BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Drama mulai tumbuh di Indonesia sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di berbagai suku bangsa di Indonesia telah tumbuh ratusan jenis drama atau seni pertunjukan yang sangat lebar spektrumnya, mulai dari yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari upacara keagamaan sampai ke jenis pertunjukan yang sepenuhnya profan, yang bisa dilakukan oleh siapapun tanpa harus mempelajari bagaimana cara melaksanakannya. Jenis drama atau teater digolongkan ke dalam tradisi lisan meskipun boleh dikatakan tanpa kecuali berasal dari kisah atau kepercayaan yang pernah dituliskan, yang mungkin sampai ke pelaksana pementasan itu tidak berupa tulisan tetapi secara lisan (Damono, 2006:1).
Drama merupakan bentuk seni yang berusaha mengungkapkan perihal kehidupan manusia melalui gerak atau action dan percakapan atau dialog. Inilah yang membedakan naskah drama dengan karya sastra yang lain. Sebagai karya sastra, naskah drama memiliki keunikan tersendiri yaitu naskah drama diciptakan tidak untuk dibaca saja, namun juga memiliki kemungkinan untuk dipentaskan. Drama sebagai tontonan atau pertunjukan yang memiliki sifat ephemeral, artinya bermula pada suatu malam dan berakhir pada malam yang sama. Sanusi Pane merupakan sastrawan muda angkatan 1880 dan pernah mendapatkan pendidikan di sekolah Belanda yang memberikan pengetahuan mengenai perkembangan kesenian (Damono, 2006:1). Nama Sanusi Pane tetap terukir dalam sastra Indonesia, khususnya pada masa sebelum Perang Dunia II (1940-1945) (http://www.gimonca.com/sejarah/sejarah07.shtml), baik sebagai penulis puisi maupun penulis drama. Sanusi Pane adalah penulis terbesar pada masa sebelum perang (Rustapa, dkk 1995:70). Adapun drama yang telah dihasilkan Sanusi Pane berupa drama romantik (Damono, 2006:1), Salah satunya yaitu “Sandhyakala ning Majapahit”. Naskah drama Sanusi Pane “Sandhyakala ning Majapahit” pernah dipertunjukkan oleh Takdir Ali Syahbana dalam roman Layar Terkembang di Kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan. Naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit’ karya Sanusi pane dan roman “Layar Terkembang” karya Takdir Ali Syahbana diperdebatkan dalam kongres itu. Karena dalam naskah drama ‘Sandhyakala ning majapahit” mengisahkan masyarakat yang cenderung bersifat statis khususnya masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang lebih mengutamakan kepasrahan dan memiliki sifat nerimo, apapun yang diberikan Tuhan akan diterimanya dengan sabar. Masyarakat Jawa dianggap sebagai orang yang lembek, tidak suka ngoyo. Sedangkan dalam roman “Layar Terkembang” menceritakan masyarakat yang dinamis. Masyarakat yang lebih mengutamakan kerja keras, masyarakat yang maju, berbeda sekali dengan masyarakat Jawa (Rosidi, 1968:60).
Naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane mempunyai latar belakang sejarah Jawa khususnya di kerajaan Majapahit. Drama ini juga berlatar zaman klasik. Keunikan drama ini terletak pada isi naskah drama yang bercerita tentang masalah romantis, masalah keagamaan, dan sosial.
Sanusi Pane mengatakan bahwa sebagai dasar pembuatan drama “Sandhyakala ning Majapahit” adalah Serat Damarwulan dan cerita Raden Gajah yang terdapat dalam Pararaton (Rustapa dkk, 1997:67). Cerita Damar Wulan diakhiri dengan happy ending, yaitu keberhasilan Damar Wulan membawa kepala Menak Jingga ke Majapahit menyebabkan dia menduduki tahta kerajaan serta dinikahkan dengan sang ratu. Damar Wulan bergelar Prabu Brawijaya serta hidup dengan kejayaannya. Sebaliknya, dalam naskah drama Sanhyakala ning Majapahit diakhiri dengan peristiwa tragis. Di samping Damar Wulan tidak dinikahkan dengan ratu Majapahit, dia juga dituduh sebagai penghianat. Tuduhan tersebut begitu hebatnya sehingga Damar Wulan dihukum mati. Sepeninggal Damar Wulan kerajaan Majapahit diporakporandakan bala tentara dari kerajaan Bintara. (Rustapa dkk, 1997:67).
Warna lokal merupakan suatu cara untuk mengangkat suasana kedaerahan yang mendeskripsikan tentang latar, tokoh, dan penokohan, serta nilai-nilai budaya. Warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” memiliki ciri khas tertentu yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kedaerahan. Selain itu warna lokal dijadikan sebagai tolak ukur untuk membedakan ciri khas daerah yang satu dengan daerah yang lain (Nurgiyantoro, 1995:228).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka yang menjadi permasalahan adalah:
Bagaimanakah warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane?
1.3 Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan selalu mempunyai tujuan yang jelas agar terarah dan tepat sasaran serta lebih jelas manfaatnya. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
Mendeskripsikan warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1. Bagi Pembaca
Dapat memahami unsur-unsur warna lokal dalam naskah drama serta dapat mengambil hikmah dalam cermin kehidupan.
2. Bagi Pemerhati Sastra
Dapat menumbuhkembangkan daya apresiasi sastra khususnya drama, dan rasa peduli terhadap karya sastra Indonesia.
3. Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan tentang sastra terutama warna lokal dalam naskah drama “Sandhyakala ning Majapahit” karya Sanusi Pane.