Search This Blog

Tesis Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota X)

Tesis Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota X)

(Kode STUDPEMBX0008) : Tesis Strategi Efisiensi Birokrasi Pemerintah Daerah (Studi Kasus Di Kota X)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kebutuhan akan pemerintahan yang efektif adalah suatu keniscayaan bagi tiap masyarakat/negara, apapun model, bentuk negara dan ideologi yang diadopsi dan bagaimanapun cara mereka memandang sejauh mana batas keterlibatan atau peran pemerintah dalam menangani urusan-urusan rakyatnya, terutama untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat.
Dalam kacamata pembangunan sosial sebagai suatu pendekatan, cara pandang perspektif institusional (institutional perspective), yang berupaya untuk memobilisir berbagai institusi sosial termasuk pasar, masyarakat dan pemerintah/negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, manempatkan peran pemerintah di jajaran terdepan. Posisi pemerintah yang memiliki peran yang besar tersebut juga semakin menunjukkan urgensi terhadap pemerintah yang efektif baik dalam memobilisir berbagai institusi sosial maupun menjalankan fungsi utamanya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Loughlin, pemerintahan yang efektif dalam wacana politik dan pemerintahan dicirikan salah satunya adalah bersifat desentralistik, bukan yang sentralistik berlebihan. Ini disebabkan adanya kekhawatiran bahwa sentralisasi kekuasaan cenderung akan menimbulkan tirani. Maka di sini dibutuhkan adanya pemerintahan daerah (berdasar azas desentralisasi) yang juga berperan sebagai alat untuk mengakomodasikan pluralitas di dalam suatu negara modern.
Keberadaan/pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi pada hakekatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam pemerintahan (Sarundajang, 2001:5). Dalam konteks pelayanan sebagai salah satu fungsi hakiki pemerintahan, pelaksanaan asas desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah dapat membuat penyediaan pelayanan publik juga menjadi lebih efektif dan efisien. Hal ini menurut Rondinelli dalam Kurniawan dapat terjadi terutama karena melalui otonomi terjadi optimalisasi hirarkhi dalam penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh institusi yang merniliki kedudukan lebih dekat dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah dibuat; juga karena adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi yang ada di tingkat lokal sehingga alokasi anggaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya.
Kondisi ideal tersebut tampaknya masih cukup sulit untuk diwujudkan di Indonesia karena sejumlah alasan. Salah satu determinan yang menjadi sorotan oleh berbagai kalangan adalah bahwa birokrasi peninggalan orde baru yang cenderung lemah dan lamban, akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kondisi yang demikian, maksud penyelenggaran otonomi daerah (penyediaan pelayanan yang efektif dan efisien. serta pemerintahan yang efisien, inovatif) yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat tentu akan sukar dicapai.

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Angka tersebut di atas tergolong cukup tinggi dan mengkhawatirkan, mengingat masalah pendidikan adalah unsur yang sangat menentukan kemajuan bangsa di samping sebagai salah satu tolok ukur tingkat kesejahteraan tentunya. ironisnya hal tersebut masih terjadi, padahal sejak tahun 2003 melalui UU SPN (Sistem Pendidikan Nasional) No 20/2003 sudah ditetapkan alokasi dana minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Kenyataannya hal itu belum terpenuhi di tingkat nasional dan juga di daerah-daerah.
Ketidakmampuan tersebut di atas, sebabnya cukup beragam untuk masing masing daerah. Ada yang memang karena kemampuan daerah yang sangat minim, tapi tidak jarang pula karena faktor birokrasi pemerintahannya yang bermasalah. Daerah tersebut sebenarnya punya kemampuan (karena kekayaan sumber daya alamnya misalnya), tetapi karena kesalahan skala prioritas (dengan melaksanakan program mercusuar, rumah dinas yang mewah dll), inefisiensi, korupsi dan lain sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Lusk sebagai penghalang upaya-upaya pembangunan sosial dengan merujuk pada kondisi inefisiensi birokrasi (bureaucratic inefficiency), peraturan/perundang-undangan yang berbelit-belit (complex rules and regulations) dan korupsi pemerintahan (political corruption) di Amerika Latin.
Problem yang dihadapi di negeri ini dapat dikatakan relatif sama. Birokrasi Indonesia dan negara-negara berkembang saat ini oleh Prasojo digambarkan sebagai sesuatu yang berat, lambat, tidak kreatif dan tidak sensitif terhadap publik. Islamy menilai birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat negara patrimonialistik tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing). tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum. tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Penilaian lain juga mengungkapkan, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah "parkinsonian" dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi dan kebutuhan, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya birokrasi "orwellian" yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.
Seorang konsultan manajemen organisasi bisnis dan publik sempat mengamati perilaku pegawai birokrasi (pemerintahan) di salah satu propinsi kawasan Indonesia Timur. Sebagian pegawai datang pukul delapan untuk absen, setengah jam kemudian pergi ke warung kopi sampai pukul satu, kemudian kembali ke kantor dan pukul dua ia sudah menghilang. Ketika berdialog dengan pimpinan mereka, sang Gubernur langsung mengeluhkan "saya tidak tahu bagaimana caranya agar birokrasi di tempat saya, bisa melayani rakyat lebih baik lagi. Saya tidak mau ada filsafat "kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat" katanya. Dalam kondisi yang seperti ini, berbicara peningkatan produktivitas kerja, pelayanan prima akan terkesan terlalu dini.
Berbagai "penyakit' pun seakan tak pernah lekang dari tubuh birokrasi. Fenomena ini belakangan sering disebut dengan istilah patologi birokrasi (penyakit birokrasi). Siagian mencirikan kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku birokrasi dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan. tindakan melanggar hukum keperilakuan, dan adanya situasi internal. Kategorisasi yang terdiri dari 5 poin itu, bila dirinci bisa melahirkan puluhan penyakit birokrasi, seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, mempertahankan status quo, penipuan, tidak peduli kritik/saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, kurangnya komitmen, kurangnya kreativitas dan eksperimentasi. Kurangnya visi yang imajinatif, nepotisme. patronase, keengganan mendelegasikan, ritualisme, xenophobia, ketidakmampuan belajar dan berkembang, pura-pura sibuk, cara kerja legalistik, tidak disiplin dan pertentangan kepentingan, kurangnya prakarsa, ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, penggemukan pembiayaan, korupsi kontrak fiktif, bertindak sewenang-wenang. kaku, tidak peka, tidak peduli mutu kinerja, tanggung jawab rendah, kerja berbelit-belit, kerja asal jadi, tidak profesionaI, pemborosan, ketidak tepatan sasaran dan tujuan, pengangguran terselubung, terlalu banyak pegawai, sarana dan prasarana yang tidak tepat, dan masih banyak jenis penyakit birokrasi lainnya (Siagian, 1994:35-145).
Munculnya ekonomi biaya tinggi, yang membuat rakyat terbebani. Juga dituduh bertanggung jawab dalam munculnya "mentalitas birokrasi" yang diidentikkan dengan pola perilaku 4-D: duduk, datang, diam dan (dapat) duit. Bahkan birokrasi juga dituduh sebagai penyebab menyebarnya kultur negatif, aji mumpung, korupsi dan sebagainya. Pada birokrasi melekat stigma kaku, reaktif, inefisien. Jauh dari bayangan ideal Weber tiga abad silam, yang sampai abad keduapuluh birokrasi dipercaya sebagai satu-satunya organisasi yang bisa mengatur mekanisme pemerintahan secara efisien.
Keburukan birokrasi memang sudah begitu jelasnya dan telah menjadi gejala yang sangat merata. Mempersoalkannya tidak lagi dirasakan sebagai kritik keilmuan dan tidak mesti datang dari seorang pakar. Kesan negatif terhadap birokrasi meluas menjadi pemahaman umum bagi masyarakat yaitu bahwa birokrasi adalah representasi organisasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan, serta rantai hirarkhi komando, tidak lagi berjalan baik. Birokrasi menjadi bengkak, boros dan tidak efektif.
Saat ini kesadaran terhadap problem yang melekat pada birokrasi akhirnya mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa harus ada "sesuatu" untuk memperbaiki kebobrokan birokrasi sebagai organisasi publik. Sesuatu itu adalah "perubahan/pembaharuan”. Dalam wacana akademik maupun praktisi muncul istilah-istilah seperti reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi manajemen sektor publik dan lain sebagainya. Walaupun latar belakang lahirnya dan definisi-definisi tersebut tidak sama persis, namun mempunyai titik temu pada upaya pembenahan pengelolaan sektor publik secara lebih baik, lebih profesional.
Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai istilah, misalnya dengan nama “managerialism" oleh Pollitt, "new public management” oleh Hood, "market based public administration" oleh Lan dan Rosenbloom, dan "entrepreneurial government/reinventing government" oleh Osborn dan Gaebler. Apapun istilah yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan "process" menuju ke "product', atau dari "rule governance" menuju ke "goal governance", yang pada pelaksanaannya membutuhkan paradigma baru, inovasi, perubahan struktur, kreativitas, tekad/keberanian, efisiensi tinggi, kecepatan, fleksibelitas, optimisme, kegigihan dan lain sebagainya berupa nilai-nilai yang sebelumnya dianggap hanya milik organisasi bisnis dan para entrepreneur.
Dalam konteks Indonesia, upaya perbaikan citra/pembenahan birokrasi yang telah mengalami "distorsi" memang sudah mulai dilakukan. Reformasi 1998 dan otonomi daerah dalam hal ini menduduki peranan yang strategis. Otonomi daerah di Indonesia dapat dikatakan buah dari reformasi sekaligus salah satu wadah dari reformasi birokrasi. Keberadaan reformasi birokrasi sendiri sudah merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi demi tercapainya apa yang biasa disebut good governance. Arus good governance ini menjadi penting sebagai salah satu aspek reformasi Yang dituntut oleh masyarakat yang memiliki makna mencakup transparansi pengelolaan negara, akuntabilitas terhadap publik dan masyarakat yang partisipatif terhadap kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk dari tata kelola pemerintahan yang baik.
Pelaksanaan otonomi daerah idealnya akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community).
Kecenderungan peningkatan kecerdasan masyarakat dan banyaknya tuntutan yang mereka serukan akan menjadi pressure bagi pemerintah. Yang ditujukan tentu adanya optimalisasi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pelayanan publik yang optimal akan mustahil tercapai tanpa adanya organisasi pemerintah daerah yang bekerja secara profesional dan efisien serta memiliki sumber daya aparatur yang memiliki jiwa kewirausahaan. Ini mutlak dibutuhkan mengingat sumber daya terbatas (dana, personal, peralatan) sementara tuntutan akan out put tetap maksimal. Hal ini juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya agar ditengah gelombang tekanan politik (political pressures) domestik maupun luar negeri kesulitan anggaran dan keuangan (fiscal pressures), pemerintah dan pemerintah daerah bisa terhindar dari keterpurukan dan kebangkrutan.
Hal tersebut memang bukan persoalan mudah. Namun, secara teoritik, salah satu prasyarat penting agar birokrasi pemerintah dapat mendinamisasikan dirinya ialah dengan cara mentransfomasikan diri dari birokrasi yang kaku menjadi organisasi pemerintahan yang strukturnya desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif.
Setelah pelaksanaan otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah terbukti telah membentuk sistem birokrasi yang lebih mudah bagi pelayanan publik. Dalam beberapa daerah studi, hal ini menghasilkan rasionalisasi tata kerja, jam kerja dan transparansi yang lebih besar. Penyederhanaan ini khususnya muncul dalam kasus pemberian ijin. Pelayanan ini menjadi lebih mudah dan lebih efisien, dan dilakukan dalam satu atap. Pemerintah pusat juga mendorong Pemkab dan Pemko untuk mengembangkan sistem pelayanan satu atap atau Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) untuk tujuan ini. Se!ain itu, rasionalisasi pada divisi tenaga kerja menghasilkan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab administratif yang lebih besar.
Selama beberapa tahun terakhir ini semenjak diberlakukannya otonomi (mulai dari UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah sampai sekarang setelah keluar UU No. 32/2004), kita mulai melihat adanya nuansa baru dalam praktek pemerintahan di daerah yang menangkap bola otonomi melalui program-program inovatif dan terobosan-terobosan baru yang di era orde baru hampir tidak pernah terdengar. Kita dapat mengetahui sejumlah inovasi program yang telah dan sedang dilakukan oleh sejumlah pemerintah daerah. Sebut saja inovasi program yang dilakukan oleh Pemerintah Pemko Banjarnegara melalui Pembenahan Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banjarnegara dan Tabanan, Pemko Deli Serdang melalui Pembentukan LEPP-M3 (Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina) sebagai upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir serta melalui Pengembangan Kerjasama Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Saluran Irigasi yang Partisipatif. Pemko Gianyar melalui Program Gianyar Sejahtera (PGS) dan Pemko Sumba Timur dengan Pelatihan Aparatur Pemerintahan Desa (Apkasi, 2003 dalam Prasojo, Dkk, 2004:2).
Daerah lain yang juga punya prestasi yang tidak kalah menariknya seperti Sragen. Pemko Sragen beberapa waktu sempat memperoleh penghargaan sebagai daerah dengan iklim investasi terbaik se-Jawa Tengah. Predikat iklim investasi terbaik yang disandang oleh Pemko Sragen tidak lepas dari upaya efisiensi birokrasi, kecepatan, kepastian dan faktor keamanan. Upaya Pemerintah Pemko Sragen untuk menarik investasi di antaranya adalah penyediaan informasi daerah. dan pelayanan one stop sevice (OSS), kemudahan, jaminan keamanan dan dukungan sarana prasarana.
Pemko Kudus belakangan juga menjadi sorotan para Walikota-waIikota. Para Walikota tersebut ingin belajar dari Pemko Kudus. Walikota Kudus dengan pola pelayanan izin satu pintunya mampu mendongkrak investasi di daerahnya hingga mencapai 250%. Oleh karenanya, tidak heran bila Walikota Kudus mendapatkan. "Pemuda Award 2005", karena prestasinya di bidang ini.
Hal yang sama juga terjadi di Sragen, Walikota Sragen menempuh pola Yang tak kalah inovatif, memberikan pelayanan tanpa dipungut biaya bagi IKM/UKM pemula. Langkah Walikota Sragen. tersebut bukan tanpa tantangan, karena ia harus menghadapi kepentingan banyak lembaga birokrasi yang sudah mendapat kenyamanan karena eksklusivisme dan egosektoralnya selama ini, dan untuk itu perlu keberanian dan komitmen besar untuk menatanya secara terpadu. Dampaknya pun langsung terlihat, karena dengan pelayanan satu pintunya, Walikota Sragen mampu menumbuhkan wirausahawan baru secara sangat signifikan di daerahnya sampai 700% pada Tahun 2004. Dampak ikutannya adalah peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sragen yang signifikan. Maka tak ketinggalan Walikota lain di Jawa Tengah seperti Walikota Wonosobo, Banjarnegara, dan Purbalingga. ikut merevolusi pelayanan publiknya dengan pola yang sama.
Satu lagi daerah yang belakangan ini sering menjadi perbincangan di era otonomi daerah adalah Pemerintah Kota X. Hal ini dikarenakan sejumlah program inovasi yang digulirkan oleh Pemerintah Kota X yang terbukti mampu mengangkat derajat perekonomian dan kehidupan masyarakatnya.
Persoalan yang terjadi selama ini dalam konteks kesejahteraan rakyat adalah kemampuan keuangan atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) suatu daerah yang tinggi tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakatnya. Daerah-daerah yang tergolong "sedang" juga menghadapi problem yang sama., apalagi daerah-daerah yang tergolong" miskin", yang merasa lebih tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakatnya. Hal yang sering terjadi, anggaran dana yang tersedia setiap tahunnya sebagian besar terserap hanya untuk kebutuhan operasional birokrasi pemerintah daerah. Tidak banyak pemerintah daerah yang dapat memberikan pelayanan optimal terhadap hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya dengan alasan tidak tersedianya dana untuk itu. Padahal persoalan yang sesungguhnya bisa jadi bukan pada jumlah dana yang sedikit, tapi bagaimana pengelolaan dana/sumber daya tersebut dapat dilakukan secare efisien.
Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.

1.2. Permasalahan
Dari pemaparan di atas tampak bahwa otonomi telah membawa angin baru dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Persoalan distorsi birokrasi yang sebenarnya adalah masalah klasik sudah seharusnya segera diselesaikan dengan semangat reformasi birokrasi, diiringi optimisme, inovasi, serta keberanian untuk melakukan perubahan.
Otonomi daerah adalah momen yang tepat. Kewenangan luas yang diberikan kepada daerah memberi kesempatan besar untuk melakukan banyak hal, tentu di tengah berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan yang muncul yang merupakan implikasi dari penerapan otonomi itu sendiri.
Daerah-daerah menghadapi keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota X yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama dengan daerah !ain.
Sejauh ini telah diketahui melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya (Prasojo dkk, 2004) bahwa kata kunci keberhasilan berbagai program di atas dari sisi pemerintah daerahnya adalah penerapan pola efisiensi birokrasi secara ketat di segala bidang. Mengingat efisiensi adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilaksanakan, maka peneliti tertarik untuk mendalami seperti apa strategi efisiensi yang dilakukan dan apa saja kendalanya. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan strategi efisiensi tersebut?
3. Bagaimana peran kebijakan strategi efisiensi terhadap kesejahteraan rakyat di X?

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, ada tiga tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yakni:
1. Menggambarkan strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan dalam pelaksanaan program program inovatif.
2. Menggali dan mendiskripsikan faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan strategi efisiensi tersebut.
3. Mengetahui peran strategi efisiensi yang dilakukan terhadap pelayanan publik dan program peningkatan kesejateraan rakyat X.

1.4. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi pada pengembangan kajian di Bidang Otonomi dan Pemerintahan Lokal yang merupakan objek bahasan utama dalam konsentrasi Otonomi dan Pembangunan Lokal dan juga dalam kajian pembangunan sosial, di mana seperti yang dikatakan Lusk dalam Midgley bahwa birokrasi yang inefisien merupakan salah satu penghalang upaya-upaya pembangunan sosial. Selain itu dalam rangka menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penelitian ilmiah di Bidang Pemerintahan Lokal.
Tesis Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Dan Faktor-Faktor Manajerial Yang Mempengaruhinya Di Kota X

Tesis Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Dan Faktor-Faktor Manajerial Yang Mempengaruhinya Di Kota X

(Kode STUDPEMBX0007) : Tesis Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Dan Faktor-Faktor Manajerial Yang Mempengaruhinya Di Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pelayanan menjadi suatu hal yang sangat penting untuk kita telusuri perkembangannya mengingat dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Berlakunya peraturan tersebut akan mengakibatkan interaksi antara aparat Daerah dan masyarakat menjadi lebih intens. Hal ini ditambah dengan semakin kuatnya tuntutan demokratisasi dan pengakuan akan hak-hak asasi manusia akan melahirkan tuntutan terhadap manajemen pelayanan yang berkualitas.
Peran pemerintah Daerah dalam pelayanan perizinan mungkin yang terbesar dalam pengertian interaksinya secara langsung dengan masyarakat sebagai penyedia pelayanan. Kepentingan pemerintah Daerah terhadap pelayanan perizinan mempengaruhi pendapatan dan iklim investasi Daerah. Kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi serta penerbitan izin menurut undang-undang dan peraturan yang berlaku. Namun untuk mencegah terjadinya pungutan pajak dan retribusi yang berlebihan serta perizinan yang menghambat telah ditetapkan melalui Peraturan Daerah.
Ruang lingkup pelayanan dan jasa-jasa publik (public services) meliputi aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas. Pelayanan dan jasa publik bahkan dimulai sejak seseorang dalam kandungan ketika diperiksa oleh dokter pemerintah atau dokter yang dididik di universitas negeri, mengurus akta kelahiran, menempuh pendidikan di universitas negeri, menikmati bahan makanan yang pasarnya dikelola oleh pemerintah, menempati rumah yang disubsidi pemerintah, memperoleh macam-macam perijinan yang berkaitan dengan dunia usaha yang digelutinya hingga seseorang meninggal dan memerlukan surat pengantar dan surat kematian untuk mendapatkan kapling di tempat pemakaman umum (TPU).
Luasnya ruang lingkup pelayanan dan jasa publik cenderung sangat tergantung kepada ideologi dan sistem ekonomi suatu negara. Negara-negara yang menyatakan diri sebagai negara sosialis cenderung memiliki ruang lingkup pelayanan lebih luas dibandingkan negara-negara kapitalis. Tetapi luasnya cakupan pelayanan dan jasa-jasa publik tidak identik dengan kualitas pelayanan itu sendiri. Karena pelayanan dan jasa publik merupakan suatu cara pengalokasian sumber daya melalui mekanisme politik, bukannya lewat pasar, maka kualitas pelayanan itu sangat tergantung kepada kualitas demokrasi. Konsekuensi dari hal ini adalah negara-negara yang pilar-pilar demokrasinya tidak bekerja secara optimal tidak memungkinkan pencapaian kualitas pelayanan perizinan yang lebih baik. Bahkan sebaliknya, pelayanan perizinan tanpa proses politik yang demokratis cenderung membuka ruang bagi praktek-praktek korupsi.
Sebagai bagian dari sistem kenegaraan dengan konstitusi yang pekat dengan norma keadilan, ekonomi Indonesia dicirikan oleh ruang lingkup pelayanan yang sangat luas. Sayangnya, pelayanan yang menyentuh hampir setiap sudut kehidupan masyarakat tidak ditopang oleh mekanisme pengambilan keputusan yang terbuka serta proses politik yang demokratis. Karena itu tidak mengherankan jika pelayanan publik di Indonesia memiliki ciri yang cenderung korup, apalagi yang berkaitan dengan pengadaan produk-produk pelayanan yang bersifat perizinan dan lain-lain.
Kendati mungkin fenomena korupsi yang berkaitan dengan jenis-jenis produk tadi hanya melibatkan biaya transaksi (antara sektor publik dengan individu masyarakat) yang relatif kecil (pretty corruption), tetapi biaya-biaya transaksi tersebut melibatkan porsi populasi yang sangat besar. Karena itu pola korupsi dengan menggunakan instrumen produk-produk pelayanan tersebut bisa jadi memiliki dampak yang sangat luas.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana meminimalkan biaya-biaya transaksi tersebut? Teramat sulit tentunya menjawab pertanyaan ini, kendati jawabannya merupakan bagian terpenting dari strategi pemberantasan korupsi di sektor publik. Karena itu kajian mengenai mekanisme pelayanan perizinan, berikut biaya-biaya transaksinya menjadi elemen penting dari strategi pemberantasan korupsi.
Sejalan dengan itu, prinsip market oriented organisasi pemerintahan harus diartikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pemerintah (aparatur) harus mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat. Demikian juga prinsip catalitic government, mengandung pengertian bahwa aparatur pemerintah harus bertindak sebagai katalisator dan bukannya penghambat dari kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan masyarakat. Dalam konteks ini, fungsi pemerintah lebih dititikberatkan sebagai regulator dibanding implementator atau aktor pelayanan. Sebagai imbangannya, pemerintah perlu memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat sendiri sebagai penyedia atau pelaksanaan jasa pelayanan umum. Dengan kata lain, tugas pemerintah adalah membantu masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri (helping people to help themselves). Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan prinsip self-help atau steering rather than rowing.
Pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) sebagai institusi yang khusus bertugas memberikan pelayanan perizinan langsung kepada masyarakat, pada dasarnya dapat dikatakan sebagai terobosan baru atau inovasi manajemen pemerintahan di Daerah khususnya di Kota X. Artinya, pembentukan organisasi ini hendaknya memberikan hasil berupa peningkatan produktivitas pelayanan umum. Pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) ini telah menghayati makna teori Reinventing Government.
Oleh karena itu, inovasi pembentukan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) ini perlu dikembangkan lagi dengan penemuan-penemuan baru dalam praktek manajemen pemerintahan di Daerah. Salah satu peluang yang dapat dikembangkan dalam hal ini adalah penyediaan jasa-jasa pelayanan kedalam beberapa alternatif kualitas. Jenis pelayanan yang secara kualitatif lebih baik dapat dikenakan biaya yang agak mahal, sementara jasa pelayanan standar dikenakan biaya atau tarif yang standar pula. Pemasukan dari jenis pelayanan yang relatif mahal, akan dapat dipergunakan untuk membiayai pelayanan yang lebih murah, melalui mekanisme subsidi silang (cross subsidi). Dengan cara demikian, diharapkan institusi dapat membiayai sendiri kebutuhan operasionalnya, dengan tidak mengorbankan fungsi pelayanan yang menjadi tugas utamanya.
Selain itu, fenomena di atas juga menunjukkan bahwa masyarakat yang belum terlayani masih lebih besar dibandingkan masyarakat yang sudah terlayani. Kenyataan tersebut disebabkan selain karena faktor geografis juga oleh lemahnya pelayanan oleh petugas baik secara administratif maupun teknis. Untuk itu Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) sebagai organisasi pelaksana harus meningkatkan kualitas pelayanan kepada pelanggan, karena pada hakikatnya kualitas ditentukan hanya oleh pelanggan (Coupet dalam Osborne dan Gaebler, 1992).
Kenyataan tersebut tidak saja disebabkan oleh berbagai hambatan sebagaimana disebutkan di atas, melainkan masih ada hal lain yang menjadi penyebabnya, seperti dalam memberikan pelayanan perizinan tidak diikuti oleh peningkatan kualitas birokrasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kita semua menyadari pelayanan perizinan selama ini sangat sulit untuk memahami pelayanan yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Masyarakat pengguna jasa sering dihadapkan pada begitu banyak ketidakpastian ketika mereka berhadapan dengan birokrasi. Amat sulit memperkirakan kapan pelayanan itu bisa diperolehnya. Begitu pula dengan harga pelayanan. Harga bisa berbeda-beda tergantung pada banyak faktor yang tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh para pengguna jasa. Baik harga ataupun waktu seringkali tidak bisa terjangkau oleh masyarakat sehingga banyak orang yang kemudian malas berurusan dengan birokrasi publik.
Dari uraian diatas telah disebutkan bahwa keberadaan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) secara empirik telah berhasil mendongkrak efisiensi dan produktivitas pelayanan perizinan. Namun perlu digarisbawahi pula bahwa fungsi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) sesungguhnya tidak lebih sebagai penyelenggara pelayanan perizinan. Pada dasarnya penulisan tentang kualitas pelayanan perizinan ini penting untuk dilakukan, dikarenakan masyarakat sebagai customer service belum merasa puas baik dari segi waktu, biaya dan mutu pelayanan yang selama ini diberikan. Untuk itu penulisan ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan perizinan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X.
Tatalaksana pelayanan publik yang dilaksanakan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X meliputi:
1. Surat Izin Tempat Usaha (SITU)
2. Izin Gangguan (HO)
3. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)
4. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)
5. Tanda Daftar Gudang (TDG)
6. Tanda Daftar Industri (TDI)
7. Izin Perluasan Usaha Industri (IPUI)
8. Izin Usaha Industri (IUI)
9. Izin Usaha Jasa Konstruksi (IUJK)
10. Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
11. Izin Penyelenggaraan Reklame
12. Izin Usaha Pertambangan Bahan Galian C
13. Izin Penyelenggaraan Wisata
14. Izin Apotek
15. Izin Toko Obat
16. Izin Bidan/Perawat
17. Izin Praktek Fisioterapi
18. Pendaftaran Pengobatan Tradisional/Alternatif
19. Pendaftaran Pabrik Obat Tradisional
20. Izin Pusat Kebugaran
21. Rekomendasi Rumah Sakit Swasta
22. Izin Penyelenggaraan Rumah Bersalin
23. Izin Praktek Tukang Gigi
24. Izin Optik
25. Izin Penangkapan Ikan
26. Izin Pembudidayaan Ikan
27. Izin Penyimpanan/Penampungan/Pengolahan/Pengawetan Ikan
28. Izin Pengangkutan dan Pemasaran Ikan
29. Izin Penggunaan Kapal Perikanan
30. Izin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum
31. Izin Usaha Salon Kecantikan
32. Izin Usaha Hotel
33. Izin Rumah Potong Hewan.
Total jenis izin yang ditangani adalah 33 (tiga puluh tiga) jenis pelayanan yang telah dikoordinasikan di Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X ini, pelaksanaannya tetap dikoordinasikan dengan unit kerja pengelolanya masing-masing. Hal yang berkaitan dengan persyaratan, mekanisme dan tata cara, jangka waktu penyelesaian dan biaya yang diperlukan, telah diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kota X.
Dalam pengelolaan naskah dinas berupa surat masuk dan keluar yang menjadi urusan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X mengikuti prinsip satu pintu, yaitu berpusat pada Tata Usaha (TU) Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X.
Namun, dalam perjalanannya masih banyak dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Berbagai cerita atau pengalaman dari masyarakat sebagai pengguna dari pelayanan perizinan yang mengeluhkan terhadap pelayanan yang telah diberikan oleh Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X tersebut. Sudah sejak lama masyarakat mengeluh terhadap penyelenggaraan pelayanan perizinan yang dirasakannya amat jauh dari harapannya. Tetapi sejauh ini ternyata tidak ada perbaikan yang berarti dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian rezim akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan pelayanan perizinan ternyata masih jauh dari kenyataan.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka perubahan kelembagaan pelayanan perizinan yang terpisah menjadi terintegrasi (satu pintu) dan tergolong baru di Kota X menuntut penulusuran lebih jauh tentang apakah pelayanan perizinan satu pintu telah sesuai dengan harapan masyarakat. Meskipun masih baru masyarakat tidak mau tahu, yang prioritas bagi masyarakat adalah adanya peningkatan pelayanan yang lebih baik dibanding sebelumnya. Pelayanan perizinan terpadu menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan lagi bagi pemerintah kabupaten dan kota yang ingin memperbaiki kualitas tata pemerintahan terutama bidang perekonomian.
Model perizinan terpadu (perdu) merupakan pengembangan dari pendekatan satu atap (sintap). Perdu pada dasarnya merupakan suatu model sintap yang dikembangkan terutama dari aspek cara memproses perizinan bersama-sama dengan lain, tergantung garis kewenangan dan kebutuhan tiap-tiap daerah adalah tanggung jawab bersama semua instansi yang berkaitan dengan perizinan. Instansi penyedia layanan haruslah ditentukan terlebih dahulu dan dilaksanakan secara konsisten. Sebaiknya, keputusan tentang pembentukan perdu ini tidak dibuat oleh instansi penyedia layanan. Tetapi haruslah diambil oleh Kepala Daerah dan atau persetujuan DPRK. Hal ini sangat penting untuk mencegah adanya konflik diantara penyedia layanan. Kecendrungan seperti ini pada akhirnya akan menimbulkan biaya tinggi dalam proses perizinan. Namun proses panjang dan costly ini tidak berarti bahwa model perdu ini tidak efektif. Efektivitas model ini tergantung pada kualitas pelayanan yang diberikan dan sinergi diantara perdu dengan instansi penyedia pelayanan terkait lainnya.
Alasan teoritisnya dengan perubahan kelembagaan pelayanan perizinan menurut perkembangan teori-teori pelayanan publik adalah dari teori-teori pelayanan publik konvensional ke teori-teori pelayanan publik yang baru. Oleh karena itu, desakan terhadap informasi apakah pelayanan perizinan di KPPTSP tersebut sudah sesuai dengan paradigma baru dalam upaya mentransformasi birokrasi yang kaku, hirarkis, birokratis bentuk adminsitrasi publiknya menjadi suatu birokrasi yang fleksibel dan berorientasi pasar (pengguna jasa/pelanggan) sebagai bentuk manajemen publiknya menjadi relevan untuk segera diketahui. Adapun perumusan masalah yaitu Bagaimana Kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan faktor-faktor manajerial yang mempengaruhinya di Kota X ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang telah diuraikan diatas, penulis dalam melaksanakan penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui kualitas Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu dan faktor-faktor manajerial yang mempengaruhinya di Kota X.
Sedangkan Manfaat penelitian adalah:
1. Secara teoritis penulisan ini diharapkan mampu meningkatkan penguasaan teori-teori yang relevan dan pemahaman atas sejauhmana permasalahan yang diteliti serta penguasaan konsep-konsep dasar yang berhubungan dengan topik yang di teliti yaitu pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan perizinan pada kantor tersebut.
2. Secara praktis penulisan ini diharapkan mampu memberi sumbangan pemikiran atau bahan masukan bagi aparat Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) Kota X dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Tesis Analisis Pemberdayaan Pegawai Negeri Sipil Pada Kantor Camat X Kabupaten X

Tesis Analisis Pemberdayaan Pegawai Negeri Sipil Pada Kantor Camat X Kabupaten X

(Kode STUDPEMBX0006) : Tesis Analisis Pemberdayaan Pegawai Negeri Sipil Pada Kantor Camat X Kabupaten X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pelaksanaan otonomi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada dasarnya telah memberikan peluang dan tantangan bagi daerah khususnya daerah kabupaten/kota sebagai konsekuensi logis paradigma yang diemban oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu Demokratisasi, Pemberdayaan Aparatur dan Masyarakat serta Pelayanan Publik.
Peluang dan tantangan tersebut merupakan suatu hal yang beralasan, mengingat secara empirik masyarakat menginginkan peranan aparatur pemerintah dapat menjalankan tugas-tugas pelayanan secara optimal. Tumpuan dari harapan-harapan itu sendiri kini lebih tertuju pada institusi pemerintah daerah agar dapat mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance).
Pemerintahan yang baik (good governance) dapat menjadi kenyataan dan sukses apabila didukung oleh aparatur yang memiliki profesionalisme tinggi dengan mengedepankan terpenuhinya akuntabilitas dan responsibilitas publik, yakni dengan menekan sekecil mungkin pemborosan penggunaan sumber-sumber keuangan pemerintah (negara) dan juga sekaligus memperkuat peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai fondasi untuk melaksanakan tugas-tugasnya.
Implementasi kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, telah menciptakan implikasi luas di segala aspek pemerintahan dari pusat sampai dengan desa/kelurahan. Seiring dengan implementasi kebijakan otonomi daerah dan konsep baru paradigma pemerintahan, yang lebih menitik beratkan pada aspek demokratisasi, pemberdayaan masyarakat, dan pelayanan masyarakat yang prima, maka implikasi yang muncul yaitu tuntutan kepada semua tingkatan organisasi, termasuk pada Kantor Camat X, khususnya bagi pegawainya untuk lebih berkualitas, produktif dan profesional menjadi semakin besar dan bersikap proaktif.
Salah satu tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam hal pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan rakyat. Aspek penting yang mempengaruhinya antara lain adalah kenyataan mengenai tingkat kualitas sumber daya manusia dan kemampuan keuangan daerah yang dirasa masih kurang. Tetapi dari aspek-aspek tersebut kualitas sumber daya manusia, baik sumber daya manusia aparatur maupun sumber daya manusia masyarakat merupakan faktor paling dominan terhadap pelaksanaan otonomi daerah, sebab faktor-faktor lain secara empirik sangat tergantung dari faktor ini. Berapapun besarnya dana yang dimiliki oleh suatu daerah, dan betapa besarnya sumber daya alam yang tersedia, tanpa sumber daya manusia yang berkualitas, maka daerah sulit untuk berkembang.
Thoha (2000:1) mengemukakan bahwa, untuk mempertahankan kehidupan dan kedinamisan organisasi (organizational survival), setiap organisasi mau tidak mau harus adaptif terhadap perubahan. Organisasi birokrasi yang mampu bersaing di masa mendatang adalah yang memiliki sumber daya manusia berbasis pengetahuan dengan memiliki berbagai keterampilan serta keahlian (multi skilling workers).
Sumber daya manusia yang tersedia hanya akan dapat mendukung pertumbuhan bila disertai dengan penguasaan pengetahuan yang memadai. Tanpa penguasaan pengetahuan yang sesuai dan memadai, penduduk yang besar hanya akan berdampak menambah beban bangsa untuk mencapai serta mempertahankan tingkat kesejahteraan yang pantas.
Hal serupa juga di dukung oleh hasil temuan Jims Collins, dkk bahwa pepatah lama “Manusia adalah aset anda yang paling penting“ adalah salah. Manusia bukan aset yang paling penting, melainkan manusia yang tepat yang menjadi aset anda. Pertanyaan pertama siapa, seharusnya diselesaikan terlebih dahulu sebelum apa—sebelum visi, sebelum strategi, sebelum struktur organisasi, sebelum taktik. (Jim Collins, 2004:97).
Pentingnya mutu SDM juga dikemukakan oleh Makmur (2007:1) bahwa “mengapa negara kita sulit bangkit dan menderita krisis moneter dan krisis ekonomi yang paling parah? Hal itu dikarenakan mutu SDM kita paling menyedihkan dibandingkan negara ASEAN lainnya”.
Menurut Suradinata (1996:25), “Manajemen Sumber Daya Manusia dalam pembangunan dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu, Manajemen Sumber Daya Manusia Aparatur dan Menajemen Sumber Daya Manusia Masyarakat”.
Sumber daya manusia aparatur, atau yang lebih dikenal dengan sebutan pegawai mempunyai posisi yang sangat penting dalam melaksanakan fungsi sebagai perumus, perencana, pelaksana, pengendali, maupun yang mengevaluasi pembangunan. Sebagai posisi kunci manajemen, pegawai harus memberikan contoh keteladanan, bersih dan berwibawa, serta memberikan pelayanan, dan kenyamanan pada rakyat. Selanjutnya, pegawai harus mempunyai kriteria bersih, disiplin, berwibawa dalam melaksanakan tugas selalu memperhitungkan efektifitas dan efisiensi kerja, tanpa manajemen pegawai yang baik, pembangunan suatu negara tidak akan membawa hasil yang baik.
Dalam istilah militer di kenal istilah, “not the gun, but the man behind the gun”, artinya bukanlah senjata yang penting melainkan manusia yang menggunakan senjata itu. Senjata yang bagus dan modern tidak akan berarti apa-apa apabila manusia yang dipercayakan menggunakan senjata itu tidak mempunyai kemampuan, kejujuran, semangat juang yang tinggi serta jiwa pengabdian terhadap negara dan bangsa. Begitupun dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebaik apapun sistem ataupun perangkat yang digunakan, tidak akan berarti apa-apa, tanpa didukung oleh pegawai yang berkualitas, komitmen yang kuat, kejujuran, semangat juang dan pengabdian yang tinggi terhadap negara dan bangsa. Demikian juga halnya untuk mewujudkan tujuan dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah perlu kemampuan yang tinggi yang didukung oleh pegawai yang berkualitas. Kualitas tersebut dapat diamati dari kemampuan profesionalitas sesuai bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Pemerintahan di masa mendatang adalah pemerintahan yang cerdas, inovatif dan kreatif serta berorientasi kepada kepentingan masyarakat, melaksanakan kewajiban untuk memenuhi harapan masyarakat. Sejalan dengan itu pemerintah daerah harus mampu mengedepankan fungsi-fungsi pelayanan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat dengan berlandaskan pada visi yang jelas.
Visi tersebut, berusaha diwujudkan melalui misi yang salah satunya adalah perwujudan aparatur negara yang berfungsi melayani masyarakat secara profesional, berdaya guna, produktif, transparan, bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan, salah satunya adalah melalui aparatur pemerintah yang berkualitas prima dari segala segi, baik segi fisik maupun non fisik.
Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat selama zaman orde baru begitu besar, tetapi sekarang sudah saatnyalah pegawai pemerintah daerah harus mampu meningkatkan profesionalismenya, serta lebih kreatif dan proaktif. Pemerintah daerah harus menyadari bahwa implementasi kebijakan otonomi daerah yang dititik beratkan pada daerah kabupaten/kota, tidak saja diartikan bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah menjadi lebih besar dan otonomi makin luas tetapi harus dipahami juga bahwa, tanggung jawab dalam pelayanan harus semakin besar pula. Oleh karena itu seluruh penyelenggara otonomi daerah harus memiliki sumber daya pegawai yang berkualitas.
Sumber daya manusia yang tepat merupakan salah satu aset yang tidak ternilai harganya bagi setiap organisasi karena dapat memberikan kontribusi yang berarti kepada satuan kerja secara efektif dan efesien. Oleh karena itu bagaimana cara untuk mengembangkan, memelihara, dan meningkatkan kinerja pegawai merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan bagi setiap organisasi. Demikian pula didalam perubahan lingkungan yang strategik (politik, ekonomi, sosial, teknologi, dll) maka perlu dituntut adanya kemampuan aparatur pemerintahan yang profesional dalam menjalankan tugasnya.
Seiring dari pada itu dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan arus globalisasi, maka dituntut pula adanya sumber daya aparatur yang memiliki kapabilitas, yakni pegawai yang dapat bekerja secara efisien, efektif, produktif, dan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tidak kadaluarsa yang pada akhirnya mampu menampilkan kinerja yang memuaskan. Namun dilema yang sering terjadi pada birokrasi pemerintah saat ini adalah adanya tanggapan masyarakat terhadap kinerja aparatur pemerintah yang belum menunjukkan kapabilitas yang tinggi serta tidak profesional dalam menjalankan tugasnya.
Pemerintahan kita, dalam mengemban misi nasional, faktor pegawai sebagai pelaksananya tidak dapat diabaikan begitu saja. Kedudukan dan peranan pegawai dalam setiap organisasi pemerintahan sangat menentukan, sebab pegawai merupakan tulang punggung pemerintahan dalam pembangunan nasional. Namun demikian di dalam pelaksanaan dan penyelenggaraannya yang bermacam-macam banyak mengalami kesulitan, karena masalah pegawai adalah masalah manusia sehingga memerlukan pengaturan dan pembinaan yang sebaik-baiknya.
Tentang besarnya peranan sumber daya manusia dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, H.A.W. Widjaja (1998:20) mengemukakan bahwa:
Apabila kita berbicara tentang sumber daya manusia, maka tidak terlepas dari pembicaraan link dan match, yaitu pemerataan kualitas, relevansi dan efisiensi. Sumber daya manusia berperan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah disamping hal-hal yang menyangkut prasarana, sarana dan wahana yang dibutuhkan. Apabila daerah otonom sudah dalam kaitan dengan negara modern, salah satu segi yang menonjol adalah kemandiriannya. Ini tercermin diantaranya adalah dalam kualitas sumber daya manusianya.
Menurut Kaloh (2002:112), “Di era otonomi luas menuntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan, dan kreativitas dari segenap aparatur negara. Dalam negara dunia yang penuh kompetisi, sangat diperlukan tanggapan atau responsif terhadap berbagai tantangan secara akurat, bijaksana, adil dan efektif”.
Sumber daya manusia yang berkualitas akan mampu menghadapi perubahan lingkungan, seperti yang dikemukakan oleh Usmara,dkk (2002:21), bahwa sumber daya manusia menentukan survivenya organisasi di era yang ditandai dengan kompetisi yang sangat ketat. Sumber daya manusia harus kreatif, inovatif dan merespon lingkungan.
Pemerintah sebagai organisasi publik belum memiliki perhatian dalam pengembangan kualitas pegawai, seperti yang dikemukakan oleh Wasistiono (2003:34) bahwa:
Kebijakan politik pemerintah selama ini tidak memihak kepada pengembangan kualitas sumber daya manusia, melainkan pada pembangunan fisik yang kasat mata, konkrit dan mudah diukur. Hal tersebut nampak dari proporsi biaya pengembangan SDM yang berkisar hanya 10% dari anggaran negara serta kurangnya penghargaan pada karya-karya intelektual. Selain itu, masyarakat nampaknya juga lebih menghargai bungkus-bungkus kamuflase berupa gelar akademik daripada isi otak dan kemampuan bekerja seseorang.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Taufiq Effendi menyebutkan, sebanyak 55% atau 1,9 juta Pegawai Negeri Sipil Indonesia berkualitas rendah. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pendidikan dan pelatihan. Setelah itu dilakukan disalokasi, pemindahan ke tempat-tempat yang kurang tenaga. (Media Indonesia, Senin 15/01/2007). Artinya upaya peningkatan kemampuan pegawai sudah menjadi suatu keharusan, namun tentu akan lebih baik jika upaya tersebut dilandasi dengan strategi yang tepat misalnya dengan pengembangan potensi kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing pegawai.
Sementara itu, dari pengamatan awal penulis diketahui bahwa pegawai di Kantor Camat X masih perlu diberdayakan dan ditingkatkan baik dalam segi pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Dalam segi pendidikan, tingkat pendidikan pegawai Kantor Camat X dapat dilihat pada tabel 1 berikut :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Tabel 1. Tingkat Pendidikan PNS di Kantor Camat X

Sebagaimana terlihat pada tabel di atas bahwa 60% Pegawai Negeri Sipil di Kantor Camat X memiliki pendidikan formal dibawah tingkat sarjana. Dalam era globalisasi saat ini latar belakang pendidikan memegang peranan penting untuk mencapai tujuan organisasi. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin baik pula profesionalitas dan kualitas pegawai dalam mencapai tujuan organisasi pemerintahan khususnya dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Dengan demikian dilihat dari aspek pendidikan, bahwa tingkat pendidikan PNS di Kantor Camat X belum menunjukkan hal yang menggembirakan. Seperti yang diungkapkan secara teoritis oleh Supriatna (1997:78) sebagai berikut:
Pendidikan sebagai sarana tranformasi budaya dalam pendidikan sumber daya manusia sangat relevan dengan aspek survival, kemedekaan, humanisasi, pemberdayaan, dan rasionalisasi. Tujuan akhir proses transformasi ini ialah terciptanya produktivitas, etos kerja, kemandirian, dan jati diri manusia yang unggul untuk memenuhi tuntutan pembangunan.
Rendahnya kemampuan pegawai pada akhirnya akan berdampak pada rendahnya kinerja pegawai. Senada dengan hal itu Hardijanto (2002:89) menyatakan bahwa, “Kinerja birokrasi pemerintah Indonesia belum optimal, hal ini disebabkan oleh ukuran birokrasi yang masih relatif besar, susunan organisasi pemerintah yang masih belum sepenuhnya mengacu pada kebutuhan, pembagian tugas antar instansi/unit yang kurang jelas, aparat yang kurang profesional, prosedur standar yang belum tergolong secara baku, serta pengawasan yang masih belum efektif”.
Osborne dan Plastrik (Rosyid dan Ramelan 2000:256) menyatakan bahwa:
Orang-orang dalam organisasi pemerintah lebih mengkhawatirkan anggaran dan kepangkatan serta status birokratis daripada memikirkan cara-cara memperbaiki hasil. Mereka tidak memiliki upaya dalam hal efektivitas dan hasil. Pegawai diberi imbalan lebih karena nafkah bukan karena bekerja dengan baik. Akibatnya, pegawai negeri memiliki harapan yang rendah dan tidak menghargai pekerjaan mereka.
Selanjutnya, Wasistiono (2003:34) menyatakan bahwa, Sebagai pelaksana pelayanan di daerah, sumber daya aparatur pemerintahan daerah yang profesional perlu dipersiapkan dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Penyiapan sumber daya aparatur pemerintah daerah perlu dilakukan karena kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya kualitas sumber daya manusia di daerah otonom belum terlampau menjanjikan. Oleh karena itu, sebagai salah satu faktor internal yang strategis, kualitas sumber daya manusia merupakan kunci utama yang dapat mengubah berbagai kelemahan menjadi kekuatan serta mengubah tantangan menjadi peluang. Untuk dapat menangkap berbagai peluang yang telah terbuka di depan mata, maka upaya utama yang harus dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah daerah adalah membangun sumber daya manusia yang berkualitas.
Untuk membangun SDM yang berkualitas tersebut diperlukan upaya yang sistematis, berkelanjutan dan komprehensif, salah satunya adalah melalui pemberdayaan. Dalam konteks pemerintah daerah, adalah pemberdayaan pegawai pemerintah daerah. Organisasi pemerintah juga diharapkan mampu mencari berbagai cara baru agar dapat memanfaatkan sumber daya manusianya secara efektif dan efisien guna menghadapi tantangan eksternal seperti ancaman kompetisi internasional, kondisi perekonomian yang tidak menentu, perubahan teknologi dan informasi yang cepat dan tantangan internal seperti tekanan masyarakat hukum yang menguat.
Menurut Rasyid (1997:48), organisasi pemerintah daerah pada hakekatnya merupakan suatu birokrasi pemerintahan di daerah yang memiliki fungsi pelayanan, pembangunan, dan fungsi pemberdayaan. Untuk mendukung aktivitas tersebut tentu perlu didukung oleh pegawai yang mempunyai kemampuan dan berkualitas.
Pemberdayaan pegawai dirasakan sangat perlu selain untuk memberikan tanggung jawab dan wewenang kepada pegawai, tentunya juga sebagai upaya mendorong para pegawai untuk berusaha mengembangkan dirinya terutama kualitas dalam rangka mencapai kapasitas kerja organisasi. Dengan adanya pemberdayaan, pegawai merasa diperhatikan dan pada akhirnya pemberdayan pegawai diharapkan mampu mewujudkan tujuan organisasi serta pengembangan pegawai. Mengingat pentingnya faktor pemberdayaan pegawai dalam menentukan kinerja di Kantor Camat X: “Analisis Pemberdayaan Pegawai”, menjadi menarik untuk diteliti.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan Penjelasan di atas maka secara spesifik permasalahan penelitian ini dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian (research question) yaitu:
Bagaimana pemberdayaan pegawai di Kantor Camat X?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Untuk mendapatkan gambaran tentang pemberdayaan pegawai di Kantor Camat X.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Keluaran (output) penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai kalangan diantaranya:
1. Pemerintah Kabupaten X khususnya Pemerintah Kecamatan X untuk lebih menumbuh kembangkan konsep pemberdayaan pegawai.
2. Dijadikan bahan referensi untuk merumuskan pemberdayaan pegawai serta penelitian lain yang mungkin akan dilaksanakan pada masa yang akan datang.
Tesis Analisis Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam Meningkatkan Kinerja Pemerintah Kota X (Studi Kasus Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota X)

Tesis Analisis Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam Meningkatkan Kinerja Pemerintah Kota X (Studi Kasus Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota X)

(Kode STUDPEMBX0005) : Tesis Analisis Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam Meningkatkan Kinerja Pemerintah Kota X (Studi Kasus Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota X)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pembangunan di Indonesia dimaksudkan untuk mewujudkan cita-cita nasional, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Pesatnya pembangunan nasional dalam segala bidang era reformasi ini memerlukan tenaga kerja yang handal. Artinya tenaga kerja yang dapat meneruskan kesinambungan pembangunan nasional melalui peningkatan sumber daya manusia yang ada secara profesional. Profesionalisme membutuhkan tenaga kerja yang berdedikasi tinggi, moralitas yang baik, loyalitas terjamin dan mempunyai disiplin kerja yang tinggi.
Pelaksanaan pembangunan mengikutsertakan pegawai atau aparatur pemerintah bersama rakyat memegang peranan penting yaitu sebagai pelaksana dalam menjalankan pembangunan dan sebagai penggerak laju pembangunan disegala bidang. Peranan pegawai atau aparatur negara sangat dituntut dalam menjalankan tugas dibidang masing-masing untuk lebih ulet, terampil, cekatan, berdedikasi tinggi dan menuju kepada suatu efisiensi untuk dapat mencapai tujuan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata dan berkesinambungan baik materil maupun spirituil.
Untuk dapat menggerakkan atau mengarahkan dengan tepat sehingga pegawai dapat bekerja lebih efisien guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam organisasi, maka unsur manusia dalam organisasi khususnya pegawai atau aparatur pemerintah perlu mendapat perhatian yang serius dari setiap organisasi. Salah satu kunci keberhasilan suatu organsiasi dalam usaha pencapaian tujuan sangat ditentukan oleh kemampuan serta keterampilan pegawainya disamping kemampuan untuk menggerakkan dan mengarahkan bawahan atau pegawai dari pimpinan organisasi itu sendiri.
Pemberdayaan sumber daya manusia (empowermen of human resources) sangat signifikan dalam meningkatkan kinerja (performence) organisasi dan merupakan alat manajemen (tool of management) untuk mewujutkan sosok dan profesionalisme seseorang pimpinan baik dalam jabatan organisasi publik maupun dalam organisasi swasta/bisnis.
Perkembangan lingkungan stratejik Nasional dan Internasional yang dihadapi dewasa ini mensyaratkan perubahan paradigma kepemerintahan pembaruan sistem kelembagaan dan peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa dan dalam hubungan antar bangsa untuk terselenggaranya kepemerintahan yang baik (good governance). Sesuai tuntutan tersebut pemerintah telah melakukan perubahan-perubahan mendasar dibidang kelembagaan pemerintahan dan kepegawaian meliputi standar kompetensi antara lain Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian serta peraturan pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang pendidikan dan pelatihan Pegawai Negeri Sipil.
Berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah telah memberikan arah perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Setiap daerah diberi kewenangan dan dituntut untuk meningkatkan kemandirian daerah baik dalam hal keuangan maupun kualitas sumber daya manusianya. Pemerintah daerah harus berupaya untuk lebih meningkatkan kualitas sumber daya aparatur disegala bidang karena peran sumber daya manusia diharapkan dapat meningkatkan kinerja organisasi dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat.
Dengan lahirnya Undang Undang No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang sangat besar sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat (6) Pemerintah Kabupaten/Kota mengikut sertakan masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kawasan perkotaan ini merupakan tuntutan bahwa untuk mewujutkan harapan tersebut dituntut adanya kualitas sumber daya manusia untuk meningkatkan kinerja pemerintah.
Organisasi secara umum merupakan suatu sistem atau kumpulan manusia yang bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Jadi suatu organiasi tidak bisa dipisahkan dengan faktor manusia dan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang akan dicapai suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh kualitas pegawai yang ada dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu, prioritas utama pengembangan suatu organisasi adalah pengembangan manusianya sehingga untuk dapat mengukur dan menilai para pegawai secara obyektif dan akurat, kita harus mampu mengukur kualitas kerja mereka.
Pengukuran tingkat kualitas kerja ini berarti memberi kesempatan bagi pegawai untuk mengetahui tingkat kualitas kerja mereka dalam meningkatkan kinerja. Jadi faktor yang mempengaruhi kualitas kerja pegawai akan banyak mempengaruhi kinerja dari setiap pegawai yang pada gilirannya akan mempengaruhi organisasi yang bersangkutan.
Pertumbuhan suatu organisasi memerlukan suatu pola pengaturan dan pengolahan sumber ekonomi yang tersedia secara terarah terpadu serta dapat dimanfaatkan secara penuh bagi kesejahteraan seluruh masyarakat. Kegiatan organisasi belum dapat dilaksanakan tanpa adanya faktor produksi seperti alam, modal dan teknologi, disamping faktor tersebut faktor sumber daya manusia menjadi salah satu faktor yang sangat menentukan dalam proses kegiatan organisasi. Dalam hal ini dikarenakan sumber daya manusia merupakan software bagi organisasi.
Kota X merupakan daerah yang sedang tumbuh dan berkembang di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terbentuk dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2001 pada tanggal 01 Juni 2001. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah merupakan salah satu instansi yang berada di bawah Pemerintahan Kota X. Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang dapat diartikan sebagai kegiatan merencanaan pembangunan sehingga kegiatan dapat mengacu pada rencana yang telah ditetapkan.
Sejalan dengan itu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota X mengukur kualitas kerja pegawai untuk meningkatkan kinerja berpedoman pada pendidikan dan pelatihan, sarana dan prasarana pendukung kerja, kompensasi yang diperoleh akibat dari hasil kerja dan promosi pegawai.
Tabel 1. Data Jumlah Pegawai BAPPEDA Kota X

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Salah satu keputusan penting pemerintah kota X yaitu Keputusan Walikota Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan Susunan Organisasi Tata Kerja Bappeda Kota X. Dalam melangkah ke depan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) selaku badan perencanaan pembangunan daerah harus memiliki kemampuan sumber daya manusia untuk menjalankan konsepsi rencana pembangunan.
Jika melihat posisi penting Bappeda Kota X dalam menyusun dan melaksanakan perencanaan pembangunan, maka kualitas pegawai sangat penting demi meningkatkan kinerja pemerintah. Kualitas pegawai dapat dinilai dari pendidikan dan pelatihan, sarana prasarana, kompensasi yang diterima serta promosi masing-masing pegawai, menarik perhatian penulis untuk meneliti dan membahasnya dalam judul “Analisis Kualitas Sumber Daya Manusia Dalam Meningkatkan Kinerja Pemerintah Kota X” (Studi Kasus Pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota X).

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka yang menjadi perumusan masalah yaitu :
1. Faktor apa yang dominan mempengaruhi kualitas kerja pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota X ?
2. Apakah faktor pendidikan dan pelatihan, sarana dan prasarana, pemberian kompensasi serta promosi pegawai berpengaruh terhadap kualitas kerja pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota X ?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui faktor yang dominan mempengaruhi kualitas kerja pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota X.
2. Untuk mengetahui apakah faktor pendidikan dan pelatihan, sarana dan prasarana, pemberian kompensasi serta promosi pegawai berpengaruh terhadap kualitas kerja pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota X.

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Kota X dapat digunakan sebagai pedoman bagi manajemen sumber daya manusia dalam melakukan pelayanan.
2. Sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan.
Tesis Kinerja Kantor Kecamatan X Dalam Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat Di Kota X

Tesis Kinerja Kantor Kecamatan X Dalam Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat Di Kota X

(Kode STUDPEMBX0004) : Tesis Kinerja Kantor Kecamatan X Dalam Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat Di Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah berlaku, maka terjadi perubahan terhadap sistem pemerintah nasional. Perubahan sistem pemerintahan nasional tersebut terlihat pada asas pemerintahan. Dengan pemberlakuan Undang-Undang tersebut maka terjadi suatu perubahan asas yang semula bersifat sentralisasi menjadi asas yang bersifat desentralisasi. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.
Fungsi utama pemerintah daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yakni sebagai pelayan masyarakat. Berdasarkan peradigma tersebut aparat pemerintah daerah khususnya aparat pemerintah kecamatan dituntut untuk dapat memberikan pelayanan optimal kepada masyarakat.
Penjelasan undang-undang tersebut selaras dengan tuntutan rakyat yang menghendaki suatu penyelenggaraan pemerintah yang bersih dan berwibawa serta berwawasan pelayanan kepada masyarakat. Akan tetapi pada kenyataannya masih terdapat kantor kecamatan yang kurang memperhatikan bagaimana memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada karakter birokrasi perangkat kecamatan yang belum sesuai harapan di wilayahnya. Sejalan dengan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagai mana di sebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah merupakan perwujudan pertanggung jawaban sabagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah merupakan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
Pembenahan dalam penyelenggaraan pemerintah yang berorientasi pada fungsi pelayanan masyarakat, hendaknya di titik beratkan pada pemerintah kecamatan. Karena kecamatan merupakan pusat pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat.
Perbaikan dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan harus dilakukan, terutama bagaimana menumbuhkan dan meningkatkan kinerja aparat kantor kecamatan sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang mau tidak mau harus berupaya meningkatkan kemampuan kerjanya semaksimal mungkin, karena pelaksanan tugas pelayanan oleh pemerintah kecamatan sangat tergantung pada kinerja aparatnya. Sedangkan masyarakat hanya dapat menilai kinerja kantor kecamatan dari kualitas pelayanan yang di terimanya.
Sehubungan dengan jumlah aparat kantor kacamatan yang kurang memadai atau tidak sebanding dengan volume/beban kerja yang diterima, terutama dalam hal pelayanan kepada masyarakat, maka perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan kinerja aparat kantor kecamatan terhadap pelayanan kepada masyarakat demi tercapainya pelayanan yang baik dari kantor kecamatan.
Kinerja merupakan terjemahan dari performance, yang diartikan sebagai perbuatan, pelaksanaan pekerjaan, prestasi kerja, pelaksanaan pekerjaan berdaya guna.”performance is defined as the record of outcomes produced on a spesific job function or activity during a spesific time period”. Arti kinerja didefinisikan sebagai catatan mengenai outcomes yang dihasilkan dari suatu aktivitas tertentu, selama kurun waktu tertentu” (Bemadian, jhon dan Joyje E.A Russel, dikutip oleh Sedamaryanti,2001:4). Sedangkan kinerja (performace) dalam arti yang sederhana adalah prestasi kerja (Sadu Wasistiono,2002:45). Sementara itu menurut Rue dan Byars (1981:375) mendefinisikan kinerja sebagai tingkat pencapaian hasil atau ”The degree of accomplishment” Hal ini menunjukan bahwa kinerja merupakan tingkat pencapaian tujuan organisasi.
Kinerja aparat kantor kecamatan yang cukup tinggi diharapkan dapat mewujudkan suatu efektifitas dalam penyelenggaraan pemerintah kecamatan sebagai bentuk kesiapan aparat kantor kecamatan dalam menghadapi perubahan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Pelayanan dalam Kamus Bahasa Indonesia (1996:571) berasal dari kata layan yang berarti membantu (mengurus) apa-apa yang diperlukan seseorang. Sedangkan kata pelayanan mempunyai arti perihal atau melayani.
Menurut Moenir (1998:17) ”Pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung” Kemudian menurut Eko Supriyanto dan Sri Sugiyanti (2001:9) pelayanan adalah upaya untuk membantu menyiapkan, atau mengurus keperluan orang lain. Belum jelas apabila belum ada yang memuat tentang proses itu sendiri, untuk menerangkan lebih lanjut mengenai proses itu sendiri menurut Fred Luthans (1973:188): ”Any action which is performed by management to achieve organizational objective” Di sini pengertian proses terbatas dalam kegiatan management dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Jadi pelayanan disini adalah rangkaian organisasi manajemen.
Peningkatan kualitas pelayanan yang menjadi tuntutan masyarakat harus di penuhi oleh aparat kecamatan sebagai penyelenggara pemerintah di kecamatan. Karena pada dasarnya menerima pelayanan yang memuaskan dari aparat pemerintah merupakan hak yang dimiliki setiap warga masyarakat. Dengan pelayanan yang diterima tersebut maka diharapkan masyarakat akan berpartisipasi aktif dalam mendukung tugas-tugas aparat pemerintah, sehingga terjadi keseimbangan antara hak yang ditetapkan oleh masyarakat dan kewajiban yang harus dijalankan sebagai warga negara.
Pelayanan yang diberikan tanpa memandang status, pangkat, dan golongan dari suatu masyarakat. Pada saat yang sama masyarakat mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pelayanan tersebut dengan landasan yang bersifat umum dalam bentuk pedoman tata laksana pelayanan umum.
Melalui keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 81 Tahun 1993 tentang pedoman Tata Laksana Pelayanan Umum, pemerintah mengatur tata cara pelaksanaan tugas dan fungsi pelayanan di tingkat kecamatan. Khusus diKecamatan X pemberian pelayanan masyarakat memerlukan perhatian yang serius dan tanggung jawab moral yang tinggi. Hal itu merupakan tantangan tersendiri bagi aparatur pemerintah, khususnya yang bertugas dikantor kecamatan untuk selalu memperlihatkan kinerja yang optimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan realitas seperti itu, maka mereka harus berprilaku sebagai aparat yang bersih dan berwibawa, menegakkan disiplin dan penuh keihklasan dalam melayani masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah
Melalui penelitian ini akan dikaji berbagai masalah yang berkaitan dengan kinerja kecamatan dalam pelayanan masyarakat. Untuk itu setelah diidentifikasikan, masalah dapat dirumuskan sebagai pelayanan kepada masyarakat di kecamatan X yaitu :
1. Bagaimana kinerja kantor kecamatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di kecamatan X

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengetahui kinerja kecamatan X dalam pelayanan masyarakat, Sedangkan secara khusus adalah sebagai berikut:
(1). Untuk mengetahui kinerja aparat kantor kecamatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
(2). Untuk mengetahui faktor faktor yang mempengaruhi kinerja aparat kecamatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
(3). Untuk mengetahui upaya yang dilakukan dalam meningkatkan kinerja aparat kecamatan X dalam pelayanan masyarakat

1.3.2. Manfaat Penelitian
Setelah penelitian ini dilaksanakan dan menempatkan suatu gambaran yang ada sesuai dengan data dilapangan, diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna bagi dunia akademis maupun dunia praktis. Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Sebagai bahan kajian studi perbandingan antara pengetahuan yang sifatnya teoritis terutama konsep-konsep tentang kinerja dengan kenyataan yang ada di lapangan dan guna mendapatkan gambaran tentang peningkatan kinerja aparat kantor kecamatan dan pelayanan masyarakat.
2. Manfaat Praktis.
Sebagai sumbangan pemikiran atau bahan masukan bagi aparat kantor kecamatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat di kecamatan X.
Tesis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Publik Pada Bagian Bina Sosial Setdako X

Tesis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Publik Pada Bagian Bina Sosial Setdako X

(Kode STUDPEMBX0003) : Tesis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Publik Pada Bagian Bina Sosial Setdako X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Masalah utama yang dihadapi dalam menerapkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah oleh administrasi publik pada abad ke-21 ini adalah semakin terbatasnya sumber data yang dipakai untuk keperluan melayani kebutuhan masyarakat tersebut. Masyarakat tidak hanya menuntut pelayanan publik yang lebih efisien dan memuaskan, tetapi juga menginginkan prilaku administrasi publik yang lebih responsive dan mencerminkan kepatutan (fairness), keseimbangan, etika dan kearifan (good judgment) (Kasim, 2002:6).
Otonomi daerah telah membawa implikasi pada terjadinya demokratisasi, termasuk juga dalam hal pelayanan publik yang dilaksanakan. Masyarakat mulai kritis dan bias menentukan jenis pelayanan bagaimanakah yang masyarakat kehendaki. Masyarakat yang sedang tumbuh ke arah masyarakat madani (civil society) menuntut adanya peran birokrasi pemerintah yang lebih adaptif terhadap penguatan hak-hak publik dalam pemberian pelayanan secara lebih luas dan berimbang.
Peningkatan dan tuntutan masyarakat akan pelayanan publik (public service) yang efektif, efisien serta memuaskan dari pegawai pemerintah sebagai pelayan publik semakin populer. Hal ini terkait dengan perkembangan kebutuhan, keinginan dan harapan masyarakat yang terus bertambah dan kian mutakhir. Masyarakat sebagai subjek layanan tidak suka lagi dengan pelayanan yang berbelit-belit, lama dan beresiko akibat rantai birokrasi yang panjang. Masyarakat menghendaki kesegaran pelayanan, sekaligus mampu memahami kebutuhan dan keinginan yang terpenuhi dalam waktu yang relatif singkat. Keinginan-keinginan tersebut perlu direspon dan dipenuhi oleh instansi yang bergerak dalam bidang jasa, apabila aktivitasnya ingin memiliki citra yang baik, untuk itu pihak manajemen perlu mengevaluasi kembali aspek pelayanan yang selama ini diberikan telah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat yang dilayani, atau justru sebaliknya masih terdapat kesenjangan antara pelayanan yang diberikan dengan pelayanan yang diharapkan masyarakat. Terjadinya kesenjangan menunjukkan adanya kualitas pelayanan yang kurang prima, sehingga berpotensi menurunkan kinerja instansi secara keseluruhan.
Pegawai pemerintah daerah hendaknya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya berorientasi kepada kebutuhan dan kepuasan penerima pelayanan sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian pelayanan jasa. Untuk dapat melaksanakan fungsi tersebut, pegawai pemerintah daerah harus dapat menindaklanjuti dalam penyelenggaraan pelayanan umum atau pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan fungsi masing-masing unsur pelayanan.
Dalam konteks pelayanan, pentingnya lima dimensi yang perlu diperhatikan, yaitu: tangibles, reliability, assurance responsiveness, and empathy. Tangibles meliputi fasilitas fisik perlengkapan pegawai dan sarana komunikasi. Reliability, yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Asuransi mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Responsivness yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. Emphaty meliputi kemudahan dalam hubungan, komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan para pelanggan.
a) Sebagian besar instansi-instansi pemerintah atau organisasi penyelenggara negara lainnya yang memberikan pelayanan publik, kondisi pelayanannya terkesan kurang memperoleh perhatian yang serius, antara lain ditandai oleh proses pelayanan yang cenderung berbelit-belit dan memakan waktu yang lama. Dalam hubungannya dengan hal tersebut peranan pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota X sebagai pelaksana pemerintahan daerah mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pelayanan kepada masyarakat. Menyelenggarakan pelayanan pemerintahan
b) Menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pembinaan masyarakat
c) Memantau dan mengendalikan program kerja sampai ke kelurahan
d) Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan kepala daerah
Berdasarkan observasi, ditemui beberapa fenomena pelayanan masyarakat di kantor Bagian Bina Sosial sebagai berikut: (1) Membutuhkan waktu yang agak lama oleh masyarakat dalam pengurusan layanan, (2) Adanya beberapa oknum pegawai keamanan yang tidak ramah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, hal utama yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah adalah berbagai hal yang memberikan pelayanan prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban pegawai pemerintah sebagai abdi masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang yang diungkapkan tadi, maka permasalahan yang muncul dapat diindentifikasi sebagai berikut:
1. Bagaimana kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial?
2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial ?

1.3. Tujuan Kajian
Mengacu pada pokok permasalahan di atas tujuan kajian ini adalah:
1. Mengindentifikasi kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial Kota X.
2. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan masyarakat di Bagian Bina Sosial Kota X.

1.4. Manfaat Kajian
Manfaat yang didapat dari kajian ini adalah:
1. Secara Akademis, diharapkan hasil kajian ini dapat berguna bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan ilmu administrasi pelayanan publik.
2. Secara Praktis, sebagai proses untuk kelanjutan penulisan tesis dan bagi pemerintah daerah ditekankan pentingnya peningkatan kualitas pelayanan masyarakat pada Bagian Bina Sosial Pemerintah Kota X
Tesis Implikasi Normalisasi X Terhadap Pemukiman Masyarakat Di Kecamatan X

Tesis Implikasi Normalisasi X Terhadap Pemukiman Masyarakat Di Kecamatan X

(Kode STUDPEMBX0002) : Tesis Implikasi Normalisasi X Terhadap Pemukiman Masyarakat Di Kecamatan X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Tesis ini akan membahas tentang bagaimana implikasi dari normalisasi X terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan X. Sebagaimana kita ketahui, bahwa persoalan pemukiman penduduk memang bukanlah hal yang gampang. Pemukiman penduduk merupakan bagian terpenting yang memang harus diperhatikan oleh pemerintah setempat mengingat pemukiman adalah masalah krusial yang jika penanganannya tidak baik akan menjadi persoalan besar.
Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air Republik Indonesia telah melakukan suatu kajian mengenai model pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) secara terpadu. Kajian yang pernah dilakukan tersebut bermaksud untuk menggunakan pendekatan yang menyeluruh dengan memperhatikan seluruh pihak dan sektor yang ada di dalam DAS (Tim Direktorat Kehutanan : 2000).
Paling tidak terdapat tiga sektor utama yang dianalisis peranannya yaitu sektor kehutanan, sektor sumber daya air, dan sektor pertanian. Metodologi yang dipakai adalah analisa ekonometrik untuk mengetahui dampak dari kebijakan pembangunan dari ketiga sektor yang ada terhadap kinerja DAS. Pada studi tersebut juga memasukkan variabel-variabel tambahan seperti permukiman untuk mewakili sektor-sektor lain yang ada di dalam DAS. Selain itu terdapat tiga sistem DAS yaitu, DAS Ciliwung di Jawa Barat, DAS Jaratunseluna di Jawa Tengah, dan DAS Batanghari di Jambi. Ketiga sistem DAS tersebut lah yang menjadi objek kajian dan ketiga sistem DAS tadi dianggap mewakili 3 kondisi pengelolaan. Walaupun ketiga DAS ini mempunyai karakteristik yang berbeda, tetapi kinerja mereka hampir sama. Mereka mewakili gambaran umum kondisi DAS di Indonesia yang menunjukkan degradasi pengelolaan hutan dan lingkungan hidup (Tim Direktorat Kehutanan : 2000).
Berdasarkan analisis oleh tim dan menjadi hasil kajian tersebut diantaranya adalah dapat disimpulkan bahwa kinerja DAS tidak hanya dipengaruhi oleh satu atau dua sektor tertentu, tetapi paling tidak ketiga sektor pembangunan yang dianalisis memberikan pengaruh secara bersamaan dengan intensitas yang cukup signifikan. Alokasi dana pembangunan untuk kegiatan-kegiatan di sektor kehutanan cenderung mempunyai pengaruh yang baik terhadap kinerja DAS. Demikian pula halnya investasi di sektor sumber daya air. Disisi lain, investasi di sektor pertanian cenderung memperburuk kondisi DAS. Sebab, kegiatan-kegiatan pertanian menambah pembukaan lahan. Berdasarkan hasil-hasil analisis tersebut, kajian ini merekomendasikan pengelolaan DAS terpadu, artinya bukan hanya mengembangkan satu sektor sementara mengabaikan pengembangan sektor lainnya. Pengelolaan DAS seharusnya melibatkan seluruh sektor dan kegiatan di dalam sistem DAS. Bila tidak, maka kinerja DAS akan memperburuk yang pada akhirnya akan menurunkan tingkat produksi sektor-sektor tergantung pada kinerja DAS (Tim Direktorat Kehutanan : 2000)
Kajian yang hampir sama juga pernah dilakukan oleh Sigit Setiyo Pramono salah seorang peneliti di Universitas Gunadarma, Semarang. Sigit mengkaji tentang normalisasi sungai sebagai salah satu upaya penanggulangan banjir di Kota Semarang. Untuk upaya normalisasi tersebut Sigit memperkenalkan suatu sistem yang diberi nama Sistem Peringkat Komunitas (SPK) (Sigit S. Pramono : 2002).
Pendekatan Sistem peringkat komunitas (SPK) adalah metode pencegahan banjir dengan cara memberikan penilaian dari masyarakat terhadap suatu perencanaan yang telah disiapkan untuk diterapkan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Kriteria pada metode ini terdiri dari menentukan proses perencanaan, melibatkan peran masyarakat, mengkoordinasikan antara kelompok masyarakat dan pemerintah, memperkirakan bahaya dan resiko banjir, mengevaluasi permasalahan banjir, menyusun tujuan, mengevaluasi strategi dan ukuran yang diterapkan, memberikan konsep untuk pelaksanaan, menyetujui perencanaan dan mengaplikasikan, mengevaluasi dan memperbaiki perencanaan (Sigit S. Pramono : 2002).
Kajian yang dilakukan oleh Tim Direktorat Kehutanan dan Sigit S. Pramono di atas keduanya berawal dari upaya untuk memperbaiki sungai atau yang lazim kita sebut sebagai Normalisasi Sungai (NS). Dimana keduanya menghasilkan suatu rekomendasi yang sama dalam hal penanggulangan banjir melalui perbaikan DAS. Tim Direktorat Kehutanan menganjurkan agar pelaksanaan NS-DAS dengan menerapkan sistem yang mereka beri nama “Normalisasi Sungai Terpadu”. Tidak jauh berbeda dari apa yang dipaparkan oleh Tim Direktorat Kehutanan di atas, Sigit S. Pramono juga menganjurkan penerapan Sistem Peringkat Komunitas (SPK). Perbedaan keduanya lebih pada menempatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan NS-DAS yang dilaksanakan.
Kembali pada topik yang menjadi fokus penelitian penulis di atas yakni menyinggung mengenai pemukiman penduduk. Ketika kita akan berbicara mengenai pemukiman penduduk sebagai salah satu varibel berarti sangat erat kaitannya dengan proses pembangunan yang tengah berlangsung. Proses pembangunan dalam hal ini khususnya terkait dengan pembangunan infrastruktur suatu wilayah. Kegiatan pembangunan infrastruktur perkotaan memiliki peran yang sangat signifikan terhadap keberhasilan pemanfaatan ruang wilayah (Bappenas : 1997)
Konsep dasar pembangunan sarana dan prasarana dasar perkotaan berorientasi pada pemenuhan pelayanan infrastruktur perkotaan yang mendukung bagi terwujudnya pola perkembangan kota menuju kota metropolitan, yang aman, tertib, lancar, asri dan sehat serta dapat menumbuh kembangkan perekonomian dan sosial budaya kehidupan masyarakat. Implikasi konsep tersebut di atas memiliki banyak tantangan, hal ini disebabkan kondisi infrastruktur perkotaan yang terbangun telah mengalami penurunan kualitas dan fungsi yang cukup tajam, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar untuk mengembalikan kondisi terbut pada titik yang dapat dikategorikan baik atau layak guna (Bappenas : 1997)
Di sisi lain kelengkapan infrastruktur yang tersedia masih kurang dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakat perkotaan terlebih lagi bagi masyarakat kota metropolitan. Sebagai gambaran beberapa permasalahan dalam penataan ruang dan infrastruktur seperti kurangnya penataan ruang, belum meratanya penyebaran fasilitas perumahan dan lingkungan, belum optimalnya penanganan banjir, kurang optimalnya penanganan kebersihan kota belum optimalnya pengelolaan irigasi, DAS dan lain sebagainya yang memerlukan perencanaan dan perhatian yang lebih dari pemerintah, baik perintah propinsi maupun pemerintah kota/kabupaten (Bappenas : 1997).
Dalam rangka pembangunan X, pihak Pemerintah Propinsi X dan Pemerintah Kota X telah banyak melakukan kebijakan pembangunan untuk mendukung Kota X menjadi kota metropolitan seperti penataan pembangunan pemukiman, gedung-gedung pertokoan dan pusat perbelanjaan yang megah, perbaikan dan pembangunan sarana transportasi di seluruh Kota X.
Namun sampai saat ini yang menjadi salah satu permasalahan yang belum terselesaikan oleh Pemerintah Kota X secara khusus dan Pemerintah Propinsi X secara umum adalah masalah banjir yang selalu membanjiri dan mengenangi hampir seluruh daerah Kota X, terutama daerah-daerah pinggiran Kota X yang sering mengakibatkan implikasi langsung kepada seluruh anggota masyarakat yang terkena langsung dari akibat bahaya banjir yang melanda daerah pemukiman mereka. Sering kita lihat bahwa apabila suatu daerah tersebut digenangi oleh air banjir dalam beberapa jam atau beberapa hari tentunya berimplikasi langsung terhadap kondisi tanah, pemukiman penduduk, sanitasi kesehatan masyarakat, dan berpengaruh pada aktivitas dari setiap anggota masyarakat yang tinggal dan bermukim di daerah yang dilanda banjir tersebut.
Dalam rangka menuju X sebagai kota metropolitan yang terkait dengan penanganan banjir, maka Pemerintahan Propinsi X berkoordinasi dengan Pemerintahan Kota X salah satunya adalah melakukan Normalisasi Sungai (NS). Normalisasi serta penanggulangan Sungai X. Sungai X adalah salah satu dari tiga sungai kecil yang alirannya melewati Kota X. Selain sungai-sungai kecil, tercatat ada beberapa sungai besar yang membelah kota yang berpenduduk sekitar dua juta jiwa ini, yaitu Sungai X, Sungai X, Sungai X, dan Sungai X. Sedangkan tiga sungai kecil yang melewati Kota X selain Sungai X adalah Sungai X dan Sungai X.
Penanganan sungai X yang dilaksanakan oleh Pemerintahan Provinsi X terdiri dari : normalisasi sungai, penanggulangan sepanjang lebih kurang 20 kilometer dan perbaikan jembatan yang melintas di atas sungai. Pelaksanaan konstruksi sungai tersebut sudah dimulai sejak tahun XXXX, dan pekerjaannya telah rampung pada tahun XXXX. Adapun yang menjadi sasaran proyek normalisasi sungai X adalah pengendalian banjir dan pengamanan pantai di Kota X. Kedua hal ini telah masuk pada tahapan yang teramat penting. Karena kedua hal tersebut merupakan upaya jangka panjang untuk menyelamatkan Kota X dan daerah yang berbatasan langsung dengan Kota X dari musibah banjir yang sudah dapat dipastikan akan mengancam daerah ini secara massif.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan diajukan adalah bagaimana implikasi dari normalisasi Sungai X terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan X.

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan; “untuk mengetahui implikasi normalisasi Sungai X terhadap pemukiman penduduk di Kecamatan X.”

1.4. Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap berbagai model atau konsep pembangunan sarana dan prasarana fisik perkotaan terutama mengenai upaya normalisasi sungai.
2. Secara pragmatis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap berbagai upaya normalisasi sungai guna meminimalisir banjir sehingga memberikan dampak positif yang dapat dirasakan oleh masyarakat.
Tesis Pemberdayaan Masyarakat Desa Di Kecamatan X Kabupaten X

Tesis Pemberdayaan Masyarakat Desa Di Kecamatan X Kabupaten X

(Kode STUDPEMBX0001) : Tesis Pemberdayaan Masyarakat Desa Di Kecamatan X Kabupaten X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan desa memegang peranan yang penting karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan pada hakikatnya bersinergi terhadap pembangunan daerah dan nasional. Hal tersebut terlihat melalui banyaknya program pembangunan yang dirancang pemerintah untuk pembangunan desa. Hampir seluruh instansi, terutama pemerintah daerah mengakomodir pembangunan desa dalam program kerjanya. Tentunya berlandaskan pemahaman bahwa desa sebagai kesatuan geografis terdepan yang merupakan tempat sebagian besar penduduk bermukim. Dalam struktur pemerintahan, desa menempati posisi terbawah, akan tetapi justru terdepan dan langsung berada di tengah masyarakat. Karenanya dapat dipastikan apapun bentuk setiap program pembangunan dari pemerintah akan selalu bermuara ke desa. Meskipun demikian, pembangunan desa masih memiliki berbagai permasalahan, seperti adanya desa terpencil atau terisolir dari pusat-pusat pembangunan (centre of excellent), masih minimnya prasarana sosial ekonomi serta penyebaran jumlah tenaga kerja produktif yang tidak seimbang, termasuk tingkat produktivitas, tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat pendidikan yang relatif masih rendah. Semuanya itu pada akhirnya berkontribusi pada kemiskinan penduduk. Fakta tersebut menyebabkan pemerintah semakin intensif menggulirkan program dan proyek pembangunan dalam pelaksanaan pembangunan desa. Namun demikian program atau proyek yang diarahkan dalam pembangunan desa justru tidak dapat berjalan optimal, karena kebanyakan direncanakan jauh dari desa (Korten, 1988:247). Masyarakat masih dianggap sebagai obyek/sasaran yang akan dibangun. Hubungan yang terbangun adalah pemerintah sebagai subyek/pelaku pembangunan dan masyarakat desa sebagai obyek/sasaran pembangunan (Kartasasmita, 1996:144). Partisipasi yang ada masih sebatas pemanfaatan hasil. Tingkat partisipasi dalam pembangunan masih terbatas, misalnya masih sebatas peran serta secara fisik tanpa berperan secara luas sejak dari perencanaan sampai evaluasi.
Kondisi tersebut mengakibatkan peranan pemerintah semakin besar. Pemerintah berperan dominan sejak dari perencanaan hingga pelaksanaan program atau proyek pembangunan. Fakta ini berangkat dari perspektif stakeholders pemerintahan bahwa berhasilnya program atau proyek pembangunan diukur dari penyelesaian yang tepat pada waktunya (efisiensi dan efektifitas) serta sesuai dengan rencana yang ditetapkan. Dengan orientasi seperti ini, tentunya masyarakat desa beserta stakeholder lainnya di desa yang seharusnya memiliki peranan yang besar tidak dapat mengembangkan kemampuannya dan menjadi “terbelenggu” dalam berinovasi. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dari implementasi program bantuan desa (Bangdes) selama ini, justru peranan birokrat pemerintah yang amat menonjol. Walaupun sesungguhnya program tersebut sudah lama dilaksanakan dan cukup dikenal luas di desa, namun masyarakat selalu dianggap kurang mampu, sehingga bimbingan dan arahan dari pemerintah begitu kuat pengaruhnya dan merasuk (internalisasi) dalam masyarakat. Pada akhirnya masyarakat tergantung pada bimbingan dan arahan dari pemerintah. Bila kondisi tersebut tetap dipertahankan, maka masyarakat tidak akan pernah dapat menunjukkan kemampuannya dalam mengelola pembangunan di desanya.
Apapun bentuk pembangunan, secara substantif akan selalu diartikan mengandung unsur proses dan adanya suatu perubahan yang direncanakan untuk mencapai kemajuan masyarakat. Karena ditujukan untuk merubah masyarakat itulah maka sewajarnya masyarakatlah sebagai pemilik (owner) kegiatan pembangunan. Hal ini dimaksudkan supaya perubahan yang hendak dituju adalah perubahan yang diketahui dan sebenarnya yang dikehendaki oleh masyarakat (Conyers, 1991:154-155). Ada kesiapan masyarakat untuk menghadapi dan menerima perubahan itu. Untuk itu keterlibatannya harus diperluas sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi hingga pemanfaatannya, sehingga proses pembangunan yang dijalankan dapat memberdayakan masyarakat, bukan memperdayakan.
Pembangunan desa secara konseptual mengandung makna proses dimana usaha-usaha dari masyarakat desa terpadu dengan usaha-usaha dari pemerintah. Tujuannya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sehingga dalam konteks pembangunan desa, paling tidak terdapat dua stakeholder yang berperan utama dan sejajar (equal) yaitu pemerintah dan masyarakat (Korten, 1988:378). Meskipun demikian, dalam konteks yang lebih luas, juga terdapat peranan “Agen Eksternal” seperti LSM, Konsultan, Lembaga Donor dll.
Domain pembangunan desa juga tidak terlepas dari wacana tentang model perencanaan pembangunan yaitu dari atas ke bawah (top down planning) dan dari bawah ke atas (bottom up planning). Pada dasarnya setiap program dari pemerintah senantiasa mencerminkan kombinasi kedua model tersebut, hanya intensitasnya yang berbeda. Sesuai dengan tuntutan paradigma baru tentang pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), maka pendekatan bottom up planning sudah sewajarnya diperbesar dan menjadi inti dari proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat.
Berlatar belakang pokok pikiran tersebut, penelitian ini bermaksud mengambil suatu dimensi yang lebih khusus yaitu menganalisis tentang pemberdayaaan masyarakat desa dengan studi tentang Program Pembangunan Bantuan Nagori/Kelurahan (BPN/K) di Kecamatan X.

Pemilihan program tersebut, didasarkan atas pertimbangan bahwa desain dan implementasinya dapat memberikan gambaran tentang proses pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, dengan pengkajian pembangunan di desa. Selain itu, saat ini khususnya di Kecamatan X, umumnya di Kabupaten X, program tersebut sangat mewarnai dinamika pembangunan desa, sehingga melalui implementasinya diharapkan dapat mewujudkan proses pemberdayaan masyarakat.
Penelitian ini dikhususkan pada desa-desa di Kecamatan X Kabupaten X. Pengalaman selama ini menunjukkan banyak program pembangunan yang digulirkan oleh Pemerintah kurang optimal melibatkan masyarakat dalam perencanaan sampai evaluasi pembangunan di desa, sehingga muncul kesenjangan persepsi antara masyarakat dengan pemerintah. Hal tersebut berakibat rendahnya kepedulian masyarakat itu sendiri, yang pada akhirnya mengakibatkan rendahnya tingkat keberdayaan masyarakat. Hal ini dapat terbukti dengan rendahnya tingkat partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan, karena tanpa disadari sebenarnya peranan pemerintah masih lebih besar, meskipun tidak secara fisik, akan tetapi dalam wujud regulasi yang kurang memberikan keleluasaan bagi masyarakat secara optimal. Kondisi tersebut tercermin dari pelaksanaan Proyek P2KT (Program Pemberdayaan Kecamatan Terpadu) sebelumnya yang didominasi oleh birokrat kecamatan, demikian juga dengan pelaksanaan program BPN/K yang masih didominasi oleh elit formal di tingkat lokal.
Rendahnya partisipasi masyarakat terlihat dari pelaksanaan program BPN/K Tahun Anggaran 2006 yang menghasilkan partisipasi swadaya masyarakat sebesar Rp. 40.000.000,- (10 %), dari dana stimulan sebesar Rp. 400.000.000,- untuk 8 desa serta jumlah kegiatan sebanyak 10 kegiatan. Pelaksanaannya pun dianggap belum optimal, bahkan sebagian dianggap “bermasalah” akibat salah persepsi antara masyarakat dan pemerintah.
Penelitian ini dikhususkan pada desa di Kecamatan X Kabupaten X, mengingat kecamatan ini merupakan salah satu kecamatan pemekaran sejak tahun 2002 yang mempunyai karakteristik daerah pertanian (+ 80 %), merupakan kecamatan yang paling dekat dan berbatas langsung dengan wilayah Kota X dibandingkan dengan kecamatan yang lain di Kabupaten X. Selain itu juga banyak warga kota yang bermukim di kecamatan ini. Dengan demikian terjadi interaksi karakter masyarakat pertanian dengan sifat wilayah sebagai hinter-land nya Kota. Berarti hal tersebut akan berkontribusi dalam pengembangan peranan masyarakatnya dalam pembangunan.
Secara khusus berdasarkan pengamatan dan analisis para stakeholder pembangunan di Kabupaten X, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, pemberdayaan masyarakat desa di Kecamatan X tidak berjalan optimal karena rendahya partisipasi masyarakat terhadap pembangunan yang disebabkan terlalu dominan program pembangunan yang diluncurkan ke daerah tersebut, tanpa melibatkan masyarakat. Kondisi tersebut secara khusus juga disebabkan oleh peranan Bupati X periode 2000 s/d 2005 yang merupakan putra asli daerah tersebut, sehingga banyak dialokasikan program pembangunan, yang prosesnya tidak melibatkan masyarakat secara aktif. Hal tersebut tidak memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat.
Terbukti dari realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Kecamatan X yang berada pada rangking terakhir (dari 30 kecamatan). Target PBB dari tahun ke tahun berkisar Rp 60.000.000,- s/d Rp 70.000.000,- dan realisasinya hanya sekitar 30%, sehingga kondisi tersebut menunjukkan adanya ketidakberdayaan masyarakat.
Tentunya penelitian ini bukan untuk mencari siapa yang salah, atau bagaimana fomat yang paling ideal, namun berangkat dari proses pembangunan yang sejak awal melibatkan kepentingan masyarakat desa yang berperan didalamnya. Dengan demikian dapat dianalisis karakteristik Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori/Kelurahan (BPN/K) di Kecamatan X.

1.2. Perumusan Masalah
Pembangunan yang memberdayakan masyarakat adalah pembangunan yang memberi “ruang” dan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat berperan dalam menggerakkan dan mengerahkan segala sumber daya (resources) yang dimilikinya, baik sumber daya material maupun non material, terutama sumber daya manusianya sendiri untuk mandiri (Uphoff dalam Cernea, 1988 : 501). Dengan kata lain masyarakat mempunyai akses dalam pengambilan keputusan sampai pelaksanaan pembangunan.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, proses pembangunan yang memberdayakan masyarakat memiliki makna lebih luas dari model pembangunan partisipatif, sebagaimana dinyatakan Soetrisno (dalam Lasito, 2002:7), sebagai berikut :
Dalam model pemberdayaan, masyarakat tidak hanya aktif berpartisipasi dalam proses pemilikan program, perencanaan dan pelaksanaannya, akan tetapi mereka juga menguasai dana pelaksanaan program itu. Sementara dalam model partisipasi, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan hanya sebatas pada pemilikan, perencanaan dan pelaksanaan, sedangkan pemerintah tetap menguasai dana guna mendukung pelaksanaan program itu.
Dari pembedaan tersebut dapat diartikan bahwa dalam model pemberdayaan, masyarakatlah yang memiliki peran yang besar (termasuk pendanaan) serta sangat menentukan bagi arah kegiatan pembangunan, sesuai dengan aspirasi dan perspektif masyarakat, maksudnya tanpa terlalu intervensi struktur pemerintahan yang cenderung birokratis.
Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah penelitian adalah bagaimana Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori/Kelurahan (BPN/K) di Kecamatan X?

1.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Bertitik tolak dari perumusan masalah yang diajukan diatas, tujuan penelitian ini adalah menganalisis Pemberdayaan Masyarakat Desa dengan studi tentang Program Bantuan Pembangunan Nagori/Kelurahan (BPN/K) di Kecamatan X.
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat menguatkan kajian teoritis tentang pemberdayaan masyarakat desa dengan studi tentang Program BPN/K di Kecamatan X.
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan kepada Pemerintah Kabupaten X dalam memformulasikan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan desa (bottom up planning) secara partisipatif, terdesentralisasi dan bersifat lokalitas.
Skripsi Peranan Usaha Kecil Penyulingan Minyak Nilam Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Di Kecamatan X

Skripsi Peranan Usaha Kecil Penyulingan Minyak Nilam Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Di Kecamatan X

(Kode PEND-IPS-0010) : Skripsi Peranan Usaha Kecil Penyulingan Minyak Nilam Terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Di Kecamatan X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam perekonomian Indonesia, sektor usaha kecil memegang peranan yang sangat penting terutama bila dikaitkan dengan jumlah tenaga kerja yang mampu diserap oleh usaha kecil. Usaha kecil ini selain memiliki arti yang strategis bagi pembangunan, juga sebagai upaya untuk memeratakan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Disektor penting dalam perekonomian Indonesia, usaha kecil mendominasi kegiatan usaha, misalnya disektor pertanian lebih dari 99 persen kegiatan usaha dilakukan oleh pengusaha kecil. Disektor perdagangan lebih dari 98 persen, disektor transportasi lebih dari 99 persen, dan disektor pengolahan jasa-jasa lain masing-masing lebih dari 99 persen, Pandji Anoraga & Djoko Sudantoko (XXXX : 224). Jika melihat jumlah penduduk Indonesia yang popualasinya sangat besar dan peranan sektor usaha kecil yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak tentunya usaha kecil perlu mendapatkan perhatian yang baik dari berbagai pihak terutama dari pemerintah.
Masalah pertumbuhan penduduk dan kesempatan kerja merupakan masalah yang di hadapi oleh semua negara, baik negara sedang berkembang maupun negara yang sudah maju. Indonesia merupakan negara sedang berkembang dengan jumlah penduduk besar, tentunya hal ini merupakan masalah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Jumlah penduduk besar memang merupakan salah satu modal potensial bagi pembangunan, namun tanpa diimbangi tersedianya lapangan kerja jumlah penduduk besar merupakan masalah bagi kelangsungan hidup suatu bangsa.
Pertambahan penduduk yang pesat akan menambah angkatan kerja yang ada. Hal tersebut menuntut kita untuk menambah kesempatan kerja baru. Karena hal itu bukan saja tanggung jawab pemerintah tatapi merupakan tanggung jawab kita bersama. Salah satu usaha untuk meningkatkan kesempatan kerja adalah melaksanakan pembangunan. Kegiatan pembangunan mempengaruhi penyediaan kesempatan kerja. Semakin meningkat kegiatan pembangunan semakin meningkat pula kesempatan kerja yang tersedia. Kegiatan pembangunan tersebut meliputi berbagai sektor seperti pertanian, industri, dan jasa. Negara Indonesia merupakan negara yang bercorak agraris, artinya sektor pertanian masih menduduki peranan penting. Hal ini dapat dibuktikan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia bermukim, bekerja, dan menggantungkan hidupnya di daerah pedesaan. Sampai saat ini, lahan pertanian merupakan faktor produksi yang penting, dimana kebutuhan lahan pertanian semakin meningkat baik untuk keperluan pertanian, pemukiman, usaha perkebunan dan industri. Dewasa ini keadaan di daerah pedesaan sudah sangat berubah sebagai akibat dari pembangunan. Lahan pertanian yang dulunya luas kini menjadi semakin sempit. Sempitnya lahan pertanian akan mengakibatkan penduduk yang menggantungkan kehidupannya di sektor pertanian kehilangan mata pencaharian sehingga menambah pengangguran.
Oleh karena itu perlu diusahakan agar kegiatan ekonomi dan kesempatan kerja di luar sektor pertanian tumbuh dengan pesat sehingga dapat menyediakan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang selalu bertambah.
Sempitnya lahan pertanian mengakibatkan penduduk yang menggantungkan kehidupan di sektor pertanian akan kehilangan pekerjaan sehingga menambah jumlah pengagguran. Keadaan ini mengakibatkan para penganggur memutuskan untuk meninggalkan desanya dan mencari pekerjaan didaerah perkotaan. Tetapi sesampainya di kota mereka sulit memperoleh pekerjaan karena pada umumnya mereka memiliki keterampilan dan tingkat pendidikan yang rendah. Hal tersebut menimbulkan masalah bagi kota yang didatangi, menyangkut penyediaan lapangan kerja, pemukiman, dan kriminalitas.
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi masalah ketenaga kerjaan adalah melalui peningkatan dan pemerataan pembangunan yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Salah satu cara yang digunakan adalah mengembangkan sektor usaha kecil atau industri pedesaan. Usaha pengembangan usaha kecil ini dimaksudkan agar kebutuhan kesempatan kerja rakyat pedesaan terpenuhi. Selain itu, juga dimaksudkan untuk memperkecil laju arus perpindahan penduduk desa kekota. Keberadaan usaha kecil di pedesaan akan dapat membantu dalam mengurangi tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor pertanian, sehingga akan dapat mengurangi jumlah pengangguran serta dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.
Pada mulanya masyarakat pedesaan menganggap bahwa bekerja di luar sektor pertanian adalah sebagai pekerjaan sampingan yang dilakukan karena keadaan yang memaksa, misalnya kegagalan panen, kemarau panjang, dan untuk mengisi waktu luang. Saat ini banyak dijumpai kenyataan bahwa pekerjaan itu justru menjadi mata pencaharian pokok setelah hasilnya dirasakan lebih menguntungkan dari pada bertani. Secara umum karakteristik usaha kecil adalah menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, menggunakan teknologi yang sederhana, membutuhkan modal yang relatif kecil, serta dapat dikelola dengan manajemen yang sederhana. Bahan baku yang digunakan bisa diperoleh dari dalam negeri atau bahan baku lokal sehingga mengurangi beban impor dan menghemat devisa negara. Dengan demikian, sektor usaha kecil memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk membuka usaha sendiri sehinga dapat membantu menciptakan lapangan kerja.
Sebagai salah satu kegiatan ekonomi diluar sektor pertanian, usaha kecil diharapkan akan mampu mendorong dan meningkatkan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat. Ketika terjadi krisis ekonomi yang mencapai puncaknya tahun 1997, tatkala usaha kelas atas dan kalangan industri besar mengalami kebangkrutan, usaha kecil menjadi harapan dan ujung tombak dalam membangkitkan perekonomian nasional (Kompas 18/12/XXXX yang dikutip Ecpose/Lembaga Pers Mahasiswa Ekonomi (LPME) Jember XXXX : 13). Usaha kecil memegang peranan yang strategis dalam upaya peningkatan ekspor non migas. Selain itu, usaha kecil juga berperan sebagai penyerap tenaga kerja yang besar. Kinerja yang telah dicapai oleh sektor usaha kecil menunjukkan potensi mereka yang sangat besar. Keberadaan sektor usaha kecil memberikan andil yang cukup besar terhadap produk nasional, yaitu sebagai sumber pendapatan, dan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, keberadaan usaha kecil perlu mendapatkan perhatian, pembinaan, dan pengarahan baik dari segi permodalan maupun pemasaran sehingga perkembangannya lebih cepat. Krisis moneter telah memberikan pelajaran berharga dalam membangun struktur perekonomian bangsa dan negara. Realitas menunjukkan bahwa era globalisasi tidak lagi sebagai fenomena melainkan sudah menggejala dalam segala segi kehidupan. Gejala perubahan lingkungan strategis di tunjukkan pada perubahan (1) perekonomian proteksi menjadi terbuka, (2) persaingan domestik menjadi global, (3) lingkungan yang semula stabil menjadi tidak menentu, (4) wawasan lokal menjadi mendunia, (5) fokus produksi menjadi pasar, (6) orientasi penjualan pada kualitas, dan (7) perubahn sikap, perilaku, dan kepuasan dari Mass Community menjadi Masaic Comunity, (yananti@telkom.net). Dua sisi strategis dalam sektor usaha kecil adalah merebut pangsa pasar dunia dan mempertahankan pasar domestik. Pengembangan usaha kecil menjadi semakin penting karena sampai saat ini pengangguran masih menjadi masalah yang harus segera dipecahkan.
Perkembangan usaha kecil di Indonesia dapat mendorong tercapainya stabilitas politik karena kemampuannya dalam memperkecil jumlah pengangguran. Oleh karena itu, Pengembangan usaha kecil harus didukung dengan menciptakan iklim usaha yang sehat sehingga dengan adanya iklim usaha yang sehat dapat memberikan dorongan dan motivasi besar dalam menciptakan lapangan kerja yang luas.
Usaha kecil pada umumnya terdapat di daerah pedesaan. Salah satunya adalah usaha penyulingan minyak nilam yang berada di Kecamatan X Kabupaten X Jawa Tengah. Realitas menunjukkan bahwa yang mampu bertahan dan bahkan mencapai tingkat kejayaan adalah usaha-usaha yang mampu memanfaatkan sumber daya lokal dan berorientasi pada pasar ekspor. Untuk itu, penggalian sumber daya lokal potensial dan merupakan komoditi ekspor serta mempunyai peluang dalam merebut pasar global adalah prioritas unggulan untuk dapat turut serta dalam kancah pasar global. Jika melihat dari potensi yang dimiliki Indonesia, Indonesia memiliki keunggulan komparatif baik dari segi letak geografis, sumberdaya alam dan sumberdaya manusianya mendukung terciptanya struktur usaha yang tangguh dan berbasis pada, (1) sumber daya alam sendiri yang berupa hasil pertanian, (2) kelemahan pesaing dengan mencermati keberhasilan negara lain, ditekankan pada negara yang memiliki kondisi yang relatif sama, (3) keterkaitan dengan industri lain baik di luar maupun di dalam negeri, (4) peluang pengembangan lebih lanjut, (5) iklim investasi yang sedang berkembang, (6) peluang untuk ekspor, (yananti@.telkom.net). Dilihat dari potensi tersebut, tanaman nilam merupakan salah satu tanaman yang berpotensi besar dalam merebut pasar lokal maupun global. Karena tanaman nilam merupakan bahan baku industri wangi-wangian (parfumery), kosmetika dan lain sebagainya. Minyak nilam Indonesia mempunyai keunggulan baik jenis maupun jumlahnya dibanding negara penghasil minyak atsiri lainnya. Dalam istilah perdagangan internasional minyak nilam dikenal dengan nama Patchouli Oil (Essential Oil Of Patchouli).
Minyak nilam merupakan salah satu dari 77 jenis minyak atsiri yang telah dikenal di Indonesia. Kegiatan ekspor minyak nilam telah berlangsung cukup lama. Minyak nilam Indonesia menguasai 99% pangsa pasar dunia dan bahkan dulunya komoditas ini hanya di produksi di Indonesia, meskipun demikian tidak dapat berperan sebagai penentu harga. Hal ini dikarenakan suplai, harga dan mutu minyak nilam di Indonesia fluktuatif. Saat permintaan tinggi harga naik, suplai melimpah namun mutunya rendah, (yananti@telkom.net).
Minyak nilam mempunyai sifat, (1) sukar tercuci walaupun dengan air sabun, (2) mudah tercampur dengan minyak eteris lainnya, (3) larut dalam alkohol, dan (4) sukar menguap, (yananti@.telkom.net). Oleh karena sifatsifatnya tersebut, minyak nilam sangat potensial digunakan sebagai bahan baku industri wangi-wangian (parfumary), kosmetika, dan lain sebagainya. Kegunaan utama minyak nilam adalah sebagai fiksatif terhadap bahan pewangi belum dapat digantikan dengan minyak lainnya, sehingga keberadaannya merupakan salah satu minyak yang maha penting bagi dunia parfumary,(yananti@telkom.net). Kegiatan pokok usaha penyulingan minyak nilam ini adalah mengolah pohon nilam menjadi minyak nilam. Minyak nilam yang dihasilkan tersebut masih memerlukan proses lebih lanjut sebagai bahan pembuat obat-obatan, kosmetik, sabun, dll. Jadi, usaha penyulingan minyak nilam ini hanya mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi. Bahan baku yang digunakan adalah daun nilam, ban bekas, dan kayu bakar sebagai bahan bakar. Usaha penyulingan minyak nilam ini sangat cocok berada di Kecamatan X Kabupaten X karena di daerah tersebut banyak terdapat tanaman nilam sehingga bahan baku mudah diperoleh. Para pekerja usaha penyulingan minyak nilam ini berasal dari penduduk setempat.
Manfaat usaha penyulingan minyak nilam ini ternyata cukup besar bagi masyarakat pedesaan terutama dapat menampung tenaga kerja sehinga dapat membantu mengurangi jumlah pengangguran. Selain itu, keberadaan usaha kecil penyulingan minyak nilam ini juga dapat memberikan pendapatan tambahan bagi masyarakat sekitarnya karena bahan bakunya diperoleh dengan cara membeli nilam yang ditanam penduduk dari pekarangan atau kebun mereka. Jadi, dengan adanya usaha kecil penyulingan minyak nilam ini sangat berguna dalam menyediakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitarnya.
Menyadari besarnya peranan usaha kecil penyulingan minyak nilam dalam menyediakan kesempatan kerja, maka penulis tertarik untuk mengetahui sejauh manakah peranan usaha kecil penyulingan minyak nilam dalam menyerap tenaga kerja. Untuk itu Penulis memilih judul ”PERANAN USAHA KECIL PENYULINGAN MINYAK NILAM TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA” di Kecamatan X Kabupaten X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana keadaan usaha kecil penyulingan minyak nilam di Kecamatan X Kabupaten X?
2. Bagaimana Peranan usaha kecil penyulingan minyak nilam terhadap penyerapan tenaga kerja?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui keadaan usaha kecil penyulingan minyak nilam di Kecamatan X yang dapat membantu tersedianya lapangan kerja bagi penduduk.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan seberapa besar peranan usaha kecil penyulingan minyak nilam terhadap penyerapan tenaga kerja.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pengetahuan di bidang pengolahan dan pengembangan usaha kecil penyulingan minyak nilam berkaitan dengan peranannya dalam penyerapan tenaga kerja di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam pembangunan di Kecamatan X Kabupaten X.
b. Bagi pengusaha usaha kecil penyulingan minyak nilam sebagai masukan untuk menjaga kelangsungan serta pengembangan usahanya.