Search This Blog

Skripsi Hubungan Pembelajaran Ketrampilan Terhadap Motivasi Berwiraswasta Di SLB-B X

Skripsi Hubungan Pembelajaran Ketrampilan Terhadap Motivasi Berwiraswasta Di SLB-B X

(Kode PEND-PLB-0008) : Skripsi Hubungan Pembelajaran Ketrampilan Terhadap Motivasi Berwiraswasta Di SLB-B X Tahun Ajaran XXXX/XXXX

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan anak berkebutuhan khusus atau defabel, khususnya anak tuna rungu sangatlah kompleks dan menarik untuk dibicarakan. Salah satunya yaitu dalam dunia pekerjaan dimana setelah mereka lulus dari jenjang pendidikan formal maupun non formal nanti, mereka akan sulit mencari pekerjaan. Apalagi pada situasi sulit seperti sekarang ini, jumlah pencari kerja yang sangat besar tetapi lapangan pekerjaan yang tersedia juga terbatas serta masih rendahnya mutu ketrampilan yang dimiliki oleh para lulusan pendidikan formal maupun non formal. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang di ungkapkan oleh Munawir Yusuf (1997: 3) tentang masalah tenaga kerja yaitu :
Tidak hanya masalah ledakan jumlah pencari kerja tetapi rendahnya mutu dan ketrampilan yang dimiliki oleh sebagian tenaga kerja yang ada sehingga kesempatan kerja yang ada sering tidak dapat di isi karena ketrampilan dan persyaratan yang dimiliki tenaga kerja tidak sesuai.
Permasalahan lain yang timbul yaitu mereka harus dihadapkan pada kenyataan bahwa masyarakat (perusahaan) memang belum bisa meneriam sepenuhnya atau enggan menerima mereka untuk bekerja, karena masyarakat mempunyai asumsi bahwa penyandang cacat tidak memiliki skill atau kemampuan seperti orang normal. Untuk bekerja penyandang cacat dianggap kurang potensial dan efektif. Kalau hal tersebut terjadi secara terus menerus, maka akan terjadi persaingan yang tidak seimbang yang mana keadaan penyandang cacat akan semakin sulit.
Akibatnya sebagian besar penyandang cacat akan menjadi pengangguran dan hidup mereka akan tergantung pada orang lain. Kalau keadaan tersebut terus dibiarkan sementara laju pertumbuhan penduduk tetap tinggi, maka akan berakibat jumlah pengangguran bertambah banyak. Sehingga akan berakibat timbulnya berbagai masalah social seperti kemiskinan dan kriminalitas. Untuk itu harus ada suatu upaya agar permasalahan diatas dapat ditanggulangi. Seperti hal nya meningkatkan kualitas pendidikan, mendirikan balai latihan kerja dsb. Dengan demikian maka defabel harus diberikan pendidikan atau latihan agar menjadi tenaga kerja yang mandiri dan berdaya saing, terlebih mengingat kondisi mereka dalam meraih kesempatan kerja selalu mendapat tantangan yang lebih besar seperti persaingan yang tidak seimbang, asumsi masyarakat yang negatif bahwa defabel kurang potensial dan efektif dalam bekerja sehingga perusahaan pun enggan memperkerjakan mereka kalaupun ada hanya sebagian kecil perusahaan yang mau atau bersedia menerima mereka untuk bekerja.
Dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 pasal 27 ayat 2 bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusiaan”. Dari pasal tersebut saja dapat disimpulkan bahwa semua warga negara termasuk penyandang cacat berhak memperoleh proporsi atau kesempatan kerja yang sama dengan orang normal. Salah satu alternatif untuk menjawab permasalahan tersebut adalah membuka lapangan usaha untuk sendiri dan orang lain. Membuka usaha atau wiraswasta tentu tidaklah mudah, para penyandang cacat harus memiliki bekal atau kemampuan salah satunya kemampuan dalam ketrampilan atau karya, karena ketrampilan dapat dijadikan salah satu modal untuk berwiraswasta. Sepertinya pada saat ini sudah banyak sekolah sekolah khususnya sekolah yang menangani defabel yang memberikan pendidikan ketrampilan karena selain pendidikan formal yang wajib diberikan disekolah, pendidikan ketrampilan juga dirasa sangat penting. yang mana nanti defabel akan dilatih untuk bisa menguasai jenis ketrampilan tetentu.
Sehingga ketika mereka lulus nanti, defabel sudah memiliki bekal sendiri. Mereka akan mau dan mampu berwiraswasta atau wirausaha sendiri ketika perusahaan tidak dapat menampung mereka untuk bekerja. Seperti pernyataan yang diungkapkan oleh Wasty Sumanto (1996:137) “Sekarang sekolah-sekolah kita dihadapkan pada suatu tantangan dan tuntutan jaman, dimana sekolah harus mulai berusaha mewujudkan manusia wiraswasta dilingkungan sekolah”. Dalam pelaksanaan Pembelajaran ketrampilan disekolah tidak terlepas dengan adanya kurikulum yang mengaturnya. Dalam melaksanakan pembelajaran ketrampilan ada dua hal yang harus mendapat perhatian yaitu proses dan hasil karya. Kegiatan proses membawa siswa kedalam penjelajahan dan pengalaman mengenai penemuan-penemuan baru yang tak habis-habisnya dengan dirinya, masyarakat serta ketrampilan dan hasil akhir dari kegiatan berkarya yang akan menghasilkan sesuatu yang akan memuaskan dirinya. Dalam hal ini siswa juga harus benar benar mengusai ketrampilan yang diajarkan secara baik, karena penguasaan ketrampilan sangat berhubungan terhadap pembentukan sikap siswa yang mana akan termotivasi dan terbentuk sikap mental yang baik dalam berwiraswasta. Ketika motivasi telah dimiliki oleh para siswa penyandang cacat maka niscaya kemandirian mentalitas akan terbentuk. Pendidikan ketrampilan merupakan salah satu bidang study yang mempunyai kekhususan yaitu disamping para siswa memperoleh pengetahuan ilmu siswa juga mendapat ketrampilan berbuat yang diakhiri dengan terwujudnya suatu karya. Jadi pendidikan ketrampilan merupakan salah satu usaha dan upaya untuk menimbulkan motivasi berkarya pada diri anak yang akhirnya anak sanggup menciptakan sesuatu yang bermanfaat atau berguna untuk dirinya dan orang lain. Dengan diberikannya pendidikan ketrampilan kepada anak menjadi dasar pengembangan bakat dan kemampuan diri sendiri dan dijadikan sarana untuk mencari nafkah yaitu dengan berwiraswasta. Oleh karena itulah penulis merasa perlu mengadakan penelitian mengenai HUBUNGAN PEMBELAJARAN KETRAMPILAN TERHADAP MOTIVASI BERWIRASWASTA DI SLB-B X.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Permasalahan penyandang cacat khususnya anak tuna rungu sangat kompleks, salah satunya yaitu sulitnya mencari pekerjaan setelah mereka lulus pendidikan formal nanti hal ini disebabkan adanya persaingan yang tidak seimbang antara tenaga kerja cacat dengan tenaga kerja normal. Salah satu faktor pendorong yaitu asumsi masyarakat yang negatif bahwa penyandang cacat tidak mempunyai skill, kurang efektif dan efisien seperti orang normal sehingga perusahaan belum bisa sepenuhnya menerima tenaga kerja cacat.
2. Dengan penyelenggaraan rehabilitasi karya yang berbentuk pengajaran atau pelatihan ketrampilan disekolah yang mana penyandang cacat akan dilatih agar bisa menguasai beberapa jenis ketrampilan tertentu, sehingga ketika penyandang cacat lulus dari sekolah, mereka sudah mempunyai bekal karena mampu berwiraswasta sebagai alternatif ketika mereka tidak diterima bekerja.
3. Pembelajaran yang maksimal dan penguasaan ketrampilan pada diri siswa harus benar-benar dimiliki.karena sangat berhubungan pada pembentukan sikap siswa yang mana siswa akan menjadi termotivasi dan terbentuk sikap mental wiraswasta yang baik pula.

C. Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan dalam pelaksanaan penelitian serta dapat menjawab permasalahan secara fokus dan mendalam. Maka masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi. Adapun pembatasan masalah yang diajukan penulis adalah sebagai berikut :
1. Objek penelitian meliputi : Pembelajaran ketrampilan, dan motivasi berwiraswasta
2. Pembelajaran ketrampilan adalah suatu proses pembelajaran dengan memperkenalkan anak didik kepada dunia karya yang akan berguna dimasa yang akan datang.
3. Motivasi berwiraswasta adalah suatu dorongan yang berhubungan dengan upaya seseorang untuk mencapai suatu tujuan agar dapat menjadi insan mandiri, produktif dan tidak bergantung pada orang lain yang mana terwujud dalam suatu wadah yaitu wiraswasta dengan bekal kemampuan yang telah dimiliki.

D. Perumusan Masalah
Agar masalah dalam penelitian dapat terjawab dengan baik, maka masalah harus dirumuskan dengan jelas dan bertitik tolak dari latar belakang masalah, identifikasi masalah dan pembatasan masalah diatas maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah ada hubungan positif Pembelajaran Ketrampilan terhadap Motivasi Berwiraswasta di SLB B X tahun ajaran XXXX/XXXX?

E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan tersebut diatas, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan positif pembelajaran ketrampilan terhadap motivasi berwiraswasta di SLB-B X Tahun Ajaran XXXX/XXXX.

F. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian hubungan antara pembelajaran ketrampilan terhadap motivasi berwiraswasta diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis :
a) Untuk menambah khasanah pustaka khususnya yang menyangkut bidang pembelajaran ketrampilan dan motivasi berwiraswasta.
b) Untuk memberikan gambaran akan arti pentingnya pembelajaran ketrampilan terhadap motivasi berwiraswasta.
2. Kegunaan Praktis :
a) Sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pengarahan kerja bagi penyandang cacat agar sesuai bakat dan ketrampilan yang dimilikinya.
b) Penelitian ini bisa dijadikan masukan SLB-B X untuk meningkatkan pendidikan ketrampilan yang sudah ada.
Skripsi Penggunaan Metode Maternal Reflektif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Bicara Pada Anak Tunarungu Kelas Persiapan Sekolah Luar Biasa Negeri X

Skripsi Penggunaan Metode Maternal Reflektif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Bicara Pada Anak Tunarungu Kelas Persiapan Sekolah Luar Biasa Negeri X

(Kode PEND-PLB-0007) : Skripsi Penggunaan Metode Maternal Reflektif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Bicara Pada Anak Tunarungu Kelas Persiapan Sekolah Luar Biasa Negeri X Tahun XXXX

BAB I.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1yang berbunyi bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Hal ini sesuai dengan Undang Undang Sisdiknas tahun 2003 bab IV pasal 1 dinyatakan bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” dan pasal 2 yang berbunyi “Warga negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Hal ini menunjukkan bahwa anak tunarungu berhak memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan.
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengarannya.
Menurut Mufti Salim (1984: 8) menyimpulkan bahwa Anak tunarungu ialah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya. Ia memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus untuk mencapai kehidupan lahir batin yang layak.
Karena kelainannya itu anak tunarungu mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa dan bicara serta mengalami kesulitan berkomunikasi dengan sesamanya. Kenyataan bahwa anak tunarungu tidak dapat mendengar membuatnya tidak mungkin mengerti bahasa yang diucapkan orang lain dan karena tidak mengerti bahasa yang diucapkan orang lain dan dia tidak dapat bicara jika tidak dilatih bicara. Ketidakmampuan bicara anak adalah karakteristik yang membuatnya berbeda dengan anak lain. Manusia sebagaimana adanya adalah makhluk individu dan makhluk sosial yang akan senantiasa mengadakan interaksi dengan orang lain dan dalam pelaksanaannya dibutuhkan alat komunikasi dalam bentuk bahasa bicara. Sebagai akibat ketunarunguannya, anak tunarungu kurang atau tidak mampu menerima dan menyampaikan pesan-pesan dari dan kepada sesamanya melalui bicara secara memadai. Mereka hanya mengandalkan ketajaman penglihatan dan menggunakan sisa pendengaran untuk menangkap kejadian- kejadian dalam berkomunikasi.
Pakar pendidikan anak tunarungu Daniel Ling (1976) dalam Edja Sadjaah (2003: 2) mengemukakan bahwa “Ketunarunguan memberikan dampak inti yang diderita oleh yang bersangkutan yaitu gangguan/hambatan perkembangan bahasa”. Hambatan perkembangan bahasa memunculkan dampakdampak lain yang sangat komplek lainnya seperti aspek pendidikan, hambatan emosi sosial, hambatan perkembangan intelegensi dan akhirnya hambatan dalam aspek kepribadian. Artinya dampak inti yang diderita menimbulkan atau mengait pada dampak lain yang mengganggu kehidupannya. Beliau menguatkan pandangannya dengan mengutip pernyataan Katryn Miadows (1980) bahwa “kemiskinan yang dialami seseorang yang tuli sejak lahir adalah bukan kemiskinan atau kehilangan akan rangsangan bunyi melainkan kemiskinan dalam berbahasa”.
Juga dikuatkan oleh pendapat Van Uden (1971) dalam Lani Bunawan dan Cecilia Susila Yuwati (2000) bahwa “sebagai akibatnya anak tidak saja tunarungu melainkan tunabahasa”.
Selanjutnya Greg Leigh (1994) dalam Edja Sadjaah (2003: 2) mengemukakan bahwa “anak tuli pada umumnya menderita ketidakmampuan berkomunikasi lisan (bicara) akan membawa dampak utama yaitu terhambatnya perkembangan kemampuan berbahasa”.
Para ahli berpendapat bahwa sebagai akibat kehilangan pendengaran sedemikian rupa anak menjadi tunarungu atau menderita ketulian yang akhirnya membawa akibat pada kehidupan dirinya. Akibatnya adalah selain sukar berbahasa dan berbicara untuk kepentingan kehidupan dan juga terhadap perolehan pengetahuan yang lebih luas.
Anak yang normal mendengar bahasa yang diucapkan berbulan-bulan sebelum dia mulai berbicara. Orang normalpun memerlukan waktu untuk dapat mengerti bicara orang lain, apalagi anak tunarungu, karena itu mereka harus diberi kesempatan yang sama dengan anak lainnya untuk belajar berbahasa bicara.
Mengapa bahasa bicara ditulis bersama-sama, hal ini menunjukkan bahwa kegiatan bicara melibatkan atau memfungsikan bahasa. Dalam berbicara, bahasa diwujudkan secara lisan. Kemampuan berbahasa lisan membutuhkan perbendaharaan bahasa yang banyak dan memahami arti bahasa bicara yang dimaksud.
Mata anak tunarungu harus dipakai sendirian yang bagi anak normal pekerjaan tersebut dipikul bersama dengan pendengaran. Dengan alasan ini anak tunarungu lebih banyak membutuhkan waktu untuk dapat berbicara dan tentu saja lingkungan di sekitar anak yang juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan berbahasa bicara anak tunarungu tersebut.
Tingkat belajar siswa tunarungu khususnya kelas persiapan masih rendah utamanya belajar berbahasa bicara. Maka kita perlu mencari penyebabnya, mungkin cara belajar siswa, mungkin dari pihak guru dalam penyampaiannya. Inilah yang menjadi pangkal tolak mengapa guru perlu menggunakan beberapa metode dalam melakukan proses belajar mengajar. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan yang akan saling melengkapi. Metode yang dipilih hendaknya metode yang dapat mendorong siswa aktif. Metode yang dianggap baik bagi guru belum tentu mudah diterima oleh anak. Agar kemampuan berbahasa-bicara anak tunarungu dapat maksimal diperlukan perencanaan yang matang termasuk perencanaan penggunaan metode dan yang tidak kalah penting adalah media/alat peraga benda asli/tiruan, gambar dan kartu kata untuk mengkonkritkan sesuatu yang verbal. Pakar pendidikan anak gangguan pendengaran Vreede Varkamp (1985:sb) dalam Edja Sadjaah (2003: 17) menegaskan bahwa “mengajar mereka dalam berbahasa, media (alat bantu belajar) harus selalu menyertai kegiatan belajar itu. Tak ada artinya pembelajaran berbahasa kepada anak tuli tanpa disertai alat bantu (media), minimal gambar atau tiruannya/miniaturnya”.
Keterbatasan anak gangguan pendengaran dalam mengindera bunyi bahasa melalui pendengarannya menjadikan mereka memiliki keterbatasan dalam mengolah informasi. Dengan demikian pemanfaatan alat bantu/media dalam proses belajar, dapat membantu anak dalam mempertahankan daya ingat atas pengalaman yang dialaminya.
Melalui media pendidikan yang menarik perhatian, dapat mengurangi hambatan salah pengertian siswa. Untuk itu media penting dalam memusatkan perhatian dan memotivasi siswa dalam belajar.
Kemampuan berbahasa bicara siswa tunarungu khususnya kelas Persiapan di SLB Negeri Xtahun XXXX rendah utamanya pelajaran Bahasa Indonesia dalam aspek berbahasa bicara ini bisa dilihat pada tabel sebagai berikut:
Kondisi awal sebelum tindakan dapat penulis sampaikan melalui tes lisan dan perbuatan. Adapun hasil tes melalui analisis pada kemampuan berbahasa bicara disajikan pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Perolehan Skor Rerata Kemampuan Berbahasa Bicara Kondisi Awal :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Dengan melihat latar belakang tersebut, maka penulis mengadakan Penelitian Tindakan Kelas, yaitu “Penggunaan Metode Maternal Reflektif Untuk Meningkatkan Kemampuan Berbahasa Bicara Pada Anak Tunarungu Kelas Persiapan Sekolah Luar Biasa Negeri X Tahun XXXX”.

B. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka muncul permasalahan yang dapat didefinisikan sebagai berikut : Apakah Metode Maternal Reflektif dapat meningkatkan kemampuan berbahasa bicara pada anak tunarungu kelas Persiapan di SLB Negeri X tahun XXXX?.


C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui pengaruh Metode Maternal Reflektif terhadap peningkatan kemampuan berbahasa bicara pada anak tunarungu kelas Persiapan di SLB Negeri X tahun XXXX.

D. Manfaat penelitian
Penelitian terhadap masalah ini sangat penting menurut penulis, penggunaan Metode Maternal Reflektif sangat berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa-bicara anak tunarungu. Dengan demikian diharapkan pula dapat menemukan jalan untuk meningkatkan pendidikan luar biasa khususnya anak tunarungu, lebih jelas lagi penulis uraikan manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Secara teoritis:
a.Menambah khasanah ilmu tentang penggunaan Metode Maternal Reflektif dapat meningkatkan kemampuan berbahasa bicara anak tunarungu.
b.Pijakan untuk penelitian selanjutnya.
2.Secara praktis:
a. Bagi siswa:
Dapat meningkatkan kemampuan siswa tunarungu dalam berbahasa bicara.
b. Bagi guru:
i. Guru terbiasa mengembangkan keterampilan dalam mengajar secara profesional melalui penelitian tindakan kelas.
ii. Guru lebih memahami bahwa anak merupakan pribadi yang unik dan berbeda satu sama lainnya.
b. Bagi Sekolah:
Bahwa Metode Maternal Reflektif tidak hanya digunakan dalam pembelajaran berbahasa-bicara tetapi dapat juga dapat digunakan untuk pelajaran yang lain.
Skripsi Media Pembelajaran Permainan Kartu Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Bagi Anak Tuna Grahita Kelas D1/C SLB X

Skripsi Media Pembelajaran Permainan Kartu Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Bagi Anak Tuna Grahita Kelas D1/C SLB X

(Kode PEND-PLB-0006) : Skripsi Media Pembelajaran Permainan Kartu Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Bagi Anak Tuna Grahita Kelas D1/C SLB X Tahun Ajaran XXXX/XXXX

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak Tunagrahita merupakan salah satu golongan anak berkelainan mental yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan memiliki keterbatasan dalam hal berpikir, kemampuan berpikirnya rendah, perhatiannya dan daya ingatannya lemah, sukar berpikir abstrak, serta kurang mampu berpikir logis, ini senada dengan pendapat Moh. Amin (1995 : 11), mengemukakan bahwa :
Anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada di bawah rata rata. Disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit dan yng berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, bukan hanya dalam satu dua hal tetapi hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti : mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan symbol-symbol, berhitung dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang atau terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Kemampuan intelektual anak tunagrahita yang berada di bawah rata-rata ini mengakibatkan mereka mengalami kesulitan dalan menerima pelajaran, khususnya pelajaran matematika. Di samping itu, mereka juga mengalami keterbatasan dalam hal berpikir abstrak, sulit dan berbelitbelit sehingga prestasi belajar matematika nyapun rendah.
Mengajarkan matematika pada anak tunagrahita agar lebih berhasil hendaknya disampaikan menggunakan sesuatu yang konkret, mudah dipahami, menggunakan contohcontoh yang sederhana, menggunakan bahasa yang mudah dipahami, dilakukan dalam situasi yang menarik dan meyenangkan, supaya anak tunagrahita tidak lekas jenuh serta termotivasi untuk belajar. Berdasarkan pernyataan di atas, jelas bahwa anak tunagrahita membutuhkan penanganan khusus dalam mengajarkan pelajaran matematika.
Penanganan khusus tersebut dapat direalisasikan dengan menggunakan media yang bersifat sederhana, konkrit, mudah digunakan dan mudah didapat, serta ekonomis. Media yang digunakan hendaknya disesuaikan dengan kondisi anak dan sekolah yang ada. Salah satu media yang sesuai untuk meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunagrahita adalah dengan media kartu.
” Media kartu di dalam pengajaran matematika merupakan suatu media yang memuat instruksi-instruksi yang berupa pertanyaan dan latihan yang digunakan untuk mempelajari ide mereka dalam bentuk kartu angka”. (Herman Hudojo (1988 : 136)). Media kartu yang digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunagrahita dalam penelitian ini dikemas dalam bentuk permainan, sebab permainan dapat membuat suasana lingkungan belajar menjadi senang, bahagia, santai namun tetap memiliki suasana yang kondusif. Melalui permainan siswa juga dilatih untuk bekerja sendiri, tabah, percaya diri tidak mudah putus asa dan pantang menyerah.
Menurut Jean Piaget dalam John D. Latuheru, (1988 : 109), yang menyatakan bahwa : Salah satu dasar proses-proses mental menuju kepada intelektual adalah melalui permainan, sebab anak-anak tidak akan terasa menghadapi kesukaran apabila dijaring dalam bentuk permainan, karena permainan memiliki beberapa kelebihan diantaranya permainan dirancang untuk bisa menjadikan konsep-konsep yang abstrak menjadi konsep konkret, dapat dimengerti dan menyenangkan, membantu ingatan anak terhadap pelajaran yang diberikan, permainan merupakan suatu selingan pemberian media atau alat peraga yang secara rutin berlangsung di kelas dari hari ke hari.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Indianto dan kawankawan {2003 : 46} yang menunjukkan bahwa metode pembelajaran permainan dapat menumbuhkan rasa senang terhadap pelajaran matematika..Permainan matematika apabila digunakan secara berencana dengan tujuan instruksional, jelas, tepat, penggunaanya serta sesuai dengan waktunya dapat menjadi metode yang efektif untuk meningkatkan prestasi belajar matematika. Permainan kartu untuk mengajarkan matematika dalam penelitian ini digunakan untuk menerangkan penjumlahan dan pengurangan dari bilangan 1 10 dengan cara memberikan kartu kepada anak tunagrahita. Permainan kartu ini digunakan sebagai salah satu metode pembelajaran supaya anak tunagrahita termotivasi untuk terlibat secara aktif dalam proses kegiatam belajar matematika.
Permainan kartu ini dibuat sesuai kemampuan dan kondisi anak tunagrahita sehingga mempermudah untuk memahami pelajaran matematika. Pengetahuan dan pemahaman konsep metematika yang diperoleh dari permainan kartu ini diharapkan memberikan bantuan motivasi untuk belajar sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar matematika anak tuna grahita.

B. Perumusan masalah
Adapun perumusan masalah yang penulis harapkan adalah sebagai berikut : ” Apakah dengan media pembelajaran permainan kartu ada peningkatan prestasi belajar matematika bagi anak tuna grahita kelas DI/C SLB/BC X Tahun Ajaran XXXX/XXXX ?”

C. Tujuan penelitian
Adapun tujuan penelitian yang penulis harapkan adalah dengan media pembelajaran permainan kartu dapat meningkatkan prestasi belajar matematika bagi anak tunagrahita kelas DI/C SLB/B-C X Tahun Ajaran XXXX/XXXX.

D. Manfaat penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Untuk membuktikan kebenaran hipotesis tindakan yang telah diajukan dalam penelitian ini dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
Mencari solusi untuk menangani masalah anak tuna grahita di kelas D1/C SLB/BC X tahun ajaran XXXX/XXXX.
Skripsi Peningkatan Kemampuan Matematika Melalui Media Permainan Kartu Berhitung Bagi Anak Tuna Grahita Ringan Kelas IV SLB Negeri X

Skripsi Peningkatan Kemampuan Matematika Melalui Media Permainan Kartu Berhitung Bagi Anak Tuna Grahita Ringan Kelas IV SLB Negeri X

(Kode PEND-PLB-0005) : Skripsi Peningkatan Kemampuan Matematika Melalui Media Permainan Kartu Berhitung Bagi Anak Tuna Grahita Ringan Kelas IV SLB Negeri X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak tunagrahita ringan merupakan salah satu anak luar biasa yang termasuk golongan anak berkelainan mental, kemampuan intelektualnya berada di bawah rata-rata, kemampuan berfikirnya rendah, perhatian dan daya ingatnya lemah, sukar berfikir abstrak, serta tidak mampu berfikir yang logis. Mereka yang masih mempunyai kemungkinan untuk memperoleh pendidikan dalam bidang, membaca, menulis dan berhitung suatu tingkat tertentu serta dapat mempelajari ketrampilan atau permainan. Perhatian dan ingatan anak tunagrahita lemah, tidak dapat memperhatikan sesuatu hal dengan serius dan lama, sebentar saja perhatian anak tunagrahita akan berpindah pada persoalan lain, apalagi dalam hal memperhatikan pelajaran, anak tunagrahita cepat merasa bosan.
Pembelajaran Matematika pada anak tunagrahita ringan hendaknya dalam penyampaian materi pelajaran, guru menggunakan sesuatu yang konkret, mudah dipahami, menggunakan contoh-contoh yang sederhana, menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan dilengkapi dengan alat peraga, dilakukan dalam situasi yang menarik dan menyenangkan dengan metode yang berganti-ganti supaya anak tunagrahita ringan tidak lekas jemu sehingga termotifasi untuk belajar. Dalam pembelajaran, guru hendaknya menggunakan alat peraga untuk memperjelas pelajaran yang disampaikan. Pemilihan alat pegara hendaknya disesuaikan dengan kondisi anak dan keadaan sekolah yang ada. Alat peraga yang digunakan hendaknya murah harganya, mudah digunakan serta tidak sulit didapat.
Jean Piaget (1988:44) menyatakan bahwa salah satu dasar proses mental menuju kepada pertumbuhan intelektual adalah dengan permainan, sebab anak-anak tidak akan merasa menghadapi kesukaran apabila diajak dalam bentuk permainan karena permainan memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan dari permaianan diantaranya permainan dirancang untuk bisa menjadikan konsep-konsep yang abstrak menjadi konsep konkrit, dapat dimengerti dan menyenangkan, bisa menarik perhatian anak, memberi motivasi untuk belajar, dan membantu ingatan anak terhadap pelajaran yang diberikan.
Permainan merupakan suatu selingan pemberian media atau alat peraga yang secara rutin berlangsung di kelas dari hari ke hari. Permainan membnatu membuat suasana lingkungan belajar menjadi menyenangkan, bahagia, santai, namun tetap memiliki suasana yang kondusif. Melalui permainan, siswa dilatih untuk bekerja sendiri, tabah, percaya diri, tidak mudah putus asa, dan pantang menyerah. Permainan kartu dalam pembelajaran Matematika digunakan untuk menerangkan penjumlahan dan pengurangan dengan bilangan di bawah angka 50 dengan cara memberikan kartu kepada anak.
Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan sebagai berikut : anak tunagrahita ringan diberi tahu soal kartu jawaban, guru mengambil salah satu soal secara acak, anak tunagrahita ringan diminta mencocokkan soalnya, barulah anak tunagrahita ringan diminta menghitung bilangan tersebut yang ada di dalam kartu soal dalam waktu yangsudah ditentukan, apabila anak tunagrahita ringan tidak mampu menyelesaikan dalam waktu yang disediakan maka dianggap salah.
Kenyataan yang terjadi pada pembelajaran di sekolah, guru dalam menyampaikan pelajaran matematika kepada anak tunagrahita ringan menggunakan alat peraga hitung jari. Padahal alat peraga hitung jari mempunyai keterbatasan. Contohnya pada pembelajaran matematika yang lebih dari dua puluh angka. Pada perhitungan matematika yang lebih dari dua puluh angka, anak tunagrahita ringan sering mengalami kesulitan. Hal ini dikarenakan jumlah jarijari yang dimiliki hanya dua puluh buah. Apabila kondisi seperti ini dilakukan secara terus-menerus akan menyebabkan kejemuan anak dalam mengikuti pelajaran, sehinggga anak tunagrahita ringan menjadi malas belajar dan kemampuan berhitungnya rendah.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Apakah penggunaan media permainan kartu dapat meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunagrahita ringan kelas IV C SLBN X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas media permainan kartu untuk meningkatkan prestasi belajar matematika anak tunagrahita ringan Kelas IV C SLBN X.

D. Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diambil manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis:
Menambah khasanah ilmu dalam bidang peningkatan kemampuan matematika untuk anak tunagrahita ringan melalui media permainan kartu.
2. Manfaat praktis:
a. Dapat digunakan oleh guru SLB C khususnya dalam pemilihan alat peraga untuk meningkatkan prestasi matematika anak tunagrahita ringan.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi sekolah SLB untuk meningkatkan kualitas pembelajaran terhadap anak tunagrahita ringan khususnya pada pelajaran matematika.
Skripsi Penerapan Alat Peraga Pohon Bilangan Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Pada Siswa Kelas D2 SLB

Skripsi Penerapan Alat Peraga Pohon Bilangan Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Pada Siswa Kelas D2 SLB

(Kode PEND-PLB-0004) : Skripsi Penerapan Alat Peraga Pohon Bilangan Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Pada Siswa Kelas D2 SLB/C X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tujuan umum pendidikan di negara Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan sebagai berikut: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. (UU Sisdiknas, 2003:3)
Selaras dengan tujuan pendidikan nasional tersebut, sekolah diharapkan mampu mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertangung jawab.
Pendidikan harus memanusiakan manusia sesuai hakekatnya, manusia merupakan problem sentral pendidikan. Jadi, bagi anak-anak manusia Indonesia belajar/bersekolah itu adalah kewajiban, termasuk anak berkelainan, yiatu anak tunanetra, tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, dan tuna laras. Keberhasilan proses belajar mengajar ada hubungannya dengan cara guru menyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Oleh karena itu peran guru dalam pembelajaran dapat berpengaruh terhadap kemajuan prestasi belajar siswa.
Kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di sekolah meliputi semua aktivitas yang memberikan materi pelajaran kepada siswa agar siswa mempunyai kecakapan dan pengetahuan memadai yang dapat memberikan bermanfaat bagi perkembangan peserta didik. Dalam proses belajar mengajar matematika selain melibatkan pendidik dan siswa secara langsung, juga diperlukan pendukung yang lain yaitu: alat pelajaran yang memadai, penggunaan metode yang tepat, serta situasi dan kondisi lingkungan yang menunjang.
Prestasi belajar siswa dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari dalam diri siswa sendiri, maupun faktor dari luar berupa metode pembelajaran yang diterapkan oleh guru mata pelajaran. Ngalim Purwanto (2002: 102) menjelaskan, “Ada dua faktor utama yang mempengaruhi belajar yaitu dari dalam (internal) dan dari luar (eksternal). Faktor yang ada pada diri organisme itu sendiri yang disebut faktor individual, dan faktor yang ada di luar individu yang disebut faktor sosial”. Faktor yang termasuk ke dalam faktor individula antara lain: faktor kematangan/pertumbuhan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan faktor pribadi.
Sedangkan yang termasuk faktor sosial antara lain: faktor keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya, alat-alat yang dipergunakan dalam belajar mengajar, lingkungan dan kesempatan yang tersedia, dan motivasi sosial. Di antara faktor di atas, faktor guru dan cara mengajar memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Bagaimana sikap dan kepribadian guru, ”tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru, dan bagaimana guru itu mengajarkan pengetahuan itu kepada peserta didiknya, turut menentukan bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai peserta didik” (Ngalim Purwanto, 2002: 104-105).
Matematika merupakan ilmu mengenai struktur dan hubungan struktur yang telaah adalah struktur mengenai pola, hubungan dan aturan-aturan. Hubunganhubungan tersebut di dalam matematika berbentuk rumus (teorema dan dalil) matematika. Menurut Jujun S. Suriasumantri (1998:191), “matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin disampaikan”. Lambang-lambang matematika bersifat “artifisial”, baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Matematika timbul sebagai hasil pikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses dan penalaran, sehingga dalam mempelajari matematika sangat dibutuhkan pengertian, pemikiran dan pemahaman serta tidak cukup hanya bermodalkan hafalan saja.
Dalam suatu kegiatan belajar mengajar matematika akan menghasilkan keluaran (ouput) yang berkualitas jika didukung oleh pemanfaatan semua komponen yang ada secara maksimal. Dilihat dari komponen-komponen yang ada satu diantaranya adalah penggunaan alat peraga yang tepat. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh guru maupun siswa tentu mempunyai tujuan. Lebih-lebih guru dalam pelaksanaan tugasnya mengajar atau melakukan kegiatan belajar mengajar selalu dan harus berorientasi pada tujuan yang sudah ditentukan. Untuk itu perlu dipikirkan bagaimana penggunaan alat peraga yang sesuai agar dalam waktu yang relatif terbatas dapat tercapai tujuan pendidikan yang diinginkan.
Siswa penyandang tuna grahita memiliki keterbelakangan mental bila dibanding anak normal pada umumnya. Anak tuna grahita mempunyai kecerdasan atau IQ di bawah 84, memiliki keterbatasan dalam hal berfikir, daya ingatnya rendah, sukar berfikir abstrak, daya fantasinya rendah, sehingga mereka mengalami kesulitan belajar termasuk dalam bidang studi matematika yang diakibatkan karena daya ingatnya rendah dan sukar berfikir abstrak.
Dengan adanya sistem pendidikan dan pengajaran anak berkelainan khususnya anak tuna grahita ringan berbeda dengan pendidikan anak normal pada umumnya. ”Untuk anak tuna grahita ringan lebih bersifat individual, fleksibel, dengan cara informal, dan harus bersifat konkrit serta dapat menarik perhatian sehingga membantu mempermudah anak dalam menerima pelajaran” (Mohammad Amin, 1996: 155).
Media pendidikan yang berupa alat peraga bagi anak tuna grahita dapat membantu mempermudah proses belajar mengajar, bahkan Arief S. Sadiman dkk (2003:16-17) mengemukakan bahwa media pendidikan mempunyai kegunaan sebagai berikut:
a) memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka); b) mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indra; dan c) dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif anak didik dalam hal ini media berguna untuk: menimbulkan kegairahan belajar, memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dengan lingkungan, dan memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya.
Alat peraga dapat membantu untuk mengatasi berbagai macam hambatan diantaranya mengurangi sifat verbalisme, mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan tipe belajar murid karena kelemahan di salah satu indra, mengatasi sifat anak pasif menjadi aktif, membantu mengatasi kesulitan guru dalam memberikan pelayanan belajar kepada murid memperingan beban guru, dan mempermudah belajar murid atau siswa. Karena itulah maka dalam pengajaran matematika di SLB/C masih diperlukan alat peraga. Sebagai guru matematika perlu mengetahui macam-macam alat peraga yang dapat dipakai dalam pembelajaran matematika, salah satu alat peraga matematika yang dipakai dalam pembelajaran adalah alat peraga pohon bilangan.
Dengan memahami kebutuhan para siswa tuna grahita, maka guru diharapkan dapat memanfaatkan alat peraga yang tepat bagi siswa tuna grahita yang memiliki keterbatasan dibanding anak normal karena anak tuna grahita memiliki intelektual rendah dengan ciri-ciri: ”(1) keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata, (2) ketidakmampuan dalam perilaku adaptif, dan (3) terjadi selama perkembangan sampai usia 18 tahun” (Salim Choiri dan Munawir Yusuf, XXXX:56). Hal yang perlu dicatat adalah membantu siswa untuk meneliti kebutuhan mana yang secara spesifik menimbulkan masalah, sehingga dengan bantuan media pembelajaran yang tepat, siswa dapat berusaha meningkatkan kreativitas sehingga kemampuan membaca dapat ditingkatkan sesuai dengan kondisi anak, sebagaimana yang dikemukakan (Salim Choiri dan Munawir Yusuf, XXXX:56) bahwa anak tuna grahita memiliki ciri-ciri fisik dan penampilan perkembangan bicara/bahasa terlambat.
Gambaran selintas, guru-guru di SLB/C X dalam praktiknya mereka hampir seluruhnya menerapkan prinsip-prinsip pengajaran konvensional, sehingga masih memerlukan pembenahan. Upaya pembenahan tersebut akan sangat bermanfaat bagi siswa, guru bahkan pihak sekolah. Pembenahan yang harus dilakukan tidak saja berkaitan dengan media pembelajaran namun juga pada aspek media pembelajarannya yang digunakan. Berdasarkan latar belakang dan berbagai pemikiran di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tindakan kelas dengan judul: PENERAPAN ALAT PERAGA POHON BILANGAN UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS D2 SLB/C X TAHUN PELAJARAN XXXX/XXXX.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti telah diuraikan di depan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Apakah penerapan alat peraga pohon bilangan dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas D2 SLB/C X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX?.”

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan alat peraga pohon bilangan terhadap meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas D2 SLB/C X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Untuk membuktikan kebenaran hipotesis tindakan yang telah diajukan dalam penelitian ini dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap dunia pendidikan dalam rangka peningkatan prestasi belajar matematika, sehingga siswa dapat menyelesaikan program pendidikan dengan lancar.
b. Sebagai bahan masukan bagi guru akan pentingnya alat peraga dalam pembelajaran sehingga prestasi belajar matematika dapat ditingkatkan.
c. Sebagai bahan pertimbangan dan acuan bagi penelitian tindakan kelas di masa mendatang.
Skripsi Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Melalui Metode Karyawisata Pada Anak Tuna Grahita Kelas Dasar III SLB-C X

Skripsi Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Melalui Metode Karyawisata Pada Anak Tuna Grahita Kelas Dasar III SLB-C X

(Kode PEND-PLB-0003) : Skripsi Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Ilmu Pengetahuan Alam Melalui Metode Karyawisata Pada Anak Tuna Grahita Kelas Dasar III SLB-C X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kemampuan intelegensi anak tunagrahita ringan berada dibawah rerata normal yaitu IQ : 55-69, seperti dikutip Muljono Abdurahman dan Sudjadi (1994 : 26) ada empat taraf retardasi mental menurut skala intelegensi Wechsler, yaitu “Reterdasi mental ringan (mild mental retardation), IQ 55-69, Retardasi mental sedang (moderate mental retardation) IQ 40-54, Retardasi mental berat (severe mental retardation) IQ 25-39 dan Retardasi mental sangat berat (profound mental retardation) IQ 24-ke bawah”.
Karena keterbatasan tersebut, anak tuna grahita kesulitan dalam menerima pelajaran yang bersifat abstrak, mereka memerlukan pola dan metode belajar khusus, terlebih lagi dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan erat dengan cara mencari tahu tentang alam, sehingga bukan hanya penguasaan pengetahuan yang berupa konsepkonsep, atau prinsipprinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) di SDLB-C diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik tuna grahita untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam penerapannya pada kehidupan seharihari.
Proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) tingkat SDLB-C diarahkan pada pengalaman belajar untuk merancang dan membuat suatu karya melalui penerapan konsep dan kompetensi pekerja ilmiah secara bijaksana, menekankan pada pemberian pengalaman belajar secara langsung dari alam sekitar.
Sehingga pembelajaran IPA sebaiknya dilakukan secara inkuri ilmiah (scientific inquiry), dengan menggunakan metode karyawisata untuk menumbuhkan kemampuan berfikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting dalam kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SDLB-C didasarkan pada pemberdayaan peserta didik untuk membangun kemampuan bekerja ilmiah, dan pengetahuan sendiri yang difasilitasi oleh guru.

B. Perumusan Masalah
Permasalahan yang ada pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di Sekolah Luar Biasa yaitu kurangnya alat peraga yang memadahi serta tidak tepatnya metode pembelajaran yang digunakan sehingga menyebabkan siswa jenuh dan berakibat pada rendahnya prestasi belajar IPA bagi siswa.
Untuk mengatasi permasalahan di atas maka diperlukan alat peraga yang mudah, murah serta dapat dijangkau oleh siswa serta guruu perlu menggunakan metode pengajaran yang tepat dalam proses pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Metode pembelajaran yang tepat dan perlu dimaksimalkan adalah metode karya wisata. Dengan memanfaatkan lingkungan sekolah dan lingkungan sekitar siswa sebagai bahan ajar diharapkan siswa dapat melakukan pengamatan pada obyek asli yang berkaitan langsung dengan materi pembelajaran.
Berawal dari latar belakang masalah tersebut maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah Metode Karya Wisata dapat meningkatkan prestasi belajar Ilmu Pengetahuan Alam anak tuna grahita kelas dasar III SLB-C X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai penulis melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan prestasi belajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) setelah menggunakan metode Karyawisata pada anak tuna grahita kelas Dasar III SLB-C X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah :
a. Manfaat praktis bagi guru dan siswa
Melalui penelitian ini penulis ingin mengembangkan metode Karyawisata guna meningkatkan pelayanan pada anak tuna grahita, khususnya dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam.
b. Manfaat Teoritis
Secara teori manfaat yang akan dicapai melalui penelitian ini, penulis ingin membuktikan bahwa metode karyawisata menjadi salah satu alternatif dalam pembelajaran yang memerlukan obyek asli bagi peserta didik anak tuna grahita.
Skripsi Penggunaan Konsep Ruang Melalui Permainan Bintang Beralih Untuk Meningkatkan Penguasaan Arah Bagi Anak Tunagrahita

Skripsi Penggunaan Konsep Ruang Melalui Permainan Bintang Beralih Untuk Meningkatkan Penguasaan Arah Bagi Anak Tunagrahita

(Kode PEND-PLB-0002) : Skripsi Penggunaan Konsep Ruang Melalui Permainan Bintang Beralih Untuk Meningkatkan Penguasaan Arah Bagi Anak Tunagrahita Di SDLB Negeri X Di Kelas D IV C Tahun Pelajaran XXXX/XXXX

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Istilah Pendidikan Luar Biasa dalam Undang-Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 pasal 32 (Sisdiknas 2003) merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran, baik karena fisik, emosional, mental, social, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Pasal 35 pernyataan umum tentang Hak-hak asasi manusia, menyatakan: “Setiap orang berhak atas taraf hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan diri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, perumahan dan perawatan kesehatan suatu pelayanan sosial yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit cacat, menjadi janda, mencapai usia lanjut atau keadaan lain yang mengakibatkannya kekurangan penghasilan yang berada di luar kekuasaannya”. Hak setiap orang berbeda sesuai dengan kebutuhannya dan setiap kebutuhan manusia diupayakan untuk pemenuhannya. Sebagai contoh: eksesbilitas pelayanan umum (termasuk layanan pendidikan) bagi anak berkelainan adalah hak dan sekaligus kebutuhan yang harus dipenuhi agar hidup mereka lebih berdaya, berbakat dan berderajat.
Anak Tunagrahita mempunyai kemampuan intelektual yang terbatas, yang mengakibatkan mereka mengalami berbagai kesulitan dalam menjalankan kativitas kehidupan sehari-hari. Mereka mengalami hambatan dalam penyesuaian sosial, kepribadian, emosi dan khususnya dalam hal belajar. Salah satu kesulitan anak Tunagrahita dalam penyesuaian sosial seperti memahami konsep ruang, berupa kanan kiri, depan belakang, atas bawah atau lebih dikenal dengan orientasi ruang. Pengetahuan tentang konsep ruang perlu dikuasai oleh anak khususnya dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh untuk mengenakan sepatu, memakai rok bagi perempuan, memakai celana bagi laki-laki, serta memakai singlet atau memakai pakaian dalam lainnya. Semua hal itu harus dipahami anak Tunagrahita, mana yang dimaksud dengan kanan kiri saat memakai sepatu, bagian depan dan belakang ketika mengenakan celana, rok serta memasang singlet. Mereka harus tahu bagian mana yang harus dimasukkan terlebih dahulu, semua itu harus dimiliki anak Tunagrahita melalui proses pembelajaran.
Proses pembelajaran juga akan berjalan dengan baik bila anak mengerti dan paham akan konsep ruang. Anak dengan mudah memahami materi yang diajarkan, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Sebagai contoh penting pembelajaran tentang konsep ruang tersebut pada Bidang Studi Bahasa Indonesia pokok bahasan “Bunyi” dan sub pokok bahasan menentukan arah bunyi, pada pengajaran menulis, sub pokok bahasan Keterampilan Menulis. Untuk itu, pembelejaran tentang konsep ruang perlu diajarkan sejak dini. Sehingga, ketika guru memberi pelajaran yang berhubungan dengan konsep ruang, tidak ada yang mengalami kesulitan, baik kesulitan yang dihadapi anak untuk mengerti materi yang diajarkan atau pun kesulitan yang ditemui guru ketika memberikan penjelasan. Pemberian materi pelajaran diusahakan secara maksimal sesuai dengan kemampuan anak Tunagrahita. Perlu dilakukan pertimbangan dengan memperhatikan karakteristik yang bertujuan untuk tujuan pembelajaran.
Kelemahan perkembangan penggunaan konsep ruang anak Tunagrahita ringan dapat dinyatakan dalam bentuk kekurangan penguasaan arah yaitu arah kanan kiri, depan belakang, atas bawah.
Anak Tunagrahita ringan atau anak mampu didik adalah anak yang mempunyai tingkat IQ berkisar 50-70 sehingga mengalami hambatan dalam kecerdasan dan adaptasi sosialnya, namun mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial dan kemampuan bekerja. (Moh. Amin, 1995:22)
Tingkat pencapaian umur kecerdasan atau umur mentalnya hanya sampai setaraf anak usia Sekolah Dasar Kelas VI (anak umur 12 tahun) dan masih dapat dilatih dalam bidang sosial atau intelektual dalam batas-batas tertentu.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di lapangan tentang anak Tunagrahita kelas D IV C, 4 orang perempuan yaitu Nk, Tm, Ak dan Nl, mereka mengalami masalah dengan konsep ruang, setelah dilakukan assesmen Nk mengalami masalah kanan kiri, depan belakang, serta kurang motivasi dalam belajar. Tm mengalami keraguan konsep atas bawah, depan belakang. Ak mengalami masalah dengan konsep kanan kiri, depan belakang. Nl mengalami masalah dengan konsep atas bawah, depan belakang. Berbagai macam metode telah dilakukan selama ini tetapi hasilnya belum optimal, sehingga proses belajar mengajar tidak berjalan dengan baik dan tujuan pembelajaran tidak tercapai. Guru memberikan metode demonstrasi, mendemonstrasikan sendiri tentang konsep ruang mempergunakan anggota tubuh seperti kepala, tangan, kaki, kemudian metode ceramah memberi penjelasan tentang aeah kanan kiri, atas bawah, depan belakang, anak mengalami kesulitan diam tidak merespon. Saat proses pembelajaran, guru memberikan sesuatu pertanyaan, pertanyaan tersebut diyakini dapat dijawab oleh anak tersebut, seperti: “Siapa yang mau menjawab angkat tangan kanan?”. Mereka akan mengacungkan tangan kanan dan tangan kiri secara bergantian dengan wajah yang tidak gembira, kebanyakan mereka ragu-ragu karena tangan kanan yang dimaksud oleh guru tidak diketahui atau tidak dipahami anak dengan benra. Kemudian Nk yang condong melepas sepatunya dan meletakkan di atas meja, kemudian guru menerangkan bahwa sepatu tidak boleh diletakkan di atas meja, dan guru meminta untuk memindahkan ke bawah meja, anak kelihatan bingung apa yang dimaksud atas dan bawah meja.
Demikian juga saat upacara bendera, saat guru memberikan aba-aba satu langkah ke depan, satu langkah kebelakang, satu langkah ke kiri atau kanan, angkat tangan ke atas turunkan ke bawah lagi, perhatikan ke depan, putar ke belakang, mereka tidak akan merespon sampai ditunjukkan langsung oleh guru.
Mereka juga cenderung suka melakukan sesuka hatinya saja, sehingga mereka saling mendorong dan guru pada akhirnya mendapat kesulitan untuk mengajak belajar kembali.
Permasalahan di atas perlu dicari permasalahannya, bagaimana caranya anak dapat memahami konsep ruang dengan pembelajaran yang menyenangkan, meningkatkan motivasi untuk belajar, mampu mengembangkan kreativitas, mendorong imajinasi, memperkuat daya ingat, menyesuaiakan diri dengan teman, melakukan dengan gembira, perlu dipikirkan pembelajran yang mengatasi permasalahan kehidupan sehari-hari tanpa menyimpang dari tujuan pembelajaran yaitu belajar.
Melalui permainan bintang beralih ini, anak dapat mengekspresikan diri sebebas mungkin dengan gerakan-gerakan yang tidak sulit dilakukan. Permainan menggunakan bentuk benda seperti bintang yang terdiri dari dua warna, hal ini memungkinkan anak bergembira mengambil benda warna, bergerak ke kanan ke kiri, depan belakang, menjangkau ke atas dan meletakkan ke bawah, anak kelihatan bingung apa yang dimaksud atas dan bawah meja.
Demikian juga saat upacara bendera, saat guru memberikan aba-aba satu langkah ke depan, satu langkah ke belakang, satu langkah ke kiri atau kanan, angkat tangan ke atas turunkan ke bawah lagi, perhatikan ke depan putar ke belakang, mereka tidak akan merespon sampai ditunjukkan langsung oleh guru. Mereka juga cenderung suka melakukan sesuka hatinya saja, sehingga mereka saling mendorong dan guru pada akhirnya mendapat kesulitan untuk mengajak belajar kembali.
Permasalahan di atas perlu dicari permasalahannya, bagaimana caranya anak dapat memahami konsep ruang dengan pembelajaran yang menyenangkan, meningkatkan motivasi untuk belajar, mampu mengembangkan kreativitas, mendorong imajinasi, memperkuat daya ingat, menyesuaiakan diri dengan teman, melakukan dengan gembira, perlu dipikirkan pembelajran yang mengatasi permasalahan kehidupan sehari-hari tanpa menyimpang dari tujuan pembelajaran yaitu belajar.
Melalui permainan bintang beralih ini anak dapat mengekspresikan diri sebebas mungkin dengan gerakan-gerakan yang tidak sulit dilakukan. Permainan menggunakan bentuk benda seperti bintang yang terdiri dari dua warna, hal ini memungkinkan anak bergembira mengambil benda warna, bergerak ke kanan ke kiri, depan belakang, menjangkau ke atas dan meletakkan ke bawah. Permainan tersebut dapat dilakukan di dalam atau di luar ruangan, tidak memakai tempat ruang khusus, dilakukan dengan berbagai bentuk gerakan seperti berdiri, berjalan, jongkok, dan meloncat. Melalui permainan ini diharapkan akan dapat menggunakan konsep ruang melalui permainan Bintang Beralih untuk meningkatkan penguasaan arah bagi anak Tunagrahita. Dan melihat latar belakang tersebut, maka penelitian ini diberi judul “Penggunaan Konsep Ruang Melalui Permainan Bintang Beralih Untuk Meningkatkan Penguasaan Arah Bagi Anak Tunagrahita di SDLB Negeri X di Kelas D IV C Tahun Pelajaran XXXX-XXXX”.

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan permasalahan yang dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yakni “Apakah penggunaan konsep ruang melalui permainan bintang beralih dapat meningkatkan penguasaan arah bagi anak Tunagrahita ringan di SDLB Negeri X di Kelas D IV C ?”

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan di atas, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: Untuk mengetahui penggunaan konsep ruang melalui permainan bintang beralih untuk meningkatkan penguasaan arah bagi anak Tunagrahita ringan di SDLB Negeri X di Kelas D IV C Tahun Pelajaran XXXX-XXXX.

D. Manfaat Penelitian
Mengetahui dari hasil konsep ruang maka diperoleh beberapa manfaat penelitian:
1. Manfaat Teoritis
Peneliti mendapatkan bahan pemikiran yang berkaitan dengan proses penguasaan arah kanan kiri, depan belakang, dan atas bawah.
2. Manfaat Praktis
a. Siswa senang dan termotivasi pada pembelajaran konsep ruang untuk meningkatkan penguasaan arah.
b. Upaya menemukan pembelajaran penguasaan arah yang disesuaiakan dengan kebutuhan anak Tunagrahita ringan.
Skripsi Upaya Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Hitungan Bilangan Penjumlahan Melalui Pemanfaatan Alat Peraga Buah-Buahan Bagi Siswa Kelas IV Semester 2 SDLB Tuna Grahita Ringan

Skripsi Upaya Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Hitungan Bilangan Penjumlahan Melalui Pemanfaatan Alat Peraga Buah-Buahan Bagi Siswa Kelas IV Semester 2 SDLB Tuna Grahita Ringan

(Kode PEND-PLB-0001) : Skripsi Upaya Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Hitungan Bilangan Penjumlahan Melalui Pemanfaatan Alat Peraga Buah-Buahan Bagi Siswa Kelas IV Semester 2 SDLB Tuna Grahita Ringan Di SLB-C X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak tuna grahita ringan atau anak mampu didik merupakan salah satu dari anak luar biasa yang kemampuan intelektualnya dibawah rata-rata, kemampuan berfikirnya rendah, perhatian dan daya ingatannya lemah, sukar berfikir abstrak tanggapan cenderung kongkrit visual serta, lekas bosan. Menurut Luban tobing (2001:7), menjelaskan bahwa anak retardasi mental ringan dapat berbahasa, namun sedikit terlambat, sebagian besar menguasai penggunaan bahasa untuk keperluan sehari-hari, melakukan percakapan dan ikut terlibat dalam wawancara klinik. Sebagian besar dari mereka dapat mengurus diri (makan, mandi, berpakaian, buang air besar,buang air kecil) dan dalam kecakapan praktis. Anak tunagrahita ringan mengalami masalah dalam bidang akademik khususnya menulis, membaca dan berhitung. Mereka dapat tertolong dengan pendidikan yang disusun untuk meningkatkan kecakapannya dan mengkompensasikan hambatannya. Mereka lebih mampu bekerja sifatnya praktis dari pada kerja yang sifatnya akademik misalnya bekerja kasar atau setengah kasar.
Menurut Peraturan Pemerintah 72 tahun 1991 dalam Moh. Amin (1995:22), menyebutkan bahwa anak tunagrahita ringan memiliki IQ berkisar antara 50-70 memiliki kemampuan berkembang dalam bidang akademik, penyesuaian sosial dan kemampuan bekerja. Dalam bidang akademik mampu mengikuti pelajaran di SDLB maupun SMLB. Mereka mampu mengikuti pelajaran di sekolah biasa dengan program khusus sesuai dengan berat ringannya ketuna grahitaan yang disandangnya. Anak tuna grahita ringan mampu bersosialisasi dan mandiri di masyarakat. Mereka dapat melakukan pekerjaan semi skill dan pekerjaan sosial sederhana.
Menurut Sunaryo Kartadinata (1996:86) menjelaskan bahwa anak tuna grahita ringan masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Anak tuna grahita ringan dapat menjadi tenaga kerja semi terampil seperti pekerjaan laundry, pertanian, pekerjaan rumah tangga atau bekerja di pabrik dengan sedikit pengawasan. Namun demikian anak terbelakang mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independent. Ia akan membelanjakan uangnya dengan tolol, tidak dapat merencanakan masa depan dan bahkan suka berbuat kesalahan. Pada umumnya anak tuna grahita ringan tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara anak tuna grahita ringan dengan anak normal. Secara fisik anak tuna grahita ringan tidak memiliki hambatan. Dengan demikian kemampuan matematika tuna grahita ringan terbatas pada kemampuan praktis, fungsional yang berkaitan dengan persoalan kemampuan sehari-hari.
Permasalahan utama anak tuna grahita ringan terletak pada masalah mental atau psikis yaitu berkaitan dengan kemampuan intelektualnya dibawah rata-rata, kemampuan berfikir rendah, perhatian dan daya ingatannya lemah, sukar berpikir abstrak, maupun tanggapan yang cenderung konkret visual dan lekas bosan. Mengingat berbagai kondisi atau hambatan yang dialami anak tuna grahita ringan tersebut sangat komplek, maka pendidikan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing. Hal ini tidak terkecuali dalam pembelajaran matematika. Adapun program pembelajaran matematika untuk anak tuna grahita ringan mengacu pada kurikulum yang digunakan saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk kelas IV semester 2 SDLB, khusus tahun XXXX meliputi memahami bilangan dalam pemecahan masalah, menggunakan operasi hitung dalam pemecahan masalah, menggunakan pecahan sederhana dalam pemecahan masalah. Sedangkan geometri dan pengukuran terdiri dari menggunakan konsep keliling bidang data sederhana dalam pemecahan masalah dan menggunakan mata uang dalam kehidupan di lingkungannya.
Upaya untuk meningkatkan kemampuan anak tuna grahita ringan khususnya dalam belajar matematika diperlukan strategi belajar mengajar, media atau alat bantu yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan, karakteristik anak agar pelaksanaan proses belajar mengajar berjalan lebih efektif, efisien, sehingga membawa hasil yang optimal. Berdasarkan pengalaman selama peneliti mengajar anak kelas IV semester 2 SDLB. Tunagrahita ringan di SLB-C X dan diskusi diskusi yang dilakukan pada umumnya ditemukan kesulitan dalam penggunaan operasi penjumlahan bersusun pendek dengan teknik 1 dan 2 kali menyimpan. Hal ini tampak jelas sekali dalam penyelesaian penjumlahan tujuh puluh empat ditambah sembilan puluh tujuh dalam bentuk penjumlahan bersusun pendek, dari bilangan dijumlahkan 4+7 = 11 jumlah ditulis lengkap 11, satu tidak disimpan, atau kadang disimpan tapi simpanan tidak ikut dijumlahkan. Kesalahan lain ditemukan kesalahan menjumlah 4+7 = 10, 10 ditulis semua berarti siswa mengalami kesulitan penjumlahan dengan teknik 1 dan 2 kali menyimpan.
Adapun hambatan khusus yang dialami masing-masing siswa sebagai subyek penelitian adalah sebagai berikut : Siswa ML kesulitan dalam menjumlah (menjumlah dari depan tidak dari satuan), belum mampu menjumlah yang menggunakan teknik penyimpanan. Siswa AR sering keliru dalam menjumlah, sering lupa simpanan tidak ikut dijumlah, sering kacau menjumlahkan diatas hasil 10 kadang hasilnya ditulis semua, kacau dalam membedakan ratusan puluhan. Siswa SW kesulitan dalam membaca ratusan, sering salah menjumlah terutama diatas 11-18 dalam bentuk bersusun pendek.
Permasalahan-permasalahan tersebut perlu segera diatasi agar pelaksanaan pembelajaran berhasil secara optimal. Salah satu cara mengatasi permasalahan dalam hal penjumlahan bersusun pendek dengan teknik 1 dan 2 kali menyimpan. Salah satu cara yang dipakai adalah menggunakan alat "Peraga buah jeruk bilangan". "Jeruk bilangan" yang dimaksud peneliti adalah jeruk Sunkist. Pemilihan jeruk manis ini adalah memanfaatkan alat peraga buah-buahan yang murah, sederhana, menarik, mudah mendapatkannya serta aman. Sebenarnya buah jeruk dapat diganti kelereng atau kethekan namun berbagai pertimbangan peneliti memilih buah jeruk sunkist. "Jeruk manis" yang berfungsi sebagai pengganti angka. Pada dasarnya kelereng dapat juga diganti benda lain misalnya batu kecil, lidi namun dengan pertimbangan keamanan, keselamatan maupun kepraktisan maka dipilih kethekan.
Adapun dipilihnya alat peraga "Buah-buahan" sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran matematika pada anak tuna grahita ringan adalah melalui alat tersebut anak dapat memperoleh pengalaman langsung yaitu anak langsung melakukan sendiri penjumlahan bentuk pendek dengan Kethekan, kethekan sesuai dengan jumlah bilangannya. Dengan pengalaman langsung ini akan selalu terkesan dihati anak. Selain itu, "Alat peraga buah-buahan" bersifat ekonomis artinya media tersebut sangat murah karena hanya memanfaatkan barang-barang bekas dan seandainya membelipun harganya sangat murah. Selain ekonomis media tersebut juga praktis karena mudah dalam mendapatkannya secara aman, maksudnya tidak membahayakan bagi anak.
Berangkat dari berbagai permasalahan di atas serta memiliki kelebihan dari alat peraga "Buah Bilangan", maka peneliti merasa perlu mengadakan penelitihan "Upaya Untuk Meningkatkan Presatasi Belajar Matematika Hitungan Bilangan Penjumlahan Melalui Pemanfaatan Alat Peraga Buah-Buahan Bagi Siswa Kelas IV Semester 2 SDLB Tuna Grahita Ringan di SLB-C X ajaran Tahun XXXX/XXXX.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut :
1. Anak tuna grahita ringan kelas IV semester 2 SDLB SLB-C X mengalami kesulitan dalam hal kemampuan operasi penjumlahan bilangan satuan dengan satuan dengan teknik 1 dan 2 menyimpan.
2. Anak tuna grahita ringan kelas IV Semester 2 SDLB SLB-C X mengalami kesulitan dalam hal kemampuan operasi penjumlahan bilangan puluhan dengan puluhan teknik 1 dan 2 kali menyimpan.
3. Anak tuna grahita ringan kelas IV Semester 2 SDLB kesulitan dalam hal kemampuan operasi penjumlahan bilangan ratusan dengan ratusan dengan teknik 1 dan 2 kali menyimpan.
4. Anak tuna grahita ringan kelas IV semester 2 SDLB sering keliru dalam menjumlahkan.
5. Anak tuna grahita ringan kelas IV SDLB SLB X kesulitan membaca, menulis bilangan puluhan.
6. Kurangnya media dalam pembelajaran matematika dalam hat penjumlahan bentuk pendek.
7. Belum digunakannya alat "peraga buah-buahan" dalam operasi penjumlahan operasi bentuk pendek.
Berdasarkan permasalahan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : "Apakah dengan alat peraga buah-buahan dapat meningkatkan pemahaman konsep penjumlahan bentuk pendek pada anak kelas IV Semester 2 SDLB Tuna Grahita Ringan di SLBC X Tahun Ajaran XXXX/XXXX”.

C. Tujuan Penelitian
Adapaun tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kernampuan operasi penjumlahan bentuk pendek melalui pemanfaatan "alat peraga buah-buahan" pada kelas IV SDLB Tuna Grahita ringan di SLB-C X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Merupakan sumbangan pemikiran dalam pendidikan luar biasa khususnya pengetahuan tentang alat peraga buah-buahan dalam pembelajaran.
b. Sebagai bahan atau referensi awal bagi peneliti yang lain yang ingin mengembangkan pendidikan terutama dalam hal alat peraga.
2. Manfaat Praktis
a) Bagi siswa, sebagai salah satu alternative yang dapat membantu memahami kemampuan operasi penjumlahan bentuk pendek.
b) Bagi guru, sebagai salah satu contoh bentuk alat peraga dalam pembelajaran bagi anak tuna grahita ringan.
c) Bagi sekolah, sebagai masukan bagi pengelola SLB-C X dalam hal meningkatkan mutu pembelajaran di sekolah yang berkaitan dengan alat peraga.
Tesis Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan (P2KP) Di Kecamatan X

Tesis Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan (P2KP) Di Kecamatan X

(Kode STUDPEMBX0022) : Tesis Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan (P2KP) Di Kecamatan X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan fenomena global yang sangat memprihatinkan, bagaimana tidak, dari tahun ke tahun masalah kemiskinan ini tidak kunjung surut bahkan cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat serta menurunnya kondisi perekonomian negara Indonesia.
Kemiskinan merupakan masalah yang pada umumnya dihadapi hampir di semua negara-negara berkembang, terutama negara yang padat penduduknya seperti Indonesia. Dari seminar ke simposium, dari lokakarya ke semiloka, dari model topdown ke model bottom-up, dan variasinya program intervensi, pada akhirnya tetap menyisakan persoalan sepertinya tidak mampu menekan drastis angka kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah bersama yang harus ditanggulangi secara serius, kemiskinan bukanlah masalah pribadi, golongan bahkan pemerintah saja, akan tetapi hal ini merupakan masalah setiap kita warga negara Indonesia. Kepedulian dan kesadaran antar sesama warga diharapkan dapat membantu menekan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) hadir untuk melaksanakan amanah Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) yang menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas mendesak untuk segera ditangani.
Upaya menanggulangi kemiskinan merupakan usaha yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu tertentu. Penanggulangan kemiskinan merupakan suatu proses yang tidak pernah boleh berhenti karena kemiskinan itu sendiri sangat dinamis. Dalam P2KP, masalah kemiskinan dipandang bukan suatu hal yang terjadi dengan sendirinya, melainkan karena sebagai akibat dari suatu kebijakan.
Masalah kemiskinan lebih cenderung merupakan suatu masalah kebijakan politik yang berkaitan dengan masalah kebijakan pembangunan pada umumnya (di segala bidang), baik di level atas maupun di level bawah. Dalam hal kebijakan pembangunan, tampak jelas lemahnya atau ketidakberdayaan posisi masyarakat terutama kelompok masyarakat miskin atau lapis bawah (grass roots) dalam proses pengambilan keputusan.
Bagaimana program pembangunan atau penanggulangan kemiskinan dapat berhasil apabila kebijakan atau sasarannya salah. Sering terlihat kurangnya koordinasi antar program pembangunan, tetapi justru menunjukkan indikasi adanya ego sektoral antar instansi, sehingga program-program tersebut terkesan kurang saling mendukung.
Berbagai program-program intervensi tersebut, dalam kenyataannya cenderung kurang terkoordinasi dan berjalan sendiri-sendiri. Keterkaitan secara keseluruhan sangat lemah, sehingga terkadang memancing terjadinya kebingungan hingga friksifriksi antar stakeholders di daerah. Kondisi ini bahkan dipicu dengan banyaknya program-program dengan jargon pemberdayaan masyarakat dan program sektoral pusat, yang “mem-by pass” (melompati dan tidak menganggap) peran penting pemerintah daerah. Pada masa otonomi daerah, sangat ironis apabila masalah tersebut terjadi, karena di daerah otonomlah sebagai terminal titik koordinasi bertemunya aspirasi dari bawah dan kebijakan dari atas dipertemukan.
Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.
Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif ini dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari program, apakah akan terus berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.
Sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 mengenai program penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah melakukan intervensi percepatan penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Komponen intervensinya mencakup tiga hal yaitu bantuan modal, penyediaan prasarana/sarana, dan pendampingan masyarakat. Bantuan modal didistribusikan sebesar 20 juta rupiah per kelurahan IDT. Merasa tidak cukup, dilengkapi dengan bantuan pembangunan infrastruktur pekelurahanan melalui Pembangunan Prasarana Pendukung Kelurahan Tertinggal (P3DT) dan Program Pembangunan Jalan Poros Kelurahan (P2JPD). Penyediaan tenaga pendampingan disediakan baik untuk IDT maupun P3DT. Ini saja tidak cukup. Oleh karena itu, dengan mulai berakhirnya masa 3 tahun IDT, dikembangkanlah program yang lebih besar untuk mempercepat peningkatan sosial-ekonomi masyarakat di kelurahan (melalui Program Pengembangan Kecamatan atau PPK) dan di perkotaan (melalui P2KP).
Bersamaan dengan itu, dengan pola mirip, dilaksanakanlah program-program lain seperti P2MPD atau Community and Local Government Support, Program dalam Rangka Menanggulangi Dampak Krisis Ekonomi atau PDMDKE, dan yang terakhir adalah Jaring Pengamanan Sosial atau JPS khusus sebagai upaya penanggulangan krisis dan mencegah kemiskinan yang makin membengkak angkanya.
Belajar dari pengalaman pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di masa lalu yang masih memberikan porsi yang sangat besar kepada birokrasi, maka digulirkan intervensi ekstrim Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang melompati jenjang birokrasi peran Pemda. Program ini merupakan kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia melalui pinjaman Loan IDA credit yang merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat di perkotaan. Intervensinya ditekankan pada penciptaan lapangan kerja dan penyediaan dana pinjaman bergulir serta pengembangan prasarana dan sarana dasar lingkungan dengan penyediaan pendampingan pihak Konsultan Manajemen Wilayah dan Fasilitator Kelurahan (KMW dan Faskel).
Program ini memiliki beberapa tujuan, antara lain; pertama, P2KP adalah sebuah program pemberdayaan masyarakat. Utamanya ditujukan bagi masyarakat miskin di daerah perkotaan yang menerima dampak paling berat akibat krisis ekonomi. Dijelaskan pula bukan berarti masyarakat miskin pedesaan tidak diperhatikan. Tetapi masyarakat perkotaan menjadi skala prioritas utama program ini, karena mereka tidak memiliki pilihan lain selain sandaran ekonomi keluarganya. Di sisi lain menurut pemahaman penulis, masyarakat miskin perkotaan karena kondisi dan pengaruh kepentingan tertentu, memiliki peluang besar untuk melakukan gerakan massa guna memperoleh hak-hak dasar mereka. Bahkan yang paling ekstrim sekalipun. Seperti pernah terjadi, terprovokasinya gerakan anarki dalam bentuk penjarahan dan pengrusakan oleh sebagian massa daerah perkotaan sebagai akibat kecemburuan sosial dan ekonomi. Sementara masyarakat pedesaan meskipun memiliki peluang yang sama, tetapi karakter kepribadian dan lingkungan mereka yang saling berbeda, kemungkinan melakukan gerakan massa relatif sangat kecil. Kecuali provokasi bernuansa SARA, yang dilakukan secara sistematis untuk suatu kepentingan politik.
Kedua, program P2KP bukan sekedar program pemberdayaan ekonomi yang bersifat penyelamatan (rescue) atau pemulihan (recovery) yang berjangka pendek seperti program sejenis lainnya. Tetapi lebih merupakan pengentasan kemiskinan (poverty allviation) melalui pemberdayaan masyarakat (community empowerment) secara utuh, simultan, berkelanjutan dan berjangka panjang. Di dalam implementasinya, lebih diutamakan pemberdayaan dan perkuatan kelembagaan di tingkat paling bawah (kelurahan) melalui pendekatan tribina (bina lingkungan, ekonomi dan sosial). Artinya, menurut pemahaman penulis, melalui program P2KP akan digali dan dibangun kembali akan budaya serta kelembagaan tradisional yang kental akan nuansa kebersamaan dan gotong royong. Sebuah tata kehidupan yang penuh dengan nuansa silih asah, silih asih dan silih asuh (saling mendidik, mengasihi, dan membantu).
Ketiga, melalui pemberdayaan dan perkuatan kelembagaan masyarakat diharapkan bisa dikembangkan suatu proses pengorganisasian yang aspiratif, terbuka, adil dan demokratis yang mewakili kelompok usaha dari masyarakat di wilayah sasaran program. Perwujudannya adalah pembentukan kelompok-kelompok keswadayaan masyarakat di tingkat kelurahan dan kelurahan sebagai wadah usaha bersama baik di bidang ekonomi, sosial maupun untuk kegiatan lainnya. Keempat, sebagai stimulan, melalui program P2KP diupayakan dana pinjaman sebesar USD 100 juta (sekitar Rp 800 milyar) dari Bank Dunia guna membantu masyarakat miskin di daerah perkotaan yang tergabung di dalam organisasi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dalam rangka memberdayakan kehidupan mereka baik di bidang ekonomi melalui pengembangan usaha kecil (small scale bussiness), pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana lingkungan serta penyelenggaraan pelatihan sumber daya manusia dan penciptaan lapangan kerja.
Artinya, sekali lagi menurut pemahaman penulis, bantuan dan pinjaman bagi masyarakat miskin bukanlah tujuan utama program P2KP. Dana hanyalah sekedar sarana untuk membangkitkan kesadaran masyarakat sasaran akan pentingnya membangun keberdayaan.
Kelurahan sasaran P2KP di Kecamatan X adalah Kelurahan X dan Kelurahan X, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Kualitas lingkungan perumahan dan permukiman jauh dibawah standar, dan kelayakan mata pencarian yang tidak menentu. Kondisi ini diperlukan perbaikan di segala sektor kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjang dengan kondisi masyarakat miskin Kelurahan X pada tahun 2006 dengan jumlah penduduk 9.624 jiwa, atau 279 rumah tangga miskin. Pada tahun yang sama, jumlah penduduk di Kelurahan X 23.342 jiwa atau 721 rumah tangga miskin.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang telah dilaksanakan di Kecamatan X.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan X.”

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Implementasi P2KP pada daerah penerima program tersebut.
b. Manfaat dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan P2KP di Kecamatan X.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap teori-teori dan konsep-konsep tentang efektivitas implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan kemiskinan.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun stakeholder lainnya terhadap implementasi P2KP pada keluarga miskin.
Tesis Hubungan Kemampuan Manajerial Aparat Pemerintah Desa Dengan Pembangunan Desa (Studi Pada Desa-Desa Di Kecamatan X Kabupaten X Propinsi X)

Tesis Hubungan Kemampuan Manajerial Aparat Pemerintah Desa Dengan Pembangunan Desa (Studi Pada Desa-Desa Di Kecamatan X Kabupaten X Propinsi X)

(Kode STUDPEMBX0021) : Tesis Hubungan Kemampuan Manajerial Aparat Pemerintah Desa Dengan Pembangunan Desa (Studi Pada Desa-Desa Di Kecamatan X Kabupaten X Propinsi X)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, semakin menguatkan posisi daerah dalam upaya meningkatkan kemampuan di segala bidang, karena semua yang menyangkut kemajuan daerah diserahkan pengelolaan sepenuhnya kepada daerah, terutama Kabupaten dan Kota sebagai titik berat otonomi daerah.
UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah secara normatif mengatur tentang desa sebagai unit organisasi pemerintah terendah, yang sebelumnya pada UU No. 5 Tahun 1979 bercorak sentralistik. Pergeseran perubahan yang menonjol pada UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004, terletak pada filosofi yang digunakan, yaitu keanekaragaman dalam kesatuan sebagai kontra konsep dari filosofi keseragaman yang digunakan dalam UU No. 5 Tahun 1979.
Dalam kerangka otonomi daerah, salah satu komponen yang masih perlu dikembangkan adalah wilayah pedesaan. Eksistensi desa memiliki arti penting dalam proses pembangunan pemerintahan dan kemasyarakatan, karena desa memiliki “hak otonomi”, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus secara bebas rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan adat istiadat masyarakat setempat. Dengan demikian, pembangunan pedesaan menuju terciptanya desa yang mandiri tidak dapat dilakukan secara uniform dan stereotifikal untuk seluruh bangsa/negara.
Merujuk pada konsep pengembangan development from bellow, yang menekankan proses penyelenggaraan pembangunan pada optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dan keahlian setempat, maka konsepsi pembangunan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk. Hal ini berarti surplus wilayah dikembalikan ke wilayah untuk mendiversifikasi ekonomi wilayah. Meskipun konsep wilayah lebih luas maknanya dibanding definisi desa, pusat perhatian konsep ini tetap menekankan pada elemen terkecil suatu wilayah untuk mengembangkan ekonomi wilayah yang lebih luas, dimana desa merupakan elemen terkecil dari sistem wilayah. Salah satu bentuk dari aplikasi konsep development from bellow adalah agropolitan development, sebagai konsep pembangunan wilayah yang memiliki basis perekonomian pertanian. Prasyarat yang dibutuhkan dalam implementasi konsep pembangunan ini adalah sistem pemerintahan yang demokratis dan tidak terlalu sentralistik. Prasyarat tersebut sejalan dengan apa yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, terutama di era otonomi daerah seiring dengan pemberlakuan UU No. 32 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Untuk mewujudkan kemandirian pelaksanaan pembangunan yang berbasis pada wilayah pedesaan, dituntut keterlibatan sosiokultural yang ada dalam masyarakat. Hal ini semakin membuka peluang bagi masyarakat desa untuk memanfaatkan nilai-nilai budaya serta pranata sosial setempat demi mewujudkan keberhasilan pembangunan di desanya masing-masing. Melalui otonomi desa, terbuka kesempatan yang luas untuk mengetahui sumber daya, masalah, kendala serta memperbesar akses setiap warga desa untuk berhubungan langsung dengan pemimpinnya, atau sebaliknya bagi pemimpin dapat mengetahui kebutuhan desa secara tepat. Pembangunan desa dengan demikian merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dari masyarakat, oleh masyarakat serta untuk masyarakat desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf kehidupan yang layak.
Karakteristik pembangunan desa memiliki sifat yang multidimensional menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat di desa. Dari sudut pemerintahan, pembangunan desa dioperasionalisasikan melalui berbagai sektor dan program yang saling terkait dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat dengan bantuan dan bimbingan pemerintah. Pada realitasnya, mayarakat desa sampai saat ini tetap memiliki berbagai keterbatasan sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, maupun sumber daya modal. Kerjasama yang dibangun antara pemerintah dengan mayarakat akan menciptakan pola hubungan yang serasi dalam proses pelaksanaan pembangunan di pedesaan.
Pembangunan pedesaan, identik dengan pembangunan di sektor pertanian, karena sebagian besar mata pencaharian penduduk bergerak di sektor pertanian, meskipun dalam prakteknya di lapangan, karakteristik budaya masyarakat pedesaan di Indonesia sangat beragam. Mubyarto (2000), membagi tipologi desa berdasarkan mata pencahariannya, yakni desa persawahan, desa perkebunan, desa perternakan, desa industri kecil dan menengah, desa jasa dan perdagangan, serta desa perladangan. Fenomena yang sama juga dijumpai di wilayah Kabupaten X. Berdasarkan data statistik, wilayah Kecamatan X yang menjadi lokasi penelitian, sebagian besar masyarakatnya bergerak di sektor pertanian, yakni terdapat sekitar 41,72% (BPS Kecamatan X dalam Angka, 2007:19).
Secara tradisional, peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi dipandang pasif dan bahkan hanya dianggap sebagai unsur penunjang semata (Todaro, 1998:432). Fenomena ini dijumpai dalam sejarah pembangunan di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru, yang menjadikan sektor pertanian sebagai sektor pendukung proses industrialisasi. Peranan sektor pertanian dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan sumber bahan baku murah demi perkembangan sektor-sektor industri yang diharapkan mampu mengejar ketertinggalan ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia. Akibat dari marginalisasi konsep pembangunan wilayah pedesaan selama pemerintahan Orde Baru, menimbulkan berbagai masalah bagi masyarakat desa yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Beberapa persoalan yang dihadapi masyarakat di pedesaan antara lain kurangnya sarana dan prasarana, banyaknya pengangguran, kualitas gizi yang masih rendah, aparatur desa belum berfungsi dengan baik, lokasi desa yang terisolisasi dan terpencar, keterampilan penduduk yang rendah, tidak seimbangnya antara jumlah penduduk dengan luas wilayah pertanian, kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, ketidakseimbangan struktural ataupun keterbalakangan pendidikan dan lain sebagainya.
Hal menonjol dilihat dari aspek pemerintahan adalah pelaksanaan organisasi pemerintahan desa yang belum secara optimal berjalan dengan baik, sehingga pertumbuhan dan perubahan sosial di desa relatif lambat, bahkan kemacetan sistem tidak dapat dihindarkan. Untuk melakukan perubahan sosial masyarakat desa, dibutuhkan perencanaan yang baik dalam pembangunan desa yang mampu mengangkat serta mengembangkan potensi lokal masyarakat di pedesaan.
Dalam perencanaan pembangunan desa, pemerintah desa dalam hal ini Kepala Desa mempunyai peran penting dan strategi dalam perencanaan bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam UU No. 32 Tahun 2004, memungkinkan setiap desa memiliki sebuah lembaga yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Lembaga ini bisa berupa lembaga adat atau lembaga kemasyarakatan desa yang ditetapkan dengan peraturan desa. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999, disebutkan bahwa lembaga kemasyarakatan ini merupakan mitra pemerintah desa dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan yang bertumpu pada masyarakat.
Konsep perencanaan pembangunan di wilayah pedesaan menjadi demikian penting, karena akan menentukan arah pembangunan di suatu desa. Selain itu, menjadi kewajiban pemerintah desa untuk menampung aspirasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa. Aspirasi masyarakat dapat ditampung dengan cara melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses perencanaan pembangunan desa bersama pemerintah desa, yaitu Kepala Desa beserta perangkatperangkatnya.
Untuk mencapai hasil maksimal pembangunan, dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga selesainya pembangunan, yang kata kuncinya diperlukan pengelolaan secara sistematik. Dalam konteks ini, sistem manajemen pemerintahan sebagai perangkat integral dan melekat dengan pengelolaan pembangunan desa berfungsi untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan itu, aspek kemampuan aparat pemerintahan desa sebagai penentu dan penyelenggara menajemen pemerintahan desa harus dapat menciptakan nilai keadilan dalam proses pembangunan desa. Nilai keadilan itu berkaitan dengan pemenuhan hal-hak warga negara yang harus terlayani secara menyeluruh oleh pemerintah desa. Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan pembangunan desa dibutuhkan kemampuan manajerial aparat pemerintah desa yang handal dalam usaha memberikan kepuasan bagi masyarakat melalui pelaksanaan pembangunan desa sesuai tujuan keberadaan institusi pemerintahan sebagai organisasi publik.
Secara empirik penerapan fungsi-fungsi manajemen pemerintahan pada desa-desa di wilayah Kecamatan X, belum berjalan secara optimal. Fenomena ini dapat dilihat dari pembuatan Daftar Usulan Rencana Proyek (DURP) yang seharusnya direncanakan oleh pemerintah desa dan BPD atas usul masyarakat desa, ternyata hanya dibuat oleh Kepala Desa dan aparat kecamatan. Proses pelaksanaan pembangunan juga tidak mengikutsertakan masyarakat. Pelaksana kegiatan dilakukan Kepala Desa dan aparat kecamatan tanpa mempertimbangkan aspek kepentingan masyarakat desa. Begitu pula pada aspek pengawasan hasil pembangunan, tidak pernah diperiksa oleh BPD, tetapi diperiksa oleh pihak kecamatan. Dengan demikian sejauh ini pelaksanaan pembangunan desa masih didasarkan atas kemauan dan keinginan Kepala Desa dan pihak kecamatan, belum atas dasar pertimbangan keinginan dan kemauan masyarakat desa.
Fenomena di atas menguatkan asumsi bahwa kemampuan manejerial aparat pemerintah desa dalam mengelola manajemen permintahan desa masih sangat rendah, bahkan aktivitas manajemen tidak dilaksanakan oleh aparat pemerintah desa. Kondisi ini, dapat menyebabkan kualitas pengelolaan manajemen pemerintah desa yang menunjang keberhasilan pembangunan desa menjadi rendah. Padahal pembangunan desa yang merupakan keterpaduan antar berbagai kebijakan pemerintah dengan partisipasi serta swadaya gotong-royong masyarakat, perlu didukung dengan kemampuan aparatur pemerintah dalam menciptakan iklim keterpaduan yang serasi dan berkesinambungan dalam memanfaatkan segala sumber daya di desa untuk didayagunakan dalam pelaksanaan program pembangunan desa.
Dalam kaitan itu, implikasi tingkat keberhasilan pembangunan desa, yang diukur dari tingkat taraf hidup masyarakat, ternyata masih sangat rendah. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa juga terlihat sangat rendah serta kurangnya kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri dalam menjaga dan melestarikan hasil-hasil pembangunan desa. Atas dasar kondisi objektif di atas, salah satu kunci keberhasilan organisasi pemerintah desa dalam melaksanakan pembangunan desa, terletak pada kemampuan manajerial aparat pemerintah desa. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seberapa besar hubungan kemampuan manajerial aparat pemerintah desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah pokok penelitian ini adalah "apakah terdapat hubungan antara kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X?". Secara rinci yang menjadi masalah penelitian ini diuraikan dalam poin-poin pertanyaan berikut:
1. Bagaimana kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa di Kecamatan X Kabupaten X?
2. Bagaimana tingkat pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X?
3. Apakah terdapat hubungan kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui, menjelaskan dan menganalisis hubungan antara kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X. Secara rinci tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tingkat kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Untuk mendeskripsikan tingkat pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X.
3. Untuk menjelaskan dan menganalisis hubungan kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X.

1.4 Kegunaan Penelitian
1. Secara akademis, hasil penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam studi pembangunan dan pemerintahan di wilayah pedesaan yang mandiri dan mempertimbangkan kualitas taraf hidup masyarakat.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten X, dalam meningkatkan kinerja aparatur pemerintahan desa melalui kemampuan manajerial dalam menunjang pembangunan desa.
3. Hasil penelitian ini juga berguna bagi para peneliti yang berminat pada kajian sejenis.