(KODE : HKM-ISLM-00011) : SKRIPSI NIKAH SIRRI PERSPEKTIF PARA PELAKU (STUDI SOSIOLOGI HUKUM)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya.
Sehingga hubungan laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridha-meridhai, dengan ucapan akad pernikahan sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dihadiri para saksi yang menyaksikan kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terkait. Bentuk perkawinan ini telah diberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang biasa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Sebagaimana firman Allah swt dalam Surat An-Nisaa' ayat 1 :
Artinya : "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu".
Ayat tersebut di atas, keberadaan pernikahan dalam agama Islam sangat penting karena dengan pernikahan itu akan tercipta keturunan yang banyak dan menjadi generasi penerus keturunan yang sah demi pengembangan agama Islam selanjutnya.
Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan adalah makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan, hubungan antara pasangan-pasangan itu membuahkan keturunan agar hidup di alam semesta itu berkesinambungan. Dengan demikian penghuni dunia ini tidak akan pernah sunyi dan kosong, tetapi terus berkembang dari generasi ke generasi. Di dalam agama Islam, lima prinsip yang harus dijaga dan dipelihara yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan memelihara keturunan.
Untuk memelihara keturunan, Islam mensyariatkan hukum perkawinan (lembaga perkawinan), agar berkembang biak dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Sebuah perkawinan yang berdasarkan asas-asas yang Islami adalah bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang sah dan baik-baik serta mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di dalam kehidupan manusia.
Kebahagiaan tersebut bukan hanya terbatas dalam ukuran-ukuran fisik biologis tetapi dalam psikologis dan sosial serta agamis. Manusia adalah makhluk yang paling dimuliakan Allah dibanding dengan makhluk lainnya, yaitu dengan kelebihan akalnya. Di dalam kehidupan ini ia memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dimana ia selalu membutuhkan orang lain.
Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Yaasin ayat 36 :
Artinya : "Maha suci Tuhan telah menciptakan pasang-pasangan semuanya baik dari apa yang telah ditumbuhkan semuanya oleh bumi dan dari diri mereka sendiri maupun dari apa yang mereka ketahui".
Ayat di atas menjelaskan bahwa hidup berpasang-pasangan itu sudah disyari'atkan manusia di dunia ini. Allah mengatur kelanggengan hidup manusia dalam suatu perkawinan yang diatur oleh agama. Perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Suatu ikatan perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan antara suami isteri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan sejahtera sepanjang masa. Suami isteri selalu mendambakan agar ikatan perkawinannya semakin kokoh terpatri dalam jiwanya masing-masing.
Kekalnya kehidupan yang harmonis yang terjalin melalui ikatan perkawinan yang sah merupakan tujuan utama yang sangat diharapkan. Akad pernikahan diakadkan untuk selama-lamanya, agar suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan suatu rumah tangga sebagai tempat berlindung dalam menikmati naungan kasih sayang yang mesra dan dapat mendidik serta memelihara anak-anak yang baik sesuai dengan petunjuk syari'at Islam. Dapat dikatakan bahwa ikatan perkawinan itu merupakan ikatan yang paling suci dan kokoh, sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah surat Ar Ruum ayat 21 :
Artinya : "Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut 'pernikahan' yaitu : melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan di antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah.
Hukum perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur pelaksanaan perkawinan saja melainkan juga mengatur segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan. Misalnya : hak-hak dan kewajiban suami, isteri mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusan perkawinan, dan lain-lainnya.
Hukum perkawinan merupakan bagian tersendiri yang di dalamnya memuat tentang hal ihwal perkawinan, bagaimana proses dan terbentuknya perkawinan, bagaimana cara menyelenggarakan dan bagaimana cara memelihara perkawinan, bagaimana cara mengatasi krisis rumah tangga yang mengakibatkan putusnya perkawinan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami isteri dan anak-anak mereka. Dalam kalangan ahli fiqih munakahat atau hukum perkawinan Islam.
Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada UU No. 20 Tahun 1946 tentang Pencatatan Pernikahan, Talak, dan Rujuk, dimana dalam pasal 1 disebutkan :
- Pernikahan yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut pernikahan, diawasi oleh pegawai pencatat pernikahan yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat pernikahan.
- Yang berhak melakukan pengawasan atas pernikahan dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama.
- Bila pegawai itu tidak ada atau berhalangan, maka pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai wakilnya oleh Kepala Jawatan Agama Daerah.
- Seorang yang pernikahan, menjatuhkan talak atau rujuk, diwajibkan membayar biaya pencatatan pernikahan yang banyaknya ditentukan oleh Menteri Agama. Dari mereka yang dapat surat keterangan tidak mampu dari kepala desanya tidak dipungut biaya surat keterangan ini diberikan dengan percuma. Biaya pencatatan pernikahan talak dan rujuk dimasukkan di dalam kas negara menurut aturan yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
- Tempat kedudukan dan wilayah pegawai pencatat pernikahan ditetapkan oleh Kepala Jawatan Agama Daerah.
- Pengangkatan dan pemberhentian pegawai pencatat pernikahan diumumkan oleh Kepala Jawatan Agama Daerah dengan cara yang sebaik-baiknya.
Pernikahan dibawah tangan, kawin sirri atau lebih populer dengan pernikahan sirri merupakan pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan syarat rukun pernikahan dalam Islam, tetapi tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau oleh Petugas Pencatat Pernikahan (PPN). Dinamakan sirri karena dilangsungkan secara diam-diam, rahasia, atau sembunyi-sembunyi tanpa adanya publikasi.
Kalau kita lacak historis pemakaian istilah pernikahan sirri ini kita tidak akan menemukannya dalam literatur (kitab) fiqih klasik maupun kontemporer, maupun kapan istilah itu muncul. Karena pernikahan sirri merupakan istilah lokal yang hanya terjadi di Indonesia. Meskipun demikian dari sisi hukum Islam pernikahan sirri ini tidak mengakibatkan pernikahan itu batal atau tidak sah.
Oleh karena itu, pernikahan ini tidak dikategorikan sebagai perbuatan hukum, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum positif. Bahkan pernikahan sirri ini membawa implikasi negatif bagi pihak perempuan baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, si istri tidak dianggap sebagai isteri yang sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan suami jika meninggal dunia, dan tidak mendapatkan harta gono-gini apabila terjadi perceraian. Sehingga secara sosial si isteri pun sulit bersosialisasi dengan masyarakat sekitar karena perempuan yang melakukan pernikahan sirri sering dianggap telah tinggal satu rumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap menjadi istri simpanan.
Termasuk kategori ini adalah keinginan untuk melegalkan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan karena belum menikah. Yang di dalamnya tersirat pengertian bahwa dengan pernikahan secara sirri berarti perbuatan yang semula dianggap maksiat, dosa, dan mengakibatkan perasaan bersalah itu berubah statusnya menjadi tindakan atau perbuatan yang sah, halal bahkan berpahala. Banyak perbuatan yang menurut norma agama dilarang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan karena belum menikah, seperti bersama-sama di tempat yang sepi tanpa mahrom, bermesraan, berciuman, dan bersetubuh. Perbuatan-perbuatan tersebut akan berubah status menjadi sah, halal, bahkan berpahala melakukannya setelah yang bersangkutan pernikahan. Jadi, dalam konteks ini pernikahan sirri berfungsi sebagai lembaga sekaligus alat untuk melegalisasi perbuatan-perbuatan tertentu bagi para pelakunya.
Dalam realitas sosial khususnya di Desa X yang melakukan pernikahan sirri, konsep pernikahan sirri umumnya dipersiapkan sebagai suatu pernikahan berdasarkan prosedur agama Islam tetapi belum atau tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), dan pernikahan ini belum atau tidak dipublikasikan.
Menurut persepsi mereka, pernikahan sirri dalam pengertian ini, secara legal formal (fikih) Islam, dapat dinyatakan sah, hal ini didasarkan pada alasan bahwa pada saat peresmian pernikahan secara sirri (pernikahan sirri) semacam itu semua rukun yang ditentukan telah terpenuhi. Semua rukun yang dimaksud itu ialah adanya mempelai laki-laki dan perempuan, wali yang menikahkan, dua orang saksi, akad ijab dan kobul atau transaksi pernikahan, dan ada yang menambahkan lagi dengan harus adanya mas kawin (mahar). Hal-hal tersebut dianggap oleh kebanyakan umat Islam sebagai keharusan sah atau tidaknya suatu pernikahan secara Islam. Sedangkan berkaitan dengan pencatatan di KUA dan adanya publikasi yang biasanya dilaksanakan dalam bentuk walimah (persepsi), secara substansi kedua-duanya lebih didasarkan untuk tujuan kemaslahatan. Pencatatan resmi di KUA sebagai lembaga resmi pemerintah banyak hal yang berkaitan dengan masalah-masalah keluarga, kependudukan atau kewarganegaraan, dan masalah-masalah sosial lainnya.
Masyarakat Desa X dilihat dari perkembangannya, faktor ekonomi, pendidikannya juga sangat bagus. Dipandang dari perkembangannya pun semakin bertambah dan berkembang dengan pesat. Faktor ekonomi pun dikatakan sudah mapan, dipandang dari segi kependidikannya pun sudah banyak yang pandai dalam tingkatan kependidikan.
Akan tetapi desa ini tetap saja masih ada yang melakukan pernikahan sirri, karena dari dulu sampai sekarang masyarakat masih kental dengan Islam kejawen yaitu masih mengikuti atau menerapkan tentang adat-adat Jawa peninggalan nenek moyang yang masih aktif sampai saat sekarang ini.
Salah satunya dalam pelaksanaan atau adanya pernikahan sirri yang ada pada saat ini, karena masyarakat menganggap perkawinan tersebut tetap dianggap sah karena sudah memenuhi syarat dan hukum dalam suatu ikatan perkawinan.
Dari paparan di atas, penulis termotivasi untuk menelaah lebih mendalam lagi dalam bentuk karya tulis dalam judul : NIKAH SIRRI PERSPEKTIF PARA PELAKU (Studi Sosiologi Hukum Atas Praktik Pernikahan Sirri di Desa X).