Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis. Show all posts
TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI DINAS KESEHATAN

TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI DINAS KESEHATAN

(KODE : PASCSARJ-0235) : TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA PEGAWAI DI DINAS KESEHATAN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut azas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Hal ini diwujudkan dalam pemberian otonomi kepada daerah. Secara hukum, otonomi yang diberikan kepada daerah diatur dalam TAP MPR RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Dalam penyelenggaraannya, Otonomi Daerah dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerintahan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
Menurut Raharjo (2004), pelaksanaan TAP MPR Nomor XV/MPR/1998 lebih lanjut diwujudkan dengan penyempurnaan UU No. 22 Tahun 1999 menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-undang ini pemberian kewenangan Otonomi kepada Daerah Kabupaten/Kota didasarkan kepada azas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dalam kewenangan otonomi yang luas ini tercakup keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang meliputi kewenangan bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter data fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Disamping itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Lebih lanjut, Tambunan (2005) menyatakan bahwa pemberian kewenangan pemerintahan yang luas kepada daerah membawa konsekuensi langsung berkurangnya kewenangan Pemerintah Pusat terhadap daerah dan penambahan tanggung jawab kepada daerah. Terjadinya penambahan wewenang membawa konsekuensi penambahan tugas kepada daerah. Untuk melaksanakan semua tugas itu kemudian dilakukan restrukturisasi kelembagaan.
Sejalan dengan restrukturisasi yang dilakukan, dibutuhkan peningkatan kinerja pegawai agar dapat melaksanakan tugas yang ada sebaik mungkin. Untuk itu perlu diperhatikan sikap dasar pegawai terhadap diri-sendiri, kompetensi, pekerjaan saat ini serta gambaran mereka mengenai peluang yang bisa diraih dalam struktur organisasi yang baru. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa perubahan struktur organisasi yang baru dapat mengakibatkan stress dan kecemasan karena menghadapi sesuatu yang berbeda dari sebelumnya. Pada saat inilah faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi kerja yang tinggi sangat berperan (Tambunan, 2005).
Faktor kepemimpinan dari atasan dapat memberikan pengayoman dan bimbingan kepada pegawai dalam menghadapi tugas dan lingkungan kerja yang baru. Pemimpin yang baik, akan mampu menularkan optimisme dan pengetahuan yang dimilikinya agar pegawai yang menjadi bawahannya dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik.
Dalam melaksanakan pekerjaan, pegawai tidak lepas dari komunikasi dengan sesama rekan sekerja, dengan atasan dan dengan bawahan. Komunikasi yang baik dapat menjadi sarana yang tepat dalam meningkatkan kinerja pegawai. Melalui komunikasi, pegawai dapat meminta petunjuk kepada atasan mengenai pelaksanaan kerja. Melalui komunikasi juga pegawai dapat saling bekerja sama satu sama lain.
Iklim organisasi yang kondusif juga dibutuhkan dalam meningkatkan kinerja pegawai. Hubungan yang baik dengan atasan, sesama rekan kerja dan bawahan dalam lingkungan kerja, akan memberi semangat kerja bagi pegawai. Selain itu keberadaan sarana prasarana yang menunjang pelaksanaan kerja juga mutlak diperlukan demi kelancaran pelaksanan tugas. Apabila semua itu tercipta di lingkungan kerja, maka akan meningkatkan kinerja karyawan.
Faktor motivasi juga tidak kalah penting dalam meningkatkan kinerja pegawai. Motivasi menjadi pendorong seseorang melaksanakan suatu kegiatan guna mendapatkan hasil yang terbaik. Oleh karena itulah tidak heran jika pegawai yang mempunyai motivasi kerja yang tinggi biasanya mempunyai kinerja yang tinggi pula. Untuk itu motivasi kerja pegawai perlu dibangkitkan agar pegawai dapat menghasilkan kinerja yang terbaik.
Dari survey awal yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten X dapat diketahui bahwa kinerja pegawai di kantor tersebut masih kurang baik. Hal ini terlihat dari masih banyaknya tugas yang dilakukan dengan waktu yang terlalu panjang dari yang ditentukan. Selain itu dari segi penyelenggaraan administrasi juga masih kurang baik, yang terlihat dari masih sering terjadi surat yang hilang, padahal surat tersebut dibutuhkan untuk arsip dinas.
Semua permasalahan yang terungkap dari survey awal tersebut dinyatakan pegawai yang dijadikan responden awal, disebabkan karena kurangnya pengarahan dari pimpinan mengenai mekanisme kerja yang efektif, sehingga pegawai cenderung melaksanakan pekerjaan sesuai persepsinya sendiri. Di lain pihak dari segi pegawai sendiri kurang komunikasi untuk menanyakan hal-hal yang kurang dipahaminya dalam pelaksanaan kerja. Semua itu terjadi karena iklim organisasi yang ada kurang kondusif untuk memungkinkan terjadinya komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping pegawai sendiri kurang mempunyai motivasi untuk mendapatkan hasil kerja yang terbaik.
Berdasarkan uraian di atas, nampak betapa pentingnya peranan faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi kerja dalam meningkatkan kinerja pegawai. Hal ini mendorong penulis untuk meneliti seberapa besar pengaruh tersebut terhadap kinerja pegawai dan menuliskan hasilnya dalam tesis berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor kepemimpinan secara parsial terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor komunikasi secara parsial terhadap kinerja Pegawai di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor iklim organisasi secara parsial terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
4. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor motivasi kerja secara parsial terhadap kinerja pegawai di Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?
5. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi secara simultan terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor kepemimpinan secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor komunikasi secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
3. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor iklim organisasi kerja secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
4. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor motivasi kerja secara parsial terhadap kinerja pegawai Dinas Kesehatan Kabupaten X.
5. Untuk mengkaji dan menganalisis besarnya hubungan faktor kepemimpinan, komunikasi, iklim organisasi dan motivasi kerja secara simultan terhadap kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai pendalaman tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan sumber daya manusia serta upaya identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai di lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten X.
2. Manfaat bagi Unit Kerja
Diharapkan dapat memberikan gambaran dan rekomendasi bagi Pimpinan dan seluruh jajaran khususnya di lingkungan Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam menentukan kebijaksanaan dan mengambil keputusan untuk meningkatkan kinerja para pegawainya.
3. Bagi Penulis
Sebagai upaya lebih mendalami masalah-masalah Sumber Daya Manusia serta mendekatkan antara teori-teori dan praktek di lapangan.

TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI

TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI

(KODE : PASCSARJ-0234) : TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendirian organisasi diawali adanya beberapa tujuan tertentu yang harus dilakukan dengan persetujuan bersama diantara anggota organisasi. Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Sumber daya seperti tanah, modal dan keahlian belum menjamin tercapainya tujuan organisasi apabila sumber daya manusia (SDM) tidak dioptimalkan sesuai dengan fungsi masing-masing. Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu sorotan dalam pelaksanaan pemerintahan yang merupakan salah satu bentuk organisasi, menyangkut kesiapan, jumlah sumber daya manusia (SDM), pendidikan, dan profesionalisme.
Wahyuningrum (2008) mengatakan, bahwa peningkatan kinerja pegawai menjadi penting mengingat perubahan arah kebijakan pemerintah, sebagaimana dikehendaki oleh semangat reformasi untuk lebih luas memberi ruang gerak dan peran serta yang lebih besar bagi masyarakat dalam kegiatan pemerintah dan pembangunan, dimana pemerintah beserta aparaturnya lebih berperan sebagai fasilitator. Perubahan arah kebijakan tersebut membawa implikasi terhadap kemampuan profesionalisme pegawai dalam menjawab tantangan era globalisasi dalam menghadapi persaingan ketat dengan negara-negara lain di dunia.
Kinerja mengacu pada prestasi karyawan yang diukur berdasarkan standar atau kriteria yang ditetapkan oleh organisasi. Pengertian kinerja atau prestasi kerja diberi batasan oleh Maier (dalam As'ad, 2003) sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih tegas lagi Lawler and Poter menyatakan, bahwa kinerja adalah "successful role achievement" yang diperoleh seseorang dari perbuatan-perbuatannya (As'ad, 2003). Dari batasan tersebut As'ad menyimpulkan, bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka peningkatan kinerja aparatur merupakan hal yang mendesak untuk melaksanakan demi tercapainya pemerintahan yang lebih baik dalam menjalankan tugas negara dan melayani kepentingan masyarakat.
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh seseorang yang menggambarkan kinerjanya didorong oleh suatu kekuasaan dalam diri, kekuatan pendorong inilah yang disebut motivasi. Menurut Luthans (2006) motivasi adalah proses sebagai langkah awal seseorang melakukan tindakan akibat kekurangan secara fisik dan psikis atau dengan kata lain adalah suatu dorongan yang ditunjukkan untuk memenuhi tujuan tertentu. Selain motivasi, factor lain yang mempengaruhi kinerja pegawai adalah disiplin kerja, yang dapat ditunjukkan dalam penelitian Lina (2009) bahwa motivasi dan disiplin kerja mempunyai pengaruh terhadap peningkatan kinerja pegawai. Oleh karena itu kedua hal tersebut perlu diperhatikan oleh pimpinan organisasi dalam rangka peningkatan kinerja bagi para setiap pegawai.
Kedisiplinan merupakan kesadaran dan kesediaan seseorang dalam mentaati semua peraturan organisasi dan norma social yang berlaku (Hasibuan, 2003). Selain itu, berbagai aturan yang ditetapkan oleh suatu lembaga memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan kedisiplinan agar para pegawai dapat mematuhi dan melaksanakan peraturan yang berlaku. Peraturan itu biasanya diikuti sanksi yang diberikan bila terjadi pelanggaran. Sanksi tersebut bisa berupa teguran baik lisan maupun tertulis, skorsing, penurunan pangkat bahkan sampai pemecatan kerja tergantung dari besarnya pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan agar para pegawai bekerja dengan disiplin dan bertanggungjawab atas pekerjaannya. Ukuran yang dipakai dalam menilai apakah pegawai tersebut disiplin atau tidak, dapat terlihat dari ketepatan waktu dalam bekerja, etika berpakaian, serta penggunaan sarana kantor secara efektif dan efisien. Melalui disiplin yang tinggi kinerja pegawai pada dasarnya dapat ditingkatkan. Oleh sebab itu perlu penegasan disiplin kerja kepada setiap pegawai demi tercapainya tujuan organisasi.
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Bambang Saputra (2007) tentang pengaruh motivasi dan disiplin kerja terhadap kinerja karyawan menunjukkan, bahwa motivasi tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai sedangkan disiplin kerja berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai.
Penelitian Ahmad Saifudin (2011) tentang pengaruh kepemimpinan dan disiplin kerja terhadap kinerja pegawai yang menunjukkan, bahwa disiplin kerja tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai.
Penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo dan Wahyuddin (2003) menunjukkan, bahwa motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai, dan dalam penelitian ini juga menyatakan motivasi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kinerja pegawai. Dari penelitian ini, hubungan antara motivasi dan kinerja berbanding lurus, artinya bahwa semakin tinggi motivasi karyawan dalam bekerja, maka kinerja yang dihasilkannya juga tinggi.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya perbedaan variabel yang dapat mempengaruhi kinerja sumber daya manusia, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh motivasi dan disiplin kerja terhadap kinerja pegawai khususnya di lembaga yang berperan dalam mengembangkan, meningkatkan kualitas dan mengkoordinasikan unsur pekerjaan dalam masyarakat.

B. Persoalan Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka persoalan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan motivasi terhadap kinerja pegawai?
2. Apakah ada pengaruh yang signifikan disiplin kerja terhadap kinerja pegawai ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan persoalan penelitian tersebut di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 
1. Untuk menguji pengaruh motivasi terhadap kinerja pegawai.
2. Untuk menguji pengaruh disiplin kerja terhadap kinerja pegawai.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Manfaat Akademik
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan pijakan informasi, referensi dan kajian bagi para akademisi serta pihak yang berkepentingan untuk memperkaya kajian akademisi tentang kinerja pegawai.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini secara praktis dapat memberikan informasi akademisi bagi pengambil kebijakan tentang pengaruh motivasi dan disiplin kerja terhadap kinerja pegawai.

TESIS PELATIHAN TEAM BUILDING UNTUK MENINGKATKAN FEEDBACK ENVIRONMENT DAN KUALITAS TEAM MEMBER EXCHANGE

TESIS PELATIHAN TEAM BUILDING UNTUK MENINGKATKAN FEEDBACK ENVIRONMENT DAN KUALITAS TEAM MEMBER EXCHANGE

(KODE : PASCSARJ-0233) : TESIS PELATIHAN TEAM BUILDING UNTUK MENINGKATKAN FEEDBACK ENVIRONMENT DAN KUALITAS TEAM MEMBER EXCHANGE (PROGRAM STUDI : PSIKOLOGI)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Organisasi yang memiliki keinginan untuk berkembang dan besar, harus mampu menghadapi perubahan teknologi, ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan, baik yang terprediksi maupun yang tidak. Perubahan yang terjadi di dalam organisasi, memungkinkan organisasi tersebut mampu bersaing, secara profesional dan menampilkan kinerja yang baik sehingga dapat bertahan dan berkembang secara optimal. Perubahan yang dilakukan antara lain dengan mengubah struktur organisasi dan lebih berorientasi pada kinerja tim.
Penggunaan tim dalam penyelesaian suatu pekerjaan dirasa lebih efektif. Tim dan teamwork dalam organisasi dapat meningkatkan partisipasi dan inovasi, pengurangan kesalahan, peningkatan kualitas, peningkatan responsiveness, efisiensi biaya, pelayanan kepada konsumen yang lebih baik, serta peningkatan kepuasan karyawan (DeGrosky, 2006). Selain itu, tim juga dianggap dapat membantu memperbaiki produktivitas dan kualitas kinerja (Riggio, 2008).Tim terdiri dari individu yang memiliki kemampuan, bakat dan pengalaman yang berbeda-beda, hal itu, membuat tim lebih efektif dalam menghasilkan pemecahan masalah yang lebih kreatif (Lyod, 2005). Tim dianggap sebagai struktur kerja yang ideal karena di dalamnya terdapat anggota yang dapat saling mempengaruhi pikiran dan persepsi masing-masing anggota, sehingga keputusan yang dihasilkan akan lebih baik (Kotze, 2008).
Tim merupakan sekelompok individu dengan derajat ketergantungan yang tinggi antar anggota, yang berupaya untuk menyelesaikan tugas atau mencapai tujuan bersama (Parker, 2008). Sedangkan menurut Forsyth (2010), tim merupakan sekelompok individu yang terorganisasi dan bekerja sama untuk mencapai sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh individu. Proses kerjasama antar anggota tim dalam mencapai tujuan disebut teamwork. Teamwork merupakan proses psikologis, perilaku dan mental anggota tim dalam berkoordinasi satu sama lain dalam melaksanakan tugas dan upaya mencapai tujuan tim (Forsyth, 2010).
Beberapa hal yang dapat mempengaruhi produktivitas tim, antara lain adalah pengalaman melaksanakan tugas, latihan dalam menyelesaikan tugas, kompleksitas tugas, beban tugas, interaksi, kooperasi dan koordinasi antar anggota tim (Johnson & Johnson, 2009). Menurut social exchange theory dalam suatu hubungan sosial terdapat pertukaran yang membuat hubungan tersebut terjalin (Blau, 1964 dalam Counnase, 2011). Jika dikaitkan dengan hubungan yang terjalin antar anggota dalam suatu tim, maka hubungan tersebut terjalin karena adanya pertukaran sumber daya (resources) antar anggota tim. Sumber daya yang ditukar dapat berupa usulan, gagasan, atau ide, feedback (umpan balik), informasi dan bantuan.
Pertukaran sumber daya antar anggota di dalam tim, menjadi hal yang mendasari terbentuknya hubungan kerja antara anggota tim dengan rekan kerjanya yang disebut sebagai team member exchange (TMX). Kualitas team member exchange yang tinggi ditunjukkan oleh tingkah laku anggota tim yang menggunakan kesempatan yang ada untuk bekerjasama, memberikan kontribusi kepada tim dengan membantu rekan kerja, berbagi informasi, gagasan atau ide dan saling memberikan feedback (umpan balik) di dalam tim (Seers, 1989 dalam Seers, Petty & Cashman, 1995).
Individu yang memiliki kualitas TMX yang tinggi akan berinteraksi dengan anggota kelompok lain secara akrab, lebih kooperatif, mengeluarkan usaha yang lebih kolaboratif dan mendapatkan penguatan sosial (social reward) (Pollack, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Petty, Seers dan Cashman (1995) menunjukkan bahwa individu yang memiliki kualitas team member exchange tinggi dapat mendorong terbentuknya tim yang efektif dan kohesif. Adanya pertukaran informasi dan pertukaran ide dalam tim membuat masalah yang ada dapat terpecahkan dan keputusan yang dibuat mewakili pendapat anggota dalam tim, sehingga anggota dalam tim merasakan adanya kesamaan persepsi dan tujuan dengan tim.
Selain itu, pada tingkat individu TMX juga berhubungan dengan organizational citizenship behavior (Murillo & Steelman, 2004). Secara umum OCB merupakan perilaku di luar kewajiban kerja yang dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja organisasi (Organ, Podsakoff & MacKenzie, 2006). Kualitas TMX tinggi yang dimiliki individu dalam tim, dapat terlihat melalui dukungan dan arahan yang diberikan kepada anggota lain dalam tim. Selanjutnya dukungan diteruskan kepada anggota lain dalam tim yang membutuhkan. Saat terjadi dalam organisasi, dukungan dan arahan yang saling diberikan oleh anggota tim dan dilakukan di luar kewajiban kerja, dapat mengarah pada efisiensi dan efektivitas kerja organisasi atau organizational citizenship behavior.
Pada tingkat kelompok, TMX berkorelasi dengan efektivitas pengambilan keputusan (Alge, Whiethoff & Klein, 2003 dalam Pollack, 2009) dan memiliki dampak positif terhadap kinerja kelompok (Eby & Dobbins, 1997 dalam Pollack, 2009). Kelompok dengan tingkat kualitas TMX yang tinggi akan menunjukkan kinerja yang baik pada tugas yang memiliki tingkat ketergantungan antar anggota tim (task interdependent) yang tinggi untuk menyelesaikannya. Hal ini terjadi karena tugas dengan yang memiliki tingkat ketergantungan antar anggota tim (task interdependent) yang tinggi memerlukan koordinasi dari anggota tim untuk penyelesaian tugas. Begitu pula dengan pengambilan keputusan, diperlukan konsensus dari anggota tim agar keputusan yang dihasilkan efektif
Penelitian yang dilakukan oleh Liden, Wayne dan Sparrowe (2000 dalam Murillo & Steelman, 2004) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas TMX dengan kinerja anggota dalam tim. Tim yang memiliki kualitas TMX tinggi mendorong anggotanya untuk mencapai kinerja yang lebih tinggi. Hal ini mengindikasi bahwa tim yang memiliki tingkat TMX tinggi akan dapat menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan tim dengan kualitas TMX yang lebih rendah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wech (2001) menunjukkan bahwa tim dengan kualitas TMX yang tinggi mempermudah anggotanya dalam menyelesaikan pekerjaan, sehingga kepuasan kerja anggota dalam tim meningkat. Tingkat TMX yang tinggi pada tim, dicirikan oleh anggota yang bersedia untuk memberikan saran dan feedback (umpan balik) mengenai cara kerja yang lebih baik, berkomunikasi, dan bertukar peran saat dibutuhkan. Feedback (umpan balik) dapat diartikan sebagai informasi yang diberikan dan diterima oleh individu terkait kinerjanya (London, 2003). Feedback (umpan balik) dapat berasal dari berbagai sumber, seperti atasan, rekan kerja, bawahan dan pihak lain di luar organisasi, seperti pelanggan, dan proses pengerjaan tugas (tugas dan diri sendiri) (Hagen, Fisher & Taylor, 1979), serta terjadi pada situasi formal, seperti saat penilaian kinerja (performance appraisal), atau saat informal.
Feedback (umpan balik) memiliki berbagai keuntungan bagi penerimanya. Feedback (umpan balik) mampu mengarahkan, memotivasi, dan mendorong tingkah laku yang efektif dan mengurangi atau menghentikan tingkah laku yang tidak efektif (London, 2003), karena dalam feedback (umpan balik) terdapat aspek evaluasi, sehingga penerima feedback (umpan balik) menjadi tahu hal apa yang bisa mereka kerjakan dengan baik, dan seberapa baik hasil kerja penerima feedback (umpan balik) jika berusaha lebih keras lagi.
Selain itu, feedback (umpan balik) juga dapat meningkatkan motivasi dan performa menerima feedback (umpan balik) khususnya motivasi ekstrinsik melalui pujian, penghargaan atau kritik (Armstrong, 2006). Dari feedback (umpan balik) yang diberikan, penerima feedback (umpan balik) bisa merasa di dukung dan merasa dihargai saat tahu bahwa mereka bekerja dengan baik. Hal ini yang nantinya berpengaruh terhadap motivasi.
Selanjutnya, feedback (umpan balik) juga dapat digunakan untuk pengembangan diri individu penerima feedback (umpan balik). Dalam feedback (umpan balik), dapat dijelaskan mengenai pencapaian yang telah individu dapatkan dan kesempatan yang tersedia dalam meraih tujuan yang diinginkannya (Armstrong, 2006). Feedback (umpan balik) juga meningkatkan rasa keterkaitan diri individu penerima feedback (umpan balik) dengan tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Individu menyadari bahwa kontribusi dari dirinya berpengaruh terhadap penyelesaian tugas dan tujuan yang harus dicapai (London, 2003). Pada tim, dimana pencapaian tujuan bergantung kepada pencapaian setiap anggotanya dan setiap anggota memiliki tanggung jawab yang berbeda-beda, feedback (umpan balik) membantu memfokuskan perilaku kerja yang dapat mengarah pada hasil yang sama, yaitu perilaku yang dapat mendukung pencapaian tujuan bersama (London, 2003).
Keuntungan yang bisa didapat dari pemberian feedback (umpan balik) akan dapat dimaksimalkan jika lingkungan mendukung terjadinya pertukaran feedback (umpan balik). Persepsi individu akan kesempatan yang diberikan oleh lingkungan untuk mendapatkan feedback (umpan balik) pada situasi sehari-hari disebut sebagai feedback environment (Steelman, Levy & Snell, 2004). Feedback environment yang positif berarti lingkungan mendukung terjadinya pertukaran feedback (umpan balik). Feedback environment yang positif ditandai oleh adanya pertukaran feedback (umpan balik) secara terus menerus, komunikasi dua arah, penekanan pada pengembangan diri individu dan penjelasan tentang kinerja yang diharapkan untuk tercapai (Anseel & Lievens, 2007). Feedback environment yang positif merupakan hal penting untuk pemberi dan penerima feedback (umpan balik). Sebagai pemberi feedback (umpan balik), atasan atau rekan kerja yang menganggap penting penggunaan feedback (umpan balik) dan memiliki feedback environment yang positif akan cenderung memberikan feedback (umpan balik) yang berkualitas dan mendukung tingkah laku untuk mencari feedback (umpan balik) (Steelman & Rutkowski, 2004 dalam Bogle, 2010).
Feedback environment yang positif memiliki berbagai dampak diantaranya, meningkatkan hubungan antar anggota tim. Peningkatan hubungan ini terjadi melalui komunikasi sehari-hari atau umpan balik yang diberikan secara informal oleh rekan kerja. Pemberian feedback (umpan balik) secara informal oleh rekan kerja juga dapat mengurangi ambiguitas peran yang dirasakan individu di dalam organisasi (London, 2003), karena melalui komunikasi atau feedback (umpan balik) yang diterima dari rekan kerja, karyawan menjadi paham akan apa yang diharapkan darinya. Selanjutnya, feedback environment yang positif juga mendukung perbaikan kinerja. Melalui pemberian feedback (umpan balik), karyawan diberikan penjelasan mengenai perilaku kerja efektif yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Selain itu, juga bisa dilakukan melalui pemberian reward terhadap perilaku kerja efektif yang berhasil ditunjukkan (Bogle, 2010). Dengan adanya feedback environment yang positif, fungsi feedback (umpan balik) yang dapat digunakan sebagai media evaluasi, pengakuan (recognition) dan pengembangan menjadi semakin mungkin untuk terjadi, dan hal ini dapat mendukung terjadinya peningkatan kinerja (Bogle, 2010).
Di dalam tim, kesuksesan atau kegagalan yang diraih bergantung pada interaksi antara anggota tim. Interaksi ini merupakan salah satu bentuk TMX. Kualitas TMX dapat dipengaruhi oleh komunikasi dalam tim. Komunikasi merupakan proses dimana suatu pesan dikirim kepada penerima (Murillo & Steelman, 2004). Salah satu bentuk dari komunikasi adalah feedback (umpan balik). Pada feedback (umpan balik), pesan yang disampaikan mengandung informasi mengenai kinerja penerima pesan (Hagen, Fisher & Taylor, 1979). Kualitas TMX terlihat melalui pertukaran feedback (umpan balik) yang berisi informasi mengenai kinerja anggota tim, hal ini terjadi pada situasi dimana penerima feedback (umpan balik) dapat kembali memberi feedback (umpan balik) kepada pengirim pesan. Pertukaran feedback (umpan balik) memerlukan komunikasi antar anggota tim dan hal ini mendorong terjadinya TMX.
Penelitian yang dilakukan oleh Murillo & Steelman (2004) dan Murillo (2006) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara feedback environment dengan kualitas TMX. Feedback environment yang positif ditandai oleh adanya pertukaran feedback (umpan balik) secara terus menerus, komunikasi dua arah, penekanan pada pengembangan diri individu dan penjelasan tentang tujuan tim yang diharapkan untuk tercapai. Tujuan tim dapat dicapai melalui interaksi dengan anggota lain dalam tim. Interaksi ini dapat terjadi dalam bentuk berbagi ide, gagasan, saran atau feedback (umpan balik) secara terbuka. Kegiatan berbagi ide, gagasan, saran atau feedback (umpan balik) dalam tim merupakan bentuk pertukaran yang ada pada TMX. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa feedback environment yang positif dapat mengarah pada TMX.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk membuat rancangan program kegiatan yang dapat meningkatkan feedback environment yang dimiliki oleh anggota tim yang nantinya diharapkan dapat mempengaruhi kualitas TMX dalam tim. Rancangan program kegiatan yang diajukan berupa pelatihan team building.
Menurut Noe (2005) team building atau yang disebut juga dengan group building merupakan metode pelatihan yang didesain untuk meningkatkan efektivitas tim atau grup. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pelatihan dengan metode team building diarahkan untuk meningkatkan keterampilan peserta dalam rangka menunjang efektivitas tim. Dalam team building peserta saling berbagi ide dan pengalaman, membangun identitas tim, memahami dinamika hubungan interpersonal, dan saling mengetahui kekuatan dan kelemahan masing-masing dan rekan kerjanya. Teknik ini berfokus untuk membantu tim untuk meningkatkan efektivitas kerjasama tim. Hal ini sejalan dengan pendapat Tannebaum, Beard dan Salas (1992 dalam Damayanie, 2011) yang menyatakan bahwa team building dapat meningkatkan karakteristik anggota tim dan hubungan interpersonal di dalam tim.
Longenecker dan Nykodym (1996 dalam Anseel & Li evens, 2007) menyarankan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan proses pemberian umpan balik sehingga diharapkan akan mempengaruhi feedback environment, diantaranya adalah pemberi dan penerima umpan balik meluangkan waktu yang lebih banyak untuk proses pemberian umpan balik, pemberi umpan balik meningkatkan pengetahuan dan pemahaman akan perilaku kerja yang ditunjukkan oleh penerima umpan balik, pemberi umpan balik menjelaskan perilaku yang diharapkan muncul secara spesifik.
Selain itu, proses pemberian feedback (umpan balik) sebaiknya menekankan pada pengembangan kemampuan dari penerima umpan balik, feedback (umpan balik) yang diberikan sebaiknya tidak hanya berfokus pada hal negatif, pemberian feedback (umpan balik) yang lebih sering dan peningkatan komunikasi dua arah. Intinya adalah pemberi feedback (umpan balik) sebaiknya memiliki perilaku tertentu yang dapat meningkatkan feedback environment. Organisasi dapat mendukung perilaku pemberi feedback (umpan balik) melalui pemberian pelatihan (Anseel & Li evens, 2007).
Oleh karena itu, dengan memberikan intervensi kepada anggota tim melalui pelatihan team building, diharapkan interaksi antar anggota tim dapat meningkat sehingga dapat tercipta suatu kondisi yang mendukung terjadinya pertukaran feedback (umpan balik) dalam tim (feedback environment yang positif), dan kemudian diharapkan dapat mendorong meningkatnya persepsi terhadap kualitas hubungan timbal balik di dalam tim (team member exchange).

B. Permasalahan
Sebelum berdiri secara mandiri, PT. X merupakan unit usaha syariah yang telah berdiri selama 10 tahun di salah satu bank BUMN di Indonesia. Pada tahun kedua berdiri, atau pada tahun 2002 unit ini mulai menghasilkan laba yang dianggap memiliki prospek jangka panjang, sehingga pada tahun 2003 dilakukan penyusunan rencana untuk berdiri secara mandiri. Realisasi dari rencana tersebut, terlaksana pada tahun 2010. Saat berdiri secara mandiri, PT. X telah memiliki 27 kantor cabang dan 31 kantor cabang pembantu.
Kurangnya kerjasama yang dikeluhkan didukung oleh hasil penyebaran Unblocking Organizational Questionnaire yang dikembangkan oleh Mike Woodcock dan Dave Francis (1994) untuk mengidentifikasi hambatan yang ada di PT. X. Dari hasil penyebaran kuesioner diperoleh data bahwa kurangnya kerjasama (poor teamwork) merupakan salah satu potensi permasalahan di PT. X. Permasalahan kerjasama menjadi penting untuk diperbaiki karena kerjasama merupakan salah satu nilai budaya kerja, yaitu 'Jamaah' yang diharapkan dimiliki oleh setiap karyawan PT. X. Selanjutnya, hasil penyebaran kuesioner kepuasan kerja yang dikembangkan oleh Spector (1997), menunjukkan bahwa faset kepuasan kerja yang berada pada posisi 3 terendah adalah tunjangan, komunikasi dan gaji. Kepuasan terhadap komunikasi yang terjadi di dalam perusahaan berada pada urutan ke-8 dari sembilan faset yang diukur. Hal ini mendukung keluhan mengenai masalah komunikasi yang terjadi di dalam unit ataupun antar unit.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas hubungan di dalam unit maupun antar unit di PT. X belum menunjukkan kualitas hubungan timbal balik antar anggota tim (team member exchange) yang tinggi, hal ini dapat disebabkan oleh persepsi karyawan terhadap lingkungan yang kurang mendukung anggota tim untuk mendapatkan umpan balik dari rekan kerja atau atasannya (feedback environment). Feedback environment yang kurang dapat diakibatkan oleh masalah komunikasi yang terjadi antar individu dalam unit atau antar unit, selain itu juga bisa disebabkan karena kurangnya kesadaran bekerjasama antar unit.

C. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat korelasi antara feedback environment dan kualitas team member exchange pada karyawan PT. X ?
2. Apakah terdapat perbedaan skor feedback environment pada karyawan PT. X antara sebelum dan setelah diberikan ?
3. Apakah terdapat perbedaan skor kualitas team member exchange pada karyawan PT. X antara sebelum dan setelah diberikan intervensi berupa pelatihan team building ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara feedback environment dan kualitas team member exchange pada karyawan PT. X. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat apakah terdapat peningkatan feedback environment dan kualitas team member exchange pada karyawan PT. X, setelah diberikan intervensi berupa pelatihan team building.
2. Manfaat
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan mengenai faktor yang mempengaruhi kualitas team member exchange, khususnya bagi organisasi yang memiliki struktur tim. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perusahaan dalam melakukan intervensi terkait peningkatan efektivitas kerja tim.

E. Sistematika Penulisan
Bab I atau Pendahuluan berisi latar belakang penelitian, permasalahan organisasi yang memuat alasan mengapa peneliti mengangkat topik ini, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan yang terkait dengan konteks penelitian serta sistematika penulisan penelitian ini.
Bab II atau Tinjauan Pustaka berisi penjelasan mengenai teori-teori yang terkait dengan variabel penelitian, yaitu teori mengenai team member exchange, teori feedback environment, teori intervensi berupa pelatihan team building, dan dinamika hubungan antara team member exchange dengan feedback environment serta intervensi berupa pelatihan team building.
Bab III atau Metode Penelitian menguraikan tentang pendekatan penelitian, tipe penelitian, desain penelitian, variabel penelitian, rumusan permasalahan, hipotesis penelitian, responden penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data dan prosedur penelitian.
Bab IV atau Hasil Penelitian, Analisis dan Intervensi berisi gambaran responden penelitian, hasil, analisis dan kesimpulan hasil dari perhitungan awal penelitian serta program intervensi yang diberikan dalam penelitian ini.
Bab V atau Kesimpulan, Diskusi dan Saran memuat jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, dilanjutkan dengan diskusi dari hasil penelitian dan saran praktis maupun teoritis yang dapat diberikan untuk perusahaan maupun penelitian lanjutan.

TESIS TRAINING KOMUNIKASI ASERTIF UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF TERHADAP KETERAMPILAN KERJASAMA PRE OPERATIONAL

TESIS TRAINING KOMUNIKASI ASERTIF UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF TERHADAP KETERAMPILAN KERJASAMA PRE OPERATIONAL

(KODE : PASCSARJ-0232) : TESIS TRAINING KOMUNIKASI ASERTIF UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF TERHADAP KETERAMPILAN KERJASAMA PRE OPERATIONAL (PROGRAM STUDI : PSIKOLOGI)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial bagi industri penerbangan, bahkan diperkirakan permintaan angkutan udara akan meningkat hingga 10 tahun ke depan (Airline Business dalam Manurung, 2010). Kondisi Indonesia yang terdiri dari kepulauan membuat transportasi udara dirasa menjadi solusi yang paling efektif dalam mengatasi kebutuhan konsumen terhadap moda transportasi. Hal ini tentu saja menjadi peluang bagi perusahaan yang bergerak dalam jasa transportasi udara, termasuk perusahaan yang bergerak dalam bidang pesawat carter. Bahkan beberapa tahun terakhir seiring dengan meningkatnya bisnis yang bergerak dalam bidang pertambangan, minyak dan gas, serta perkebunan, bisnis pesawat carter semakin meningkat.
Dalam menjalankan bisnisnya, keselamatan penerbangan menjadi hal utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan penerbangan. KNKT mencatat bahwa kecelakaan pesawat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data tahun 2011 menunjukkan terdapat 32 kecelakaan, meningkat dibandingkan tahun 2010 yaitu 18 kecelakaan. Tingginya angka kecelakaan pesawat ini membuat konsumen semakin kritis untuk memilih maskapai yang memiliki tingkat keselamatan tinggi.
Faktor manusia menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam keselamatan penerbangan, karena human error adalah faktor yang paling banyak menyebabkan kecelakaan. Di Indonesia sendiri berdasarkan data KNKT dari seluruh kecelakaan yang terjadi 62,5% disebabkan human error, dimana 12,5% diantaranya disumbang kecelakaan udara. Istilah yang terkait dengan human error dan banyak digunakan dalam psikologi aviasi adalah pilot error. Hawkins dalam Alhial (2007) mendefinisikan pilot error sebagai kesalahan yang dilakukan pilot dalam menjalankan pesawat baik di udara maupun di darat. Pihak yang dapat dikenakan vonis pilot error adalah pilot dan first officer atau copilot.
Salah satu penyebab utama terjadinya kecelakaan yang diakibatkan oleh human error adalah kurangnya kerjasama antara pilot dan kru yang ada dalam pesawat. Dalam menjalankan perannya pilot dan kru diharapkan untuk saling mendukung satu sama lain dengan tetap memonitor kondisi yang ada di sekitarnya dan mengambil tindakan apabila terjadi suatu masalah (Fischer, 2000). Hal ini juga didukung oleh pendapat Salas, Burke, Bowers & Wilson (2000) yang menyatakan bahwa 50% dari total kecelakaan yang disebabkan oleh human error, penyebab utamanya adalah kerjasama yang kurang efektif dari pilot dan kru yang berada di dalam pesawat. Koordinasi yang kurang efektif di dalam pesawat dapat mengakibatkan kebingungan dan pengambilan keputusan yang salah dalam kokpit (Shappel & Wiegmann, 2000). Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kerjasama tim dalam kokpit memiliki peran penting untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang disebabkan oleh human error.
Johnson & Johnson (2006) menjelaskan bahwa tim adalah suatu bentuk interaksi interpersonal yang terstruktur dengan tujuan mencapai tujuan bersama. Sedangkan kerjasama tim adalah seperangkat pemikiran, tindakan dan perasaan yang diberikan oleh masing-masing anggota yang dibutuhkan untuk menjalankan perannya sebagai anggota tim (Brown, 2009). Kerjasama tim tentu saja tidak terlepas dari peran individu yang ada di dalamnya. Individu yang ada dalam tim yang efektif harus mempersiapkan tugas yang harus dilakukan, sehingga mengetahui bagaimana cara mengkoordinasikan aktivitas yang dilakukan, berkomunikasi dengan anggota kelompok lain, dan membuat respon yang efektif saat mengalami perubahan situasi (Brungardt, 2009).
Kerjasama tim dikatakan efektif apabila masing-masing individu dapat menjalankan perannya dengan maksimal untuk mencapai tujuan kelompok. Untuk meningkatkan efektivitas kerjasama tim dapat dilakukan dengan cara memperjelas tujuan yang ingin dicapai kelompok, kejelasan peran dari masing-masing individu di dalam tim dan norma yang berlaku di dalam kelompok, dukungan dari organisasi berupa kebijakan dan sistem yang dapat membantu kinerja tim, serta pemberian coaching dan feedback bagi anggota tim apabila dibutuhkan (Riggio, 2008). Dalam menjalankan fungsinya, tim kerja tentu saja tidak terlepas dari permasalahan yang dapat menghambat pencapaian tujuan kelompok. Dalam menyelesaikan permasalahan tersebut masing-masing anggota kelompok akan diminta untuk menyampaikan pendapat dan memberikan ide untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini, yang dituntut dari anggota tim adalah asertivitas dalam mengemukakan pendapatnya.
Hayes (2002) menyatakan bahwa perilaku asertif merupakan suatu cara untuk mengekspresikan diri dengan cara berkomunikasi secara lugas dan jelas, menyatakan sudut pandang dengan perilaku yang sopan dan menghindari penggunaan kalimat yang berkonotasi negatif. Sedangkan Rakos (2006) menjelaskan bahwa perilaku asertif adalah suatu keterampilan untuk mencari, mempertahankan dan meningkatkan pemahaman atau perasaan saat menghadapi situasi yang kurang menyenangkan. Perilaku asertif dapat mendukung individu dalam memecahkan permasalahan, mengatasi konflik yang ada dalam kelompok, dan dapat mencegah terjadinya depresi individu (Johnson & Johnson, 2009). Perilaku asertif dari anggota tim membantu menunjukan pengetahuan, keterampilan merupakan sumber daya yang dibutuhkan tim untuk menjalankan fungsinya. Dengan menunjukkan perilaku asertif, maka individu akan dapat semakin menunjukkan perannya dalam kelompok, dan dengan kata lain menunjukkan kemampuan untuk bekerjasama dalam tim (Salas, Smith-Jentsch & Baker, 1996)

B. Permasalahan
PT. X merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang operator penyewaan pesawat terbang yang berpusat di Jakarta. Sejarah perusahaan dimulai sejak tahun 1978, pada saat terlibat dalam proyek besar untuk mengubah dan memodifikasi helicopter 12 Sikorsky UH-34D berkolaborasi dengan Air Force Indonesia. Pada tahun 1983, PT. X mulai melebarkan ranah bisnis dengan melakukan penerbangan pertama kali sebagai perusahaan jasa penyewaan pesawat, dengan mengoperasikan empat helikopter baru seri S-76 untuk dua klien, yakni perusahaan multinasional gas dan minyak di perairan Jawa. Saat ini perusahaan yang menjadi pelanggan PT. X berasal dari perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang gas, minyak, pertambangan dan perusahaan kesehatan. Dalam melayani pelanggan PT. X menekankan pelaksanaan standar tertinggi dari profesionalisme dan pelayanan yang dapat diukur dari tingkat keamanan, reliabilitas pengiriman, dan kepuasan pelanggan.
Dalam upaya mengembangkan perusahaan, PT. X berencana untuk memperluas ruang lingkup bisnisnya dengan melayani penerbangan private. Selain itu PT. X juga berencana memperluas jangkauan operasional wilayahnya hingga menjangkau wilayah Laos dan Kamboja. Untuk menunjang rencana jangka panjang tersebut, perusahaan menambah armada pesawat yang akan digunakan untuk memenuhi permintaan konsumen. Penambahan armada menuntut adanya penambahan tenaga kerja pilot yang bertanggungjawab terhadap operasionalisasi penerbangan pesawat. Hanya saja dalam memenuhi kebutuhan pilot, perusahaan mengalami kendala dengan keterbatasan jumlah pilot berpengalaman yang dapat direkrut. Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan berusaha untuk mendidik secara mandiri pilot-pilot pemula agar dapat memiliki kompetensi yang sesuai dengan standar perusahaan.
Dalam rangka mempersiapkan pilot perusahaan, PT. X menyusun program pelatihan bagi pilot-pilot baru (pre operational first officer) yang direkrut oleh perusahaan. Pre operational first officer ini merupakan lulusan dari sekolah tinggi pilot dan sudah memiliki ijin terbang, namun belum memiliki pengalaman bekerja di institusi formal. Materi yang diberikan dalam pelatihan ini adalah ground training yang mempelajari prinsip-prinsip dasar dalam penerbangan yang terdiri dari safety regulation, Crew Resource Management, dangerous good regulation, dan aviation security. Selanjutnya para peserta akan mengikuti training pemahaman tipe pesawat atau type rifting, simulasi penerbangan, dan terakhir adalah latihan terbang. Setelah mengikuti training-training tersebut, peserta akan menjadi copilot pesawat, sampai dinyatakan lulus uji kompetensi sebagai pilot.
Program pelatihan ini baru dilaksanakan pertama kali pada tahun 2011, dan dirasa penting untuk melakukan evaluasi efektivitas program. Hal ini disebabkan karena menurut pihak perusahaan program ini termasuk program yang baru dan akan menjadi program rutin yang akan dilaksanakan pada tahun-tahun berikutnya. Dengan dilaksanakan evaluasi diharapkan dapat diketahui hal-hal yang masih perlu ditingkatkan dalam program pelatihan tersebut pada tahun-tahun berikutnya. Tahap pertama dalam proses evaluasi tersebut adalah mengetahui tujuan pelatihan dan harapan dari perusahaan mengenai program pelatihan tersebut.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada Chief Pilot sebagai atasan dan first officer dan Training Manager didapatkan informasi bahwa tujuan utama dari pelaksanaan pelatihan ini selain untuk memberikan pelatihan yang bersifat teknis juga sebagai sarana pengenalan karyawan baru di dalam lingkungan kerja termasuk rekan kerja, sehingga pada saat sudah turun ke lapangan, mereka mampu bekerjasama dengan baik dengan rekan-rekan kerjanya. la juga berpendapat bahwa kerjasama merupakan faktor yang penting untuk dimiliki oleh pilot dan kru pesawat karena dalam pekerjaan untuk menerbangkan pesawat mereka dihadapkan pada cuaca dan situasi yang berubah-ubah dan tidak dapat diprediksi sebelumnya. Untuk mengatasi hal tersebut dibutuhkan koordinasi yang kuat khususnya dari pilot dan first officer mengenai tindakan yang harus dilakukan.
Berdasarkan uraian diatas tampak bahwa perilaku asertif dan keterampilan kerjasama merupakan hal yang penting untuk dipersiapkan dalam pelatihan first officer sebelum mereka ditugaskan untuk bekerja di lapangan. Dari hasil wawancara awal tampak bahwa pre operational first officer masih perlu meningkatkan perilaku asertifnya. Tanpa adanya perilaku asertif dari pre operational first officer dikhawatirkan akan berakibat pada keterampilan kerjasama dengan rekan kerjanya di masa depan, saat mereka sudah dilibatkan dalam tugas rutin. Untuk itu perlu dilakukan intervensi untuk mengembangkan perilaku asertif bagi pre operational first officer. Dengan meningkatkan perilaku asertif, maka diharapkan hal tersebut juga akan meningkatkan keterampilan kerjasama yang dimiliki oleh pre operational first officer pada saat dilibatkan dalam pekerjaan.
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perilaku asertif. Lange & Jakubowski (1998) menjelaskan bahwa secara mandiri asertif dapat dibentuk dengan melakukan evaluasi diri terhadap hal-hal yang menghambat diri untuk menunjukkan perilaku asertif. Cara kedua yang dapat dilaksanakan adalah dengan mencari role model yang tepat dalam menunjukkan perilaku asertif, sehingga responden dapat mengidentifikasi perilaku asertif yang dimiliki role model tersebut. Cara ketiga adalah dengan menurunkan tingkat kecemasan individu dengan membayangkan efektivitas perilaku yang ditunjukkan, meningkatkan keyakinan, dan memberikan pendampingan untuk mengatasi pemikiran yang kurang rasional dalam menerapkan perilaku asertif. Terakhir adalah training perilaku asertif dengan memberikan kognitif, afektif dan prosedur perilaku asertif kepada responden. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa metode training adalah metode yang paling efektif untuk meningkatkan perilaku asertif (Sanders, 2007).

C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah untuk penelitian ini adalah : 
1. Apakah ada hubungan antara perilaku asertif dengan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer di PT. X ?
2. Apakah program intervensi yang diberikan dapat meningkatkan perilaku asertif pada pre operational first officer di PT. X ?
3. Apakah program intervensi yang diberikan dapat meningkatkan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer di PT. X ?

D. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyempurnakan program pelatihan bagi pre operational first officer di PT. X, dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan kerjasama dalam tim.
2. Manfaat
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah memperkaya kajian mengenai peningkatan keterampilan kerjasama pada pre operational first officer pada perusahaan penerbangan. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah peningkatan perilaku asertif dengan memberikan training komunikasi asertif dengan tujuan meningkatkan keterampilan kerjasama/re operational first officer.

E. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang permasalahan, permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi penjelasan mengenai teori organisasi yang terkait masalah, serta teori terkait dengan dependent variable dan independent variable dalam penelitian ini.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisi pendekatan penelitian, tipe penelitian, desain penelitian, rumusan permasalahan, hipotesis kerja, responden penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan prosedur penelitian.
BAB IV PEMBAHASAN HASIL, ANALISIS DAN INTERVENSI
Bab ini berisi gambaran responden penelitian, hasil, analisis, dan kesimpulan hasil dari perhitungan awal, dan program intervensi yang diberikan dalam penelitian
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan penelitian, diskusi dari hasil penelitian, dan saran baik untuk perusahaan maupun untuk penelitian selanjutnya.

TESIS ANALISIS KINERJA UNIT GAWAT DARURAT PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD

TESIS ANALISIS KINERJA UNIT GAWAT DARURAT PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD

(KODE : PASCSARJ-0221) : TESIS ANALISIS KINERJA UNIT GAWAT DARURAT PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI RUMAH SAKIT)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. (Sistem Kesehatan Nasional, 2009).
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan (UU No. 36 Tentang Kesehatan, 2009).
Memasuki abad ke-21, Indonesia menghadapi berbagai perubahan dan tantangan strategis, diantaranya yaitu telah terjadi pertumbuhan yang sangat pesat di berbagai sektor industri, tak terkecuali juga di bidang kesehatan. Pertumbuhan tersebut diiringi dengan semakin ketatnya persaingan antar pemberi layanan kesehatan. Pelayanan kesehatan telah berubah menjadi sesuatu yang bisa diperdagangkan. Rumah sakit berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasiennya, disertai dengan berbagai fasilitas dan peralatan kedokteran yang termodern dan terlengkap, guna menjadi rumah sakit yang terdepan dalam pemberi jasa pelayanan kesehatan.
Fasilitas kesehatan yang ada harus mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Seiring dengan membaiknya tingkat pendidikan, meningkatnya keadaan sosial ekonomi masyarakat, serta adanya kemudahan di bidang transportasi dan komunikasi mengakibatkan sistem nilai dalam masyarakat berubah.
Akibatnya masyarakat cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih bermutu termasuk pelayanan kesehatan (Jacobalis, 2000). Hal ini merupakan suatu tantangan, sehingga institusi pelayanan kesehatan membutuhkan strategi yang dapat menjawab perubahan-perubahan yang terjadi.
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hams tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. (UU No. 44 Tentang Rumah Sakit, 2009). Berdirinya rumah sakit di tengah ketatnya kompetensi dalam globalisasi ekonomi sekarang rumah sakit ini, perlu peninjauan kembali sistem manajemen yang digunakan. Pada saat ini rumah sakit tidak lagi dipandang sebagai usaha sosial yang dapat dikelola dengan begitu saja, tetapi lebih merupakan suatu industri jasa (Kaplan dan Norton, 1996).
Selama ini para manajer rumah sakit hanya mengukur keberhasilan rumah sakit dengan keberhasilan finansial saja. Risiko yang timbul dengan menggunakan ukuran finansial saja adalah tidak selalu memberikan gambaran yang akurat tentang arah organisasi dan dapat memimpin organisasi ke arah jangka pendek bukan jangka panjang. Oleh karena itu, untuk mengukur kinerja di dalam rumah sakit diperlukan sistem pengukuran kinerja yang tidak hanya mengukur aspek keuangan saja, tetapi juga mempertimbangkan aspek non keuangan seperti kepuasan pelanggan, proses bisnis internal dan proses pembelajaran dan pertumbuhan. Ukuran kinerja ini disebut dengan balanced scorecard yang menawarkan suatu peta jalan yang sistematis dan komprehensif bagi organisasi-organisasi untuk menerjemahkan pernyataan visi dan misi mereka ke dalam sekumpulan ukuran kinerja yang saling berkaitan. Ukuran-ukuran ini tidak digunakan untuk mengendalikan perilaku tetapi untuk mengartikulasikan strategi organisasi, dan membantu menyesuaikan inisiatif individu, lintas departemen, organisasi, demi tercapainya sasaran bersama (Gaspersz, 2011).
Walaupun pengukuran kinerja dengan menggunakan balanced scorecard lebih banyak digunakan di perusahaan-perusahaan bisnis yang menghasilkan barang atau produk, tetapi dapat juga diterapkan pada rumah sakit yang bergerak dalam usaha jasa. John R Griffith & John G King dalam Journal of Healthcare Management edisi Jan/Feb 2000 dan Chee W. Chow et.al. dalam jurnal yang sama edisi Mei 1998 menganjurkan balanced scorecard untuk digunakan dalam organisasi kesehatan yaitu rumah sakit.
Pelayanan Kesehatan X merupakan institusi pelayanan kesehatan berbasis pelayanan mutu prima dan kepuasan pelanggan/pasien, menjadi tempat pilihan peneliti untuk melakukan analisis kinerja, khususnya di Unit Gawat Darurat. Unit Gawat Darurat merupakan pelayanan di depan yang harus dilayani dengan cepat dan profesional. Kegiatan pelayanan terhadap pasien berjalan terus menerus selama 24 jam dengan kedatangan pasien dan dengan berbagai tingkat kegawatan. Dalam penatalaksanaan rujukan di rumah sakit, seleksi dilakukan di Unit Gawat Darurat maupun di Unit Rawat Jalan, untuk selanjutnya penderita disalurkan ke instalasi yang dirujuk (Djojodibroto, 1997).
Data dari Pelayanan Kesehatan X pada tahun 2008-2010 menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah kunjungan pasien ke Unit Gawat Darurat, dilihat berturut-turut dari tahun 2008, 2009 dan 2010 : 20667 pasien, 20515 pasien dan 18827 pasien, dimana hampir 50% pasien Rawat Inap berasal dari Unit Gawat Darurat. Dilihat dari perspektif pemasukan pasien, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X. Pada tahun 2010, di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X terjadi revisi tarif paket UGD dan selain itu dilakukan efisiensi ketenagaan untuk mengurangi pengeluaran biaya UGD, karena sumber pengeluaran terbesar adalah untuk sumber daya manusia yaitu mencapai 40% dari pengeluaran yang ada. Cost Recovery Rate (CRR) Unit Gawat Darurat dari tahun 2008-2010 mengalami penurunan, meskipun masih diatas 100%, hal ini menunjukkan bahwa perbandingan penerimaan dengan pengeluaran yang semakin menurun.
Pelayanan Kesehatan X termasuk rumah sakit non profit, namun demikian mereka tetap concern terhadap masalah keuangan, dimana profit yang diperoleh akan dapat merangsang peningkatan investasi sebagai pengembangan Pelayanan Kesehatan X. Di tengah maraknya dibangun Rumah Sakit-Rumah Sakit baru yang modern dan berorientasi profit di kota ini, tidaklah mudah bagi Pelayanan Kesehatan X untuk mempertahankan visi dan misinya. Masyarakat dihadapkan kepada berbagai pilihan alternatif untuk berobat. Oleh karena itu, untuk menjadikan Unit Gawat Darurat sebagai andalan sesuai dengan visi dan misi rumah sakit, diperlukan kinerja rumah sakit yang baik yang akan menuntun pada suatu kerangka kerja yang strategis yang tepat dan dapat memicu keunggulan berkompetisi secara sehat di era globalisasi ini, maka Unit Gawat Darurat sebagai suatu unit diukur kinerjanya dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard.
Dengan memakai pendekatan balanced scorecard, maka kinerja Unit Gawat Darurat dapat dievaluasi dari empat perspektif, yaitu aspek keuangan, aspek pelanggan, aspek proses bisnis internal dan aspek pembelajaran dan pertumbuhan, yang selanjutnya dapat menjadi bahan masukan dalam perencanaan strategic Pelayanan Kesehatan X. Selain itu, belum pernah dilakukan evaluasi kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X dengan menggunakan konsep balanced scorecard.

B. Rumusan Masalah
Dilihat dari perspektif pemasukan pasien dan untuk menjadikan Unit Gawat Darurat sebagai andalan sesuai dengan visi dan misi rumah sakit, diperlukan kinerja rumah sakit yang baik yang akan menuntun pada suatu kerangka kerja yang strategis yang tepat dan dapat memicu keunggulan berkompetisi secara sehat di era globalisasi ini. Selain itu, berdasarkan fakta yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka dapat ditemukan bahwa belum adanya bentuk penilaian analisis kinerja dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X.

C. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif keuangan ?
b. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif pelanggan ?
c. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif proses bisnis internal ?
d. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ?

D. Tujuan penelitian
a. Tujuan Umum
Mengetahui kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X dengan pendekatan balanced scorecard.
b. Tujuan Khusus
1. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif keuangan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X
2. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif pelanggan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X
3. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif proses bisnis internal di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X
4. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Aplikatif Bagi Rumah Sakit
Dapat mengetahui gambaran kinerja rumah sakit dengan pendekatan balanced scorecard sehingga diharapkan pihak manajemen rumah sakit mendapat masukan dan dapat sebagai indikator pemantauan rutin mutu pelayanan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X.
2. Manfaat Aplikatif Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan ilmu dan wawasan, juga pengalaman dalam menerapkan ilmu yang didapat selama belajar di Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit (KARS).
3. Manfaat Aplikatif Bagi Peneliti
Dapat memperoleh pengalaman penelitian yang dapat dipergunakan dalam melaksanakan pekerjaan di masa mendatang dan merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Master Administrasi Rumah Sakit.

TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

(KODE : PASCSARJ-0220) : TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank berfungsi sebagai perantara keuangan atau financial intermediary dari dua pihak, yakni pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Bank menghimpun simpanan uang masyarakat (dana pihak ketiga). Kemudian uang atau dana tersebut dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit dengan pengenaan suku bunga tertentu. Penyaluran kredit merupakan fungsi utama dari bank dan merupakan sumber pendapatan yang utama pada umumnya. Pendapatan ini diperoleh dari spread suku bunga simpanan dan kredit yang dikenakan oleh bank. Penentuan spread ini tergantung dari pihak bank dan target marketnya (Kurniawan, 2004).
Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.
Lembaga keuangan Islam termasuk perbankan menjadi intermediasi keuangan dengan cara yang sangat berbeda dari bank konvensional, karena ia sangat menonjolkan skema Profit and Loss Sharing (PLS) dalam pembiayaan dan investasi perdagangan.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir sejak diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah, perkembangan bank syariah, dipandang dari sisi jumlah jaringan kantor dan volume kegiatan usaha, masih belum memuaskan. Oleh karena itu pemerintah mempunyai keinginan untuk lebih mendorong perkembangan bank syariah di Indonesia.
Menurut laporan Bank Indonesia, jumlah bank syariah yang beroperasi sejak 1998 meningkat cukup signifikan. Pada 1998 bank umum syariah baru sebuah, kantor cabang 10, kantor cabang pembantu sebuah, dan kantor kas yang sudah beroperasi 19. Selama tahun 2008 jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengalami penambahan 2 Bank Umum Syariah (BUS) 1 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 17 BPRS, sehingga pada akhir 2008 terdapat 5 BUS, 27 UUS dan 131 BPRS. Sejalan dengan hal tersebut, jaringan kantor bank syariah, termasuk layanan syariah juga menunjukkan peningkatan menjadi 953 kantor dan 1.470 layanan syariah.
Perkembangan kuantitas kelembagaan perbankan syariah dari tahun ke tahun terlihat sangat pesat dan diharapkan dengan perkembangan ini pelayanan perbankan syariah dalam berpartisipasi dalam perekonomian nasional akan makin besar.
Pertumbuhan Aset Bank Syariah. DPK Bank Syariah, DPK Bank Konvensional dan perkembangan tingkat suku bunga. Perkembangan di tahun 2007 semakin mempertegas korelasi negatif antara fluktuasi tingkat suku bunga perbankan dengan fluktuasi DPK perbankan syariah. Artinya kondisi suku bunga yang meningkat akan menekan pertumbuhan DPK (termasuk aset) perbankan syariah begitu pula sebaliknya, jika suku bunga cenderung turun DPK bank syariah akan meningkat karena nisbah bagi hasil yang lebih kompetitif dibandingkan suku bunga perbankan secara umum.
Kinerja ekonomi sektor riil mempengaruhi secara positif perkembangan industri perbankan syariah, misalnya kecenderungan penurunan inflasi mendorong peningkatan aset perbankan syariah.
Dalam hal penyaluran dana, tahun 2007 industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan sebesar 36,7 persen) dibandingkan dengan perbankan nasional yang mengalami pertumbuhan sebesar 17,8 persen, dengan posisi pangsa pembiayaan terhadap perbankan secara nasional mencapai 2,8 persen. Pertumbuhan pembiayaan ini relatif masih mendekati angka proyeksi berdasarkan yang diperhitungkan pada akhir tahun lalu. Pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah pada dasarnya juga merupakan respon dari membaiknya sektor ekonomi riil yang didorong oleh semakin kondusifnya tingkat suku bunga. Namun kecenderungan turunnya suku bunga pembiayaan ini perlu dicermati. Dalam kondisi di mana profil nasabah pembiayaan bank syariah masih sensitif terhadap pergerakan suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional, maka penurunan suku bunga kredit akan menimbulkan tekanan bagi perbankan syariah.
Pada semester kedua mengakhiri tahun 2008, pertumbuhan aset industri perbankan syariah cenderung mengalami perlambatan terutama sejak triwulan kedua, meskipun menunjukkan pertumbuhan aset yang positif. Terpuruknya ekonomi dunia akibat krisis keuangan global yang bermula dari Amerika Serikat dan ketatnya kredit/likuiditas global yang semakin serius pada semester akhir 2008 mempengaruhi indikator-indikator makro ekonomi Indonesia, seperti nilai tukar, suku bunga dan kinerja pasar modal. Kondisi tersebut ditengarai sebagai penyebab perlambatan aktifitas ekonomi riil domestik Indonesia. Selanjutnya pengaruh tersebut relatif menyebabkan perlambatan pertumbuhan di industri perbankan syariah di Indonesia, meskipun tidak separah industri keuangan secara umum.
Kondisi global tersebut mengakibatkan iklim investasi yang belum kondusif, meningkatnya inflasi, penurunan daya beli masyarakat dan biaya ekonomi yang cukup tinggi. Dengan adanya beberapa kondisi makro tersebut menyebabkan terjadinya perlambatan indikator secara mikro di perbankan, seperti pertumbuhan Dana Pihak Ketiga yang melambat, meningkatnya margin dan persentase nisbah pembiayaan seiring dengan meningkatnya laju inflasi, sehingga berdampak pula terhadap pengetatan penyaluran pembiayaan terutama sejak Triwulan ke tiga tahun 2008.
Sementara itu penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 17,6 persen dari triwulan keempat tahun 2007 atau menjadi 42,05 persen pada triwulan keempat tahun 2008, meskipun kondisi di tahun 2008 tersebut mengalami perlambatan sejak posisi pada Triwulan ke II sebesar 51 persen. Sementara itu, nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp 38,19 triliun. Pertumbuhan jumlah pembiayaan yang tidak didukung dengan pertumbuhan DPK secara signifikan menyebabkan financing to deposit ratio (FDR) mencapai level diatas 104 persen pada tahun pelaporan.
Seiring dengan pertumbuhan pembiayaan, juga diikuti oleh peningkatan kualitas pembiayaan perbankan syariah dari seluruh portfolio pembiayaan pada tahun 2008. Peningkatan kualitas ini tercermin dari penurunan persentase non performing financing (NPF) gross pada tahun 2008, dimana pada posisi tahun 2007 NPF perbankan syariah mencapai 4,07 persen. Penurunan NPF tersebut disebabkan oleh proses restrukturisasi, write off dan pengambil alihan pembiayaan oleh Bank lain (take over). Prestasi tersebut harus selalu diupayakan untuk selalu dipertahankan dan terus ditingkatkan sejalan dengan perbaikan kualitas ekposur dalam sistem perbankan secara nasional.
Kualitas pembiayaan perbankan syariah mampu dijaga dalam rasio yang relatif rendah. Rasio pembiayaan bermasalah (NPF) pada tahun laporan turun menjadi 3,95 persen. Peningkatan pembiayaan pada produk berbasis bagi hasil, khususnya dengan akad musyarakah, yang berisiko lebih tinggi dan krisis keuangan global tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas pembiayaan perbankan syariah. Rasio NPF dapat dijaga dalam kisaran yang rendah di bawah 5 persen.
Seiring penggantian SWBI dengan SBIS, posisi penempatan perbankan syariah pada OPT Syariah terus menurun. Terdapat 2 (dua) faktor penyebab fenomena tersebut yaitu penyesuaian (adjustment) yang dilakukan oleh perbankan syariah dalam pengelolaan likuiditas dan pola musiman pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah. Penutupan SWBI yang sebelumnya tersedia setiap hari menyebabkan berubahnya pola ketersediaan (pasokan) likuiditas harian dari SWBI jatuh tempo, sementara lelang SBIS hanya dilakukan secara mingguan dengan tenor 1 (satu) bulan. Hal ini mendorong perbankan syariah untuk memelihara excess reserve dengan jumlah lebih besar yang tercermin dari peningkatan jumlah excess reserve dari rata-rata Rp 276,7 miliar (sebelum penutupan SWBI) menjadi Rp 690,4 miliar (setelah penutupan SWBI). Selain itu, pola musiman pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang dimulai antara akhir kuartal I dan awal kuartal II menyebabkan pemeliharaan alat-alat likuid (termasuk SBIS) cenderung menurun.
Meski demikian, menyimak kondisi sekarang dengan share bank syariah masih relatif kecil dibandingkan bank konvensional, tentunya peran ideal bank dan lembaga keuangan syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditas belum akan begitu terasa. Dalam kondisi seperti ini, salah satu elemen pokok dalam sistem ekonomi Islam, yaitu pemerintah (regulator), perlu mengambil alih dan memegang peranan kunci perekonomian dengan didukung oleh kalangan perbankan syariah itu sendiri.
Dari sisi lain prestasi yang perlu dicatat, selama ini bank syariah dapat menjalankan fungsi intermediasi perbankan yang lebih besar. Artinya, proses dan keterlibatan dalam pembiayaan dan pembinaan nasabah lebih intens dibanding dengan bank konvensional. Menurut data statistik BI di beberapa media menunjukkan peranan intermediasi bank konvensional lebih rendah. Ini bisa dilihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR) bank konvensional yang hanya sekitar 50 persen, sedangkan rata-rata LDR atau FDR (Financing to Deposit Ratio) bank syariah melebihi 100 persen. Angka LDR bank syariah yang tinggi akhir-akhir ini bisa diartikan bahwa bank syariah lebih mampu mendorong angka percepatan perputaran uang dan investasi yang diharapkan dapat mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hanya dari segi jumlah pembiayaan masih rendah.
Di tahun 2008, Pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen (semula 6,8 persen). Pertumbuhan 6,4 persen tersebut terutama diharapkan dari pertumbuhan investasi. Berdasarkan prospek kondisi makroekonomi Indonesia tersebut, maka dapat diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun depan masih akan menikmati high-growth dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional. Kondisi pertumbuhan ekonomi secara umum akan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan kemampuannya dalam melakukan konsumsi dan saving (tabungan). Pada saat yang sama kapasitas perbankan untuk melakukan pembiayaan sektor riil banyak dipengaruhi oleh besarnya dana masyakat yang mampu diserap dalam bentuk tabungan.
Perbankan syariah sempat terhambat perkembangannya karena kebijakan BI Rate yang tinggi selama periode 2005-2006. Kebijakan office channeling menjadi andalan BI mengakselerasi perbankan syariah ke depan. Berbagai tantangan berat dihadapi industri perbankan syariah nasional sepanjang 2006, khususnya berkaitan dengan kondisi makro ekonomi yang ditandai oleh relatif tingginya tingkat suku bunga dan inflasi.
Meski demikian, perbankan syariah berhasil mempertahankan pertumbuhan asetnya 12,92 persen dari akhir 2005 hingga Agustus 2006 atau melebihi laju pertumbuhan industri perbankan nasional yang 5,55 persen. Namun, proyeksi pangsa aset perbankan syariah menjadi 1,70 persen pada akhir 2006 tampaknya tidak mudah tercapai. Pasalnya, hingga Agustus 2006 baru tercapai 1,55 persen atau senilai Rp 23,58 triliun. Artinya, sepanjang 2006, ruang gerak perbankan syariah dalam mengembangkan usahanya mengalami keterbatasan, terutama dalam pengumpulan dana pihak ketiga (DPK).
Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut diatas adalah langkah Bank Indonesia (BI) yang terpaksa memperketat kebijakan moneternya ditandai dengan BI Rate yang tinggi sejak tahun lalu hingga saat ini. Akibat kebijakan tersebut, risiko displacement (pengalihan dana dari bank syariah ke bank konvensional) meningkat. Terbukti, DPK perbankan syariah sempat menurun pada Januari dan Februari 2006. Di sisi lain, sejak BI mengeluarkan kebijakan office channeling (OC), tampaknya DPK perbankan syariah juga mulai menggeliat kembali. Menurut data Statistik Perbankan Syariah (SPS) yang dikeluarkan Direktorat Perbankan Syariah BI per Agustus 2006, DPK perbankan syariah hingga Agustus 2006 meningkat menjadi Rp 17,11 triliun atau tumbuh 9,82% dari posisi DPK per Desember 2005.
Kebijakan dan strategi pengembangan perbankan syariah dari Bank Indonesia tahun 2007 difokuskan pada upaya mempercepat peningkatan kapasitas pelayanan perbankan syariah. Upaya ini akan dilakukan dari sisi penawaran dan permintaan guna mencapai target pangsa 5 persen dari total volume perbankan nasional diakhir tahun 2008 dengan tetap mempertahankan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Dari sisi penawaran, kebijakan perbankan syariah akan diarahkan untuk memperkuat struktur kelembagaan dan efisiensi perbankan syariah, sehingga dapat meningkatkan daya saing dan mampu meredam berbagai kejutan ekonomi yang terjadi. Dari sisi permintaan, kebijakan perbankan syariah akan diarahkan untuk dapat memperluas pangsa pasar perbankan syariah di tengah masyarakat, sehingga peran perbankan syariah dalam mendorong proses intermediasi perbankan dan penciptaan stabilitas sistematik semakin signifikan.
Melihat hal diatas maka faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia yang perkembangannya makin cepat dengan demikian layak untuk diteliti. Jika tidak ada penelitian tentangnya dikhawatirkan pelaksanaan penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia ke masyarakat yang sangat penting berkontribusi bagi perekonomian ini ketika terjadi problem, kendala yang menghambat penyaluran perbankan syariah tidak dapat diketahui apa penyebab sebenarnya, sehingga tidak mampu untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi masalah yang ada.
Berdasarkan kepentingan di atas maka perlu penelitian dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia. Diharapkan dengan penelitian ini semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengannya dapat memanfaatkan hasil yang sebesar-besarnya. Penelitian ini dijadikan sebagai tesis dengan judul : "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyaluran Pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia"

B. Perumusan Masalah
Banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia dalam meningkatkan penyaluran pembiayaan syariah di Indonesia makin optimal sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih banyak pada pembangunan nasional diantaranya adalah : 
1. RUU perbankan syariah yang telah mengalami perubahan status menjadi UU perbankan syariah yaitu undang-undang No. 21 tahun 2008 yang berpengaruh pada Bank Indonesia yang melakukan beberapa revisi peraturan agar dapat disesuaikan dengan undang-undang sehingga kedudukan perbankan syariah lebih kuat secara legal (www.bi.go.id. 2008)
2. Dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.9/7/PBI/2007 tanggal 04 Mei 2007 tentang perubahan atas peraturan kegiatan usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Bank umum dimana salah satunya mengatur tentang penyempurnaan pengembangan jaringan Bank syariah melalui Office Channeling sehingga perbankan konvensional dapat melayani transaksi syariah (www.bi.go.id. 2007)
3. Adanya dorongan dari Bank Indonesia yang mempermudah dan memperbanyak layanan syariah, memperbanyak pembukaan kantor cabang, termasuk konversi dari unit syariah menjadi bank syariah serta meringankan modal pendirian bank syariah (www.bi.go.id. 2008).
4. Akan adanya draf undang-undang mengenai perbankan syariah dimana kata-kata jual beli dihilangkan dan diganti dengan pembiayaan dengan aset murabahah sehingga efek pengenaan PPN dapat dihilangkan. Hal ini akan memberikan manfaat bagi para nasabah agar terhindar dari pajak berganda dimana posisi ini secara tidak langsung akan kembali meningkatkan pembiayaan yang akan diberikan oleh perbankan syariah (www.pajakonline.com, tanggal 27 Oktober 2008).
5. (Annual Meeting DPS, 14 Agustus 2007) Kebijakan dan inisiatif strategis untuk pengembangan jangka panjang industri perbankan syariah secara sistematis telah dijabarkan dalam 'Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia' dan Kebijakan dan Program Akselerasi 2007-2008 lebih difokuskan pada pencapaian target kuantitatif melalui terobosan paket kebijakan dan program inisiatif yang dapat memberikan perubahan pertumbuhan aset secara signifikan (lompatan besar) dalam jangka pendek. Sasaran kebijakan dan program akselerasi 2007-2008 itu adalah : 
a) Mendorong pertumbuhan dari sisi supply dan demand secara seimbang
b) Memperkuat permodalan, manajemen dan SDM bank syariah
c) Mengoptimalkan peranan pemerintah (otoritas fiskal) dan BI (otoritas perbankan & moneter) sebagai penggerak pertumbuhan
d) Melibatkan seluruh stakeholder perbankan syariah untuk berpartisipasi aktif dalam program akselerasi sesuai dengan kompetensinya masing-masing.
Berdasarkan berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut diatas pemerintah dan Bank Indonesia telah menetapkan program akselerasi perbankan syariah dengan menargetkan penyaluran pembiayaan Perbankan Syariah sebesar Rp. 68,95 Triliun di tahun 2008 namun pembiayaan yang mampu disalurkan realisasinya hanya mencapai Rp. 38,195 Triliun
Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah dalam tesis ini adalah belum mampunya perbankan syariah mencapai target penyaluran pembiayaan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia di tahun 2008. Sehingga perlu penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penyaluran pembiayaan perbankan syariah di Indonesia agar bisa dipakai oleh pihak yang berwenang sebagai pertimbangan dalam mengambil kebijakan guna mendorong perbankan syariah khususnya dalam penyaluran pembiayaan agar lebih optimal dan sesuai target yang ditetapkan.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dalam tesis ini disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia ?
2. Bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah ?

C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini pengambilan data di lakukan hanya untuk kurun waktu Maret 2004-April 2009.
Variabel yang diteliti pun hanya dibatasi pada variabel : indikator kebijakan perbankan syariah secara nasional, indikator kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia, yang diduga memiliki pengaruh terhadap penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia di luar BPRS.

D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan Syariah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap pelaksanaan penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia.