BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan yang sangat penting kiranya untuk membahas tentang Hak Asasi manusia (HAM) pada segala aspek kehidupan, khususnya adalah perlindungan terhadap anak di Indonesia. Masalahnya perlindungan anak baru menjadi perhatian masyarakat Indonesia pada kurun waktu tahun 1990an, setelah secara intensif berbagai bentuk kekerasan terhadap anak di Indonesia diangkat kepermukaan oleh berbagai kalangan. Fenomena serupa muncul pula diberbagai kawasan Asia lainnya, seperti di Thailand, Vietnam dan Philipina, sehingga dengan cepat isu ini menjadi regional bahkan global yang memberikan inspirasi kepada masyarakat dunia tentang pentingnya permasalahan ini.
Masalah ekonomi dan sosial yang melanda Indonesia berdampak pada peningkatan skala dan kompleksitas yang di hadapi anak Indonesia yang ditandai dengan makin banyaknya anak yang mengalami perlakuan salah, eksploitasi, tindak kekerasan, anak yang didagangkan, penelantaran, disamping anak-anak yang tinggal di daerah rawan konflik, rawan bencana serta anak yang berhadapan dengan hukum dan lain-lainnya. Dampak nyata yang berkaitan dengan memburuknya kondisi perekonomian dan krisis moneter adalah meningkatnya jumlah anak di Panti Sosial Asuhan Anak (PSAA) milik masyarakat lebih diperberat lagi dengan menurunnya pendapatan masyarakat yang merupakan salah satu sumber dana.
Dampak negatife dari kemajuan revolusi media elektronik mengakibatkan melemahnya jaringan kekerabatan keluarga besar dan masyarakat yang dimanisfestasikan dalam bentuk-bentuk fenomena baru seperti timbulnya kelompok-kelompok rawan atau marjinal. Misalnya eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun sebagai pekerja seks di Indonesia, dimana menurut data DUSPATIN XXXX jumlah anak yang bekerja sebagai pekerja seks komersil di bawah umur 18 tahun adalah 70.000 anak di seluruh Indonesia. Anak-anak yang terjerat pada oknum yang memanfaatkan eksploitasi anak sebagai pekerja seks komersil terus meningkat. Keadaan ini membuat anak beresiko tinggi tertular penyakit yang disebabkan hubungan seksual khususnya HIV/AIDS.
Laporan dari UNICEF mengenai upaya perlindungan khusus kepada anak-anak, tercatat bahwa dewasa ini banyak anak-anak di Indonesia mendapat perlakuan yang sangat tidak layak, mulai dari masalah anak jalanan yang berjumlah lebih dari 50.000 orang, pekerja anak yang dieksploitasikan mencapai sekitar 1,8 juta anak, sehingga kepada permasalahan perkawinan dini, serta anak-anak yang terjerat penyalahgunaan seksual (eksploitasi seksual komersil) yang menempatkan anak-anak itu beresiko tinggi terkena penyakit AIDS. Dalam analisis situasi yang telah disiapkan untuk UNICEF, diperkirakan bahwa setidaknya ada sekitar 30% dari total eksploitasi anak sebagai pekerja seks di Indonesia dilacurkan ke luar negeri.
Berbagai informasi yang valid atau akurat menyangkut perdagangan anak untuk tujuan seksual komersil, dimana selain diperdagangkan dari daerah satu ke daerah lain dalam wilayah hukum Negara Indonesia. Begitu pula terdapat berbagai macam indikator mengenai penggunaan anak untuk produksi bahan-bahan pornografi, dan para korban dari eksploitasi seksual komersil itu pada umumnya rata-rata berusia 16 tahun dimana bukan hanya anak-anak perempuan yang menjadi korban eksploitasi tetapi juga anak laki-laki yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut.
Masih berkaitan dengan persoalan ini adalah bahwa anak-anak yang obyek eksploitasi seksual komersil menjadi seperti muara atau sebab dari segala persoalan yang ada. Pekerjaan dan anak-anak jalanan dengan amat mudah sekali terjebak ke dalam jaringan perdagangan seks komersil ini. Diperkirakan 30% dari seluruh pekerja seks komersil saat ini adalah anak-anak di bawah umur.
Di Batam setelah terjadi krisis ekonomi jumlah pekerja seks meningkat hampir empat kali lipat menjadi 10.000 anak yang bekerja sebagai pekerja seks komersil. Bisnis pelacuran anak ini sangat menggiurkan bagi para pelaku yang memanfaatkan anak sebagai pekerja seks, di perkirakan jumlah uang yang berputar dalam industri seks ini berkisar antara Rp 1,8 Milyar sampai Rp 3,3 Milyar pertahun, sebuah angka yang fantastis. Di DKI Jakarta anak-anak yang dilacurkan terdapat di Bongkaran tanah abang, Rawa Bebek, Sepanjang bantaran kali dari manggarai- Dukuh Atas, Kali jodoh dan Jatinegara. Dan mulai lima-enam tahun lalu Indonesia sudah masuk ke dalam peta tujuan kaum pedofil dunia. Anak-anak di bawah umur berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan, bahkan boleh dikatakan mereka berada pada garis bahaya yang akan menggangu tumbuh kembang mereka sebagai seorang anak.
Kasus yang pernah terjadi dan terungkap di Indonesia adalah kasus mantan diplomat Australia William Stuart Brown, atas kasus kejahatan seksual yang dilakukan terhadap dua anak di Karangasem, dipandang beberapa pihak sebagai langkah maju bagi penegakan hukum perlindungan anak di Indonesia. Terlepas dari penyesalan dan simpati atas kasus bunuh diri Brown di Lembaga Pemasyarakatan Amlapura, sehari setelah keputusan vonis itu, ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil dari kasusnya. Kasus itu menggambarkan bagaimana pedofilia dan kejahatan seksual terhadap anak dipahami masyarakat kita serta bagaimana perangkat hukum kita meresponsnya.
Beberapa polemik yang muncul selama persidangan kasus Brown, seperti klaim tidak terjadi kasus pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) dalam kasus ini dengan klaim tidak terjadi kekerasan dan paksaan terhadap korban, menunjukkan betapa pedofilia masih sering dikacaukan pengertiannya. Ada tidaknya unsur kekerasan fisik masih sering dijadikan kriteria untuk mengategorikan tindak pelecehan seksual terhadap anak sebagai bentuk kejahatan atau tidak. Pelecehan seksual terhadap anak sendiri masih cenderung disempitkan artinya, terbatas pada bentuk kontak seksual dengan menafikan bentuk pelecehan nonkontak seksual, seperti exhibitionism dan pornografi. Ada tidaknya unsur paksaan sebenarnya tidak signifikan dalam kasus kejahatan seksual terhadap anak karena adanya kesenjangan pemahaman tentang seks antara orang dewasa dan anak-anak. Sebagaimana contoh yang dikemukakan Gunter Schmidt (2002) dalam artikel The Dilemma of the Male Pedophile, bentuk manipulasi genital yang dilakukan anak-anak, meski mengakibatkan orgasme, tidak bisa serta-merta disamakan dengan bentuk masturbasi yang dilakukan orang dewasa. Keluguan dan rasa ingin tahu yang kuat terhadap kehidupan seksualitas yang menjadi ciri khas anak-anak inilah yang dimanfaatkan pelaku pedofilia (pedophile) untuk menjerat korbannya. Karena itu, dalam kasus pedofilia, penekanannya lebih pada bentuk eksploitasi dan manipulasi yang muncul sebagai akibat ketidakseimbangan power (imbalance of power) antara pelaku dan anak-anak yang menjadi korbannya.
Anak akan menjadi lost generation dikarenakan orang tua yang tidak cakap dalam mendidik. Hal tersebut membuat mereka menjadi sumber daya yang tidak komptitif hingga sangat kecil kemungkinan untuk mampu bekerja disektor formal dan hal yang demikian pada akhirnya membuat atau menyeret mereka menyerbu sektor informal atau illegal.
Ternyata hak asasi hak tidak pernah diberi melainkan harus direbut dengan suatu gerakan perlindungan hukum terhadap anak-anak, anti kekerasan terhadap anak dan mengambil kembali hak asasi anak-anak yang hilang. Gerakan perlindungan hukum terhadap anak harus digencarkan di tengah-tengan masyarakat. Pencanangan gerakan nasional perlindungan anak adalah dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran bangsa secara nasional guna menghargai hak-hak anak dalam rangka menumbuhkan, mengembangkan kepedulian masyarakat agar berperan aktif melindungi anak dari segala macam bentuk gangguan terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembangnya.
Sebagai suatu gerakan nasioanal di dalam upaya memeberikan perlindungan hukum terhadap anak perlu melibatkan seluruh segmen yang ada. Seperti badan pemerintah, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), organisasi sosial, aparat hukum, tokoh agama, dari kalangan pers serta lembaga-lembaga akademik dan para pakar-pakar untuk bersama-sama, bahu-membahu dalam mewujudkan anak Indonesia yang teguh imannya, berpendidikan, sehat dan tangguh di dalam bersaing serta dapat menentukan masa depannya sendiri.
Dewasa ini di perkirakan jumlah anak yang membutuhkan perlindungan khusus makin besar terutama pasca krisi. Kasus-kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak-hak anak makin marak. Suatu permasalahan anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang cukup luas. Negara kita sebenarnya telah banyak pula memberikan perhatian terhadap hak-hak anak. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang usaha kesejahteraan anak dan ikut serta Indonesia dal;am menandatangai konvensi tentang anak hak-hak anak (Convention On The Right of The Child) sebagai hasil Sidang Umum PBB pada tanggal 26 Januari 1990 dan diratifikasi dengan Keputusan Presiden RI No 36 Tahun 1990. Namun dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain peraturan pemerintah belum semuanya diwujudkan secara efektif, kesigapan aparat dalam penegakan hukum, dan kurangnya perhatian dan peran serta masyarakat dalam permasalahan anak.
Dengan latar belakangan permasalahan yang sangat menarik bagi penulis untuk meneliti masalah ini dan mengangkat permasalahan tersebut dalam skripsi dengan judul : “Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Phedofilia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan tentang tindak pidana phedofilia dalam peraturan hukum di Indonesia ?
2. Apa sanksi bagi pelaku tindak pidana phedofilia sesuai dengan peraturan hukum di Indonesia ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana phedofilia dalam peraturan hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui saksi apa yang dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana phedofilia.
Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Memberikan pengetahuan atau wawasan baru bagi para mahasiswa/mahasiswa yang berminat dalam permasalahan hak anak.
2. Sebagai tambahan bacaan bagi kalangan yang berminat membahas permasalahan kekerasan seksual atau phedofilia.
3. Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata-1 pada Fakultas Hukum Universitas X.