Search This Blog

Showing posts with label BMT. Show all posts
Showing posts with label BMT. Show all posts
TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (STUDI KASUS BMT)

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (STUDI KASUS BMT)

(KODE : PASCSARJ-0265) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBIAYAAN PADA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (STUDI KASUS BMT) (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Resesi perekonomian Indonesia pada tahun 1997 secara nyata menunjukkan bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah memberi pelajaran penting tentang kondisi ekonomi Indonesia sebenarnya. Perekonomian negeri ini ternyata di kuasai sektor korporasi atau usaha besar yang di kuasai segelintir orang. Sementara itu di sisi lain, pilar pembangunan ekonomi lainnya seperti usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tidak mendapat perhatian yang cukup dari pemerintah. Namun, ironisnya ketika terjadi krisis terbukti sektor korporasi tidak mampu bertahan dengan baik, justru UMKM yang tadinya di anggap kurang berperan dalam perekonomian nasional terbukti lebih mampu bertahan menghadapi gejolak perekonomian yang mengarah pada krisis multidimensi tersebut. Dengan fakta tersebut, seharusnya pemerintah lebih memperhatikan sektor ini dengan melahirkan paradigma pengembangan sarana penunjang sektor UMKM yakni lembaga keuangan mikro (LKM) yang sustainable.
Di lain sisi, kita patut bersyukur bahwa saat ini perkembangan industri keuangan syariah telah tumbuh dan berkembang di Indonesia. Perkembangannya sendiri secara informal telah di mulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah.
Selain perbankan syariah dan asuransi syariah saat ini telah banyak lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) sebagai lembaga keuangan Non-Bank yang telah menunjukkan tajinya. LKMS ini bernama BMT yakni Balai Usaha Mandiri Terpadu atau lebih di kenal dengan istilah Baitul Maal wat Tamwil. BMT menggunakan prinsip-prinsip syariah dan bebas dari unsur riba yang diharamkan di dalam Islam. Adapun fungsi lembaga ini adalah sebagai pendukung peningkatan kualitas usaha ekonomi pengusaha mikro dan pengusaha kecil yang berdasarkan sistem syariah. Menurut Madjid kegiatan BMT untuk mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil antara lain dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya (hal. 182, 2000).
Baitul Maal Wat Tamwil merupakan lembaga keuangan mikro non-bank yang proses operasionalnya menyerupai proses operasional perbankan syariah yakni dengan mengikuti ketentuan-ketentuan Syariah Islam khususnya yang menyangkut tata-cara ber muamalat secara Islam. Perwataadmatja menyebutkan bahwa tata cara ber muamalat dalam operasionalisasi bank syariah pada dasarnya menjauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur riba untuk di isi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan (hal. 38, 1992).
Dilihat dari alur operasional dan konsep syariahnya, lembaga-lembaga keuangan syariah, baik Bank Umum Syariah (BUS), Kantor Cabang Syariah dari Bank Konvensional, Unit Usaha Syariah (UUS), Bank Perkreditan Syariah (BPRS) maupun Baitul Maal Wat Tamwil tidaklah berbeda. Menurut Wiroso yang membedakan adalah pada skala bisnisnya saja. Bank Umum Syariah (BUS) menghimpun dana dan menyalurkan dana dalam jumlah yang besar, Bank Perkreditan Syariah (BPRS) menghimpun dana dan menyalurkan dana dalam jumlah yang sedang sedangkan Baitul Maal Wat Tamwil menghimpun dana dan menyalurkan dana dalam jumlah yang relatif kecil. Jumlah dana yang di himpun dan disalurkan tersebut sangat tergantung pada besarnya risiko yang di tanggung oleh masing-masing lembaga keuangan syariah (hal. 8, 2005).
Menurut Karim (2003), pada dasarnya produk yang ditawarkan oleh perbankan atau lembaga keuangan syariah dapat di bagi menjadi tiga bagian besar, yaitu : (1). Produk penyaluran dana (pembiayaan/financing), (2). Produk penghimpunan dana (funding) dan (3). Produk jasa (service). Secara garis besar, produk pembiayaan (penyaluran dana) di bagi menjadi empat kategori, yaitu : (a). pembiayaan dengan prinsip jual beli, (b). pembiayaan dengan prinsip sewa, (c). pembiayaan dengan prinsip akad pelengkap, serta (d). pembiayaan dengan prinsip bagi hasil.
BMT merupakan bentuk lembaga jasa keuangan mikro Syariah yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. BMT di Indonesia tumbuh dari bawah yang di dukung oleh deposan-deposan kecil. Menurut Widodo pada tahun 2005 telah tercatat jumlah BMT di Indonesia telah mencapai 3.037 buah dengan total aset Rp 300 miliar dan dana swadaya masyarakat Rp 264 miliar. Dari 3.037 BMT yang aktif di Indonesia hanya 63 yang memiliki aset di atas Rp 1 miliar, 1.200 lembaga memiliki aset Rp 50-100 juta, dan 299 lembaga beraset di bawah Rp 50 juta (hal. 34, 1999). Bahkan, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh PINBUK beberapa BMT yang telah tumbuh dan berkembang di Indonesia memiliki tingkat Financing to Deposit Ratio (FDR) yang cukup besar mulai dari yang terendah dengan FDR sebesar 86% dan yang tertinggi hingga mencapai 136%. 
Walaupun tidak di akui sebagai bank, namun BMT terbukti telah mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi yang mengelola dana dari untuk dan oleh masyarakat. Idealnya keseluruhan dana yang terhimpun harus dapat disalurkan kepada masyarakat dengan kapasitas pembiayaan skala mikro maupun skala kecil mengingat salah satu karakteristik lembaga keuangan syariah menurut Wiroso antara lain bahwa secara konseptual kegiatannya lebih banyak terkait dengan sektor riil dibandingkan dengan sektor moneter. Seluruh dana yang terhimpun idealnya disalurkan pada sektor riil yang pada akhirnya akan meningkatkan kuantitas maupun kualitas barang dan jasa (hal. 13, 2005).
Baitul Maal Wat Tamwil X (BMT X) yang berdiri pada tanggal 14 Juli tahun 1994 merupakan salah satu divisi di bawah naungan Koperasi Pondok Pesantren X dengan nomor badan hukum 10999/BH/KWK-21 tanggal 9 April 1994. Dalam operasinya BMT X mengembangkan usaha jasa keuangan yang telah mendapat ijin operasi dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil) dengan nomor 1009003/PINBUK/VI/96. Adapun maksud dan tujuan dari pendirian BMT X ini adalah untuk menjadi solusi ekonomi masyarakat berdasarkan syariah.
Pada produk penghimpunan dana (funding), BMT X mempergunakan prinsip bagi hasil yakni dengan akad mudharabah. Kemudian BMT X akan menyalurkan dana tersebut pada produk pembiayaan. Keuntungan yang didapatkan dari pembiayaan tersebut akan di bagi dua kepada penabung (selaku sahibul maal), berdasarkan perjanjian pembagian keuntungan yang nisbah bagi hasilnya telah ditetapkan di muka. Oleh karena itu porsi bagi hasil yang didapatkan oleh nasabah (penabung) bersifat fluktuatif karena tergantung kepada keuntungan yang di peroleh lembaga per periode.
Lembaga keuangan syariah harus memastikan bahwa dana yang dihimpunnya dapat menghasilkan pendapatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah serta bermanfaat bagi masyarakat. BMT menerima dana-dana masyarakat (dana pihak ketiga) dengan skim bagi hasil yang merupakan bentuk dari kesepakatan antara yang menyediakan dana (nasabah) dan yang mengelola (BMT). Di dalam melakukan bisnis dengan para penabung BMT menyatakan keinginannya untuk menerima dana-dana agar dapat diinvestasikan kembali mewakili pemiliknya melalui produk pembiayaan. Kemudian dari produk pembiayaan tersebut pihak BMT akan membagi keuntungan menurut suatu nisbah bagi hasil yang sudah ditentukan di muka dan menyatakan bahwa kerugian akan di tanggung hanya oleh penyedia dana, kecuali jika ada kelalaian atau pelanggaran akad.
Kemudian, untuk produk penyaluran dana dengan orientasi profit (tijaroh) BMT X mendasarkan pembiayaan pada 2 (dua) prinsip, yakni : 
a. Prinsip non-bagi hasil, seperti mark up pada transaksi perdagangan dan fee pada transaksi jasa (fee based income). Pada prinsip ini terdapat sifat natural certainty contract yang melekat atau transaksi dengan insentif pasti. Adapun akad-akad yang dipergunakan antara lain adalah murabahah, dan ijarah.
b. Prinsip bagi hasil, di mana tingkat keuntungan ditentukan dari besarnya keuntungan atau pendapatan usaha sesuai dengan nisbah yang telah di sepakati bersama oleh kedua belah pihak yang bertransaksi di awal transaksi. Produk pembiayaan dengan metode bagi hasil biasanya mempergunakan akad mudharabah dan musyarakah. Bagi hasil yang di dapat dari pembiayaan musyarakah dan mudharabah jumlahnya tidak pasti karena tergantung kepada hasil usaha yang di biayai. Ketidakpastian ini menyebabkan musyarakah dan mudharabah dimasukkan ke dalam kelompok Natural Uncertainty Contract (NUC) atau transaksi dengan besaran insentif yang tidak pasti. 
Menurut Zulkifli (2003), Natural Uncertainty Contract (NUC) adalah jenis kontrak transaksi dalam bisnis yang tidak memiliki kepastian akan keuntungan dan pendapatan bank dalam segi jumlah maupun waktu penyerahannya. Hal ini disebabkan karena transaksi ini tidak bersifat fixed dan predetermined.
Selain penyaluran pembiayaan melalui kedua prinsip tersebut BMT X juga menggulirkan pinjaman kebajikan (Qordhul Hasan), yaitu pinjaman yang digulirkan tanpa adanya keuntungan yang di ambil. Biasanya dipergunakan untuk keperluan pendidikan atau kesehatan nasabah dengan pertimbangan khusus. Sumber dana berasal dari lembaga amil zakat (dalam hal ini Dompet Peduli Umat (DPU)) yang menjadi mitra BMT X.
BMT X sebagai salah satu lembaga keuangan mikro syariah non bank dengan aset yang cukup besar di Indonesia mengeluarkan produk pembiayaan dengan akad bagi hasil maupun non bagi hasil. Berdasarkan laporan neraca bulanan (audited), jumlah pembiayaan yang telah disalurkan oleh BMT X per 31 Desember 2006 adalah 9,7 milyar rupiah. Jumlah ini mengalami peningkatan dari bulan yang sama pada tahun sebelumnya yaitu 9,2 milyar rupiah. Peningkatan jumlah pembiayaan dapat menambah jumlah pendapatan BMT X.
Untuk meningkatkan jumlah pembiayaan pihak BMT X seyogyanya mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi jumlah penyaluran pembiayaan tersebut. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jumlah pembiayaan pada BMT. Adapun judul penelitian ini adalah Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembiayaan Pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah (Studi Kasus BMT X).

B. Perumusan Masalah Dan Pertanyaan Penelitian
BMT X yang telah beroperasi sejak tahun 1994 dan selama kurun waktu 13 (tiga belas) tahun tersebut BMT X telah menyalurkan pembiayaan pada masyarakat maupun sektor UMKM. Terdapat pertumbuhan pembiayaan yang signifikan setiap tahunnya. Dana pihak ketiga (DPK) yang terhimpun digulirkan dengan mempergunakan prinsip non-bagi hasil, prinsip bagi hasil serta dengan prinsip pinjaman kebajikan, seperti yang dapat kita lihat pada diagram berikut ini : 
Aktivitas penyaluran dana melalui pembiayaan merupakan produk yang diunggulkan oleh lembaga jasa keuangan seperti BMT karena merupakan sumber pendapatan terbesar. Selain itu, terkait dengan fungsi intermediasi, idealnya keseluruhan dana yang terhimpun dari masyarakat disalurkan kepada masyarakat juga. Indikasi tidak tercapainya target realisasi pembiayaan dapat disebabkan oleh pengalokasian dana pada pos lain, contohnya penempatan dana (investasi) pada lembaga keuangan lainnya seperti bank syariah.
Dalam menghimpun dana dari masyarakat BMT X mempergunakan prinsip bagi hasil kepada para penabung. Sebagai konsekuensinya BMT X harus membagi keuntungan dari pembiayaan yang tersalurkan berdasarkan proporsi nisbah bagi hasil yang telah di sepakati di muka. Oleh karena itu BMT X harus dapat menjaga agar jumlah pembiayaan yang tersalurkan dapat memenuhi target yang telah ditetapkan berdasarkan perhitungan target profit yang ingin di capai karena jika tidak tercapai akan membuat bagi hasil dari produk penghimpunan dananya tidak kompetitif dan pada akhirnya dikhawatirkan akan terjadi kecenderungan penarikan dana oleh para nasabah yang mencari tingkat return simpanan yang lebih tinggi.
Berdasarkan uraian tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah mengenai faktor-faktor internal yang mempengaruhi realisasi penyaluran pembiayaan pada BMT terkait dengan fungsi intermediasi yang dilaksanakannya. Tidak tercapainya target pembiayaan yang akan disalurkan jelas bukanlah sebuah kondisi ideal yang diinginkan, terlebih lagi pada sebuah lembaga keuangan mikro. Mengapa ? Karena selain untuk mencapai target laba dan menutup biaya operasional lembaga ini harus mampu memberikan tingkat bagi hasil yang kompetitif bagi para deposan (penabung) yang telah menempatkan dananya di BMT. Selain itu apabila proporsi pembiayaan yang disalurkan lebih kecil daripada proporsi penempatan dana (investasi) pada lembaga atau instansi lain maka eksistensi BMT dirasakan tidak sesuai dengan ruh ekonomi Islam yang memiliki karakter lebih menitikberatkan pada sektor riil.
Berbagai faktor dapat menjadi penyebab tidak tercapainya target realisasi pembiayaan, khususnya dari beberapa faktor internal dari lembaga. Faktor-faktor internal yang akan di teliti antara lain adalah (1). pendapatan dari pembiayaan, (2). dana pihak ketiga, (3). biaya operasional, (4). NPF (tingkat pembiayaan bermasalah) dan (5). pendapatan bagi hasil penempatan dana BMT pada bank syariah. Dengan mengenali berbagai faktor yang pengaruh dalam penyaluran pembiayaannya dirasakan sangat penting manfaatnya sehingga nantinya pembiayaan di lembaga keuangan mikro syariah, khususnya BMT X dapat lebih dioptimalkan.
Berdasarkan penjabaran mengenai perumusan masalah tersebut, maka akan diturunkan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Apakah pendapatan dari pembiayaan periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
2. Apakah jumlah dana pihak ketiga yang terhimpun berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
3. Apakah biaya operasional dari pembiayaan pada periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
4. Apakah non performing financing dari pembiayaan periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?
5. Apakah pendapatan bagi hasil penempatan dana BMT pada bank syariah dari periode sebelumnya berpengaruh terhadap jumlah pembiayaan BMT ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan faktor-faktor internal apa saja yang memiliki pengaruh secara parsial terhadap realisasi penyaluran pembiayaan pada BMT X, dengan rincian sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui apakah tingkat pendapatan pembiayaan dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT.
2. Untuk mengetahui apakah jumlah dana pihak ketiga yang terhimpun memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT. 
3. Untuk mengetahui apakah biaya operasional yang telah dikeluarkan dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT .
4. Untuk mengetahui apakah tingkat pembiayaan bermasalah (non performing financing) dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT.
5. Untuk mengetahui apakah pendapatan bagi hasil yang didapatkan melalui penempatan dana BMT pada bank syariah dari satu periode sebelumnya memiliki pengaruh secara parsial terhadap penyaluran pembiayaan BMT.
Dengan teridentifikasinya faktor-faktor internal yang diteliti maka diharapkan hasil temuan dalam penelitian ini dapat menjadi acuan bagi lembaga keuangan mikro syariah, khususnya BMT X dalam menjalankan fungsi intermediasi yang diembannya, khususnya dalam menyusun strategi alokasi dana.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat akademik, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi lebih lanjut oleh lembaga keuangan mikro syariah dalam rangka menentukan strategi realisasi penyaluran dana (pembiayaan).
2. Manfaat praktis, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi BMT X dalam menentukan langkah-langkah dan kebijakan yang harus di tempuh guna mencapai target realisasi penyaluran dana.