Search This Blog

TESIS PENGEMBANGAN MODEL REMUNERASI BERBASIS KOMPETENSI DI PT. X

TESIS PENGEMBANGAN MODEL REMUNERASI BERBASIS KOMPETENSI DI PT. X


(KODE : PASCSARJ-0155) : TESIS PENGEMBANGAN MODEL REMUNERASI BERBASIS KOMPETENSI DI PT. X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sumber Daya manusia(SDM) merupakan modal dasar pembangunan nasional, oleh karena itu maka kualitas SDM senantiasa harus dikembangkan dan diarahkan agar bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Berbicara mengenai sumber daya manusia sebenarnya dapat dilihat dari 2 aspek yaitu aspek kualitas dan aspek kuantitas. Aspek kuantitas mencakup jumlah SDM yang tersedia/penduduk, sedangkan aspek kualitas mencakup kemampuan SDM baik fisik maupun non fisik/kecerdasan dan mental dalan melaksanakan pembangunan. Sehingga dalam proses pembangunan pengembangan sumber daya manusia sangat diperlukan, sebab kuantitas SDM yang besar tanpa didukung kualitas yang baik akan menjadi beban pembangunan suatu bangsa.
Dalam mewujudkan misi dan visi perusahaan maka organisasi dapat memanfaatkan sumber daya manusia yang dimilikinya seoptimal mungkin, supaya dapat memberikan 'added value' bagi organisasi tersebut. Oleh karena itu untuk mewujudkannya, diperlukan SDM yang terampil dan handal di bidangnya. Salah satu cara untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam perusahaan yaitu dengan jalan meningkatkan kompetensi individu karyawan pada perusahaan tersebut.
Kata kunci dalam mengembangkan kompetensi karyawan adalah rekayasa perilaku/behaviour engineering tenaga kerja. Rekayasa perilaku mengandung makna tersirat bahwa perilaku dapat diubah dan diperbaiki. Untuk mencapai pengembangan perilaku harus dilakukan secara sadar, yaitu melalui proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sistem. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengembangan sumbert daya manusia adalah usaha meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual dan moral pegawai yang sesuai dengan kebutuhan pekerjaan atau jabatan dalam suatu perusahaan.
Bagi sebuah perusahaan pengembangan SDM semakin memegang peranan penting dan diperlukan diantaranya karena sumber daya manusia merupakan salah satu unsur strategis. Hal tersebut diperkuat kondisi bahwa akibat perubahan dan globalisasi, kebutuhan akan tenaga terampil semakin meningkat begitu pula kebutuhan akan angkatan kerja yang lebih berpendidikan, terlatih dan memiliki keahlian beragam. Ditambah lagi restukturisasi perusahaan dan organisasi yang terus berlangsung, perubahan IPTEK/Ilmu dan Teknologi yang cepat, serta ketatnya persaingan, menghasilkan anggapan baru bahwa untuk mengatasi semua tantangan tersebut dibutuhkan individu yang tidak hanya memiliki keahlian sejenis yang memang diharuskan bagi pekerjaannya, tapi juga keahlian-keahlian pendukung pekerjaan tersebut yang merupakan ragam keahlian di luar yang diwajibkan. Sehingga dengan memiliki multi skilling, seorang karyawan diharapkan akan benar-benar kompeten dalam pekerjaannya.
Penelitian akhir-akhir ini pun sangat jelas menunjukkan bahwa telah terjadi persaingan, baik di antara negara-negara maupun di antara perusahaan-perusahaan dalam negara tersebut, dimana perusahaan itu banyak bergantung pada keterampilan tenaga kerjanya dalam rangka memenuhi permintaan yang terus-menerus berubah baik dari faktor domestik maupun global. Namun disayangkan bahwa dalam persaingannya dengan negara-negara lain, Indonesia belum dapat unggul bahkan dalam mutu SDM-nya Indonesia mendapat urutan terjelek dibanding dengan negara-negara tetangganya di Asia tenggara. Hal tersebut harusnya menyadarkan kita untuk segera bangkit dan memperbaiki kompetensi SDM kita. Kondisi tersebut dapat dilihat pada keterangan gambar sebagai berikut :
Untuk dapat bersaing dengan sukses di pasar yang ada sekarang atau lebih ke depan lagi untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi AFTA, pada saat ini semakin banyak organisasi yang berusaha untuk menemukan strategi-strategi baru dalam upaya meningkatkan pengembangan dan performa para pegawainya. Banyak diantara perusahaan-perusahaan tersebut mulai memperkenalkan dan melaksanakan program sumber daya manusia yang berbasis pada kompetensi (competency based human resources program), dan bahkan dari perkembangannya ada pula perusahaan yang mulai mencoba untuk mengembangkan konsep competency based pay atau dikenal dengan remunerasi berbasis kompetensi/RBK.
Konsep remunerasi berbasis kompetensi ini merupakan konsep yang masih sangat baru terutama di Indonesia. Sekalipun sejumlah perusahaan mulai menjadikan kompetensi sebagai bagian integral dari manajemen kinerja serta sistem staffing, ataupun pelatihan dan pengembangan karyawan yang diterapkan dalam perusahaan. Serta meskipun secara implisit pada beberapa kebijakannya tentang penggajian, perusahaan selalu berusaha memberikan reward atas kompetensi-kompetensi yang dimiliki dan diberikan oleh individu karyawan serta atas atribut-atribut lainnya yang dimiliki pegawai tersebut. Namun masih sangat sedikit di antara perusahaan-perusahaan itu yang secara formal dan eksplisit mengkaitkan antara kompetensi dengan keputusan tentang remunerasi.
Walaupun telah diketahui banyak kritikan terhadap berbagai macam sistem penggajian dan perubahaannya dari waktu ke waktu. Tetapi pada saat yang sama sejumlah besar organisasi dan perusahaan baik dari sektor publik maupun swasta berupaya untuk menemukan cara-cara baru guna mengkaitkan secara lebih langsung antara kinerja organisasional, kontribusi individual dan penggajian. Sehingga muncullah istilah-istilah seperti gaji baru, gaji strategis, penggajian berdasar kontribusi dan strategi penghargaan alternatif yang tampil begitu dominan di berbagai buku dan artikel yang menyarankan alternatif-alternatif desain dan administrasi penggajian pegawai (Kanter 1989, dkk). Sementara itu di beberapa perusahaan, konsep remunerasi berbasis kompetensi ini telah dianggap sebagai bagian dari upaya untuk melakukan perubahan besar yang mana dapat menyentuh berbagai aspek aktivitas yang dilakukan oleh seluruh sumber daya manusia di dalam perusahaan. Model RBK ini diharapkan bisa menjadi salah satu cara efektif untuk memotivasi pegawai dan dalam rangka menciptakan perubahan perusahaan ke arah yang lebih baik. Sebab sistem penggajian ini antara lain dapat membatasi perasaan ketidakadilan yang muncul di kalangan para pegawai. Di antaranya sebagaimana yang seringkali terjadi dalam perusahaan-perusahaan yang menerapkan sistem penggajian berdasar pada senioritas, yaitu bahwa mereka sebenarnya berhak mendapatkan kenaikan gaji yang lebih signifikan didasarkan pada kemampuan dan keahlian yang dimiliki, bukan pada semata-mata dari lama mereka bekerja di perusahaan.
Selain itu konsep RBK tersebut juga dapat memperkuat keterkaitan antara unsur-unsur keahlian dengan gaji, yaitu dapat menentukan secara spesifik jenis-jenis perilaku apa saja yang dapat mendorong pada tercapainya kinerja yang superior. Dengan kata lain sistem ini memiliki potensinya untuk bisa mengatasi berbagai kekurangan yang dimiliki oleh sistem penggajian tradisional. Gaji karyawan diberikan berdasarkan pada keragaman, kedalaman dan jenis keahlian (skill) yang dimiliki oleh pegawai yang bersangkutan. Sehingga sistem ini dapat dikatakan merupakan pergeseran logika penggajian dari yang umumnya memberikan penghargaan (reward) kepada pegawai berdasarkan pada karakteristik-karekteristik pekerjaannya atau tugas yang mereka miliki pada saat ini, kepada penghargaan berdasarkan kompetensi individu karyawan yang dapat terus mereka kembangkan dan pergunakan secara terus-menerus pada perusahaan. Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa pada konsep penggajian berbasis kompetensi ini, proses pemberian reward-nya didasari atas faktor-faktor keahlian manusiannya(human) bukan merupakan sistem reward yang semata-mata didasarkan pada jenis pekerjaan apa yang dimiliki dan dapat disumbangkan oleh karyawan yang bersangkutan terhadap perusahaan. Sehingga dalam penerapan sistem ini keterampilan individu karyawan akan dihargai secara sepadan. Itu artinya pada konsep ini pengembangan kompetensi karyawan sebagai salah satu faktor utama dalam perusahaan mendapat porsi yang cukup besar. Jika diimplementasikan dan ditegakkan dengan benar, maka harapan bahwa sistem RBK ini dapat memberikan hasil-hasil yang sangat menjanjikan baik bagi karyawan maupun perusahaan bisa terwujud, sehingga hal tersebut dapat pula membantu tercapainya tujuan perusahaan.
PT. X yang merupakan salah satu perusahaan terbesar di bidang manufaktur di Indonesia saat ini juga tengah berbenah dalam rangka memperbaiki kompetensi pada organisasinya, baik kompetensi perusahaan maupun kompetensi tiap individu di dalamnya. Hal ini dilaksanakan terutama untuk memperbaiki performa dalam perusahaan tersebut dalam rangka mempersiapkan diri ke arah yang lebih baik. Sehingga diharapkan dapat bersaing dengan perusahaan lain, bahkan negara-negara lain ataupun untuk menghadapi AFTA. Namun dalam faktanya menurut pihak manajerial perusahaan, ternyata masih ada beberapa kendala bagi PT. X untuk mengembangkan perusahaannya sesuai yang diharapkan. Salah satu yang dianggap kendala bagi perusahaan adalah keluhan karyawan masalah penggajian. Kondisi tersebut muncul setelah sistem penggajian yang dilaksanakan perusahaan saat ini, dianggap kurang memenuhi harapan karyawan. Diketahui bahwa sistem penggajian yang diterapkan pada awal saat pertama kali perusahaan berdiri adalah sistem tradisional, dimana menganut pembagian tingkat penggajian berdasarkan lama bekerja(senioritas). Kemudian dilanjutkan dengan munculnya peraturan pemerintah yang mengharuskan sistem penggajian berdasarkan golongan-golongan. Namun cara tersebut dianggap perusahaan tidak efektif, sehingga sistem penggajian dirubah dengan menggunakan sistem merit yaitu gaji karyawan diterima berdasarkan bagus tidaknya kinerja karyawan atau didasarkan pada seberapa besar output yang diberikan karyawan terhadap perusahaan setiap tahunnya. Dari pengamatan kemudian didapati sistem merit tersebut malah menimbulkan banyak gejolak, di antaranya bahwa karyawan banyak yang merasa penilaian kinerja yang dilakukan pihak manajemen tidaklah selalu obyektif. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya ukuran yang jelas pada jenjang yang terdapat di tiap kenaikan tingkat gajinya. Selain itu karyawan merasa bahwa semua kebijakan reward yang ada, seolah-olah selalu tergantung pada tiap individu manajernya. Maka akhirnya timbul anggapan pada karyawan bahwa mereka lebih tenang melaksanakan pekerjaannya ketika sistem penggajian tradisional diterapkan, namun perlu dipahami pula bahwa ada beberapa kekurangan dalam implementasi sistem tradisional yang telah lalu. Sehingga tidak relevan lagi bila sistem tersebut diterapkan pada perusahaan seperti PT. X yang selalu berkembang dan mengutamakan keahlian para karyawannya dalam rangka melaksanakan tugas perusahaan.
Berdasarkan beberapa alasan yang telah dikemukakan di atas dan juga dalam rangka memperhatikan secara lebih intensif peningkatan kompentensi yang dimiliki para karyawan PT. X. Maka untuk melengkapi dan menyelaraskan masa transisi tersebut, pada penelitian ini disusun sebuah konsep competency based pay yang masih ada kaitannya dengan penerapan competency based pada karyawan yang mulai dilakukan PT. X. Harapan dari diterapkannya sistem ini antara lain supaya karyawan dapat senantiasa meningkatkan keahliannya, dalam upaya mendapatkan reward yang sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Namun dengan tetap memperhatikan seberapa besar peluang keberhasilan penerapan sistem ini, maka dianggap perlu kiranya mengkaitkan unsur aspirasi karyawan di dalamnya terutama yang meliputi harapan-harapan karyawan sehubungan dengan reward yang selama ini telah mereka terima. Sehingga pada penyusunan pengembangan model remunerasi berbasis kompetensi di PT. X ini selain faktor keahlian yang memegang peranan besar dalam menentukan tingkat dan besaran gaji yang akan diterima tiap individu, unsur aspirasi karyawan juga diperhitungkan di dalam struktur penggajiannya. Dengan demikian keinginan agar terbentuknya suatu sistem remunerasi yang relevan dengan kondisi perusahaan dan harapan karyawan sedapat mungkin dapat terpenuhi.

1.2. Rumusan Masalah
Sistem kompensasi yang seringkali menjadi permasalahan pada perusahaan terutama berkaitan dengan bagaimana mempraktekannya sehingga dapat diterima karyawan, ternyata juga memberikan kendala tersendiri bagi PT. X. Hal tersebut ditampakkan melalui kondisi yang ada pada perusahaan bahwa dengan sistem yang selama ini telah dilaksanakan ternyata masih ada beberapa ketimpangan di dalamnya. Disamping itu juga permasalahan mengenai penolakan karyawan terhadap setiap sistem kompensasi baru yang ditawarkan. Sehingga keadaan tersebut banyak menimbulkan keluhan baik pada para karyawan maupun terhadap perusahaan seperti yang telah dijelaskan dalam latar belakang di atas, dimana baik pihak perusahaan maupun para karyawan masih merasa belum terpenuhi harapannya.
Berpangkal dari latar belakang masalah bahwa perlu dikembangkannya suatu sistem yang dapat menjembatani kesenjangan antara penghargaan yang diharapkan karyawan, kemampuan karyawan yang dibutuhkan perusahaan serta penghargaan yang seharusnya diberikan perusahaan agar tercipta suatu kesesuaian antara sistem reward dengan kondisi yang ada. Maka dianggap perlu disusun suatu alternatif penyelesaian bagi sistem penggajian di PT. X yang setidaknya akan dapat diterima baik dari dimensi karyawan maupun organisasional.
Oleh karena itu dirumuskan permasalahan berkenaan dengan pengembangan model remunerasi sebagai berikut : “Bagaimana Pengembangan Model Remunerasi Berbasis Kompetensi di PT. X agar sesuai dengan aspirasi karyawan dan kebutuhan organisasi”.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan mengembangkan model remunerasi berbasis kompetensi yang ada dengan model remunerasi yang sejalan dengan aspirasi karyawan dan kondisi perusahaan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mempelajari model remunerasi berdasarkan teori.
2. Menyusun model remunerasi berdasarkan kebijakan perusahaan.
3. Menyusun model remunerasi berbasis kompetensi dan aspirasi karyawan yang berisi struktur klasifikasi penggajian karyawan.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi PT. X dapat dipakai sebagai salah satu cara dalam melakukan penyempurnaan sistem penggajian yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia dengan pendekatan terhadap kompetensi individu dan aspirasi karyawan, sehingga dapat diterapkan model remunerasi yang sesuai dengan kondisi perusahaan.
1.4.2. Bagi peneliti sebagai sarana menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama perkuliahan terutama dalam hal remunerasi dan kompetensi serta kaitannya dengan pengembangan sumber daya manusia, juga untuk memperluas wawasan tentang model terutama dalam hal mengembangkan model penggajian berbasis kompetensi terhadap karyawan.

TESIS BUDAYA KERJA, KEMAMPUAN DAN KOMITMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BIRO KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI

TESIS BUDAYA KERJA, KEMAMPUAN DAN KOMITMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BIRO KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI


(KODE : PASCSARJ-0154) : TESIS BUDAYA KERJA, KEMAMPUAN DAN KOMITMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BIRO KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional yang dihadapi dewasa ini dan di masa datang mensyaratkan perubahan paradigma kepemerintahan, pembaruan sistem kelembagaan, peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa serta hubungan antar bangsa yang mengarah pada terselenggaranya kepemerintahan yang baik (good governance).
Fenomena perubahan mendasar yang dimanifestasikan dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 43 tahun tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah memberikan arah perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kepegawaian pegawai negeri sipil yang mempunyai implikasi langsung terhadap kesiapan pengembangan sumber daya manusia, dan ketersediaan sumber daya lainya.
Perubahan tersebut membawa dampak pada perubahan budaya kerja, mau tidak mau harus dihadapi dan serangkaian adaptasi harus dilakukan terhadap keberagaman (diversitas) yang mengacu pada perbedaan atribut demografi seperti ras, kesukuan, gender, usia, status fisik, agama, pendidikan, atau orientasi seksual.
Selain keberagaman (diversitas), tantangan yang cukup kompleks adalah bagaimana mengubah budaya kerja lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai budaya kerja baru pada seluruh pegawai atas keinginan secara sukarela dan partisipasi pegawai. Orang tidak akan berubah dengan sendirinya hanya karena diperintah, dan hanya akan berubah kalau dia menginginkannya secara suka rela, karena menyadari. Dan orang yang bersedia meninggalkan cara lama sangat sedikit jumlahnya bahkan ketika situasi menjamin sekalipun (O'Neil, Osborn dan Plastrik, 2000 : 241). Kenyataan selama ini banyak para pemimpin dan aparatur negara bukan hanya sulit untuk berubah tapi juga sering mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja aparatur negara.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, selain organisasi pemerintah daerah sudah terlalu banyak, pegawai negeri sipil banyak yang nganggur, hanya mondar-mandir dan membaca koran hingga jam kerja selesai (Jawa pos, Oktober 2003 : 10). Aktivitas yang menunjukkan nuansa kesibukan kerja hanya tampak di satuan kerja yang "ada proyeknya". Sehingga tidak salah jika ada sementara pengamat yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) lebih cenderung berorientasi pada proyek ketimbang melaksanakan tugas-tugas rutinnya (Yudoyono, 2002 : 64).
Disamping itu, banyak fakta menunjukkan bahwa 80 hingga 90 persen dana alokasi yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana publik, habis untuk membiayai birokrasi dan legislasi pemerintahan daerah (Jawa Pos, 20 Oktober 2003 : 10). Lebih menyedihkan lagi ternyata sebagian besar tidak lebih sebagai sarana "bargaining" politik untuk bagi-bagi kekuasaaan.
Sepertinya tindakan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan sulit diatasi bahkan cenderung mengarah menjadi budaya baru. Hal ini menunjukkan bahwa budaya kerja pegawai negeri sipil belum terlalu kuat dan masih jauh dari harapan.
Secara tidak sengaja atau tanpa disadari, nampaknya sebagian besar pegawai negeri sipil telah larut dalam kesibukan sehari-hari untuk memperbesar kekuasaan, wewenang, peran dan mengejar target fisik sambil memanfaatkan peluang di antara celah-celah ketentuan formal dan prosedur administratif yang berbeli-belit ciptaannya sendiri. Dan telah sekian lama aparat birokrasi lari di tempat hingga "loyo" kehabisan energi, karena mengabaikan nilai-nilai dasar budaya kita sendiri yang telah diajarkan oleh orang tua, guru, ulama/pendeta dan para pejuang kita. (Susilo, 2000 : 3).
Potret manusia Indonesia secara jelas diungkapkan oleh budayawan Mochtar Lubis pada tahun 1977, meskipun tidak menyebut ciri-ciri manusia Indonesia tersebut sebagai budaya kerja, tetapi sangat sulit dipungkiri bahwa apa yang disebutnya merupakan warna dasar budaya kehidupan aktual dan perilaku kerja sehari-hari kita. Enam ciri manusia Indonesia yang di potret : 1) Munafik atau hipokrit. 2) Enggan bertanggung jawab. 3) Berjiwa feodal. 4) Percaya takhyul. 5) Artistik. 6) Berwatak lemah. (Lubis dalam Sinamo, 2002 : 61-63).
Seiring dengan itu, dari kenyataan yang ada selama ini pegawai di Biro Kepegawaian ternyata hampir tak pernah bekerja serta bergerak secara impulsive atau terarah. Mereka bekerja seenaknya sendiri dengan cara kerja yang hanya asal kerja, acak-acakan, semrawut, dan fungsi manajemen hampir tidak berlaku. Disiplin kerja luntur. Banyak jam kerja yang tidak diefektifkan dengan tugas pekerjaannya.
Sikap-sikap bekerja ringkas, rapi, resik, rawat, rajin (5 R) dan lain sebagainya belum memuaskan. Selain itu belum adanya kesadaran bahwa suatu keberhasilan kerja berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaan. Baginya yang penting adalah menerima gaji. Sehingga kinerja pelayanan sektor aparatur dan pengawasan masih di bawah dari harapan yang diinginkan. Hal ini dapat di lihat dari data Biro Kepegawaian dalam laporan pertanggungjawaban akhir tahun Kepala Daerah Tahun Anggaran 2003. "Meskipun demikian diakui bahwa secara umum kinerja pelayanan umum aparatur masih di bawah dari harapan yang diinginkan".
Untuk menentukan sejauh mana perlu melakukan perubahan, langkah pertamanya adalah dengan menganalisis budaya yang hidup dalam satuan kerja atau organisasi untuk memutuskan apa saja yang perlu diubah dan kedua adalah mengembangkan dan mengimplementasikan strategi perubahan tersebut (McKenna dan Beech, 2000 : 77, Pragantha, 1995). Namun seringkali pula ketika perubahan budaya dilakukan, kinerja yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan (Carnal, 1995, dalam Sofo : 349) akan mengganggu dan merusak, mengaduk-aduk yang tetap dan stabil sebelumnya (status quo). Sejumlah alasan mengapa hal ini terjadi; salah satunya adalah organisasi tidak mampu mengubah fundamental psikologis pegawainya untuk berubah (Riza, 1998).
Dekonstruksi budaya tersebut hanya akan mungkin jika seluruh komponen bersedia mengubah dirinya dalam konstruk budaya kerja baru, dan adanya dukungan pimpinan puncak untuk memudahkan penyebaran nilai-nilai yang diarahkan kepada terciptanya pegawai negeri sipil profesional, bermoral dan bertanggung jawab serta memiliki persepsi tepat terhadap pekerjaan. Perubahan budaya juga harus mengindahkan kode etik tertentu, baik dalam melancarkan perubahan maupun dalam menghadapi pihak yang menentang perubahan. (Sathe, 1985 : 380 dalam Ndraha, 2003 : 94). Oleh O'Leary, dalam Osborne dan Plastrik (2000 : 259) "Mengubah budaya pemerintah adalah seperti membangun Tembok Besar Cina".
Harus disadari pula bahwa budaya erat kaitannya dengan manusia (Kisdarto : 2000). Kuatnya budaya kerja akan terlihat dari bagaimana pegawai memandang budaya kerja sehingga berpengaruh terhadap perilaku yang digambarkan memiliki motivasi, dedikasi, kreativitas, kemampuan dan komitmen yang tinggi. Semakin kuat budaya kerja, semakin tinggi komitmen dan kemampuan yang dirasakan pegawai. Makin banyak pegawai yang menerima nilai-nilai makin tinggi kemampuan dan komitmen mereka pada nilai-nilai itu makin kuat budaya tersebut (Robbins, 1996 : 292). Menurut Wolsely dan Campbell (Prasetya, No. 01, Januari 2001 : 12) orang yang terlatih dalam budaya kerja akan menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, terbuka bagi gagasan baru dan fakta baru, memecahkan permasalahan secara mandiri, berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadi dan sosialnya.
Pentingnya pembudayaan, pengetahuan dan pendidikan juga dikatakan BJ.Habibie (Kompas, 19 Februari 2004 : 9) bahwa dalam proses pembudayaan, individu menerima transfer nilai-nilai budaya dan agama sehingga yang bersangkutan memiliki perilaku sopan, berbudaya, bermoral, dan beretika. Dan melalui proses pengetahuan, seseorang dapat memiliki budaya bebas berpikir, menilai, mengkritik, dan bebas dikritik dalam mencari ilmu. Adapun lewat pendidikan, memungkinkan seseorang dapat memahami dan memiliki dasar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi terampil dalam suatu bidang.
Mengingat kompleksitas dan pluralitas kondisi masyarakat X, maka aparatur dalam melaksanakan tugas kenegaraan senantiasa meningkatkan kualitas moral, akhlak, iman dan tentunya juga harus diikuti peningkatan kemampuan dan komitmen yang didasari dengan semangat pengabdian yang berlandaskan kejujuran dan keiikhlasan dalam pelayanan publik. (Soenarjo, dalam Prasetya No. 7, Juli 2003).
Untuk itu sebagai unit kerja yang melaksanakan tugas pelayanan dan pembinaan dalam bidang kepegawaian di lingkungan Pemerintah Provinsi X, Biro Kepegawaian tidak terlepas dari nilai-nilai budaya kerja yang ditanamkan dan mempersepsikan nilai-nilai tersebut sehingga mampu mengubah sikap dan perilaku pegawai khususnya di Biro Kepegawaian guna menghadapi tantangan masa depan. Dan melakukan perubahan cara kerja lama menjadi cara kerja baru dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (Instruksi Gubernur X No. 4 Tahun 2002).
Dari hasil program budaya kerja tahun 2003 mencerminkan budaya kerja (kejujuran, ketekunan, kreativitas, kedisiplinan dan iptek) belum menunjukkan kemampuan dan komitmen pegawai sesuai dengan apa yang diharapkan, seperti;
- Kurangnya komitmen pegawai terhadap visi dan misi organisasi (28,8%)
- Sikap pegawai yang tidak memegang teguh amanah dan komitmen dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. (10,68%)
- Masih sering terjadi penyimpangan dan kesalahan (deviasi dan distorsi) dalam kebijakan kepegawaian yang berdampak luas kepada masyarakat. (4,39%)
- Banyaknya sorotan masyarakat terhadap kemampuan pegawai (29,88%)
- Banyaknya pegawai yang sering mangkir, datang terlambat, pulang lebih awal, menunda-nunda pekerjaan dan lain-lain. (26,25%)
Mengingat budaya kerja merupakan salah satu elemen kunci pengelolaan sumber daya manusia yang menentukan keberhasilan dan kehancuran (Sulaksono, 2002), maka penting untuk menganalisis budaya kerja pegawai sebagai upaya membangun kemampuan dan komitmen pegawai di Biro Kepegawaian. Dan salah satu masalah yang harus diperhatikan oleh setiap aparatur adalah kemampuan (Soekarwo, dalam Prasetya No. 3, Maret 2004), serta kurangnya komitmen, profesionalisme dalam tugas dengan pelaksanaan kebijakan (Tamin, 2001)
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan menganalisis budaya kerja pegawai dalam membangun kemampuan dan komitmen pegawai dengan melihat hubungan tentang budaya kerja, kemampuan dan komitmen pegawai. Hal ini dilandasi fakta bahwa Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI telah mengeluarkan Keputusan Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. Keputusan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Instruksi Gubernur X Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Program Budaya Kerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi X.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini dapat dirumuskan :
1.2.1 Apakah budaya kerja yang terdiri dari budaya kejujuran, budaya ketekunan, budaya kreativitas, budaya kedisiplinan, budaya iptek berpengaruh terhadap kemampuan pegawai negeri sipil di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi X ?
1.2.2 Apakah budaya kerja yang terdiri dari budaya kejujuran, budaya ketekunan, budaya kreativitas, budaya kedisiplinan, budaya iptek berpengaruh terhadap komitmen pegawai negeri sipil di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi X ?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Menganalisis pengaruh budaya kerja yang ada terdiri dari kejujuran, ketekunan, kreativitas, kedisiplinan dan iptek terhadap kemampuan pegawai negeri sipil
1.3.2 Menganalisis pengaruh budaya kerja yang ada terdiri dari kejujuran, ketekunan, kreativitas, kedisiplinan dan iptek terhadap komitmen pegawai negeri sipil.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Sebagai masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Provinsi X khususnya Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi dalam menerapkan nilai-nilai budaya kerja.
1.4.2 Sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pengembangan sumber daya manusia.

TESIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA, DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIRJEN KEKAYAAN NEGARA

TESIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA, DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIRJEN KEKAYAAN NEGARA


(KODE : PASCSARJ-0153) : TESIS PENGARUH BUDAYA ORGANISASI, KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA, DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN TERHADAP KINERJA KARYAWAN DIRJEN KEKAYAAN NEGARA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sumber Daya Manusia merupakan komponen utama suatu organisasi yang menjadi perencana dan pelaku aktif dalam setiap aktivitas organisasi. Mereka mempunyai pikiran, perasaan, keinginan, status dan latar belakang pendidikan, usia, jenis kelamin yang heterogen yang dibawa ke dalam suatu organisasi sehingga tidak seperti mesin, uang dan material, yang sifatnya pasif dan dapat dikuasai dan diatur sepenuhnya dalam mendukung tercapainya tujuan organisasi.
Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan Sumber Daya Manusia yang mampu menjadi pelaksana dan pengendali semua proses pencapaian tujuan organisasi. Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh organisasi, dimana dalam mencapai tujuan nasional dibutuhkan Pegawai Negeri Sipil yang mampu dan siap menghadapi tantangan masa depan serta siap akan adanya berbagai perubahan-perubahan dalam menghadapi era globalisasi. Dalam pelaksanaan tugas disini Pegawai Negeri Sipil harus mempunyai jiwa yang profesional sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999.
Kinerja Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Kekayaan Negara Lain-Lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara telah sesuai dengan program kerja yang telah direncanakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Namun masih terdapat beberapa pegawai yang belum menyadari akan tanggung jawab tugasnya. Hal tersebut dikarenakan Dipandang dari segi kompetensi yang dimiliki oleh Sumber Daya Manusia di Direktorat KNL, masih terdapat Sumber Daya Manusia yang belum memiliki kompetensi untuk melaksanakan tugas dengan baik sehingga Kualitas pekerjaan yang dihasilkan belum optimal dan dari segi kuantitas, jumlah Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh Direktorat KNL belum seimbang dengan beban kerja selama ini dan potensi beban kerja di masa yang akan datang serta pemerataan alokasi Sumber Daya Manusia di setiap subdirektorat belum sesuai dengan beban kerja.
Terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara lain-lain yang belum efisien dan efektif, hal tersebut diakibatkan oleh masih perlunya dukungan perangkat hukum untuk lebih memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan dan di tingkat peraturan pelaksanaan, masih terdapat peraturan pelaksanaan yang belum ditetapkan. Selain itu, beberapa peraturan pelaksanaan yang sudah ada masih belum sempurna dan belum mengatur secara lengkap pelaksanaan tugas dan fungsi.
Sumber Daya Manusia baik yang menduduki posisi pimpinan maupun pegawai merupakan faktor terpenting dalam setiap organisasi atau instansi baik pemerintah maupun swasta. Hal ini karena berhasil tidaknya suatu organisasi atau instansi sebagian besar dipengaruhi oleh faktor manusia selaku pelaksana pekerjaan, baik pimpinan maupun pegawai. Seringkali pimpinan di Direktorat Kekayaan Negara Lain-Lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara kurang memperhatikan kesulitan pegawai dalam melaksanakan pekerjaan maupun penghargaan kepada pegawai.
Organisasi merupakan suatu kumpulan orang-orang yang saling bekerjasama dengan memanfaatkan fasilitas yang ada untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Tujuan organisasi adalah tercapainya suatu tujuan dimana individu-individu tidak dapat mencapainya sendiri. Dengan adanya sekelompok orang yang bekerjasama secara kooperatif dan dikoordinasikan dapat mencapai hasil yang lebih daripada dilakukan oleh satu orang. Dengan demikian tiang dasar dalam pengorganisasian yaitu prinsip pembagian kerja atau division of labour. Dalam mencapai tujuan organisasi banyak faktor yang mempengaruhinya diantaranya Sumber Daya Manusia, Kualitas Sumber Daya Manusia atau pegawai, dan Tata Kelola Pemerintahan yang menunjang tercapainya tujuan.
Sebagai salah satu peran kinerja yang penting adalah Sumber Daya Manusia. Kebudayaan sebagai sesuatu yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan mencakup semuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia. Kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, yaitu mencakup segala cara atau pola-pola berpikir, merasakan dan bertindak.
Manusia sebagai makhluk budaya mengandung pengertian bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia terhadap dunianya, lingkungan serta masyarakatnya. Kebudayaan merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok untuk menentukan sikap terhadap dunia luarnya, bahkan mendasari setiap tingkah laku yang hendak dilaksanakan. Demikian luasnya cakupan kebudayaan sehingga muncul wujud kebudayaan dalam kehidupan masyarakat.
Kebudayaan mengikat para anggota yang dilingkupi kebudayaan itu untuk berperilaku sesuai dengan budaya yang ada. Apabila pengertian ini ditarik ke dalam organisasi, maka seperangkat norma sudah menjadi budaya dalam organisasi, sehingga anggota organisasi akan bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan budaya tanpa merasa terpaksa. Apabila budaya itu adalah budaya yang bersifat mengerahkan kepada anggota organisasi untuk mempunyai kinerja yang baik dapat dipastikan semua anggota organisasi yang sudah menganggap norma itu sebagai budaya, anggota organisasi tersebut akan melaksanakan dengan baik. Akhirnya pelaksanaan budaya itu akan menghasilkan output kinerja yang baik.
Model Sumber Daya Manusia yang ideal untuk suatu organisasi adalah yang memiliki paling sedikit dua sifat. Pertama, kuat (strong), artinya Sumber Daya Manusia yang dikembangkan harus mampu mengikat dan mempengaruhi perilaku (behavior) para individu pelaku organisasi (pemilik, manajemen dan anggota organisasi) untuk menyelasaraskan (goal congruence) antara tujuan individu dan tujuan kelompok mereka dengan tujuan organisasi. Selain itu, Sumber Daya Manusia yang dibangun tersebut harus mampu mendorong para pelaku organisasi dan organisasi itu sendiri untuk memiliki tujuan, sasaran (objectives), persepsi, perasaan, nilai dan kepercayaan, interaksi sosial, dan norma-norma bersama yang mempunyai arah yang jelas sehingga mereka mampu bekerja dan mengekspresikan potensi mereka ke arah dan tujuan yang sama, serta semangat yang sama pula.
Kedua, dinamis dan adaptif (dynamic and adaptive) artinya Sumber Daya Manusia yang akan dibangun harus fleksibel dan responsif terhadap perkembangan lingkungan internal dan eksternal organisasi (mega environments) seperti tuntutan dari stakeholders eksternal dan perubahan dalam lingkungan hukum, ekonomi, politik, sosial, teknologi informasi, pemanufakturan dan lainnya.
Setiap organisasi baik itu organisasi pemerintah, swasta, dalam bentuk manufaktur, jasa ataupun dagang akan dihadapkan pada permasalahan mengenai pengelolaan Sumber Daya Manusia (human resources). Hal ini disebabkan karena pengelolaan sumber daya manusia ini sangat erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya lainnya yaitu bahan baku (material), modal (money), mesin (machines), dan metode (method), serta energi (energy) dalam organisasi tersebut. Semakin baik pengelolaan Sumber Daya Manusia (tenaga kerja) maka semakin baik pula pengelolaan sumber daya yang lain. Sebaliknya semakin buruk pengelolaan Sumber Daya Manusia maka hal itu berakibat pengelolaan sumber daya yang lain semakin tidak baik.
Kualitas Sumber Daya Manusia merupakan inventaris yang penting bagi organisasi, mengingat pentingnya unsur Sumber Daya Manusia dalam pertumbuhan dan perkembangan organisasi karena didalamnya terdapat bakat, kreativitas keinginan dan aktivitas kerja. Oleh karenanya Sumber Daya Manusia atau tenaga kerja harus mendapatkan perhatian khusus dari organisasi sehingga apabila tenaga kerja merasa nyaman bekerja maka semangat kerjanya akan meningkat, hal itu berakibat produktivitas kerjanya meningkat pula dan pada akhirnya tujuan organisasi untuk memperoleh hasil maupun laba akan tercapai.
Keberhasilan suatu organisasi dalam kegiatan usahanya, jika individu-individu yang terlibat didalamnya mau bekerja sama dengan giat dan penuh semangat, dimana suatu organisasi dan pihak pegawai terdapat saling pengertian dan saling membutuhkan maka organisasi akan terus hidup dan maju.
Agar pengelolaan Sumber Daya Manusia di dalam suatu organisasi dapat bekerja dengan efisien maka pendidikan, keterampilan dan kepemimpinan memegang peranan penting untuk dapat mempengaruhi dan menggerakkan pegawai guna mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Selain itu diperlukan untuk meningkatkan Kualitas atau mutu pelayanan sebagai upaya untuk mengantisipasi lingkungan eksternal dan di lain pihak perhatian ke lingkungan internal merupakan faktor yang harus didahulukan.
Selain Sumber Daya Manusia dan Kualitas Sumber Daya Manusia, Tata Kelola Pemerintahan merupakan salah satu faktor yang turut berperan dalam pencapaian kinerja organisasi. Tata Kelola Pemerintahan yang mengedepankan asas-asas Tata Kelola Pemerintahan yang baik merupakan salah satu syarat pencapaian kinerja. Permasalahan yang melekat pada instansi publik adalah transparansi, akuntabilitas dan kepatuhan hukum. Pemerintahan yang baik, cita negara berdasarkan hukum, di mana masyarakatnya merupakan self regulatory society. Dengan demikian, pemerintah sudah dapat mereduksi perannya sebagai pembina dan pengawas implementasi visi dan misi bangsa dalam seluruh sendi-sendi kenegaraan melalui pemantauan terhadap masalah-masalah hukum yang timbul dan menindaklanjuti keluhan-keluhan masyarakat dan sebagai fasilitator yang baik. Dengan pengembangan sistem informasi yang baik, kegiatan pemerintahan menjadi lebih transparan, dan akuntabel, karena pemerintah mampu menangkap feedback dan meningkatkan peran serta masyarakat. Dalam konteks lain (hukum), Pemerintahan yang baik merupakan suatu asas yang dikenal sebagai Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, yang merupakan jembatan antara norma hukum dengan norma etika.
Berdasarkan uraian di atas serta hasil pengamatan, Penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : "Budaya Organisasi, Kualitas Sumber Daya Manusia dan Tata Kelola Pemerintahan Terhadap Kinerja Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-Lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah dalam penelitian ini dalam bentuk pernyataan penelitian (research question) sebagai berikut :
1. Sarana dan prasara penunjang dalam pekerjaan belum optimal.
2. Pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara lain-lain belum efisien dan efektif.
3. Pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang pengelolaan kekayaan negara lain-lain masih perlu didukung dengan perangkat hukum untuk lebih memberikan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan.
4. Di tingkat peraturan pelaksanaan, masih terdapat peraturan pelaksanaan yang belum ditetapkan. Selain itu, beberapa peraturan pelaksanaan yang sudah ada masih belum sempurna dan belum mengatur secara lengkap pelaksanaan tugas dan fungsi.
5. Dipandang dari segi kompetensi yang dimiliki oleh Sumber Daya Manusia di Direktorat KNL, masih terdapat Sumber Daya Manusia yang belum memiliki kompetensi untuk melaksanakan tugas dengan baik sehingga Kualitas pekerjaan yang dihasilkan belum optimal.
6. Dari segi kuantitas, jumlah Sumber Daya Manusia yang dimiliki oleh Direktorat KNL belum seimbang dengan beban kerja selama ini dan potensi beban kerja di masa yang akan datang serta pemerataan alokasi Sumber Daya Manusia di setiap subdirektorat belum sesuai dengan beban kerja.
7. Seringkali pimpinan tidak memperhatikan kesulitan pegawai dalam melaksanakan pekerjaan.
8. Kurangnya penghargaan dari pimpinan bagi pegawai yang telah berkerja dengan baik.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada lingkup Budaya Organisasi, Kualitas Sumber Daya Manusia, Tata Kelola Pemerintahan dan Kinerja pada Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan ruang lingkup penelitian tersebut di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah terdapat pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara ?
2. Apakah ada pengaruh Kualitas Sumber Daya Manusia terhadap Kinerja Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara ?
3. Apakah ada pengaruh Tata Kelola Pemerintahan terhadap Kinerja Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara ?
4. Apakah ada pengaruh Budaya Organisasi, Kualitas Sumber Daya Manusia dan Tata Kelola Pemerintahan secara bersama-sama terhadap Kinerja Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara ?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui tingkat pengaruh variabel Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
2. Mengetahui tingkat pengaruh variabel Kualitas Sumber Daya Manusia terhadap Kinerja Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
3. Mengetahui tingkat pengaruh variabel Tata Kelola Pemerintahan terhadap Kinerja Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
4. Mengetahui tingkat pengaruh variable Budaya Organisasi, Kualitas Sumber Daya Manusia dan Tata Kelola Pemerintahan secara bersama-sama terhadap Kinerja Pegawai Direktorat Kekayaan Negara Lain-lain, di Direktorat Jenderal Kekayaan Negara;
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan Direktorat Kekayaan Negara Lain-Lain dalam peningkatan kinerja organisasi, khususnya dari Sumber Daya Manusia dalam melaksanakan tugasnya.
2. Hasil penelitian ini juga diharapkan bisa dijadikan sebagai sumber kontribusi sumbangan pemikiran bagi Direktorat Kekayaan Negara Lain-Lain dalam pengambilan keputusan terkait manajemen Sumber Daya Manusianya.
3. Hasil penelitian ini dapat memberikan referensi bagi dunia akademik, khususnya Universitas mengenai pengaruh-pengaruh Budaya Organisasi, Kualitas Sumber Daya Manusia dan Tata Kelola Pemerintahan terhadap Kinerja suatu organisasi khususnya pada kantor pemerintahan.

TESIS PENGARUH VARIABEL KOMPENSASI, MUTASI, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI KPPN

TESIS PENGARUH VARIABEL KOMPENSASI, MUTASI, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI KPPN


(KODE : PASCSARJ-0152) : TESIS PENGARUH VARIABEL KOMPENSASI, MUTASI, DAN LINGKUNGAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI KPPN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam era perubahan global yang timbul sebagai akibat perubahan teknologi yang cepat terjadi pada hampir semua aspek kehidupan manusia dan menimbulkan pergeseran serta paradigma baru. Perubahan di berbagai aspek seperti ekonomi, politik, sosial, nilai, dan budaya, pasar serta lingkungan akan mendorong timbulnya persaingan yang tajam baik antar individu, kelompok, masyarakat, dan bahkan di tingkat organisasi hingga antar negara. Semuanya bergerak dan berlomba-lomba melakukan aktivitas yang lebih baik, lebih efisien, efektif, lebih unggul satu sama lain dalam mengelola sumber-sumber daya, memanfatkan peluang dan tantangan untuk menghadapi atau memenangkan persaingan tersebut, sesuai paradigma baru yang dipakainya.
Setiap organisasi baik itu organisasi pemerintah, swasta, dalam bentuk manufaktur, jasa ataupun dagang akan dihadapkan pada permasalahan mengenai pengelolaan sumber. Hal itu disebabkan karena pengelolaan sumber daya manusia ini sangat erat kaitannya dengan pengelolaan sumber daya lainnya yaitu bahan baku (material), modal (money), mesin (machines), dan metode (method), serta energi (energy) dalam organisasi tersebut. Semakin baik pengelolaan sumber daya manusia (tenaga kerja) maka semakin baik pula pengelolaan sumber daya yang lain, sebaliknya semakin buruk pengelolaan sumber daya manusia maka hal itu berakibat pengelolaan sumber daya yang lain semakin tidak baik.
Good Governance merupakan persyaratan bagi instansi pemerintah dalam dalam rangka mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita bangsa. Pegawai Negeri Sipil dituntut untuk dapat bekerja secara profesional dengan berlandaskan moral yang baik, berdaya guna, bersih dan mengutamakan kepentingan masyarakat dan dapat melayani masyarakat sebaik-baiknya.
Namun dalam pelaksanaannya permasalahan pelayanan, pengawasan, dan korupsi yang melekat pada birokrasi pada umumnya dan Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X pada khususnya, masih banyak Pegawai Negeri Sipil dilingkungan KPKNL X yang belum mampu memaksimalkan kinerjanya, hal ini ditandai oleh tidak tercapainya target kinerja yang telah ditentukan dalam pelaksanaan tugas pokok maupun tugas tambahan, masih lambatnya pegawai dalam menyelesaikan pekerjaannya, pegawai di lingkungan KPKNL X masih belum menunjukkan motivasi kerja yang maksimal dengan kompensasi yang diberikan.
Sebagai aparat pemerintah, maka setiap pegawai KPKNL X harus menyadari bahwa pekerjaan yang dilakukannya membuahkan suatu hasil. Suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugasnya karena adanya prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama dan prakarsa disebut kinerja. Kinerja itu dapat berupa produk akhir (barang dan jasa) dan atau berbentuk perilaku, kecakapan, kompetensi, sarana dan keterampilan spesifik yang dapat mendukung pencapaian tujuan, sasaran organisasi. Dalam hubungan ini seseorang dikatakan mempunyai kinerja baik, apabila mampu memperlihatkan hasil kerja atau kemampuan kerja yang baik dan dapat memberi kontribusi terhadap pencapaian organisasi atau mempunyai perilaku yang baik, kecakapan, kompetensi, keterampilan spesifik yang tinggi, bersedia di gaji/diberi upah sesuai dengan perjanjian, mempunyai harapan (expention) masa depan lebih baik, Prawirosentono (2007, 78). Namun kenyataannya adanya beberapa personil masih belum dapat memberikan kontribusi kepada kantor secara total dan kurang pemahaman bidang tugasnya baik disebabkan faktor intern personil atau faktor ekstern.
Hal ini terjadi bukan karena hanya kesalahan pegawai itu sendiri akan tetapi ada kemungkinan instansi pemerintah kurang memperhatikan kondisi-kondisi yang menyebabkan pegawai tidak bekerja dengan baik tersebut. Untuk itu instansi pemerintah harus memperhatikan faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kinerja pegawai yang rendah. Faktor-faktor tersebut banyak sekali, antara lain kemungkinan kompensasi yang diterima tidak mencukupi untuk kesejahteraan pegawai dan keluarga, adanya faktor lingkungan yang tidak kondusif, perlunya faktor pembinaan pegawai melalui program mutasi, sistem mutasi yang berjalan dan masih banyak faktor-faktor lainnya.
Kompensasi yang diberikan pemerintah masih belum dapat memenuhi kebutuhan bagi pegawai. Manusia bekerja tidak hanya untuk mendapatkan uang saja, tetapi juga mendapatkan perhargaan dan kepuasan kerja. Kompensasi dalam bentuk asuransi belum semua membuat pegawai tenang dalam bekerja, misalnya belum adanya asuransi jiwa dan asuransi pendidikan. Dengan adanya kompensasi kembali akan meningkatkan semangat kerja, motivasi kerja dan kinerja pegawai yang mempunyai peran penting terhadap organisasi.
Mengingat begitu pentingnya peran pegawai, pimpinan KPKNL X perlu memperhatikan permasalahan yang timbul di dalam pegawai antara lain pelaksanaan mutasi. Kegiatan mutasi pegawai dari satu seksi satu ke seksi lain khususnya pada KPKNL X belum sepenuhnya berjalan sehingga terjadi ketidakseimbangan pegawai, timbulnya rasa bosan di suatu tempat sehingga dapat mempengaruhi kinerja pegawai dan berpengaruh pada kinerja kantor.
Dengan adanya mutasi diharapkan dapat meningkatkan kinerja pegawai dan sebagai alat pendorong agar motivasi kerja pegawai meningkat dan untuk menghilangkan rasa bosan/jenuh terhadap pekerjaanya agar tercipta penyegaran terhadap pegawai yang juga akan terjadi penyegaran organisasi.
Persaingan yang kurang sehat biasanya berawal dari lingkungan kerja yang kurang efektif, artinya hubungan atasan dan bawahan serta hubungan antar bawahan kurang memiliki komunikasi yang baik, selain itu kondisi kerja yang kurang mendukung antara lain, suhu udara, kebisingan, penerangan, fasilitas kantor yang kurang mendukung. Faktor lingkungan kerja tersebut juga harus diperhatikan pimpinan institusi, sehingga pegawai dapat bekerja dengan baik di ingkungan yang menyenangkan. KPKNL X menempati gedung yang sudah tua dan sarana penunjang yang kurang mendukung pegawai untuk bekerja dengan nyaman.
Merosotnya kinerja dapat diidentifikasi dengan adanya terlambatnya laporan pekerjaan inventarisasi barang milik negara, sering terjadi kesalahan yang diperbuat, berkembangnya rasa tidak puas, produktivitas kerja melorot seperti tidak tercapainya target pengurusan piutang dan lelang serta inventarisasi barang milik negara. Kompensasi yang kurang memadai, kondisi kerja tidak mendukung gairah kerja, peraturan dan kebijaksanaan yang tidak stabil dapat pula menimbulkan dismotivasi dan berakibat merosotnya kinerja pegawai. Bertitik dari uraian di atas, maka penelitian bermaksud mengajukan penelitian tesis ini dengan judul "Pengaruh Kompensasi, Mutasi, dan Lingkungan Kerja Terhadap Kinerja Pegawai KPKNL X".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka penulis dapat mengidentifikasi masalah, sebagai berikut :
1. Pegawai di lingkungan KPKNL X masih belum menunjukkan kinerja yang maksimal dengan kompensasi yang diberikan dalam bentuk remunerasi
2. Dengan diterapkannya absen finger print untuk disiplin pegawai belum menunjukkan kinerja yang maksimal.
3. Kompensasi yang diberikan kepada pegawai belum dapat meningkatkan kinerja pegawai KPKNL X.
4. Mutasi pegawai belum sepenuhnya berjalan.
5. Kondisi lingkungan kerja di KPKNL X belum memadai.
6. Lingkungan Kerja di KPKNL X belum cukup menunjang dalam peningkatan kinerja pegawai.
7. Masih belum tercapainya target KPKNL X yang telah ditetapkan Kantor Pusat DJKN.
8. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat masih dapat ditingkatkan.
9. Pimpinan KPKNL X memandang kinerja karyawan belum optimal.

C. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini hanya dibatasi pada lingkup Kantor Pelayanan Kekayaan Negaradan Lelang X. Penulis menganalisa faktor variabel kompensasi, mutasi, dan lingkungan kerja terhadap kinerja pegawai Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta uraian di atas, maka permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat pengaruh kompensasi terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?
2. Apakah terdapat pengaruh mutasi terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?
3. Apakah terdapat pengaruh lingkungan kerja terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?
4. Apakah terdapat pengaruh kompensasi, mutasi dan lingkungan kerjasecara bersama-sama terhadap kinerja pegawai di lingkungan KPKNL X ?

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui faktor kompensasi, mutasi dan lingkungan kerja berpengaruh secara sendiri-sendiri terhadap kinerja pegawai Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X.
b. Untuk mengetahui faktor kompensasi, mutasi dan lingkungan kerja berpengaruh secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang X.
2. Kegunaan Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dan sumbangan pada lembaga pemerintah, dunia keilmuan dan pengetahuan maupun informasi bagi individu seperti :
a. KPKNL X, sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan terutama di bagian kepegawaian di KPKNL X untuk melaksanakan program peningkatan kualitas aparat melalui pemberian motivasi berupa kompensasi, mutasi, dan lingkuangan kerja yang baik efektif guna melecut pegawai agar menunjukkan kinerja yang optimal.
b. Memberikan sumbangan ilmu dan bahan kajian teoritis berkaitan dengan motivasi secara umum dan aplikasinya di lapangan serta kaitannya dengan penelitian kinerja pegawai di organisasi pemerintahan.
c. Sebagai bahan kajian pendahuluan bagi para peneliti lain untuk melakukan dan mengembangkan penelitian lebih lanjut.

TESIS ANALISIS PENGARUH REMUNERASI, MOTIVASI KERJA DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI. PADA KANWIL DIRJEN PAJAK

TESIS ANALISIS PENGARUH REMUNERASI, MOTIVASI KERJA DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI. PADA KANWIL DIRJEN PAJAK


(KODE : PASCSARJ-0151) : TESIS ANALISIS PENGARUH REMUNERASI, MOTIVASI KERJA DAN BUDAYA KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI. PADA KANWIL DIRJEN PAJAK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I 
PENDAHULUAN

A Latar Belakang Masalah
Globalisasi di era pasar bebas ini membuat seluruh elemen harus mampu bersaing, dengan para pesaingnya baik lokal maupun internasional. Termasuk didalamnya persaingan sumberdaya manusia itu sendiri. Kecanggihan teknologi yang dulu menjadi ciri kemajuan zaman modern kini tidak lagi menjadi nomor wahid yang begitu diagungkan namun kebutuhan manusia yang menguasai teknologi dan budaya produksi lebih mendominasi dalam era persaingan global, sehingga peran manusia produktif amat diperlukan dalam menjamin keunggulannya. Karenanya diperlukan keselarasan antara strategi pengembangan secara umum dan perencanaan sumberdaya manusia yang tepat.
Ditengah kesadaran akan kerasnya tuntutan lingkungan dan pentingnya sumberdaya manusia dalam organisasi, ditemui kenyataan masih begitu banyaknya organisasi yang belum mampu menghasilkan produktivitas kerja yang optimal sesuai yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai sisi antara lain dari sisi karyawan, masalah motivasi diri yang kurang mendukung upaya untuk menampilkan kinerja yang optimal. Sementara di sisi lain terdapat, masalah remunerasi, budaya organisasi dan motivasi yang seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk peningkatan kinerja pegawai.
Motivasi adalah gabungan dari keinginan seseorang dengan energi yang diarahkan untuk bisa mencapai goal (tujuan) yang dituju. Motivasi adalah penyebab dari suatu aksi. Motivasi dapat berupa kepuasan pribadi, perasaan bisa mencapai sesuatu, memperolah rewards (penghargaan/hadiah) atau menghindari punishment (sangsi atau hukuman). Tidak semua orang termotivasi oleh suatu hal yang sama, dengan berlalunya waktu motivasi bisa berubah. Masalah berkurangnya motivasi pada seseorang dapat disebabkan karena tekanan ekonomi dari keluarga, konflik kepribadian, tiadanya pemahaman bahwa suatu sikap bisa memberikan dampak tertentu kepada orang lain.
Aspek penting lain dalam kaitannya dengan kinerja pegawai adalah bagaimana budaya yang ada dalam organisasi tersebut. Besarnya tuntutan sebagai akibat perubahan zaman yang begitu cepat membuat institusi/lembaga pemerintah harus mampu mengembangkan strategi yang dinamis dan adaptif untuk menjawab tantangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya. Untuk itu setiap lembaga pemerintah harus memantapkan atau mempertegas nilai-nilai budaya yang menunjang kinerja serta meningkatkan produktivitas yang kemudian diterapkan sebagai strategi organisasi.
Budaya kerja yang kuat diyakini dapat menjadi andalan peningkatan kinerja dalam hal ini pengembangan budaya kerja menjadi fokus internal yang sangat penting, karena budaya kerja merupakan esensi filosofi untuk mencapai sukses, yaitu dengan adanya penciptaan nilai-nilai yang memberikan pengarahan umum dan petunjuk perilaku bagi semua komponen organisasi dari atasan hingga level paling bawah dalam organisasi.
Untuk menghadapi perubahan yang makin pesat dan beraneka ragam, organisasi dituntut agar dapat mengembangkan kemampuan manajemen guna mengantisipasi kejadian-kejadian serta perubahan-perubahan yang mungkin terjadi dalam kurun waktu yang singkat maupun waktu yang panjang, serta strategi dan metode yang perlu dirancang untuk menghadapi atau mengatasi jika hal-hal tersebut menjadi bentuk masalah. Termasuk dalam pengembangan budaya organisasi ini adalah strategi untuk memberikan pelayanan pada pengguna jasa organisasi.
Pengaruh budaya organisasi, tak lepas dari keberadaan organisasi sebagai sebuah masyarakat manusia, yang seperti masyarakat lainnya, mendorong tumbuhnya bentuk budaya tertentu. Tiap organisasi mempunyai bahasanya sendiri mengenai sejarah (mitos-mitosnya) dan orang yang menjadi contoh perilaku baik maupun kurang baik (legendanya), baik historis maupun kontemporer. Dengan berbagai cara, berbagai elemen budaya tersebut, menyatakan kepada anggota organisasinya apa yang boleh dan apa yng tidak boleh menurut Hammer (998, 47).
Budaya kerja merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan kinerja organisasi. Sebagai sebuah instrumen penting dalam organisasi, diyakini oleh para ahli bahwa semua organisasi memiliki budaya. Perbedaanya terletak apakah budaya yang dimiliki organisasi tersebut kuat atau lemah. Selain itu yang menjadi permasalahan adalah apakah organisasi yang ada menunjang pada pencapaian visi dan misi organisasi atau tidak. Budaya pada kenyataannya memang menghasilkan efek sangat besar yang mempengaruhi individu dan kinerja. Pengaruh ini bahkan bisa menjadi lebih besar dari pada semua faktor lain.
Pengaruh faktor budaya masyarakat sekitar dimana organisasi berada pada operasi organisasi juga tergantung pada tingkat keterkaitan dan perkembangan organisasi. Hal ini disebabkan dalam suatu organisasi terdapat pegawai-pegawai yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda dan disatukan dalam suatu ikatan di tempat bekerja.
Masalah perbedaan budaya ini dapat berubah menjadi suatu masalah yang lebih kompleks apabila tidak ditangani secara hati-hati. Dimana akan dapat menimbulkan suatu masalah atau konflik antara karyawan yang berbeda budaya hanya disebabkan masalah yang kecil, yaitu hanya berbeda pandangan atau persepsi terhadap suatu masalah, sehingga akan menurunkan kinerja organisasi itu sendiri.
Seperti kita ketahui bersama saat ini pendapatan negara masih sangat tergantung dari pendapatan pajak, karena komponen pendapatan negara terbesar masih didominasi dari pajak. Mengingat sumber-sumber pendapatan lain yang begitu diandalkan seperti minyak bumi dan gas alam serta hasil hutan kini tidak dapat dipertahankan lagi, menyadari hal tersebut pemerintah bertekad untuk menjadikan pajak sebagai tulang punggung penerimaan negara dalam membiayai pembangunan nasional.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa image masyarakat terhadap pajak selama ini yaitu menganggap pajak sebagai hal yang ditakuti masyarakat. Masyarakat masih memberikan penilaian negatif pajak baik dari sisi pelayanan yang buruk maupun praktek-praktek korupsi yang terjadi di instansi Direktorat Jendral Pajak (DJP). Hal tersebut cukup beralasan mengingat media massa pernah menyebutkan bahwa hasil survey Transparency International Indonesia terhadap 900 pengusaha di 15 kota di luar Jabotabek menyebutkan bahwa 40% sampai dengan 60% penerimaan pajak dikorupsi oleh aparat pajak.
Korupsi, kolusi dan nepotisme telah membudaya di Indonesia juga dialami di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, hal ini terjadi antara lain disebabkan Wajib Pajak tidak mau melaporkan secara jujur pajak yang harus dibayar sehingga memberi kesempatan bagi petugas pajak dengan wajib pajak untuk melakukan negosiasi. Budaya organisasi yang tidak tepat dapat menimbulkan penyimpangan tujuan organisasi, selain itu pengawasan terhadap petugas pajak sendiri masih kurang seperti kurangnya tindakan tegas terhadap petugas pajak yang melakukan penyelewengan sehingga tidak menimbulkan efek jera.
Budaya aparat dilingkungan Dirjen pajak yang selama ini dikatakan masih belum sesuai dengan kaidah yang ada sehingga sampai memunculkan ide untuk membentuk internal revenue services (IRS) yang bertindak sebagai polisi pajak. Selain itu mengusulkan pembentukan federasi pembayar pajak (tax payer federation) untuk mengurangi kebocoran pajak. Respon dan opini berbagai kalangan seperti yang banyak diungkapkan melalui media menggambarkan betapa DJP selama ini belum mampu meningkatkan kinerja dan citranya. Hal itulah salah satu yang mendorong harus dilakukannya reformasi perpajakan.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2010 masuk dalam pos reformasi birokrasi, remunerasi pejabat negara tidak dapat dipisahkan dari reformasi birokrasi yang dilakukan pemerintah, anggaran ini untuk meningkatkan kinerja birokrasi pemerintahan. Dengan adanya reformasi birokrasi, pemerintah dituntut bisa mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan berkualitas.
Direktorat Jenderal Pajak sebagai salah satu instansi Pemerintah dibawah Departemen Keuangan, saat ini tengah berbenah dengan menerapkan Sistem Administrasi Modern dalam rangka memperbaiki kompetensi pada organisasinya, baik kompetensi instansi maupun kompetensi tiap individu di dalamnya agar tercapai kinerja yang baik.
Hal ini sejalan dengan reformasi birokrasi yang tengah digaungkan oleh Kementrian Keuangan. Reformasi birokrasi ini dilaksanakan terutama untuk memperbaiki performa dalam organisasi tersebut dalam rangka mempersiapkan diri ke arah yang lebih baik, sehingga diharapkan dapat mewujudkan visi Direktorat Jenderal Pajak yaitu menjadi institusi pemerintah yang menyelenggarakan sistem administrasi perpajakan modern yang efektif, efisien dan dipercaya masyarakat dengan integritas dan profesionalisme yang tinggi dan misi Direktorat Jenderal Pajak yaitu menghimpun penerimaan pajak negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang mampu mewujudkan kemandirian pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara melalui sistem administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. Karena hal itu yang dapat menggambarkan kinerja lembaga khususnya Direktorat Jenderal Pajak X.
Dalam rangka mewujudkan visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak tersebut, maka Direktorat Jenderal Pajak khususnya Pegawai di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X menempati posisi yang sangat penting dalam menjamin kelancaran kerja, karena merekalah yang berhadapan langsung dengan aktivitas utama organisasi untuk menghasilkan output tertentu yang diusahakan. Akibatnya tenaga pegawai yang berhubungan langsung dengan aktivitas utama organisasi tersebut, dituntut dapat menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku hingga mencapai persyaratan-persyaratan pekerjaan tersebut yang akhirnya secara langsung dapat diterima dari kuantitas, maupun kualitasnya.
Besarnya tuntutan tersebut membuat institusi/lembaga pemerintah khususnya di lingkungan Dirjen Pajak harus mampu mengembangkan strategi yang dinamis dan adaptif untuk menjawab tantangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya, kebijakan instansi dimasa yang akan datang lebih dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan secara umum. Oleh karena itu pengelola pada berbagai tingkatan dituntut untuk mampu menentukan kebijakan yang dapat memahami lingkungan tersebut dan mendukung rencana makro dimasa yang akan datang.
Dalam hubungan ini pegawai dikatakan mempunyai kinerja yang baik, antara lain bila mematuhi segala aturan yang telah ditetapkan dalam suatu organisasi Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.01/2006 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.01/2008 tentang Pedoman Penetapan Evaluasi, Penilaian, Kenaikan Dan Penurunan Jabatan Dan Peringkat Bagi Pemangku Jabatan Pelaksana Dilingkungan Departemen Keuangan, yaitu menjadi sumber daya manusia yang berkinerja baik dengan memiliki pengetahuan, kemampuan dan keahlian yang handal, profesional serta berdedikasi tinggi, jujur dan memiliki disiplin yang tinggi.
Peningkatan kinerja bagi pegawai tidak terlepas dari rangsangan maupun motivasi dari pegawai itu sendiri atau dari eksternal. Dalam hal ini baik secara langsung maupun tidak langsung remunerasi merupakan salah satu pendorong semangat kerja dan produktivitas kerja pegawai, dengan memanfaatkan dan menggunakan serta memaksimalkan sumber daya yang dimiliki yang didukung budaya organisasi yang tepat diharapkan dapat tercapainya kinerja yang optimal. Remunerasi diharapkan mampu memberikan dorongan dan motivasi kerja terhadap para pegawai untuk tetap bekerja giat. Disamping memotivasi, peranan remunerasi sangat penting dalam rangka menciptakan kinerja yang tinggi. Hal ini disebabkan karena setiap karyawan mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan harapan yang berbeda-beda.
Peran utama budaya kerja adalah dapat mempengaruhi orang lain untuk secara bersama-sama bekerja secara serius dalam mencapai tujuan. Tanpa adanya budaya kerja yang tepat, tujuan perseorangan dan tujuan organisasi menjadi tidak selaras. Keadaan ini dapat menimbulkan sikap bekerja untuk kepentingan pribadi sehingga keseluruhan organisasi menjadi tidak efisien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sehingga budaya kerja dapat dikatakan suatu kondisi yang menunjukkan adanya kegiatan seseorang dalam organisasi dalam jalur tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi yang bersangkutan.
Dengan jumlah pegawai yang ada, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X harus dapat memaksimalkan kerja pegawainya untuk dapat memperoleh kinerja yang diharapkan sehingga peran Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X terhadap pembangunan negara terlihat nyata, hal ini tidak luput dari peran remunerasi untuk memotivasi pegawainya agar bekerja maksimal. Budaya organisasi yang tepat serta motivasi kerja yang tinggi, mengingat kondisi karyawan saat ini memerlukan motivasi yang tinggi.
Penilaian kepada Direktorat Jendral Pajak secara umum inilah yang menjadikan Pegawai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X harus lebih meningkatkan motivasi bekerja sesuai dengan petunjuk pelaksanaan teknis Menteri Keuangan. Dengan remunerasi dan budaya kerja yang tepat diharapkan untuk dapat membangkitkan motivasi kerja pegawainya sehingga akan dapat diperoleh kinerja yang maksimal sebagaimana yang diharapkan Direktorat Jendral Pajak dan pemerintah sehingga akan memberikan dampak positif dari penilaian publik yang sebelumnya terkesan belum sesuai dengan harapan.
Mengingat tanggung jawab yang dibebankan kepada pegawai Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X yang ada, peneliti ingin mengetahui seberapa besar faktor remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja dapat mempengaruhi kinerja pegawai, dengan mengambil judul "Analisis Pengaruh Remunerasi, Motivasi dan Budaya Kerja Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X"

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah dapat diidentifikasikan hal-hal sebagai berikut :
1. Perlunya peningkatan etos kerja pegawai pada Pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
2. Kedisiplinan pegawai masih perlu ditingkatkan
3. Pelaksanaan remunerasi meningkatkan kinerja para pegawai
4. Motivasi kerja perlu ditingkatkan
5. Motivasi kerja para pegawai sangat berperan dalam meningkatkan kinerja.
6. Budaya kerja para pegawai belum sesuai dengan harapan.
7.Budaya Kerja yang sesuai untuk dapat membangkitkan kinerja pegawainya belum maksimal.
8. Kinerja para pegawai belum optimal.
9. Kinerja para pegawai dapat dipengaruhi remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja.
10.Pemahaman tentang Budaya kerja perlu ditingkatkan agar kinerja dapat meningkat.
11.Diperlukan Budaya kerja yang tepat untuk mendukung semangat kerja pegawainya agar dapat diperoleh Kinerja Pegawai yang optimal

C. Ruang Lingkup Penelitian
Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai dan permasalahan yang ada pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X, maka dalam penelitian ini dibatasi pada hal-hal yang berpengaruh antara lain Remunerasi, Motivasi Kerja dan Budaya Kerja terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.

D. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh remunerasi terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X
2. Bagaimanakah pengaruh motivasi Kerja terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
3. Bagaimanakah pengaruh Budaya kerja terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
4. Bagaimanakah pengaruh remunerasi, motivasi dan budaya kerja secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
5. Faktor manakah yang paling besar pengaruhnya terhadap kinerja pegawai pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja terhadap kinerja pegawai baik secara parsial maupun simultan pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X
b. Untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap kinerja pegawai di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X.
2. Kegunaan Penelitian
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi Pimpinan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X Kantor dalam rangka menunjang peningkatan kinerja pegawainya.
b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi Pimpinan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak X untuk dapat lebih memperhatikan Kinerja karyawannya melalui peningkatan Remunerasi, Motivasi Kerja dan Budaya Kerja.
c. Menambah pengetahuan peneliti dalam rangka pengembangan teori yang diperoleh dari pendidikan formal di Universitas.
d. Sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya dalam mengembangkan penelitian selanjutnya mengenai remunerasi, motivasi kerja dan budaya kerja terhadap kinerja pegawai.

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT I PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN STIKES X

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT I PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN STIKES X


(KODE : KEBIDANN-0036) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA INTERAKSI SOSIAL DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT I PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN STIKES X 


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dewasa ini peradaban manusia semakin berkembang dengan pesat. Pola kehidupan manusia akan selalu berubah, disesuaikan dengan perkembangan jaman. Sistem perekonomian yang semakin tertata, peralatan elektronik dan telekomunikasi yang semakin canggih serta pemberdayaan dalam semua bidang kehidupan yang semakin optimal. Kesemuanya tidak terlepas dari campur tangan pendidikan. Bisa dikatakan pendidikan memegang pengaruh penting dalam menciptakan kualitas suatu bangsa. Mulai dari bagaimana cara manusia memngenali sesuatu, sampai bagaimana melatih manusia agar mampu memunculkan suatu inovasi yang luar biasa. Oleh karena itu, untuk memajukan suatu bangsa, pendidikan perlu mendapatkan perhatian khusus.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik dapat secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 th 2003 dalam Hasbulloh, 2005 : 4). Dalam pendidikan tentunya mencakup peserta didik, pengajar dan keluarga, dimana ketiganya saling berkaitan erat. Pada pelaksanaannya, proses belajar-mengajar akan menghasilkan suatu output berupa prestasi belajar (Rahayu, 2004 : 2).
Prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan melalui mata (Kamus Besar bahasa Indonesia, 2001 : 895). Menurut Rahayu (2004 : 48) prestasi belajar merupakan perwujudan keberhasilan belajar peserta didik yang menunjukkan keuletan dan kesungguhannya dalam belajar.
Dalam penyelenggaraan pendidikan tentunya hasil yang ingin dicapai adalah predikat baik, namun kenyataannya dalam setiap proses belajar mengajar menunjukkan tidak semua peserta didik memperoleh prestasi belajar yang memuaskan. Ada sebagian peserta didik yang memperoleh hasil kurang meskipun penyampaian materi sama. Hal ini dapat dimaklumi karena kemampuan dan kecakapan yang dimiliki setiap peserta didik tidak sama (Rahayu, 2004 : 3).
Belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif (Skinner dalam Syah, 2005 : 64). Menurut Gerungan (2000 : 54) salah satu usaha seseorang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya adalah dengan interaksi sosial. Sehingga bisa dikatakan bahwa interaksi sosial peserta didik terhadap lingkungannya dapat memberikan pengaruh terhadap proses penyesuaian diri (belajar).
Menurut Rahayu (2004 : 51) pada prinsipnya faktor yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik berasal dari internal maupun eksternal. Faktor internal mencakup keadaan fisiologis dan psikologis.. Sedangkan faktor eksternal adalah lingkungan yang meliputi faktor sosial dan non sosial. Interaksi sosial adalah pengaruh timbal balik antara dua belah pihak, yaitu antara individu satu dengan individu atau kelompok lainnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu (Syani, 2002 : 151). Dalam hal ini interaksi merupakan perpaduan antara faktor psikologis peserta didik (internal) dengan faktor lingkungan khususnya lingkungan sosial (eksternal) untuk mencapai suatu hasil belajar yang optimal.
Salah satu faktor lingkungan sosial yang turut berperan dalam proses belajar peserta didik adalah lingkungan institusi pendidikan. Lingkungan institusi pendidikan adalah lingkungan yang banyak mempengaruhi kegiatan belajar peserta didik selain lingkungan keluarga (Syah, 2005 : 152-153). Dikatakan oleh Sukmadinata (2003 : 28) bahwa lingkungan institusi pendidikan adalah faktor utama yang mempengaruhi pendidikan. Sehingga faktor lingkungan institusi pendidikan yang mencakup interaksi sosial memiliki peran yang cukup penting terhadap tingkat pencapaian belajar.
Interaksi sosial peserta didik dalam lingkungan institusi pendidikan di bedakan menjadi beberapa macam, dapat terjadi antara peserta didik dengan peserta didik yang lainnya, dengan pengajar atau karyawan. Khusus dalam lingkup kelas interaksi sosial antara peserta didik dengan temannya, dinilai sangat penting karena dapat memberikan motivasi belajar yang baik bagi peserta didik tersebut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Slameto (2003 : 68) yaitu relasi peserta didik dengan peserta didik yang lain merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran.
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan X Klaten berdiri pada tahun 2005 dengan membuka dua Program Studi, yaitu S1 Keperawatan dan Diploma III Kebidanan. Sebagai salah satu institusi pendidikan yang bergerak dibidang kesehatan, tentunya Stikes X memiliki tujuan yang sama dengan institusi pendidikan yang lain, yaitu menghasilkan output mahasiswa yang kompeten baik dari segi teori maupun praktek. Untuk mencapai tujuan tersebut, hendaknya segala faktor yang mempengaruhi proses belajar mengajar harus diperhatikan. Yang sudah baik dipertahankan dan yang masih kurang memadai harus segera ditingkatkan, mengingat Stikes X merupakan institusi pendidikan yang tergolong masih muda berkecimpung di kancah pendidikan kesehatan. Kualitas harus ditingkatkan, agar dapat memperoleh kepercayaan dari masyarakat.
Telah dijelaskan di depan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar mahasiswa, salah satunya adalah interaksi sosial. Dalam penelitian ini, penulis hanya mengambil responden mahasiswa tingkat I, harapannya adalah memperoleh perbedaan interaksi sosial yang lebih signifikan antara mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lain, mengingat mahasiswa tersebut berada pada tahun pertama yang merupakan masa adaptasi dengan lingkungan sekolah, baik dengan dosen, karyawan atau sesama teman.
Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud membahas mengenai hubungan antara interaksi sosial (khususnya interaksi sosial mahasiswa dengan mahasiswa yang lain) dengan prestasi belajar mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :
Apakah ada hubungan antara interaksi sosial dengan prestasi belajar mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui : Hubungan antara interaksi sosial dengan prestasi belajar mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X.

D. MANFAAT PENELITIAN 
1. Bagi institusi pendidikan Stikes X
Sebagai masukan positif bagi pihak institusi pendidikan, untuk lebih memperhatikan mahasiswa dengan prestasi belajar rendah. Apabila interaksi sosial terbukti memiliki hubungan yang signifikan dengan prestasi belajar, segenap anggota institusi pendidikan harus berupaya untuk dapat memaksimalkan interaksi sosial yang positif di dalam lingkungan institusi pendidikan tersebut.
2. Bagi mahasiswa tingkat I Program Studi Diploma III Kebidanan Stikes X
Memberikan motivasi positif bagi mahasiswa agar dapat beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan sekitarnya, khususnya lingkungan institusi pendidikan yang memiliki peran penting dalam proses pembelajaran mahasiswa.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Sebagai bahan acuan atau referensi untuk penelitian yang relevan dan mendalam pada masa yang akan datang.

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI MENJADI BIDAN DENGAN PRESTASI BELAJAR ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI MENJADI BIDAN DENGAN PRESTASI BELAJAR ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN


(KODE : KEBIDANN-0035) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI MENJADI BIDAN DENGAN PRESTASI BELAJAR ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI DIII KEBIDANAN


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar mereka (Syah, 2005).
Menurut Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Si stem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 (1), pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Syah, 2005).
Tujuan pendidikan nasional itu sendiri menurut TAP MPR No. II Tahun 1998, adalah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas, terampil, sehat jasmani dan rohani. Pendidikan nasional juga harus mampu menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta pada tanah air, mempertebal semangat kebangsaan, dan rasa kesetiakawanan sosial.
Belajar merupakan kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan. Hal tersebut berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan amat bergantung pada proses belajar yang dialami peserta didik, baik ketika ia berada di lingkungan pendidikan seperti sekolah maupun di lingkungan rumah atau keluarganya sendiri (Syah, 2005).
Belajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan faktor pendekatan belajar. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi munculnya peserta didik yang berprestasi tinggi atau rendah atau mungkin gagal sama sekali (Syah, 2005).
Intelegensia (IQ) merupakan salah satu faktor internal yang memiliki peranan penting dalam menentukan keberhasilan peserta didik. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan intelegensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk sukses. Selain faktor intelegensi, terdapat faktor lain yang cukup besar pengaruhnya terhadap prestasi belajar siswa yaitu motivasi (Syah, 2005).
Motivasi mendorong seseorang untuk bertingkah laku (Uno, 2007). Seseorang yang memiliki motivasi untuk sukses akan berusaha untuk mencapai keinginannya tersebut. Tanpa motivasi seseorang akan melakukan kegiatan tanpa terarah dan sungguh-sungguh dan kemungkinan besar tidak akan membawa hasil (Sukmadinata, 2004).
Motivasi berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Dengan adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik.
Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya (Sardiman, 2007). Tumbuhnya motivasi pada seseorang senantiasa dilandasi kesadaran akan diri berkenaan dengan hakikat dan keberadaan kehidupannya masing-masing. Motivasi memiliki peranan yang penting ketika seorang peserta didik melanjutkan jenjang pendidikannya ke tingkat lebih tinggi, termasuk melanjutkan pendidikannya ke DIII Kebidanan. Setiap peserta didik memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam melanjutkan jenjang pendidikannya ke DIII Kebidanan. Salah satu motivasinya adalah untuk menjadi seorang bidan.
STIKES X merupakan salah satu lembaga pendidikan kesehatan milik Pemerintah Daerah X. STIKES X berdiri berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No. 39/D/O/2005. Program studi D III Kebidanan merupakan salah satu program studi yang terdapat di STIKES X.
Intensitas motivasi menjadi bidan yang berbeda-beda antara mahasiswa satu dengan yang lainnya berpengaruh terhadap usaha belajar mahasiswa dalam mempelajari materi setiap mata kuliah, terutama mata kuliah yang berhubungan langsung dengan tugas bidan, seperti mata kuliah Asuhan Kebidanan Ibu Hamil.
Asuhan Kebidanan Ibu Hamil merupakan salah satu mata kuliah yang dipelajari mahasiswa kebidanan semester II. Mata kuliah ini sangat diperlukan untuk mendapatkan pengetahuan yang cukup sebagai bekal seorang bidan dalam menghadapi pasien di lahan praktek dan di masyarakat setelah lulus nanti.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk mengkaji "Adakah hubungan antara motivasi menjadi bidan dengan prestasi belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan ?"

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara motivasi menjadi bidan dengan prestasi belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui motivasi menjadi bidan pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan.
b. Mengetahui prestasi belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil pada mahasiswa Program Studi DIII Kebidanan.

D. Manfaat Penelitian
Membantu mahasiswa mencapai prestasi belajar yang optimal dengan menumbuhkan motivasi mahasiswa melalui tenaga pendidik, orang tua maupun sesama mahasiswa.

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT III DALAM MATAKULIAH PRAKTEK KLINIK KEBIDANAN DI AKADEMI KEBIDANAN X

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT III DALAM MATAKULIAH PRAKTEK KLINIK KEBIDANAN DI AKADEMI KEBIDANAN X


(KODE : KEBIDANN-0034) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRESTASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT III DALAM MATAKULIAH PRAKTEK KLINIK KEBIDANAN DI AKADEMI KEBIDANAN X


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkembangan pendidikan bidan berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Pendidikan bidan dimulai pada masa penjajahan Hindia Belanda. Pada tahun 1851 seorang dokter militer Belanda (Dr. W. Bosch) membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia. Pada tahun 1902 bidan dibuka kembali bagi wanita pribumi dan lulusan dari pendidikan ini harus bersedia untuk ditempatkan dimana saja tenaganya dibutuhkan dan mau menolong masyarakat yang kurang mampu secara cuma-cuma.
Pada tahun 1911/1912 dimulai pendidikan tenaga keperawatan secara terencana di CBZ (RSUP) Semarang dan Batavia. Pada tahun 1914 telah diterima juga peserta didik wanita pertama dan bagi perawat wanita yang lulus dapat meneruskan kependidikan kebidanan selama dua tahun. Pada tahun 1954 dibuka pendidikan guru bidan secara bersama-sama dengan guru perawat dan perawat kesehatan masyarakat di Bandung. Pada tahun 1975-984 institusi pendidikan ditutup, sehingga 10 tahun tidak menghasilkan bidan.
Pada tahun 1989 dibuka kursus program pendidikan bidan secara nasional, program ini dikenal sebagai program Pendidikan Kebidanan Bidan A (PPB/A). Pada tahun 1993 dibuka Program Pendidikan Bidan Program B dan C.
Selain program pendidikan bidan diatas, sejak tahun 1994-995 pemerintah juga menyelenggarakan uji coba Pendidikan Bidan Jarak Jauh (distance learning), kebijakan ini dilaksanakan untuk memperluas cakupan upaya peningkatan mutu tenaga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan mutu tenga kesehatan yang sangat diperlukan dalam pelaksanaan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Pada tahun 2000 telah ada tim pelatih Asuhan Persalinan Normal (APN) yang dikoordinasikan oleh Maternal Neonatal Health yang sampai saat ini telah melatih APN di beberapa propinsi/kabupaten. Kebidanan di seluruh Indonesia pada tahun ini telah meluluskan peserta didik sebanyak 1196 orang. Harapan yang tinggi terhadap lulusan yang dihasilkan oleh pendidikan ini ialah mampu menganalisis, mengantisipasi, dan lebih cepat dan tepat mengambil keputusan untuk menyelamatkan dua nyawa, ibu dan bayi, yang berdampak pada kesejahteraan keluarga.
Pengembangan pendidikan kebidanan seyogianya dirancang secara berkesinambungan, berlanjut sesuai dengan prinsip belajar seumur hidup bagi bidan yang mengabdi ditengah-tengah masyarakatnya. Pendidikan yang berkelanjutan ini bertujuan untuk mempertahankan profesionalisme bidan baik melalui pendidikan formal maupun pendidikan formal. Dikatakan professional apabila memiliki pengetahuan dan kemampuan yang dihasilkan pendidikan yang cukup untuk memenuhi kompetensi profesionalnya.
Bidan dalam melakanakan peran, fungsi dan tugasnya didasarkan pada kemampuan dan kewenangan yang diberikan, dimana wewenang yang diberikan selalu mengalami perubahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Permenkes 900, 2002).
Dalam keadaan darurat bidan juga diberi wewenang pelayanan kebidanan yang ditujukan untuk penyelamatan jiwa, dimana dalam menjalankan praktek harus sesuai dengan kwewenangan, kemampuan, pendidikan, pengalaman serta berdasarkan standar profesi.
Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan angka kematian yaitu dengan cara menyediakan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dan dekat dengan masyarakat difokuskan pada tiga pesan kunci Making Pregnency Safer (MPS), yaitu setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan yang terlatih, setiap komplikasi obstetri dan neonatal mendapat pelayanan yang adekuat dan setiap wanita subur mempunyai akses terhadap pncegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran. Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal yang berkualitas dibutuhkan tenaga kesehatan yang terampil dan didukung oleh tersedianya sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan standar kebidanan (Azwar, 2002).
Kurikulum Pendidikan Diploma III Kebidanan disusun melalui proses pemahaman dasar kesehatan reproduksi, analisa, asuhan, dan pelayanan kebidanan, penetapan peran, fungsi dan kompetensi bidan. Berdasarkan kompetensi tersebut ditentukan mata kuliah yang diperlukan dalam memenuhi kualifikasi bidan professional, salah satunya adalah mata kuliah praktek klinik kebidanan.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa yaitu faktor internal yang meliputi intelegensia, sikap, bakat, minat dan motivasi. Faktor eksternal yang meliputi keluarga, akademik, masyarakat, dan lingkungan sekitar. Pada penelitian juga akan dibahas kemampuan dosen, serta kegiatan pembelajaran (Djaali, 2007).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rospita Lubis, di AKBID X pada mahasiswa tingkat II semester IV tahun 2005, didapati kesimpulan bahwa faktor motivasi mempunyai pengaruh terhadap pencapaian kemampuan dari matakuliah asuhan kebidanan pada ibu, dimana didapati dari 69 responden didapatkan bahwa75.3% memiliki motivasi yang tinggi sehingga mendapat nilai yang baik, 71,0% responden berpendapat tingkat kemampuan dosen yang paling tinggi adalah berada pada kategori mampu, 74% responden berpendapat bahwa kegiatan pembelajaran yang paling sering dilakukan di AKBID X adalah kegiatan pembelajaran dengan metode diskusi.
Nilai mahasiswa X angkatan pertama dari matakuliah praktek klinik kebidanan untuk semester IV yang mendapat nilai sangat baik 6 orang, baik sebanyak 59 orang, cukup sebanyak 4 orang. Nilai semester VI yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 10 orang, baik sebanyak 35 orang, dan yang mendapat nilai cukup 24 orang. Nilai mahasiswa angkatan kedua untuk semester IV yang mendapat nilai sangat baik 17 orang, baik sebanyak 40 orang, cukup sebanyak 12 orang. Nilai semester VI yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 8 orang, baik sebanyak 37 orang, cukup sebanyak 24 orang. Nilai angkatan ketiga untuk semester IV yang mendapat nilai sangat baik sebanyak 6 baik, baik sebanyak 49 orang, dan yang mendapat nilai cukup 4 orang.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa tingkat III dalam matakuliah praktek klinik kebidanan di Akademi Kebidanan X.

1.2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa tingkat III dalam matakuliah praktek klinik kebidanan di Akademi Kebidanan X.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1.Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa tingkat III dalam matakuliah praktek klinik kebidanan DI Akademi Kebidanan X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi faktor internal (faktor dari dalam) terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.
2. Mengidentifikasi faktor eksternal (faktor dari luar) terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.
3. Mengidentifikasi kemampuan dosen terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.
4. Mengidentifikasi kegiatan pembelajaran terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek kilnik kebidanan.
5. Mengidentifikasi lahan praktek klinik terhadap prestasi belajar dalam matakuliah praktek klinik kebidanan.

1.4. Manfaat Penelitian 
1.4.1 Bagi Penulis
Menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis tentang pentingnya mata kuliah praktek klinik kebidanan dalam melakukan penelitian.
1.4.2. Bagi Institusi Tempat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi staf pengajar AKBID X sebagai bahan pertimbangan dalam hal pemberian mata kuliah praktek klinik kebidanan.
1.4.3. Bagi Institusi
Sebagai bahan masukan bagi program pendidikan D-IV Bidan Pendidik untuk penelitian selanjutnya.

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) MOTIVASI MAHASISWA MENGIKUTI PROGRAM PENDIDIKAN D-IV BIDAN PENDIDIK

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) MOTIVASI MAHASISWA MENGIKUTI PROGRAM PENDIDIKAN D-IV BIDAN PENDIDIK


(KODE : KEBIDANN-0033) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) MOTIVASI MAHASISWA MENGIKUTI PROGRAM PENDIDIKAN D-IV BIDAN PENDIDIK


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Motivasi berarti dorongan dalam diri manusia untuk bertindak atau berprilaku (Notoatmodjo, 2007). Motivasi merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Seperti halnya keberhasilan dalam proses belajar. Semakin baik motivasi dalam diri seseorang untuk proses belajar. Semakin baik motivasi dalam diri seseorang untuk belajar, semakin baik pula hasil belajar yang didapatkan. Hal ini menyangkut kepada seluruh mahasiswa dari berbagai jurusan, salah satunya adalah jurusan kebidanan.
Bidan adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan bidan yang diakui oleh negara serta memperoleh kualifikasi dan diberi izin untuk menjalankan praktek kebidanan (Sofyan, 2004).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang RI Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen, dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19/2005 tentang standar Nasional pendidikan menyatakan Guru adalah pendidik profesional. Untuk itu, ia dipersyaratkan memiliki kualifikasi akademik minimal Sarjana/Diploma IV (S1/D-IV) yang relevan dan menguasai kompetensi sebagai agen pembelajaran (Brodjonegoro, 2007).
Jenjang pendidikan untuk para bidan kini amat terbatas. Sampai sekarang strata pendidikan bidan belum ada yang mencapai S1. Pilihan bagi bidan hanya mencakup D3 atau D4. Jumlah akademi kebidanan di seluruh Indonesia hanya 120 buah untuk jenjang D3 dan hanya 4 buah untuk D4 (Musbir, 2007). D4 Bidan Pendidik terdapat di kota Bandung, Yogyakarta, Padang dan Medan (Hasan, 2007).
Sumber Daya Manusia kesehatan yang kompeten dan professional adalah individu yang memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku yang sesuai dengan syarat di dunia kerja serta dapat berpartisipasi secara aktif ditempat kerja sesuai dengan keahliannya. Untuk menghasilkan lulusan tenaga kesehatan yang kompetensi dan profesional diperlukan berbagai komponen, seperti : sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum berbasis kompetensi yang baik dan benar serta dosen memadai jumlah dan kualitasnya (Supari, 2007).
Tujuan pendidikan program studi D-IV kebidanan adalah untuk menghasilkan Sarjana Saint Terapan (SST) kebidanan professional yang mampu melaksanakan tugas-tugas dan kompetensi, seperti : mengembangkan dirinya sebagai bidan profesional yang berkepribadian Indonesia, menerapkan konsep keilmuan dan keterampilan profesinya dalam pelayanan kebidanan, memberikan pelayanan kebidanan di masyarakat dengan tetap mempertimbangkan kultur budaya, mampu mengembangkan dirinya sebagai seorang pendidik secara profesional dibidang ilmu kebidanan, meningkatkan penguasaan ilmu kebidanan untuk kepentingan dirinya baik sebagai bidan maupun pendidik (Brodjonegoro, 2007).
Saat ini pendidikan di bidang kesehatan banyak diminati oleh masyarakat. Sehingga tidak mengherankan jika para pelajar berbondong-bondong dan berlomba-lomba untuk dapat mengikuti atau memasuki sekolah dan kampus-kampus kesehatan. Seperti program studi D-IV bidan pendidik, terlihat jumlah mahasiswa yang mengikuti program studi D-IV bidan pendidik mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada tahun akademi 2007/2008 adalah tahun terbanyak menerima mahasiswa program studi D-IV bidan pendidik yaitu berjumlah 77 orang, dibanding dengan tahun-tahun akademi sebelumnya.
Dari tahun ketahun terlihat jelas bahwa mahasiswa yang mengikuti program studi D-IV bidan pendidik mengalami peningkatan. Hal ini berarti disebabkan karena ada dorongan atau motivasi yang mempengaruhi dan menyebabkan mereka mempunyai keinginan yang besar untuk mendaftar dan mengikuti program studi D-IV bidan pendidik.
Berdasarkan pendekatan yang peneliti lakukan terhadap beberapa mahasiswa D-IV Bidan Pendidik, mereka menyatakan bahwa alasan mereka mengikuti Program D-IV Bidan Pendidik adalah karena tuntutan pekerjaan yang telah mereka geluti sebelumnya. Dengan kata lain, mereka tidak sepenuhnya tulus dari hati nurani untuk mengikuti Program D-IV Bidan Pendidik, melainkan karena keterpaksaan (tuntutan pekerjaan). Hal ini yang memungkinkan buruknya hasil belajar yang akan didapat oleh mahasiswa D-IV Bidan Pendidik, karena salahnya motivasi yang mendorong mereka untuk mengikuti program D-IV bidan pendidik. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Robiatul Adawiyah Siregar (2004) yang berjudul "Motivasi mahasiswa memasuki Akademi Kebidanan" menyatakan bahwa jika motivasi seseorang baik dalam melakukan sesuatu maka hasilnya juga akan baik.
Dari data diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : "Motivasi Mahasiswa Mengikuti Program Pendidikan D-IV Bidan Pendidik".

1.2 Pertanyaan penelitian
Apakah yang menjadi motivasi bagi mahasiswa mengikuti program pendidikan D-IV bidan pendidik ?

1.3 Tujuan penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi motivasi mahasiswa D-IV Bidan Pendidik memilih program Pendidik D-IV Bidan Pendidik.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi motivasi intrinsik mahasiswa D-IV Bidan Pendidik memilih program Pendidik D-IV Bidan Pendidik.
b. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi motivasi ekstrinsik mahasiswa D-IV Bidan Pendidik memilih program Pendidik D-IV Bidan Pendidik.

1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Bagi institusi pendidikan
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pembinaan mahasiswa D-IV bidan pendidik dalam mengoptimalkan proses pembelajaran dan masukan bagi dosen untuk menyikapi motivasi yang berbeda dari mahasiswa sehingga keberhasilan belajar dapat dicapai.
1.4.2 Bagi bidang penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi panduan atau bahan perbandingan untuk melakukan penelitian yang akan datang demi tercapainya hasil penelitian yang lebih sempurna.
KARYA TULIS ILMIAH (KTI) PERUBAHAN POLA MENSTRUASI PADA 9 BULAN PERTAMA KB SUNTIK DMPA DI KLINIK X

KARYA TULIS ILMIAH (KTI) PERUBAHAN POLA MENSTRUASI PADA 9 BULAN PERTAMA KB SUNTIK DMPA DI KLINIK X


(KODE : KEBIDANN-0032) : KARYA TULIS ILMIAH (KTI) PERUBAHAN POLA MENSTRUASI PADA 9 BULAN PERTAMA KB SUNTIK DMPA DI KLINIK X


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar dan utama bagi wanita. Meskipun tidak selalu diakui demikian, peningkatan dan perluasan pelayanan Keluarga Berencana merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan yang dialami oleh wanita.
Banyak wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit, tidak hanya karena terbatasnya jumlah metode yang tersedia tetapi juga karena metode-metode tertentu mungkin tidak dapat diterima sehubungan dengan kebijakan Nasional KB, kesehatan individual dan seksualitas wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi (Maryani, 1998).
Memasuki awal tahun pertama Pembangunan Jangka Panjang Tahap II Pembangunan Gerakan Keluarga Berencana Nasional masih tetap ditujukan terutama untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Keluarga sebagai kelompok sumber daya manusia terkecil yang mempunyai ikatan batiniah dan lahiriah. Di mana merupakan pengembangan sasaran dalam mengupayakan terwujudnya visi Keluarga Berencana Nasional yang kini telah diubah visinya menjadi "Keluarga Berkualitas Tahun 2015" keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan kedepan, bertanggung jawab, harmonis, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Misinya sangat menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi, sebagai upaya integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. (Sarwono,2003)
Keluarga berencana merupakan tindakan untuk membantu individu atau pasangan suami istri mendapat objek tertentu, menghindari kelahiran yang diinginkan, menghindari interval di antara kehamilan, mengontrol waktu saat kelahiran dan hubungan dengan suami istri, serta menentukan jumlah anak dalam keluarga (Hanafi H. 2004).
Dalam pelaksanaan Keluarga Berencana, pemerintah menganjurkan penggunaan kontrasepsi yang merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kehamilan (Sarwono P,2002 hal 902). Seperti yang kita ketahui ada beberapa metode kontrasepsi seperti metode sederhana, kontrasepsi hormonal, alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), dan kontrasepsi mantap.
Salah satu metode kontrasepsi hormonal yang populer di Indonesia adalah metode suntikan. Terdapat dua jenis suntikan yakni sediaan kombinasi dan long action progestin. Kontrasepsi suntikan progestin (long action progestin) terdiri dari dua jenis Depo Medroksi Enatat (Depo Noristat) dan Depo Medroxi Progesteron Asetat (DMPA). DMPA tersedia dalam bentuk mikro cristal yang tersuspensi dalam larutan akuosa dengan dosis kontrasepsi 150 mg, DMPA disuntikan secara intramuskular pada otot gluteal atau deltoid yang diberikan setiap 3 bulan sekali. (Leon Speroff, 2005).
Cara kerja DMPA dengan cara mencegah ovulasi mengentalkan lendir serviks, menjadikan selaput lendir rahim tipis atau atropi, serta menghambat transportasi garnet ke tuba. Keuntungan penggunaan DMPA yakni sangat efektip mencegah kehamilan dalam jangka waktu panjang dan tidak memiliki pengaruh terhadap ASI. Sedangkan keterbatasannya yaitu sering di temukan gangguan haid (terganggunya pola haid diantaranya adalah amenorhoe, menoragia dan muncul bercak (spotting), klien tergantung pada sarana pelayanan, terlambatnya kembali kesuburan setelah penghentian pemakaian, terdapatnya beberapa keluhan seperti di bawah ini seperti nyeri kepala, kekeringan pada vagina, peningkatan berat badan, gangguan emosi, nervositas, jerawat, dan penurunan libido (Sarwono P 2004 hal 41).
Penelitian yang dilakukan oleh Lia Ayu Yuliani (2004) dengan judul Hubungan antara penggunaan alat kontrasepsi Depo Provera dengan siklus menstruasi. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional dengan analisis statistik yang digunakan adalah uji korelasi non parametris dengan teknik koefisien kontingensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 44 akseptor (97,8%) mengalami gangguan menstruasi berupa : amenorrhoea 43 kasus (55,3%), menorrhagia 12 kasus (15,4%), metrorrhagia 6 kasus (7,8%) dan spotting 15 kasus (19,3%), serta 1 akseptor (2,2%) tidak mengalami gangguan Menstruasi
Dokumentasi hasil pelayanan terhadap beberapa peserta KB diketahui adanya perubahan pola haid .Dalam rangka aksepbilitas program metode kontrasepsi suntik DMPA dan efek sampingnya maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang "Perubahan Pola Menstruasi Pada 9 Bulan Pertama Dalam Aseptor KB Suntik (DMPA) di. Klinik X"

B. Rumusan Masalah
Belum diketahui perubahan pola menstruasi yang terjadi Pada 9 Bulan Pertama aseptor KB suntik DMPA di Klinik X.

C. Tujuan Penenelitian 
1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi Perubahan Pola Menstruasi Pada 9 Bulan Pertama Pemakaian Aseptor KB Suntik DMPA Di Klinik X.
2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengidentifikasi yang tidak mengalami haid pada 9 Bulan Pertama Aseptor KB Suntik DMPA di Klinik X.
2. Untuk mengidentifikasi perdarahan berupa bercak /spotting pada 9 Bulan Pertama Aseptor KB Suntik DMPA Di Klinik X.
3. Untuk mengidentifikasi perdarahan di luar siklus menstruasi pada 9 bulan Pertama Aseptor KB Suntik DMPA Di Klinik X.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Klinik Bersalin
Sebagai sumber informasi untuk pelaksanaan program pelayanan kontrasepsi
2. Bagi institusi dan Pendidikan
Sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian yang sejenis dan lebih mendalam
3. Bagi peneliti
- Menerapkan dan mengembangkan ilmu yang di dapat selama perkuliahan.
- Sebagai bahan masukan dalam memberikan penyuluhan kepada WUS (wanita usia subur)
- Meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat.