Search This Blog

Showing posts with label skripsi keperawatan. Show all posts
Showing posts with label skripsi keperawatan. Show all posts
SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN

(KODE : KEPRAWTN-0080) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesantren atau Pondok Pesantren adalah sekolah Islam berasrama {Islamic boarding school) dan pendidikan umum yang persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum. Para pelajar pesantren disebut sebagai santri belajar pada sekolah ini, sekaligus tinggal pada asrama yang disediakan oleh pesantren. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut Lurah Pondok (Ponpes, 2008).
Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa Arab. Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting dalam beberapa negara, khususnya beberapa negara yang banyak pemeluk agama Islam di dalamnya. Pesantren menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka, agar dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan (Ponpes, 2008).
Selama tinggal berpisah dengan orang tua maka santri akan tinggal bersama-sama dengan teman-teman dalam satu asrama, kehidupan berkelompok yang akan dijalani dengan berbagai macam karakteristik para santri dan dalam kehidupan berkelompok masalah yang dihadapi adalah pemeliharaan kebersihan, yaitu kebersihan kulit, kebersihan tangan dan kuku, kebersihan genitalia, kebersihan kaki, kebersihan lingkungan dan kebersihan pakaian (Badri, 2008).
Perilaku hidup bersih dan sehat terutama kebersihan perseorangan di pondok pesantren pada umumnya kurang mendapatkan perhatian dari santri (Depkes, 2007). Tinggal bersama dengan sekelompok orang seperti di pesantren memang berisiko mudah tertular berbagai penyakit kulit, khususnya penyakit skabies. Penularan terjadi bila kebersihan pribadi dan lingkungan tidak terjaga dengan baik. Faktanya, sebagian pesantren tumbuh dalam lingkungan yang kumuh, tempat mandi dan WC yang kotor, lingkungan yang lembab, dan sanitasi buruk (Badri, 2008). Ditambah lagi dengan perilaku tidak sehat, seperti menggantung pakaian di kamar, tidak membolehkan pakaian santri wanita dijemur di bawah terik matahari, dan saling bertukar pakai benda pribadi, seperti sisir dan handuk (Depkes, 2007)
Hal inilah umumnya menjadi penyebab timbulnya penyakit skabies. Faktor yang mempengaruhi penularan penyakit skabies adalah sosial ekonomi yang rendah, kebersihan perseorangan yang buruk, , perilaku yang tidak mendukung kesehatan, hunian yang padat, tinggal satu kamar, ditambah kebiasaan saling bertukar pakaian, handuk, dan perlengkapan pribadi meningkatkan risiko penularan (Badri, 2008).
Survey yang diperoleh dari pesantren Poliklinik X tiap tahunnya angka kejadian penyakit scabies pada santri tetap terjadi dari tahun ke tahun (Ponpes, 2008). Terdapat kejadian penyakit scabies 85 kasus pada tahun 2006, dan 92 kasus pada tahun 2007, serta 78 kasus pada tahun 2008.
Kejadian penyakit skabies di sebuah pondok pesantren di Jakarta mencapai 78,70%, di kabupaten Pasuruan kejadian penyakit skabies sebesar 66,70% (Depkes, 2000). Kejadian penyakit skabies tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian penyakit skabies di negara berkembang yang hanya 6-27% atau prevalensi penyakit skabies di Indonesia sebesar 4,60-12,95% saja (Kuspriyanto, 2002).
Kebanyakan santri yang terkena penyakit skabies adalah santri baru yang belum dapat beradaptasi dengan lingkungan, sebagai santri baru yang belum tahu kehidupan di pesantren membuat mereka luput dari kesehatan, mandi secara bersama-sama, saling tukar pakaian, handuk, dan sebagainya yang dapat menyebabkan tertularnya penyakit skabies (Ponpes, 2008). Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, perlu dilakukan penelitian tentang "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN X".

B. Pertanyaan Penelitian

Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi kejadian skabies pada santri di Pondok Pesantren X.

C. Tujuan Penelitian

Mengidentifikasi gambaran faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian skabies pada santri di pesantren.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Praktisi Keperawatan
Hasil penelitian ini merupakan fakta yang dapat digunakan sebagai informasi tambahan tentang perawatan diri dan dapat mendeteksi lebih dini faktor-faktor terjadinya skabies.
2. Bagi Santri
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi para santri dan pengelola pesantren X tentang adanya resiko kejadian skabies dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI

SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI

(KODE : KEPRAWTN-0079) : SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan sehat-sakit klien (Yosep, 2007). Keluarga merupakan bagian dari manusia yang setiap hari selalu berhubungan dengan kita. Keadaan ini perlu kita sadari sepenuhnya bahwa setiap individu merupakan bagiannya dan keluarga juga semua dapat diekspresikan tanpa hambatan yang berarti (Suprajitno, 2004).
Kecemasan merupakan perasaan yang paling umum dialami oleh pasien yang dirawat di rumah sakit, kecemasan yang sering terjadi adalah apabila pasien yang dirawat di rumah sakit harus mengalami proses pembedahan. Pembahasan tentang reaksi-reaksi pasien terhadap pembedahan sebagian besar berfokus pada persiapan pembedahan dan proses penyembuhan. Pembedahan adalah tindakan pengobatan yang banyak menimbulkan kecemasan, sampai saat ini sebagian besar orang menganggap bahwa semua pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan besar. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial aktual terhadap integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun psikologis (Long 1990).
Pandangan setiap orang dalam menghadapi pre operasi berbeda, sehingga respon pun berbeda. Setiap menghadapi pre operasi selalu menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada pasien. (Stuart dan Sundeen, 1998). Seseorang yang sangat cemas sehingga tidak bisa berbicara dan mencoba menyesuaikan diri dengan kecemasan sebelum operasi, seringkali menjadi hambatan pada pasca operasi, pasien menjadi cepat marah, bingung, lebih mudah tersinggung akibat reaksi psikis, dibandingkan dengan orang yang cemas ringan (Long, 1996).
Menurut Brunner & Suddarth (1996) ansietas pre operasi merupakan suatu respons antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh, atau bahkan kehidupannya itu sendiri. Pasien yang menghadapi pembedahan dilingkupi oleh ketakutan akan ketidaktahuan, kematian, tentang anestesia, kekhawatiran mengenai kehilangan waktu kerja dan tanggung jawab mendukung keluarga.
Menurut Friedman (1998), dukungan yang diberikan keluarga untuk mengurangi kecemasan pasien itu sendiri adalah dukungan informasional, dimana keluarga memberikan nasehat, saran, dukungan jasmani maupun rohani. Dukungan emosional juga diberikan keluarga, yang meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Dukungan lainnya adalah dukungan penilaian dan dukungan instrumental.
Pasien dapat mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya pada keluarga dengan mengurangi kecemasan dan ketakutan yang berlebihan dan tidak beralasan, akan mempersiapkan pasien secara emosional. Selain itu, mempersiapkan keluarga terhadap kejadian yang akan dialami pasien dan diharapkan keluarga banyak memberi dukungan pada pasien dalam menghadapi operasi (Anderson dan Masur, 1990).
Dari survey awal yang dilakukan oleh peneliti di ruangan RB2 RS X, peneliti merasa hal ini penting untuk di teliti karena dari data yang diperoleh oleh peneliti di lapangan, masih banyak pasien pre operasi yang merasa cemas saat akan menghadapi operasi karena tidak mendapat dukungan dari keluarga. Untuk itu, dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien yang akan menghadapi operasi.
Berdasarkan uraian diatas, maka perhatian terhadap hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi perlu ditingkatkan. Apabila dukungan keluarga tidak ada maka akan menyebabkan dampak psikologis terhadap pasien tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk melihat adakah hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi.

B. Rumusan Masalah

Dari berbagai uraian latar belakang tersebut diatas maka akan timbul masalah sebagai berikut : "Adakah hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di ruangan RB 2 rumah sakit X ?"

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden.
b. Mengidentifikasi dukungan keluarga.
c. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien pre operasi.
d. Mengkaji hubungan dukungan keluarga dan tingkat kecemasan pasien pre operasi.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi Pendidikan
Mengoptimalkan fungsi perawat dalam penatalaksanaan asuhan keperawatan kepada pasien yang mengalami kecemasan, tanpa mengabaikan aspek-aspek psikologis, sehingga profesionalisme perawat dalam bekerja dapat ditingkatkan lagi dan operasi berjalan dengan lancar.
2. Bagi Rumah sakit
Dapat dipakai sebagai masukan untuk meningkatkan pelayanan keperawatan di rumah sakit khususnya pada pasien yang mengalami kecemasan pre operasi.
3. Penelitian Berikutnya
Sebagai sumber data dan informasi bagi pengembangan penelitian berikutnya dalam ruang lingkup yang sama.
SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

(KODE : KEPRAWTN-0078) : SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Soegondo, 2008).
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain (Suyono, 2007).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), memprediksi kenaikan jumlah penderita DM dari 177 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia menempati urutan ke 4 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak setelah India, China dan Amerika Serikat (AS).
Sedangkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7% dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global, terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan diabetes melitus di Indonesia akan meningkat dengan drastis (Suyono, 2007).
Hal ini harus mendapat perhatian dari berbagai pihak baik dokter, ahli gizi, perawat, pasien itu sendiri dan keluarga karena diabetes merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, maka bila diabaikan akan menimbulkan berbagai komplikasi akut seperti ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, hipoglikemia dan komplikasi kronik seperti penyakit jantung koroner, retinopati diabetik, nefropati diabetik dan neuropati (Suyono, 2006).
Untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut di perlukan pencapaian keterkendalian kadar glukosa (gula) darah yaitu melalui pengaturan menu makanan yang diiringi dengan pengobatan secara medik, olahraga, dan pola hidup sehat (Krisnatuti, 2008). Ditemukan adanya hubungan antara faktor diet dan pola hidup dengan pengendalian diabetes. Gizi khususnya diet (perencanaan makan) diabetes melitus merupakan salah satu pilar utama pengelolaan diabetes melitus (Suyono, Syahbudin, dkk, 2007). Dengan mempertimbangkan jumlah kebutuhan kalori dan keteraturan makan yang dibutuhkan, tujuan pengaturan menu akan tercapai.
Pengelolaan diet diabetes secara holistik dan mandiri selama hidup melalui edukasi berupa penyuluhan dapat meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi akut dan komplikasi kronik yang sering menyebabkan cacat bahkan kematian (Suyono, Syahbudin, dkk, 2007).
Setelah penderita diberikan penyuluhan diharapkan pengetahuan penderita terhadap penyakitnya dan pengelolaannya meningkat, sehingga diasumsikan penderita memiliki motivasi dan menunjukkan perilaku dalam menerapkan terapi diet dalam kehidupannya sehari-hari untuk mengontrol kadar glukosa darahnya agar tercapai keterkendalian kadar glukosa darah.
Berdasarkan hasil uraian diatas mendorong peneliti untuk mengetahui. "HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA".

B. Perumusan Masalah

Angka kekerapan diabetes melitus semakin meningkat secara global dari tahun ke tahun, 90% merupakan diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2). Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, maka bila diabaikan akan menimbulkan berbagai komplikasi akut maupun kronik. Untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut di perlukan pencapaian keterkendalian kadar glukosa (gula) darah, salah satu pilar penatalaksanaan DM yang utama yaitu melalui terapi diet (perencanaan makan). Pengetahuan yang baik terhadap perencanaan makan sangat diperlukan sehingga diharapkan penderita DM memiliki motivasi dan menunjukkan perilaku dalam menerapkan terapi diet dalam kehidupannya sehari-hari untuk mengontrol kadar glukosa darahnya agar tercapai keterkendalian kadar glukosa darah.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini, adalah "Adakah Hubungan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan Tentang Terapi Diet Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Keterkendalian Kadar Glukosa Darah Puasa".

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik dan tingkat pengetahuan tentang terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan) pasien diabetes melitus tipe 2.
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tipe 2 tentang terapi diet diabetes.
c. Untuk mengetahui hubungan karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar glukosa darah puasa.
d. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan kebutuhan kalori terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.
e. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan keteraturan makan terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis sebagai berikut:
1. Bagi penderita, untuk menambah wawasan dan pengetahuan penderita diabetes melitus tipe 2 mengenai penyakit dan cara pengelolaan terapi diet, sehingga timbul dorongan dari penderita untuk melaksanakan terapi diet.
2. Bagi Institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan menjadi penyediaan data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut khususnya mengenai penyakit diabetes melitus.
3. Bagi puskesmas untuk memberikan masukan perencanaan dan pengembangan pelayanan kesehatan pada penderita diabetes melitus tipe 2 dalam peningkatan kualitas pelayanan khususnya edukasi mengenai pengelolaan terapi diet di Puskesmas Kecamatan X.
4. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk belajar melakukan penelitian dan mengaplikasikan ilmu yang sudah di dapat khususnya dalam bidang CRP (Communication Research Program).
SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

(KODE : KEPRAWTN-0077) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang tinggi pula. Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 1998)
Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi penyakit ini.
Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering ditemukan menimbulkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminthiasis) (Srisasi Gandahusada, 2006).
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei Cacingan di Sekolah dasar di beberapa provinsi menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%.
Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir di seluruh Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Prevalensi askariasis di propinsi DKI Jakarta adalah 4-91%, Jabar 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%, Sumut 46-75%, Sumbar 2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-72%. Bila menurut golongan umur, askariasis lebih banyak ditemukan pada anak-anak, prevalensi kecacingan anak balita juga lebih rendah dibandingkan golongan umur lain, mungkin disebabkan anak balita relatif lebih sedikit tercemar infeksi.
Ascariasis pada manusia muncul di kedua lingkungan yang sedang dan tropis. Prevalensi rendah terdapat pada iklim yang kering, tetapi tinggi di kondisi yang basah dan hangat yang mana kondisi ini cocok untuk telur dan embrionisasi. Kepadatan, ekonomi lemah, rendah higienitas lingkungan dan suplai air dapat menyebabkan naiknya infeksi cacing ini. Prevalensi Ascaris lumbricoides adalah 16,5%. Paling tertinggi prevalensinya terutama pada golongan anak kecil antara 11-15 tahun sekitar 3,7%. Dan pada grup 15 tahun atau ke bawah bisa mencapai 5,3% . Pada rentang umur 6-10, 11-15 dan 16-20 tahun 3,5%, 5,4% dan 3,5% didapatkan menderita malnutrisi dari ringan sampai sedang.
Anak usia sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik dan intelektualnya. Dalam hubungan dengan infeksi kecacingan, beberapa penelitian ternyata menunjukkan bahwa anak usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004).
Perilaku seseorang dapat tumbuh dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga hal tersebut dapat memunculkan sikap dan tindakan terhadap nilai-nilai yang baik dan salah satunya adalah nilai kesehatan. Kurangnya pengetahuan anak tentang infeksi cacingan merupakan faktor dasar seorang anak berperilaku. Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah dan kebiasaan manusia mencemari lingkungan dengan tinjanya sendiri, didukung oleh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah di Indonesia. Selain itu bahwa infeksi cacingan pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasi terhadap lingkungan, misalnya tidak tersedianya air bersih dan tempat pembuangan faeces yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT CACINGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin mengetahui beberapa permasalahan, yaitu :
1. Adakah hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
2. Adakah hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
3. Adakah hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap penyakit kecacingan pada siswa kelas V di SD X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan
b. Mengetahui hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.
c. Mengetahui hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Siswa Sekolah Dasar
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan kepada siswi sekolah dasar tentang penyakit cacingan dan cara pencegahannya sehingga dapat terhindar dari faktor resiko penyebab penyakit cacingan.
2. Bagi Institusi Sekolah
a. Bagi pihak guru penelitian ini dapat dijadikan sebagai media informasi tentang pentingnya pendidikan kesehatan diajarkan sejak dini pada anak usia sekolah.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi pada pihak sekolah maupun staf pengajar di SD dalam pelaksanaan UKS yang berkaitan dengan perilaku anak yang beresiko untuk terpapar faktor penyebab penyakit terutama penyakit cacingan.
c. Penelitian ini nantinya akan memperkuat bukti bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan sejak dini pada anak-anak dapat mencegah terjadinya penyakit terutama penyakit cacingan.
3. Bagi Dinas Kesehatan
a. Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam upaya pencegahan masalah kesehatan khususnya penyakit cacingan.
b. Dapat memberikan gambaran tentang masalah kesehatan yang terjadi pada anak usia sekolah khususnya tentang penyakit cacingan, sehingga pemerintah lebih tepat dalam mengambil kebijakan-kebijakan guna mengatasi permasalahan tersebut.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat juga sebagai bahan penelitian selanjutnya, serta merupakan proses yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN

(KODE : KEPRAWTN-0076) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin merupakan masalah yang besar di negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Sebagian besar kematian perempuan disebabkan komplikasi karena hamil, bersalin dan nifas. Namun demikian banyak faktor yang membuat teknologi kesehatan kurang dapat diterapkan ditingkat masyarakat diantaranya ketidaktahuan, kemiskinan, rendahnya status sosial ekonomi perempuan, terbatasnya kesempatan memperoleh informasi dan kelangkaan pelayanan kesehatan yang peka terhadap kebutuhan perempuan juga berperan terhadap situasi ini, sedangkan pengetahuan baru, hambatan membuat keputusan, terbatasnya akses memperoleh pendidikan yang tidak memadai.
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologi yang normal dalam kehidupan. Kelahiran seorang bayi juga merupakan peristiwa sosial bagi ibu dan keluarga. Dimana peranan ibu adalah melahirkan bayinya, sedangkan peranan keluarga adalah memberikan bantuan dan dukungan pada ibu ketika terjadi proses persalinan. Dalam hal ini peranan petugas kesehatan tidak kalah penting dalam memberikan bantuan dan dukungan pada ibu agar seluruh rangkaian proses persalinan berlangsung dengan aman baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkan (Sumarah, dkk, 2009).
Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan untuk mencapai sasaran Millennium Development Goals (MDGs) yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 102/100.000 Kelahiran Hidup (KH) dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23/1.000 Kelahiran Hidup (KH) pada 2015. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas. WHO memperkirakan diseluruh dunia setiap tahunnya lebih dari 585.000 meninggal saat hamil atau persalinan (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan hasil SDKI Tahun 2007 derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih perlu ditingkatkan, ditandai oleh Angka Kematian Ibu (AKI) (KH) dan Tahun 2008, 4.692 jiwa ibu melayang di masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Kementerian kesehatan telah melakukan berbagai upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) antara lain mulai Tahun 2010 meluncurkan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) ke Puskesmas di Kabupaten Kota yang di fokuskan pada kegiatan preventif dan promotif dalam program kesehatan ibu dan anak. Kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, tekanan darah yang tinggi saat hamil (Eklampsia), infeksi, persalinan macet dan komplikasi keguguran. Sedangkan penyebab langsung kematian bayi adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kekurangan Oksigen (asfiksia). Penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi baru lahir adalah karena kondisi masyarakat seperti pendidikan, sosial ekonomi, dan budaya. Kondisi geografi serta keadaan sarana pelayanan yang kurang siap ikut memperberat permasalahan ini. (Depkes RI, 2010).
Menteri kesehatan menambahkan salah satu upaya terobosan dan terbukti mampu meningkatkan indikator proksi (persalinan oleh tenaga kesehatan) dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Sedangkan data Riskesdas 2010 memperlihatkan bahwa persalinan di fasilitas 55,4% dan masih ada persalinan yang dilakukan di rumah (43,2%). Pada kelompok ibu yang melahirkan di rumah ternyata baru 51,9% persalinan ditolong oleh bidan, sedangkan yang ditolong oleh dukun masih 40,2% (Depkes RI, 2010).
Beberapa hal tersebut mengakibatkan 3 kondisi terlambat yaitu (terlambat mengambil keputusan di tingkat keluarga, terlambat sampai ditempat pelayanan, dan terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat) dan 4 kondisi terlalu muda (dibawah 20 tahun), terlalu tua (diatas 35 tahun), terlalu dekat (jarak melahirkan kurang dari 2 tahun), terlalu banyak (lebih dari 4 kali). Keterlambatan pengambilan keputusan ditingkat keluarga dapat dihindari apabila ibu dan keluarga mengetahui tanda bahaya kehamilan dan persalinan serta tindakan yang perlu dilakukan untuk mengatasinya ditingkat keluarga (Menkes RI, 2011).

Foster dan Anderson (1986) melukiskan tentang masalah klasik yang masih selalu ditemukan dalam kehidupan berbagai kelompok masyarakat, betapa sosial sering mengalahkan pemanfaatan optimal dari sarana kesehatan yang tersedia. Pasangan suami-istri lebih rela untuk memutuskan tidak menggunakan sarana pertolongan persalinan dari puskesmas atau rumah bersalin, atas pertimbangan bahwa konflik dengan kerabat tidak menggunakan jasanya dari pada biaya bersalin di rumah sakit atau puskesmas (Meutia, 1998).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui dan meneliti tentang "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN DI DUSUN X".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian tersebut yaitu apakah Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pengambilan Keputusan Memilih Penolong Persalinan di Dusun x.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui "Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pengambilan Keputusan Memilih Penolong Persalinan Di Dusun X".
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sosial ekonomi ibu tentang memilih penolong persalinan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sosial budaya ibu tentang memilih penolong persalinan.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan suami dan keluarga ibu tentang memilih penolong persalinan.
d. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jarak pelayanan kesehatan ibu tentang memilih penolong persalinan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi praktik keperawatan
Hasil penelitian di harapkan dapat menjadi masukan untuk peningkatan asuhan keperawatan maternitas, dalam mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan di Dusun X.
2. Bagi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan di Dusun X.
3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini di harapkan pada masyarakat khususnya pada seorang ibu, dapat digunakan sebagai tambahan informasi, tentang apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan.
JUDUL SKRIPSI KEPERAWATAN 1

JUDUL SKRIPSI KEPERAWATAN 1

JUDUL SKRIPSI KEPERAWATAN 1

  • (KODE : KEPRAWTN-0001) : SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN X [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0002) : SKRIPSI HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN ISPA DENGAN KEKAMBUHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS X [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0003) : SKRIPSI KARAKTERISTIK PERAWATAN LANSIA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN GIZI DI PANTI WERDHA X [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0004) : SKRIPSI DUKUNGAN PETUGAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN PROGRAM UKS PADA SD NEGERI DI KECAMATAN X [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0005) : SKRIPSI ANALISA TINGKAT KEPUASAN PASIEN PADA PELAYANAN KEPERAWATAN PRIMA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT X [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0006) : SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DIABETES MELITUS TENTANG KOMPLIKASI DIABETES MELITUS DI RS X [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0007) : SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TBC DI KELURAHAN X [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0008) : SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA DI DESA X [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0009) : SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0010) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0011) : SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0012) : SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN POSYANDU LANSIA
  • (KODE : KEPRAWTN-0013) : SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SINDROMA DISPEPSIA MAHASISWA
  • (KODE : KEPRAWTN-0014) : SKRIPSI DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA TERHADAP ANAK DOWN SYNDROME
  • (KODE : KEPRAWTN-0015) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPUASAN KERJA PERAWAT PUSKESMAS X
  • (KODE : KEPRAWTN-0016) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGETAHUAN TENTANG THERAPI ANTI RETROVIRAL PADA PASIEN HIV AIDS
  • (KODE : KEPRAWTN-0017) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN POSYANDU OLEH IBU BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X
  • (KODE : KEPRAWTN-0018) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU MEROKOK MAHASISWA
  • (KODE : KEPRAWTN-0019) : SKRIPSI GAMBARAN KEPUASAN PASIEN PENGGUNA ASKES PADA PELAYANAN KESEHATAN DI PUSKESMAS X
  • (KODE : KEPRAWTN-0020) : SKRIPSI GAMBARAN PENGETAHUAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA IBU BEKERJA DI KEC X
  • (KODE : KEPRAWTN-0021) : SKRIPSI GAMBARAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG KOMUNIKASI TERAPEUTIK DI RUANG PERAWATAN UMUM
  • (KODE : KEPRAWTN-0022) : SKRIPSI GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG HIV AIDS DI SMPN X
  • (KODE : KEPRAWTN-0023) : SKRIPSI GAMBARAN PERSEPSI PEMENUHAN DASAR PERSONAL HYGIENE PADA ANAK-ANAK JALANAN USIA 6-12 TAHUN
  • (KODE : KEPRAWTN-0024) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PADA LANSIA
  • (KODE : KEPRAWTN-0025) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PELAYANAN POSYANDU DENGAN KUNJUNGAN IBU YANG MEMPUNYAI BALITA
  • (KODE : KEPRAWTN-0026) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN IBU DAN DUKUNGAN SUAMI TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI POSYANDU
  • (KODE : KEPRAWTN-0027) : SKRIPSI HUBUNGAN BEBERAPA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN DIARE DENGAN DEHIDRASI DAN DIARE TANPA DEHIDRASI PADA BALITA YANG DATANG DI PUSKESMAS X
  • (KODE : KEPRAWTN-0028) : SKRIPSI HUBUNGAN BUDAYA ORGANISASI DENGAN KEPUASAN KERJA PERAWAT PELAKSANA
  • (KODE : KEPRAWTN-0029) : SKRIPSI HUBUNGAN KENYAMANAN LINGKUNGAN RUANG RAWAT INAP, ASUPAN MAKANAN DAN KEPATUHAN MINUM OBAT DENGAN PROSES PENYEMBUHAN PADA PASIEN TB PARU DI RS X
  • (KODE : KEPRAWTN-0030) : SKRIPSI HUBUNGAN KEPATUHAN DALAM MENJALANKAN DIET DENGAN GULA DARAH TERKONTROL PADA PASIEN DIABETES MELITUS
  • (KODE : KEPRAWTN-0031) : SKRIPSI HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANG TUA DENGAN IDENTITAS DIRI PADA REMAJA DI SMA X
  • (KODE : KEPRAWTN-0032) : SKRIPSI HUBUNGAN KOMUNIKASI ORANG TUA DENGAN PERILAKU SEKSUAL MAHASISWA
  • (KODE : KEPRAWTN-0033) : SKRIPSI HUBUNGAN LAMA DAN FREKUENSI HEMODIALISIS DENGAN KEPATUHAN PASIEN DALAM MEMBATASI ASUPAN CAIRAN
  • (KODE : KEPRAWTN-0034) : SKRIPSI HUBUNGAN MENGKONSUMSI MAKANAN KARIOGENIK DENGAN KEJADIAN KARIES GIGI ANAK USIA 10 DAN 11
  • (KODE : KEPRAWTN-0035) : SKRIPSI HUBUNGAN PENDIDIKAN KESEHATAN DAN PENGETAHUAN TENTANG ISPA PADA MASYARAKAT DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN ISPA PADA BALITA
  • (KODE : KEPRAWTN-0036) : SKRIPSI HUBUNGAN PENDIDIKAN KESEHATAN, PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU HIDUP BERSIH DAN SEHAT DALAM PENCEGAHAN DIARE PADA BALITA
  • (KODE : KEPRAWTN-0037) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN KEPATUHAN MINUM TABLET ZAT BESI DENGAN ANEMIA PADA IBU HAMIL
  • (KODE : KEPRAWTN-0038) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI IBU-IBU PRIMIPARA DENGAN KEIKUTSERTAAN DALAM SENAM HAMIL
  • (KODE : KEPRAWTN-0039) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN PERAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN SKIZOFRENIA DENGAN GEJALA RELAPS DI SANATORIUM
  • (KODE : KEPRAWTN-0040) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU PRIMIGRAVIDA TRIMESTER III TERHADAP TEKNIK MENYUSUI YANG BENAR
  • (KODE : KEPRAWTN-0041) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TENTANG KONTRASEPSI DENGAN KEPUTUSAN MEMAKAI KONTRASEPSI PASCA ABORTUS
  • (KODE : KEPRAWTN-0042) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA TENTANG SKIZOFRENIA DENGAN KEKAMBUHAN PASIEN SKIZOFRENIA
  • (KODE : KEPRAWTN-0043) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP KLIEN DENGAN KEPATUHAN DIET DIABETES MELITUS TIPE II
  • (KODE : KEPRAWTN-0044) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP MASYARAKAT TENTANG RABIES DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN RABIES
  • (KODE : KEPRAWTN-0045) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP SUAMI MENGENAI ASI EKSKLUSIF DENGAN PENERAPAN BREASTFEEDING FATHER
  • (KODE : KEPRAWTN-0046) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP TENTANG BAHAYA NARKOBA DENGAN PERILAKU PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA REMAJA
  • (KODE : KEPRAWTN-0047) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN GURU TENTANG PENDIDIKAN KESEHATAN DENGAN PENERAPANNYA DI SD
  • (KODE : KEPRAWTN-0048) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG CACINGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN CACINGAN PADA SISWA SD
  • (KODE : KEPRAWTN-0049) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU DENGAN MOTIVASI MAHASISWI UNTUK MELAKUKAN PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI
  • (KODE : KEPRAWTN-0050) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN PERILAKU KELUARGA DALAM PEMBERANTASAN JENTIK DENGAN KEJADIAN DBD
  • (KODE : KEPRAWTN-0051) : SKRIPSI HUBUNGAN PERAWATAN KEBERSIHAN GIGI DAN MULUT DENGAN KEJADIAN KARIES GIGI ANAK PRASEKOLAH DI TK
  • (KODE : KEPRAWTN-0052) : SKRIPSI HUBUNGAN PERILAKU ANGGOTA KELUARGA DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)
  • (KODE : KEPRAWTN-0053) : SKRIPSI HUBUNGAN PERILAKU INDIVIDU TENTANG PENULARAN DAN PENGOBATAN TBC TERHADAP KESEMBUHAN TBC
  • (KODE : KEPRAWTN-0054) : SKRIPSI HUBUNGAN POLA ASUH ORANGTUA DENGAN FOBIA SEKOLAH PADA ANAK PRASEKOLAH DI PAUD X
  • (KODE : KEPRAWTN-0055) : SKRIPSI HUBUNGAN STATUS PARITAS DENGAN TINGKAT KECEMASAN MENGHADAPI PERSALINAN PADA IBU HAMIL TRIMESTER III DI BPS
  • (KODE : KEPRAWTN-0056) : SKRIPSI HUBUNGAN STRES DAN MEKANISME KOPING LANSIA DENGAN PENYESUAIAN DIRI TERHADAP KEHILANGAN PASANGAN HIDUP
  • (KODE : KEPRAWTN-0057) : SKRIPSI HUBUNGAN TINDAKAN PERSONAL HYANGIENE DENGAN KEJADIAN DIARE PADA ANAK BATITA DI POSYANDU X
  • (KODE : KEPRAWTN-0058) : SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN ANAK TENTANG KESEHATAN GIGI DAN MULUT DENGAN PERILAKU MENGGOSOK GIGI PADA SISWA SD
  • (KODE : KEPRAWTN-0059) : SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU HAMIL TENTANG PERTUMBUHAN JANIN DENGAN KEPATUHAN IBU HAMIL DALAM MELAKUKAN KUNJUNGAN ANC DI PUSKESMAS
  • (KODE : KEPRAWTN-0060) : SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU PRIMIPARA TENTANG MENYUSUI DENGAN TEKNIK MENYUSUI
  • (KODE : KEPRAWTN-0061) : SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT DAN PROSEDUR PEMASANGAN INFUS DENGAN KECEMASAN ORANG TUA TERHADAP ANAKNYA YANG DILAKUKAN PEMASANGAN INFUS
  • (KODE : KEPRAWTN-0062) : SKRIPSI HUBUNGAN USIA DAN JENIS KELAMIN REMAJA DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN REMAJA TENTANG PENYAKIT INFEKSI MENULAR SEKSUAL DI SMA
  • (KODE : KEPRAWTN-0063) : SKRIPSI KARAKTERISTIK DAN MINAT MASYARAKAT MENGGUNAKAN PELAYANAN KESEHATAN PUSKESMAS DI DESA X
  • (KODE : KEPRAWTN-0064) : SKRIPSI MOTIVASI DAN KINERJA PERAWAT PUSKESMAS MODEL KOTA X
  • (KODE : KEPRAWTN-0065) : SKRIPSI PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP KOMITMEN ORGANISASI PADA PERAWAT DI RSUD
  • (KODE : KEPRAWTN-0066) : SKRIPSI PENGARUH KONSELING TERHADAP KEMAMPUAN PASIEN HIV AIDS MENINGKATKAN HARGA DIRI
  • (KODE : KEPRAWTN-0067) : SKRIPSI PENGARUH MOTIVASI DAN PENGETAHUAN TERHADAP PENGGUNAAN KONTRASEPSI SUNTIK PADA IBU PRIMIPARA DI KELURAHAN X
  • (KODE : KEPRAWTN-0068) : SKRIPSI PENGARUH SENAM DIABETES TERHADAP PERUBAHAN KADAR GULA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELITUS
  • (KODE : KEPRAWTN-0069) : SKRIPSI PENGARUH TEKNIK HIPNOTIS TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI FRAKTUR
  • (KODE : KEPRAWTN-0070) : SKRIPSI PENGATURAN DIET PADA LANSIA DENGAN HIPERTENSI DI DESA X
  • (KODE : KEPRAWTN-0071) : SKRIPSI PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU HAMIL TENTANG INISIASI MENYUSUI DINI DI POLIKLINIK
  • (KODE : KEPRAWTN-0072) : SKRIPSI PERBEDAAN TAKSIRAN BERAT JANIN DARI IBU ANEMIA DENGAN IBU TIDAK ANEMIA BERDASARKAN RUMUS NISWANDER DI PUSKESMAS
  • (KODE : KEPRAWTN-0073) : SKRIPSI PERILAKU PETUGAS KESEHATAN DALAM PELAKSANAAN INISIASI MENYUSU DINI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X
  • (KODE : KEPRAWTN-0074) : SKRIPSI PERSEPSI TENTANG HUBUNGAN SEKSUAL SELAMA KEHAMILAN PADA IBU YANG MELAKUKAN PEMERIKSAAN KEHAMILAN DI PUSKESMAS
  • (KODE : KEPRAWTN-0075) : SKRIPSI TINGKAT KEPUASAN PASIEN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS X
  • (KODE : KEPRAWTN-0076) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0077) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0078) : SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0079) : SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : KEPRAWTN-0080) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN [[ LIHAT BAB I ]]
     


SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI

SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI


(KODE : KEPRAWTN-0011) : SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI


BAB 1 
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Imunisasi dalam sistem kesehatan nasional adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak atau balita, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi (Ranuh dkk, 2008).
Imunisasi merupakan pemberian kekebalan pada bayi dan anak terhadap berbagai penyakit, sehingga bayi dan anak tumbuh dalam keadaan sehat (Hidayat, 2008). Pemberian imunisasi merupakan tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit infeksi tertentu seperti tetanus, batuk rejan (pertusis), campak (measles), polio dan tubercoluse. atau seandainya terkenapun, tidak memberikan akibat yang fatal bagi tubuh (Rukiyah & Yulianti, 2010).
Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya imunisasi global yang disebeut dengan Extended Program on Immunization (EPI) cakupan terus meningkat (Ranuh dkk, 2008). Tanpa imunisasi kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, sebanyak 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan, satu dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus, dan dari setiap 200.000 anak, satu akan menderita penyakit polio (Proverawati & Andhini, 2010).
Dari tahun 1977, World Health Organization (WHO) mulai menetapkan program imunisasi sebagai upaya global dengan Expanded Program on Immunization (EPI), yang diresolusikan oleh World Health Assembly (WHA). Ini menempatkan EPI sebagai komponen penting pelayanan kesehatan. Pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982 imunisasi campak, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan. Pada akhir tahun 1988 diperkirakan bahwa cakupan imunisasi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan beberapa Negara berkembang lainnya (Proverawati & Andhini, 2010).
Di Indonesia, cakupan bayi di imunisasi pada tahun 2009 menunjukkan bahwa dari jumlah sasaran 4.851.942 jiwa bayi, cakupan imunisasi Hepatitis B (HB) usia O bulan atau kurang dari 7 hari (65,7%), imunisasi Bacillus Celmette Guerin (BCG) (90,3%), imunisasi Polio 1 (97,7%), imunisasi Difteri, Pertusis dan Tetanus/Hepatitis B (DPT/HB) 1 (96,1%), imunisasi Polio 2 (94,2%), imunisasi DPT/HB 2 (93,0%), imunisasi Polio 3 (92,8%), imunisasi DPT/HB 3 (91,8%), imunisasi Polio 4 (89,9%), dan imunisasi Campak (89,2%). Dari data tersebut cakupan yang paling rendah yaitu pada imunisasi campak (89%) (Buletin data surveilans PD3I & imunisasi, 2009).
Cakupan imunisasi pada bayi di provinsi ini pada tahun 2009 menunjukkan bahwa dari jumlah sasaran bayi sebanyak 323.846 jiwa, cakupan imunisasi (HB) usia 0 bulan atau kurang dari 7 hari (48,5%), imunisasi BCG (68,3%), imunisasi Polio 1 (91,2%), imunisai DPT/HB 1 (88,4%), imunisasi Polio 2 (86,9%), imunisasi DPT/HB 2 (85,6%), imunisasi Polio 3 (85,0%), imunisasi DPT/HB 3 (82,9%), imunisasi Polio 4 (82,0%), dan imunisasi campak (81,6%). Terlihat bahwa cakupan imunisasi yang paling rendah yaitu imunisasi hepatitis B (HB) usia O bulan atau kurang dari 7 hari dan imunisasi BCG (68,3%), dimana target cakupan untuk setiap imunisasi adalah 100% (Buletin data surveilans PD3I & imunisasi Provinsi Sumut, 2009).
Data di Puskesmas X pada November 2010, berdasarkan hasil survey peneliti bahwa sasaran imunisasi di daerah tersebut sebanyak 87 jiwa bayi, cakupan imunisasi Bacillus celmette Guerin (BCG) sebanyak 40 jiwa bayi (45,97%), imunisasi DPT 1 sebanyak 28 jiwa bayi (32,18%), imunisasi DPT 2 sebanyak 20 jiwa bayi (22,98%), imunisasi DPT 3 sebanyak 6 jiwa bayi (6,89%), imunisasi Polio 1 sebanyak 50 jiwa bayi (57,47%), imunisasi polio 2 sebanyak 44 jiwa bayi (50,57%), imunisasi Polio 3 sebanyak 30 jiwa bayi (34,48%), imunisasi Polio 4 sebanyak 15 jiwa bayi (17,28%), dan imunisasi campak sebanyak 33 jiwa bayi (37,93%). Dari data tersebut menunjukkan bahwa seluruh jenis imunisasi belum mencapai target cakupan, dan cakupan yang paling rendah adalah pada imunisasi DPT 3 sebanyak 6 jiwa bayi (6,89%) dan imunisasi polio 4 sebanyak 15 jiwa (17,24%) (Laporan Tahunan Puskesmas X, 2010).
Dari data diatas cakupan imunisasi belum memenuhi UCI (Universal Coverage Imunization) yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010 (Proverawati & Andhini, 2010). Walaupun sudah diberikan gratis oleh pemerintah. Hal tersebut dikarenakan dengan berbagai alasan seperti pengetahuan ibu yang kurang tentang imunisasi dan rendahnya kesadaran ibu membawa anaknya ke Posyandu atau Puskesmas untuk mendapatkan imunisasi yang lengkap karena takut anaknya sakit, dan ada pula yang merasa bahwa imunisasi tidak diperlukan untuk bayinya, kurang informasi/penjelasan dari petugas kesehatan tentang manfaat imunisasi ,serta hambatan lainnya (Ranuh dkk, 2008).
Data dan uraian diatas menunjukkan bahwa cakupan pelayanan yang berdampak pada penurunan angka kesehatan bayi di Puskesmas X masih menunjukkan nilai yang masih rendah, salah satu penyebabnya adalah pengetahuan ibu tentang imunisasi yang masih kurang.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan ibu dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada anak di Kelurahan X.

1.2 Tujuan Umum
1.2.1.Mengidentifikasi hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar pada anak di kelurahan X.

1.3 Tujuan Khusus
1.3.1 Mengidentifikasi pengetahuan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar pada anak di Kelurahan X.
1.3.2 Mengidentifikasi kelengkapan imunisasi dasar pada anak di Kelurahan X.

1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Pendidikan Keperawatan.
Diharapkan akan dapat menjadi sumber informasi tambahan bagi pendidikan keperawatan dalam meningkatkan Ilmu pengetahuan dan pendidikan khususnya yang berkaitan dengan kelengkapan imunisasi dasar pada anak.
1.4.2 Praktek Keperawatan.
Diharapkan akan dapat digunakan untuk praktek keperawatan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga menjadi tambahan informasi dalam memahami kelengkapan imunisasi dasar pada anak.
1.4.3 Penelitian keperawatan.
Diharapkan akan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi peneliti, dan dapat digunakan sebagai informasi awal untuk penelitian selanjutnya.

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN


(KODE : KEPRAWTN-0010) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
PASI adalah singkatan dari Pengganti Air Susu Ibu (PASI), dan umumnya berupa susu formula. PASI merupakan makanan bayi yang dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. (www.asuh.wikia.co. 2009). PASI dapat diberikan dalam keadaan dimana bayi harus dipisahkan dari ibunya, misalnya jika si ibu menderita sakit parah atau menular, bayi dapat diberi ASI sesuia petunjuk dokter atau tim kesehatan.
Berdasarkan rekomendasi dari WHO dan UNICEF di Geneva pada tahun 1979 menyusui merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah serta merupakan dasar biologik dan psikologik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Susu formula mudah terkontaminasi oleh kuman dan dalam pemberian susu formula harus disesuaikan dengan takaran susu dan umur bayi. Apabila takaran susu tidak sesuai maka mengakibatkan diare (Sarwono, 1999).
Bayi yang diberi susu formula mengalami kesakitan diare 10 kali lebih banyak yang menyebabkan angka kematian bayi juga 10 kali lebih banyak, infeksi usus karena bakteri dan jamur 4 kali lipat lebih banyak, sariawan mulut karena jamur 6 kali lebih banyak. Penelitian di Jakarta memperlihatkan persentase kegemukan atau obesitas terjadi pada bayi yang mengkonsumsi susu formula sebesar 3,4% dan kerugian lain menurunnya tingkat kekebalan terhadap asma dan alergi (Dwinda, 2006).
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) (2003), angka kematian bayi di Indonesia sebesar 35/1000 kelahiran hidup. Angka kesakitan dan angka kematian bayi ditimbulkan salah satunya disebabkan dari dampak susu formula tersebut.
Menurut profil Dinkes Sumut 2005, pemberian ASI Eksklusif di 9 kabupaten Sumatera Utara yang tidak memberikan ASI eksklusif, Asahan 90%, Tanjung Balai 84%, Tobasa 81%, Tapsel 68,5%, Sibolga 68%, Taput 58,5%, Tapteng 46%, dan Labuhan Batu 39%.
Tidak semua bayi dapat menikmati ASI secara eksklusif dari ibu, hal ini dikarenakan oleh berbagai keadaan tertentu misalnya, keluarga ibu yang memutuskan untuk tidak menyusui bayi karena adanya suatu penyakit, misalnya: tuberculosis (TBC), atau Acuired Immunodeficiency Syndrom (AIDS). Dengan keadaan tersebut cara lain untuk memenuhi kebutuhan gizi pada bayi adalah dengan memberikan susu formula sebagai Pengganti Air Susu Ibu (PASI) (Roesli, 2000).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Cohen dan kawan-kawan di Amerika pada tahun 1995 diperoleh bahwa 25% ibu-ibu yang memberikan ASI secara eksklusif pada bayi dan 75% ibu-ibu yang memberikan susu formula pada bayi. Bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif lebih jarang terserang penyakit dibandingkan dengan bayi yang memperoleh susu formula, karena susu formula memerlukan alat-alat yang bersih dan perhitungan takaran susu yang tepat sesuai dengan umur bayi. Hal ini membutuhkan pengetahuan ibu yang cukup tentang dampak pemberian susu formula (Roesli, , 2000).
Angka kejadian dan kematian akibat diare pada anak-anak di negara-negara berkembang masih tinggi, lebih-lebih pada anak yang sedang mendapat susu formula dibandingkan dengan anak yang mendapat ASI. Meningkatnya penggunaan susu formula dapat menimbulkan barbagai masalah, misalnya kekurangan kalori protein tipe marasmus, moniliasis pada mulut, dan diare karena infeksi (Soetjiningsih, 1997).
Di Indonesia masih banyak ibu-ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayi, karena kaum ibu lebih suka memberikan susu formula dari pada memberikan ASI. Hal ini disebabkan oleh pekerjaan ibu, penyakit ibu serta ibu-ibu yang beranggapan bahwa apabila ibu menyusui maka payudaranya tidak indah lagi sehingga suami tidak sayang (Soetjiningsih, 1997).
Presentasi kaum ibu-ibu yang berada di pedesaan yang memberikan ASI pada bayinya sebesar 80-90% sampai bayi berumur lebih dari 1 tahun. Tetapi dengan adanya iklan dan sumber informasi tentang susu formula maka kecendrungan masyarakat untuk meniru gaya hidup modern. Di Jakarta lebih dari 50% bayi yang berumur 2 bulan telah mendapat susu formula karena pada awalnya calon ibu tidak diberikan penjelasan dan penyuluhan tentang pemberian ASI eksklusif (Soetjiningsih, 1997).
Berdasarkan profil kesehatan Kecamatan Sibolga Sambas tahun 2008 menunjukkan bahwa 54 bayi dinyatakan 32 bayi mendapatkan susu formula. Sedangkan dari hasil tersebut menunjukkan bahwa masih ada ibu-ibu di Kecamatan Sibolga Sambas yang memberikan susu formula kepada bayi.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku PASI Ibu Dengan Pasien Diare Pada Anak Usia 1-24 Bulan Di Di Rumah Sakit X.

B. Masalah Penelitian
Pada penelitian RISDAYATI, 2008, mengenai perbedaan lama hari rawat inap diare pada anak (7-24 bulan) yang diberi ASI eksklusif degan yang diberi PASI di RS. X. dengan jumlah sampel 48 orang. Hasil penelitian sebanyak 34 (70,8%) dirawat dengan Diare, diberi PASI.
Dari data diatas peneliti ingin menegtahuai sejauhmana kontribusi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku PASI Ibu Dengan Pasien Diare Pada Anak Usia 1-24 Bulan. Secara khusus masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran karakteristik responden
a. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan usia ibu.
b. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan ibu.
c. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu.
d. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan penghasilan keluarga..
2. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang Diare.
3. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang PASI.
4. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang Diare dengan perilaku PASI.
5. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang PASI dengan perilaku PASI.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahuai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku PASI Ibu dengan klien diare pada anak 1-24 bulan Di Rumah Sakit X.
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden
1) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan usia ibu.
2) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan ibu.
3) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu.
4) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan penghasilan keluarga..
b. Memperoleh informasi tentang gambaran pengetahuan ibu tentang Diare.
c. Memperoleh informasi tentang gambaran pengetahuan ibu tentang PASI.
d. Memperoleh informasi hubungan antara pengetahuan ibu tentang Diare dengan perilaku PASI.
e. Memperoleh informasi hubungan antara pengetahuan ibu tentang PASI dengan perilaku PASI.

D. Manfaat penelitian
1. Bagi ibu
Penelitian ini akan menjadi informasi dan masukan dalam meningkatkan pengetahuan ibu mengenai perilaku pemberian susu formula pada anak dalam mencegah diare.
2. Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman berharga bagi peneliti dalam menerapkan ilmu metode penelitian dan menambah wawasan pengetahuan tentang perilaku PASI yang baik untuk mencegah diare.
3. Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi atau sumber informasi untuk penelitian berikutnya dan sebagai bahan bacaan di perpustakaan.
SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X

SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X


(KODE : KEPRAWTN-0009) : SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Sehat menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah keadaan baik pada seluruh badan serta bagian-bagiannya. Menurut UU no 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. WHO mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.
Menurut Kisanti (2008), kesehatan anak penting sekali artinya bagi keluarga, ibaratnya kesehatan anak merupakan kebahagiaan bagi orangtua. Jika anak sakit hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kesehatan anak menentukan kualitas anak dikemudian hari, karena keberhasilan anak dimasa yang akan datang akan tergantung dari bagaimana anak menjalani tahap awal kehidupannya yaitu usia bayi, toddler, prasekolah dan sekolah. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam pemenuhan kebutuhan anak untuk pertumbuhan dan perkembangan anak (Supartini, 2004).
Dalam proses perkembangan anak usia prasekoah ada ciri- ciri yang melekat pada anak-anak tersebut. Menurut Snowman (dalam Patmonodewo, 2003) mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6 tahun) yang meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak. Pertama pada ciri fisik, anak prasekolah terlihat lebih aktif sehingga membutuhkan kontrol pada tubuhnya untuk istirahat yang cukup. Hal ini dikarenakan anak prasekolah seringkali tidak menyadari bahwa mereka harus beristirahat yang cukup. Kedua pada ciri sosial, pada tahap ini anak prasekolah lebih cepat bersosialisasi dengan teman-temannya. Ketiga pada ciri emosi, dimana pada tahap ini anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka, sedangkan pada ciri perkembangan kognitif anak prasekolah umunya terampil dalam berbahasa.
Pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dicapai secara optimal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak diantaranya pemberian nutrisi yang adekuat, memfasilitasi kegiatan bermain, dan melakukan upaya pemeliharaan kesehatan untuk pencegahan penyakit. Salah satu upaya pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit adalah dengan pemberian imunisasi. Dimana imunisasi merupakan upaya yang dilakukan dengan sengaja, memberikan kekebalan pada anak prasekolah sehingga terhindar dari penyakit. Masalah kesehatan yang sering dijumpai pada anak prasekolah diantaranya adalah infeksi (Supartini, 2004).
Saat anak prasekolah dirawat di rumah sakit, kondisi ini memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan rumah yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan serta hilangnya waktu bermain bersama teman-teman sepermainannya. Adapun reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah selama dirawat di rumah sakit adalah dengan menolak makan, sering bertanya kepada orang tuanya tentang hal-hal yang tidak dipahaminya, menangis dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
Dampak dari perpisahan yang dialami anak prasekolah saat dirawat di rumah sakit akan menimbulkan rasa kecemasan pada anak tersebut. Kecemasan adalah suatu penyerta yang normal dalam merespon sesuatu yang baru dan belum pernah dialami. Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan kecemasan bagi anak maupun orang tua. Faktor yang mempengaruhi kecemasan anak yang dirawat di rumah sakit antara lain lingkungan rumah sakit, bangunan fisik, bau khas rumah sakit, obat-obatan, alat-alat medis, petugas kesehatan, warna seragam, dan sikap petugas kesehatan seperti dokter dan perawat (Moersintowati, dkk 2008). Menurut Supartini (2004), perawatan di rumah sakit seringkali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak merasa malu, bersalah, cemas dan takut. Anak juga sering merasa takut pada hal-hal yang tidak logis, seperti takut gelap, monster, dll. Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak usia prasekolah yaitu cemas, marah, sedih, takut dan rasa bersalah. Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan serta lingkungan rumah sakit (Wong, 2000). Penelitian Isle of Wight yang dilaporkan oleh Rutter dan kawan-kawan (dalam Nelson, 2000) menemukan prevalensi gangguan kecemasan adalah 6,8%. Sekitar sepertiga anak ini adalah cemas berlebihan, dan sepertiga lainnya menderita ketakutan spesifik atau fobia yang merupakan cacat. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Furi Seftiani yang berjudul Hubungan Antara Perilaku Caring Dengan Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Klien Anak di Ruang Perawatan Anak RS Sentra Medika Cimanggis (2008), didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap caring perawat dengan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada klien anak di ruang perawatan anak.
Upaya untuk mengatasi kecemasan pada anak antara lain yang pertama melibatkan orang tua anak, agar orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam. Jika tidak mungkin, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud untuk mempertahankan kontak antara mereka. Yang kedua melakukan modifikasi lingkungan rumah sakit, agar anak tetap merasa nyaman dan tidak asing dengan lingkungan baru. Upaya yang ketiga adalah peran dari petugas kesehatan rumah sakit (dokter, perawat), dimana diharapkan petugas kesehatan khususnya perawat harus menghargai sikap anak karena selain orang tua perawat adalah orang yang paling dekat dengan anak selama perawatan di rumah sakit. Sekalipun anak menolak orang asing (perawat), namun perawat harus tetap memberikan dukungan dengan meluangkan waktu secara fisik dekat dengan anak menggunakan suara bernada tenang, pilihan kata yang tepat, kontak mata dan sentuhan secara empati (Wong, 2008).
Komunikasi merupakan upaya individu dalam menjaga dan mempertahankan individu untuk tetap berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi adalah kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih, dalam bentuk pembagian ide, pikiran dengan menggunakan lambang, memiliki tujuan tejadi perubahan pada orang lain (Tamsuri, 2008). Effendy (2002) dalam Suryani (2004) menyatakan lima komponen dalam komunikasi yaitu komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003). Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang mempunyai efek penyembuhan. Karena komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi yang akurat dan membina hubungan saling percaya terhadap klien, sehingga klien akan merasa puas dengan pelayanan yang diterimanya. Apabila perawat dalam berinteraksi dengan klien tidak memperhatikan sikap dan teknik dalam komunikasi terapeutik dengan benar dan tidak berusaha untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi terapeutik, maka hubungan yang baik antara perawat dengan klienpun akan sulit terbina (Anggraini, 2009). Cara berkomunikasi pada anak berbeda dengan komunikasi terapeutik pada orang dewasa. Komunikasi terapeutik pada anak hendaknya selalu memperhatikan nada suara, jarak interaksi dengan anak, sentuhan yang diberikan kepada anak harus atas persetujuan anak (Mundakir, 2006).
Dalam komunikasi terapeutik ada beberapa sikap dan teknik komunikasi yang harus dipahami oleh perawat. Sikap komunikasi terapeutik pada anak prasekolah antara lain memberitahu apa yang terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada anak untuk menyentuh alat pemeriksa yang akan digunakan, bicara lambat, hindari sikap mendesak untuk dijawab, hindari konfrontasi langsung, salaman pada anak (untuk mengurangi kecemasan). Sedangkan teknik komunikasi terapeutik dengan anak yang harus dipahami oleh perawat antara lain teknik non verbal teknik orang ketiga, bercerita, dan teknik verbal menulis, menggambar, bermain (Tamsuri, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh A.Aziz A.Hidayat (2003) yang berjudul Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Perawat Dalam Komunikasi Terapeutik Pada Anak Usia Prasekolah di RSUD Dr.Soetomo Surabaya (2003), didapatkan hasil penegetahuan perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah di RSUD Dr.Soetomo adalah 56,3% berpengetahuan baik dan 43,8% berpengetahuan kurang. Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah di RSUD Dr. Soetomo adalah 65,6% bersikap positif dan 34,4% bersikap negatif.
Berdasarkan survey awal peneliti yang dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 2009, peneliti mendapatkan informasi bahwa sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian di rumah sakit ini mengenai komunikasi terapeutik pada anak di rumah sakit X . Di rumah sakit X terdapat dua ruang perawatan anak (satu ruangan kelas satu dan dua, satu ruangan kelas tiga) dengan kapasitas 30 tempat tidur, data kunjungan ke rumah sakit X khususnya pasien anak setiap bulannya cukup banyak, tiga bulan terakhir sekitar 74 pasien anak yang dirawat di rumah sakit X. Hasil studi pendahuluan terhadap anggota keluarga dari anak yang dirawat mengungkapkan bahwa waktu kunjungan terbatas dan jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu juga terbatas, kecemasan anak bertambah selama dirawat karena anak harus berpisah dengan orang-orang terdekatnya. Selain itu dari hasil wawancara dengan orang tua anak yang dirawat dua hari di ruang rawat anak rumah sakit X mengungkapkan dari sejak pertama kali masuk dan dirawat anak sering menangis, terlihat gelisah, juga takut jika didekati perawat dan jika akan diberikan suatu tindakan keperawatan. Sedangkan 3 dari 5 orang tua anak yang anaknya telah dirawat selama 5 hari mengungkapkan awal-awal dirawat anaknya juga sering menangis jika didekati perawat tetapi sekarang sudah tidak takut lagi kecuali jika akan diberikan tindakan tertentu (seperti dipasang infus). Menurut beberapa orang tua anak yang dirawat, komunikasi yang diterapkan perawat baik kepada anak maupun kepada orang tua sudah cukup baik, walaupun ada beberapa perawat yang dirasakan belum menerapkan cara-cara atau teknik komunikasi ke anak. Hasil wawancara kepada pihak managemen rumah sakit X yang dilakukan peneliti pada tanggal 16 Februari 2010 didapatkan data dari hasil angket yang diberikan pihak rumah sakit kepada pasien tingkat kepuasan pasien yang dirawat selama 3 bulan terakhir cukup bagus (85% pasien puas dengan pelayanan yang rumah sakit berikan). Selain itu penerapan komunikasi terapeutik di rumah sakit X sudah diterapkan, dan di rumah sakit X selalu dilaksanakan pelatihan tentang penerapan komunikasi terapeutik kepada semua karyawan termasuk kepada perawat.
Dari permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak prasekolah yang diruang perawatan rumah sakit X .

B. Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan adalah apakah ada hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada anak prasekolah di ruang perawatan rumah sakit X
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran tentang karakteristik (jenis kelamin dan lama hari rawat) pasien anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X
b. Memperoleh gambaran tentang kecemasan pasien prasekolah anak di ruang perawatan anak rumah sakit X
c. Menganalisis hubungan antara sikap komunikasi terapeutik perawat dengan kecemasan pada anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X
d. Menganalisis hubungan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan kecemasan pada anak prasekolah yang di ruang perawatan anak rumah sakit X

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti : Dapat memperkaya ilmu keperawatan khususnya tentang komunikasi terapeutik agar dapat diterapkan dengan baik dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien di rumah sakit.
2. Bagi Perawat : Dapat menjadi pendorong agar memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien khususnya pasien anak, sehingga masalah psikologis pada anak dapat teratasi juga dapat membantu proses penyembuhan.
3. Bagi Institusi Pendidikan : Dapat menjadi tambahan informasi tentang pentingnya komunikasi terapeutik bagi pasien anak pra sekolah dan sebagai bahan informasi perawat untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan dan sikap dalam berkomunikasi secara terapeutik.
4. Bagi Rumah Sakit : Dapat menjadi masukan yang digunakan untuk penerapan komunikasi terapeutik kepada pasien anak prasekolah sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
5. Bagi Pasien : Dapat menjadi informasi sebagai pertimbangan memilih pelayanan kesehatan.
SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA DI DESA X

SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA DI DESA X


(KODE : KEPRAWTN-0008) : SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA DI DESA X




BAB 1 
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih (WHO, 1965). Menjadi tua (lanjut usia) merupakan peristiwa yang sangat alamiah dan normal terjadi pada setiap manusia. Setiap manusia tentunya berharap dapat menjalani masa tuanya dengan bahagia. Ketika memasuki masa tua tersebut, sebagian lansia dapat menjalaninya dengan bahagia, namun tidak sedikit dari mereka yang mengalami hal sebaliknya, masa tua dijalani dengan rasa ketidakbahagiaan, sehingga menyebabkan rasa ketidaknyamanan (Dana, 2007). Ketidakbahagiaan tersebut bisa disebabkan karena kondisi lingkungan, kurangnya perawatan, perhatian ataupun kepedulian dari orang-orang di sekitar lansia, .terutama keluarga. Sebagian lansia tinggal bersama dengan keluarga sendiri dan ada juga yang tinggal di Panti Werdha atau tempat lainnya, tetapi menurut Tachman (1999), tempat yang paling baik bagi lansia adalah tempat tinggalnya sendiri dengan anggota keluarga lainnya. Perawatan yang dilakukan oleh anak sendiri diduga memberikan rasa aman dan nyaman karena mereka lebih toleran terhadap lansia dibandingkan kerabat atau orang lain, sehingga kebutuhan fisik, psikis, sosial, ekonomi dan spiritual lansia bisa terpenuhi dengan baik.
Jumlah lansia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, di seluruh dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta, dengan usia rata-rata 60 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1, 2 milyar (Nugroho, 2000). Berdasarkan data penduduk mutakhir, jumlah lansia di Indonesia sekarang sekitar 16 juta jiwa (Sabdono, 2007). Pada tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 273 juta jiwa, dan hampir seperempat dari jumlah penduduk tersebut atau sekitar 62, 4 juta jiwa tergolong sekelompok penduduk lanjut usia. Bahkan, jika menggunakan model proyeksi penduduk PBB, jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2050 menjadi dua kali lipat atau sekitar 120 juta jiwa lebih (Sardjunani, 2007). Sedangkan di Provinsi X berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2007, jumlah penduduk yang berumur 60 tahun ke atas mencapai 693.494 jiwa, atau 5,4% dari jumlah penduduk di Provinsi X (12.834.371 jiwa). Dan jumlah penduduk lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y sebanyak 213 jiwa (Laporan Kepala Desa Z, 2009).
Peningkatan persentase penduduk lanjut usia membawa implikasi terhadap berbagai sektor pembangunan lainnya. Pergeseran struktur penduduk dari muda ke tua tersebut antara lain berdampak terhadap perubahan kebijakan pemerintah, tidak saja di sektor kependudukan tetapi juga di sektor kesehatan, sosial dan bahkan ke sektor ekonomi. Hal ini tentunya membawa implikasi pada kebijakan yang dibuat harus dapat mengakomodasi keberadaan lanjut usia dengan segala karakteristiknya baik dari aspek demografi, sosial dan ekonomi. Faktor-faktor seperti demografi, sosial dan ekonomi banyak melatarbelakangi lanjut usia melakukan aktivitas yang beragam, baik yang bernilai ekonomi maupun yang tidak bernilai ekonomi (Mundiharno, 1997).
Masalah kesehatan lanjut usia tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses kemunduran yang panjang. Ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap, dan pada waktu kompensasi terhadap penurunan ini dapat dilakukan, dikenal sebagai "senescence", yaitu masa proses menjadi tua. Seseorang akan menjadi semakin tua pada awal atau akhir usia enam puluhan, tergantung pada laju kemunduran fisik dan mentalnya, dan juga tergantung pada masing-masing individu yang bersangkutan. Penyebab fisik dari kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh bukan karena penyakit khusus, tetapi karena proses menua. Akibatnya terjadi penurunan pada peranan-peranan sosial dan timbulnya gangguan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain. Kemunduran juga bisa terjadi oleh karena faktor psikologis. Sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan kehidupan pada umumnya dapat menuju ke keadaan seseorang yang menjadi eksentrik, kurang perhatian dan terasing secara sosial sehingga penyesuaian dirinya menjadi buruk, akibatnya orang menurun secara fisik dan mental sehingga mengalami penurunan dalam melakukan aktivitasnya. Seseorang yang mengalami ketegangan dan stres hidup akan mempengaruhi laju kemunduran tersebut. Demikian juga, bahwa motivasi memainkan peranan penting dalam kemunduran. Dengan adanya gangguan tersebut, menyebabkan lanjut usia menjadi tidak mandiri dan membutuhkan orang lain untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari (Hurlock, 2002).
Dalam menghadapi kemunduran, mereka membutuhkan bantuan untuk mencapai rasa tentram, nyaman, kehangatan dan perlakuan yang layak dari lingkungannya. Memberikan perhatian pada lanjut usia dan mengupayakan agar mereka tidak terlalu tergantung pada orang lain, mampu membantu diri sendiri, itu semua adalah kewajiban keluarga dan lingkungan (Supartondo, 2003).
Berdasarkan data dari Kantor Kepala Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y terdapat 213 jiwa lanjut usia di Desa Zi Kecamatan X Kabupaten Y dan jumlah keluarga yang memiliki lanjut usia sebanyak 173 keluarga. Dari data yang didapat, tidak semua kemunduran yang dialami lanjut usia sama, tetapi tergantung dari cara perawatan keluarga terhadap lanjut usia itu sendiri.
Berdasarkan kondisi di atas, peneliti menjadi tertarik untuk meneliti bagaimana perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y dalam mencegah atau menanggulangi kemunduran yang dialami oleh lanjut usia.

2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, adapun pertanyaan dari penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y?

3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi gambaran perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y.

4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ditujukan pada Praktek Keperawatan, Pendidikan Keperawatan, Penelitian Keperawatan dan Keluarga Lansia.
- Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam memberikan intervensi keperawatan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sebagai upaya meningkatkan kebutuhan perawatan keluarga terahadap lansia.
- Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence base yang diintegrasikan dalam wahana pembelajaran keperawatan keluarga, khususnya perawatan gerontik tentang materi pembelajaran gambaran perawatan keluarga tehadap lansia, sehingga informasi ini dapat dikembangkan dalam praktek belajar lapangan.
- Penelitian Keperawatan
Hasil penelian ini dapat digunakan sebagai informasi lanjutan pada penelitian selanjutnya yang meneliti tentang perawatan keluarga terhadap lansia, baik lansia yang sehat maupun lansia dengan berbagai gangguan kesehatan.
- Keluarga Lansia
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi keluarga dalam merawat lansia untuk meningkatkan kualitas hidup lansia dan agar lansia dapat menjalani hari tua dengan rasa aman, nyaman dan menyenangkan.
SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TBC DI KELURAHAN X

SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TBC DI KELURAHAN X


(KODE : KEPRAWTN-0007) : SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TBC DI KELURAHAN X




BAB I 
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, dan sebagian lagi dapat menyerang diluar paru-paru, seperti kelenjar getah bening (kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan.(Laban, 2008).
Kuman TBC telah menginfeksi sepertiga penduduk didunia, dan setiap tahunnya 8 juta orang menderita penyakit TBC, bahkan hampir 2 juta orang meninggal karena penyakit tersebut.(DepKes.RI, 2002).
Penyakit TBC pada tanggal 21 Oktober 2008 masih merupakan masalah utama masyarakat Indonesia. Jumlah penderita TBC di Indonesia mencapai 10% peringkat ke 3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina. TBC merupakan penyebab kematian tertinggi diantara penyakit menular lainnya. Penyakit TBC ini menyebabkan produktivitas orang yang mengidapnya menjadi menurun bahkan dapat menyebabkan kematian. Penurunan produktivitas penderita akan menyebabkan menurunnya aktivitas ekonomi sehingga pada akhirnya penyakit tuberculosis ikut menambah beban ekonomi. Menurut dokter Bondan, kepala dinas kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mengatakan berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 sebesar 107 / 100.000 penduduk (246.000 kasus baru setiap tahun), dan prevalensi 597.000 kasus (untuk semua kasus) TBC adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia, yang menyebabkan sekitar 300 orang setiap hari atau lebih dari 100.000 orang setiap tahun meninggal karena TBC. Dalam soal penagananya, pada tahun 2007 khususnya di DIY pelaksanaan pemberantasan penyakit TBC berhasil menemukan dan menngobati 1.136 penderita TBC masih dibawah target nasional sekitar 70%. sedangkan angka kesembuhan baru mencapai 79,30% dari target nasional sebesar 85%, dan angka kesuksesan 84,23% yang berarti juga di bawah target nasional sebesar 85%. http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?td=4970 diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 orang penderita TBC dengan jumlah kematian sebanyak 140.000 orang, hal ini di ungkapkan WHO pada tahun 1999. Secara kasar diperkirakan dari setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 orang penderita baru TBC paru BTA positif. Penyakit TBC menjadi masalah sosial, karena sebagian besar penderitanya adalah kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah, dan tingkat pendidikan rendah. Selain itu masalah lainnya adalah pengobatan penyakit TBC yang memerlukan j angka waktu lama dan rutin yaitu 6-8 bulan. Dengan demikian, apabila penderita meminum obat secara tidak teratur/tidak selesai, justru akan mengakibatkan terjadinya kekebalan ganda kuman TBC terhadapm Obat Anti -Tuberkulosis (OAT), yang akhirnya untuk pengobatannya penderita harus mengeluarkan biaya yang tinggi/mahal serta dalam jangka waktu yang relatif lebih lama.(DepKes.RI, 2002).
TBC menyerang lebih dari 75% penduduk usia produktif, 20-30% pendapatan keluarga hilang per tahunnya akibat TBC. Selain itu, seorang penderita aktif TBC akan menularkan 10-15 orang disekitarnya per tahun, dan tanpa pengobatan yang efektif, 50-60% penderita TBC akan meninggal dunia.
Sejak tahun 1995, WHO merekomendasikan program pemberantasan penyakit TBC dengan srtrategi DOTS (Directly Observed Treatment Short course) yang menurut Bank Dunia merupakan strategi kesehatan yang paling Cost-effective yaitu memerlukan biaya pengobatan yang lebih murah, namun mampu menghasilkan angka penyembuhan yang lebih tinggi. Menurut WHO, pada tahun 1996, dari penderita TBC yang tidak diobati setelah 5 tahun, 50% meninggal, 25% kronik dan menular. (Laban, 2008).
TBC penyakit menular yang sudah sejak lama ada di negeri ini ternyata belum dipahami dengan benar oleh masyarakat. Hasil survei yang dilakukan Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS) yang dilakukan pada Oktober sampai Desember 2005 di 90 desa pada 15 kabupaten/kota X, dengan jumlah responden 3.677 menemukan sekitar 19,7% responden yang memberi jawaban yang benar tentang penyakit TBC. Hasil survei tersebut antara lain menemukan ada 11% responden tidak tahu TBC adalah penyakit menular, 11% responden tidak tahu TBC bukan penyakit guna-guna, 26% responden tidak tahu batuk berdahak > 3 minggu adalah gejala TBC, 58% responden tidak tahu bahwa TBC bisa disembuhkan dengan sempurna, 58% tidak tahu penderita TBC memerlukan pemantau minum obat (PMO), 38% responden tidak tahu bahwa obat TBC bisa diperoleh gratis di puskesmas. Hal ini dituturkan oleh ketua dewan eksekutif KuIS, dokter Firman Lubis MPH, dalam hasil survei TBC di RT 7/RW 7 kelurahan X. Beliau juga menuturkan bahwa TBC erat kaitanya dengan kondisi lingkungan seperti kelembaban, kepadatan penduduk. Kondisi ini mempermudah penularan kuman TBC. Menjadikan lingkungan yang sehat tidak hanya mengatasi TBC, tetapi juga penyakit lain.
Di sisi lain, pemahaman masyarakat terhadap TBC sangat kurang, penanggulangan TBC masih lebih berfokus pada pengobatan. Tingginya kasus TBC di Indonesia, antara lain karena penanggulanganya belum dilakukan dengan benar (masih menekankan kuratif). Perhatian terhadap TBC dari masyarakat dan swasta pun masih rendah. Sangat jarang kegiatan yang terkait dengan TBC, misalnya kegiatan pengumpulan dana. Di tengah masyarakat ada anggapan bahwa penyakit TBC adalah penyakit yang tidak elite. Di wilayah X, jumlah penderita TBC pada tahun 2008, seluruhnya terdapat 14.416 orang. http://www.gizi.net/cgi.bin/berita/fullnews.cgi?newsid diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
Di wilayah X sendiri, jumlah penderita TBC pada tahun 2000 berkisar 3700 orang dengan perkiraan suspect sebanyak 27889 orang dimana jumlah BTA positif sebanyak 701 orang dan angka konversinya sebesar 86.59%. Sedangkan pada tahun 2001, penderita TBC berkisar 4512 orang dengan BTA poositif 736 orang dan angka konversinya sebesar 91.40%. Angka konversi tersebut melebihi target yang ditetapkan secara nasional yaitu sebesar 80%. Sedangkan target nasional untuk angka kesembuhan adalah sebesar 85%, tetapi di wilayah X hanya dapat mencapai 79.88% pada tahun 2000. (Suku Dinas Kesehatan X, 2001).
Dalam penelitian Widagdo pada tahun 2003 di Puskesmas Kecamatan Y, ditemukan bahwa dari 71 orang, terdapat 50 penderita TBC yang bersikap positif dan patuh dalam pengobatan, dan 21 orang lainnya bersikap negatif dan pada umumnya tidak patuh dalam pengobatan.
Di wilayah Puskesmas kelurahan X jumlah penderita TBC yang di dapat dari data pasien yang berobat sepanjang tahun 2008-Februari 2009, adalah 72 orang yang terdiri dari : 16 orang merupakan pasien lama dari bulan Januari-Mei 2008. 56 orang merupakan pasien baru, dari 56 pasien, 20 orang di antaranya merupakan pasien yang berasal dari luar wilayah kelurahan X. Kemudian 6 orang sudah pindah tempat tinggal ke wilayah lain dan mulai tidak aktif berobat sejak bulan Desember. Jadi, pasien yang di ambil oleh peneliti adalah 30 orang, yang benar-benar bertempat tinggal di wilayah kelurahan X dan masih aktif berobat ke Puskesmas X dari bulan Desember 2008-Februari 2009. (Puskesmas X, 2009).
Peneliti tertarik mengambil penelitian ini karena penyakit TBC merupakan penyakit yang sering dialami di negara berkembang seperti di Indonesia. Sehingga di perlukan bagi kepala keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang terkena TBC untuk mengetahui tentang TBC. Karena berdasarkan pengalaman pribadi, peneliti pernah menemukan tetangga yang meninggal dunia karena penyakit TBC yang sudah kronik. Jadi peneliti berharap semoga penelitian ini dapat berguna bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang terkena TBC.

B. PERUMUSAN MASALAH
Pengetahuan tentang TBC merupakan salah satu langkah yang dibutuhkan dalam mengetahui pengertian tentang penyebab, pencegahan, dan cara merawat anggota keluarga yang terkena TBC. Cara merawat anggota keluarga yang tepat dapat dilaksanakan apabila adanya partisipasi kepala keluarga dan dukungan pemerintah sebagai penyedia dan pemberi informasi. (http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?td=4970 diperoleh tanggal 5 Desember 2008). Adanya kecenderungan fluktuasi penyakit TBC ini akan meningkat pertahun, karena di perkirakan 1 atau 2 orang yang menderita TBC dapat menularkan penyakit tersebut ke 10-15 orang di sekitarnya. Dan jika tanpa pengobatan yang efektif, 50-60% penderita TBC akan meninggal dunia. Menurut WHO, pada tahun 1996, dari penderita TBC yang tidak diobati setelah 5 tahun, 50% meninggal, 25% kronik dan menular. (Laban, 2008).
Di sisi lain, pemahaman masyarakat terhadap TBC sangat kurang, penanggulangan TBC masih lebih berfokus pada pengobatan. Tingginya kasus TBC di Indonesia, antara lain karena penanggulanganya belum dilakukan dengan benar (masih menekankan kuratif). Perhatian terhadap TBC dari masyarakat dan swasta pun masih rendah. Sangat jarang kegiatan yang terkait dengan TBC, misalnya kegiatan pengumpulan dana. Di tengah masyarakat ada anggapan bahwa penyakit TBC adalah penyakit yang tidak elite. Di wilayah X, jumlah penderita TBC pada tahun 2008, seluruhnya terdapat 14.416 orang. (http://www.gizi.net/cgi.bin/berita/fullnews.cgi?newsid diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat merumuskan suatu masalah yaitu bagaimana tingkat pengetahuan kepala keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita TBC di kelurahan X.

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan kepala keluarga dalam merawat anggota keluarga yang terkena TBC, di kelurahan X.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah kepala keluarga (KK) dapat :
a. Mengetahui definisi tentang TBC
b. Mengetahui etiologi / penyebab tentang TBC
c. Mengetahui patofisiologi terjadinya TBC
d. Mengetahui pengetahuan dan usaha pencegahan TBC
e. Mengetahui klasifikasi dan tipe penderita TBC
f. Mengetahui gejala penyakit TBC
g. Mengetahui pengobatan TBC
h. Mengetahui peran Pengawas Minum Obat (PMO)
i. Mengetahui pengobatan dan pencegahan TBC untuk anak
j. Mengetahui pengobatan TBC pada keadaan khusus
k. Mengetahui pemeriksaan-pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan.
l. Mengetahui komplikasi penyakit TBC.
m. Mengetahui cara merawat anggota keluarga dengan penyakit TBC.

D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik bagi institusi tempat melakukan penelitian maupun bagi peneliti sendiri.
1. Bagi FIKES Universitas X.
Secara akademik penelitian ini untuk menambah pengetahuan mahasiswa keperawatan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat dalam merawat anggota keluarga yang terkena TBC.
2. Bagi Praktisi
Diharapkan petugas Puskesmas dapat memberikan penyuluhan tentang merawat anggota keluarga yang terkena TBC sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang ada di wilayah kerjanya.
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang merawat anggota keluarga yang menderita TBC, sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pencegahan penularan TBC.


SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DIABETES MELITUS TENTANG KOMPLIKASI DIABETES MELITUS DI RS X

SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DIABETES MELITUS TENTANG KOMPLIKASI DIABETES MELITUS DI RS X

(KODE : KEPRAWTN-0006) : SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DIABETES MELITUS TENTANG KOMPLIKASI DIABETES MELITUS DI RS X




BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) dapat diartikan sebagai suatu penyakit tidak menular yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi kadar gula darah yang disertai ketidaknormalan metabolisme karbohidrat, protein, lemak serta adanya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular (Inzucchi, 2004). Peningkatan kadar gula darah ini dipengaruhi oleh kerja insulin secara absolut maupun relatif (Suryono, 2004).
Prevalensi diabetes melitus di dunia mengalami peningkatan yang cukup besar. Data statistik organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 menunjukkan jumlah penderita diabetes di dunia sekitar 171 juta dan diprediksikan akan mencapai 366 juta jiwa tahun 2030. Di Asia tenggara terdapat 46 juta dan diperkirakan meningkat hingga 119 juta jiwa. Di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 diperkirakan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030 (WHO, 2008). Indonesia merupakan urutan keenam di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak setelah India, Cina, Uni Soviet, Jepang, Brazil (Rahmadilayani, 2008).
Diabetes adalah penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dan menjadi penyebab angka kesakitan dan kematian. Diabetes menjadi penyakit yang cukup serius dan mendapat perhatian karena diabetes dapat menyebabkan komplikasi yang menyerang seluruh tubuh (Yumizone, 2008). Peningkatan jumlah penderita diabetes sebagian besar dipengaruhi oleh gaya hidup masyarakat. Diabetes juga memberikan pengaruh beban ekonomi yang besar untuk pengobatannya (Tandra, 2007).
Diabetes Melitus menjadi penyebab kematian keempat terbesar di dunia. Setiap tahunnya ada 3,2 juta kematian yang diakibatkan langsung oleh diabetes (Tandra, 2008). Diabetes juga sering membunuh penderitanya dengan mengikutsertakan penyakit-penyakit lainnya. Diabetes dapat menyebabkan komplikasi akut dan kronik. Komplikasi akut merupakan penyebab kematian yang cukup tinggi (Nabil, 2009).
Pada periode tahun 1990-an angka kematian komplikasi akut yaitu ketoasidosis (24,9%) dan hipoglikemia (10%) (Santoso, 2004). Sedangkan komplikasi kronik dapat berupa komplikasi makrovaskular seperti penyakit jantung koroner, pembuluh darah otak dan mikrovaskular seperti retinopati, nefropati dan neuropati. Dari data statistik terbaru yang diperoleh diabetes merupakan penyebab utama kebutaan bagi orang dewasa. Setiap 90 menit ada satu orang di dunia yang buta akibat komplikasi diabetes. Diabetes juga menyebabkan amputasi paling sering di luar kecelakaan. Setiap 19 menit ada satu orang di dunia yang diamputasi kakinya. Penyakit jantung dan kerusakan pembuluh darah menjadi 2-4 kali lipat lebih besar akibat diabetes, setiap 19 menit ada satu orang di dunia yang terkena stroke akibat komplikasi diabetes, dan setiap 90 menit juga ada satu orang di dunia yang harus cuci darah akibat komplikasi diabetes (Nabil, 2009).
Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh umur, obesitas, kurangnya pengetahuan, kebiasaan hidup yang kurang sehat (Rahmadilayani, 2008). Sebenarnya 95 % kesembuhan diabetes tergantung pada pasien diabetes. Senjata yang paling ampuh adalah mengenali dan memahami diabetes. Pasien yang memiliki pengetahuan tentang diabetes dan komplikasinya akan berhasil melawan diabetes (Tandra, 2008).
Pengetahuan dapat diartikan sebagai hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoadmojo, 2003). Pengetahuan pasien diabetes melitus dapat diartikan sebagai hasil tahu dari pasien mengenai penyakitnya, memahami penyakitnya, dan memahami pencegahan, pengobatan maupun komplikasinya.
Peneliti telah melaksanakan survei awal di RS X dan mendapatkan data jumlah pasien diabetes melitus pada bulan September-Oktober sebanyak 648 orang dan beberapa telah mengalami komplikasi. Berdasarkan penjelasan di atas peneliti merasa tertarik untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tentang komplikasi akut dan kronik penyakit diabetes di RS X.

2. Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tentang komplikasi akut dan kronik penyakit diabetes di RS X.

3. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tentang komplikasi akut dan kronik penyakit diabetes melitus di RS X.

4. Manfaat Penelitian
1. Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data dasar, sumber informasi dalam usaha peningkatan pelayanan, terutama untuk pemberian pendidikan kesehatan berupa pengetahuan tentang penyakit dan komplikasi diabetes.
2. Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan yang berharga bagi penelitian berikutnya. Terutama bagi penelitian yang menyangkut pengetahuan tentang komplikasi diabetes.
SKRIPSI ANALISA TINGKAT KEPUASAN PASIEN PADA PELAYANAN KEPERAWATAN PRIMA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT X

SKRIPSI ANALISA TINGKAT KEPUASAN PASIEN PADA PELAYANAN KEPERAWATAN PRIMA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT X

(KODE : KEPRAWTN-0005) : SKRIPSI ANALISA TINGKAT KEPUASAN PASIEN PADA PELAYANAN KEPERAWATAN PRIMA DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT X




BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang Masalah
Eraglobalisasi merupakan suatu era baru yang akan membawa berbagai perubahan dibidang kehidupan. Salah satunya yaitu perubahan dibidang kesehatan. Terbuktinya pasar bebas akan berakibat pada tingginya kompetisi dibidang kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan. Hal ini menuntut adanya peningkatan kualitas serta profesionalisme sumber daya manusia kesehatan termasuk juga didalamnya sumber daya manusia keperawatan (Anaswarni, Keliat, Sabri, 2002). Pada masa sekarang dan yang akan dating, perawat dituntut untuk berperan penting dalam memberikan pelayanan kesehatan diRumah sakit (Jane, 2001 dikutip dari Purnomo, 2004).
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga kelompok dan ataupun masyarakat (Lovely dan loobam 1973, dalam waluyo, 2008). Pelayanan keperawatan adalah salah satu ruang lingkup pelayanan yang merupakan inti dari kegiatan pelayanan dirumah sakit. Rumah sakit harus menaga mutu keperawatan agar mampu bersaing (DepKes, 1995).
Pelayanan keperawatan mempunyai posisi yang strategis dalam menentukan mutu pelayanan kesehatan dirumah sakit karena jumlah perawat adalah yang terbanyak dan yang paling banyak kontak dengan pasien. Perawat memberikan pelayanan selama 24 jam terus menerus pada pasien sehingga menjadikan satu-satunya profesi kesehatan dirumah sakit yang banyak memberikan persepsi terhadap pelayanan kesehatan pada diri pasien (Purnomo, 2004).
Menurut Soejadi (1996), pasien adalah individu terpenting dirumah sakit, sehingga konsumen sekaligus sasaran produk rumah sakit. Didalam suatu proses keputusan, konsumen yaitu pasien tidak akan berhenti hanya sampai proses penerimaan pelayanan. Pasien akan mengevaluasi pelayanan yang diterimanya tersebut. Hasil dari proses evaluasi itu akan menghasilkan perasaan puas atau tidak puas (Sumarwan, 2003). Kepuasan pasien akan tercapai apabila diperoleh hasil yang optimal bagi setiap ppasien dan pelayanan kesehatan memperhatikan kemampuan pasien atau keluarganya, adanya perhatian terhadap keluhan, kondisi lingkungan fisik dan tanggap atau memprioritaskan kebutuhan pasien (Kotler, 2003).
Kepuasan pasien adalah indikator pertama dari standar suatu rumah sakit dan merupakan suatu ukuran mutu pelayanan. Kepuasan pasien yang rendah akan berdampak terhadap jumlah kunjungan dirumah sakit, sedangkan sikap karyawan terhadap pasien juga akan berdampak terhadap kepuasan pasien dimana kebutuhan pasien dari waktu ke waktu akan meningkat, begitu pula tuntutannya akan mutu pelayanan yang diberikan (Heriandi, 2006).
Salah satu pelayanan yang ada dirumah sakit adalah pelayanan prima, dimana pelayanan prima adalah pelayanan yang professional, cepat, bersih, ramah, dan pelayanan yang menberikan kepuasan dan kesembuhan bagi pasien (Keliat, Budi, Anna (2008). Untuk menuju pelayanan prima dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, meliputi ruangan, alat kesehatan utama, alat diagnostic dan alat penunjang diagnostic serta alat kesehatan untuk suatu tindakan medik. Disamping itu juga tidak kalah pentingnya sumber daya manusia yang memenuhi syarat, baik kualitas maupun kuantitas. Petugas yang mempunyai pengetahuan yang tinggi, keterampilan yang andal dan tingkah laku yang baik (Cokroaminoto, 2006).
Semakin tingginya tuntutan masyarakat akan fasilitas kesehatan yang berkualitas dan terangkau, maka berbagai upaya telah ditempuh dan memenuhi harapan tersebut. Pelayanan prima pada dasarnya dituukan untuk memberikan kepuasan kepada pasien. Pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit harus berkualitas dan memenuhi lima dimensi mutu utama yaitu : tangibles, reliability, resvonsiveness, assurance, dan emphaty (Fahriadi, 2007).
Dari hasil penelitian Mardiah (2007) yang dilakukan dirumah sakit umum sigil untuk meneliti pelayanan yang berkualitas diperoleh hasil sebanyak 72,3% mempunyai peersepsi yang baik tentang reliability, sebanyak 79,8% mempunyai persepsi yang baik tentang responsiveness dan 62,8% memiliki persepsi yang baik terhadap tangibles.dalam hal ini kepuasan sebanyak 53,2% menyatakan cukup puas, sistribusi mutu pelayanan yang paling banyak adalah baik dengan nilai 21,3% sedangkan kepuasan pasien rawat inap yang paling banyak menyatakan cukup puas adalah 22,3% selebihnya menyatakan tidak puas. Hasil ini searah dengan kepuasan pasien.
Pada saat ini rumah sakit X enerapkan pelayanan keperawatann prima disetiap ruang rawat inap. Adapun rumah sakit ini memiliki fasilitas ruang rawat inap sebanyak 3 ruangan yaitu instalasi rawat inap terpadu A terdiri dari 7 ruangan, instalasi rawat inap terpadu B terdiri dari 6 ruangan, dan CVCU terdiri dari 2 ruangan, dengan kapasitas tempat tidur berumlah 600 buah. Data dari bagian rekam medis RS X (2009) menyebutkan pada periode Januari hingga desember 2008 jumlah pasien yang dirawat inap berjumlah 17720 orang. Dengan rata-rata hari rawat inap adalah 3-9 hari. Dengan demikian rata-rata jumlah pasien yang dirawat inap setiap bulannya adalah 1477 orang.
Pelayanan keperawatan prima di RS X diterapkan dengan tujuan untuk meningkatkan system pelayanannya agar tercapai kepuasan pasien. Bagian keperawatan RS X (2008) telah melakukan evaluasi mutu pelayanan keperawatan prima dengan hasil penampilan fisik baik (75,2%), penyampaian prima cukup (83,6%), penyampaian prima cukup (83,6%), kemampuan prima cukup (80%), dan disiplin cukup (84,5%).
Berdasarkan tinjauan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana tingkat kepuasan pasien pada pelayanan keperawatan prima diruang rawat inap RS X.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang maka dapat dirumuskan permasalahan bagaimana tingkat kepuasan pasien pada pemberian pelayanan keperawatan prima diruang rawat inap RS X?

3. Tujuan Penelitian
3.1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi tingkat kepuasan pasien pada pemberian pelayanan keperawatan prima diruang rawat inap RS X.
3.2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan kemampuan perawat.
2. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan sikap perawat.
3. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan penampilan perawat.
4. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan perhatian yang diberikan perawat.
5. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan tindakan yang dilakukan perawat
6. Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien pada pelaksanaan pelayanan keperawatan prima berdasarkan tanggung jawab yang diberikan perawat.

4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini akan memberikan konstribusi terhadap berbagai aspek yaitu :
4.1. RS X
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dan informasi tambahan kepada perawat dalam memberikan asuhan keperawatan dan sebagai evaluasi untuk meningkatkan pelayanan keperawatan di RS X.
4.2. Pendidikan
Dalam aspek pendidikan, penelitian ini bermamfaat dalam memberikan informasi tambahan dan data evaluasi yang berguna bagi pendidikan keperawatan.
4.3. Penelitian Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar pada penelitian selanjutnya terutama yang menyangkut perkembangan pelayanan keperawatan prima.