(KODE : ILMU-HKM-0146) : SKRIPSI NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka bumi, sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk menjaga kekekalan keturunan mereka. Dengan adanya dorongan syahwat seksual yang terpendam dalam diri laki-laki dan perempuan, mereka akan berfikir tentang pernikahan. Allah telah mengikat antara laki-laki dan perempuan dengan ikatan cinta dan kasih sayang, sehingga daur kehidupan akan terus berlangsung dari generasi ke generasi. Jaminan kelangsungan hidup itu sebagaimana telah disebutkan dalam Firman Allah swt :
Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Ia menciptakan istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
Pernikahan merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga serta keturunan dan saling mengenal antara satu dengan yang lain, sehingga akan membuka jalan untuk saling tolong-menolong. Selain itu, pernikahan merupakan institusi yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat sebagai sarana awal untuk mewujudkan sebuah tatanan masyarakat dan keluarga sebagai pilar penyokong kehidupan bermasyarakat. Melalui pernikahan akan menimbulkan beberapa konsekuensi, maka dibuat aturan dan prosedur guna menghindari kemungkinan-kemungkinan negatif yang merugikan. Di Indonesia, prosedur dan aturan yang dibuat bagi masyarakat Islam adalah bahwa pernikahan harus dicatat secara resmi dan dipublikasikan.
Dalam syari'at Islam, aturan tentang adanya pencatatan nikah baik dalam al-Qur'an maupun al-Sunnah pada mulanya memang tidak diatur secara konkrit. Lain halnya dengan ayat muamalat (mudayanah) yang dalam situasi tertentu diperintahkan untuk mencatatkan. Namun, sesuai perkembangan zaman dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, Islam di Indonesia mengatur pencatatan perkawinan melalui perundang-undangan dengan tujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Melalui pencatatan perkawinan, suami istri akan memiliki akta nikah sebagai bukti otentik atas perbuatan hukum yang telah mereka lakukan. Apabila terjadi perselisihan atau salah satu pihak tidak bertanggung jawab, maka suami atau istri dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-masing.
Pada kenyataannya, tidak semua masyarakat Islam di Indonesia mengikuti prosedur atau aturan yang berlaku. Hal ini terbukti bahwa sebagian masyarakat masih melaksanakan praktik nikah yang tidak tercatat secara resmi dan tidak dipublikasikan yang dikenal dengan sebutan nikah sirri dan sebagian ada yang menyebutnya nikah agama atau nikah di bawah tangan. Namun sampai saat ini, sebagian ulama dan masyarakat umumnya masih belum memiliki kesamaan rumusan yang menimbulkan perbedaan persepsi terhadap nikah sirri. Secara normatif, ada yang menilai bahwa praktik nikah sirri itu sah dan dapat menimbulkan hikmah positif, sebaliknya ada yang menilai tidak sah dan dapat menimbulkan implikasi negatif. Dan apabila dilihat dari perspektif hukum positif dan norma sosial, nikah sirri dianggap sebagai suatu deviasi atau penyimpangan.
Di kalangan masyarakat ada yang berasumsi bahwa istilah "nikah sirri" dan "nikah di bawah tangan" tersebut sama artinya. Maka, terlebih dahulu perlu mengidentifikasikan pengertian kedua istilah tersebut untuk menyamakan persepsi agar tidak terjadi kerancuan istilah yang menyebabkan kesalahpahaman. Dari segi etimologi, kata "sirri" berasal dari bahasa Arab, yang artinya harfiyahnya "rahasia". Jadi, nikah sirri artinya nikah rahasia (secret marriage). Menurut terminologi fiqih Maliki, nikah sirri ialah : "Nikah yang atas pesan suami, para saksi merahasiakannya untuk istrinya atau jamaahnya, sekalipun keluarga setempat."
Sedangkan menurut Mahmud Syalthut yang dikutip oleh Dadi Nurhaedi, Nikah sirri merupakan jenis pernikahan di mana dalam akadnya tidak dihadiri oleh para saksi, tidak dipublikasikan (I'lanu nikah), tidak tercatat secara resmi dan suami istri tersebut hidup secara sembunyi-sembunyi dan hanya mereka berdua yang mengetahuinya.
Para Fuqoha' sepakat bahwa nikah sirri seperti itu tidak sah (batal) karena tidak ada kesaksian. Namun apabila para saksi telah berjanji untuk merahasiakan dan tidak mempublikasikannya, para Fuqoha' sepakat bahwa hukumnya makruh dan mengenai keabsahannya masih kontroversial. Suatu pernikahan tidak disebut sirri dan sah menurut syari'at apabila dalam akad nikah dihadiri oleh para saksi dan dipublikasikan. Dalam hal kesaksian, ada yang berasumsi bahwa keberadaan para saksi dalam akad nikah itu berarti telah keluar dari sirri dan kesaksian itu berarti terang-terangan. Jadi, akad nikah yang disebabkan adanya wasiat atau pesan kepada para saksi untuk merahasiakannya tidak mempengaruhi sah dan tidaknya suatu akad nikah. Ada juga yang berasumsi bahwa akad nikah yang tidak dihadiri para saksi maupun para saksi hadir namun disertai pesan untuk merahasiakannya, maka akad nikah tersebut dianggap batal dan makruh.
Pendapat Syalthut di atas diangkat dari fenomena sosial Mesir atau Timur Tengah. Dalam konteks Indonesia, konsep nikah sirri telah mengalami pergeseran arti dan berbeda dengan yang dimaksud oleh fiqih. Nikah sirri yang dipahami selama ini adalah nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun nikah serta diketahui banyak orang, tetapi tidak dicatatkan.
Sedangkan menurut Miftah Faridl, nikah sirri bisa berarti nikah yang telah memenuhi syarat dan rukun sesuai ketentuan syari'at Islam, tetapi tidak dicatatkan kepada pencatat nikah atau nikah sesuai dengan ketentuan syari'at Islam dan dicatatkan, tetapi tidak dipublikasikan. Konsep nikah sirri seperti itu sah secara agama sepanjang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syari'at Islam, namun tidak sah menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia. Namun dalam pelaksanaan nikah tersebut masih terdapat kekurangan, yaitu sesuai pesan Nabi SAW agar nikah itu dipublikasikan, diwalimahkan, dan disebarluaskan kepada keluarga dan tetangga.
Menurut Masjfuk Zuhdi, nikah di bawah tangan muncul sejak diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 yang berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. nikah di bawah tangan adalah nikah yang dilakukan tidak menurut undang-undang perkawinan, dan nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum berupa pengakuan dan perlindungan hukum. Dan pada dasarnya nikah di bawah tangan adalah kebalikan dari nikah yang dilakukan menurut hukum, dan nikah menurut hukum adalah yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
Pernikahan sebagai suatu perbuatan hukum mempunyai akibat-akibat hukum bagi suami, istri dan anak yang dilahirkan. Akibat hukum yang timbul dari pernikahan tersebut antara lain mengenai penyelesaian harta bersama, sah atau tidaknya seorang anak, pencabutan kekuasaan orang tua, asal-usul anak, penguasaan anak, biaya pendidikan anak, kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri, dan kewarisan.
Untuk terlaksana dan sahnya perkawinan, maka pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 menyebutkan : "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Dan sebagai perbuatan hukum diperlukan adanya kepastian hukum, maka pasal 2 ayat (2) menyebutkan : "Tiap-Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku".
Sedangkan dalam KHI Pasal 4 menyebutkan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan".
Mengenai pengertian yuridis tentang sahnya suatu perkawinan ada yang berpendapat bahwa sahnya suatu perkawinan semata-mata hanya harus memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tersebut, yakni dilaksanakan menurut ketentuan syari'at Islam dengan memenuhi syarat dan rukunnya secara sempurna, sedangkan mengenai pencatatan nikah, bukan sebagai syarat sah nikah, tetapi hanya kewajiban administratif. Pendapat yang lain, bahwa sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan Undang-Undang perkawinan Pasal 2 ayat (1) mengenai tata cara agama dan Pasal 2 ayat (2) mengenai pencatatan nikah. Jadi, ketentuan ayat (1) dan ayat (2) tersebut merupakan syarat kumulatif, yaitu bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut syari'at Islam disertai pencatatan oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN).20 Perkawinan inilah yang kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan secara efektif tanggal 1 Oktober 1975 terkenal dengan sebutan "nikah di bawah tangan".
Namun, mengapa nikah di bawah tangan masih banyak dipraktikkan ?, apakah motif yang melatarbelakanginya sehingga merahasiakan pernikahannya ? Untuk mengungkap fakta dan makna praktik nikah tersebut, karena persoalan ini merupakan fenomena sosial, maka cukup proporsional jika didekati dengan kajian sosiologis. Karena itulah guna mencari informasi yang faktual dari pelaku nikah di bawah tangan dan orang-orang yang melakukan pemaknaan terhadap kasus ini, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian lapangan dari realitas sosial untuk memperoleh informasi seobyektif mungkin tentang nikah di bawah tangan. Dalam hal ini, penulis mengadakan penelitian di Desa X yang disinyalir masih banyak terdapat praktik nikah di bawah tangan, sehingga penulis akan membahas skripsi ini dengan judul : "NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA (STUDI KASUS DI DESA X)".
B. Permasalahan
Dengan mencermati berbagai permasalahan yang berkaitan dengan nikah di bawah tangan, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah praktik nikah di bawah tangan yang terjadi di Desa X ?
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya nikah di bawah tangan di Desa X ?
3. Bagaimanakah hukum nikah di bawah tangan menurut hukum Islam dan hukum positif ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui praktik nikah di bawah tangan yang terjadi di Desa X.
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya nikah di bawah tangan di Desa X.
3. Untuk mengetahui hukum nikah di bawah tangan menurut hukum Islam dan hukum positif.
D. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam penulisan skripsi tersusun sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menggambarkan isi dan bentuk penelitian yang meliputi : Latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN
Dalam bab ini memuat gambaran umum tentang pernikahan, antara lain mengenai : Pengertian dan dasar hukum perkawinan, Rukun dan syarat perkawinan dan Pencatatan Perkawinan.
BAB III : PELAKSANAAN NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA DI DESA X
Bab ini meliputi keadaan desa tersebut, bagaimana praktik nikah di bawah tangan di desa tersebut, dan faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan tersebut.
Bab IV : ANALISIS NIKAH DI BAWAH TANGAN DAN FAKTOR PENYEBABNYA DI DESA X
Dalam bab ini merupakan pemaparan bagian-bagian dari analisa secara umum yang meliputi analisis Hukum Positif dan Hukum Islam, serta faktor-faktor penyebab nikah di bawah tangan di Desa X.
BAB V : PENUTUP
Bab ini meliputi : kesimpulan, saran, penutup.