Search This Blog

TESIS STRATEGI PENINGKATAN MOTIVASI KERJA APARATUR DLM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

TESIS STRATEGI PENINGKATAN MOTIVASI KERJA APARATUR DLM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN


(KODE : PASCSARJ-0159) : TESIS STRATEGI PENINGKATAN MOTIVASI KERJA APARATUR DLM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyelenggaraan pemerintahan kecamatan memerlukan adanya seorang pemimpin yang selalu mampu untuk menggerakkan bawahannya agar dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya untuk berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara berdayaguna dan berhasil guna. Keberhasilan pembangunan akan terlihat dari tingginya produktivitas, penduduk makmur dan sejahtera secara merata (Budiman, 1995 : 4). Kondisi seperti ini tentunya tidak terlepas dari peranan sumber daya manusia (Rachbini, 2002 : 198). Pendapat seperti tersebut di atas sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 yang dalam penjelasannya menyatakan bahwa kelancaran penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional sangat tergantung pada kesempurnaan aparatur negara khususnya pegawai negeri.
Kecamatan dilihat dari sistem pemerintahan Indonesia, merupakan ujung tombak dari pemerintahan daerah yang langsung berhadapan dengan masyarakat luas. Citra birokrasi pemerintahan secara keseluruhan akan banyak ditentukan oleh kinerja organisasi tersebut. Masyarakat perkotaan yang peradabannya sudah cukup maju, mempunyai kompleksitas permasalahan lebih tinggi dibandingkan pada masyarakat tradisional sehingga diperlukan aparatur pelayanan yang profesional.
Ketidaktergantungannya kepada alam menyebabkan masyarakat kota sangat menghargai waktu. Persaingan yang ketat dan tajam menuntut adanya kecepatan, ketepatan, serta kecermatan pengambilan keputusan. Masyarakat perkotaan pada umumnya berorientasi ke masa depan. Penjelasan ini sejalan seperti yang dikemukakan oleh Ndraha (1991 : 88) bahwa dalam masyarakat yang tak berdaya (powerless) bersifat nrimo atau dibuat seperti itu, tuntutan tidak setajam dan tekanan terhadap struktur supra pada sistem politik tidak seberat jika masyarakat peka, sensitive, aktif, responsif dan vokal.
Menghadapi kondisi pertama beban para pejabat lebih ringan dan tidak begitu pusing memikirkan distribusi nilai secara adil ke dalam masyarakat. Kondisi semacam ini secara teoritis dapat dijelaskan melalui konsep yang dikemukakan oleh Riggs (1985) dengan model masyarakat prismatic-nya. Masyarakat yang masih sederhana, berbagai fungsi masih memusat pada segelintir orang atau badan tertentu. Kemudian setelah melalui tahap perubahan, yang digambarkan seperti sinar yang memasuki kaca prisma, fungsi-fungsi tersebut akan memencar kearah spesialisasi.
Gambaran seperti tersebut di atas berkaitan dengan beban kerja yang harus dipikul oleh seorang pimpinan organisasi. Beban tugas yang besar harus dipikul oleh seorang pimpinan menurut Manila (1996 : 3) dapat diatasi dengan tiga hal yaitu penerapan asas staf umum, pendelegasian wewenang dan tanggungjawab serta penyelesaian melalui bantuan suatu tim. Adanya de-birokratisasi di Indonesia pada hakekatnya adalah untuk menjawab tantangan masyarakat yang sedang berubah. Konsep pelayanan one-stop service yang menghendaki adanya kejelasan prosedur, biaya maupun waktu menjadi dambaan semua kalangan masyarakat terutama kaum usahawan.
Semangat de-birokratisasi menyongsong era industrialisasi sudah mulai dijiwai oleh aparat pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun aparat pemerintah pusat yang ada di daerah. Tetapi semangat tersebut saja tidak cukup untuk mengatasi berbagai masalah manajerial yang masih melilit organisasi kecamatan dalam usaha mencapai tujuan organisasi secara berhasil guna dan berdaya guna. Padahal hasil capai organisasi di tingkat kecamatan sebagai sebagai subsistem, berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap hasil capai organisasi pemerintahan secara keseluruhan. Hal ini sejalan yang dikemukakan oleh Supriatna (1999 : 30) bahwa kualitas sumber daya manusia dan kualitas pemimpin khususnya merupakan faktor penentu sukses tidaknya organisasi atau usaha baik didunia bisnis maupun di dunia pendidikan, kesehatan, agama, sosial, politik, pemerintahan, dan menentukan keberhasilan lembaga atau organisasinya. Pemimpin harus mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi, dapat mengoreksi kelemahan, sanggup membawa organisasi kepada sasaran dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Kecamatan merupakan line office dari pemerintah daerah yang berhadapan langsung dengan masyarakat dan mempunyai tugas membina desa/kelurahan harus pula diselenggarakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Sebagai sebuah organisasi yang hidup dan melayani kehidupan masyarakat yang penuh dinamika, kecamatan mengalami banyak masalah sebagai organisasi administratif. Masalah yang dihadapi juga lebih banyak bersifat manajerial dibandingkan dengan masalah yang bersifat politik. Kompleksitas masalah yang dihadapi berkaitan erat dengan banyaknya jumlah penduduk yang dilayani, tingkat heterogenitasnya (asal usul, pendidikan, umur, kemapuan ekonomi) banyaknya desa/kelurahan bawahan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Wasistiono (1991 : 55) bahwa di tingkat kecamatan, camat adalah manajer puncak, oleh karena itu camat juga menjalankan keempat fungsi manajemen secara berimbang. Tanpa adanya dukungan pegawai yang memadai kualitas maupun kuantitasnya, maka camat akan lebih banyak menghabiskan waktu dan pemikirannya dibelakang meja menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat teknis administratif. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa kunci keberhasilan organisasi terletak pada kinerja pegawai-pegawainya (Cushway dan Lodge, 1987 : 133).
Pelaksanaan pekerjaan oleh para pegawai di lingkungan organisasi pemerintahan kecamatan pada dasarnya berlangsung dalam kondisi pegawai sebagai manusia, suasana batin dan psikologis seorang pegawai sebagai individu dalam masyarakat organisasi yang menjadi lingkungan kerjanya sangat besar pengaruhnya pada pelaksanaan pekerjaannya. Suasana batin itu terlihat dalam semangat atau gairah kerja yang menghasilkan kegiatan kerja sebagai kontribusi bagi pencapaian tujuan organisasi tempatnya bekerja. Kenyataan menunjukkan bahwa dari segi psikologis, bergairah atau bersemangat dan sebaliknya tidak bergairah atau tidak bersemangat seorang pegawai dalam melaksanakan pekerjaannya sangat dipengaruhi oleh motivasi kerja yang mendorongnya. Berdasarkan hal tersebut di atas maka setiap aparatur pemerintah memerlukan motivasi yang kuat agar bersedia melaksanakan pekerjaan secara bersemangat, bergairah dan berdedikasi sehingga dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat, karena hubungan antara motivasi dan prestasi kerja menurut Armstrong (1988 : 75) adalah sesuatu yang positif, meningkatnya motivasi akan menghasilkan lebih banyak usaha dan prestasi kerja yang lebih baik. Prinsip tersebut tidak menutup kemungkinan kondisi bahwa dalam keadaan terpaksa seseorang mungkin saja melakukan sesuatu yang tidak disukainya.
Seiring dengan besarnya tuntutan akan penerapan good governance, tuntutan akan pelayanan publik yang berkualitas juga menjadi semakin besar. Pemerintah merespon tuntutan ini dengan menetapkan tahun 2004 sebagai tahun peningkatan pelayanan publik. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka meningkatkan pelayanan, seperti misalnya pelayanan prima dan standar pelayanan minimal. Akan tetapi perbaikan kualitas masih belum berjalan sebagaimana diharapkan.
Penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah Kecamatan X dalam berbagai sektor pelayanan terutama yang menyangkut pemenuhan hak-hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat (seperti pelayanan KK, KTP, UUG, IMB, Akta Kelahiran dan sebagainya) masih belum seperti yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat antara lain dari banyaknya pengaduan atau keluhan dari masyarakat dan dunia usaha, baik melalui surat pembaca maupun media, sebagaimana dimuat dalam pemberitaan AP Post terbitan 23 Maret 2005 yang mengungkapkan keluhan konsumen berupa keberatan terhadap biaya pengurusan KTP di Kecamatan X. Fakta lainnya adalah hasil Laporan Observasi Lapangan Diklatpim Tingkat IV Kabupaten Sambas Tahun 2005 yang menyimpulkan bahwa pengelolaan produk layanan penerbitan KTP oleh Kecamatan X tahun 2004 belum optimal, hal ini terbukti dari data 37.398 wajib KTP, hanya 7.796 atau 20,84% penduduk memiliki KTP. Selanjutnya pengelolaan layanan izin gangguan dan izin mendirikan bangunan juga belum optimal, hal ini terbukti dengan tidak terdapatnya data yang akurat tentang kepemilikan izin gangguan dan IMB oleh masyarakat yang memanfaatkan ruang publik untuk kegiatan usahanya.
Fenomena sebagaimana tersebut di atas, mengisyaratkan bahwa manajemen sebagai proses mendayagunakan orang lain untuk mencapai suatu tujuan, hanya akan berlangsung efektif dan efisien jika para pimpinan mampu memotivasi para bawahan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Organisasi pemerintahan perlu didukung oleh seorang pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan dengan menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang profesional, mempunyai strategi yang mampu menggerakkan dan memotivasi bawahan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. Hal yang menarik dalam paradigma baru administrasi publik, dikembangkannya kepemimpinan visioner yaitu kepemimpinan organisasi publik yang menuntut visi, misi dan strategi untuk mampu bertindak simultan sebagai pemberi arah, agen pembaharuan, juru bicara dan pembimbing dalam rangka menyatukan, mengerakkan dan menciptakan iklim organisasi yang kondusif.
Kenyataan yang kita hadapi, pendekatan motivasi klasik masih seringkali dilakukan oleh pimpinan yaitu dengan mengatur sistem gaji dan promosi. Pendekatan ini perlu disadari bukan merupakan cara terbaik, karena kebutuhan pegawai sebagai manusia sangat komplek. Mereka bisa terdorong bekerja dengan semangat kalau memiliki pimpinan yang akomodatif, penuh kreatif, inovatif, memberikan kesempatan dalam perencanaan, pengembangan potensi diri, keadilan, memiliki teman-teman yang baik dimana mereka dihargai dan diperhitungkan sebagai bagian dari organisasi.
Fakta menunjukkan bahwa di instansi pemerintah pemenuhan kebutuhan tersebut di atas sering diabaikan oleh pimpinan dengan alasan belum ada anggaran atau panjangnya rantai birokrasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemenuhan akan kebutuhan pegawai baik materi maupun non materi belum menjadi skala prioritas, yang terpenting bagi organisasi dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Namun mereka belum sadar bahwa kunci keberhasilan organisasi tergantung dari sumber daya manusianya.
Hal tersebut di atas diperparah lagi dengan munculnya isu yang sangat popular di setiap organisasi publik yaitu menyebarnya gejela parkinson. Di Indonesia gejela ini dapat dilihat ketika para pejabat memasukkan anggota keluarganya, teman dekat, dan sebagainya sebagai hasil korupsi, kolusi dan nepotisme, meskipun beban kerja relatif tetap. Hal ini tentunya merugikan beban anggaran negara karena telah terjadi pemborosan yaitu mempekerjakan orang-orang yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Berdasarkan data kepegawaian yang ada di Kecamatan X menunjukkan bahwa terdapat 34 orang pegawai yang berstatus PNS dan 3 orang yang berstatus pegawai honorer. Jumlah pegawai 37 orang dirasakan sudah lebih dari cukup untuk melayani masyarakat setiap harinya dengan kualitas yang prima.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dirasakan perlunya mengadakan kajian mengenai strategi memotivasi kerja pegawai. Beberapa hasil penelitian seperti yang dilakukan oleh Ma'rifah (2005) dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh Motivasi Kerja dan Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Pekerja Sosial pada UPT Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur, dan penelitian yang dilakukan oleh Suwandi (2004) dalam tesisnya yang berjudul Pengaruh Kejelasan Peran dan Motivasi Kerja terhadap Efektifitas Pelaksanaan Tugas Jabatan Kepala Sub Bagian di Lingkungan Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Timur, memfokuskan pada pengaruh motivasi terhadap kinerja dan pelaksanaan tugas pegawai. Penelitian tersebut di atas belum membahas strategi yang digunakan oleh pimpinan untuk motivasi kerja pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
Berdasarkan hal tersebut di atas penelitian ini dianggap sebagai upaya baru untuk mengkaji strategi yang diterapkan oleh pimpinan untuk memotivasi kerja pegawai. Penelitian mengenai strategi memotivasi kerja pegawai di Kecamatan X belum pernah dilakukan. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat aparatur di tingkat kecamatan merupakan ujung tombak pelayanan. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut dalam sebuah tesis yang berjudul Strategi Peningkatan Motivasi Kerja Aparatur Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan : Studi Kasus di Kecamatan X.

B. Ruang Lingkup Masalah
Mengingat ruang lingkup permasalahan motivasi kerja pegawai cukup luas dan komplek, maka dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan pada strategi yang dilakukan oleh pimpinan untuk memotivasi pegawai.

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan ruang lingkup permasalahan tersebut di atas, dapatlah dirumuskan permasalahan yaitu bagaimana strategi yang dilakukan oleh pimpinan untuk memotivasi pegawai ?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi yang dilakukan oleh pimpinan unit kerja untuk memotivasi pegawai agar bekerja lebih giat.

E. Kegunaan Penelitian
Ada 2 (dua) manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu :
1) Kegunaan Akademik
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan terutama di bidang Administrasi Negara.
2) Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah Kecamatan X dalam membuat suatu kebijakan untuk meningkatkan motivasi kerja aparatur.

TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KECAMATAN X

TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KECAMATAN X


(KODE : PASCSARJ-0158) : TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMUNGUTAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI KECAMATAN X (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Untuk memenuhi tuntutan perkembangan jaman yang semakin maju, dibutuhkan pemerintahan yang responsif dan mandiri. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih kreatif mencari terobosan untuk meningkatkan pendapatan daerahnya. Sumber-sumber pendapatan daerah terdiri dari komponen Pendapatan Asli Daerah Sendiri (PADS), Dana Alokasi dari Pemerintah Pusat yang terdiri dari dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), Pinjaman daerah dan penerimaan lain yang sah. Pendapatan daerah dari sektor pajak termasuk dalam komponen pendapatan asli daerah yang nilainya signifikan dibandingkan dengan sumber pendapatan lainnya. Pada sektor pajak, sumbangan terbesar untuk PADS Kabupaten X diberikan oleh Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yaitu sebesar 23,3% pada tahun 2005.
Penerimaan daerah dari sektor PBB telah diatur dalam undang-undang nomor 12 Tahun 1986 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, sebagimana telah disempurnakan dalam Undang Undang Nomor 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan, dimana pembagiannya ditetapkan untuk pemerintah pusat 10%, Pemerintah Provinsi 16,2%, Pemerintah Kabupaten 64,8% dan Upah Pungut 9%. Bagi pemerintah daerah pemasukan dari pembagian pemasukan PBB ini cukup penting dalam menopang jalannya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah, oleh karena itu dibutuhkan adanya menajemen yang baik untuk mengendalikan penagihan PBB ini.
Kenyataan yang terjadi di Kabupaten X, pendapatan dari sektor PBB belum dapat mencapai target seperti yang diharapkan. Data penerimaan PBB dari tahun ke tahun menunjukkan trend yang fluktuatif.
Setiap tahun terjadi peningkatan realisasi penerimaan yang cukup besar. Meskipun pada tahun sebelumnya masih ada tunggakan tetap saja terjadi kenaikan realisasi PBB. Besarnya tunggakan dari tahun ke tahun tidak menunjukkan trend yang konstan melainkan bersifat fluktuatif. Perolehan pemungutan PBB di tingkat kecamatan sejak tahun 2000 juga selalu menyisakan adanya tunggakan PBB.
Dari tahun ke tahun selalu ada tunggakan PBB yang berkisar antara 5 sampai 15 persen per tahun. Besarnya tunggakan PBB di Kecamatan X Membutuhkan perhatian serius karena Kecamatan X merupakan kecamatan yang memberikan kontribusi terbesar dari penerimaan sektor PBB dibandingkan 16 Kecamatan lainnya di wilayah Kabupaten X.
Kontribusi penerimaan PBB Kecamatan X terhadap total penerimaan PBB tingkat Kabupaten X cukup signifikan. Penerimaan PBB dari Kecamatan X menyumbangkan 23 sampai dengan 30 persen total penerimaan PBB di Kabupaten X.
Adanya tunggakan yang selalu terjadi setiap tahun merupakan permasalahan rutin yang tidak mudah untuk diselesaikan. Untuk menjawab permasalahan ini dibutuhkan strategi yang tepat untuk memberikan arah bagi pelaksanaan kebijakan yang komprehensif dan menyentuh akar permasalannya. Penyusunan strategi yang tepat membutuhkan informasi yang cukup dan akurat mengenai hambatan-hambatan dalam proses implementasi Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan di Kecamatan X Kabupaten X.
Permasalahan yang menyebabkan tidak optimalnya pemungutan PBB dapat dilihat dari berbagai segi diantaranya dari segi kebijaksanaan publik yang meliputi Formulasi maupun implementasi kebijakannya. Dari segi otoritas pelaksana kebijakan pemungutan PBB, Kewenangan Pemungutan PBB telah dilimpahkan oleh pemerintah Pusat kepada Bupati/Walikota melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 1007/KMK/04/1995. Pelimpahan tersebut meliputi pelimpahan mekanisme penagihannya sedangkan urusan prinsipal mengenai pendataan subyek dan obyak pajak, penetapan besarnya nilai PBB sampai pada pemaksaan dan sanksi masih berada pada Departemen Keuangan dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.
Dengan adanya pemisahan kewenangan antara Pemerintah Kabupaten dan Kantor Pelayanan pajak, seringkali terjadi permasalahan dan kendala dalam implementasi pemungutan PBB antara lain : 1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) seringkali terlambat disampaikan kepada masyarakat maupun tempat pembayaran, 2. Setiap ada kesalahan administratif mengenai data yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) harus diselesaikan melalui KP PBB. 3. Penentuan besaran pajak oleh KP PBB seringkali tidak akurat sehingga masyarakat yang merasa tidak diperlakukan secara adil atau merasa keberatan tidak mau melunasi PBB, sedangkan untuk mengajukan keberatan harus dilakukan di KP PBB. 4. KP PBB X memiliki cakupan wilayah pelayanan yang sangat luas meliputi Kabupaten Sragen, Kota X dan Kabupaten X dengan jumlah Wajib pajak yang dilayani mencapai 2 juta Wajib pajak, sehinga pelayanan tidak dapat diberikan secara cepat dan optimal karena keterbatasan kemampuan sumber daya yang dimiliki dibandingkan dengan cakupan pelayanan yang seharusnya diberikan.
Lemahnya koordinasi dalam administrasi pertanahan ditengarai juga menyebabkan kendala dalam pemungutan PBB. Contohnya koordinasi antara Badan Pertanahan Nasional dan KP PBB dalam hal pengadministrasian mutasi tanah. Hal ini ditandai dengan banyaknya mutasi kepemilikan tanah yang tidak diikuti oleh mutasi administrasi PBB, sehingga pada saat penagihan nama yang tercantum dalam SPPT tidak mau membayar dengan alasan sudah tidak menguasai tanah yang tercantum dalam SPPT PBB nya ditagihkan kepadanya. Akibatnya petugas pemungut yang notabene merupakan aparat pemerintah desa setempat pun menemui kesulitan untuk melakukan penagihan. Tidak adanya penegakan hukum berupa sanksi yang tegas kepada para penunggak PBB adalah faktor lain penyebab tidak optimalnya pemungutan PBB.
Berbagai kendala sebagaimana disebutkan diatas menyebabkan pemungutan PBB Tidak dapat optimal dengan hasil lunas 100%, tetapi selalu menyisakan tunggakan dari tahun ketahun.

B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Bagaimana implementasi pemungutan PBB di Kecamatan X Kabupaten X ?"

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui proses implementasi pemungutan PBB di Kecamatan X Kabupaten X
2. Untuk mengetahui faktor penghambat dan faktor pendukung dalam implementasi kebijakan pemungutan PBB.

D. Manfaat Penelitian 
Manfaat yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara khusus hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi Pemerintah Kecamatan X Kabupaten X dalam rangka meningkatkan penerimaan dari sektor PBB.
2. Secara umum hasil penelitian ini diharapkan akan dapat digunakan oleh para pembuat kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan penerimaan pendapatan negara dari sektor PBB.
3. Sebagai masukan bagi kalangan akademis yang tertarik untuk mlelaksanakan penelitian sejenis.

TESIS ANALISIS PENGARUH KOMPENSASI, GAYA KEPEMIMPINAN, DAN KONDISI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL

TESIS ANALISIS PENGARUH KOMPENSASI, GAYA KEPEMIMPINAN, DAN KONDISI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL


(KODE : PASCSARJ-0157) : TESIS ANALISIS PENGARUH KOMPENSASI, GAYA KEPEMIMPINAN, DAN KONDISI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENYAJIAN MASALAH PENELITIAN

A. Latar Belakang Masalah
Direktorat Penilaian Kekayaan Negara adalah unit organisasi setingkat eselon II yang berada di bawah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan, Direktorat Penilaian Kekayaan Negara diberi tugas untuk melaksanakan perumusan kebijakan, standardisasi, bimbingan teknis, analisis, supervisi, evaluasi, rekomendasi, dan pelaksanaan tugas di bidang penilaian kekayaan negara, berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara.
Direktorat Penilaian Kekayaan Negara mulai dibentuk pada pertengahan tahun 2006 seiring dengan pengembangan organisasi Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Pada awal pembentukannya, sebagai unit organisasi yang relatif baru, pengisian jabatan Eselon II dan Eselon III pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara berasal dari promosi pejabat atau pegawai yang berada satu tingkat di bawahnya. Hal ini dilakukan karena untuk menduduki jabatan pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara di samping harus memiliki kemampuan manajerial atau kepemimpinan, juga dibutuhkan keahlian khusus di bidang penilaian. Di lain pihak, jumlah pejabat yang memiliki keahlian di bidang penilaian jumlahnya masih relatif sedikit.
Pada pertengahan tahun 2007, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mencanangkan program penertiban barang milik negara, yang didalamnya termasuk kegiatan penilaian atas barang milik negara yang berada pada seluruh Kementerian/Lembaga yang berada di dalam negeri maupun luar negeri. Program tersebut harus diselesaikan pada bulan Maret 2010. Selain melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dalam penyusunan kebijakan teknis penilaian, pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara juga harus melakukan pelayanan penilaian atas permohonan pemanfaatan atau pemindahtanganan barang milik negara yang diajukan oleh pimpinan Kementerian/Lembaga serta memberikan bantuan teknis penilaian kepada instansi vertikal Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang tersebar di seluruh Indonesia. Beban kerja yang tinggi serta tuntutan kinerja yang semakin baik dan pencapaian target yang harus diselesaikan telah mendorong jajaran pimpinan untuk mendorong kinerja para pegawai. Akibatnya tanpa disadari para pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara lebih berorientasi pada tugas dibanding orientasi pada hubungan manusia. Di sisi lain, kegiatan penilaian yang dilakukan oleh pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara memiliki potensi risiko yaitu merugikan keuangan negara, apabila hasil penilaiannya ternyata dibawah nilai yang seharusnya atau batalnya pemanfaatan atau pemindahtanganan barang milik negara, apabila hasil penilaiannya terlalu tinggi. Gaya kepemimpinan Pejabat Direktorat Penilaian Kekayaan Negara yang demikian sering kali dikeluhkan oleh Pegawai Negeri Sipil yang berstatus sebagai pelaksana dan Pejabat Eselon IV di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Keluhan tersebut mengindikasikan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang berstatus sebagai pelaksana dan Pejabat Eselon IV di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum mendapatkan kepuasan yang optimal atas gaya kepemimpinan Pejabat di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik, pada tahun 2007 Menteri Keuangan mencanangkan secara resmi program reformasi birokrasi sebagai program prioritas di Kementerian Keuangan. Program reformasi birokrasi mencakup penataan organisasi, perbaikan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya manusia. Penataan organisasi meliputi modernisasi dan pemisahan, penggabungan, serta penajaman fungsi organisasi. Perbaikan proses bisnis meliputi analisa dan evaluasi jabatan, analisa beban kerja, dan penyusunan standard operating procedure (SOP). Sedangkan peningkatan manjemen sumber daya manusia meliputi penyelenggaraan pendidikan dan latihan berbasis kompetensi, pembangunan assessment , penyusunan pola mutasi, peningkatan disiplin dan pengintegrasian Sistem Informasi Manajemen Pegawai.
Sebagai bagian dari program reformasi birokrasi, untuk meningkatkan kinerja pegawai dan mengurangi tindak korupsi, pada akhir tahun 2007 para pegawai Kementerian Keuangan termasuk pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara diberikan remunerasi yang besarannya tergantung dari grading jabatan yang diukur berdasarkan beban kerja dan risiko pekerjaannya. Dengan demikian, besaran penerimaan yang diterima masing-masing pegawai berbeda-beda. Berdasarkan pengamatan penulis di lapangan, bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, program reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan telah memberikan perbaikan penghasilan, namun dengan adanya penilaian kinerja yang cukup ketat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.01/2008 tentang Pedoman Penetapan, Evaluasi, Penilaian, Kenaikan dan Penurunan Jabatan dan Peringkat Bagi Pemangku Jabatan Pelaksana di Lingkungan Kementerian Keuangan, para pegawai merasakan adanya tuntutan pekerjaan yang semakin berat dan menuntut penyelesaian yang semakin cepat dan akurat, sehingga dirasakan besaran penghasilan yang diterima belum memenuhi harapan para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Rumitnya penggunaan fasilitas asuransi kesehatan serta kecilnya besaran pertanggungan juga belum sesuai dengan harapan para pegawai. Tidak adanya perlindungan asuransi jiwa dalam pelaksanaan pekerjaan para pegawai serta kebijakan cuti bersama juga sering dikeluhkan oleh para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, patut diduga bahwa kompensasi finansial yang diterima belum memberikan kepuasan yang optimal bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Saat ini pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara menempati separuh lantai 6 Gedung Syafrudin Parwiranegara yang kondisinya telah cukup tua, pernah mengalami kebakaran sebanyak dua kali, mengalami keretakan pada struktur bangunan, dan mengalami kemiringan sebesar tiga centi meter akibat gempa yang mengguncang Jakarta pada tahun 2009. Ruangan Pejabat Eselon II dan III dipisahkan oleh sekat atau partisi, sedangkan ruangan eselon IV dan pelaksana menggunakan satu ruangan terbuka yang tidak dipisahkan oleh sekat atau partisi. Karena ruangan tidak sebanding dengan jumlah pegawai, maka meja pegawai berdesakan dan mengakibatkan suhu di ruangan terasa panas. Di samping itu, kenyamanan pegawai dalam bekerja terganggu karena kegaduhan dan privasi pegawai kurang terjaga. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, patut diguga bahwa kondisi kerja yang ada saat ini belum memberikan kepuasan yang optimal bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
Untuk mencapai tujuan organisasi, sumber daya organisasi baik sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya modal harus dikelola secara efektif dan efisien. Di antara sumber daya tersebut, sumber daya manusia mempunyai peran yang sangat penting bagi pencapaian tujuan organisasi karena seluruh sumber daya organisasi dikendalikan oleh sumber daya manusia. Oleh karena itu, pengelolaan atau manajemen sumber daya manusia harus dilakukan secara hati-hati mengingat baik subjek maupun objek pengelolaannya adalah manusia. Di samping itu, upaya pencapaian tujuan organisasi sering menghadapi kendala yang berasal dari sumber daya manusia, yang salah satu sumber penyebabnya adalah adanya ketidakpuasan kerja dari para pegawainya yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai maupun kinerja organisasi.
Berdasarkan hasil pengamatan, diduga kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum memberikan kepuasan kerja yang optimal bagi pelaksana dan Pejabat Eselon IV Direktorat Penilaian Kekayaan Negara. Oleh karena itu, pimpinan perlu menaruh perhatian pada usaha-usaha untuk memberikan kepuasan kerja, karena kepuasan kerja mempunyai peranan penting terhadap prestasi kerja. Pada saat pegawai merasakan kepuasan dalam bekerja maka pegawai tersebut dengan segenap kemampuan yang dimilikinya akan berupaya semaksimal mungkin untuk menyelesaikan tugasnya yang pada akhirnya akan menghasilkan kinerja dan pencapaian yang baik bagi organisasi. Dari sisi organisasi, kepuasan kerja pegawai secara langsung maupun tidak langsung akan pengaruh terhadap produktivitas organisasi. Ketidakpuasan pegawai merupakan titik awal dari masalah-masalah yang muncul dalam organisasi seperti kemangkiran, konflik pimpinan bawahan dan perputaran pegawai.
Sedangkan dari sisi pekerja, ketidakpuasan dapat menyebabkan menurunnya motivasi, menurunnya moril kerja, dan menurunnya tampilan kerja baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.
Penelitian mengenai kepuasan kerja menjadi masalah yang cukup menarik dan penting karena terbukti besar manfaatnya bagi kepentingan pegawai, Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, dan masyarakat. Atas dasar fakta-fakta yang ada di lapangan perlu dilakukan penelitian apakah kompensasi yang telah diberikan kepada para pegawai, gaya kepemimpinan pimpinan, dan kondisi kerja Direktorat Penilaian Kekayaan Negara telah memberikan kepuasan kerja bagi para Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara yang dituangkan tesis yang berjudul "Analisis Pengaruh Kompensasi, Gaya Kepemimpinan, dan Kondisi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Negeri Sipil Pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pengamatan penulis di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, ditemukan masalah bahwa :
1. Kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum optimal karena pengaruh faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, baik secara sendiri-sendiri maupun secara serentak.
2. Kepuasan kerja para Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara masih harus ditingkatkan.
3. Sistem kompensasi di Direktorat Penilaian Kekayaan Negara masih harus disempurnakan.
4. Beban kerja pelaksana dan Pejabat Eselon IV Direktorat Penilaian melebihi kapasitasnya.
5. Remunerasi di Kementerian Keuangan diikuti dengan tuntutan kualitas pekerjaan dan kecepatan penyelesaian pekerjaan, sehingga besaran remunerasi masih dirasakan belum sebanding dengan beban pekerjaan dan risiko pekerjaan.
6. Pelaksanan pekerjaan Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum didukung dengan peralatan keselamatan dan asuransi jiwa.
7. Asuransi kesehatan yang telah diberikan belum secara penuh menjamin kesehatan Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
8. Pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara lebih berorientasi pada tugas, dibanding orientasi pada hubungan kemanusiaan.
9. Ruangan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara belum memberikan keleluasaan gerak dan privasi.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Mengingat keterbatasan waktu, dana, dan tenaga, maka penelitian dibatasi pada masalah pengaruh kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai Direktorat Penilaian Kekayaan Negara di Jakarta yang berkedudukan sebagai pelaksana dan Pejabat Struktural setingkat Eselon IV.

D. Perumusan Masalah
Kepuasan kerja merupakan pokok bahasan yang menarik bagi para ahli psikologi industri maupun manajemen karena kepuasan kerja merupakan hal yang bersifat individual. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda dalam dirinya sehingga tidak mudah memuaskan pegawai.
Setelah diketahui identifikasi masalah dan ruang lingkup penelitian, dapat ditentukan rumusan masalah dalam tesis ini yaitu :
1. Apakah terdapat pengaruh kompensasi terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
2. Apakah terdapat pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
3. Apakah terdapat pengaruh kondisi kerja terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
4. Apakah terdapat pengaruh kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?
5. Diantara faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, faktor manakah yang paling berpengaruh terhadap kepuasan kerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Penilaian Kekayaan Negara ?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui seberapa kuat pengaruh faktor kompensasi, gaya kepemimpinan, dan kondisi kerja, baik secara sendiri-sendiri maupun simultan terhadap kepuasan kerja yang diperoleh Pegawai Negeri Sipil Direktorat Penilaian Kekayaan Negara.
2. Kegunaan Penelitian
a. Bagi pegawai, penelitian tentang kepuasan kerja memungkinkan usaha-usaha untuk meningkatkan kepuasan kerja dan kebahagiaan pegawai.
b. Bagi organisasi, khususnya bagi Bagian Kepegawaian dan jajaran pimpinan Direktorat Penilaian Kekayaan Negara, penelitian mengenai kepuasan kerja berguna untuk meningkatkan kinerja organisasi melalui perbaikan sikap dan perilaku pegawai.
c. Bagi masyarakat, penelitian mengenai kepuasan kerja akan membantu masyarakat menikmati kapasitas maksimun pelayanan organisasi serta naiknya nilai manusia dalam konteks pekerjaan.

SKRIPSI PERAN DPPKAD DALAM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH (STUDI TENTANG PENGELOLAAN PAD) KABUPATEN X

SKRIPSI PERAN DPPKAD DALAM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH (STUDI TENTANG PENGELOLAAN PAD) KABUPATEN X


(KODE : FISIP-IP-0006) : SKRIPSI PERAN DPPKAD DALAM MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH (STUDI TENTANG PENGELOLAAN PAD) KABUPATEN X


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian
Salah satu tuntutan Reformasi 98’ adalah Otonomi Daerah. Lahirnya tuntutan ini bisa dimaknai sebagai strategi atau solusi atas maraknya isu disintegrasi daerah. Ada banyak sebab lahirnya tuntutan itu. Salah satunya karena cara-cara penyelesaian problem kebangsaan oleh pemerintah yang militeristik. Padahal militeristik adalah ciri fasisme. Selain itu, otonomi daerah ini adalah bentuk kompromi dari pertikaian panjang antara dua konsep bentuk negara dengan akar historis dan filosofis sangat berbeda. Kedua konsep itu adalah bentuk negara federal dan bentuk Negara kesatuan yang masing-masing diadopsi dan dipertahankan oleh Muhammad Hatta dan Soekarno.
Reformasi telah membawa suasana baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prestasi reformasi (Chrisnandi, 2008) ditandai dengan rezim lama diturunkan dan digantikan rezim baru. Politik otoritarianisme digantikan politik demokrasi. Sentralisme dikubur dengan desentralisasi. Konstitusi lama (UUD 1945) diamandemen sebanyak empat kali. Multipartai menyediakan ruang bagi setiap orang untuk berkumpul dan mendirikan partai politik. Dibentuk lembaga baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui asas desentralisasi, otonomi daerah hadir untuk memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sendiri urusan pemerintahan dalam upaya meningkatkan kemandirian daerah.
Desentralisasi merupakan sebuah proses di mana pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk menjalankan segala urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang berkaitan dengan urusan Politik Luar Negeri, Pertahanan, Keamanan, Yustisi, Moneter dan Fiskal Nasional, dan Agama. Karena itu adalah urusan pemerintahan yang hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota. Urusan itu meliputi : (a) perencanaan dan pengendalian pembangunan, (b) perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, (c) penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, (d) penyediaan sarana dan prasarana umum, (e) penanganan bidang kesehatan, (f) penyelenggaraan pendidikan, (g) penanggulangan masalah sosial, (h) pelayanan bidang ketenagakerjaan, (i) fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, (j) pengendalian lingkungan hidup, (k) pelayanan pertanahan, (l) pelayanan kependudukan, dan catatan sipl, (m) pelayanan administrasi umum pemerintahan, (n) pelayanan administrasi penanaman modal, (o) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya, (p) urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 
Selanjutnya, dalam urusan keuangan, diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah. Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintah Daerah didasarkan atas penyerahan tugas kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal.
Otonomi Daerah telah lama menjadi wacana publik Indonesia. Meski demikian, dalam pelaksanaan otonomi daerah ini belum berjalan sebagaimana tujuan awalnya. Terdapat banyak ketimpangan dalam upaya pengimplementasian konsep otonomi daerah. Beragam realitas empirik dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut Keban (Fakrulloh dkk, 2004), ada beberapa hal yang dapat mengganggu kinerja pencapaian tujuan otonomi daerah yaitu (1) adanya kesalahan strategis dalam perwujudan otonomi daerah, (2) perbedaan persepsi dan pemahaman tentang konsep otonomi daerah, (3) perbedaan paradigma otonomi daerah yang dianut oleh para elit politik, (4) paradigma birokrasi masih kuat.
Selain itu, salah satu problema yang dihadapi oleh sebagian daerah kabupaten/kota dewasa ini adalah berkisar pada upaya peningkatan PAD. Problema ini muncul karena adanya kecenderungan berpikir dari sebagian kalangan birokrat di daerah yang menganggap bahwa parameter utama yang menentukan kemandirian suatu daerah dalam berotonomi adalah terletak pada besarnya PAD. Kecenderungan berpikir ini tidak lahir begitu saja tanpa landasan rasional dan empiris mengingat masih banyak daerah otonom yang masih mengandalkan dana perimbangan sebagai sumber utama keuangan daerah dalam pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Artinya, daerah-daerah itu belum mampu menjalankan desentralisasi.
Merujuk pada hasil penelitian Badan Peneliti dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada, Syarifuddin Tayeb menyatakan bahwa dari 292 Daerah Kabupaten yang diteliti menunjukkan rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah. Berikut rinciannya :
- 122 Daerah Kabupaten berkisar antara 0,53%-10%
- 86 Daerah Kabupaten berkisar antara 10%-20%
- 43 Daerah Kabupaten berkisar antara 20,1%-30%
- 17 Daerah Kabupaten berkisar antara 31,1%-50%
- 2 Daerah Kabupaten berkisar di atas 50%
Rendahnya konstribusi pendapatan asli daerah terhadap pembiayaan daerah, karena daerah hanya diberikan kewenangan mobilisasi sumber dana pajak dan yang mampu memenuhi hanya sekitar 20%-30% dari total penerimaan untuk membiayai kebutuhan rutin dan pembangunan, sementara 70%-80% didrop dari pusat.
Mengingat banyaknya sumber-sumber PAD yang bisa dioptimalkan, daerah otonom tidak perlu mengandalkan dana perimbangan dalam pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Apalagi dalam konteks Kabupaten X yang memiliki banyak kekayaan sumber daya alam. Pengelolaan kekayaan alam itu berbanding lurus dengan peningkatan jumlah wajib pajak dan retribusi daerah.
Kabupaten dengan visi “Menuju Kabupaten Agribisnis 2012" ini menyimpan kekayaan alam di sektor perkebunan, pertanian, peternakan, kelautan, pertambangan, dan pariwisata yang melimpah yang bisa dikelola untuk menambah sumber-sumber PAD dalam rangka meningkatkan kemampuan daerah dalam membiayai secara mandiri urusan rumah tangga daerah. Sektor-sektor potensial ini jika dikelola secara maksimal akan membantu mempercepat pertumbuhan perekonomian masyarakat yang pada gilirannya akan menambah jumlah objek PAD. Misalnya, di sektor pertambangan dan perkebunan yang cukup mendominasi di Kabupaten X, para pengusaha pertambangan dan perkebunan untuk melaksanakan usahanya pasti mengurus Surat Izin Usaha dan dokumen-dokumen lain yang dikenakan pajak maupun retribusi. Sebagai gambaran, pada tahun 2010 sektor pertambangan nikel memberikan kontribusi ke PAD sebesar Rp 4 M.
Terkait dengan itu, ada beberapa hal yang relevan untuk dipertanyakan. Misalnya apakah secara aktual aparat DPPKAD Kabupaten X dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sudah sesuai dengan ketentuan sebagaimana Peraturan Daerah ?
Dalam hal strategi, apakah Pemerintah Daerah telah mengubah strategi mengenai teknis operasional lapangan terutama sistem pendataan ulang dalam rangka menjaring semaksimal mungkin obyek pajak maupun subyek pajak sebagai dasar perhitungan dan pengenaan pajak ? Untuk mengatasi permasalahan tersebut, apakah Pemerintah Kabupaten X melalui DPPKAD telah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi terhadap seluruh sumber penerimaan daerah, telah mengidentifikasi secara optimal sumber-sumber PAD yang baru ?
Atas dasar ini, penulis melakukan penelitian tentang bagaimana peran salah satu SKPD yang banyak bergelut dalam pengelolaan keuangan daerah. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten X, dengan judul “Peran DPPKAD dalam Manajemen Keuangan Daerah (Studi Tentang Pengelolaan Pendapatan Asli Daerah) Kabupaten X”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul penelitian ini, rumusan masalahnya sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimana Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X ?
1.2.2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X ?

1.3. Tujuan Penelitian 
1.3.1. Untuk mengetahui Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X.
1.3.2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Peran DPPKAD dalam Pengelolaan PAD Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan studi ilmiah untuk mengetahui Peran DPPKAD dalam Manajemen Keuangan Daerah dan secara spesifik pengelolaan PAD Kabupaten X.
b. Sebagai bahan studi perbandingan bagi peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan Peran DPPKAD dalam Manajemen Keuangan Daerah dan secara spesifik pengelolaan PAD Kabupaten X beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
c. Sebagai bahan studi pustaka di almamater peneliti.
1.4.2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan kajian praksis bagi DPPKAD Kabupaten X untuk mengevaluasi kinerjanya.
b. Sebagai bahan kajian praksis bagi DPPKAD Kabupaten X untuk merumuskan desain strategi dalam upaya pengelolaan PAD Kabupaten X ke depannya.

SKRIPSI PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PADA DINAS PARIWISATA DI KABUPATEN X

SKRIPSI PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PADA DINAS PARIWISATA DI KABUPATEN X


(KODE : FISIP-IP-0005) : SKRIPSI PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH DAERAH PADA DINAS PARIWISATA DI KABUPATEN X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional tergantung dari kesempurnaan aparatur negara. Pegawai negeri merupakan aparatur negara sehingga kalau kita berbicara mengenai kedudukan pegawai negeri dalam Negara Republik Indonesia berarti kita berbicara mengenai kedudukan aparatur negara secara umum. Dalam posisi aparatur negara sebagai alat untuk melaksanakan pembangunan, diperlukan adanya pegawai yang benar-benar mampu, berdaya guna, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Memberi pelayanan yang berkualitas dan mampu memberikan kepuasan bagi masyarakat merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah. Kinerja pelayanan publik akan menjadi tolak ukur bagi kinerja pemerintah. Fungsi pemerintah beserta aparaturnya merupakan salah satu tuntutan dari reformasi birokrasi. Persepsi masyarakat yang selama ini cenderung dijadikan objek pelayanan, dalam arti masyarakat yang melayani harus dihilangkan.
Setiap aparat pemerintah harus mulai bersikap profesional dalam memberikan pelayanan dan menjadikan masyarakat yang harus dilayani. Oleh sebab itu seluruh aparat pada tiap-tiap organisasi pemerintah haruslah bersinergi satu sama lain agar dapat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik selama ini haruslah terus menerus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai kebijakan dalam pelayanan.
Menghadapi kenyataan itu maka pemberdayaan aparatur pemerintah yang memberikan pelayananan publik harus terus menerus dilakukan, agar hal tersebut tidak sebatas konsep, tapi menjadi kenyataan. Pemberdayaan aparatur merupakan salah satu strategi yang tepat untuk meningkatkan kinerja pelayanan, dan memberikan penghargaan kepada unit-unit pelayanan yang dipandang mampu dalam memberikan pelayanan yang berkualitas disegala bidang. Suatu organisasi akan dapat menjalankan tugas fungsinya dengan efektif dan efisien apabila didukung oleh aparatur yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang tugasnya. Hal ini diharapkan menjadi kunci keberhasilan dalam penyediaan pelayanan. Berbagai bentuk pelayanan, baik berupa barang, jasa, dan administratif sangat ditentukan oleh bagaimana pegawai dalam organisasi tersebut melakukan pekerjaannya. Oleh sebab itu menjadi tantangan setiap organisasi pemerintah baik ipusat dan didaerah bagaimana mengelola pegawainya dengan sebaik-baiknya. Strategi yang biasa dilakukan dalam pengelolaan pegawai untuk mewujud kan pelayanan yang optimal adalah pemberdayaan pegawai. Hal ini merupakan suatu proses untuk mengikut sertakan para pegawai disemua level dalam pengambilan keputusan dan pemecahan masalah.
Pegawai Negeri Sipil mempunyai peran yang menentukan, yaitu sebagai pemikir, pelaksana, perencana, dan pengendali pembangunan. Dengan demikian, PNS mempunyai peran yang sangat penting dalam memperlancar jalannya roda pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Mengingat pentingnya peranan tersebut, PNS perlu dibina dengan sebaik-baiknya agar diperoleh PNS yang setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah, serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, kuat, berdaya guna, berhasil guna, bersih, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur Negara.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam paradigma baru mengenai orientasi pelayanan para aparatur/birokrat adalah pemberdayaan (empowerment). Pemberdayaan dalam hal ini dimaksudkan sebagai proses transformasi dari berbagai pihak yang mengarah pada saling menumbuhkembangkan, saling memperkuat, dan menambah nilai daya saing global yang saling menguntungkan. Tujuan pemberdayaan itu sendiri adalah untuk meningkatkan mutu, keterampilan, serta memupuk kegairahan dalam bekerja sehingga dapat menjamin terwujudnya kesempatan berpartisipasi dan melaksanakan pembangunan secara menyeluruh, dalam hal ini pemberdayaan terhadap aparatur pemerintah disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Usaha pemberdayaan aparatur pemerintah harus ditingkatkan demi tercapainya tujuan organisasi/pemerintahan. Pemberdayaan yang dilakukan terhadap aparatur pada akhirnya akan meningkatkan prestasi kerja yang lebih baik. Untuk meningkatkan prestasi kerja maka perlu diadakan peningkatan sumber daya manusia selaku tenaga kerja melalui usaha-usaha pemberdayaan. Berkaitan dengan hal itu maka seorang aparatur perlu mendapatkan pemberdayaan. Didasarkan pada adanya pemberdayaan aparatur pemerintah maka kemungkinan prestasi kerja meningkat atau sebaliknya adanya pemberdayaan tetap prestasi kerja tetap atau bahkan menurun.
Pemberdayaan terhadap aparatur daerah senantiasa mengacu pada perbaikan kualitas yang harus dinilai sejak rekruitmen dengan menggunakan suatu sistem yang benar-benar dapat menjamin diperolehnya sumber daya yang mempunyai kualitas dasar yang baik, dan berorientasi pada pemberdayaan PNS daerah, serta mengimplementasikannya pemberdayaan aparatur pemerintah daerah melalui pembinaan terhadap penugasan yang mendidik, pengembangan program pelatihan yang memungkinkan tersedianya tenaga-tenaga siap pakai khususnya pada PNS daerah, yang tidak lain adalah PNS yang bekerja pada pemerintah daerah otonom yang gajinya dibebankan pada APBD. Dengan konsekuensi peningkatan kesejahteraan yang memadai dan pemberian jaminan hari tua secara nyata.
Dengan demikian, pemberdayaan aparatur pemerintah daerah merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kinerja aparatur untuk mencapai hasil secara optimal. Untuk itu, maka dengan memperhatikan Implementasi pada Dinas Pariwisata Kabupaten X sehingga dapat ditafsirkan bagaimana upaya pemberdayaan aparatur pemerintahnya, bila tidak melakukan suatu upaya ataupun langkah-langkah yang secara sistematis untuk pemberdayaan sumber daya aparatur pemerintah daerah pada Dinas Pariwisata, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan melalui judul yaitu : Pemberdayaan Aparatur Pemerintah Daerah Pada Dinas Pariwisata Di Kabupaten X.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah upaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten X untuk pemberdayaan aparatur pemerintah daerah ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pemberdayaan aparatur pemerintah daerah pada Dinas Pariwisata di Kabupaten X ?

1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten X dalam pemberdayaan aparatur pemerintah daerah.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemberdayaan aparatur pemerintah daerah pada Dinas Pariwisata di Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan untuk mengevaluasi proses pemberdayaan aparatur pemerintah daerah di lingkungan Dinas Pariwisata Kabupaten X.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu syarat untuk menempuh/memperoleh gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada Program Ilmu Politik/Pemerintahan.
Bagi penulis penelitian ini sebagai wahana untuk melatih diri serta memperluas wawasan sebagai bekal untuk menjalankan tugas selanjutnya.
SKRIPSI PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI INSPEKTORAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X

SKRIPSI PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI INSPEKTORAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X


(KODE : FISIP-IP-0004) : SKRIPSI PELAKSANAAN TUGAS DAN FUNGSI INSPEKTORAT PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Strategi Pembangunan Indonesia yang diarahkan untuk membangun Indonesia disegala bidang yang merupakan perwujudan dari amanat yang tertera jelas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terutama dalam pemenuhan hak dasar rakyat dan penciptaan landasan pembangunan yang kokoh.
Penyelenggaraan pembangunan nasional merupakan suatu proses yang memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang matang. Salah satu aspek yang sangat penting dan menunjang adalah kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Keberhasilan penyelenggaraan pembangunan sangat bergantung pada kemampuan manusia pelaksananya. Sebab apapun yang dimiliki oleh suatu bangsa; kekayaan alam, sosial, budaya, dan lain-lain tidak akan berarti bila tidak di tangani oleh manusia-manusia berkualitas. Baik itu berkualitas dari segi moral intelektual maupun dari segi mental spiritual. Sumber daya manusia yang berkualitas adalah yang bisa tetap bertahan dari iklim persaingan yang sangat ketat dewasa ini.
Kelancaran pembangunan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan tergantung dari kesempurnaan aparatur pemerintah yang pada pokoknya tergantung pula pada kesempurnaan pegawai negeri sipil (PNS). Dalam usaha mencapai tujuan nasional di perlukan adanya PNS sebagai unsur aparatur pemerintah dan abdi masyarakat yang penuh kesetian dan ketaatan kepada pancasila, UUD 1945, negara dan pemerintah, berdaya guna dan sadar akan tanggung jawab dalam menyelenggarakan tugasnya.
Guna lebih mengembangkan peran ini, pembangunan aparatur pemerintah diarahkan untuk meningkatkan kualitas aparatur agar lebih bersikap arief dan bijaksana serta berdedikasi yang tinggi terhadap pengabdian, sehingga dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal sesuai tuntutan perkembangan zaman yang berlangsung selama ini.
Oleh karena itu, maka urusan penyelenggaraan pemerintahan yang hampir semuanya dilaksanakan melalui pusat sudah mulai didistribusikan kepada daerah berdasarkan kewenangan daerah yang diatur dalam undang-undang, hal ini mengingat volume dan aneka ragam urusan pemerintahan dan pembangunan yang diselenggarakan di daerah sedemikian kompleksnya serta memerlukan penyelesain yang cepat dan tepat, diperlukan adanya pengawasan yang intensif. Hal ini dimaksudkan guna menjamin terselenggaranya urusan pemerintahan dan pembangunan dalam kerjasama yang serasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah tingkat atasnya.
Pengawasan erat sekali kaitannya dengan perencanaan, yang artinya harus ada sesuatu obyek yang diawasi, jadi pengawasan hanya akan berjalan kalau ada rencana program/kegiatan untuk diawasi. Rencana digunakan sebagai standar untuk mengawasi, sehingga tanpa rencana hanya sekedar meraba-raba. Apabila rencana telah ditetapkan dengan tepat dan memulai pengawasannya begitu rencana dilaksanakan, maka tidak ada hal yang menyimpang. 
Pada umumnya pengawasan terdiri dari 3 (tiga) langkah yaitu :
1. menentukan standar,
2. mengukur hasil atas dasar standard
3. mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan
Standar pengukuran yang dipakai biasanya sudah ditentukan oleh penanggung jawab program/kegiatan, yang selanjutnya pengawas mengukur hasil-hasilnya dengan mengacu kepada standar tersebut. Hasil pengukurannya sebagai dasar untuk apakah pelaksanaan kegiatan telah diselenggarakan secara efisien, efektif, ekonomis dan tertib aturan. Pengawasan akan sia-sia tanpa tindakan perbaikan, apabila dalam pengukuran hasil ditemukan keadaan tidak sesuai standar yang direncanakan, maka pengawas harus menganjurkan tindakan perbaikan. Mengetahui adanya ketidakberesan, maka pengawas berkewajiban melaporkannya kepada pihak yang berwenang.
Oleh karena itu dengan pelaksanaan pembentukan kualitas aparatur pemerintahan, maka ditunjuklah inspektorat selaku badan pengasawan internal pemerintah kabupaten/kota, yang berfungsi untuk mengawasi kinerja pemerintah, pada kegiatan pembangunan, kegiatan kepegawaian, dan pelayanan pada masyarakat. Agar tercipta pemerintahan yang baik (Good Governance), dan bersih di daerah.
Demikian pula halnya dengan pelaksanaan pengawasaan pemerintahan di Kantor Bupati X, dalam hal ini tugas dan fungsi inspektorat sebagai salah satu bagiannya sudah diterapkan sebagai pengawas fungsional. Namun menurut pengamatan penulis pelaksanaan tugas dan fungsi inspektorat terhadap pegawai negeri sipil pada umumnya dan pada badan kepegawaian yang dimana bagian ini menjadi tempat urusan menengenai kepegawaian tentu saja akan berbeda dengan yang lain, sehingga tentu saja konsep pengawasaan yang ditgunakan akan membawa sesuatu yang berbeda terhadap Pegawai Negeri Sipil di instansi tersebut.
Memahami pentingnya pelaksanaan fungsi pengawasan yang diterapkan terhadap pegawai negeri sipil sebagai aparat pemerintah dan unsur penyelengaran pemerintahan di Kantor Bupati X terkhusus pada Badan Kepegawaian Daerah, maka penulis tertarik untuk memilih judul ; “Pelaksanaan Tugas Dan Fungsi Inspektorat Pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X”.

1.2. Rumusan Masalah
Memperhatikan uraian tersebut maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi inspektorat kabupaten X terhadap badan kepegawaian daerah kabupeten X ?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi inspektorat kabupaten X dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penilitian
1.3.1.Tujuan Penelitian
Penelitian ini di laksanakan dengan tujuan, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui seberapa tepat inspektorat dalam melaksanakan tugas dan fungsi.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja inspektorat dalam melaksanankan fungsi dan tugasnya.
1.3.2.Manfaat Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat membawa manfaat baik pada tataran theoritis akademis maupun pada hal praktis yang utamanya adalah efektifitas kinerja lembaga pengawasan agar bisa menekan tingkat penyimpangan.
1. Manfaat Teoritis Akademis.
Manfaat secara teoritis akademis diharapkan dapat menjadi referensi baru dalam bidang pengawasan, untuk memperkaya bahan kajian pengawasan. Selain itu memberikan kesadaran kolektif dan menumbuhkan kesadaran moral bagi masyarakat mengenai arti pentingnya pengawasan yang perlu dibangun untuk terjadinya sinergi yang baik antara aparat pengawas formal pada lingkup pemerintahan dengan stakeholder’s yang punya kepedulian.
2. Manfaat Praktis.
Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi unit kerja pengawasan, para pimpinan unit kerja pelaksana dan perencanaan untuk terwujudnya peningkatan akuntabilitas kinerja pemerintahan dan pembangunan lingkup sub bagian kepegawaian.
SKRIPSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X

SKRIPSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X


(KODE : FISIP-IP-0003) : SKRIPSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya sangat ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM) yang handal dan memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi dan sikap profesionalisme tinggi yang dapat dicapai melalui pendidikan.
Pendidikan yang baik dapat menghasilkan SDM yang berkemauan dan berkemampuan untuk senantiasa meningkatkan kualitasnya secara terus menerus dan berkesinambungan. Hal ini penting, terutama ketika dikaitkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (Undang-Undang Sisdiknas), yang mengemukakan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 31 ayat (2) setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya serta ayat (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Hal ini sejalan dengan undang-Undang Bab IV Bagian Kesatu dijelaskan tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, pasal 5 ayat 1 menyebutkan "Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Masih di bab yang sama, pada bagian keempat ihwal Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 (1) berbunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.
Suatu kebijakan pendidikan di daerah dalam konteks otonomi daerah dikaitkan dengan kebijakan publik desentralisasi (UU 32 Tahun 2004) bahwa urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan, dan kebijakan pendidikan nasional (UU No. 20 tahun 2003). Dalam kebijakan pendidikan nasional ada dua hal khusus yang berkenaan dengan hal tersebut adalah pertama menetapkan alokasi dana pendidikan sekurang-kurangnya 20% baik pada APBN dan APBD, kedua UU no. 20 tahun 2003 pasal 11 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintahan daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan baik setiap warga Negara. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan gratis bagi setiap warga Negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun yang dikenal sebagai wajib belajar sembilan tahun.
Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kemampuan aparat dalam merumuskan program/kebijakan untuk dilaksanakan oleh aparat pemerintah dan kelompok-kelompok masyarakat yang ikut serta bersama-sama melaksanakan program/kebijakan yang telah diputuskan, yang harusnya didukung oleh sarana dan prasarana yang ada.
Sejalan dengan adanya program pemerintah Kabupaten X yang mengarahkan pada kebijakan Pendidikan gratis sebagai salah satu program andalan. Dalam perspektif pembangunan daerah dewasa ini, seiring dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, maka daerah dituntut agar mampu mengembangkan daerahnya sendiri secara mandiri yang ditandai dengan semakin besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
Kebijakan pemerintah daerah Kabupaten X dalam pelaksanaan pendidikan gratis ini sangat baik dalam hal peningkatan pendidikan anak-anak usia sekolah, sehingga tingkat buta huruf atau tidak bersekolah dapat berkurang. Program pendidikan gratis ini, pada awal pelaksanaannya diatur dalam peraturan peraturan daerah No.10 tahun 2008 tentang pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X. Hal ini sesuai dengan visi dan misi pemerintah Kabupaten X yakni gerakan membangun X menuju masyarakat maju dan mandiri dengan meneruskan layanan pendidikan gratis yang semakin dimantapkan.
Keunikan kebijakan pemerintah daerah dalam hal pendidikan gratis di Kabupaten X adalah satu-satunya kabupaten yang ada di yang membuat dan melaksanakan program tersebut yang bukan hanya untuk siswa wajib belajar 9 tahun sebagaimana program nasional tetapi juga pada SMA. Selain itu pemberian subsidi ini bukan hanya sekolah negeri tetapi juga sekolah swasta dan Madrasah (dalam naungan Departemen Agama).
Fenomena yang terjadi di Kabupaten X berdasarkan hasil survey pendahuluan pada awal September berdasarkan informasi dari beberapa tokoh masyarakat dan kepala sekolah bahwa kebijakan pemerintah daerah tentang pendidikan gratis dalam pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai, masih adanya pungutan dana di sekolah, banyak keluhan dari beberapa sekolah akan minimnya dana, alokasi dana yang tidak merata antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya, tersendatnya pencairan dana, kurangnya sosialisasi dari pemerintah daerah ke masyarakat sehingga pemahaman tentang pendidikan gratis itu semua gratis pada hal hanya beberapa item saja yang digratiskan (pemberian subsidi biaya pendidikan).
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis memandang perlu mengkaji lebih lanjut berbagai masalah yang berkaitan dengan implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X. sehingga mendorong penulis memilih judul : “IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELAKSANAAN PENDIDIKAN GRATIS DI KABUPATEN X”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X ?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X ?

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X .
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pendidikan gratis di Kabupaten X .

1.4. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis : penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi dalam ilmu pemerintahan dan menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya ilmu tentang kebijakan pendidikan gratis, sehingga dapat mengembangkan konsep-konsep mengenai kebijakan pendidikan gratis.
2. Secara praktis : hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintahan Kabupaten X agar daerah tersebut kedepanya lebih baik dan pemerintah setempat lebih memperhatikan dan meningkatkan pendidikan masyarakat.
SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH KOTA TERHADAP PERKELAHIAN ANTAR KELOMPOK DI KOTA X

SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH KOTA TERHADAP PERKELAHIAN ANTAR KELOMPOK DI KOTA X


(KODE : FISIP-IP-0002) : SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH KOTA TERHADAP PERKELAHIAN ANTAR KELOMPOK DI KOTA X


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang
Zaman kala masyarakat senantiasa tidaklah stagnan pada kondisi keseharian yang dimiliki, menjadikannya sebuah fenomena pantas untuk dikaji. Dinamika yang berkembang tersebut seringkali tidak terlepas dari peranan struktur makro yang mengatur sebuah masyarakat tertentu. Pemerintah dan aparatur penyokongnya merupakan salah satu faktor makro tersebut yang wajib ditekankan sebagai salah satu faktor penyokong bergeraknya arus dinamika tersebut. Sejak terbukanya sejarah mengenai pemerintahan satu persatu teori mengenai fungsi dan peran pemerintah berjejal, dinamikanya berlangsung dengan mobilitas yang cepat. Masalah yang mendera juga satu per satu datang pasca kedatangan sistem pemerintahan. Sontak sistem tersebut mendapatkan tekanan sebagai institusi berwenang menyelesaikan setiap persoalan.
Salah satu wacana mengemuka mengenai kota X ialah mengenai beberapa peristiwa yang menarik pandangan nasional hingga internasional adalah kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi. Mencoba berasumsi penulis memposisikan masyarakat Indonesia kini beranggapan bahwa kekerasan di kota X telah menjadi hal yang lazim terjadi. Ada anekdot sehari-hari yang mengatakan bahwa kekerasan massa yang kerap terjadi di kota ini telah tergambar dari nama kota X itu sendiri.
Menurut Budi Hardiman sebuah masyarakat yang tidak mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan keberadabannya. Karena itu, pertanyaan mengenai mengapa perkelahian antar kelompok itu terjadi sangat penting untuk dilontarkan dan dijawab.
Yang ganjil dalam perilaku massa adalah ciri psikologis yang ditimbulkan, para pelaku mengalami penumpulan rasa salah atas tindakan kekerasan mereka. Akal sehat disingkirkan dan digantikan dengan moralitas lemah yang menjauhi konteks budaya dimana moralitas tersebut dibangun. Berjarak dari peristiwa itu, beberapa analis yang ahli dalam bidang ini maupun masyarakat biasa pemerhati persoalan sosial lalu mengatakan bahwa individu terseret oleh desakan kebersamaan mereka sehingga tak bisa lain kecuali melakukan seperti yang dilakukan orang yang lain. Seperti kesadaran in group yang diungkapkan oleh sosiolog sekelas Soerjono Soekanto maupun Selo Soemardjan Individu yang terlibat dalam kekerasan massa secara massif dipindahkan dari ruang kontak sehari-hari ke dalam suatu ruang peleburan kolektif yang mengisap ciri-ciri personalnya sebagai seorang individu. Penulis menyebutnya “ruang kolektif’ karena ruang ini diproduksi oleh kebersamaan dan menjadi tempat bergeraknya tindakan-tindakan kolektif walaupun dalam beberapa analisis ada juga yang menyebutnya sebagai ruang massa.
Ada kecenderungan yang kemudian terjadi, bahwa perkelahian antar kelompok dalam beberapa penelitian ternyata tidak terlepas dari heterogennya sebuah masyarakat. Masyarakat perkotaan seperti di kota X pun memiliki kecenderungan tingkat kekerasan massa yang tinggi ketimbang dengan daerah lain yang belum begitu terjejal arus modernisasi.
Kehidupan perkotaan yang lebih dekat dengan kebijakan pemerintah pusat kemudian akan sangat mudah terciptanya arus balik dari masyarakat di dalamnya. Tanggapan dari masyarakat akan lebih cepat timbul belum lagi ketika kita meminjam teori Johan Galtung mengenai korelasi antara kekerasan itu sendiri dengan kekerasan struktural, dalam teorinya dikatakan bahwa kekerasan yang selama ini terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kota tak terlepas dari wujud kekerasan rezim penguasa setempat terhadap rakyatnya, Kemarahan rakyat pun terlontar dalam bentuk beragam, dimulai dengan aksi protes hingga bentuk-bentuk destruktif berupa pengrusakan yang dilakukan oleh massa.
Pemerintah kota X sebagai institusi kuasa yang berada di kota ini seharusnya menyadari persoalan krusial ini, tugas pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara seyogyanya diperankan dengan maksimal. Sebenarnya pemerintah kota X sudah melakukan banyak upaya penanggulangan maraknya terjadinya kekerasan massa. Dalam program X Great Expectation9, kasus kekerasan yang kerap terjadi di jalanan ketika terjadi aksi unjuk rasa menjadi titik perhatian mengingat, bahwa kejadian tersebut bisa merusak wajah X sebagai pintu gerbang di Indonesia bagian timur.
Fokus pada penelitian ini akhirnya mengambil salah satu bentuk kekerasan massa yang cukup meresahkan. Perkelahian antar kelompok merupakan penyakit masyarakat yang sering menjadi bahan pembicaraan di kota ini. Tak jarang dengan menggunakan senjata tajam yang berujung pada timbulnya korban jiwa. Perkelahian antar kelompok pun mengalir dengan berbagai motif dari pelakunya. Sebagian besar dari pelakunya didominasi oleh kaum remaja.
Berbagai penelitian sosial menganalisa perilaku keterlibatan remaja dalam perkelahian antar kelompok. Namun perkelahian ini juga tak bisa dilepas oleh mereka yang telah melewati masa remaja. Maraknya perkelahian antar kelompok yang melibatkan masyarakat miskin atau mereka yang berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, menjadi salah satu indikasi bahwa perkelahian antar kelompok sebagai salah satu bentuk kekerasan massa diakibatkan oleh adanya kesenjangan yang akibat pembangunan tidak berimbang di sebuah kota besar.
Ada pula beberapa contoh kasus yang memberikan bantahan terhadap “postulat” pelaku perkelahian antar kelompok diatas. Masuknya perkelahian tersebut ke ranah institusi pendidikan seperti kampus dan sekolah memberikan contoh yang setidaknya mendobrak pernyataan mengenai tingkat pendidikan yang menjadi salah satu pemicu terjadinya tindak kekerasan.
Dalam banyak kasus kekerasan yang terjadi, banyak pertanyaan yang timbul dalam diri penulis mengenai apakah sebenarnya peran pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi masyarakatnya. Untuk itu diperlukan korelasi antara apa yang menjadi faktor antar kelompok yang kerap terjadi dengan peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulanginya.
Ketertarikan penulis membahas persoalan ini, dengan harapan tidak ada lagi sikap menduga-duga dari masyarakat pada umumnya mengenai apakah pemerintah kota mengambil sikap dan berperan menanggulangi kasus yang terjadi. Lemahnya peran institusi pemerintah dalam mengambil langkah dalam beberapa penyelesaian kasus perkelahian terus berulang terlontar ketika kecelakaan sosial ini kembali muncul dipermukaaan. Perkelahian antar kelompok setiap saat bisa saja terjadi dengan berbagai potensi yang diredam untuk beberapa saat saja. Ketika keran penyebab perkelahian itu terbuka, sontak massa pun kembali mengambil posisi dalam menyelesaikan persoalan yang sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan bahasa verbal.
Adanya disparitas antara penyelesaian kasus kekerasan dengan faktor penyebabnya cenderung membuat perkelahian tersebut hanya selesai pada permukaan dan tidak menyentuh akar persoalan. Perkelahian antar kelompok dapat ditanggulangi ketika akar penyebab kekerasan itu terjadi sudah diketahui, banyak referensi yang bisa dijadikan acuan dalam menelaah akar kekerasan seperti ini yang kerap terjadi sebagai suatu produk sosial masyarakat kota.
Pemerintah kota yang melakukan berbagai upaya penanggulangan akan diteliti perannya oleh penulis sebagai salah satu bentuk upaya pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Penelitian ini membuka persoalan yang sudah dibahas sebelumnya dengan memfokuskan penelitian dalam judul : Analisis Peran Pemerintah Kota terhadap Perkelahian antar Kelompok.

I.2 Rumusan Masalah
Memperhatikan uraian di atas terlihat bahwa perkelahian antar kelompok merupakan persoalan esensial yang patut bagi pemerintah daerah untuk segera memaksimalkan potensi dan peran yang dimiliki dengan membuat perencanaan strategis untuk menanggulangi sirkulasi kekerasan yang merebak di masyarakat. Bilamana telah terjadi penurunan angka perkelahian antar kelompok, maka patut pula untuk mengetahui upaya apa yang telah dilakukan sebagai bahan evaluasi kebijakan ke depannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab perkelahian antar kelompok di Kota X ?
2. Bagaimana peran pemerintah kota X dalam menanggulangi persoalan perkelahian antar kelompok yang kerap terjadi ?

I.3 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan :
1. Mengakarnya pandangan masyarakat yang hanya bisa menerka penyebab timbulnya perkelahian, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perkelahian antar kelompok di kota X.
2. Untuk memperoleh gambaran dan penjelasan tentang peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok.

I.4 Manfaat Penelitian
1. Dari segi teoritis, memberikan informasi mengenai bentuk-bentuk peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok. Selain itu juga memberikan sedikit gambaran mengenai penyebab kekerasan massa yang kerap terjadi di masyarakat. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan khasanah ilmu pemerintahan terutama kajian tentang strategi peran pemerintah dalam menangani kasus tertentu.
2. Dari segi metodologis, hasil dari penelitian ini diharapkan memberi nilai tambah yang selanjutnya dapat dikomparasikan dengan penelitian-penelitian ilmiah lainnya, khususnya yang mengkaji masalah peran strategis pemerintah dan penanggulangan kekerasan massa di masyarakat.
3. Dari segi praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi masyarakat tentang peran pemerintah kota X dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar kelompok yang kerap mengganggu. Terkhusus bagi pemerintah khususnya Pemerintah kota X, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam perumusan kebijakan dalam rangka penanggulangan perkelahian antar kelompok.
SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN PERTUMBUHAN PENDUDUK (STUDI TENTANG PERANAN DAN FUNGSI BKBPP)

SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN PERTUMBUHAN PENDUDUK (STUDI TENTANG PERANAN DAN FUNGSI BKBPP)


(KODE : FISIP-IP-0001) : SKRIPSI ANALISIS PERAN PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN PERTUMBUHAN PENDUDUK (STUDI TENTANG PERANAN DAN FUNGSI BKBPP)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Undang Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, kependudukan adalah hal ihwal yang berkaitan dengan jumlah, struktur, pertumbuhan, persebaran, mobilitas, penyebaran, kualitas, dan kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, social budaya, agama serta lingkungan penduduk setempat. Di samping itu di sebutkan pula perkembangan kependudukan dan pembanguna keluarga adalah upaya terencana untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk pada seluruh dimensi penduduk.
Negara Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempunyai populasi pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Menurut data dari Tribunnews.com Indonesia berada pada posisi ke empat jumlah penduduk terbanyak di dunia, dengan jumlah penduduknya sebanyak 237,6 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk yang semakin besar ini tentu membawa tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan kesempatan kerja, menghilangkan kemiskinan, meningkatkan mutu pendidikan dan kesehatan, meningkatkan infrastruktur, dan pelayanan publik. Dari hasil data di atas pemerintah Indonesia harus melakukan tindakan agar dapat meminimalisisr jumlah perumbuhan penduduk yang sangat tinggi, dan salah satu upaya yang dapat di lakukan yaitu memaksimalkan peranan Badan atau instansi yang kompeten dalam menangani masalah pertumbuhan penduduk.
Didalam proses meminimalisir pertumbuhan penduduk harus dilakukan dengan beberapa tahap-tahap yang sudah di desain sedemikian baiknya agar pada saat melaksanakan proses tersebut dapat berjalan dengan baik, karena setiap saat pertumbuhan penduduk dapat berubah-ubah, maka dari itu pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan waktu sebelumnya atau perbandinagan populasi yang dapat dihitung sebagai perubahan jumlah individu dalam suatu populasi.
Salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah ialah memeberikan sosialisasi langsung kepada masyarakat atau ajakan-ajakan yang dapat merubah pola pikir masyarakat tentang perlunya meminimalisir jumlah pertumbuhan penduduk, dan untuk menunjang keberhasilan proses ini peran aktif masyarakat juga sangat diperlukan, karena apabila masyarakat hanya menjadi pendengar saja tanpa ada respon yang dilakukan, semuanya hanya akan menjadi suatu yang tidak berarti dan boleh dikatakan tidak ada manfaat yang dapat mereka peroleh.
Namun dalam pelaksanaannya masih sering terjadi hambatan-hambatan dalam menjalankan program ini. Hal ini disebabkan oleh hal-hal teknis dan non teknis yang dapat mempengaruhi misalnya, kurangnya kemampuan dalam mengemban dan menjalankan tugasnya serta penyediaan fasilitas yang terbatas. Hal ini sangat berkaitan erat dengan proses untuk meminimalisir pertumbuhan penduduk yang ada di Negara kita baik dalam skala nasional maupun di tingkat daerah, bertolak dari hal itu dapat dijadikan suatu tantangan tersendiri bagi penyelenggaran pemerintahan yang berkaitan dengan proses pertumbuhan penduduk.
Disamping itu dari data yang saya dapatkan pertumbuhan penduduk di kabupaten X yang mencapai angka 206.752 jiwa pada tahun 2010 dan angka ini meningkat dibandingkan pada tahun 2009. Adanya peningkatan jumlah penduduk memacu keinginan pemerintah khususnya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional untuk melakukan tindakan yang dapat mengontrol laju pertumbuhan penduduknya.
Berdasarkan hal telah diuraikan diatas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian “ANALISIS PERAN PEMERINTAH DALAM PENGENDALIAN PERTUMBUHAN PENDUDUK (STUDI TENTANG PERAN DAN FUNGSI BKBPP DALAM MEMINIMALISIR PERTUMBUHAN PENDUDUK DI KEC. X)”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan fenomena-fenomena dalam latar belakang yang telah dituliskan diatas, maka pertanyaan yang muncul dalam penelitian ini disusun sebagai berikut :
1. Bagaimana peran dan fungsi Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk di Kec. X.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengendalian pertumbuhan penduduk di Kec. X.

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui peran dan fungsi Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk di Kec. X.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses pengendalian pertumbuhan penduduk di Kec. X

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat teoritis, sebagai salah satu bahan perbandingan dari sudi lebih lanjut dalam peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan peran pemerintah dalam proses pengendalian pertumbuhan penduduk.
2. Manfaat praktis, sebagai salah satu masukan terhadap penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan, diutamakan untuk memberikan masukan kepada Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan demi untuk mengatur SDM yang semakin meningkat.
TESIS ANALISIS PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN, KOMPENSASI DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA KPP

TESIS ANALISIS PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN, KOMPENSASI DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA KPP


(KODE : PASCSARJ-0156) : TESIS ANALISIS PENGARUH PENDIDIKAN DAN PELATIHAN, KOMPENSASI DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA KPP (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Hingga saat ini pendapatan Negara masih sangat tergantung dari pendapatan pajak, karena penyokong pendapatan Negara terbesar masih didominasi dari pajak. Mengingat sumber- sumber pendapatan lain yang bergitu diandalkan seperti minyak bumi dan gas alam serta hasil hutan ternyata tidak dapat dipertahankan lagi dan menyadari hal tersebut pemerintah bertekad untuk menjadikan pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara dalam membiayai pembangunan.
Direktorat Jendral Pajak merupakan instansi pemerintah yang bertugas untuk mengintegrasikan dan mensinergikan segala sumber daya yang ada dalam mencapai tujuan dan sasaran dari program-program yang selaras dengan empat tujuan Direktorat Jendral Pajak yaitu : peningkatan pelayanan perpajakan; peningkatan kepatuhan Wajib Pajak melalui pengawasan dan penegakan hokum; peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi melalui reformasi dan modernisasi; peningkatan profesionalisme dan integritas sumber daya manusia, yang pada akhirnya akan membuat Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama X memenuhi target klasik yang diamanahkan yaitu penerimaan pajak.
Salah satu sumber keunggulan kelembagaan atau organisasi adalah sumberdaya manusia itu sendiri. Tingginya teknologi yang menjadi cirri kemajuan zaman modern ini masih membutuhkan peran Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjamin keunggulannya. Sehingga diperlukan keselarasan antara strategi kelembagaan secara umum dan perencanaan sumbedaya manusia yang tepat. Manusia sebagai salah satu sumberdaya akan menjadi subjek dan titik perhatian yang strategis bagi suatu lembaga. Pengelolaan sumberdaya manusia sendiri kemudian dipandang sebagai perluasan dari gagasan untuk mengelola jaryawan secara efektif dan efisien, untuk itu perlu pengetahuan tentang perilaku manusia dan kemampuan mengelolanya yang kemudian membentuk suatu pola gaya kepemimpinan. Peran utama gaya kepemimpinan adalah dapat mempengaruhi orang lain untuk secara bersama-sama bekerjasecara serius dalam mencapai tujuan.
Ditengah keadaan akan kerasnya tuntutan lingkungan dan pentingnya sumber daya manusia dalam lembaga ditemui juga kenyataan bahwa karyawan KPP Pratama X masih perlu meningkatkan diri untuk menghasilkan produktivitas kerja yang optimal sesuai target kinerja yang diharapkan.
Walau telah ditunjang dengan teknologi yang modern namun masih harus diiringi dengan peningkatan pendidikan dan pelatihan ketrampilan karyawan sesuai dengan didangnya dan semangat bekerja yang tinggi dari karyawannya agar tercapai produk yang optimal dengan efektif, dan efisien agar dapat menghasilkan kinerja yang optimal sesuai target yang diharapkan. Sehingga lembaga mampu memberikan kompensasi yang memuaskan bagi semua pihak.
Peningkatan kinerja bagi karyawan tidak terlepas dari rangsangan maupun dorongan dari karyawan itu sendiri atau dari pihak eksternal. Dalam hal ini baik secara langsung maupun tidak langsung gaya kepemimpinan merupakan salah satu pendorong semangat kerja bagi produktivitas kerja karyawan, dengan memanfaatkan dan menggunakan serta memaksimalkan sumber daya yang dimiliki yang didukung pendidikan dan pelatihan yang tepat diharapkan tercapainya kinerja yang optimal.
Kompensasi juga diharapkan mampu memberikan dorongan dan motivasi kerja terhadap para karyawan agar selalu bekerja giat. Selain kompensasi, peranan gaya kepemimpinan sangat penting dalam rangka menciptakan kinerja yang tinggi. Tanpa pembekalan pendidikan dan pelatihan dan pemberian kompensasi yang sesuai, tujuan perseorangan dan tujuan lembaga menjadi tidak selaras. Keadaan ini dapat menimbulkan pegawai mempunyai sikap bekerja untuk kepentingan pribadi sehingga keseluruhan organisasi menjadi tidak efisien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pendekatan formal yang diambil organisasi untuk memastikan bahwa hanya pegawai yang berkualifikasi dan berpengalaman ,yang tepat tersedia pada saat dibutuhkan oleh lembaga.
Kantor Pelayanan Pajak Pratama X merupakan salah satu Instansi Pemerintah yang bertugas untuk memungut penerimaan pajak, peningkatan pelayanan dan pengawasan, membuka kesempatan usaha, terwujudnya pengawasan yang efektif dan efisien dalam rangka penegakkan hokum perlindungan masyarakat serta terwujudnya kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku di bidang perpajakan. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Kantor Pelayanan Pajak Pratama X memerlukan karyawan yang tangguh, berdisiplin tinggi, berdedikasi dan memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaan yang dibebankan dapat sesuai dengan target, pada saat ini kinerja karyawn dirasakan belum optiml walau berbagai kompensasi telah diberikan.
Dengan jumlah pegawai yang ada, Kantor Pelayanan Pajak Pratama X harus berusaha memaksimal kerja karyawannya untuk dapat memperoleh kinerja yang diharapkan sehingga peran Kantor Pelayanan Pajak Pratama X terhadap pembangunan Negara terlihat nyata, hal ini tidak lepas dari peran pemberian kompensasi untuk memberikan dorongan karyawannya agar bekerja maksimal. Penilaian kepada Direktorat Jendral Pajak secara umum dan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X, secara khusus inilah yang menjadikan karyawan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X harus lebih meningkatkan kinerjanya untuk bekerja sesuai dengan petunjuk pelaksanaan teknis Direktorat Jendral Pajak. Hal inilah diperlukan upaya untuk dapat membangkitkan semangat kerja pegawainya sehingga akan dapat diperoleh kinerja yang maksimal sebagaimana yang diharapkan Direktorat Jendral Pajak dan pemerintah sehingga akan memberikan dampak positif dari penilaian public yang terkesan belum sesuai dengan yang diharapkan.
Selain pembekalan pendidikan dan pelatihan dan pemberian kompensasi yang sesuai diperlukan gaya kepemimpinan yang sesuai diperlukan gaya kepemimpinan yang sesuai demi kontinuitas etos kerja karyawannya karena hanya dengan gaya kepemimpinan yang sesuai yang dapat memberikan kepuasan kedua belah pihak sehingga mampu memberikan semangat kerja bagi karyawannya untuk dapat menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu. Gaya kepemimpinan yang sesuai mampu mengubah situasi kerja yang lesu menjadi bergairah sehingga mampu mendorong produktivitas karyawan yang berdampak peningkatan kinerja karyawannya.
Mengingat begitu besar tanggung jawab yang dibebankan kepada karyawan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X, namun menurut pengamatan penulis bahwa kinerja karyawan belum sesuia dengan Rencana Kerja Tahunan dan Rencana Kerja Operasional yang diharapkan oleh Direktorat Jendral Pajak sehingga penulis ingin mengetahui seberapa besar faktor pendidikan dan pelatihan, kompensasi, dan gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi kinerja karyawan, dengan mengambil judul "Analisis Pengaruh Pendidikan dan Pelatihan, Kompensasi dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X"

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah dapat diidentifikasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Rendahnya/belum optimalnya dalam peningkatan etos kerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
2. Ketaatan pada peraturan yang ada belum optimal pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
3. Pendidikan dan Pelatihan para karyawan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X belum optimal dalam menunjang kompetitif
4. Kurangnya kesempatan pendidikan dan pelatihan para karyawan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X, sehingga produktivitas kerja belum memenuhi sasaran.
5. Gaya kepemimpinan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X belum tepat sehingga sangat diperlukan gaya kepemimpinan yang sesuai.
6. Kinerja para pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama X belum optimal.
7. Kinerja para pegawai Kantor Pelayanan Pajak Pratama X dipengaruhi pendidikan dan pelatihan, kompensasi dan gaya kepemimpinan.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Dengan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya peneliti serta banyak faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai dan permasalahan yang ada pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X, maka dalam penelitian ini dibatasi pada analisis pengaruh pendidikan dan pelatihan, kompensasi dan gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.

D. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh pendidikan dan pelatihan terhadap kinerja pegawai pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
2. Bagaimanakah kompensasi terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
3. Bagaimanakah pengaruh gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
4. Bagaimanakah pengaruh pendidikan dan pelatihan, kompensasi dan gaya kepemimpinan secara bersama-sama terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
5. Faktor manakah yang paling dominan memberikan peranan terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh pendidikan dan pelatihan, kompensasi dan gaya kepemimpinan terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X baik secara simultan maupun parsial
b. Untuk mengetahui faktor yang paling dominan memberikan peranan terhadap kinerja karyawan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X
2. Kegunaan Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi pimpinan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X dalam rangka menunjang peningkatan kinerja karyawannya.
b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pimpinan Kantor Pelayanan Pajak Pratama X untuk dapat lebih memperhatikan kinerja karyawannya melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan, kompensasi dan gaya kepemimpinan.