnya, pihak manajemen cenderung menahan kas untuk melunasi kewajiban dan melakukan investasi. Apabila kondisinya seperti ini, jumlah dividen yang akan dibayarkan menjadi relatif kecil. Sementara itu, di pihak pemegang saham tentu saja menginginkan jumlah dividen kas yang tinggi sebagai hasil dari modal yang mereka investasikan. Kondisi seperti inilah yang dipandang agency theory sebagai konflik antara manajer dan investor ketika kedua kelompok saling berbeda (Keown, et al 2000:617).
Profitability (vroftXabWitdis) adalah tingkat keuntungan bersih yang berhasil diperoleh perusahaan dalam menjalankan operasionalnya. Keuntungan yang layak dibagikan kepada pemegang saham adalah keuntungan setelah perusahaan memenuhi seluruh kewajiban tetapnya yaitu beban bunga dan pajak. Perusahaan
yang memperoleh keuntungan cenderung akan membayar porsi keuntungan yang lebih besar sebagai dividen. Semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka akan semakin besar pula kemampuan perusahaan dalam membayar dividen (Brigham dan Houston, 2006:108).
Investment Opportunity Set (IOS) diperkenalkan pertama kali oleh Myers pada tahun 1977. Nilai perusahaan dipengaruhi yaitu dua hal yaitu aset yang saat ini telah ditempatkan dan opsi untuk investasi di masa depan. IOS lebih ditekankan pada opsi investasi di masa depan. IOS merupakan nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan manajemen di masa yang akan datang, yang pada saat ini merupakan pilihan-pilihan investasi yang diharapkan akan menghasilkan return yang lebih besar. Perusahaan yang memperoleh tingkat keuntungan yang tinggi akan membuka cabang yang baru serta memperbesar investasi atau membuka investasi baru sehingga tingkat keuntungan yang tinggi menandakan pertumbuhan perusahaan pada masa mendatang juga meningkat dimana perusahaan yang bertumbuh cenderung membayarkan dividen lebih rendah.
Perusahaan manufaktur merupakan perusahaan yang mengolah bahan mentah menjadi produk jadi. Indonesia yang kaya akan sumber daya alam sehingga banyak komoditi yang dapat diproduksi mendukung banyak perusahaan yang berkembang di sektor manufaktur. Oleh karena itu, investasi pada sektor manufaktur cukup menjanjikan di Indonesia. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 sebanyak 140 perusahaan dari 323 perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa peran serta
perusahaan manufaktur dalam perekonomian di Indonesia menempati posisi yang dominan. Perusahaan manufaktur merupakan sektor yang cukup berprospek untuk kegiatan berinvestasi karena harga saham perusahaan manufaktur stabil bahkan bergerak naik pada tahun 2009. Hal tersebut terlihat dari grafik kinerja indeks manufaktur dari tahun 2005 sampai dengan 2009 sebagai berikut:

** gambar sengaja tidak ditampilkan **

Sumber : www, duniainvestasi. com (20 April 2010)
Grafik 1.1 menunjukkan pergerakan indeks manufaktur mulai periode Januari 2005 sampai Desember 2009. Indeks manufaktur bergerak selalu mengalami perubahan (ada kenaikan dan penurunan) dari periode Januari 2005 sampai Desember 2008 tetapi pada bulan Januari 2009 bergerak naik terus sampai dengan Desember 2009. Pada saat krisis ekonomi global 2008 terjadi, indeks manufaktur sempat berada pada posisi 387,733 pada awal Januari 2008 dan juga sempat jatuh ke level terendah saat itu di level 211,583 di bulan Oktober 2008.
Saat ini indeks manufaktur berangsur-angsur kembali menanjak hampir mencapai puncak (naik) pada Desember 2009 yaitu di level 557,665.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh Profitability dan Investment Opportunity Set Terhadap Dividen Kas pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, maka yang menjadi perumusan masalah di dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah profitability dengan menggunakan variabel Return On Equity (ROE) dan Net Profit Margin (NPM) serta Investment Opportunity Set (IOS) yang diproksikan oleh Market to Book Value of Assets (MVA/BVA), Capital Addition to Market Value of Assets (CAP/MVA) dan Variance of Total Return (VARRET) secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap dividen kas pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia?
2. Apakah profitability dengan menggunakan variabel Return On Equity (ROE) dan Net Profit Margin (NPM) serta Investment Opportunity Set (IOS) yang diproksikan oleh Market to Book Value of Assets (MVA/BVA), Capital Addition to Market Value of Assets (CAP/MVA) dan Variance of Total Return (VARRET) secara parsial mempunyai pengaruh terhadap dividen kas pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia?

C. Kerangka Konseptual
Kebijakan dividen pada hakekatnya adalah keputusan apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi di masa datang (Sartono, 2001: 281). Perusahaan harus bisa membuat sebuah kebijakan yang optimal. Kebijakan yang diambil harus bisa memenuhi keinginan kedua belah pihak dimana perusahaan tetap bisa memenuhi kebutuhan dana, sedangkan pihak investasi memperoleh apa yang diinginkan, sehingga investor tidak mengalihkan investasinya ke perusahaan lain.
Profitabilitas mempakan tingkat keuntungan bersih yang berhasil diperoleh perusahaan dalam menjalankan operasinya. Profitabilitas yang tinggi menggambarkan keuntungan perusahaan yang meningkat yang berarti perusahaan mampu untuk membayar dividen atau bahkan dividen yang dibayarkan juga meningkat. Dengan demikian, kemampuan perusahaan untuk membayar dividen mempakan fungsi dari keuntungan. Penelitian yang dilakukan oleh Suharli (2006) menunjukkan bahwa adanya pengaruh positif antara profitabilitas dan kebijakan dividen, namun Investment Opportunity Set menunjukkan kebalikannya yaitu adanya pengaruh negatif antara Investment Opportunity Set dengan kebijakan dividen.
Set kesempatan investasi {Investment Opportunity Set) mempakan faktor yang mempengaruhi besar kecilnya pembayaran dividen. Apabila suatu perusahaan memiliki set kesempatan investasi yang tinggi, hal ini berarti aliran kas bebas dalam perusahaan atau laba yang dihasilkan sebagain besar akan
digunakan untuk mendanai investasi yang menguntungkan tersebut. Hal ini akan mempengaruhi jumlah dividen yang akan diterima pemegang saham. Subekti dan Indra (2001) menyatakan bahwa terdapat korelasi antara IOS dengan realisasi perusahaan bertumbuh signifikan positif.
Profitabilitas akan diukur dengan menggunakan Return On Equity (ROE) dan Net Profit Margin (NPM) sedangkan Investment Opportunity Set (IOS) yang digunakan adalah proksi berdasarkan harga yaitu Market to Book Value of Assets (MVA/BVA). Proksi berdasarkan investasi yaitu Capital Addition to Market Value of Assets (CAP/MVA) dan proksi berdasarkan varians yaitu Variance of Total Return (VARRET). Proksi ini digunakan karena diketahui signifikan sebagai proksi kesempatan tumbuh oleh penelitian terdahulu (Erlina, 2007:15).
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang dikemukakan sebelumnya, maka model kerangka konseptual yang dipakai adalah:

** gambar sengaja tidak ditampilkan **

D. Hipotesis
Hipotesis di dalam penelitian ini adalah:
1. Profitability dengan menggunakan variabel Return On Equity (ROE) dan Net Profit Margin (NPM) serta Investment Opportunity Set (IOS) yang diproksikan oleh Market to Book Value of Assets (MVA/BVA), Capital Addition to Market Value of Assets (CAP/MVA) dan Variance of Total Return (VARRET) secara bersama-sama mempunyai pengaruh terhadap dividen kas pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
2. Profitability dengan menggunakan variabel Return On Equity (ROE) dan Net Profit Margin (NPM) serta Investment Opportunity Set (IOS) yang diproksikan oleh Market to Book Value of Assets (MVA/BVA), Capital Addition to Market Value of Assets (CAP/MVA) dan Variance of Total Return (VARRET) secara parsial mempunyai pengaruh terhadap dividen kas pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan didalam penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh profitability dengan menggunakan variabel Return On Equity (ROE) dan Net Profit Margin (NPM) serta Investment Opportunity Set (IOS) yang diproksikan oleh Market to Book Value of Assets (MVA/BVA), Capital Addition to Market Value of Assets (CAP/MVA) dan Variance of Total Return (VARRET) secara bersama-sama terhadap dividen kas pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh profitability dengan menggunakan variabel Return On Equity (ROE) dan Net Profit Margin (NPM) serta Investment Opportunity Set (IOS) yang diproksikan oleh Market to Book Value of Assets (MVA/BVA), Capital Addition to Market Value of Assets (CAP/MVA) dan Variance of Total Return (VARRET) secara parsial terhadap dividen kas pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat didalam penelitian ini adalah:
a. Bagi Perusahaan Manufaktur (Emiten)
Diharapkan dapat membantu manajer keuangan dalam pengambilan keputusan untuk menentukan besarnya dividen yang dibayarkan terutama dalam bentuk dividen kas bagi perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
b. Bagi Investor
Dapat digunakan oleh investor sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi terkait dengan tingkat pengembalian berupa dividen kas di suatu perusahaan khususnya di masa depan.
c. Bagi Peneliti
Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan serta pola pikir tentang pengaruh profitability dan Investment Opportunity Set (IOS) terhadap dividen kas bagi perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini bermanfaat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh profitability dan Investment Opportunity Set (IOS) terhadap dividen kas bagi perusahaan manufaktur di Bursa Efek Indonesia.
SKRIPSI PENGARUH KOMUNIKASI TERHADAP SEMANGAT KERJA KARYAWAN PADA PT TELKOM REGIONAL X BIDANG CUSTOMER CARE

SKRIPSI PENGARUH KOMUNIKASI TERHADAP SEMANGAT KERJA KARYAWAN PADA PT TELKOM REGIONAL X BIDANG CUSTOMER CARE

(KODE EKONMANJ-0050) : SKRIPSI PENGARUH KOMUNIKASI TERHADAP SEMANGAT KERJA KARYAWAN PADA PT TELKOM REGIONAL X BIDANG CUSTOMER CARE




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Semangat kerja adalah menunjukkan sejauh mana karyawan bergairah dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya didalam perusahaan.Dalam perusahaan karyawan merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting. Karyawan berfungsi sebagai pelaksana dalam mencapai tujuan perusahaan, bahkan fasilitas kerja yang berupa mesin-mesin atau peralatan canggih pun memerlukan tenaga kerja sebagai operatornya. Dengan menggunakan berbagai fasilitas kerja tersebut, karyawan dapat melakukan setiap pekerjaan dengan lebih baik untuk meningkatkan semangat kerja. Semangat kerja karyawan dapat dilihat dari kehadiran, kedisiplinan, ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan, dan produktivitas. Semangat kerja yang tinggi dapat di dukung oleh komunikasi yang baik, bagaimana karyawan berinteraksi, menyampaikan informasi, betukar gagasan, baik antara atasan ke bawahan maupun sebaliknya, antara karyawan dengan karyawan, maupun karyawan pada satu bagian ke bagian lainnya.
Proses komunikasi adalah pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau informasi dari satu orang ke orang lain. Perpindahan pengertian tersebut melibatkan lebih dari sekedar kata-kata yang digunakan dalam percakapan tetapi juga, ekspresi wajah, intonasi, titik putus vokal dan sebagainya (Wiryanto 2004 : 9) Proses komuniasi yang begitu dinamik dapat menimbulkan berbagai masalah yang mempengaruhi pencapaian sebuah organisasi.
Dari pembahasan di atas tersebut terlihat jelas bahwa komunikasi dalam organisai merupakan salah satu unsur yang sangat penting demi terciptanya tujuan perusahaan. Komunikasi dalam organisasi atau disebut juga komunikasi manajemen meliputi dua bagian berdasarkan tempat di mana khalayak sasaran berada, yaitu Komunikasi Internal (Internal Communication) untuk khalayak anggota organisasi dan Komunikasi Eksternal (External Communication) untuk khalayak di luar anggota organisasi.
Komunikasi Internal adalah komunikasi antara pimpinan organisasi dengan para pegawai secara timbal balik. Komunikasi internal terbagi dalam tiga kegiatan Komunikasi Vertikal, yaitu komunikasi secara timbal balik (two way traffic communication) dari atas (pimpinan/manajer) ke bawah (karyawan/pegawai) disebut Upper Communication/Downward Communication, dan komunikasi dari bawah (karyawan/pegawai) ke atas (pimpinan/manajer) disebut Down Up Communication/Upward Communication. Dalam proses komunikasi vertical secara Upper Communication/Downward Communication tersebut pimpinan memberikan instruksi, petunjuk, pengarahan, informasi, penjelasan, teguran, dan Iain-lain pada bawahan. Dalam proses komunikasi vertical secara Down Up Communication/Upward Communication tersebut bawahan memberikan laporan, gagasan, usul/saran kepada pemimpin arah secara timbal balik tersebut dalam organisasi sangat penting sekali. Pimpinan harus mengetahui laporan, tanggapan, gagasan, atau saran dari bawahan sebagai petunjuk efektif tidaknya dan effisien tidaknya kebijakan yang telah dilakukan. Oleh karena itu jika komunikasi hanya satu arah saja dari pimpinan ke bawahan maka proses manajemen dalam organisasi besar kemungkinan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Komunikasi vertikal dapat dilakukan secara langsung antara pimpinan tertinggi dengan seluruh pegawai, atau juga dapat dilakukan secara berjenjang melalui kepala biro, bagian, sub bagian, seksi, dan sub seksi. Komunikasi vertikal yang timbal balik dua arah merupakan pencerminan dari kepemimpinan demokratis (democratic leadership) suatu jenis kepemimpinan yang sementera ini dianggap yang paling baik diantara kepemimpinan lainnya.
Komunikasi Horisontal adalah komunikasi secara mendatar diantara pegawai dalam suatu unit atau antara anggota staf dengan anggota staf lainnya. Kalau dalam komunikasi vertical lebih bersifat formal, maka dalam komunikasi horizontal seringkali berlangsung dalam suasana tidak formal. Sering tampak dilakukan dalam waktu istirahat, sedang dalam perjalanan pulang, atau waktu rekreasi. Yang dibicarakan lebih banyak hal-hal yang menyangkut pekerjaan atau tindakan pimpinan. Gravevenis mengenai kebijakan pimpinan sering muncul dalam disini, dan kadang tidak mempunyai dasar sama sekali. Maka dalam hal ini tugas seorang Public Relation Officer (Kepala Humas) untuk meluruskan, menetralisisr atau mengkanalisasi interpretasi yang salah untuk menempatkan pada proporsi sebenarnya.
Komunikasi Diagonal atau komunikasi silang (cross communication) adalah komunikasi dalam organisasi antara seseorang dengan lainya yang satu sama lain berbeda dalam kedudukan unitnya. Komunikasi diagonal tidak menunjukkan kekakuan sebagaimana dalam komunikasi vertikal, tetapi tidak juga menunjukkan keakraban sebagaimana dalam komunikasi horizontal. Di lain hal komunikasi diagonal kadang terjadi menyimpang dari jalur prosedur birokrasi, misal seorang pegawai suatu unit mengeluhkan masalah pekerjaan kepada kepala unit lain. Hal ini termasuk dalam miss communication dan jika diketahui oleh pimpinan unitnya maka mungkin akan terjadi benturan psikologis.
Komunikasi Eksternal adalah komunikasi antara pimpinan atau pejabat lain yang mewakilinya (humas) dengan khalayak atau publik di luar organisasi. Yang termasuk khalayak di luar organisasi meliputi : khalayak sekitar (community), instansi pemerintah (government), Pers, dan pelanggan (customer). Komunikasi eksternal terdiri dari dua jalur yang berlangsung secara timbal balik, yaitu : Komunikasi dari organisasi ke khalayak, pada umumnya bersifat informatif yang dilakukan sedemikian rupa sehingga khalayak/publik merasa terlibat atau sedikitnya terjadi hubungan batin. Bagi suatu perusahaan komunikasi booking bersifat informative semata tetapi juga bersifat persuasive dalam bentuk pnjualan iklan komersial (commercial advertisement) Komunikasi dari khalayak ke oraganisasi, yaitu merupakan proses umpan balik (feedback) yang disebut sebagai public opinion (opini publik).
Dan semua proses komunikasi yang ada di harapkan dapat mendukung peningkatan semangat kerja karyawan di perusahaan. Artinya, dengan komunikasi yang efektif, dapat menigkatkan produktivitas karyawan, tingkat kehadiran, kedisiplinan, dan ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan.maka dengan demikian terdapat hubungan komunikasi dan semangat kerja karyawan pada perusahaan. Semakin baik dan efektifnya komunikasi pada suatu perusahaan maka semakin tinggi semangat kerja pada perusahaan tersebut.
PT. Telekomunikasi Tbk (TELKOM) Regional X Bidang Customer care merupakan perusahaan penyelenggara informasi dan telekomunikasi (InfoComm) serta penyedia jasa dan jaringan telekomunikasi secara lengkap (full service and network provider), yang terbesar di Indonesia. Salah satu lembaga yang memenuhi kebutuhan komunikasi dalam rangka meningkatkan semangat kerja agar terciptanya karyawan untuk mencapai tujuan perusahaan. . Dengan adanya fasilitas komunikasi yang baik antar karyawan dan juga dengan atasan maka kerjasama antar karyawan dan atasan akan solid. Customer care yang kegiatannya berhubungan langsung pada pelanggan melakukan proses komunikasi eksternal dan Customer care bertujuan memberikan pelayanaan terbaik kepada pelanggan, sehingga perusahahan dapat dipercayai oleh pelanggan, hal ini akan memudahkan perusahaan dalam mencapai tujuannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Customer care memberikan pelayanan serta menyediakan media yang merupakan penghubung komunikasi di antara setiap orang seperti telepon, telkomnet instant, flexy, speedy. Yang semuanya di sediakan untuk menciptakan hubungan komunikasi yang baik dan mengetahui dunia luar dengan mengakses internet dengan menggunakan speedy. Dalam rangka menyediakan alat-alat komunikasi masih terdapat masalah-masalah komunikasi. Baik dari komunikator (pengirim pesan), si penerima pesan, intelektual atau hambatan yang berhubungan dengan tingkat kemampuan pengetahuan, media dan jaringan adalah merupakan masalah yang terbesar. Dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini :

** tabel sengaja tidak ditampilkan **

Dari tabel 1 terlihat begitu banyak keluhan dari pelanggan dari bulan Jan sampai Des, tetapi di bulan agustus terjadi peningkatan keluhan yang sangat tinggi terutama di speedy yaitu masalah jaringan, proses (download) lambat dan menurun dari kecepatan 50.xx kb/sec langsung turun menjadi 4.xx kb/sec, sering terjadi pemuntusan tiba-tiba (Disconnected), info speedy (pengembalian paket speedy, pemberhentian, pemasangan baru, kelebihan kuota dari paket yang sudah di ambil).
Sedangkan keluhan tentang telepon rumah adalah kerusakan telepon,gangguan telepon. Dan flexi adalah pengakitifan flexi combo (dapat menggunakan flexi di luar kota asal) dan penonaktifan flexi combo dan masalah jaringan yang kurang baik. Berdasarkan keluhan pelanggan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh komunikasi terhadap semangat kerja karyawan "PT.Telkom Regional X Bidang Customer Care Medan"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: "Apakah komunikasi berpengaruh/signifikan terhadap semangat kerja karyawan PT. Telkom Regional X Bidang Customer Care ?".

C. Kerangka Konseptual
Menurut Siagian (2003:57), bahwa semangat kerja karyawan menunjukkan sejauh mana karyawan bergairah dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya didalam perusahaan. Semangat kerja karyawan dapat dilihat dari Tingkat kehadiran, Disiplin kerja, Produktivitas dan ketepatan waktu menyelesaikan pekerjaan.
Menurut Purwanto (2003:13), komunikasi adalah omunikasi bisnis sebagai ilmu yang mempelajari cara penggunaan adaptasi dan kreasi dari unsur bahasa, simbol, dan tanda-tanda yang ada untuk melakukan kegiatan pemuas keinginan dan kebutuhan manusia dengan menyediakan barang dan jasa dengan tujuan akhir mendapatkan profit, mencakup berbagai bentuk komunikasi baik secara verbal maupun non-verbal.
a. Komunikasi Vertikal : Komunikasi dari atas ke bawah (downward communication) dimulai dari manajemen puncak kemudian mengalir ke bawah, Komunikasi dari bawah ke atas (upward communication) adalah untuk mensuplai informasi kepada tingkatan manajemen atas tentang apa yang terjadi pada tingkatan bawah.
b. Komunikasi Horizontal adalah Komunikasi diantara anggota dalam kelompok kerja yang sama.
c. Komunikasi Diagonal adalah komunikasi yang memotong secara menyilang (diagonal) rantai perintah organisasi.
Hubungan komunikasi dengan semangat kerja sangat secara sederhana dapat dideskripsikan bahwa, semakin baik komunikasi maka akan semakin tinggi semangat kerja karyawan pada perusahaan. Dengan bantuan komunikasi, perkerjaan karyawan dalam perusahaan akan meningkat dalam arti dengan semangat kerja yang tinggi karyawan lebih semangat dalam menyelesaikan tugas dan perkerjaan
Berdasarkan hal tersebut maka penulis merumuskan kerangka konseptual sebgai berikut:

** gambar sengaja tidak ditampilkan **
Sumber : Purwanto (2003), dan Siagian (2003:57) data diolah.

D. Hipotesis
Mengacu kepada perumusan masalah, hipotesis penelitian ini adalah: "Komunikasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap semangat kerja karyawan PT. Telkom Regional X Bidang Customer Care ?"

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh komunikasi terhadap semangat kerja karyawan PT.Telkom Regional X Bidang Customer Care.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini:
Bagi penulis, sebagai usaha untuk mendalami masalah yang berkaitan dengan sistem komunikasi dan semangat kerja karyawan sebagai kajian dalam bidang manajemen sumber daya manusia.
b. Bagi perusahaan yang diteliti, sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan, terutama mengenai sistem komunikasi.
c. Bagi peneliti lain sebagai bahan referensi untuk penelitain tentang objek yang sama di masa mendatang.

F. Metodologi Penelitian.
1. Batasan dan identisifikasi variabel penelitian
Batasan operasional dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel independen (X), yaitu komunikasi
Penelitian ini dibatasi pada komunikasi internal dan komunikasi eksternal.
b. Variabel dependen(Y), yaitu semangat kerja karyawan.
2. Definisi Operasional Variabel
Untuk menjelaskan variabel-variabel yang sudah diidentifikasi, maka diperlukan definisi operasional dari masing-masing variabel tersebut yaitu:
a. Variabel Independen (X): komunikasi
Menurut Wiryanto (2004:9), komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau informasi dari seorang ke orang lain. Perpindahan pengertian tersebut melibatkan lebih dari sekedar kata-kata yang digunakan dalam percakapan tetapi juga, ekspresi wajah, intonasi, titik putus vokal dan sebagainya.
b. Variabel Dependen (Y): Semangat Kerja
Semangat kerja karyawan menunjukkan sejauh mana karyawan bergairah dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya didalam perusahaan. Semangat kerja karyawan dapat dilihat dari Tingkat kehadiran, Disiplin kerja, Produktivitas dan ketepatan waktu.
3. Pengukuran Variabel
Skala pengukuran yang digunakan untuk menyatakan tanggapan responden terhadap setiap instrument adalah dengan menggunakan skala Likert dengan 5 (lima) alternatif jawaban. Urutan skala penelitian dari masing-masing item indikator variabel tersebut, sebagai berikut:
Sangat setuju (SS) : Skor 5
Setuju (S) : Skor 4
Netral (N) : Skor 3
Tidak setuju (TS) : Skor 2
Sangat tidak setuju (STS) : Skor 1
4. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT. Telkom Regional X Bidang Customer Care
5. Populasi dan sampel
Populasi yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai PT. Telkom Regional X Bidang Customer Care Medan, sebanyak 36 orang. Responden akan di jadikan sample berjumlah 36 orang. Teknik sampling digunakan adalah Nonprobability dengan menggunakan metode sampling jenuh dimana semua anggota populasi digunakan sebagai sample karena jumlah populasinya relatif kecil (Sugiyono 2005:78).
6. Jenis data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu:
a. Data primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari responden, yaitu pegawai coustomer care Medan, melalui kuesioner dan wawancara.
b. Data sekunder
Data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen tertulis dengan mempelajari berbagai tulisan dari buku-buku, jurnal-jurnal dan internet yang berkaitan dan mendukung penelitian ini. Data yang dibutuhkan antara lain sejarah dan perkembangan perusahaan, absensi karyawan, jumlah karyawan berdasarkan jenis kelamin, pendidikan dan lain sebagainya untuk mendukung penelitian.
7. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara antara lain:
a. Wawancara
Peneliti melakukan Tanya jawab secara langsung dengan pihak-pihak yang bersangkutan, yaitu suluruh pegawai customer care PT.Telkom.
b. Kuesioner
Yaitu menyebarkan daftar pertanyaan kepada responden, yaitu pegawai customer care PT.Telkom.
8. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Metode analisis deskriptif
Metode analisis deskriptif merupakan cara merumuskan dan menafsirkan data Sehingga memberikan gambaran yang jelas tentang komunikasi dan semangat kerja karyawan Customer care Berdasarkan hasil jawaban responden.
b. Metode analisis kuantitatif
Metode yang digunakan untuk menyajikan data dalam bentuk angka. Peneliti menganalisis data dengan menggunakan metode Analisis Regresi Linier Sederhana.
TESIS DUNIA USAHA DAN PELAYANAN PUBLIK (STUDI TENTANG MINAT USAHA KECIL DALAM MENGURUS PERIZINAN DI KANTOR PELAYANAN TERPADU (KPT) X

TESIS DUNIA USAHA DAN PELAYANAN PUBLIK (STUDI TENTANG MINAT USAHA KECIL DALAM MENGURUS PERIZINAN DI KANTOR PELAYANAN TERPADU (KPT) X

(KODE : PASCSARJ-0086) : TESIS DUNIA USAHA DAN PELAYANAN PUBLIK (STUDI TENTANG MINAT USAHA KECIL DALAM MENGURUS PERIZINAN DI KANTOR PELAYANAN TERPADU (KPT) X (PRODI : ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN PUBLIK)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Penelitian tentang dunia usaha dan pelayanan publik dengan fokus belum optimalnya minat usaha kecil dalam mengurus perijinan di Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten X, Provinsi X, dalam bab pendahuluan ini akan di jelaskan tentang latar belakang masalah pentingnya masalah ini untuk diangkat sebagai fokus penelitian. Bab pendahuluan ini juga berturut-turut menggambarkan perumusan masalah yang dianggap penting untuk dijawab, tujuan dan signifikansi penelitian serta sistematika penulisan.
Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (selanjutnya di tulis KPT saja) di Kabupaten X, Provinsi X telah berdiri sejak tahun 2006 tepatnya tanggal 1 September 2006. KPT Kabupaten X di dirikan berdasarkan peraturan Bupati X Nomor 10 tahun 2006 tentang pembentukan unit pelayanan perijinan terpadu satu pintu. KPT Kabupaten X untuk pertama sekali melayani sebanyak 8 (delapan) jenis perijinan yang terdiri dari: ijin gangguan (HO), ijin mendirikan bangunan (IMB), ijin usaha jasa konstruksi (IUJK), ijin usaha perdagangan (IUP), ijin usaha industri (IUI), ijin usaha gudang, ijin usaha penggilingan padi, huler dan penyosohan beras, dan tanda daftar perusahaan (TDP).
Penerapan KPT untuk 8 (delapan) unsur perijinan di Kabupaten X merupakan upaya mewujudkan deregulasi dan debirokratisasi Pemerintah Kabupaten X dalam memberikan pelayanan perijinan kepada masyarakat. Deregulasi maksudnya menyangkut pengaturan kembali/penghapusan berbagai aturan yang pernah dilakukan dalam penyelenggaraan pelayanan umum, sedangkan debirokratisasi bermakna penyederhanaan prosedur untuk mempermudah hirarki, guna peningkatan kecepatan pelayanan kepada masyarakat (Buku Panduan, 2006:4).
Dalam mengurus perijinan, masyarakat tidak perlu lagi datang ke semua dinas terkait seperti dulu lagi, tetapi saat ini cukup dengan mendatangi satu kantor saja dan semua urusan perijinan tersebut diselesaikan melalui satu kantor saja. KPT sederhananya adalah sebuah kantor yang mengkoordinasi dan mengkonsolidasi penerbitan ijin, penyederhanaan proses perijinan, serta mengurangi jumlah meja yang harus dilalui oleh pelaku usaha. Satu pintu juga berarti bahwa masyarakat yang hendak mengurus ijin usahanya, hanya mendatangi satu pintu (loket) saja, setelah itu seluruh proses akan dikerjakan oleh kantor KPT dan diselesaikan sesuai tenggat waktu yang telah dijanjikan.
Kebijakan pelayanan perijinan satu pintu sesungguhnya tidak terlepas dari kebijakan pemerintah secara nasional. Kebijakan menyangkut pelayanan perijinan terpadu di tegaskan melalui Peraturan Menteri Pendayagunan Aparatur Negara (Permen-PAN) Nomor Per/20/M.PAN/04/2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Kebijakan tersebut berlaku secara nasional dan bertujuan mendorong seluruh Kabupaten dan Kota serta Propinsi untuk segera mengimplementasikan kebijakan pelayanan perijinan terpadu satu pintu di daerahnya masing-masing tidak terkecuali Kabupaten X (Ratminto & Winarsih, 2006:13).
Pelayanan perijinan terpadu memang di dirikan untuk masyarakat utamanya masyarakat pengusaha dengan tujuan meningkatkan kualitas pelayanan, menciptakan transparansi, meningkatkan kepercayaan kepada pemerintah, dan memberikan jaminan kepastian hukum. Pelayanan perijinan terpadu, dengan begitu akan merangsang pengusaha (usaha besar, menengah maupun kecil) untuk mengurus ijin usahanya sehingga merangsang pertumbuhan ekonomi dan memberi peluang berinvestasi dalam rangka meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat daerah. Bersamaan dengan tujuan tersebut, KPT Kabupaten X dalam buku panduan Persyaratan dan Proses Perijinan, UPPTSP Kabupaten X (2006:5) juga menegaskan bahwa tujuan KPT adalah agar masyarakat menerima pelayanan yang sederhana, jelas, pasti, aman, transparan, efisien, ekonomis, adil dan merata serta tepat waktu.
Salah satu sektor yang sangat besar pengaruhnya dalam memajukan perekonomian nasional adalah keberadaan dunia usaha terutama usaha kecil (mikro). Di Indonesia, usaha kecil mulai mendapat perhatian besar ketika usaha kecil mampu bertahan bahkan berperan sebagai "katup pengaman" ketika terjadi krisis ekonomi. Perhatian dari berbagai pihak ini diantaranya terlihat dari meningkatnya jumlah kredit yang disalurkan kepada usaha kecil dari tahun ke tahun (Abdullah, 2005:1). Peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia pada dasarnya sudah besar sejak dulu. Namun demikian sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, peranan UKM meningkat dengan tajam. Data dari Biro Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa persentase jumlah UKM dibandingkan total perusahaan pada tahun 2001 adalah sebesar 99,9%.
Pada tahun yang sama, jumlah tenaga kerja yang terserap oleh sektor ini mencapai 99,4% dari total tenaga kerja. Demikian juga sumbangannya pada Produk Domestik Bruto (PDB) juga besar, lebih dari separuh ekonomi Indonesia didukung oleh produksi dari UKM (59,3%). Besarnya sumbangan usaha kecil dan menengah (UKM) menunjukkan bahwa peranan UKM dalam perekonomian Indonesia adalah sentral dalam menyediakan lapangan pekerjaan dan menghasilkan output (Adiningsih, 2006:3). Menurut Suhardjo (2006:49), pemerintah daerah saat ini berada pada posisi yang strategis dalam mempengaruhi peningkatan investasi di daerahnya masing-masing, terutama investasi di usaha-usaha kecil. Hal ini karena perusahaan-perusahaan kecil lebih sensitif terhadap rangsangan atau kebijakan yang bersifat kedaerahan jika dibandingkan dengan kebijakan skala nasional yang lebih berpengaruh pada perusahaan besar.
Sangat beralasan jika usaha kecil menjadi fokus bagi pemerintah daerah untuk di lakukan pembinaan dan membantu pengembangannya terutama dalam hal perijinan. Potensi lain dari usaha kecil adalah karakter usahanya yang benar-benar serba 'kecil'. Selain bermodal kecil, juga hanya dijalankan oleh pemiliknya sendiri dan tidak memerlukan tempat yang besar meskipun untungnya juga kecil. Karakter usaha kecil memang cocok berada pada segmen rakyat kecil sebagai basis konsumen. Jumlah usaha kecil yang banyak dan tersebar luas ditopang dengan konsumen rakyat kebanyakan, menjadikan usaha kecil hidup dan lebih bertahan. Jumlahnya yang banyak juga memastikan bahwa bisnis kecil seperti ini mampu memutar uang juga dalam jumlah yang besar pula sehingga roda ekonomi masyarakat bawah bergerak (Abdullah, 2005:2).
Disamping sebagai sentral ekonomi yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, usaha kecil juga memiliki berbagai kendala dalam perkembangannya. Beberapa kelemahan usaha kecil yang yang sering tergambar diantaranya adalah dalam organisasi, manajemen, modal, sulitnya perijinan, maupun penguasaan teknologi juga perlu dibenahi. Masih banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh UKM membuat kemampuan UKM berkiprah dalam perekonomian nasional tidak dapat maksimal (Adiningsih, 2006:4).
Beberapa daerah Kabupaten/Kota di Indonesia yang menerapkan pelayanan perijinan satu pintu sebetulnya telah memfokuskan perhatiannya terhadap usaha kecil, dengan tujuan agar usaha kecil terdorong untuk mengurus perijinan usahanya, sehingga surat ijin itu dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk mendapatkan modal, utamanya ke perbankan. Pelayanan perijinan di Kabupaten Sragen terbukti telah meningkatkan pertumbuhan usaha kecil untuk mengurus perijinan ke KPT Sragen (Prasojo, Kurniawan & Solihin, 2007: 78) Berdasarkan sensus ekonomi tahun 2006 (Sensus Ekonomi, 2006:17), Kabupaten X memiliki potensi usaha kecil yang besar. Jumlah usaha kecil maupun besar ada sebanyak 46.030 unit usaha yang tersebar di 17 Kecamatan (BPS SE, 2006). Jumlah tersebut 80% terdiri dari usaha kecil dan menengah, dengan usaha terbesar. Jika dikategorikan berturut-turut adalah sebagai berikut: perdagangan eceran (21.745), akomodasi/penyedia makan minum (7.261), dan industri pengolahan (6.475).
Selain potensi usaha kecil, potensi Kabupaten X yang mendukung adalah dekat dengan Medan, dan berhadapan dengan Selat Melaka, X juga merupakan pelintasan jalan propinsi yang menghubungkan propinsi Aceh dengan propinsi Riau dan juga dengan Sumatera Barat. Daerah pelintasan tersebut berdampak pada volume lalu lintas kendaraan yang lewat sangat tinggi. Sehingga X merupakan Kabupaten yang penting. Potensi lain yang menonjol adalah bahan baku (perkebunan kelapa sawit, kelapa, laut, coklat, ubi, dan lainnya) disamping tradisi-tradisi makanan lama (dodol) yang masih bertahan sampai sekarang juga menjadi daya tarik pengembangan usaha, terutama pengusaha kecil di Kabupaten X.
Sejak diberlakukannya KPT memang terlihat terjadi peningkatan pengusaha yang mengurus perijinan di Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten X. Karakter pelayanan perijinan terpadu (KPT) yang mudah karena hanya melewati satu pintu saja, transparan, ada kepastian waktu dlama pengurusannya, juga biaya yang disebutkan secara terbuka, telah menjadi daya tarik tersendiri bagi pengusaha untuk mengurus perijinannya di KPT.
Tentang kemudahan pelayanan perijinan di KPT ini, juga ditegaskan dalam Kajian Asia Foundation yang menyimpulkan bahwa kantor pelayanan terpadu mempermudah pelaku usaha dalam mengurus ijin. Rata-rata waktu pengurusan ijin untuk 4 ijin umum menjadi 60% lebih cepat, dan rata-rata biaya pengurusan berkurang hingga 30%. Jumlah pendaftaran usaha juga meningkat setiap tahunnya setelah terbentuknya layanan terpadu. Perbaikan sektor pelayanan setidaknya telah mencerminkan kewenangan yang lebih besar dan perbaikan standar pelayanan pada instansi pelayanan terpadu (Asia Foundation: 2007:1).
Di satu sisi, data-data yang ada memang menunjukkan terjadinya peningkatan pengusaha yang mendaftar ke KPT X, tetapi disisi yang lain masih banyak pengusaha kecil yang belum mengurus ijinnya ke KPT X meskipun pelayanan perijinan saat ini telah berubah. Fenomena ini penting untuk ditelusuri sehingga berbagai latar belakang yang mendasari belum tumbuhnya minat usaha kecil mendaftarkan usahanya dapat terbuka dan terjelaskan.
Pengertian usaha kecil (mikro) sendiri menurut lembaga-lembaga internasional adalah usaha non pertanian dengan jumlah pekerja maksimal 10 orang (termasuk wirausaha/pedagang, pekerja magang, pekerja upahan dan pekerja yang tidak dibayar karena termasuk anggota keluarga), menggunakan teknologi sederhana atau tradisional, memiliki keterbatasan akses terhadap kredit, mempunyai kemampuan managerial rendah dan cenderung beroperasi di sektor informal (Abdullah, 2005: 4). Sekalipun dalam pelayanan perijinan terpadu satu pintu yang di terapkan di beberapa Kabupaten memiliki tujuan yang sama seperti di Kabupaten Sragen maupun di Kabupten X, tetapi penerimaan pengusaha kecil terhadap KPT dapat saja berbeda. Belum signifikannya jumlah usaha kecil yang mendaftar di KPT Kabupaten X tentu menjadi permasalahan tersendiri sesuai dengan karakter yang ada di KPT Kabupaten X. Dalam kajian Asia Foundation juga disebutkan bahwa, sebagian besar Pusat Pelayanan Perijinan Terpadu di kota/kabupaten belum mencapai potensi maksimal. Studi yang dilakukan The Asia Foundation menunjukkan bahwa banyak dari pusat pelayanan terpadu tersebut sejauh ini belum memangkas waktu maupun mengurangi persyaratan-persyaratan perijinan. Namun terdapat cakupan kinerja yang sangat luas, di mana pusat-pusat pelayanan terpadu terbaik menunjukkan peningkatan yang besar dalam pemberian layanan mereka.
Secara konsepsional pelayanan perijinan satu pintu sebetulnya mengacu pada pelayanan terpusat. Selama ini konsep pelayanan lebih di dasarkan pada pelayanan yang terpisah, dimana setiap instansi (dinas) memegang pelayanan perijinan sesuai dengan kompetensinya masing-masing. Dampak pelayanan yang terpisah menyebabkan masyarakat membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus perijinan usaha.
Ibenk (HTTP://IBENKDA.BLOGSPOT.COM) mengatakan bahwa saat ini di kalangan Pemerintahan dikenal adanya dua pola pelayanan, yaitu pola distributif dan pola sentralistis. Pola distribusi merupakan pola yang paling banyak digunakan oleh Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah, dimana pelayanan umum dikelola secara sektoral pada berbagai instansi. Proses birokrasi pelayanan umum yang memerlukan koordinasi lintas instansi dilakukan juga dengan dua pola, yaitu pertama, pelanggan/masyarakat yang harus berjalan dari satu meja pada satu instansi ke meja lain pada instansi yang lain. Pola kedua, dokumen persyaratan milik pelanggan dimasukkan ke salah satu instansi, selanjutnya birokrasi yang menyalurkan dari satu meja pada satu instansi ke meja lain pada instansi yang lain pula melalui kordinasi lintas instansi. Artinya, proses legalisasi hingga diterbitkannya sebuah dokumen publik merupakan wewenang masing-masing instansi.
Pola distribusi sebenarnya merupakan pola klasik dan cenderung tertutup, sehingga masyarakat kurang memperoleh informasi jelas terhadap proses kemajuan pengajuan dokumen publiknya. Meskipun ditetapkan nilai rupiah secara pasti sebagai biaya yang diperlukan, pada prakteknya biaya akan melebihi dari ketentuan yang berlaku. Standarisasi waktu pelayanan birokrasi biasanya juga kurang bisa dimonitor oleh pelanggan/masyarakat, sehingga cepat lambatnya proses birokrasi menjadi sangat relatif, tergantung dari ini dan itu dalam birokrasi. Pola ini yang mendorong masyarakat dan birokrat untuk menyepakati "uang pelicin".
Pola kedua adalah pola sentralistik. Pola sentralistik mulai diterapkan di beberapa daerah. Secara umum pola ini diimplementasikan melalui pembentukan Unit Palayanan Satu Atap atau juga disebut Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) sebagai satu unit mandiri dengan mencabut proses pelayanan umum dari instansi sektoralnya, dari mulai pengadaan blangko dokumen publik hingga perlengkapannya. Sebagian besar kegiatan administrasi dan tehnis dilakukan oleh Unit Pelayanan Satu Atap, sedangkan instansi sektoral lebih banyak hanya menangani laporan administratif saja.
Menurut Sitorus (2007:12) dalam pengertian sempit, pelayanan perijinan satu pintu dapat berarti sebagai satu agen pemerintah yang memiliki semua otoritas yang diperlukan untuk memberi berbagai perijinan (licenses, permits, approvals dan clearances). Tanpa otoritas yang mampu menangani semua urusan tersebut, agen pemerintah tidak dapat mengatur berbagai pengaturan selama proses. Oleh sebab itu, dalam hal ini agen tersebut tidak dapat menyediakan semua bentuk perijinan yang diperlukan dalam berbagai tingkat administrasi, sehingga harus bergantung pada otoritas lain.
Beberapa contoh yang luar biasa dan terkenal adalah kantor pelayanan investasi yang bekerja dengan sukses seperti Economic Development Board (EDB) di Singapore, Malaysian Industrial Development Authority (MIDA) dan Industrial Development Authority (IDA) di Irlandia. Pada ketiga kasus ini, investor dapat bergantung pada agen pemerintah untuk menyediakan hampir semua perijinan yang diperlukan. EDB dan IDA pada dasarnya mampu mengatur secara langsung berbagai prosedur perijinan sehingga investor hanya perlu berhadapan dengan jumlah otoritas yang sedikit, bahkan dalam kasus-kasus tersebut, kedua agen cenderung sangat efektif dalam memastikan kerjasama.
Malaysian Industrial Development Authority (MIDA) dalam hal lain, mulai sebagai mekanisme koordinasi yang murni dan mengalami masalah-masalah untuk memulai sebagai kantor pelayanan terpadu. Namun dengan dukungan yang kuat dari perdana menteri secara langsung, keterlibatan MIDA sebagai wakil investor dapat menjamin secara efektif perijinannya tanpa kesulitan. (Sitorus, 2007:13)
Pada masa lalu, kondisi pelayanan perijinan yang tidak kondusif, membawa imbas kepada masyarakat dimana masyarakat menjadi apatis terhadap aparat pelayanan publik. Apalagi 'pungli' menjadi sesuatu yang wajar sehingga mengakibatkan image pemerintah daerah menjadi buruk. Dampak yang sangat kentara, terjadi di sektor perekonomian dimana iklim investasi dan usaha baik di tingkat nasional maupun daerah menjadi tidak sehat sehingga gerak roda ekonomi daerah menjadi lambat. Pengalaman Kabupaten Solok sebelum ada penataan pelayanan juga membuktikan hal tersebut, selain perijinan yang di tangani instansi berbelit-belit dan menyulitkan masyarakat, juga seringkali perijinan tersebut menyulitkan para calon investor asing yang justru telah siap berinvestasi.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dihambat oleh suatu birokrasi perijinan yang kompleks, mahal, dan korup. Alat ukur kinerja Pelayanan Perijinan Terpadu dapat membantu pemerintah pusat, provinsi, dan kota/kabupaten untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi layanan perijinan usaha," ungkap Neil McCulloch Dalam tahun-tahun terakhir ini, perbaikan kebijakan-kebijakan perijinan usaha di Indonesia tampaknya menjadi perhatian penting bagi pemerintah pusat maupun daerah. Sejak akhir tahun 1990-an, pusat-pusat layanan yang pembentukannya diprakarsai pemerintah ini telah berdiri di sekitar 30% dari keseluruhan 467 kota dan kabupaten, sementara Peraturan Menteri Dalam Negeri 24/2006 mengumumkan upaya untuk mengembangkan Pusat Pelayanan Terpadu Satu Pintu di seluruh dari 467 kabupaten/kota di Indonesia untuk menyederhanakan prosedur-prosedur, mengurangi biaya, dan menggabungkan persyaratan-persyaratan perijinan usaha. Kementerian-kementerian di tingkat pusat berupaya memberikan arahan yang lebih jelas mengenai pelaksanaan kebijakan perijinan untuk membantu memperkokoh iklim investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. (Asia Foundation, 2007:3)
Kondisi buruk di sektor perijinan tidak jarang membawa kekecewaan pada para investor. Perilaku buruk pelayanan tentu berakibat pada roda ekonomi daerah menjadi tidak berjalan dan pembangunan di berbagai sektor berjalan ditempat. Bahakan kompas mencatat tidak sedikit investor yang sudah berniat menanamkan modalnya ke Indonesia kemudian mengurungkan niatnya dan pindah ke negara lain hanya persoalan ketidak nyamanan dan ketidak jelasan pelayanan di Indonesia (Kompas, 14 Juli 2007). Minimnya investasi yang masuk seterusnya berakibat pada tidak adanya pembangunan, yang pada gilirannya tentu saja membuat tidak adanya peluang kerja bagi masyarakat sehingga penyerapan tenaga kerja minim, kecil dan terbatas.
Pelayanan perijinan sendiri sesungguhnya bagian dari pelayanan publik yang merupakan kewajiban pemerintah daerah (Kurniawan, Puspitosari, 2007:7-8). Kondisi buruk pelayanan perijinan yang diterima oleh masyarakat hari ini sudah seharusnya menjadi masukan bagi pemerintah untuk segera melakukan perbaikan. Menurut Denhardt dalam Kurniawan (2007:161) ada beberapa hal yang harus dilakukan sebagai upaya perbaikan pelayanan dan memberikan kepuasan pelayanan kepada masyarakat, yaitu: pertama, diperlukan regulasi yang berpihak kepada rakyat. Kedua, dibuatnya kesepakatan antara pemberi layanan dan pengguna layanan (citizen's charter). Ketiga, pengendalian birokrasi. Keempat, pelayanan yang berbasis teknologi. Kelima, untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelayanan sebisa mungkin setiap pelayanan publik melakukan survei tentang kepuasan konsumen.
Berlakunya kebijakan otonomi daerah saat ini, salah satunya memang untuk mendorong pelayanan publik yang prima di Indonesia sehingga masyarakat dapat menerima manfaat yang optimal menuju kesejahteraan. Intinya, otonomi daerah adalah jalan untuk melayani masyarakat semakin baik, karena sebahagian besar kewenangan untuk mengatur dan mengurus kebutuhan masyarakat sudah diserahkan pemerintah pusat kepada daerah (Hoessein 2002, 3).
Bahkan tidak hanya kewenangan mengatur dan mengurus urusan masyarakat, bersamaan dengan itu juga diserahkan kewenangan untuk mengisi keuangan daerah dengan dilakukannya desentralisasi fiskal yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 (UU 33/2004) tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Adanya pelimpahan tersebut, hanya akan berjalan maksimal jika daerah memang memiliki birokrasi yang efektif. Praktek-praktek birokrasi yang lamban, korup, 'bertele-tele' sudah saatnya ditinggalkan sehingga tidak lagi mengulang kegagalan memfungsikan birokrasi sebagai 'abdi rakyat', tetapi juga dapat memfungsikan birokrasi sekaligus juga 'abdi negara'.
Jiwa birokrasi yang buruk di masa lalu sesungguhnya telah tertanam lama di Bumi Nusantara, dan cenderung menjadi sesuatu yang 'lumrah' bahkan dikatakan oleh banyak pakar telah membudaya (Prasojo, 2005:53). Dampaknya sangat jelas terlihat pada pola-pola pelayanan birokrasi di Indonesia yang berkarakter kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Tumbuhnya karakter kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), secara diametral menegasikan peran birokrat sebagai abdi negara sehingga pencitraan birokrasi menjadi buruk di tengah masyarakat.
Dalam penerapan otonomi daerah, pemerintah daerah menjadi aktor terpenting dalam pelayanan bagi masyarakat di daerahnya. Nurcholis (2007:14) menyatakan bahwa pelayanan pemerintah daerah merupakan tugas dan fungsi utama pemerintah daerah yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat sehingga dapat mewujudkan tujuan negara yaitu kesejahteraan sosial. Meskipun pihak swasta dapat menyediakan pelayanan publik tetapi posisi pemerintah daerah dalam pelayanan publik tetap merupakan yang utama. Pentingnya posisi pemerintah daerah sebagai aktor dalam pelaksanaan pelayanan publik, ditegaskan oleh Wilson dalam Nurcholish (2007:15) dimana pelayanan publik dikatakan masuk dalam kategori sektor publik, bukan sektor swasta (privat).
Pelayanan publik sendiri dalam prakteknya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (Nurcholis, 2007:17). Ketiga komponen yang menangani sektor publik itu yang kemudian menyediakan pelayanan publik seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, keamanan dan ketertiban, penyediaan infrastruktur seperti jalan dan jembatan, bantuan sosial dan penyiaran. Karena itu, pelayanan publik memberi pengertian sebagai pelayanan yang diberikan oleh pemerintah beserta perusahaan milik negara kepada masyarakat dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, menuju kesejahteraan.
Namun essensi kebijakan desentralisasi bukanlah desentralisasi itu sendiri, melainkan pencapaian pelayanan publik yang pada akhirnya akan mewujudkan kesejahteraan rakyat di daerah (Hoessein 2002, 3). Logikanya, pemerintah daerah yang telah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri itu, tentu akan lebih efektif dalam melayani masyarakat di daerahnya. Kebijakan desentralisasi memang telah merubah cara pandang pemerintah dalam melakukan pelayanan public. Paradigma pelayanan publik yang tidak pro-publik pada masa lalu telah digeser untuk mewujudkan pelayanan yang sesuai dengan kondisi masyarakat.
Mengenai buruknya kinerja pelayanan publik, terdapat beberapa sebab baik yang berasal dari internal maupun eksternal. Sinambela (2007: 7) menjelaskan bahwa pelayanan yang diberikan lebih didasarkan pada peraturan yang sangat kaku, dan tidak fleksible, sehingga aparatur terbelenggu untuk melakukan gaya inovasi dan kreasi dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat. Kenyataan itu juga ditegaskan dari survey yang dilakukan oleh Centre for Population Policy Studies Universitas Gajah Mada (UGM) terhadap pelayanan publik, hal mendasar yang ditemukan adalah bahwa aparatur terjebak dalam petunjuk pelaksana (juklak) sehingga masyarakat merasa tidak puas atas kerja aparat (Sinambela, 2006:8 ).
Pelayanan publik itu sendiri terintegrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Penyelenggara pelayanan publik dalam hal ini pemerintah daerah Kabupaten maupun Kota adalah ujung tombak dalam melakukan fungsi pelayanan kepada masayarakat, sehingga keberadaan aparat birokrasi menjadi penting. Sebagaimana yang dikemukakan Thoha dalam Napitupulu (2006:27) bahwa peran birokrasi sangat penting dalam pelayanan publik oleh karena aparat birokrasi adalah kelompok yang bertindak sebagai pelaksana kebijakan (policy implementation) yang kewenangannya telah di delegasikan oleh para penguasa politik (policy making).
Di sisi yang lain, peran birokrasi juga lebih dominan karena birokrat memiliki ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam pelaksanaan tugasnya. Mengenai posisi dominan ini juga ditegaskan oleh Dwiyanto (2006:31) bahwa masa Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, birokrasi telah diposisikan sebagai kekuatan sentral dalam mengatur dan melayani kehidupan masyarakat. Bahakln samapi sekarangpun masyarakat masih ada yang 'takut' dengan birokrasi.
Jika dibandingkan dengan kebijakan masa lalu (Undang Undang Nomor 5 tahun 1974), merujuk pendapat Hoessein (2002, 2), bahwa terdapat sejumlah perubahan model dan paradigma pemerintahan. Sedikitnya ada tiga perubahan yang terjadi yaitu : pertama, 'structural efficency model' yang menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal, ditinggalkan dan dianut 'local democracy model' yang menekankan nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kedua, distribusi urusan pemerintahan kepada daerah juga berubah, yang semula menganut 'ultra vires doctrine' dengan merinci urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom diganti dengan 'general competence' atau 'open end arrangement' yang merinci fungsi pemerintahan yang menjadi kompetensi Pemerintah Provinsi. Ketiga, pengawasan Pemerintah terhadap daerah otonom yang semula koersif juga bergeser ke arah persuasif.
Keempat, keuangan daerah juga bergeser yang semula 'spesific grant' menjadi 'block grant'. Dengan begitu sesungguhnya terdapat kondisi yang lebih terbuka bagi pemerintah daerah untuk membuat kebijakan sendiri.
Dalam penelitian ini konsep pelayanan publik yang menjadi fokus perhatian adalah konsep pelayanan perijinan terpadu. Pelayanan perijinan terpadu saat ini gencar diterapkan di berbagai daerah di Indonesia. Pelayanan perijinan terpadu juga diberlakukan di Kabupaten X, Propinsi X.
Sebagai Kabupaten yang baru mekar yang di dasari oleh kebijakan densentralisasi saat ini, Kabupaten X telah menjadi kabupaten percontohan bagi kabupaten lainnya di X dalam pelayanan perijinan terpadu. Propinsi X sendiri terdiri dari 26 kabupaten dan kota dimana, pemerintah kabupaten dan kota yang mau membuat terobosan dengan memberlakukan Pelayanan Terpadu, hanya Kabupaten X. Kabupaten X sendiri adalah kabupaten yang masih 'muda usianya'.
Namun, penerapan pelayanan perijinan terpadu di Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten X bukan tanpa masalah. Meskipun sejumlah kemudahan dalam pelayanan perijinan telah diberlakukan saat ini, tetapi masih banyak pengusaha khususnya kalangan usaha kecil, yang belum tertarik untuk mengurus perijinan usahanya ke Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KPT) Kabupaten X. Penomena yang kontradiktif ini menjadi menarik untuk diteliti. Penelusuran secara mendalam diharapkan mampu mengungkap dibalik penomena yang terjadi di KPT Kabupaten X.

B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengapa usaha kecil belum optimal mendaftarkan usahanya ke KPT Kabupaten X ?
2. Bagaimana tanggapan pengusaha usaha kecil terhadap keberadaan Pelayanan Perizinan Terpadu (one stop service) di Kabupten X yang saat ini sedang berjalan ?
3. Apa sesungguhnya problem usaha kecil ?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Menganalisis alasan-alasan yang ada di kalangan pengusaha kecil dan menengah terhadap belum optimalnya minat usaha kecil dalam mendaftarkan usahanya ke KPT Kabupaten Srdang Bedagai.
b. Menganalisis tanggapan kalangan pengusaha kecil dan menengah (UKM), terhadap penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (one stop service) di Kabupaten X.
c. Menjelaskan lebih jauh, mengenai problem usaha kecil dalam mengembangkan usahahnya.
2. Signifikansi Penelitian
Mengingat bahwa saat ini pemerintah daerah (PEMDA) di Indonesia sedang giat untuk melaksanakan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (one stop service), melakukan reformasi birokrasi, dan mewujudkan kondisi yang kondusif bagi iklim usaha di daerahnya masing-masing, maka penelitian ini nantinya akan bermanfaat dalam dua hal :
a. Signifikansi Akademis.
Signifikansi akademis penelitian ini adalah diharapkan penelitian ini menjadi salah satu sumbangan pemikiran terhadap kajian Pelayanan Publik khususnya dalam fokus Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (one stop service) dan Pengaruhnya terhadap iklim investasi di daerah. Kajian ini selain juga menjadi literatur tambahan seputar pelayanan perijinan terpadu (one stop service) juga bermanfaat menjadi pemicu bagi penelitian-penelitian selanjutnya di di bidang pelayanan publik.
b. Signifikansi Praktis
Signifikansi praktis penelitian ini adalah diharapkan menjadi masukan bagi Pemerintah Indonesia maupun secara khusus kepada Pemerintah Daerah (PEMDA) Kabupaten X. Siginifikansi praktis ini terkait dengan penilaian maupun evaluasi kebijakan tentang pelayanan perijinan terpadu (KPT) yang saat ini sedang berjalan sehingga menjadi masukan bagi perbaikan kebijakan dimasa yang akan datang.

D. Sistematika Penulisan
Tesis ini terdiri dari 5 bab dan masing-masing bab kemudian dirinci ke dalam beberapa sub-bab.
Bab 1, tentang Pendahuluan, berisi di dalamnya uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada Bab 2, yaitu tentang Tinjauan Literatur dan Metodologi Penelitian yang berisi uraian tentang, pertama, teori pelayanan publik, pelayanan publik dan birokrasi, pelayanan perijinan, pelayanan perijinan satu pintu (one stop service), iklim usaha, dan hubungan pelayanan perijinan satu pintu dengan meningkatkan iklim usaha dan investasi. Kedua, menguraikan tentang pendekatan penelitian, jenis/tipe penelitian, tekhnik pengumpulan data, teknik analisa data, alasan penentuan lokasi serta keterbatasan penelitian.
Pada Bab 3, yaitu tentang gambaran umum objek penelitian, yang berisi tentang kebijakan pelayanan perijinan satu pintu, model pelayanan perijinan di Kabupaten Sragen serta gambaran tentang objek penelitian Kantor Pelayanan Perijinan (KPT) Kabupaten X, Propinsi X.
Pada Bab 4, yaitu berisi tentang pembahasan hasil penelitian, yang menguraikan tentang pembahasan analisa data Strategi analisa data dalam penelitian ini mencakup langkah-langkah berikut, pengumpulan data mentah, transkrip data, koding, kategorisasi data, penyimpulan sementara, triangulasi dan penyimpulan akhir. Analisis data sendiri dalam penelitian ini berlangsung secara terus menerus dari awal sampai akhir penelitian dengan membuat tafsiran sehingga teori yang ada dapat dikembangkan sesuai dengan data lapangan.
Pada Bab 5, yaitu tentang kesimpulan dan saran, yang menguraikan tentang kesimpulan penelitian dan saran-saran dari peneliti menyangkut hasil penelitian yang telah dilakukan.
TESIS PRAKTIK PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT YANG BERKELANJUTAN DI KALANGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) SEBAGAI BENTUK TANGGUNGJAWAB SOSIAL KORPORASI DI INDONESIA

TESIS PRAKTIK PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT YANG BERKELANJUTAN DI KALANGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) SEBAGAI BENTUK TANGGUNGJAWAB SOSIAL KORPORASI DI INDONESIA

(KODE : PASCSARJ-0085) : TESIS PRAKTIK PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT YANG BERKELANJUTAN DI KALANGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA (BUMN) SEBAGAI BENTUK TANGGUNGJAWAB SOSIAL KORPORASI DI INDONESIA (PRODI : SOSIOLOGI)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Globalisasi yang berkembang pesat dalam dua dasawarsa terakhir ini, terjadi dalam berbagai bidang, baik ekonomi, politik maupun sosial-budaya. Hal ini mempengaruhi cara berpikir korporasi dalam memandang strategi bisnisnya. Korporasi tidak lagi memandang bisnisnya terpisah dari masyarakat, namun merupakan salah satu komunitas dari beberapa komunitas lainnya dari masyarakat. Dalam pandangan ini, korporasi sebagai bagian dari masyarakat senantiasa akan berpengaruh secara resiprokal. Apapun yang terjadi dengan masyarakat akan mempengaruhi korporasi, begitupun sebaliknya.
Namun pemikiran dan pemahaman ini disikapi dan diimplementasikan secara beragam oleh korporasi. Keberagaman itu tidak hanya karena jenisnya, seperti ekstraktif, manufaktur dan jasa publik, akan tetapi tergantung juga pada bentuk lingkungannnya baik alam, masyarakat maupun kepentingan stakeholder yang ada. Pemikiran dan pemahaman ini, biasa disebut corporate social responsibility (tanggungjawab sosial korporasi).
Di Indonesia, hubungan korporasi dengan masyarakat lokal seringkali tidak harmonis. Korporasi sebagai komunitas baru, tidak memahami posisinya sebagai 'pendatang'. Sedangkan masyarakat merasa tidak diperlakukan secara 'fair' sebagai stakeholder yang paling rentan terkena dampak beroperasinya korporasi. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi suatu perbedaan yang berujung pada konflik diantara keduanya. Masyarakat memandang, korporasi sebagai pihak yang mendatangkan 'kerugian', karena apapun yang terjadi, seperti hilangnya sumber daya alam dan pencemaran lingkungan akan menimbulkan banyak masalah pada masyarakat lokal. Sebaliknya, masyarakat lokal juga dipandang sebagai pihak yang 'memeras' korporasi karena besarnya sumber ekonomi di dalamnya, seperti memaksa korporasi untuk menyerap tenaga kerja lokal dan menerima pasokan material (yang mungkin tidak memenuhi kriteria korporasi) dari masyarakat lokal.
Dilihat dari karakteristik sebab, beberapa kasus konflik yang terjadi antara korporasi (pertambangan dan minyak) dan komunitas, diantaranya adalah:
Pertama, sebab yang berdimensi ekonomi dapat dikategorikan sebagai sebab utama terjadinya konflik dan berperan sangat kuat. Selain itu, dimensi ini sangat rentan timbul, karena adanya kemiskinan dan ketimpangan pada wilayah operasi tambang yang umumnya pada wilayah terpencil. Implikasi yang berkait dengan dimensi ini tentunya kesejahteraan, equality dalam peluang ekonomi, dan akan lebih kuat lagi jika disertai dengan equity bagi komunitas lokal.
Kedua, sebab yang berdimensi sosial-budaya, berfungsi sebagai causa sekaligus akselerator yang mempercepat atau memperkuat terjadinya konflik. Kerentanan munculnya sebab dalam dimensi ini tidak terlalu tinggi, namun biasanya ada dalam setiap industri tambang dan minyak. Implikasi yang perlu diperhatikan adalah menghilangkan segregasi melalui pembauran, penataan pemukiman, penyediaan fasilitas dan kegiatan publik yang menyatukan batasan sosial berkait dengan korporasi.
Ketiga, sebab yang berdimensi politik dapat berfungsi sebagai causa berkait dengan stakeholder yang tidak terdistribusi secara proporsional, dan sekaligus sebagai medium konflik karena dimensi ini menyediakan teknologi dalam praktek konflik. Kerentanan dimensi ini sangat tinggi pada periode transisi politik, terutama saat legitimasi otoritas publik (pemerintah) melemah terhadap komunitas. Implikasi yang perlu diperhatikan adalah perlunya pemahaman peta sosial komunitas serta manajemen relasi terhadap stakeholder secara proporsional.
Melihat sebab terjadinya konflik antara korporasi dengan masyarakat (komunitas) lokal dan bentuk penanganan di atas, nampak bahwa penanganan konflik yang dilakukan korporasi sekedar untuk merespon tuntutan yang terjadi, tidak melihat masalah secara integratif dan komprehensif. Padahal konflik yang terjadi merupakan masalah kompleks yang berkait antara satu dengan lainnya. Meskipun faktor yang dominan adalah ekonomi, namun hal tersebut berkait pula dengan politik dan budaya lokal. Oleh karena itu, membutuhkan penanganan yang juga komprehensif, yang dapat menjawab permasalahan yang mendasar, yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat lokal.
Selain itu, beberapa kasus di atas juga mengindikasikan bahwa tanggungjawab sosial korporasi terhadap masyarakat lokal masih rendah, penanganan yang dilakukan masih sebatas untuk meredam konflik, sesaat dan 'dangkal'. Sehingga kalaupun program itu diterapkan atau dilakukan, hanyalah untuk kepentingan korporasi semata. Mereka tidak berpikir untuk lebih jauh, misalnya menyelesaikan masalah yang mendasar dari masyarakat lokal dengan merancang, merencanakan dan melaksanakan program yang berkelanjutan, sehingga masyarakat lokal dapat merasakan pengaruh positif dan manfaat dari kehadiran korporasi, terutama berkait dengan peningkatan kualitas hidupnya.
Rendahnya kesadaran ini, ternyata tidak saja pada industri pertambangan dan minyak, namun juga pada jenis industri lainnya, baik manufaktur maupun jasa publik. Seperti terungkap dalam Penelitian Chambers (2003:91) seperti dikutip Tanaya, yang menunjukkan bahwa hanya 24% dari 50 korporasi teratas di Indonesia yang memiliki laporan atas program CSR dalam website mereka, sekaligus yang terendah bila dibandingkan dengan enam negara lainnya di Asia. Selanjutnya dari 24% tersebut hanya 18% yang memberikan laporan secara ekstensif, dan 72% melaporkan secara minimal (1-2 halaman). Hal ini menunjukkan masih sedikitnya korporasi yang menjalankan praktik ini dengan serius, termasuk pelaporannya kepada publik.
Padahal tanggungjawab ini bukan tanpa dampak yang menguntungkan, karena ketika korporasi memperlihatkan tanggungjawab sosialnya, pada hakikatnya mereka sedang mengamankan dan membentuk citra di mata masyarakat, baik dalam lingkup lokal, nasional maupun internasional. Selain itu, program ini juga dapat mendorong pada keuntungan bisnis dan meningkatkan kinerja penjualan produk. Seperti diungkapkan Business and Society, bahwa apabila korporasi dapat melaksanakan program CSR, maka dampak bisnis yang jelas akan menunjukkan manfaat sebagai berikut:
- Reputasi-yang dipengaruhi oleh biaya dan keuntungan dari barang dan jasa korporasi, bagaimana memperlakukan karyawan dan lingkungannya, catatannya mengenai HAM, investasinya dalam masyarakat lokal, dan bahkan bukti pembayarannya.
- Daya saing-keuntungan dari hubungan baik antara pelanggan dan penyalur, keseimbangan dalam keaneka-ragaman pekerja, seperti halnya efisiensi manajemen mengenai isu lingkungan;
- Manajemen risiko-pengendalian risiko yang lebih baik-keuangan, peraturan, lingkungan, atau sikap konsumen.
Sejalan dengan itu, Omar Al Qurashi, Communications Manager Shell, mengungkapkan, "Penelitian membuktikan bahwa 94% dari eksekutif korporasi yakin, bahwa pengembangan CSR dapat mengantarkan atau mendorong pada keuntungan bisnis yang nyata, sementara satu dari tiga eksekutif internasional berpikir bahwa inisiatif tanggungjawab social meningkatkan kinerja penjualan. Selanjutnya, 71% dari CEO berpendapat, bahwa mereka bersedia menyisihkan keuntungan jangka pendek untuk nilai saham jangka panjang ketika mengimplementasikan program-program (CSR) yang berkelanjutan".
Oleh karena itu, selain mencari keuntungan finansial sebagaimana 'naluri' dan 'niat awalnya', penting bagi korporasi untuk menjalankan komitmen dan tanggungjawab sosialnya. Sebagaimana diungkapkan Clement K. Sankat (2002) yang dikutip Budimanta (2004), bahwa "tanggung jawab sosial korporasi merupakan komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komuniti lokal dan masyarakat secara luas".
Program tanggungjawab sosial korporasi ini, tidak hanya dilakukan oleh korporasi multinasional seperti, Freeport, ExxonMobile, Unocal, Newmont Pasific, dan Nike, namun juga dilakukan oleh seluruh korporasi milik negara atau BUMN, diantaranya PT. Pertamina, PT. Telkom dan PT. Krakatau Steel, PT. Angkasa Pura II, yang diimplementasikan dengan sebutan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil (PK) dan Program Bina Lingkungan (BL) disingkat PKBL.
Implementasi dari Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan ini menjadi menarik dan strategis disebabkan beberapa hal. Pertama, statusnya sebagai korporasi milik negara, terdapat "kewajiban" melalui kebijakan pemerintah-Salinan Peraturan Meneg BUMN Nomor PER-05/MBU/2007, tanggal 27 April 2007, yang menggantikan aturan yang sebelumnya ada, yaitu Keputusan Menteri BUMN Nomor : Kep-236/MBU//2003, tanggal 17 Juni 2003, yang menyatakan bahwa, setiap korporasi di lingkungan BUMN harus menjalankan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Kedua, adanya petunjuk pelaksanaan yang bersifat 'generik' sesuai dengan Surat Edaran Nomor: SE-433/MBU/2003, tanggal 16 September 2003 mengenai petunjuk Pelaksanaan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.
Berdasarkan Surat Keputusan tersebut, terutama Bab I, Pasal 1, Ayat 6 dan 7, menyatakan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Selanjutnya, hal tersebut ditegaskan dalam Visi dan Misi Kementerian Negara BUMN, "Meningkatkan peran BUMN dalam kepedulian terhadap lingkungan (community development) dan pembinaan koperasi, usaha kecil dan menengah dalam program kemitraan". Dengan demikian, mengacu pada visi dan misi di atas, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan program community development di kalangan BUMN lebih ditekankan atau mengarah kepada Program Bina Lingkungan, sementara untuk pembinaan koperasi, usaha kecil dan menengah dikategorikan dalam Program Kemitraan dengan Usaha Kecil, sebagai suatu bentuk implementasi dari tanggungjawab sosial korporasi milik negara. Meskipun demikian, kedua hal ini bisa juga diterjemahkan sebagai community development dengan penekanan yang berbeda, antara Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dengan Program Bina Lingkungan.
Sebagai salah satu pilar penggerak dan penyeimbang perekonomian nasional, sekaligus 'representatif’ pemerintah, BUMN diharapkan dapat melakukan peran dan tanggungjawab sosialnya secara optimal. Dengan peraturannya yang 'generik', membuka kemungkinan setiap BUMN melakukannya secara berbeda. Dengan kata lain, dimungkinkan korporasi di lingkungan BUMN mempunyai kebebasan dalam mengembangkan program sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Kemungkinan lain adalah potensi rata-rata alokasi finansial korporasi-korporasi milik negara (BUMN) lebih besar dibanding korporasi swasta nasional lainnya. Seperti yang diungkapkan Saidi dari PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Centre) dalam penelitiannya tentang sumbangan dari berbagai korporasi menunjukkan, bahwa rata-rata sumbangan per tahun korporasi multinasional sebesar Rp. 236 juta, sedang korporasi swasta nasional hanya Rp. 45 juta dan korporasi lokal Rp. 16 juta. Hal ini berbeda jauh bila dibandingan dengan temuan Nursahid dalam tesisnya, seperti tertuang pada tabel 2 di bawah ini.

** tabel sengaja tidak ditampilkan **

1.2 Perumusan Masalah
Dengan adanya Program Bina Lingkungan diharapkan konflik yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat lokal dapat diatasi, atau setidaknya dieliminir. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan konflik masih saja terjadi, bahan masih dengan issu dan tuntutan yang relatif sama. Hal ini mengindikasikan bahwa implementasi Program Bina Lingkungan tidak dilakukan dengan mengikuti aspek-aspek pengembangan masyarakat sebagaimana mestinya. Sebagian korporasi masih menganggap bahwa Program Bina Lingkungan adalah program "charity" atau pemberian gratis korporasi kepada masyarakat lokal, dan itu terjadi hanya pada waktu-waktu tertentu.
Mencermati situasi dan kondisi hubungan yang terjadi antara korporasi dengan masyarakat lokal tersebut, maka potensi permasalahan yang timbul dan berujung pada konflik bukan tidak mungkin akan terus berlanjut 'tiada ujung'. Hal ini akan mempengaruhi produktivitas korporasi sebagai entitas bisnis, sekaligus mendorong timbulnya komunitas bermental 'pemeras' dengan cara mencari kesalahan korporasi dalam melakukan usahanya, terutama berkait dengan sumber daya lokal.
Bagaimana dengan Badan Usaha Milik Negara? Dengan diterbitkannya Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-236/MBU/2003, yang kemudian direvisi dengan dikeluarkannya Salinan Peraturan Meneg BUMN Nomor PER-05/MBU/2007, tanggal 27 April 2007. Kedua aturan tersebut menyatakan, bahwa setiap korporasi di lingkungan BUMN harus menjalankan Program Kemitraan dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, ditambah dengan adanya Surat Edaran Nomor : SE-433/MBU/2003, mengenai petunjuk pelaksanaannya. Hal ini memperlihatkan, bahwa pemerintah memiliki goodwill melalui korporasi di lingkungan BUMN dalam menyikapi permasalahan sosial yang terjadi selama ini.
Dengan adanya peraturan tersebut, yang menyatakan 'kewajiban' dan bersifat 'generik', mengisyaratkan adanya 'kelonggaran' atau 'kebebasan' dalam mengimplementasikan peraturan. Dengan kata lain, setiap korporasi milik negara dapat menjalankan aturan sebagai sebuah kewajiban, namun korporasi juga diberikan kebebasan secara teknis dalam mengimplementasikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai monitoring dan evaluasi, sesuai situasi dan kondisi masyarakat lokal dimana korporasi tersebut beroperasi. Selain itu, dengan adanya anggaran yang tidak sedikit, akan memberikan kesempatan yang besar untuk dilakukannya Program Bina Lingkungan secara optimal. Dengan demikian, program yang diterapkan sekaligus biaya yang dikeluarkan, mempunyai manfaat dan dampak jangka panjang bagi kualitas kehidupan masyarakat, terutama masyarakat lokal.
Kenyataan tersebut memberikan inspirasi kepada peneliti untuk melakukan studi evaluasi mengenai praktik Program Bina Lingkungan yang dilakukan PT. X, salah satu korporasi milik negara (BUMN) yang bergerak pada penyediaan pupuk tingkat nasional. Selanjutnya, penelitian ini ditekankan untuk menjawab pertanyaan utama yaitu : Bagaimana upaya korporasi dalam mempraktikkan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan kepada masyarakat lokal sebagai bagian dari tanggungjawab sosial korporasi?
Selanjutnya, pertanyaan utama penelitian ini diturunkan dalam beberapa pertanyaan khusus yang lebih operasional, yaitu:
1. Bagaimana implementasi Program Bina Lingkungan di PT. X?
2. Bagaimana efektivitas dan keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X?
3. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X?
4. Bagaimana upaya untuk menjamin keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X?

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis upaya PT. X dalam mempraktikkan Program Bina Lingkungan, terutama pada masyarakat lokal secara berkelanjutan sebagai bagian dari tanggungjawab sosial korporasi, dengan menggunakan metode studi evaluasi.
Secara khusus, penelitian ini menjawab rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, yakni :
1. Mengetahui implementasi Program Bina Lingkungan di PT. X.
2. Mengetahui efektivitas dan keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X.
3. Memahami faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dampak dan keberlanjutan Program Bina Lingkungan di PT. X.
4. Dengan gambaran yang didapat, terutama dalam upaya korporasi dalam mempraktikkan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan, maka peneliti akan merekomendasikan sebagai bentuk kontribusi mengenai strategi pengembangan Program Bina Lingkungan di Indonesia, khususnya di PT. X.

1.4 Signifikansi Penelitian
Secara ilmiah-akademik, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan khususnya mengenai Program Bina Lingkungan sebagai bagian dari pelaksanaan program corporate social responsibility terhadap masyarakat lokal. Seperti yang tercatat dalam Creswell (1994) menekankan elaborasi signifikansi studi dapat ditujukan untuk: (1) kaum peneliti, (2) praktisi atau pelaku, dan (3) pembuat kebijakan.
1.4.1 Pemanfaat Utama
Penelitian mengenai Program Bina Lingkungan di kalangan BUMN belum banyak diteliti, terutama berkait dengan program yang mengarah pada sustainability atau berkelanjutan secara spesifik. Sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kontribusi dalam mengembangkan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan di PT. X sesuai dengan karakteristik masyarakatnya.
Selain itu, penelitian ini penting dipahami oleh pemerintah pusat dalam mengembangkan kebijakan berkait dengan korporasi terutama di kalangan BUMN, seperti PT. X ini. Begitupun dengan pemerintah lokal, agar kebijakan terutama berkait dengan korporasi dan pengembangan potensi masyarakat lokal, dapat lebih terarah, tepat sasaran dan berkelanjutan.
1.4.2 Pemanfaat Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pendorong sekaligus inspirator bagi LSM, baik lokal maupun nasional termasuk lembaga donor agar dalam mengembangkan program community development, dapat mempertimbangkan kearifan budaya lokal, dalam arti sesuai dengan situasi, kondisi dan potensi serta kebiasaan masyarakat lokal. Dengan demikian, program yang dikembangkan tidak hanya sekedar memberikan bantuan sesuai kemauan korporasi, namun lebih dari itu, dapat menjawab permasalahan sekaligus kebutuhan masyarakat lokal sehingga program yang diterapkan dapat bermanfaat dan berkelanjutan (sustainability).

1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hasil penelitian ini akan disajikan dalam 5 (lima) bab, dengan susunan sebagai berikut:
Bab pertama, berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, kajian teoritik, operasionalisasi konsep dari berbagai teori dan pendapat ahli, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, mengenai gambaran umum subjek penelitian yang mencakup lokasi peneltian, baik korporasi maupun masyarakat lokal, termasuk profil masing-masing institusi tersebut dari sejarah, potensi karakteristik hingga struktur organisasi.
Bab ketiga, menggambarkan pelaksanaan Program Bina Lingkungan sebagai bentuk corporate sosial responsibilty yang dipraktikkan kepada masyarakat lokal.
Bab keempat, merupakan pemaparan dan analisis hasil penelitian. Pada bagian ini akan dibahas mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan politik berkait dengan praktik Program Bina Lingkungan yang dilaksanakan korporasi. Pembahasan diawali dengan proses identifikasi masalah dan kondisi awal dari masyarakat lokal, selanjutnya secara beruntun akan diikuti, sesuai dengan ajian yang ternasuk dalam inputs, output, outcome dan impact. Hal ini secara sistematis menjawab bagaimana efektivitas dan keberlanjutan program bagi stakeholder khususnya masyarakat lokal, seperti yang dipaparkan pada kondisi awal.
Bab kelima, berisi kesimpulan penelitian, dan rekomendasi penelitian, yang didalamnya berisi model pengembangan Program Bina Lingkungan yang berkelanjutan dilihat dari aspek community development, sesuai dengan situasi kondisi korporasi. Rekomendasi ini disusun dengan mengacu pada hasil temuan yang dikaitkan dengan berbagai teori yang digunakan dalam penelitian ini.