Search This Blog

Showing posts with label training. Show all posts
Showing posts with label training. Show all posts
TESIS PELATIHAN TEAM BUILDING UNTUK MENINGKATKAN FEEDBACK ENVIRONMENT DAN KUALITAS TEAM MEMBER EXCHANGE

TESIS PELATIHAN TEAM BUILDING UNTUK MENINGKATKAN FEEDBACK ENVIRONMENT DAN KUALITAS TEAM MEMBER EXCHANGE

(KODE : PASCSARJ-0233) : TESIS PELATIHAN TEAM BUILDING UNTUK MENINGKATKAN FEEDBACK ENVIRONMENT DAN KUALITAS TEAM MEMBER EXCHANGE (PROGRAM STUDI : PSIKOLOGI)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Organisasi yang memiliki keinginan untuk berkembang dan besar, harus mampu menghadapi perubahan teknologi, ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan, baik yang terprediksi maupun yang tidak. Perubahan yang terjadi di dalam organisasi, memungkinkan organisasi tersebut mampu bersaing, secara profesional dan menampilkan kinerja yang baik sehingga dapat bertahan dan berkembang secara optimal. Perubahan yang dilakukan antara lain dengan mengubah struktur organisasi dan lebih berorientasi pada kinerja tim.
Penggunaan tim dalam penyelesaian suatu pekerjaan dirasa lebih efektif. Tim dan teamwork dalam organisasi dapat meningkatkan partisipasi dan inovasi, pengurangan kesalahan, peningkatan kualitas, peningkatan responsiveness, efisiensi biaya, pelayanan kepada konsumen yang lebih baik, serta peningkatan kepuasan karyawan (DeGrosky, 2006). Selain itu, tim juga dianggap dapat membantu memperbaiki produktivitas dan kualitas kinerja (Riggio, 2008).Tim terdiri dari individu yang memiliki kemampuan, bakat dan pengalaman yang berbeda-beda, hal itu, membuat tim lebih efektif dalam menghasilkan pemecahan masalah yang lebih kreatif (Lyod, 2005). Tim dianggap sebagai struktur kerja yang ideal karena di dalamnya terdapat anggota yang dapat saling mempengaruhi pikiran dan persepsi masing-masing anggota, sehingga keputusan yang dihasilkan akan lebih baik (Kotze, 2008).
Tim merupakan sekelompok individu dengan derajat ketergantungan yang tinggi antar anggota, yang berupaya untuk menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan bersama (Parker, 2008). Sedangkan menurut Forsyth (2010), tim merupakan sekelompok individu yang terorganisasi dan bekerja sama untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh individu. Proses kerjasama antar anggota tim dalam mencapai tujuan disebut teamwork. Teamwork merupakan proses psikologis, perilaku dan mental anggota tim dalam berkoordinasi satu sama lain dalam melaksanakan tugas dan upaya mencapai tujuan tim (Forsyth, 2010).
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi produktivitas tim, antara lain adalah pengalaman melaksanakan tugas, latihan dalam menyelesaikan tugas, kompleksitas tugas, beban tugas, interaksi, kooperasi dan koordinasi antar anggota tim (Johnson & Johnson, 2009). Menurut social exchange theory dalam suatu hubungan sosial terdapat pertukaran yang membuat hubungan tersebut terjalin (Blau, 1964 dalam Counnase, 2011). Jika dikaitkan dengan hubungan yang terjalin antar anggota dalam suatu tim, maka hubungan tersebut terjalin karena adanya pertukaran sumber daya (resources) antar anggota tim. Sumber daya yang ditukar dapat berupa usulan, gagasan, atau ide, feedback (umpan balik), informasi dan bantuan.
Pertukaran sumber daya antar anggota di dalam tim, menjadi hal yang mendasari terbentuknya hubungan kerja antara anggota tim dengan rekan kerjanya yang disebut sebagai team member exchange (TMX). Kualitas team member exchange yang tinggi ditunjukkan oleh tingkah laku anggota tim yang menggunakan kesempatan yang ada untuk bekerjasama, memberikan kontribusi kepada tim dengan membantu rekan kerja, berbagi informasi, gagasan atau ide dan saling memberikan feedback (umpan balik) di dalam tim (Seers, 1989 dalam Seers, Petty & Cashman, 1995).
Individu yang memiliki kualitas TMX yang tinggi akan berinteraksi dengan anggota kelompok lain secara akrab, lebih kooperatif, mengeluarkan usaha yang lebih kolaboratif dan mendapatkan penguatan sosial (social reward) (Pollack, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Petty, Seers dan Cashman (1995) menunjukkan bahwa individu yang memiliki kualitas team member exchange tinggi dapat mendorong terbentuknya tim yang efektif dan kohesif. Adanya pertukaran informasi dan pertukaran ide dalam tim membuat masalah yang ada dapat terpecahkan dan keputusan yang dibuat mewakili pendapat anggota dalam tim, sehingga anggota dalam tim merasakan adanya kesamaan persepsi dan tujuan dengan tim.
Selain itu, pada tingkat individu TMX juga berhubungan dengan organizational citizenship behavior (Murillo & Steelman, 2004). Secara umum OCB merupakan perilaku di luar kewajiban kerja yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja organisasi (Organ, Podsakoff & MacKenzie, 2006). Kualitas TMX tinggi yang dimiliki individu dalam tim, dapat terlihat melalui dukungan dan arahan yang diberikan kepada anggota lain dalam tim. Selanjutnya dukungan diteruskan kepada anggota lain dalam tim yang membutuhkan. Saat terjadi dalam organisasi, dukungan dan arahan yang saling diberikan oleh anggota tim dan dilakukan di luar kewajiban kerja, dapat mengarah pada efisiensi dan efektivitas kerja organisasi atau organizational citizenship behavior.
Pada tingkat kelompok, TMX berkorelasi dengan efektivitas pengambilan keputusan (Alge, Whiethoff & Klein, 2003 dalam Pollack, 2009) dan memiliki dampak positif terhadap kinerja kelompok (Eby & Dobbins, 1997 dalam Pollack, 2009). Kelompok dengan tingkat kualitas TMX yang tinggi akan menunjukkan kinerja yang baik pada tugas yang memiliki tingkat ketergantungan antar anggota tim (task interdependent) yang tinggi untuk menyelesaikannya. Hal ini terjadi karena tugas dengan yang memiliki tingkat ketergantungan antar anggota tim (task interdependent) yang tinggi memerlukan koordinasi dari anggota tim untuk penyelesaian tugas. Begitu pula dengan pengambilan keputusan, diperlukan konsensus dari anggota tim agar keputusan yang dihasilkan efektif
Penelitian yang dilakukan oleh Liden, Wayne dan Sparrowe (2000 dalam Murillo & Steelman, 2004) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas TMX dengan kinerja anggota dalam tim. Tim yang memiliki kualitas TMX tinggi mendorong anggotanya untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasi bahwa tim yang memiliki tingkat TMX tinggi akan dapat menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan tim dengan kualitas TMX yang lebih rendah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wech (2001) menunjukkan bahwa tim dengan kualitas TMX yang tinggi mempermudah anggotanya dalam menyelesaikan pekerjaan, sehingga kepuasan kerja anggota dalam tim meningkat. Tingkat TMX yang tinggi pada tim, dicirikan oleh anggota yang bersedia untuk memberikan saran dan feedback (umpan balik) mengenai cara kerja yang lebih baik, berkomunikasi, dan bertukar peran saat dibutuhkan. Feedback (umpan balik) dapat diartikan sebagai informasi yang diberikan dan diterima oleh individu terkait kinerjanya (London, 2003). Feedback (umpan balik) dapat berasal dari berbagai sumber, seperti atasan, rekan kerja, bawahan dan pihak lain di luar organisasi, seperti pelanggan, dan proses pengerjaan tugas (tugas dan diri sendiri) (Hagen, Fisher & Taylor, 1979), serta terjadi pada situasi formal, seperti saat penilaian kinerja (performance appraisal), atau saat informal.
Feedback (umpan balik) memiliki berbagai keuntungan bagi penerimanya. Feedback (umpan balik) mampu mengarahkan, memotivasi, dan mendorong tingkah laku yang efektif dan mengurangi atau menghentikan tingkah laku yang tidak efektif (London, 2003), karena dalam feedback (umpan balik) terdapat aspek evaluasi, sehingga penerima feedback (umpan balik) menjadi tahu hal apa yang bisa mereka kerjakan dengan baik, dan seberapa baik hasil kerja penerima feedback (umpan balik) jika berusaha lebih keras lagi.
Selain itu, feedback (umpan balik) juga dapat meningkatkan motivasi dan performa menerima feedback (umpan balik) khususnya motivasi ekstrinsik melalui pujian, penghargaan atau kritik (Armstrong, 2006). Dari feedback (umpan balik) yang diberikan, penerima feedback (umpan balik) bisa merasa di dukung dan merasa dihargai saat tahu bahwa mereka bekerja dengan baik. Hal ini yang nantinya berpengaruh terhadap motivasi.
Selanjutnya, feedback (umpan balik) juga dapat digunakan untuk pengembangan diri individu penerima feedback (umpan balik). Dalam feedback (umpan balik), dapat dijelaskan mengenai pencapaian yang telah individu dapatkan dan kesempatan yang tersedia dalam meraih tujuan yang diinginkannya (Armstrong, 2006). Feedback (umpan balik) juga meningkatkan rasa keterkaitan diri individu penerima feedback (umpan balik) dengan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Individu menyadari bahwa kontribusi dari dirinya berpengaruh terhadap penyelesaian tugas dan tujuan yang harus dicapai (London, 2003). Pada tim, dimana pencapaian tujuan bergantung kepada pencapaian setiap anggotanya dan setiap anggota memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda, feedback (umpan balik) membantu memfokuskan perilaku kerja yang dapat mengarah pada hasil yang sama, yaitu perilaku yang dapat mendukung pencapaian tujuan bersama (London, 2003).
Keuntungan yang bisa didapat dari pemberian feedback (umpan balik) akan dapat dimaksimalkan jika lingkungan mendukung terjadinya pertukaran feedback (umpan balik). Persepsi individu akan kesempatan yang diberikan oleh lingkungan untuk mendapatkan feedback (umpan balik) pada situasi sehari-hari disebut sebagai feedback environment (Steelman, Levy & Snell, 2004). Feedback environment yang positif berarti lingkungan mendukung terjadinya pertukaran feedback (umpan balik). Feedback environment yang positif ditandai oleh adanya pertukaran feedback (umpan balik) secara terus menerus, komunikasi dua arah, penekanan pada pengembangan diri individu dan penjelasan tentang kinerja yang diharapkan untuk tercapai (Anseel & Lievens, 2007). Feedback environment yang positif merupakan hal penting untuk pemberi dan penerima feedback (umpan balik). Sebagai pemberi feedback (umpan balik), atasan atau rekan kerja yang menganggap penting penggunaan feedback (umpan balik) dan memiliki feedback environment yang positif akan cenderung memberikan feedback (umpan balik) yang berkualitas dan mendukung tingkah laku untuk mencari feedback (umpan balik) (Steelman & Rutkowski, 2004 dalam Bogle, 2010).
Feedback environment yang positif memiliki berbagai dampak diantaranya, meningkatkan hubungan antar anggota tim. Peningkatan hubungan ini terjadi melalui komunikasi sehari-hari atau umpan balik yang diberikan secara informal oleh rekan kerja. Pemberian feedback (umpan balik) secara informal oleh rekan kerja juga dapat mengurangi ambiguitas peran yang dirasakan individu di dalam organisasi (London, 2003), karena melalui komunikasi atau feedback (umpan balik) yang diterima dari rekan kerja, karyawan menjadi paham akan apa yang diharapkan darinya. Selanjutnya, feedback environment yang positif juga mendukung perbaikan kinerja. Melalui pemberian feedback (umpan balik), karyawan diberikan penjelasan mengenai perilaku kerja efektif yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Selain itu, juga bisa dilakukan melalui pemberian reward terhadap perilaku kerja efektif yang berhasil ditunjukkan (Bogle, 2010). Dengan adanya feedback environment yang positif, fungsi feedback (umpan balik) yang dapat digunakan sebagai media evaluasi, pengakuan (recognition) dan pengembangan menjadi semakin mungkin untuk terjadi, dan hal ini dapat mendukung terjadinya peningkatan kinerja (Bogle, 2010).
Di dalam tim, kesuksesan atau kegagalan yang diraih bergantung pada interaksi antara anggota tim. Interaksi ini merupakan salah satu bentuk TMX. Kualitas TMX dapat dipengaruhi oleh komunikasi dalam tim. Komunikasi merupakan proses dimana suatu pesan dikirim kepada penerima (Murillo & Steelman, 2004). Salah satu bentuk dari komunikasi adalah feedback (umpan balik). Pada feedback (umpan balik), pesan yang disampaikan mengandung informasi mengenai kinerja penerima pesan (Hagen, Fisher & Taylor, 1979). Kualitas TMX terlihat melalui pertukaran feedback (umpan balik) yang berisi informasi mengenai kinerja anggota tim, hal ini terjadi pada situasi dimana penerima feedback (umpan balik) dapat kembali memberi feedback (umpan balik) kepada pengirim pesan. Pertukaran feedback (umpan balik) memerlukan komunikasi antar anggota tim dan hal ini mendorong terjadinya TMX.
Penelitian yang dilakukan oleh Murillo & Steelman (2004) dan Murillo (2006) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara feedback environment dengan kualitas TMX. Feedback environment yang positif ditandai oleh adanya pertukaran feedback (umpan balik) secara terus menerus, komunikasi dua arah, penekanan pada pengembangan diri individu dan penjelasan tentang tujuan tim yang diharapkan untuk tercapai. Tujuan tim dapat dicapai melalui interaksi dengan anggota lain dalam tim. Interaksi ini dapat terjadi dalam bentuk berbagi ide, gagasan, saran atau feedback (umpan balik) secara terbuka. Kegiatan berbagi ide, gagasan, saran atau feedback (umpan balik) dalam tim merupakan bentuk pertukaran yang ada pada TMX. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa feedback environment yang positif dapat mengarah pada TMX.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk membuat rancangan program kegiatan yang dapat meningkatkan feedback environment yang dimiliki oleh anggota tim yang nantinya diharapkan dapat mempengaruhi kualitas TMX dalam tim. Rancangan program kegiatan yang diajukan berupa pelatihan team building.
Menurut Noe (2005) team building atau yang disebut juga dengan group building merupakan metode pelatihan yang didesain untuk meningkatkan efektivitas tim atau grup. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pelatihan dengan metode team building diarahkan untuk meningkatkan keterampilan peserta dalam rangka menunjang efektivitas tim. Dalam team building peserta saling berbagi ide dan pengalaman, membangun identitas tim, memahami dinamika hubungan interpersonal, dan saling mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing dan rekan kerjanya. Teknik ini berfokus untuk membantu tim untuk meningkatkan efektivitas kerjasama tim. Hal ini sejalan dengan pendapat Tannebaum, Beard dan Salas (1992 dalam Damayanie, 2011) yang menyatakan bahwa team building dapat meningkatkan karakteristik anggota tim dan hubungan interpersonal di dalam tim.
Longenecker dan Nykodym (1996 dalam Anseel & Li evens, 2007) menyarankan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan proses pemberian umpan balik sehingga diharapkan akan mempengaruhi feedback environment, diantaranya adalah pemberi dan penerima umpan balik meluangkan waktu yang lebih banyak untuk proses pemberian umpan balik, pemberi umpan balik meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan perilaku kerja yang ditunjukkan oleh penerima umpan balik, pemberi umpan balik menjelaskan perilaku yang diharapkan muncul secara spesifik.
Selain itu, proses pemberian feedback (umpan balik) sebaiknya menekankan pada pengembangan kemampuan dari penerima umpan balik, feedback (umpan balik) yang diberikan sebaiknya tidak hanya berfokus pada hal negatif, pemberian feedback (umpan balik) yang lebih sering dan peningkatan komunikasi dua arah. Intinya adalah pemberi feedback (umpan balik) sebaiknya memiliki perilaku tertentu yang dapat meningkatkan feedback environment. Organisasi dapat mendukung perilaku pemberi feedback (umpan balik) melalui pemberian pelatihan (Anseel & Li evens, 2007).
Oleh karena itu, dengan memberikan intervensi kepada anggota tim melalui pelatihan team building, diharapkan interaksi antar anggota tim dapat meningkat sehingga dapat tercipta suatu kondisi yang mendukung terjadinya pertukaran feedback (umpan balik) dalam tim (feedback environment yang positif), dan kemudian diharapkan dapat mendorong meningkatnya persepsi terhadap kualitas hubungan timbal balik di dalam tim (team member exchange).

B. Permasalahan
Sebelum berdiri secara mandiri, PT. X merupakan unit usaha syariah yang telah berdiri selama 10 tahun di salah satu bank BUMN di Indonesia. Pada tahun kedua berdiri, atau pada tahun 2002 unit ini mulai menghasilkan laba yang dianggap memiliki prospek jangka panjang, sehingga pada tahun 2003 dilakukan penyusunan rencana untuk berdiri secara mandiri. Realisasi dari rencana tersebut, terlaksana pada tahun 2010. Saat berdiri secara mandiri, PT. X telah memiliki 27 kantor cabang dan 31 kantor cabang pembantu.
Kurangnya kerjasama yang dikeluhkan didukung oleh hasil penyebaran Unblocking Organizational Questionnaire yang dikembangkan oleh Mike Woodcock dan Dave Francis (1994) untuk mengidentifikasi hambatan yang ada di PT. X. Dari hasil penyebaran kuesioner diperoleh data bahwa kurangnya kerjasama (poor teamwork) merupakan salah satu potensi permasalahan di PT. X. Permasalahan kerjasama menjadi penting untuk diperbaiki karena kerjasama merupakan salah satu nilai budaya kerja, yaitu 'Jamaah' yang diharapkan dimiliki oleh setiap karyawan PT. X. Selanjutnya, hasil penyebaran kuesioner kepuasan kerja yang dikembangkan oleh Spector (1997), menunjukkan bahwa faset kepuasan kerja yang berada pada posisi 3 terendah adalah tunjangan, komunikasi dan gaji. Kepuasan terhadap komunikasi yang terjadi di dalam perusahaan berada pada urutan ke-8 dari sembilan faset yang diukur. Hal ini mendukung keluhan mengenai masalah komunikasi yang terjadi di dalam unit ataupun antar unit.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas hubungan di dalam unit maupun antar unit di PT. X belum menunjukkan kualitas hubungan timbal balik antar anggota tim (team member exchange) yang tinggi, hal ini dapat disebabkan oleh persepsi karyawan terhadap lingkungan yang kurang mendukung anggota tim untuk mendapatkan umpan balik dari rekan kerja atau atasannya (feedback environment). Feedback environment yang kurang dapat diakibatkan oleh masalah komunikasi yang terjadi antar individu dalam unit atau antar unit, selain itu juga bisa disebabkan karena kurangnya kesadaran bekerjasama antar unit.

C. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat korelasi antara feedback environment dan kualitas team member exchange pada karyawan PT. X ?
2. Apakah terdapat perbedaan skor feedback environment pada karyawan PT. X antara sebelum dan setelah diberikan ?
3. Apakah terdapat perbedaan skor kualitas team member exchange pada karyawan PT. X antara sebelum dan setelah diberikan intervensi berupa pelatihan team building ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara feedback environment dan kualitas team member exchange pada karyawan PT. X. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat apakah terdapat peningkatan feedback environment dan kualitas team member exchange pada karyawan PT. X, setelah diberikan intervensi berupa pelatihan team building.
2. Manfaat
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan mengenai faktor yang mempengaruhi kualitas team member exchange, khususnya bagi organisasi yang memiliki struktur tim. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perusahaan dalam melakukan intervensi terkait peningkatan efektivitas kerja tim.

E. Sistematika Penulisan
Bab I atau Pendahuluan berisi latar belakang penelitian, permasalahan organisasi yang memuat alasan mengapa peneliti mengangkat topik ini, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan yang terkait dengan konteks penelitian serta sistematika penulisan penelitian ini.
Bab II atau Tinjauan Pustaka berisi penjelasan mengenai teori-teori yang terkait dengan variabel penelitian, yaitu teori mengenai team member exchange, teori feedback environment, teori intervensi berupa pelatihan team building, dan dinamika hubungan antara team member exchange dengan feedback environment serta intervensi berupa pelatihan team building.
Bab III atau Metode Penelitian menguraikan tentang pendekatan penelitian, tipe penelitian, desain penelitian, variabel penelitian, rumusan permasalahan, hipotesis penelitian, responden penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data dan prosedur penelitian.
Bab IV atau Hasil Penelitian, Analisis dan Intervensi berisi gambaran responden penelitian, hasil, analisis dan kesimpulan hasil dari perhitungan awal penelitian serta program intervensi yang diberikan dalam penelitian ini.
Bab V atau Kesimpulan, Diskusi dan Saran memuat jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, dilanjutkan dengan diskusi dari hasil penelitian dan saran praktis maupun teoritis yang dapat diberikan untuk perusahaan maupun penelitian lanjutan.

TESIS TRAINING KOMUNIKASI ASERTIF UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF TERHADAP KETERAMPILAN KERJASAMA PRE OPERATIONAL

TESIS TRAINING KOMUNIKASI ASERTIF UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF TERHADAP KETERAMPILAN KERJASAMA PRE OPERATIONAL

(KODE : PASCSARJ-0232) : TESIS TRAINING KOMUNIKASI ASERTIF UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF TERHADAP KETERAMPILAN KERJASAMA PRE OPERATIONAL (PROGRAM STUDI : PSIKOLOGI)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial bagi industri penerbangan, bahkan diperkirakan permintaan angkutan udara akan meningkat hingga 10 tahun ke depan (Airline Business dalam Manurung, 2010). Kondisi Indonesia yang terdiri dari kepulauan membuat transportasi udara dirasa menjadi solusi yang paling efektif dalam mengatasi kebutuhan konsumen terhadap moda transportasi. Hal ini tentu saja menjadi peluang bagi perusahaan yang bergerak dalam jasa transportasi udara, termasuk perusahaan yang bergerak dalam bidang pesawat carter. Bahkan beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya bisnis yang bergerak dalam bidang pertambangan, minyak dan gas, serta perkebunan, bisnis pesawat carter semakin meningkat.
Dalam menjalankan bisnisnya, keselamatan penerbangan menjadi hal utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan penerbangan. KNKT mencatat bahwa kecelakaan pesawat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data tahun 2011 menunjukkan terdapat 32 kecelakaan, meningkat dibandingkan tahun 2010 yaitu 18 kecelakaan. Tingginya angka kecelakaan pesawat ini membuat konsumen semakin kritis untuk memilih maskapai yang memiliki tingkat keselamatan tinggi.
Faktor manusia menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam keselamatan penerbangan, karena human error adalah faktor yang paling banyak menyebabkan kecelakaan. Di Indonesia sendiri berdasarkan data KNKT dari seluruh kecelakaan yang terjadi 62,5% disebabkan human error, dimana 12,5% diantaranya disumbang kecelakaan udara. Istilah yang terkait dengan human error dan banyak digunakan dalam psikologi aviasi adalah pilot error. Hawkins dalam Alhial (2007) mendefinisikan pilot error sebagai kesalahan yang dilakukan pilot dalam menjalankan pesawat baik di udara maupun di darat. Pihak yang dapat dikenakan vonis pilot error adalah pilot dan first officer atau copilot.
Salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan yang diakibatkan oleh human error adalah kurangnya kerjasama antara pilot dan kru yang ada dalam pesawat. Dalam menjalankan perannya pilot dan kru diharapkan untuk saling mendukung satu sama lain dengan tetap memonitor kondisi yang ada di sekitarnya dan mengambil tindakan apabila terjadi suatu masalah (Fischer, 2000). Hal ini juga didukung oleh pendapat Salas, Burke, Bowers & Wilson (2000) yang menyatakan bahwa 50% dari total kecelakaan yang disebabkan oleh human error, penyebab utamanya adalah kerjasama yang kurang efektif dari pilot dan kru yang berada di dalam pesawat. Koordinasi yang kurang efektif di dalam pesawat dapat mengakibatkan kebingungan dan pengambilan keputusan yang salah dalam kokpit (Shappel & Wiegmann, 2000). Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kerjasama tim dalam kokpit memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh human error.
Johnson & Johnson (2006) menjelaskan bahwa tim adalah suatu bentuk interaksi interpersonal yang terstruktur dengan tujuan mencapai tujuan bersama. Sedangkan kerjasama tim adalah seperangkat pemikiran, tindakan dan perasaan yang diberikan oleh masing-masing anggota yang dibutuhkan untuk menjalankan perannya sebagai anggota tim (Brown, 2009). Kerjasama tim tentu saja tidak terlepas dari peran individu yang ada di dalamnya. Individu yang ada dalam tim yang efektif harus mempersiapkan tugas yang harus dilakukan, sehingga mengetahui bagaimana cara mengkoordinasikan aktivitas yang dilakukan, berkomunikasi dengan anggota kelompok lain, dan membuat respon yang efektif saat mengalami perubahan situasi (Brungardt, 2009).
Kerjasama tim dikatakan efektif apabila masing-masing individu dapat menjalankan perannya dengan maksimal untuk mencapai tujuan kelompok. Untuk meningkatkan efektivitas kerjasama tim dapat dilakukan dengan cara memperjelas tujuan yang ingin dicapai kelompok, kejelasan peran dari masing-masing individu di dalam tim dan norma yang berlaku di dalam kelompok, dukungan dari organisasi berupa kebijakan dan sistem yang dapat membantu kinerja tim, serta pemberian coaching dan feedback bagi anggota tim apabila dibutuhkan (Riggio, 2008). Dalam menjalankan fungsinya, tim kerja tentu saja tidak terlepas dari permasalahan yang dapat menghambat pencapaian tujuan kelompok. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut masing-masing anggota kelompok akan diminta untuk menyampaikan pendapat dan memberikan ide untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini, yang dituntut dari anggota tim adalah asertivitas dalam mengemukakan pendapatnya.
Hayes (2002) menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan suatu cara untuk mengekspresikan diri dengan cara berkomunikasi secara lugas dan jelas, menyatakan sudut pandang dengan perilaku yang sopan dan menghindari penggunaan kalimat yang berkonotasi negatif. Sedangkan Rakos (2006) menjelaskan bahwa perilaku asertif adalah suatu keterampilan untuk mencari, mempertahankan dan meningkatkan pemahaman atau perasaan saat menghadapi situasi yang kurang menyenangkan. Perilaku asertif dapat mendukung individu dalam memecahkan permasalahan, mengatasi konflik yang ada dalam kelompok, dan dapat mencegah terjadinya depresi individu (Johnson & Johnson, 2009). Perilaku asertif dari anggota tim membantu menunjukan pengetahuan, keterampilan merupakan sumber daya yang dibutuhkan tim untuk menjalankan fungsinya. Dengan menunjukkan perilaku asertif, maka individu akan dapat semakin menunjukkan perannya dalam kelompok, dan dengan kata lain menunjukkan kemampuan untuk bekerjasama dalam tim (Salas, Smith-Jentsch & Baker, 1996)

B. Permasalahan
PT. X merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang operator penyewaan pesawat terbang yang berpusat di Jakarta. Sejarah perusahaan dimulai sejak tahun 1978, pada saat terlibat dalam proyek besar untuk mengubah dan memodifikasi helicopter 12 Sikorsky UH-34D berkolaborasi dengan Air Force Indonesia. Pada tahun 1983, PT. X mulai melebarkan ranah bisnis dengan melakukan penerbangan pertama kali sebagai perusahaan jasa penyewaan pesawat, dengan mengoperasikan empat helikopter baru seri S-76 untuk dua klien, yakni perusahaan multinasional gas dan minyak di perairan Jawa. Saat ini perusahaan yang menjadi pelanggan PT. X berasal dari perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang gas, minyak, pertambangan dan perusahaan kesehatan. Dalam melayani pelanggan PT. X menekankan pelaksanaan standar tertinggi dari profesionalisme dan pelayanan yang dapat diukur dari tingkat keamanan, reliabilitas pengiriman, dan kepuasan pelanggan.
Dalam upaya mengembangkan perusahaan, PT. X berencana untuk memperluas ruang lingkup bisnisnya dengan melayani penerbangan private. Selain itu PT. X juga berencana memperluas jangkauan operasional wilayahnya hingga menjangkau wilayah Laos dan Kamboja. Untuk menunjang rencana jangka panjang tersebut, perusahaan menambah armada pesawat yang akan digunakan untuk memenuhi permintaan konsumen. Penambahan armada menuntut adanya penambahan tenaga kerja pilot yang bertanggungjawab terhadap operasionalisasi penerbangan pesawat. Hanya saja dalam memenuhi kebutuhan pilot, perusahaan mengalami kendala dengan keterbatasan jumlah pilot berpengalaman yang dapat direkrut. Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan berusaha untuk mendidik secara mandiri pilot-pilot pemula agar dapat memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar perusahaan.
Dalam rangka mempersiapkan pilot perusahaan, PT. X menyusun program pelatihan bagi pilot-pilot baru (pre operational first officer) yang direkrut oleh perusahaan. Pre operational first officer ini merupakan lulusan dari sekolah tinggi pilot dan sudah memiliki ijin terbang, namun belum memiliki pengalaman bekerja di institusi formal. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini adalah ground training yang mempelajari prinsip-prinsip dasar dalam penerbangan yang terdiri dari safety regulation, Crew Resource Management, dangerous good regulation, dan aviation security. Selanjutnya para peserta akan mengikuti training pemahaman tipe pesawat atau type rifting, simulasi penerbangan, dan terakhir adalah latihan terbang. Setelah mengikuti training-training tersebut, peserta akan menjadi copilot pesawat, sampai dinyatakan lulus uji kompetensi sebagai pilot.
Program pelatihan ini baru dilaksanakan pertama kali pada tahun 2011, dan dirasa penting untuk melakukan evaluasi efektivitas program. Hal ini disebabkan karena menurut pihak perusahaan program ini termasuk program yang baru dan akan menjadi program rutin yang akan dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya. Dengan dilaksanakan evaluasi diharapkan dapat diketahui hal-hal yang masih perlu ditingkatkan dalam program pelatihan tersebut pada tahun-tahun berikutnya. Tahap pertama dalam proses evaluasi tersebut adalah mengetahui tujuan pelatihan dan harapan dari perusahaan mengenai program pelatihan tersebut.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada Chief Pilot sebagai atasan dan first officer dan Training Manager didapatkan informasi bahwa tujuan utama dari pelaksanaan pelatihan ini selain untuk memberikan pelatihan yang bersifat teknis juga sebagai sarana pengenalan karyawan baru di dalam lingkungan kerja termasuk rekan kerja, sehingga pada saat sudah turun ke lapangan, mereka mampu bekerjasama dengan baik dengan rekan-rekan kerjanya. la juga berpendapat bahwa kerjasama merupakan faktor yang penting untuk dimiliki oleh pilot dan kru pesawat karena dalam pekerjaan untuk menerbangkan pesawat mereka dihadapkan pada cuaca dan situasi yang berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan koordinasi yang kuat khususnya dari pilot dan first officer mengenai tindakan yang harus dilakukan.
Berdasarkan uraian diatas tampak bahwa perilaku asertif dan keterampilan kerjasama merupakan hal yang penting untuk dipersiapkan dalam pelatihan first officer sebelum mereka ditugaskan untuk bekerja di lapangan. Dari hasil wawancara awal tampak bahwa pre operational first officer masih perlu meningkatkan perilaku asertifnya. Tanpa adanya perilaku asertif dari pre operational first officer dikhawatirkan akan berakibat pada keterampilan kerjasama dengan rekan kerjanya di masa depan, saat mereka sudah dilibatkan dalam tugas rutin. Untuk itu perlu dilakukan intervensi untuk mengembangkan perilaku asertif bagi pre operational first officer. Dengan meningkatkan perilaku asertif, maka diharapkan hal tersebut juga akan meningkatkan keterampilan kerjasama yang dimiliki oleh pre operational first officer pada saat dilibatkan dalam pekerjaan.
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku asertif. Lange & Jakubowski (1998) menjelaskan bahwa secara mandiri asertif dapat dibentuk dengan melakukan evaluasi diri terhadap hal-hal yang menghambat diri untuk menunjukkan perilaku asertif. Cara kedua yang dapat dilaksanakan adalah dengan mencari role model yang tepat dalam menunjukkan perilaku asertif, sehingga responden dapat mengidentifikasi perilaku asertif yang dimiliki role model tersebut. Cara ketiga adalah dengan menurunkan tingkat kecemasan individu dengan membayangkan efektivitas perilaku yang ditunjukkan, meningkatkan keyakinan, dan memberikan pendampingan untuk mengatasi pemikiran yang kurang rasional dalam menerapkan perilaku asertif. Terakhir adalah training perilaku asertif dengan memberikan kognitif, afektif dan prosedur perilaku asertif kepada responden. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa metode training adalah metode yang paling efektif untuk meningkatkan perilaku asertif (Sanders, 2007).

C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah untuk penelitian ini adalah : 
1. Apakah ada hubungan antara perilaku asertif dengan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer di PT. X ?
2. Apakah program intervensi yang diberikan dapat meningkatkan perilaku asertif pada pre operational first officer di PT. X ?
3. Apakah program intervensi yang diberikan dapat meningkatkan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer di PT. X ?

D. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyempurnakan program pelatihan bagi pre operational first officer di PT. X, dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan kerjasama dalam tim.
2. Manfaat
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memperkaya kajian mengenai peningkatan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer pada perusahaan penerbangan. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah peningkatan perilaku asertif dengan memberikan training komunikasi asertif dengan tujuan meningkatkan keterampilan kerjasama/re operational first officer.

E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang permasalahan, permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi penjelasan mengenai teori organisasi yang terkait masalah, serta teori terkait dengan dependent variable dan independent variable dalam penelitian ini.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi pendekatan penelitian, tipe penelitian, desain penelitian, rumusan permasalahan, hipotesis kerja, responden penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan prosedur penelitian.
BAB IV PEMBAHASAN HASIL, ANALISIS DAN INTERVENSI
Bab ini berisi gambaran responden penelitian, hasil, analisis, dan kesimpulan hasil dari perhitungan awal, dan program intervensi yang diberikan dalam penelitian
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan penelitian, diskusi dari hasil penelitian, dan saran baik untuk perusahaan maupun untuk penelitian selanjutnya.