BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Era globalisasi telah menyentuh segala aspek kehidupan dan telah melahirkan perubahan sosial, sikap, dan perilaku, yang pada akhirnya bermuara pada pergeseran sistem nilai dan norma kehidupan. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya transformasi budaya, ilmu pengetahun, dan teknologi. Realita seperti ini menuntut setiap bangsa (termasuk Indonesia) untuk segera mempersiapkan diri agar mampu bersaing, khususnya dalam bidang pendidikan.
Diakui atau tidak, mutu pendidikan Indonesia jauh tertinggal dengan negara lain. Third Matemathics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia, melaporkan bahwa kemampuan Matematika siswa SMP kita berada pada urutan 34 dari 38 negara, sedangkan kemampuan IPA berada pada urutan 32 dari 38 negara. Sementara itu, International Educational Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada pada urutan 30 dari 38 negara yang disurvei (Nurhadi, 2004: 1). Menurut catatan Human Development Report versi UNDP, peringkat HDI (Human Development Index) atau kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia berada pada urutan 110 dari 173 negara pada tahun 2002, dan 112 dari 174 negara pada tahun 2003. Indonesia berada jauh di bawah Singapura (28), Korea Selatan (30), Brunei Darusalam (31), Malaysia (58), Thailand (74), dan Filipina (85).
Selanjutnya, menurut Depdiknas (2005: 45), jumlah anak usia SD (7 – 12 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 5,50 % (1.422.141 anak), anak usia SMP (13 – 15 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 44.30 % (5.801.122 anak), dan anak usia SMA (16 – 18 tahun) yang belum terlayani oleh pendidikan sebanyak 67,58 % (9.113.941 anak). Retensi kotor anak masuk SD yang melanjutkan hingga Perguruan Tinggi sebesar 11,6 %, dan yang tidak sebesar 88,4%.
Kondisi di atas memberikan gambaran, sekaligus bahan renungan dan refleksi, bahwa pendidikan di Indonesia masih memerlukan perhatian dan pembaharuan dalam rangka menciptakan manusia-manusia berkualitas sesuai dengan tuntutan zaman. Hal ini selaras dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Sedangkan tujuan Pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Salah satu komponen penting demi terlaksananya sebuah Sistem Pendidikan Nasional yang terarah adalah kehadiran kurikulum. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan potensinya agar menjadi manusia paripurna sebagaimana yang tersurat dalam tujuan pendidikan nasional. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut, pengembangan potensi peserta didik harus disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Lebih lanjut, dalam PP No. 19 tahun 2005, pemerintah telah menetapkan delapan standar minimal pendidikan, diantaranya: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi kelulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar pengelolaan, (6) standar sarana prasarana, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian.
Di Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan kurikulum. Yang terbaru adalah diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kemudian disempurnakan kembali menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) sebagai pengganti kurikulum 1994. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan adanya kurikulum masalah pendidikan akan teratasi secara otomatis? Ternyata tidak. Kurikulum hanya merupakan satu diantara tiga hal yang perlu mendapat perhatian dalam pembaharuan pendidikan. Selain kurikulum, hal yang perlu mendapat perhatian tersebut yaitu peningkatan pembelajaran, dan efektifitas pendekatan pembelajaran. Kualitas pembelajaran harus ditingkatkan untuk meningkatkan kualitas hasil pendidikan. Secara mikro, harus ditemukan strategi atau pendekatan pembelajaran yang efektif di kelas dan lebih memberdayakan potensi siswa.
Pemberlakuan KTSP menuntut adanya perubahan paradigma guru yang semula mengajar dengan orientasi terhadap hasil dan materi (transfer of knowledge) menjadi orientasi terhadap proses. Nurhadi (2002: 1), mengatakan bahwa pembelajaran yang berorieritasi target penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetisi 'mengingat' jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang. Pembelajaran hendaknya sebanyak mungkin melibatkan peserta didik agar mereka mampu bereksplorasi untuk membentuk kompetensi dengan menggali berbagai potensi secara ilmiah dan alamiah. Anak akan belajar lebih baik jika lingkungan diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika ‘anak mengalami' apa yang dipelajarinya, bukan 'mengetahui'-nya. Konsep pembelajaran yang demikian inilah yang diharapkan oleh pendekatan CTL.
CTL merupakan konsep belajar yang menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa untuk menghubungkan pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. CTL memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran, seting pembelajaran yang tidak melulu di dalam kelas, dan media apa saja untuk belajar. Prinsipnya, orang-orang dan benda-benda di sekitar siswa, semua adalah media belajar. Sehingga, gambaran fisik kelas CTL seperti berikut ini:
… dinding kelas penuh dengan tempelan hasil karya siswa (tidak hanya gambar presiden dan wakil presiden saja). Dinding kelas penuh dengan gambar hasil karya siswa, peta (baik cetak maupun buatan siswa sendiri, artikel, gambar tokoh idola, puisi, komentar, foto tokoh, diagram-diagram, dan lain-lain. Setiap saat berubah. Bahkan lorong-lorong sekolah pun dapat dimanfaatkan. Akibatnya, kemana pun siswa pergi dikepung oleh informasi! Ciri kedua, kelas CTL adalah siswa siswa selalu ramai dan gembira dalam belajar. Kelas yang aktif bukan kelas yang sepi (Nurhadi, 2004: 151).
Belajar harus didukung oleh lingkungan belajar yang berpusat pada siswa, dalam arti lingkungan yang mampu memberikan stimulasi siswa senang belajar. Oleh karena itu, pembelajaran harus berubah dari "guru yang berakting di depan kelas dan siswa menonton "ke" siswa yang berakting, bekerja, dan berkarya, guru mengarahkan dan memfasilitasi". Dengan kata lain, dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (pengetahuan dan keterampilan) datang dari 'menemukan sendiri', bukan dari 'apa kata guru'. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual.. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.
Kondisi ideal di atas, jelas bertolak belakang dengan apa yang terjadi selama ini. Masih banyak guru yang mengajar dengan cara-cara lama dan kurang melibatkan dan mengaktifkan siswa untuk mampu belajar sendiri. Model pembelajaran yang hanya menekankan ceramah dan kurang demokratis masih banyak terjadi, dengan akibat siswa kurang bebas untuk mengembangkan pikiran dan gagasannya. Guru terjebak dengan kegiatan rutin, yaitu memberikan penjelasan serta men-drill bahan ajar kepada siswa yang sesuai dengan buku teks/buku paket, sedangkan siswa menerima bahan ajar yang diberikan oleh guru. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Drost (2005 : 7) bahwa sistem drill masih amat disenangi oleh para guru sehingga unsur penemuan biasanya sering dilupakan.
Hampir setiap guru tidak pernah memperhatikan perbedaan individual siswa. Walaupun model pembelajarannya klasikal, pada jam pelajaran yang sama, pada umumnya dalam satu kelas guru mengajarkan bahan dan materi yang sama dan dengan cara yang sama untuk semua siswa pada kelas tersebut, Sagala (2003 : 151). Dampak logis dari model pembelajaran dengan cara-cara lama tersebut, diantaranya: (a) banyak siswa yang mampu menyajikan tingkat hapalan yang baik terhadap materi ajar yang diterimanya tetapi pada kenyataannya mereka tidak memahaminya, (b) sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan, dan (c) siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah (Depdiknas, 2006: 7).
Jika kondisi ini tetap dibiarkan, pendidikan di Indonesia akan semakin terpuruk dan tertinggal dengan negara-negara lain. Sebaliknya, apabila kondisi tersebut diatasi dengan penerapan Pendekatan CTL secara optimal, kualitas pendidikan akan memiliki keunggulan kompetensi-kompetitif dalam persaingan global. Depdiknas, (2006: 11) menyatakan bahwa pengalaman di negara lain, minat dan prestasi siswa dalam bidang bahasa, matematika, dan sains meningkat secara drastis pada saat: (a) mereka dibantu untuk membangun keterkaitan antara informasi (pengetahuan) baru dengan pengalaman (pengetahuan lain) yang telah mereka miliki atau mereka kuasai, (b) mereka diajarkan bagaimana mempelajari konsep, dan bagaimana konsep tersebut dipergunakan di luar kelas, dan (c) mereka diperkenankan untuk bekerja secara bersama.
Kondisi riil di Kabupaten X, selain memperoleh pelatihan kurikulum, guru bahasa Indonesia juga mendapatkan pelatihan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai pendekatan pembelajarannya. Konsekuensi logis dari pelatihan tersebut, para guru bahasa Indonesia di SMPN X begitu antusias menerapkan pendekatan CTL dalam pembelajaran di dalam kelas. Berpijak dari uraian di atas, maka dalam kesempatan ini penulis mencoba menganilisis sebuah topik dengan judul: “Pelaksanaan Contextual teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X ”.
1.2 Asumsi dan Batasan Masalah
1.2.1 Asumsi
Asumsi yang mendasari diadakannya penelitian ini diantaranya:
1. Guru bahasa Indonesia SMP Negeri di Kabupaten X tergabung dalam MGMP bahasa Indonesia Kabupaten X.
Dalam MGMP diadakan pertemuan secara rutin setiap bulan. Pertemuan tersebut diadakan untuk membicarakan masalah pembelajaran dan solusinya terutama yang menyangkut bahasa Indonesia. Logikanya pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan CTL dapat berjalan dengan optimal.
2. Berdasarkan data terbaru dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMPN X tahun 2007, Kualifikasi pendidikan guru Bahasa Indonesia, 3% Diploma, 93% Sarjana (S1), dan 4% Pasca Sarjana (S2). Dengan modal akademik lulusan Sarjana (S1) apalagi Pasca Sarjana (S2), seorang guru semestinya mampu menjalankan tugasnya, mengajarkan Bahasa Indonesia pada siswa kelas VIII SMP, dengan baik dan optimal.
3. Pelatihan atau penataran tentang CTL baik di tingkat sekolah, kabupaten, maupun provinsi sudah pernah diikuti oleh + 78% guru bahasa Indonesia SMP Negeri di Kabupaten X.
Modal ini semestinya menambah kemampuan guru dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal.
4. Pembelajaran Bahasa Indonesia bersifat tematik sehingga secara material muatan mata pelajaran Bahasa Indonesia mencakup segala aspek (tema-tema) dalam kehidupan. Padahal, tujuan utama pembelajaran Bahasa Indonesia adalah penguasaan siswa terhadap kompetensi berbahasa Indonesia, bukan penguasaan pengetahuan tentang Bahasa Indonesia. Para siswa harus mampu berbahasa sesuai dengan konteks dan ragamnya dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu, CTL-lah pendekatan yang prinsip- prinsipnya sangat dibutuhkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dengan asumsi hasilnya bisa optimal.
1.2.2 Batasan Masalah
Untuk memperjelas pembahasan agar tidak melebar dan menyimpang dari permasalahan yang akan diteliti, perlu adanya batasan masalah. Begitu juga dengan penelitian tentang pelaksanaan CTL ini. Berpijak dari hal tersebut di atas, masalah yang akan diangkat dalam penelitian ini dibatasi pada: Pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dan hambatannya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X?
2. Hambatan-hambatan apa yang ditemui guru Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X dalam pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL)?
1.4 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah di atas, penelitian ini bertujuan:
1. untuk mendeskripsikan pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X; dan
2. untuk mendeskripsikan hambatan- hambatan yang ditemui guru Bahasa Indonesia Kelas VIII Tahun Pelajaran X di SMPN X dalam pelaksanaan Contextual Teaching and Learning (CTL).
1.5 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini diantaranya adalah:
1. Bagi pengambil kebijakan (Dinas Pendidikan Kab. X), hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan terutama dalam pengambilan keputusan di masa yang akan datang.
2. Bagi praktisi pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan sebagai introspeksi sekaligus refleksi diri.
3. Bagi masyarakat umum, penelitian ini dapat dijadikan sebagai gambaran kondisi terkini tentang pendidikan sekaligus sebagai media untuk menambah wawasan dan referensi untuk penelitian yang sama.
1.6 Penjelasan Istilah
Dari judul penelitian ini, terdapat istilah yang perlu didefinisikan secara operasional. Istilah tersebut adalah Contextual Teaching and Learning (CTL).
Depdiknas (2006:8) menyatakan bahwa CTL:
1. Merupakan suatu proses pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural) sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/ konteks lainnya.
2. Merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata dan mendorong pebelajar membuat hubungan antara materi yang diajarkannya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.