A. Latar Belakang
Seiring dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah sekarang ini, tidak hanya harga kebutuhan sehari-hari yang semakin tinggi harganya, namun harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi harganya pula. Hal itulah, yang mendasari setiap orang untuk berusaha mencari nafkah demi kelangsungan hidup dan masing-masing perusahaan saling bersaing dalam dunia bisnis guna meningkatkan eksistensinya serta untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin.
Dalam perjalanannya tiap perusahaan mungkin tidak mempunyai sejumlah dana yang cukup guna membiayai kegiatan usahanya. Hal ini dikarenakan, setiap pemilik perusahaan tidak ingin seluruh kekayaan pribadinya habis digunakan untuk membiayai perusahaan mereka, mengingat banyak resiko yang mungkin terjadi yang dapat saja membawa mereka jatuh ke dalam kemiskinan.
Resiko kegagalan ataupun ketidaksuksesan usaha yang mungkin terjadi, di mana pemilik perusahaan telah mengeluarkan sejumlah dana dari harta pribadinya dan ternyata di kemudian hari mereka mendapatkan hasil yang tidak diharapkan.
Ada banyak cara yang digunakan guna mendapatkan modal untuk menjalankan usaha mereka dengan jalan yang lebih aman, tanpa melibatkan harta pribadi mereka.
Salah satunya yaitu dengan meminjam sejumlah dana dari bank dengan pengembalian secara angsuran.
Hal tersebut sudah banyak sekali dilakukan oleh perusahaan-perusahaan, namun ada persyaratan yang diajukan oleh pihak bank selaku kreditur dalam memberikan kredit yaitu mereka meminta suatu jaminan baik dalam bentuk benda bergerak maupun dalam bentuk benda tidak bergerak, yang nilai nominal jaminan tersebut lazimnya melebihi jumlah kredit yang diberikan kepada debitur serta tiap nominal pinjaman akan dikenakan bunga pinjaman.
Nilai jaminan yang lebih besar dari pinjaman tersebut menjadi pegangan bagi pihak bank, apabila pihak debitur lalai melakukan pembayaran angsuran kredit ataupun tidak mampu membayar kembali sejumlah uang yang sudah diterima dan dipinjam dari pihak bank.
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Sedangkan definisi agunan menurut Undang-Undang Perbankan, yaitu "agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Jaminan yang diperlukan oleh pihak bank selaku kreditur haruslah jaminan dalam bentuk benda dan mempunyai nilai yang cukup guna melunasi utang debitur. Ada beberapa pengertian tentang benda, yaitu:
Pengertian yang paling luas dari perkataan benda ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang. Di sini benda berarti obyek sebagai lawan dari subyek atau orang dalam hukum. Ada juga perkataan benda itu dipakai dalam arti yang sempit, yaitu sebagai barang yang dapat terlihat saja.
Benda dibagi dalam tiga macam menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu:
1. Benda yang bertubuh dan tidak bertubuh (Pasal 503);
2. Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504);
3. Benda yang dapat habis dan tidak dapat habis (Pasal 505).
Dari penggolongan macam-macam benda menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut di atas yang mempunyai akibat hukum dan yang sangat berkaitan dengan penulisan ini adalah penggolongan benda bergerak dan benda yang tidak bergerak. Suatu benda dapat tergolong dalam benda yang tidak bergerak yaitu karena sifatnya, tujuan pemakaiannya dan memang ditentukan demikian oleh undang-undang.
Adapun benda yang tidak bergerak karena sifatnya ialah tanah dan segala sesuatu yang melekat atau tumbuh di atasnya, misalnya pohon-pohon, tumbuh-tumbuhan kecil. Benda tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya ialah mesin alat-alat yang dipakai di dalam pabrik, yang sebetulnya benda bergerak tetapi oleh pemiliknya dalam pemakaian dihubungkan atau diikatkan pada benda yang tidak bergerak yang merupakan benda pokok.
Selanjutnya ialah benda tidak bergerak karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang, seperti kapal laut yang berukuran minimal 20 meter kubik isi kotor dan hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak, misalnya hak memungut hasil atas benda tak bergerak, hak memakai atas benda tak bergerak, hipotik dan lain-lain.
Suatu benda termasuk golongan benda yang bergerak karena sifatnya dan ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya menurut Pasal 509 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ialah benda yang dapat dipindahkan, misalnya meja, alat-alat perabot rumah tangga, perhiasan-perhiasan, dan lain-lain.
Benda bergerak karena ketentuan undang-undang menurut Pasal 511 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ialah hak-hak atas benda yang bergerak, misalnya hak memungut hasil (vruchtgebruik) atas benda bergerak, hak pemakaian (gebruik) atas benda bergerak.
Uraian tentang benda bergerak dan tidak bergerak telah dijelaskan di atas. Jadi baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak dapat dijadikan jaminan atau agunan kepada bank atas pinjaman kredit yang diajukan oleh pihak debitur.
Telah diketahui bahwa suatu pemberian jaminan atau agunan dari debitur kepada bank selaku kreditur merupakan perjanjian tambahan (accessoir) dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian kredit.
Keberadaan perjanjian penjaminan tergantung pada perjanjian pokok, jika perjanjian pokok hapus karena telah dilunasinya utang, maka perjanjian penjaminan ikut hapus, namun apabila pihak debitur ingkar janji atau wanprestasi, pihak kreditur berhak melelang barang jaminan dan mengambil hasil lelang guna pelunasan utangnya.
Banyak benda yang dapat dijadikan jaminan guna pelunasan suatu kredit kepada bank, namun dalam penulisan ini benda yang akan dibahas lebih mendalam adalah benda tidak bergerak berupa kapal laut. Pada asasnya menurut Pasal 510 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, kapal-kapal, perahu-perahu, perahu-tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu atau yang berdiri, terlepas dari benda sejenis itu adalah benda bergerak, akan tetapi jika kapal-kapal itu didaftar, kapal tersebut tidak mempunyai status yang sama lagi dengan benda bergerak.
Kapal-kapal yang dapat dibukukan dalam register kapal adalah kapal yang beratnya paling sedikit dua puluh meter kubik isi kotor (Pasal 314 ayat 1 KUHD). Kapal yang terdaftar ini diperlakukan seperti benda tidak bergerak, jika dijaminkan, lembaga yang dipergunakan adalah hipotik. Untuk kapal-kapal yang tidak didaftar lembaga jaminannya adalah gadai atau fidusia.
Lazimnya kapal laut yang dijaminkan kepada pihak bank digunakan sebagai jaminan dari sebuah perusahaan pelayaran yang membutuhkan sejumlah dana untuk pembiayaan pembelian kapal dan pembiayaan perbaikan kapal. Sama seperti benda-benda jaminan lainnya, pemberian jaminan berupa kapal laut haruslah didahului dengan adanya suatu perjanjian pokok yaitu perjanjian pemberian fasilitas kredit antara pihak debitur dengan pihak kreditur.
Pengertian kapal menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang adalah:
Kapal adalah semua perahu, dengan nama apapun dan dari macam apapun juga, kecuali ditentukan atau diperjanjikan lain, maka kapal itu dianggap meliputi segala alat perlengkapannya. Yang dimaksudkan dengan alat perlengkapan kapal ialah segala benda yang bukan suatu bagian daripada kapal itu sendiri, namun diperuntukkan untuk selamanya dipakai tetap dengan kapal itu.
Sedangkan pengertian kapal laut menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu "kapal laut adalah semua kapal yang dipakai untuk pelayaran di laut atau yang diperuntukkan untuk itu.”
Kapal-kapal Indonesia yang berukuran paling sedikit dua puluh meter kubik isi kotor, dapat dibukukan di dalam suatu register kapal menurut ketentuan yang akan ditetapkan dalam suatu undang-undang tersendiri.
Undang-Undang yang dimaksud di atas adalah Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mulai berlaku tanggal 7 Mei 2008 sebagai pengganti dari Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran.
Sebagimana diatur dalam Pasal 354 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran tersebut yang menyebutkan bahwa "pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang No 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti yang baru berdasarkan undang-undang ini.
Sedangkan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yaitu Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan dinyatakan tetap berlaku, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 353 bahwa:
Dapat disimpulkan bahwa ketentuan mengenai pendaftaran kapal diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan.
Dengan dijaminkannya kapal laut yang sudah terdaftar tersebut dengan hipotik guna menjamin pelunasan kredit dari pihak debitur, maka ketentuan-ketentuan mengenai hipotik dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimulai dari Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 tentang hipotik berlaku bagi pembebanan jaminan hipotik atas kapal laut.
Terhadap hipotik kapal, ketentuan hipotik yang diatur dalam Pasal 314 ayat 4 dan Pasal 315 a, b, c Kitab Undang-Undang Hukum Dagang merupakan lex spesialis terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Maka apabila Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengaturnya secara khusus, semua ketentuan hipotik yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tetap berlaku.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, "hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan."15
Dari rumusan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa hipotik merupakan hak kebendaan atas benda tidak bergerak yang timbul karena perjanjian, yaitu suatu bentuk jaminan yang harus diperjanjikan terlebih dahulu. Hipotik sebagai hak kebendaan hanya terbatas pada hak untuk mengambil penggantian dari benda tidak bergerak bersangkutan untuk pelunasan suatu perikatan saja.16
Mengingat bentuk dari kapal laut yang sangat besar dan nilainya yang sangat tinggi, dalam praktek pengadaan kapal melalui pemberian kredit maupun pembebanan jaminan hipotik kapal laut memiliki berbagai kendala, terutama dalam hal penyediaan jaminan atas kredit yang diberikan. Kendala-kendala tersebut diharapkan oleh semua pihak yang terkait agar dapat segera diatasi sehingga dapat meningkatkan perekonomian negara kita khususnya di bidang perbankan.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas mengenai pembebanan jaminan hipotik kapal laut, maka penulis sangat tertarik untuk membahas lebih mendalam mengenai jaminan kebendaan yang berupa jaminan hipotik kapal laut atas perjanjian kredit yang diberikan kepada perusahaan pelayaran dan meneliti kendala-kendala yang ada dalam pemasangan dan pelaksanaan eksekusinya. Penulis kemudian memberi judul pada penulisan tesis ini tentang Pemasangan Jaminan Hipotik Kapal Laut dan Pelaksanaan Eksekusinya Sebagai Pelunasan Pinjaman (Studi kasus PT Bank X dengan PT Pelayaran Y).
B. Pokok Permasalahan
Adapun beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan tesis ini, yaitu:
1. Bagaimana pemasangan jaminan hipotik kapal laut pada PT Bank X?
2. Bagaimana pelaksanaan eksekusi berdasarkan grosse akta hipotik kapal laut?
C. Metode Penelitian
Dalam menjawab pokok permasalahan yang diteliti dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan penelitian normatif. Penulisan normatif ini dimaksudkan untuk meneliti tentang asas-asas hukum dan sistematika hukum yang berlaku di Indonesia.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang bersifat publik. Sumber data sekunder dalam bidang hukum terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari Penetapan Pengadilan No. 18/EKS/2005/PN.JKT.UT, dan Peraturan Perundang-undangan, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, H.I.R., Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, dan Peraturan Presiden No. 44 tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993 dan Intruksi Presiden No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional serta Keputusan Menteri Keuangan Perhubungan No. 14 Tahun 1996 tentang Penyederhanaan Tata Cara Pengadaan dan Pendaftaran Kapal.
Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa literatur-literatur dan buku-buku yang berkaitan dengan hukum benda, hukum perjanjian, hukum pendaftaran kapal, hukum jaminan hipotik kapal laut dan hukum acara perdata serta tulisan-tulisan lain yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
Analisis data dilakukan secara kualitatif, karena dari data yang diperoleh penulis menganalisanya dan kemudian memberikan kesimpulan-kesimpulan dari data yang telah dianalisa berupa uraian-uraian. Dengan demikian hasil penelitian yang diperoleh dalam penulisan ini bersifat analisa hukum.
D. Sistematika Penulisan
Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan dari permasalahan, maka sistematika penulisan ini dibuat menjadi tiga bab, yaitu:
Bab pertama adalah bab mengenai pendahuluan yang memuat mengenai latar belakang, pokok permasalahan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah bab mengenai kapal laut sebagai jaminan pelunasan kredit dan pelaksanaan eksekusinya, yang dibagi menjadi tiga sub bab yaitu landasan teori tentang kapal laut sebagai jaminan, pemasangan jaminan hipotik atas kapal laut pada PT Bank X dan pelaksanaan eksekusi berdasarkan grosse akta hipotik kapal laut.
Dalam landasan teori tentang kapal laut sebagai jaminan, penulis membahas mengenai pengertian kapal dan kapal laut, status hukum kapal laut dalam hukum perdata, sumber hukum pendaftaran kapal laut, proses pendaftaran kapal laut, jaminan hipotik atas kapal laut, akibat hukum pendaftaran hipotik atas kapal laut dan jaminan kebendaan lainnya atas kapal laut.
Dalam pemasangan jaminan hipotik atas kapal laut pada PT Bank X, penulis membahas mengenai prosedur pemasangan jaminan hipotik atas kapal laut bernama "XY" milik PT Pelayaran Y (debitur) yang dijadikan jaminan atas pinjaman kreditnya pada PT Bank X (kreditur).
Dalam pelaksanaan eksekusi berdasarkan grosse akta hipotik kapal laut, penulis membahas mengenai eksekusi jaminan hipotik pada umumnya dan pelaksanaan eksekusi kapal laut "XY" berdasarkan Penetapan Pengadilan No. 18/Eks/2005/PN.JKT.UT.
Bab ketiga adalah bab penutup yang merupakan bab terakhir dari seluruh uraian yang berupa kesimpulan dari permasalahan-permasalahan yang telah dibahas.