(KODE : ILMU-HKM-0144) : SKRIPSI KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara alamiah manusia tidak mungkin dilepaskan dari kemajuan teknologi yang tujuannya adalah untuk memudahkan kehidupannya, secara alamiah pula manusia tidak mungkin dilepaskan dari hukum yang tujuannya adalah menjaga eksistensi keberadaannya. Bagi manusia, teknologi tanpa disertai dengan hukum akan berakibat pada kekacauan (Chaos), yang pada gilirannya akan merusak pada kehidupan manusia itu sendiri. Sebaliknya hukum yang semata-mata membatasi kemajuan teknologi akan memasung keberadaban manusia. Di sinilah perlunya keseimbangan antara hukum dan teknologi.
Perkembangan teknologi informasi yang melanda dunia dewasa ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dipungkiri pula, bahwa perkembangan tersebut mempengaruhi tatanan aktifitas manusia. Kurang diimbangi dengan pemahaman yang baik dan memadai mengenai teknologi khususnya dalam perspektif hukum. Hal ini disebabkan, penekanan yang digunakan dewasa ini sangat Technology Minded (mengandalkan teknologi), padahal idealnya kita harus melihatnya secara holistik dengan berbagai sudut pandang tentunya, baik dari sudut teknologi, hukum, bisnis, maupun sosial. Sehingga transformasi teknologi dan industri yang kita harapkan dapat terlaksana.
Internet dengan berbagai kelebihannya ternyata banyak pula diperdebatkan. Perdebatan-perdebatan yang muncul ke permukaan, misalnya mengenai istilah-istilah hukum yang terkait dengan telematika itu sendiri, pendekatan apakah yang digunakan untuk menjawab perdebatan-perdebatan semacam ini apakah pendekatan formulatif atau aplikatif. Kemudian masalah pembuktian data elektronik, yang baru dikenal dalam sistem hukum kita yaitu Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, masalah yuridiksi tentang pembajakan hak intelektual di internet dan permasalahan-permasalahan lainnya.
Eksistensi internet sebagai salah satu institusi dalam arus utama budaya dunia lebih ditegaskan lagi dengan maraknya perniagaan elektronik (e-commerce) yang diprediksikan sebagai "bisnis besar masa depan" (the next big thing). E-commerce ini bukan saja telah menjadi mainstream budaya negara-negara maju, tetapi juga telah menjadi model transaksi termasuk Indonesia.
Dunia hukum sebenarnya sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya ketika menghadapi persoalan yang bersifat tidak berwujud, misalnya dalam kasus pencurian listrik yang pada awalnya sulit dikategorikan sebagai delik pencurian, tetapi akhirnya dapat diterima sebagai perbuatan pidana. Kenyataan saat ini yang berkaitan dengan kegiatan cyber tidak lagi sesederhana itu, mengingat kegiatannya tidak lagi bisa dibatasi oleh teritorial suatu negara. Aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun, kerugian dapat terjadi baik bagi pelaku internet maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam pencurian dana kartu kredit melalui pembelanjaan di internet. Di samping itu masalah pembuktian merupakan faktor yang sangat penting, mengingat data elektronik baru saja terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia. Dalam kenyataannya data yang dimaksud juga ternyata sangat rentan untuk diubah, di sadap, di palsukan dan di kirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Sehingga dampak yang diakibatkannya pun bisa demikian cepat. Teknologi informasi telah menjadi instrument efektif dalam perdagangan global.
Persoalan yang lebih luas juga terjadi untuk masalah-masalah keperdataan, karena saat ini transaksi e-commerce (perniagaan secara elektronik) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Contoh kongkrit adalah untuk membayar zakat, atau berkorban pada saat Idul Adha, atau memesan obat-obatan yang bersifat sangat pribadi, orang cukup melakukannya melalui internet. Bahkan untuk membeli majalah orang juga dapat membayar tidak dengan uang, tapi cukup dengan mendebit pulsa telepon seluler melalui fasilitas SMS. Pernyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang telematika berkembang terus tanpa dapat dibendung, seiring dengan ditemukan hak cipta dan paten baru di bidang teknologi informasi.
Kondisi yang demikian pada satu pihak membawa manfaat bagi masyarakat, karena memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan berbagai aktivitasnya, terutama dalam pemanfaatan informasi. Akan tetapi, fenomena tersebut dapat memicu lahirnya berbagai bentuk konflik di masyarakat sebagai akibat dari penggunaan yang tidak bertanggung jawab.
Kegiatan cyber meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis dalam hal ruang cyber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengategorikan sesuatu dengan ukuran kualifikasi hukum konvensional untuk dapat dijadikan dan objek perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan cyber sangat berdampak nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus diklasifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum yang nyata.
Terdapat tiga pendekatan untuk mempertahankan keamanan di cyberspace, pertama adalah pendekatan teknologi, kedua adalah pendekatan sosial budaya-etika, dan ketiga pendekatan hukum.
Kecanggihan teknologi komputer telah memberikan kemudahan-kemudahan, terutama dalam membantu pekerjaan manusia. Selain itu, perkembangan teknologi komputer menyebabkan munculnya juga jenis kegiatan-kegiatan baru, yaitu dengan memanfaatkan komputer sebagai modus operandi. Penyalahgunaan komputer dalam perkembangannya menimbulkan permasalahan yang sangat rumit, terutama kaitannya dengan proses pembuktian tindak pidana (factor yuridis). Apalagi penggunaan komputer untuk tindak kejahatan itu memiliki karakteristik tersendiri atau berbeda dengan kejahatan yang dilakukan tanpa menggunakan komputer (konvensional). Perbuatan atau tindakan, pelaku, alat bukti ataupun barang bukti dalam tindak pidana biasa dapat dengan mudah diidentifikasi, tidak demikian halnya untuk kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan komputer.
Kemudahan yang diperoleh melalui internet tentunya tidak menjamin jaminan bahwa aktifitas yang dilakukan di media tersebut adalah aman dan tidak melanggar norma. Di situlah kita harus jeli dalam melihat permasalahan yang berkembang di dalam masyarakat. Pengaturan cyber law Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Seperti di Asia Tenggara, Indonesia merupakan Negara yang bam memiliki perundang-undangan yang khusus mengenai cyber law. Salah satu isu dari cyber law yang semakin marak akhir-akhir ini adalah cybercrime atau kejahatan yang memiliki keterkaitan erat dengan teknologi informasi. Kejahatan yang terjadi melalui jaringan publik (internet) merupakan salah satu konsekuensi negatif dari suatu dunia yang tidak mengenai batas yurisdiksi. Kejahatan yang dikenal sebagai cybercrime ataupun computer crime Indonesia sebenarnya masih dapat ditangani dengan perundang-undangan pidana Indonesia yang masih berlaku (KUHP). Namun seringkali timbul pertanyaan mengenai relevansi pengaturan tersebut dengan jenis tindak pidana yang berkembang sekarang.
Perbuatan melawan hukum di dunia cyber sangat tidak mudah diatasi dengan mengandalkan hukum positif konvensional, Indonesia saat ini baru merefleksikan diri dengan Negara-negara lain seperti Malaysia, Singapura, India, atau Negara maju seperti Amerika Serikat dan Negara Uni Eropa yang telah secara serius mengintegrasikan regulasi hukum cyber ke dalam hukum positif nasionalnya.
Salah saru implikasi teknologi informasi yang saat ini menjadi perhatian adalah pengaruhnya terhadap eksistensi hak atas kekayaan intelektual (HAKI) disamping terhadap bidang-bidang lain seperti transaksi bisnis (elektronik) kegiatan e-government(sistem informasi pemerintah), dan Iain-lain, Kasus-kasus terkait dengan pelanggaran hak cipta dan merek melalui sarana internet dan media komunikasi lainnya adalah contoh yang marak terjadi saat ini.
Pembuktian tentang benar tidaknya melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting secara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar, untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formil.
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan, sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat.
Indonesia sama dengan Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental yang lain, menganut bahwa hakim lah yang menilai alat bukti yang di ajukan dengan keyakinan nya sendiri dan bukan dari juri seperti Amerika Serikat dan Negara-negara Anglo Saxon, Di Negara-negara tersebut, belakangan juri yang umum nya terdiri dari orang awam itulah yang menentukan salah tidak nya seorang terdakwa. Sedangkan hakim hanya memimpin sidang dan menjatuhkan pidana.
Hukum pembuktian, yang tercantum dalam buku IV (keempat) dari Burgelijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengandung segala aturan pokok pembuktian dalam perdata, pembuktian dalam BW semata-mata hanya berhubungan dengan perkara saja, ada beberapa definisi yang di kemukakan oleh para sarjana hukum yang dapat dijadikan acuan, menurut Pitlo pembuktian adalah suatu cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan kepentingannya, menurut Subekti yang dimaksud dengan membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil ataupun dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak dalam suatu persengketaan.
Berkenaan dengan bukti surat, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 1867 KUHPer dikenal dengan pembagian katagori "tertulis" yakni : a) Akta otentik dan b) Akta di bawah tangan. Kekuatan pembuktian dengan akta otentik lebih kuat dibanding dengan akta di bawah tangan karena mempunyai kekuatan, pembuktian formil, pembuktian mengikat, dan pembuktian keluar. Hal ini mengingat bahwa dalam pasal 1868 KUHPer dinyatakan bahwa akta otentik adalah akta yang dibuat menurut bentuk undang-undang, oleh dan di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat itu.(contoh akta jual beli tanah). dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008, menyatakan akan keabsahan alat bukti yang bersifat elektronik yaitu terangkum dalam Bab III pasal 5 ayat 1 : "Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah". dan pasal 5 ayat 2 : "informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagamana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia". Dalam pada pasal itu ada yang membahas tentang "informasi elektronik merupakan alat bukti yang sah " di sini dapat digarisbawahi bahwa yang merupakan alat bukti yang sah dan mempunyai kekuatan seperti apa yang dimaksudkan dengan pasal 1868 tersebut yaitu sama dengan akta otentik, hal ini diperinci oleh pasal 16 ayat 1 point (b) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu "Dapat melindungi ketersediaan keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut".
Pembuktian dalam hukum acara pidana agak berbeda dengan pembuktian dalam acara perdata, di mana dalam acara pidana pembuktian bersifat materiil sedangkan untuk acara perdata bersifat formil. Oleh karena itu, sekiranya dicurigai terhadap alat bukti telah dipalsukan. Persidangan acara perdata akan menunggu diputuskannya dulu kasus pidana tersebut, Dalam hukum acara perdata pembuktian formil yang dimaksud pada pokok nya adalah cukup membuktikan adanya suatu peristiwa hukum yang memperlihatkan hubungan hukum dari para pihak.
Alat bukti dahulu diatur dalam pasal 295 HIR yang macam nya sebagai berikut :
a. Keterangan saksi/kesaksian-kesaksian
b. Surat-surat
c. Pengakuan
d. Petunjuk/isyarat-isyarat
Lebih lanjut sebagaimana tercantum dalam pasal 184 KUHAP, Alat-alat bukti yang dikenal hukum acara pidana adalah :
a. Surat
b. Keterangan saksi
c. Petunjuk
d. Keterangan ahli, dan
e. Sumpah
Sementara itu, untuk acara perdata pasal 164 HIR (Herizein Inlands Reglement), atau RIB (Reglement Indonesia yang Diperbarui) staatsblaad 1941 No. 44 dan 1866 KUHPer adalah (a) Surat, (b) Pengakuan, (c) Persangkaan, (d) Bukti saksi, dan (e) Sumpah. Berdasarkan hal tersebut, Jika kita cermati keberadaan suatu informasi yang dihasilkan oleh suatu sistem informasi elektronik bersifat netral, yakni sepanjang sistem tersebut berjalan baik tanpa gangguan, input dan output yang dihasilkan terlahir sebagaimana mestinya.
Sehubungan dengan standar penyelenggaraan sistem informasi yang baik, maka secara tidak langsung akan dibedakan dengan dua jenis kekuatan pembuktian, valid dan tidak valid, atau layak atau tidak untuk di percaya. Hal ini akan mengarah kepada aspek akuntabilitas dari penyelenggaraan sistem itu sendiri, jika ia memenuhi kriteria standar, sepanjang tidak dapat dibuktikan lain oleh para pihak, Sistem telah dapat dijamin sebagaimana mestinya dan output informasi dapat dinyatakan valid dan otentik secara substansial sehingga informasi tekstual tersebut dapat diakui di persidangan dan layaknya diterima paling tidak sebagai alat bukti surat atau bukti tulisan.
Ternyata pemerintah Indonesia dengan serius akan menindaklanjuti ke setiap website (situs informasi) untuk selalu menjaga norma-norma dan etika dalam penggunaan fasilitas dunia maya (cyber space) ini terlihat dari berbagai situs-situs yang oleh pemerintah Indonesia di blokir, dengan hal tersebut, banyak pengguna Internet menganggap situs resmi pemilik saham.
Salah satu konsep pembuktian dalam hukum islam adalah adanya alat bukti petunjuk (karinah) dan keterangan saksi (syahadah). Dari teori tersebut akan terlihat jelas bagaimana hukum pidana islam ternyata sudah mempunyai alur sistem pembuktian hingga zaman kemajuan dalam teknologi.
Dalam berbagai kasus cybercrime di Indonesia seperti sejumlah pemuda dari Medan yang memasang iklan di web yang sangat terkenal "yahoo" yaitu dengan menjual mobil mewah Ferrari dan Lamborghini dengan harga murah sehingga menarik minat seorang pembeli dari Kuwait. Steven Haryanto seorang hacker dari Bandung ini sengaja dengan membuat situs asli tapi palsu layanan internet banking Bank Central Asia (BCA). Dani Hermansyah tahun 2004 melakukan deface (perubahan pada tampilan ataupun penambahan materi pada suatu website yang dilakukan oleh hacker) dengan mengubah nama-nama partai yang ada dengan nama-nama buah dalam website www.kpu.go.id. Yang mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu yang sedang berlangsung pada saat itu. Dan terakhir adalah kasus Erick Jazier Adriansjah yang menyebarkan berita bohong mengenai lima Bank yang mengalami krisis likuiditas dengan menyebarkan lewat e-mail, faks dan pesan pendek kepada sejumlah kantor dan nasabah. Semua pelaku tersebut diatas ditangkap oleh kepolisian dengan petunjuk.
Dari berbagai permasalahan diatas maka penulis sangat tertarik untuk membahas akan permasalahan tersebut dengan membuat skripsi dengan judul. "KEKUATAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF"
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berawal dari banyaknya permasalahan yang ada dalam pembahasan tentang perkara Informasi dan Transaksi Elektronik, maka penulis membatasi ruang lingkup skripsi ini hanya pada beberapa pokok masalah terpenting saja baik dari segi Normatif yaitu : hanya membahas tentang kekuatan bukti-bukti elektronik yang tertuang dalam Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik dan hukum Islam, Serta peraturan lain yang di anggap relevan, Maupun dari segi aplikasinya atau penerapan pasal-pasal tersebut dalam tatanan hukum pidana Indonesia saat ini.
Untuk mencapai hasil yang maksimal, perlu adanya rumusan-rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan Pembuktian elektronik ?
2. Bagaimanakah kekuatan alat bukti elektronik tersebut dalam hukum positif ?
3. Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap alat bukti elektronik tersebut ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan alat-alat bukti elektronik dalam hukum positif dan hukum Islam
2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan alat-alat bukti elektronik dalam proses peradilan serta dampaknya bagi kehidupan manusia
3. Memperoleh gambaran relevansi Normatif dari Perundang-undangan yang mengatur masalah alat-alat bukti elektronik.
Sedangkan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Segi Teoritis
Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai pandangan hukum positif dan hukum Islam tentang alat-alat bukti Elektronik yang terus berkembang di Indonesia.
b. Segi Praktis
Mengetahui bagaimana korelasi pasal-pasal dalam hukum positif dan hukum Islam mengenai implementasi penerapan alat bukti elektronik di peradilan.
D. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut :
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II Menguraikan beberapa masalah yang berkaitan dengan tinjauan umum tentang alat-alat bukti elektronik, sistem pembuktian, dan alat-alat bukti dalam kaedah hukum positif dan hukum islam .
BAB III Dalam bab ini penulis membahas tentang pembuktian alat bukti elektronik dalam perkara pidana, sekilas tentang elektronik, alat bukti elektronik, modus operandi kejahatan dunia maya (cyber crime), penyidikan tindak pidana, dan berbagai kebijakan/ peraturan alat bukti elektronik.
BAB IV Dalam bab ini penulis menguraikan kajian hukum yang berkaitan tentang, Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Hukum Positif. Kekuatan alat bukti elektronik dalam hukum islam, Pendapat para imam mazhab berkaitan dengan alat bukti elektronik. Dan pendapat penulis berkaitan dengan kekuatan alat bukti elektronik.
BAB V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran