Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis kesehatan masyarakat. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis kesehatan masyarakat. Show all posts
TESIS DETERMINAN KINERJA KADER POSYANDU DALAM MENUJU REVITALISASI POSYANDU

TESIS DETERMINAN KINERJA KADER POSYANDU DALAM MENUJU REVITALISASI POSYANDU

(KODE : PASCSARJ-0241) : TESIS DETERMINAN KINERJA KADER POSYANDU DALAM MENUJU REVITALISASI POSYANDU (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari pembangunan nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes RI, 2004).
Indonesia sehat 2010 merupakan visi pembangunan nasional yang merupakan arah dan tujuan serta serangkaian upaya peningkatan kesehatan masyarakat. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkan misi pembangunan kesehatan antara lain memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau (Depkes RI, 2001).
Keberhasilan pembangunan kesehatan Indonesia tidak terlepas dari partisipasi aktif masyarakat. Salah satu peran aktif masyarakat dan swasta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat strata pertama diwujudkan melalui berbagai upaya yang dimulai dari diri sendiri, keluarga sampai dengan upaya kesehatan yang bersumber masyarakat (UKBM). Upaya kesehatan yang bersumber masyarakat ini telah dikembangkan, salah satunya adalah Posyandu (Depkes RI, 2004).
Posyandu merupakan wadah untuk mendapatkan pelayanan dasar terutama dalam bidang kesehatan dan keluarga berencana yang dikelola oleh masyarakat, penyelenggaraannya dilaksanakan oleh kader yang telah dilatih di bidang kesehatan dan KB, dimana anggotanya berasal dari PKK, tokoh masyarakat dan pemudi. Posyandu diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat, oleh sebab itu masyarakat diharapkan aktif membentuk, menyelenggarakan dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya yaitu dalam bentuk peran serta atau partisipasi di dalam Posyandu setiap bulan yang bertujuan untuk meningkatkan status gizi balita (Depkes RI, 2001).
Sejak pencanangan Posyandu di tahun 1986, berbagai hasil telah dicapai antara lain, angka kematian ibu dan bayi telah berhasil diturunkan dan umur harapan hidup rata-rata bangsa Indonesia telah meningkat secara bermakna (signifikan). Jika pada tahun 1995 Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masing-masing adalah 373/100.000 kelahiran hidup (SKRT, 1995) serta 60/1000 kelahiran hidup (Susenas, 1995), maka pada tahun 2003 AKI turun menjadi 307/100000 kelahiran hidup (SDKI, 2003), sedangkan AKB turun menjadi 45/1000 kelahiran hidup (SDKI, 2003). Sementara Umur Harapan Hidup rata-rata meningkat dari 45 tahun 1970 menjadi 66,2%/tahun, pada tahun 2000 (DDKI, 2003).
Posyandu merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat yang strategis dibidang pelayanan kesehatan masyarakat. Kader memegang peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan Posyandu di lapangan sehingga keberadaannya perlu dipertahankan. Persentase kader aktif nasional adalah 69,2% dan kader drop out sebesar 30,8%. Revitalisasi Posyandu secara nasional di canangkan oleh Mendagri pada tahun 1999 sebagai upaya membangkitkan kinerja Posyandu termasuk di dalamnya adalah kader (Mastuti, 2003).
Dengan pentingnya upaya Revitalisasi Posyandu dimaksud, mengharapkan agar jajaran Pemerintah Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota untuk mensosialisasikan pedoman tersebut serta mengkoordinasikan pelaksanaannya pada tingkat pengelola dan dengan melibatkan peran serta masyarakat (LSM, organisasi kemasyarakatan, sektor swasta, dunia usaha, lembaga/negara donor atau Organisasi Internasional), agar pelaksanaan akselerasi Revitalisasi Posyandu dapat berlangsung secara optimal (Depkes RI, 2001).
Tenaga utama pelaksana posyandu adalah kader posyandu, yang kualitasnya sangat menentukan dalam usaha meningkatkan kualitas pelayanan yang dilaksanakan. Dengan demikian, kemampuan kader harus dikembangkan untuk berpotensi secara maksimal, dengan bekal pengetahuan dan keterampilan yang disesuaikan dengan tugas yang diemban dalam mengelola posyandu, agar dapat berperan aktif dalam meningkatkan kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2001).
Kader sebagai salah satu sub system dalam posyandu yang bertugas untuk mengatur jalannya program dalam posyandu, kader harus lebih tahu atau lebih menguasai tentang kegiatan yang harus dijalankan atau dilaksanakan. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja kader posyandu diantaranya adalah pelatihan, dan motivasi. (Sahrul, 2006).
Motivasi sumber daya manusia dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh berbagai hal dan beraneka baik antar individu maupun di dalam diri individu pada waktu-waktu berlainan. Motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk mencapai tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya untuk memenuhi suatu kebutuhan individual (Robbins, 2001).
Kinerja merupakan hasil dari perilaku karyawan, dalam perspektif teori harapan (expectancy), kinerja adalah merupakan hasil perkalian dari motivasi dan kemampuan (ability) (Gibson, 1997). Hasil Lokakarya Nasional Peningkatan Fungsi dan Kinerja Posyandu sebagaimana telah disampaikan melalui Surat Menteri Dalam Negeri No. 411.1/1180/PMD tanggal 25 Agustus 2000, maka Revitalisasi Posyandu perlu dilanjutkan dan ditingkatkan. Dengan demikian upaya akselerasi terhadap pelaksanaan Revitalisasi Posyandu masih perlu guna mendukung dan membina terselenggaranya pelayanan kesehatan dasar yang merata dan terjangkau oleh masyarakat (Depkes RI, 2001). Tujuan revitalisasi posyandu adalah untuk mengoptimalkan fungsi Posyandu dalam rangka meningkatkan gizi maupun derajat kesehatan ibu dan anak sebagai upaya mencegah terjadinya kehilangan generasi penerus melalui percepatan penurunan angka kematian ibu dan anak.
Kinerja yang baik merupakan salah satu sasaran organisasi dalam mencapai produktifitas yang tinggi. Tercapainya kinerja yang baik tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusia yang baik pula. Kinerja merupakan suatu yang lazim digunakan untuk memantau produktivitas kerja sumber daya manusia baik yang berorientasi produksi barang, jasa maupun pelayanan. Demikian halnya perwujudan kinerja yang membanggakan juga sebagai imbalan intrinsik. Hal ini akan berlanjut terus dalam bentuk kinerja berikutnya dan seterusnya. Agar dicapai kinerja yang profesional maka perlu dikembangkan hal-hal seperti : kesukarelaan, pengembangan diri pribadi, pengembangan kerjasama saling menguntungkan serta partisipasi seutuhnya (Wangmuba, 2009).
Perlunya kader di dalam setiap kegiatan Posyandu seperti kunjungan rumah kepada masyarakat dibutuhkan kader yang aktif dan terlatih dengan harapan untuk mendapatkan suatu hasil yang bisa dikembangkan sebagai upaya revitalisasi Posyandu di Kecamatan X, sehingga masyarakat tidak ragu-ragu untuk memakai pelayanan Posyandu. Berdasarkan uraian diatas, maka perlu dilakukan determinan kinerja kader Posyandu dalam menuju Revitalisasi Posyandu di Kecamatan X.

B. Permasalahan
Perlunya kader yang aktif dan terlatih di setiap Posyandu dalam meningkatkan revitalisasi Posyandu sangat berpengaruh terhadap program revitalisasi Posyandu, sehingga masyarakat akan memanfaatkan pelayanan Posyandu. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui determinan kinerja kader Posyandu dalam menuju Revitalisasi Posyandu di Kecamatan X.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis determinan kinerja kader Posyandu dalam menuju Revitalisasi Posyandu di Kecamatan X.

D. Hipotesis
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah : 
1. Ada hubungan umur, pendidikan dan pekerjaan dengan kinerja kader Posyandu di Kecamatan X 
2. Ada hubungan motivasi kader Posyandu dengan kinerja kader posyandu di Kecamatan X

E. Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam meningkatkan dan pemberdayaan posyandu guna tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal.
2. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat tentang manfaat Revitalisasi Posyandu di Kecamatan X.
3. Sebagai bahan informasi ilmiah dan bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN RUMAH TANGGA SEHAT

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN RUMAH TANGGA SEHAT

(KODE : PASCSARJ-0240) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PELAKSANAAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN RUMAH TANGGA SEHAT(PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk mencapai visi Indonesia sehat 2010 yaitu masa depan dimana bangsa Indonesia hidup dalam lingkungan sehat, penduduknya berperilaku hidup bersih dan sehat, mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata, sehingga memiliki derajat kesehatan yang optimal. Pembangunan kesehatan dilandaskan kepada paradigma sehat. Paradigma sehat yang akan mengarahkan pembangunan kesehatan untuk lebih mengutamakan upaya-upaya peningkatan kesehatan (promotif) dan pencegahan penyakit (preventif), tanpa mengenyampingkan upaya-upaya penanggulangan atau penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) (Depkes RI, 2004).
Sehat adalah hak azasi manusia, dan sekaligus memiliki kontribusi yang besar untuk meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM). Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan bagi semua pihak untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan demi kesejahteraan seluruh masyarakat Indonesia (Depkes RI, 2004).
Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan yang optimal. Dalam mencapai tujuan tersebut telah ditetapkan kebijakan dan visi Indonesia Sehat 2010. Visi Indonesia Sehat 2010 yaitu gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ditandai oleh penduduk hidup dalam lingkungan yang sehat, produktif, memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya diseluruh wilayah Republik Indonesia. Promosi kesehatan merupakan pilar utama dari visi Indonesia sehat 2010, bahkan dapat dikatakan sebagai pilar terpenting karena dengan perilaku hidup bersih dan sehat, akan tercipta pilar-pilar yang lain yaitu pilar lingkungan sehat dan pilar pelayanan kesehatan yang bermutu (Depkes RI, 2004).
Untuk mewujudkan visi Indonesia Sehat 2010, ditetapkan 4 misi pembangunan kesehatan yaitu : 1) menggerakkan pembangunan nasional berwawasan kesehatan, 2) mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat, 3) memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau, 4) memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta lingkungannya (Depkes RI, 2004).
Guna mendukung pencapaian visi Indonesia Sehat telah dilakukan revisi terhadap Sistem Kesehatan Nasional. Dengan keputusan menteri kesehatan nomor 131/menkes/sk/II/2004 tahun 2004 telah ditetapkan sistem kesehatan nasional yang baru sebagai pengganti sistem kesehatan nasional yang ditetapkan pada tahun 1984 salah satu subsistem yang baru adalah subsistem pemberdayaan masyarakat. Subsistem yang baru dapat menghasilkan keluaran berupa perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat sebagai salah satu pilar atau sokoguru utama dari visi Indonesia sehat 2010 (Depkes RI, 2005).
Dengan memperhatikan dasar-dasar pembangunan kesehatan dan untuk mencapai sasaran pembangunan kesehatan tersebut, departemen kesehatan menetapkan visi yaitu masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat. Untuk mewujudkan visi tersebut ditetapkan mi si Depkes yaitu : membuat rakyat sehat dengan menganut dan menjunjung tinggi nilai-nilai : 1) Berpihak pada rakyat, 2) Bertindak cepat dan tepat, 3) Kerjasama tim, 4) Integritas yang tinggi, 5) Transparan dan akuntabel. Visi dan misi Depkes dilaksanakan dengan strategi sebagai berikut : 1) Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, 2) Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, 3) Meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, 4) Meningkatkan pembiayaan kesehatan (Depkes RI, 2006).
Dalam keputusan SK Menkes No. 128/Menkes/SK/II/2004 tentang kebijakan dasar pusat kesehatan masyarakat disebut bahwa salah satu fungsi Puskesmas adalah sebagai pusat pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian maka dapat dimengerti bila disebutkan pula bahwa promosi kesehatan merupakan salah satu upaya wajib dilaksanakan di Puskesmas yaitu : promosi kesehatan, KIA dan KB, perbaikan gizi, pemberantasan penyakit menular, kesehatan lingkungan dan pengobatan, ini berarti bahwa setiap petugas kesehatan di Puskesmas memiliki kewajiban untuk melaksanakan salah satu dari strategi promosi kesehatan yaitu pemberdayaan masyarakat terutama terhadap individu (pasien/klien) dan masyarakat.
Program promosi kesehatan merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran diri, oleh, untuk dan bersama masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang bersumber dari masyarakat, sesuai dengan budaya dan didukung oleh kebijakan public yang berwawasan kesehatan. Menolong diri sendiri artinya masyarakat mampu berperilaku mencegah timbulnya masalah-masalah dan gangguan kesehatan, memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya, serta mampu berperilaku mengatasi apabila masalah dan gangguan kesehatan tersebut terlanjur datang (Depkes RI, 2005).
Program promosi kesehatan mempunyai visi perilaku hidup bersih dan sehat 2010, dan didukung oleh misi promosi kesehatan yaitu 1) memberdayakan individu, keluarga dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, baik melalui pendekatan individu, keluarga maupun melalui pengorganisasian dan penggerakan masyarakat, 2) membina suasana atau lingkungan yang kondusif bagi terciptanya perilaku hidup bersih dan masyarakat yang sehat, 3) mengadvokasikan para pengambil keputusan dan penentu kebijakan serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Untuk mencapai visi dan misi program promosi menggunakan strategi 1) advokasi, 2) bina suasana, 3) pemberdayaan. Pada hakekatnya program promosi kesehatan adalah penopang utama bagi setiap program kesehatan. Dengan kata lain promosi kesehatan, walaupun berdiri sendiri sebagai salah satu program kesehatan, tetapi tidak berjalan sendiri. 
Promosi kesehatan harus selalu bergandengan tangan dengan setiap program kesehatan dalam rangka mencegah timbulnya masalah baru, dan mengatasi masalah yang sudah terlanjur ada, serta memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2005).
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan program prioritas dari promosi kesehatan. Dan mempunyai 5 tatanan yaitu : 1) Tatanan rumah tangga sehat, 2) Tatanan institusi pendidikan, 3) Tatanan instansi kesehatan, 4) Tatanan tempat-tempat umum 5) Tatanan tempat kerja (Depkes RI, 2005).
Perilaku hidup bersih dan sehat di rumah tangga adalah upaya memberdayakan anggota rumah tangga agar tahu mau dan mampu mempraktekkan hidup bersih dan sehat, serta berperan aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Menurut Depkes RI tahun 2007 indikator dari tatanan rumah tangga sehat terdiri dari : 1) persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan 2) memberi bayi asi eksklusif, 3) menimbang bayi dan balita setiap bulan, 4) menggunakan air bersih 5) mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, 6) menggunakan jamban sehat, 7) makan sayur dan buah setiap hari, 8) melakukan memberantas jentik nyamuk, 9) melakukan aktifitas fisik setiap hari, 10) tidak merokok di dalam rumah. Perilaku hidup bersih dan sehat di rumah tangga mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan anggota keluarga, mencegah risiko terjadinya penyakit dan melindungi diri dari ancaman penyakit. PHBS di rumah tangga merupakan proses pemberdayaan keluarga untuk terwujudnya rumah tangga sehat. PHBS di rumah tangga merupakan salah satu kewenangan wajib standar pelayanan minimal bidang kesehatan bagi pemerintah kabupaten/kota sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2005. PHBS di rumah tangga merupakan langkah strategis untuk mempercepat tercapainya rumah tangga sehat, desa sehat, kecamatan sehat, kabupaten/kota sehat, provinsi sehat dan Indonesia sehat (Depkes RI, 2008).
Sesuai dengan strategi Indonesia sehat 2010 dan kebutuhan pembangunan sektor kesehatan di era desentralisasi, Depkes pusat telah menetapkan visi dan misi puskesmas. Visi pembangunan kesehatan melalui puskesmas adalah terwujudnya kecamatan sehat tahun 2010. Puskesmas berfungsi sebagai penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat dan keluarga dalam pembangunan kesehatan, dan sebagai pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama program. Puskesmas tercakup dalam program kesehatan dasar atau program ini ditetapkan sesuai dengan kebutuhan sebagian besar masyarakat dan masalah kesehatan masyarakat yang berpotensi berkembang di wilayah kerjanya serta untuk mendukung tercapainya kecamatan sehat 2010 (Muninjaya, 2004).
Tugas pokok tenaga promosi kesehatan adalah : 1) melaksanakan pengkajian, 2) perencanaan yaitu rumusan masalah dengan tujuan peningkatan perilaku yang diinginkan meliputi kegiatan intervensi terhadap faktor penyebab penyakit, 3) penggerak pelaksanaan adalah kesiapan kegiatan pra pelaksanaan yaitu sarana dan pelaksanaan kegiatan sesuai rencana, 4) pemanfaatan fokus yang pemantauan pra pelaksanaan dan apabila ada penyimpangan segera dilakukan perbaikan, 5) penilaian fokusnya pada perbaikan rencana yang perlu dilihat keseluruhan komponen rumusan tujuan, jenis kegiatan intervensi dan lain-lain, 6) pelaporan keseluruhan proses dan komponen termasuk tujuan yang dicapai, sumber daya yang digunakan, dan lain-lain (Depkes RI, 2005).
Promosi kesehatan mempunyai peran yang sangat penting dalam proses pemberdayaan kesehatan masyarakat, yaitu bersama masyarakat, sesuai dengan lingkungan sosial budaya setempat, agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri dibidang kesehatan. Promosi kesehatan juga berperan dalam proses peningkatan kualitas tenaga kesehatan agar lebih responsif dan mampu memberdayakan masyarakat, sehingga akan tercapai pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa promosi kesehatan merupakan pembangunan pilar utama dari visi Indonesia Sehat 2010, yaitu pilar perilaku sehat. Dan pilar ketiga pelayanan kesehatan akan ikut berkembang menuju tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang optimal (Depkes RI, 2004).
Namun dalam melaksanakan tugasnya ada hambatan-hambatan yang di jumpai yaitu : 1) Puskesmas X hanya mempunyai satu petugas promosi kesehatan, 2) Terbatasnya jangkauan untuk membina wilayah kerja Puskesmas X seperti sarana transportasi dan alat peraga, 3) Terbatasnya dana untuk membina masyarakat dan melaksanakan kegiatan promosi kesehatan.
Berdasarkan pada kenyataan di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian di Puskesmas X mengenai program promosi kesehatan yaitu faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat di wilayah kerja Puskesmas X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, perumusan masalah penelitian ini adalah ada faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat di wilayah kerja Puskesmas X.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat di wilayah kerja Puskesmas X.

D. Hipotesis Penelitian
Ada hubungan antara faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan program promosi kesehatan rumah tangga yang sehat.

E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian, maka manfaat penelitian ini sebagai berikut : 
1. Untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas X tentang rumah tangga yang sehat agar dapat terhindar dari penyakit.
2. Sebagai bahan kajian dan masukan bagi petugas pelaksana program kesehatan di Puskesmas dan Puskesmas Pembantu.

TESIS PENGARUH KOMPETENSI TERHADAP KINERJA PETUGAS PROMOSI KESEHATAN PUSKESMAS DI DINAS KESEHATAN

TESIS PENGARUH KOMPETENSI TERHADAP KINERJA PETUGAS PROMOSI KESEHATAN PUSKESMAS DI DINAS KESEHATAN

(KODE : PASCSARJ-0208) : TESIS PENGARUH KOMPETENSI TERHADAP KINERJA PETUGAS PROMOSI KESEHATAN PUSKESMAS DI DINAS KESEHATAN (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)


BAB 1 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan Indonesia bertujuan memandirikan masyarakat untuk hidup sehat. Perilaku hidup sehat dapat ditingkatkan melalui berbagai kegiatan penyuluhan dan pendidikan kesehatan agar menjadi bagian dari norma hidup dan budaya masyarakat. Salah satu strategi utama Departemen Kesehatan adalah menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat (Hapsara, 2004).
Derajat kesehatan di Indonesia tiga dekade ini, telah mengalami peningkatan yang bermakna, tetapi bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga, maka peningkatan tersebut masih terhitung rendah. Permasalahan utama yang dihadapi adalah masih rendahnya kualitas kesehatan masyarakat yang terlihat pada Rencana strategi Depkes. RI 2005-2009, dengan masih tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) : 32/1000 kelahiran hidup (2005), Angka Kematian Ibu (AKI) : 262/100.000 kelahiran hidup dan Usia Harapan Hidup (UHH) : 69 tahun (Departemen Kesehatan RI, 2005).
Strategi untuk mencapai Visi Indonesia Sehat 2010 adalah dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan sasaran utamanya antara lain di setiap desa tersedia Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan yang kompeten dan pelayanan kesehatan di setiap Rumah Sakit, Puskesmas, dan jaringannya memenuhi standar mutu (Fahriadi, 2006).
Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan dengan kinerja terbaik dari tenaga promosi kesehatan dan tenaga kesehatan lain. Namun, pelayanan kesehatan yang terjangkau dan bermutu masih sulit dilaksanakan. Tidak jarang didengar tentang buruknya praktek pelayanan yang diberikan tenaga kesehatan kepada masyarakat baik di Rumah Sakit, Puskesmas, maupun klinik-klinik pelayanan kesehatan. Adanya tenaga kesehatan tidak mengerjakan yang seharusnya mereka kerjakan dan ada tenaga kesehatan yang mengerjakan sesuatu yang seharusnya bukan wewenangnya/kompetensinya.
Tenaga kesehatan merupakan sumber daya manusia kesehatan yang pada satu sisi adalah unsur penunjang utama dalam pelayanan kesehatan, pada sisi lain ternyata kondisi kualitas saat ini masih kurang. Kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan dalam membuat perencanaan pelayanan kesehatan serta sikap perilaku dalam mengantisipasi permasalahan kesehatan yang terjadi, ternyata tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Hal ini dapat dilihat bahwa masih lemahnya tingkat kinerja aparatur pelayanan publik dalam pelayanan kesehatan (Fahriadi, 2003).
Kinerja diartikan sebagai hasil usaha seseorang yang dicapainya dengan adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Jadi kinerja merupakan hasil keterkaitan antara usaha, kemampuan dan persepsi tugas (Byars, 1994). Menurut Prawirosentono (1992), kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Kinerja individu maupun kelompok karyawan merupakan kontribusi untuk meningkatkan kinerja suatu organisasi, sebab kinerja organisasi merupakan sekumpulan prestasi-prestasi yang diberikan oleh seluruh bagian yang terkait dengan aktivitas bisnis.
Kinerja merupakan salah satu ukuran dari perilaku yang aktual di tempat kerja yang bersifat multidimensional, dimana indikator kinerja meliputi kualitas kerja, kuantitas kerja, waktu kerja dan kerja sama dengan rekan kerja (Mathis dan Jackson, 2002).
Hasil penelitian menunjukkan variabel kompetensi skill teknis, kompetensi skill non teknis, knowledge dan ability mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kinerja karyawan. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Kartikawangi (2002) dalam sebuah jurnal dengan judul Karakteristik SDM yang Dibutuhkan Dunia Industri/Organisasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan karakteristik dasar yang dibutuhkan oleh perusahaan mencakup karakteristik umum (demografi) dan karakteristik khusus yang mencakup Knowledge, Skill, Ability dan Others (Wardah, 2007)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi adalah kemampuan dan kemauan untuk melakukan sebuah tugas dengan kinerja yang efektif. Kesimpulan ini sesuai dengan yang dikatakan Michael Armstrong (1998), bahwa kompetensi adalah knowledge, skill dan kualitas individu untuk mencapai kesuksesan pekerjaannya.
Kompetensi sangat perlu dipahami petugas promosi kesehatan Puskesmas dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Menurut Linda (1999), kompetensi adalah kombinasi spesifik antara pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengerjakan suatu kegiatan khusus. Ada dua aspek yang perlu dipertimbangkan dalam kegiatan promosi kesehatan yaitu aspek teknis dan aspek keterampilan.
Puskesmas merupakan organisasi kesehatan tingkat kecamatan. Berhasil tidaknya Puskesmas mencapai visi dan misinya secara berkelanjutan sangat tergantung pada kualitas SDM. Beberapa pakar berpendapat bahwa SDM yang berkualitas adalah SDM yang minimal memiliki empat karakteristik yaitu (1) competency (knowledge, skill, abilities dan experience) yang memadai; (2) commitment organisasi; (3) selalu bertindak cost-effectiveness dalam setiap aktivitasnya, dan (4) congruence of goals yaitu bertindak selaras antara tujuan pribadinya dengan tujuan organisasi (Lako dan Sumaryati, 2002).
Upaya kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas adalah upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan. Sekurang-kurangnya ada enam jenis pelayanan kesehatan masyarakat tingkat dasar yang harus dilaksanakan yaitu upaya promosi kesehatan; pelayanan kesehatan ibu dan anak dan pelayanan keluarga berencana; perbaikan gizi; kesehatan lingkungan; pemberantasan penyakit menular dan pelayanan pengobatan dasar. Upaya promosi kesehatan masyarakat yang bersifat peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) masih kurang. Upaya pemberdayaan kesehatan masyarakat belum terselenggara secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan (Departemen Kesehatan, 2004).
Berbagai upaya kesehatan telah dilakukan pemerintah dalam rangka penyediaan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat peningkatan (promotif) dan pencegahan (preventif) masih belum optimal di Puskesmas. Sampai saat ini upaya kesehatan masih dititikberatkan pada upaya kuratif sehingga masih dirasakan kurangnya upaya kesehatan bersifat promotif dan preventif (Hapsara, 2004).
Kondisi di atas disebabkan karena jumlah SDM kesehatan belum memadai. Rasio tenaga kesehatan dengan jumlah penduduk masih rendah. Mutu SDM masih membutuhkan pembenahan. Hal ini tercermin dari kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Puskesmas belum optimal (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Promosi kesehatan Puskesmas merupakan upaya Puskesmas melaksanakan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan setiap individu, keluarga serta lingkungannya secara mandiri dan mengembangkan upaya kesehatan bersumber masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2007).
Upaya pemberdayaan kesehatan masyarakat yang dilakukan melalui kegiatan antara lain : pendekatan advokasi kesehatan, bina suasana masyarakat dan gerakan pemberdayaan masyarakat. Pendekatan tersebut dapat dilakukan kepada masyarakat, oleh tenaga promosi kesehatan masyarakat di Puskesmas dengan kegiatan kampanye kesehatan, melalui penyebarluasan informasi kesehatan (penyuluhan) untuk kelompok masyarakat, individual dan keluarga (Notoatmodjo, 2005).
Tenaga promosi kesehatan masyarakat Puskesmas adalah tenaga kesehatan masyarakat yang diberikan tugas untuk menangani program promosi kesehatan masyarakat di Puskesmas. Sebagian dari tugas pokok Puskesmas adalah melaksanakan upaya kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas dan melakukan pembinaan kesehatan masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 2004).
Sesuai Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1114/Menkes/SK/VII/2005, tentang pedoman pelaksanaan promosi kesehatan di daerah disebutkan bahwa standar khusus promosi kesehatan untuk Puskesmas adalah : satu orang tenaga diploma tiga kesehatan ditambah minat dan bakat di bidang promosi kesehatan (Departemen Kesehatan RI, 2007).
Menurut hasil penelitian terhadap Puskesmas di 10 provinsi yang dilakukan Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia (2005) menunjukkan, petugas kesehatan di Puskesmas lebih banyak melakukan tugas tambahan dibandingkan tugas pokok dan fungsinya. Hal ini terlihat dari data bahwa 78,8% tenaga kesehatan melaksanakan tugas petugas kebersihan dan 63,3% melakukan tugas administrasi (Departemen Kesehatan, 2006). Demikian juga dengan petugas promosi kesehatan, masih lebih banyak mengerjakan tugas administrasi dan kebersihan dibandingkan tugas pokok dan fungsinya sebagai penyuluh kesehatan atau promosi kesehatan.
Pusat promosi kesehatan dalam perkembangannya melihat beberapa hal yang perlu dibenahi sesuai dengan tugas pokok promosi kesehatan dan kebijakan promosi kesehatan, serta masalah-masalah yang menyangkut kesehatan. Masalah yang penting dan perlu disikapi adalah kurang fokus dan konsisten program promosi kesehatan dalam pencapaian indikator PHBS 65% tahun 2010, sukar merubah mind-set paradigma sakit ke paradigma sehat, masih lemah kemauan dan kemampuan dalam menyusun rencana promosi kesehatan, kurang mampu memahami konsep promosi kesehatan, koordinasi antar pusat dan provinsi serta antar provinsi dengan daerah yang masih kurang serta terbatasnya sumber daya yang dapat menunjang upaya promosi kesehatan (Departemen Kesehatan, 2007).
Target pencapaian program promosi kesehatan berdasarkan kewenangan wajib dan Standar Pelayanan Minimal bidang kesehatan Kota/Kabupaten. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tatanan rumah tangga sebesar 65%, pemberian ASI eksklusif sebesar 80%, posyandu purnama sebesar 40% sesuai dengan target pencapaian secara Nasional (Hapsara, 2004).
Pada sebuah organisasi yaitu puskesmas, agar para petugas promosi kesehatan dapat bekerja secara produktif dan efektif diperlukan suatu program pendidikan dan pelatihan yang berguna untuk mencapai tujuan organisasi dengan menggunakan sumberdaya manusia. Di kota X pendidikan dan pelatihan tenaga promosi kesehatan masih sangat minim hal ini sangat mempengaruhi kemampuan dan keterampilan petugas dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai petugas promosi kesehatan.
Peneliti pada observasi awal juga menemukan, 30% petugas masih sering meninggalkan pekerjaan sehingga pelaksanaan administrasi terkendala, pengangkatan petugas promosi kesehatan puskesmas tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan pelatihan yang dimiliki. Pelaksanaan penyuluhan di puskesmas masih sangat minim idealnya pelaksanaan tersebut dilakukan mulai dari ruangan pendaftaran, ruang tunggu, ruang pemeriksaan, ruang pengambilan obat sampai masyarakat pulang kenyataannya di puskesmas kota X hal itu tidak terlaksana. Poster di ruang tunggu, ruang pemeriksaan dan ruang pengobatan masih sangat minim. Poster-poster yang terdapat di ruang tunggu, ruang pemeriksaan dan ruang pengobatan adalah poster yang berasal dari Depkes Pusat dan tidak ada ditemukan poster atau tulisan yang buat oleh petugas promosi kesehatan itu sendiri. Demikian halnya dengan peralatan yang dapat menunjang pelaksanaan penyuluhan kesehatan masih jauh dari yang di harapkan. Hal ini menunjukkan kurangnya kompetensi yang dimiliki oleh petugas promosi kesehatan puskesmas.
Jumlah Puskesmas induk 7 dan Puskesmas pembantu sebanyak 10 jumlah tenaga promosi kesehatan masyarakat di Puskesmas 34 orang. Jumlah posyandu 241, jumlah tenaga kader posyandu 1205 orang. Kategori Posyandu pratama sebanyak 25 (10,4%), madya 146 (60,4%), dan purnama 70 (29%), tenaga kader yang aktif sebanyak 753 (62,4%) dan tidak aktif sebesar 38,6%. Data menunjukkan bahwa sebagian besar posyandu belum kategori baik. Hal ini kemungkinan terjadi karena kurangnya pembinaan yang dilakukan oleh tenaga promosi kesehatan masyarakat di Puskesmas, terbatasnya kemampuan petugas kesehatan dan kader posyandu serta kurangnya anggaran pembinaan posyandu (Dinas Kesehatan Kota X, 2007).
Hasil wawancara singkat dengan petugas promosi kesehatan pada tanggal 12 Februari 2008 di Dinas Kesehatan Kota X menyatakan bahwa rendahnya kinerja tenaga promosi kesehatan masyarakat di Puskesmas di sebabkan beberapa antara lain : faktor lingkungan kerja dan kompetensi petugas kesehatan belum memadai, tingkat pendidikan petugas promosi kesehatan mayoritas tingkat sekolah lanjutan atas, yang seyogyanya minimal memiliki pendidikan Diploma tiga Kesehatan. Masalah lain yang dihadapi oleh tenaga kesehatan pada program promosi kesehatan di Puskesmas masih dibebani dengan tugas lain, seperti : memberi imunisasi, melaksanakan kegiatan administrasi, membersihkan Puskesmas dan lingkungan, memeriksa dan memberikan terapi terhadap pasien. Kondisi ini juga mungkin diakibatkan oleh kompetensi yang belum mendukung pencapaian target promosi kesehatan yang optimal.
Pada tanggal 17 Maret 2009 dilakukan wawancara dengan petugas kesehatan dan kasi Promosi Kesehatan di kota X diketahui bahwa belum ada kebijakan Pemerintah kota X khusus tentang pembiayaan kegiatan promosi kesehatan, Puskesmas belum memiliki peralatan standar promosi kesehatan yang memadai, kurangnya kemauan dan kreativitas tenaga promosi kesehatan yang ada.
Berdasarkan data di atas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh kompetensi terhadap kinerja tenaga promosi kesehatan Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota X.

B. Permasalahan Penelitian
Apakah kompetensi berpengaruh terhadap kinerja tenaga promosi kesehatan Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh kompetensi terhadap kinerja tenaga promosi kesehatan Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota X.

D. Hipotesis Penelitian
Kompetensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja tenaga promosi kesehatan Puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota X.

E. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan data kompetensi dan kinerja tenaga promosi kesehatan Puskesmas di Dinas Kesehatan Kota X.
2. Sebagai bahan masukan bagi perencana Dinas Kesehatan Kota X untuk menyusun program promosi kesehatan
3. Sebagai bahan masukan bagi petugas promosi kesehatan Puskesmas, untuk meningkatkan kinerja.
4. Sebagai referensi bagi peneliti lain untuk dapat melakukan penelitian lebih lanjut.

TESIS STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDIKATOR KELUARGA SADAR GIZI

TESIS STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDIKATOR KELUARGA SADAR GIZI

(KODE : PASCSARJ-0207) : TESIS STATUS GIZI BALITA BERDASARKAN INDIKATOR KELUARGA SADAR GIZI (KADARZI) DI KELURAHAN X (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)


BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memiliki anak yang sehat dan cerdas adalah dambaan setiap orang tua. Untuk mewujudkannya tentu saja orangtua harus selalu memperhatikan, mengawasi, dan merawat anak secara seksama, khususnya memperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya. Meskipun proses tumbuh kembang anak berlangsung secara alamiah, proses tersebut sangat bergantung kepada orang dewasa atau orangtua. Masa lima tahun pertama (masa balita) adalah periode penting dalam tumbuh kembang anak dan merupakan masa yang akan menentukan pertumbuhan fisik, psikis maupun intelengensinya (Sulistijadi dkk, 2001).
Menurut Depkes (2005) dapat disimpulkan bahwa balita merupakan kelompok yang paling rawan terhadap terjadinya kekurangan gizi. Kurang gizi pada masa balita dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial, dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa. Kekurangan gizi juga menyebabkan keterlambatan pertumbuhan badan, keterlambatan perkembangan otak, dan dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan terhadap penyakit infeksi.
Berdasarkan pendapat Berg A (1986) dapat disimpulkan gizi kurang dapat mengakibatkan terpengaruhnya perkembangan mental, perkembangan jasmani, produktivitas. Anak-anak yang gizi buruk memiliki otak yang lebih kecil dari ukuran rata-rata otak. Jumlah sel-sel otak anak-anak yang gizi buruk 15-20 persen lebih kecil dibandingkan dengan anak-anak yang cukup makan. Anak yang pernah satu kali terkena gizi kurang, akan kurang berkemampuan dalam tes mental di belakang hari dibandingkan dengan anak yang gizi baik, dan anak yang gizi kurang menjadi terbelakang, sampai ia tidak sanggup lagi menyesuaikan diri dengan situasi sekolah.
Menurut laporan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) tahun 2006 jumlah balita gizi buruk di Indonesia berjumlah 2,3 juta jiwa, kasus gizi buruk meningkat sekitar 500.000 jiwa dibandingkan dengan data tahun 2004/2005 sejumlah 1,8 juta jiwa. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke 111 untuk Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) dari 177 negara yang dinilai. Angka ini jauh lebih rendah dari pada Malaysia (59), Thailand (76), atau Filipina (73). Rendahnya HDI mencerminkan bahwa tingkat pendidikan, kesehatan, dan pendapatan per Kapita penduduk Indonesia masih rendah, Masalah ini sangat erat kaitannya dengan keadaan gizi penduduk.
Menurut pendapat (Panji; 2004, UNICEF; 2006 dan Ikayana; 2008) dapat disimpulkan pada tahun 2000 diperkirakan ada 25% anak Indonesia mengalami gizi kurang, 7% diantaranya gizi buruk, sekitar 50% ibu hamil menderita anemia gizi, sementara itu masih terdapat kecamatan endemik berat meskipun prevalensinya sudah dapat diturunkan menjadi 9,8%. Pada tahun 2003 lima juta balita (27,5%) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2%) diantaranya berada pada tingkat gizi kurang dan 1,5 juta (8,3%) sisanya mengalami gizi buruk. Pada tahun 2004 dari 17.983.244 balita di Indonesia 5.119.935 (28,47%) balita termasuk gizi kurang dan buruk. Pada tahun 2006 kasus gizi kurang menjadi 4,2 juta (944.246 diantaranya kasus gizi buruk) dan pada tahun 2007 kasus gizi buruk berkurang menjadi 4,1 juta (755.397 diantaranya kasus gizi buruk).
Wilayah kerja Puskesmas X meliputi lima kelurahan. Berdasarkan data yang diperoleh dari operasi timbang Puskesmas (Desember 2008) diketahui Kelurahan Y merupakan kelurahan yang banyak terdapat kasus gizi buruk yaitu dari 1.742 balita yang ditimbang terdapat 36 balita gizi buruk dan 187 balita gizi kurang, di kelurahan Paya Pasir dari 708 balita di timbang terdapat 56 balita gizi kurang dan 11 balita gizi buruk, di kelurahan Rengas Pulau dari 1.240 balita yang ditimbang terdapat 37 balita gizi kurang dan 7 balita gizi buruk, di kelurahan X dari 738 balita yang ditimbang terdapat 54 balita gizi kurang dan 6 balita gizi buruk (Puskesmas X, 2008).
Masalah gizi berdampak terhadap kualitas sumber daya manusia yang sangat diperlukan dalam pembangunan, maka tujuan jangka panjang program perbaikan gizi diarahkan untuk tercapainya keadaan gizi yang optimal bagi seluruh penduduk yang dicerminkan dengan semakin meningkatnya jumlah keluarga yang berperilaku gizi seimbang. Keluarga sadar gizi (Kadarzi) adalah cerminan keluarga gizi yang mendukung terciptanya keadaan gizi yang optimal anggota keluarganya (Panji, 2004)
Tahun 1998 telah dicanangkan Program Kadarzi yang dimotori oleh Depkes. Kadarzi merupakan sasaran program perbaikan gizi dalam rangka pencegahan dan penanggulangan masalah gizi. Dengan adanya program keluarga sadar gizi diharapkan dapat menurunkan prevalensi gizi kurang setinggi-tingginya 20% (Dinkes, 2005)
Menurut Depkes (2007) untuk mengatasi masalah gizi salah satunya adalah melalui keluarga sadar gizi (Kadarzi). Keluarga sadar gizi merupakan keluarga yang mampu mengenal, mencegah dan mengatasi masalah gizi di tingkat kelurahan atau rumah tangga melalui : Memantau berat badan secara teratur, makan beraneka ragam, mengkonsumsi garam beryodium dalam masakan, hanya memberikan ASI saja sampai bayi berusia enam bulan dan memberikan kapsul vitamin A kepada balita.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang Kesehatan 2005-2009 menetapkan 4 (empat) sasaran pembangunan kesehatan, satu diantaranya adalah menurunkan prevalensi gizi kurang menjadi setinggi-tingginya 20%. Guna mempercepat pencapaian sasaran tersebut, di dalam Rencana Strategis Departemen Kesehatan 2005-2009 telah ditetapkan 4 strategi utama, yaitu Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, dan meningkatkan pembiayaan kesehatan. Selanjutnya dari empat strategi utama tersebut telah ditetapkan 17 sasaran prioritas, satu diantaranya adalah seluruh keluarga menjadi Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) (Depkes, 2007)
Program Kadarzi bertujuan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan ibu rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan gizi anggota keluarga dan di dalam Undang-undang nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan di dalam visi Indonesia Sehat 2010, ditetapkan bahwa 80% keluarga menjadi Keluarga Mandiri Sadar Gizi (Kadarzi), karena keluarga mempunyai nilai yang amat strategis dan menjadi inti dalam pembangunan seluruh masyarakat, serta menjadi tumpuan dalam pembangunan manusia seutuhnya (Panji, 2004).
Kelurahan Y merupakan salah satu dari lima kelurahan yang termasuk dalam wilayah kerja puskesmas X. Berdasarkan survei awal yang di lakukan pada tahun 2007 telah berjalan program Kadarzi. Kegiatan pelaksanaan program Kadarzi ini meliputi pemetaan Kadarzi dan konseling Kadarzi yang di lakukan setiap enam bulan sekali. Meskipun program Kadarzi sudah berjalan selama satu tahun namun berdasarkan hasil penimbangan balita (BB/U) bulan Desember 2008 di kelurahan Y masih banyak terdapat kasus gizi buruk yaitu dari 1.742 balita yang ditimbang terdapat 187 balita gizi kurang dan 36 balita gizi buruk.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis merasa perlu mengetahui hubungan tingkat Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) dengan status gizi balita di kelurahan Y, sehingga di peroleh suatu strategi penanggulangan gizi buruk yang tepat berdasarkan keadaan yang sesungguhnya di lapangan dan diharapkan dapat menjadi masukan untuk membuat prioritas program yang tepat dan efektif sesuai kemampuan daerah.

B. Permasalahan
Apakah tingkat Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi) berhubungan dengan status gizi balita di Kelurahan Y.

C. Tujuan penelitian
Mengetahui status gizi balita berdasarkan indikator keluarga sadar gizi (Kadarzi) di Kelurahan Y.

D. Hipotesis
Ada hubungan signifikan status gizi balita dengan indikator keluarga sadar gizi (memantau berat badan, makan makanan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium, memberikan ASI eksklusif, memberikan kapsul vitamin A pada balita)

E. Manfaat Penelitian
1. Memberi masukan kepada Dinas Kesehatan dalam membuat suatu rencana strategi penanggulangan gizi buruk menuju keluarga sadar gizi.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pihak Puskesmas untuk membuat prioritas dan lebih intensif dalam pembinaan keluarga dalam meningkatkan kesadaran gizi.