Search This Blog

TESIS PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN KOMPENSASI TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA GURU

TESIS PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN KOMPENSASI TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA GURU

(KODE : PASCSARJ-0224) : TESIS PENGARUH KEMAMPUAN MANAJERIAL KEPALA SEKOLAH DAN KOMPENSASI TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA GURU (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Mutu pendidikan belum seperti yang diharapkan. Selain masih kurangnya sarana dan fasilitas belajar adalah faktor guru. Pertama, guru belum bekerja dengan sungguh-sungguh. Kedua, kemampuan profesional guru masih kurang, (Sukmadinata, 2006 : 203).
Guru belum dapat diandalkan dalam berbagai aspek kinerjanya yang standar, karena ia belum memiliki : keahlian dalam isi dari bidang studi, keahlian pedagogik, didaktik, dan metodik, keahlian pribadi dan sosial, khususnya berdisiplin dan bermotivasi, kerja tim antara sesama guru dan tenaga kependidikan lain, (Sanusi, 2007 : 17).
Padahal, guru memegang peranan kunci bagi berlangsungnya kegiatan pendidikan. Tanpa kelas, gedung, peralatan dan sebagainya, proses pendidikan masih dapat berjalan walaupun dalam keadaan darurat, tetapi tanpa guru proses pendidikan hampir tak mungkin dapat berjalan, (Sukmadinata, 2006 : 203).
Demikian juga, guru merupakan komponen paling menentukan, karena di tangan guru lah kurikulum, sumber belajar, sarana dan prasarana, dan iklim pembelajaran menjadi suatu yang berarti bagi kehidupan peserta didik, (Mulyasa, 2007 : 5). Menurut Darling-Hammond (2006 : 10), teori pembelajaran modern menyiratkan bahwa para guru harus menjadi pen diagnosis, organisator-organisator pengetahuan, dan pelatih-pelatih trampil untuk membantu para siswa menguasai informasi dan ketrampilan-ketrampilan yang kompleks.
Peran guru sangat penting dalam pembentukan karakter dan sikap murid, karena murid membutuhkan contoh disamping pengetahuan tentang nilai baik-buruk, benar-salah, dan indah-tidak indah. Dibutuhkan guru yang bermutu karena perannya dalam pengembangan intelektual, emosional, dan spiritual murid. "Kualitas guru merupakan komponen penting bagi pendidikan yang sukses," tulis Darling-Hammond (2006 : 5). Menurut Killen (1998 : v), "Pengetahuan, kemampuan, dan keyakinan guru memiliki pengaruh penting terhadap apa yang dipelajari siswa."
Untuk meningkatkan kinerja guru dibutuhkan kompetensi kepala sekolah yang memadai, khususnya dalam bidang manajerial. Kecuali itu, kepala sekolah harus mampu mendorong kebijakan pemberian kompensasi yang layak bagi guru-guru, sehingga mereka dapat mengembangkan kompetensinya dengan maksimal dan akhirnya bisa menjalankan tugas-tugas mereka dengan baik, tanpa kendala ekonomi.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah telah ditetapkan bahwa ada 5 (lima) dimensi kompetensi yaitu : Kepribadian, Manajerial, Kewirausahaan, Supervisi, dan Sosial.
Sejalan dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap akuntabilitas sekolah, maka meningkat pula tuntutan terhadap para kepala sekolah. Mereka diharapkan mampu melaksanakan fungsinya baik sebagai manajer dan leader.
Untuk meningkatkan kemampuan kepala sekolah dan tenaga kependidikan yang lain, pemerintah Indonesia telah menunjukkan good will, dengan memperhatikan kesejahteraan melalui beberapa langkah antara lain : pemberian gaji, kewenangan, dan otonomi yang cukup untuk memperkuat peran manajerial mereka di sekolah. Dengan diterbitkannya instrumen kebijakan baru, maka para kepala sekolah akan segera mendapat kompensasi meningkat, dukungan profesional, dan otonomi.
Persoalannya adalah untuk memperoleh sejumlah penghargaan tersebut, setiap kepala sekolah harus memenuhi standar mutu yang telah digariskan oleh pemerintah, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. Hal ini, dimaksudkan agar pemberian penghargaan tersebut terarah dan tepat sasaran.
Sebagai pemimpin pendidikan di sekolah, kepala sekolah memiliki tanggungjawab legal untuk mengembangkan staf, kurikulum, dan pelaksanaan pendidikan di sekolahnya. Di sinilah, efektifitas kepemimpinan kepala sekolah tergantung kepada kemampuan mereka bekerjasama dengan guru dan staf, serta kemampuannya mengendalikan pengelolaan anggaran, pengembangan staf, scheduling, pengembangan kurikulum, pedagogi, dan assessment.
Dalam kerangka MBS, kepala sekolah bertanggungjawab atas pelaksanaan (1) manajemen sekolah; (2) pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM); dan (3) peningkatan peran serta masyarakat dalam mendukung program sekolah.
Untuk menjalankan tugas manajerial di atas, dan juga merespon tuntutan yang terus berubah saat ini, kepala sekolah harus memiliki kepemimpinan yang kuat agar mampu melaksanakan program-program sekolah yang mereka bina secara efektif. Hal ini, mengingat kepala sekolah tidak saja bertanggungjawab mengelola guru, murid, dan orang tua, tetapi juga harus menjalin hubungan sekolah dengan masyarakat luas. Untuk mendukung pelaksanaan tanggungjawab tersebut, kepala sekolah perlu memiliki kemampuan dan keterampilan kepemimpinan.
Fred M. Hechinger (dalam Davis dan Thomas, 1989 : 17) pernah menyatakan : 
"Saya tidak pernah melihat sekolah yang bagus dipimpin oleh kepala sekolah yang buruk dan sekolah buruk dipimpin oleh kepala sekolah yang buruk. Saya juga menemukan sekolah yang gagal berubah menjadi sukses, sebaliknya sekolah yang sukses tiba-tiba menurun kualitasnya. Naik atau turunnya kualitas sekolah sangat tergantung kepada kualitas kepala sekolahnya".
Pandangan tersebut menganjurkan kepada para kepala sekolah untuk memahami tugas pokok dan fungsinya sebagai pemimpin pendidikan secara cermat. Kompetensi kepala sekolah akan berpengaruh terhadap kinerja para guru. Demikian juga kompensasi yang diberikan sekolah akan meningkatkan kinerja guru, karena guru telah mendapatkan sesuatu yang benar-benar layak buat mereka. Menurut Abin Syamsudin (2001), variabel yang memengaruhi variabel produktivitas guru adalah : kepemimpinan, pendidikan, kemampuan (kompetensi), tanggungjawab, tingkat kesejahteraan (kompensasi), lingkungan kerja, dan kepuasan kerja.
Di antara tujuan pemberian kompensasi menurut Alma (1998 : 203) adalah bahwa ia dapat meningkatkan motivasi guru dan dapat memenuhi kebutuhan guru. Karena guru dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya, maka motivasi kerja bisa meningkat.
Fakta menunjukkan bahwa banyak guru yang bekerja di luar profesinya, sehingga waktu dan tenaga serta pikirannya tidak sepenuhnya dicurahkan untuk perbaikan mengajar dan mendidik. Hal ini karena gaji mereka belum mencukupi kebutuhan hidup mereka. Alih-alih mengembangkan kompetensi guru dengan beragam cara, sehingga kualitas mereka meningkat dan sesuai perkembangan zaman, mereka malah disibukkan dengan urusan mencari tambahan uang di luar bidang profesinya.

B. Rumusan Masalah
Produktifitas kinerja guru sangat penting bagi tercapainya keluaran pendidikan yang diharapkan. Namun, fakta menunjukkan bahwa kinerja guru banyak menemui hambatan internal dan eksternal. Masalah kepemimpinan kepala sekolah, mutu pendidikan, kemampuan guru dan kepala sekolah, tingkat kesejahteraan guru, lingkungan dan budaya kerja, serta kepuasan kerja, merupakan factor-faktor yang sangat terkait dengan kinerja guru di sekolah.
Oleh karena itu, perbaikan kualitas dan kuantitas faktor-faktor tersebut harus segera dilakukan oleh semua pihak yang bertanggung jawab terhadap dunia pendidikan. Dengan demikian tujuan pendidikan bisa tercapai sesuai harapan. Sekolah, pemerintah, dan masyarakat harus bekerjasama untuk meningkatkan kinerja guru, karena merekalah pintu gerbang keberhasilan generasi muda Indonesia lima hingga sepuluh tahun mendatang. 
Sebagaimana penjelasan sebelumnya, bahwa banyak faktor yang berhubungan dengan tingkat produktifitas guru, maka dalam penelitian ini hanya akan mengukur hubungan kemampuan manajerial kepala sekolah dan kompensasi dengan produktifitas kinerja guru di SMA I dan II. Karena, diasumsikan bahwa kedua variabel itulah yang sangat besar pengaruhnya terhadap kinerja guru.

C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran/profil kemampuan manajerial kepala sekolah di SMAN Di Kecamatan X ?
2. Bagaimana gambaran kompensasi yang diterima guru di SMAN Di Kecamatan X ?
3. Bagaimana gambaran produktivitas kerja guru di SMAN Di Kecamatan X ?
4. Bagaimana pengaruh kemampuan manajerial Kepala sekolah terhadap produktivitas kerja guru di SMA Negeri di Kecamatan X ?
5. Bagaimana pengaruh kompensasi terhadap produktivitas kerja guru di SMA Negeri di Kecamatan X ?
6. Seberapa besar pengaruh kemampuan manajerial Kepala sekolah dan kompensasi terhadap produktivitas kerja guru di SMA Negeri di Kecamatan X ?

D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka secara umum peneliti bermaksud ingin mengidentifikasikan, mendeskripsikan, dan menganalisa pengaruh kemampuan manajerial Kepala sekolah dan kompensasi terhadap produktivitas kerja guru. Sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini antara lain : 
1. Ingin mengetahui bagaimana gambaran kemampuan manajerial Kepala sekolah di SMA Negeri di Kecamatan X. 
2. Ingin mengetahui bagaimana gambaran kompensasi yang diterima guru di SMA Negeri di Kecamatan X.
3. Ingin mengetahui bagaimana gambaran produktivitas kerja guru di SMA Negeri di Kecamatan X.
4. Ingin menganalisis seberapa besar pengaruh kemampuan manajerial Kepala sekolah terhadap produktivitas kerja Guru di SMA Negeri di Kecamatan X.
5. Ingin menganalisis seberapa besar pengaruh kompensasi terhadap produktivitas kerja guru di SMA Negeri di Kecamatan X.
6. Ingin menganalisis seberapa besar pengaruh kemampuan manajerial Kepala sekolah dan kompensasi terhadap produktivitas kerja guru di SMA Negeri di Kecamatan X.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat penelitian secara teoritis
Ditinjau dari aspek pengembangan ilmu penelitian ini diharapkan berguna untuk mengembangkan ilmu administrasi pendidikan di sekolah. yang berkaitan dengan upaya untuk menemukan berbagai konsep maupun pengertian baru ke arah pengembangan sumber daya manusia yang profesional amat diperlukan dalam menjawab tantangan mutu pendidikan Indonesia di masa depan.
2. Manfaat penelitian secara praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi : 
a. Kepala Sekolah
Sebagai pedoman dalam upaya meningkatkan kemampuan manajerialnya dan memilih pendekatan yang dapat dijadikan dasar dalam peningkatan produktivitas kerja guru melalui peningkatan : 
1) Kompensasi finansial;
2) Kompensasi non financial.
b. Guru dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja melalui peningkatan pendidikan, pengetahuan/kemampuan dan tanggungjawab.
c. Perorangan yang memerlukan gambaran tentang pendekatan yang dilakukan kepala sekolah dalam meningkatkan produktivitas kerja melalui kompensasi.

TESIS IMPLEMENTASI PERAN KOMITE MADRASAH DALAM MENCIPTAKAN HUBUNGAN SINERGIS DENGAN KEPALA MADRASAH

TESIS IMPLEMENTASI PERAN KOMITE MADRASAH DALAM MENCIPTAKAN HUBUNGAN SINERGIS DENGAN KEPALA MADRASAH

(KODE : PASCSARJ-0223) : TESIS IMPLEMENTASI PERAN KOMITE MADRASAH DALAM MENCIPTAKAN HUBUNGAN SINERGIS DENGAN KEPALA MADRASAH (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lembaga pendidikan formal atau yang disebut dengan sekolah atau madrasah merupakan pranata sosial yang mengalami perkembangan dari masa ke masa yang biasanya diselenggarakan secara masal untuk umum dengan standar kurikulum tertentu pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Dikarenakan pendidikan merupakan pranata sosial, maka keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan menjadi mutlak diperlukan sebagaimana tertuang dalam paradigma baru tri pusat pendidikan dimana semua orang (orang tua dalam keluarga, kepala sekolah dan guru di sekolah serta masyarakat) bekerjasama mendidik anak-anak dengan baik.
Keluarga (home), sekolah (school), dan masyarakat (community) memiliki pola hubungan fungsional yang amat rapat, dan bahkan seharusnya bersatu padu secara sinergis dalam melaksanakan misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Dulu kita mengenal Badan Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG), dan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Sebagai penyempurnaan institusi tersebut, sekarang, telah ditemukan bentuknya yang lebih ideal, yaitu komite sekolah. Dimana komite ini secara formal difungsikan sebagai forum pengambilan keputusan bersama antara sekolah, dan masyarakat dalam hal perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi program kerja yang dilakukan di sekolah.
Berdasarkan Kepmendiknas 044/U/2002, komite madrasah mengemban empat peran sebagai berikut : (1) pemberi pertimbangan, (2) pendukung, (3) pengawas, dan (4) mediator. Keempat peran komite tersebut bukan peran yang berdiri sendiri, melainkan peran yang saling terkait antara peran satu dengan peran lainnya.
Berdasarkan peran komite madrasah tersebut, maka pada tahap awal pembentukannya, komite madrasah disambut dengan sangat positif oleh sebagian besar masyarakat, dengan harapan yang tinggi pula. Namun ironisnya, pada perkembangan praktek di lapangan ditemukan beberapa fenomena penting, seperti adanya ketidakjelasan peran komite madrasah dan ketidakberdayaan. Penyebabnya antara lain, karena pelaksanaan peran komite madrasah tidak selalu memenuhi harapan. Padahal eksistensinya sangatlah penting dan strategis, yakni (1) memberikan pertimbangan dalam menentukan dan melaksanakan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan, (2) mendukung baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, (3) mengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, (4) sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.
Pelaksanaan peran komite madrasah masih sangat variatif. Di satu pihak ada komite madrasah yang masih melanjutkan peran BP3 (Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan) yang sering disebut sebagai "stempel" kepala madrasah. Artinya, komite madrasah seperti ini hanya "mengekor" apa yang diprogramkan oleh kepala madrasah. Komite madrasah tidak memiliki ide kreatif dan gagasan inovatif untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Jadi program kepala madrasah itulah yang menjadi program komite madrasah. Sebaliknya adapula komite madrasah yang justru sangat ditakuti oleh kepala madrasah. 
Kedudukan sebagai kepala madrasah sering menjadi incaran kritik dan pengawasan secara berlebihan oleh komite madrasah apalagi jika kepala madrasah tersebut melaksanakan tugasnya secara tidak transparan, demokratis dan akuntabel. Jika kepala madrasah jelas-jelas melakukan penyelewengan maka komite madrasah ini tidak segan-segan lagi mengajukan rekomendasi kepada dinas pendidikan untuk mengganti kepala sekolah tersebut. Peran sebagai badan pengawasan lebih menonjol dibandingkan dengan yang lain. Bahkan di beberapa madrasah keberadaan lembaga ini justru menjadi saingan kepala madrasah dalam menentukan kebijakan madrasah.
Fenomena yang terjadi diatas bertentangan dengan pedoman kerja komite madrasah pada Bab II pasal 4 tentang kedudukan komite madrasah yang menyebutkan : 
Komite sekolah di SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, berkedudukan sebagai lembaga mandiri yang di luar struktur organisasi SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau lazim disebut dengan organisasi non struktural, tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK sebagai mitra kerja unsur pimpinan SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK.
Dalam pasal 4 diatas sangat jelas disebutkan bahwa komite madrasah merupakan mitra kerja kepala madrasah sebagai unsur pimpinan satuan pendidikan sehingga transformasi pelaksanaan konsep komite madrasah memerlukan pemahaman dari berbagai pihak baik dari anggota komite madrasah maupun dari kepala madrasah agar tidak terjadi kesalahpahaman yang bisa menimbulkan konflik dalam mencapai tujuan bersama bahkan akan memberikan dampak buruk terhadap stabilitas pelaksanaan pendidikan di satuan pendidikan tersebut. Dinyatakan secara tegas, bahwa komite madrasah merupakan lembaga mandiri dan bersifat independen. Kedudukan komite madrasah tidak di bawah kepala madrasah atau dibawah bayang-bayang kekuasaan kepala madrasah namun, kedudukan komite madrasah adalah sebagai mitra kerja kepala madrasah. Berdasarkan kenyataan tersebut, komite madrasah akan bisa melaksanakan perannya secara optimal jika didukung oleh kepala madrasah, yang dimaksudkan dukungan disini adalah kepala madrasah memberikan ruang untuk komite madrasah dalam melaksanakan perannya sehingga akan tercipta hubungan yang sinergis diantara keduanya. Mulyasa mengatakan, dalam rangka mewujudkan visi dan misi sekolah, maka kepala sekolah harus melibatkan masyarakat dalam memberikan masukan-masukan untuk menyusun program yang relevan. Di sisi lain, masyarakat juga memerlukan jasa sesuai dengan yang diinginkan. Jalinan semacam itu dapat terjadi, jika kepala sekolah aktif dan dapat membangun hubungan yang saling menguntungkan.
Hubungan antara kepala madrasah dengan komite madrasah yang dibangun dengan baik akan membawa pengaruh positif bagi komite madrasah dalam mengadakan sumberdaya-sumberdaya pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan pendidikan yang dapat memberikan fasilitas-fasilitas bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak mungkin, sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif.
Komite madrasah bisa ikut serta untuk meneliti berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid secara kelompok maupun secara individual, sehingga membantu guru-guru untuk menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi murid-muridnya. Komite madrasah juga dapat menyampaikan ketidakpuasan para orangtua murid akan rendahnya prestasi yang dicapai oleh suatu madrasah.
Obyek penelitian ini bertempat di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) X. alasan dipilihnya lembaga pendidikan ini karena peneliti melihat adanya hubungan yang sinergis antara komite madrasah dan kepala madrasah. Hal itu terlihat dari kontribusi yang telah diberikan oleh komite madrasah yang berupa penambahan aset-aset madrasah dari tahun ke tahun, prestasi-prestasi yang telah dicapai oleh MAN X yang kesemuanya tidak lepas dari peran serta komite madrasah, maupun program-program kebijakan madrasah yang tidak bisa dipisahkan dari peranan komite madrasah di dalamnya. 
Berdasarkan data awal penelitian diatas, maka peneliti akan melakukan penelitian lebih lanjut tentang PERAN KOMITE MADRASAH DALAM MENCIPTAKAN HUBUNGAN SINERGIS DENGAN KEPALA MADRASAH.

B. Fokus penelitian
Penelitian ini memfokuskan pada Implementasi Peran Komite Madrasah Dalam Menciptakan Hubungan yang Sinergis dengan kepala madrasah dengan sub fokus : 
1. Bagaimana komitmen dan tanggung jawab komite MAN X dalam mengimplementasikan peran-perannya di MAN X ?
2. Apa kekuatan yang dimiliki komite MAN X untuk mempertahankan eksistensinya di MAN X ?

C. Tujuan Penelitian
Berbanding lurus dengan sub fokus penelitian di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui bagaimana komitmen dan tanggung jawab komite MAN X dalam mengimplementasikan peran-perannya di MAN X ?
2. Untuk mengetahui kekuatan yang dimiliki komite MAN X untuk mempertahankan eksistensinya di MAN X ?

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dan bermanfaat bagi berbagai pihak antara lain : 
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan pengetahuan tentang implementasi peran komite madrasah dalam menciptakan hubungan sinergis dengan kepala madrasah
b. Hasil-hasil yang diperoleh dapat menimbulkan permasalahan baru untuk diteliti lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pengurus komite madrasah
Mengungkapkan beberapa kendala atau hambatan terhadap profil dan peran komite madrasah yang pada akhirnya dapat digunakan oleh pengurus komite madrasah untuk menciptakan hubungan sinergis yang lebih baik dengan kepala sekolah.
b. Bagi kepala madrasah
Memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi kepala sekolah selaku penyelenggara pendidikan akan pentingnya membina hubungan sinergis yang baik dengan komite madrasah keberlangsungan pendidikan di satuan pendidikannya.
c. Bagi dewan pendidikan
Memberikan masukan yang penting bagi dewan pendidikan untuk lebih memiliki integritas yang tinggi demi keberlangsungan pendidikan di satuan pendidikan masing-masing melalui komite madrasah. 

TESIS ANALISIS KINERJA SEKOLAH BERDASARKAN PENDEKATAN MANAJEMEN MUTU TERPADU (TQM) DAN PENGARUHNYA TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA

TESIS ANALISIS KINERJA SEKOLAH BERDASARKAN PENDEKATAN MANAJEMEN MUTU TERPADU (TQM) DAN PENGARUHNYA TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA

(KODE : PASCSARJ-0222) : TESIS ANALISIS KINERJA SEKOLAH BERDASARKAN PENDEKATAN MANAJEMEN MUTU TERPADU (TQM) DAN PENGARUHNYA TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perhatian terhadap penjaminan mutu telah menjadi isu penting di hampir seluruh organisasi baik organisasi yang berorientasi laba maupun organisasi nirlaba, baik sektor swasta maupun sektor publik, baik organisasi penghasil barang maupun penghasil jasa. Sektor pendidikan yang merupakan sektor publik adalah salah satu lembaga yang dituntut untuk menempatkan mutu sebagai perhatian utama karena pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas pula.
Perhatian terhadap isu penjaminan mutu ini belum diikuti dengan perhatian terhadap penambahan ilmu dan informasi tentang hal-hal yang menyangkut penjaminan mutu tersebut. Konsep-konsep penjaminan mutu masih dilandasi pemikiran-pemikiran tradisional, yang masih banyak dikaitkan dengan urusan inspeksi atau kontrol mutu. Masih banyak yang beranggapan bahwa penjaminan mutu sama dengan kontrol mutu, yang meliputi aktifitas checking, deteksi dan inspeksi. 
Dalam bidang pendidikan misalnya, pemerintah, yakni Kementerian Pendidikan Nasional telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama No. 63 tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Peraturan Menteri tersebut menjelaskan tentang pembagian tugas dan koordinasi kegiatan-kegiatan penjaminan mutu pendidikan di antara pemangku kepentingan pendidikan di daerah. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah kegiatan pemetaan dan pengukuran, analisis serta kegiatan-kegiatan peningkatan mutu dan kapasitas sekolah sebagai satuan pendidikan. Semua kegiatan-kegiatan penjaminan mutu ini merujuk pada ketentuan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah, yakni Standar Nasional Pendidikan. 
Namun semua kegiatan yang tercakup dalam peraturan menteri tersebut belum mencerminkan sebuah sistem manajemen kualitas menyeluruh yang menyentuh semua sisi penjaminan mutu. Manajemen kualitas mutu yang banyak dikampanyekan adalah penerapan sistem manajemen ISO 9000 yang belum benar-benar menyentuh sisi mutu yang sesungguhnya dan pelaksanaannya masih terbatas pada konsistensi dan kesesuaian dokumen administrasi kegiatan. Pengukuran kinerja dalam sistem manajemen ISO 9000 yang dilakukan lewat audit internal dan audit eksternal belum mampu mengungkap seluruh kelemahan yang menyangkut performansi organisasi dan pada akhirnya belum mampu memenuhi kepuasan pelanggan yang merupakan salah satu dimensi mutu.
Untuk itu diperlukan sebuah usaha untuk mendorong dan memotivasi warga sekolah dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan untuk lebih mengenal dan mempelajari konsep mutu dan berbagai pendekatan, teknik dan inovasi yang terkait dengan mutu. Salah satu pendekatan yang banyak digunakan dalam rangka penjaminan mutu adalah pendekatan manajemen mutu terpadu (total quality management/TQM). Pendekatan TQM ini memang lahir dari gerakan-gerakan revolusi terhadap perbaikan kualitas produk di industri barang, namun tidak menutup kemungkinan untuk diterapkan dalam sektor publik seperti bidang pendidikan karena falsafahnya adalah perbaikan secara terus menerus lewat perbaikan budaya, komunikasi dan komitmen dari seluruh komponen organisasi.
Manajemen Mutu Terpadu atau TQM sebagai sebuah pendekatan dalam mewujudkan program penjaminan mutu sangat penting untuk ditempatkan sebagai kajian-kajian ilmiah dalam rangka pengukuran dan prediksi tentang kesiapan lembaga pendidikan dalam memanfaatkan teknik ini. Kajian tentang TQM ini juga secara signifikan akan memberikan gambaran tentang perlu tidaknya teknik yang berasal dari dunia korporasi ini diterapkan dalam lingkungan pendidikan yang segala sisi kegiatannya bersifat humanis.
Pembahasan tentang TQM memang tidak pernah terlepas dari pembahasan tentang mutu yang berorientasi pada kepuasan pelanggan, maka pembicaraan tentang TQM dalam lingkungan sekolah adalah pembahasan tentang sejauh mana proses pendidikan sekolah diarahkan untuk mencapai tuntutan pelanggan. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa sebenarnya yang layak disebut pelanggan dalam dunia pendidikan. Peserta didik dan orang tuanya, pemerintah daerah maupun pusat adalah pihak yang secara langsung dan tidak langsung mendanai pelaksanaan pendidikan di sekolah sehingga diberbagai sumber tulisan mereka disebut sebagai pelanggan utama pendidikan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa aplikasi TQM di lingkungan sekolah adalah penerapan prinsip-prinsip TQM dalam rangka pencapaian tuntutan para pelanggan tersebut.
Sejatinya, sebagian komponen dalam pendekatan TQM telah terintegrasi dalam manajemen berbasis sekolah (MBS). Serpihan-serpihan komponen TQM ini telah berjalan secara sederhana dan belum disadari dan dikelola secara utuh sebagai sebuah usaha untuk perbaikan mutu. Namun demikian, MBS belum memuat seluruh prinsip utama dan unsur pokok manajemen mutu terpadu. Manajemen mutu terpadu dalam lingkungan sekolah merupakan suatu sistem manajemen yang menyangkut mutu sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi sekolah. Misi utama manajemen mutu terpadu di lingkungan sekolah adalah memenuhi kepuasan pelanggan, melalui perbaikan pada proses dan pelibatan pihak terkait secara total, dengan menempatkan siswa sebagai "klien" utama. 
Pelaksanaan manajemen mutu di lingkungan sekolah memang sangat berbeda dengan yang terjadi di dunia industri barang bahkan tetap berbeda bila dibandingkan dengan organisasi penyedia jasa. Manajemen mutu di lingkungan sekolah merupakan hal yang kompleks dan tidak sederhana disebabkan perbedaan yang sangat jelas antara bentuk layanan dan "produk" yang dihasilkan. Menghasilkan manusia-manusia baru yang terdidik tidak dapat disamakan dengan menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas. Untuk itu perlu adanya sebuah usaha pemetaan dan pengukuran tentang bagaimana kondisi kinerja sekolah saat ini jika di lihat dari sudut pandang manajemen mutu terpadu, juga tentang sejauh mana warga sekolah sadar tentang mutu dan teknik-teknik penjaminan mutu serta bagaimana pihak sekolah menjalankan usaha penjaminan mutunya. Hal terpenting dalam usaha pengukuran ini adalah untuk mengetahui efektifitas penerapan falsafah manajemen mutu terpadu dalam lingkungan sekolah. Untuk itu, pengukuran kinerja sekolah dengan manajemen mutu terpadu ini disandingkan dengan pengukuran hasil belajar siswa, karena salah satu tujuan utama dari penerapan manajemen mutu terpadu di lingkungan sekolah adalah untuk meningkatkan kualitas dan daya saing lulusan sekolah dengan salah satu indikatornya berupa hasil belajar siswa.
Jenjang pendidikan yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur pengukuran penjaminan mutu berdasarkan pendekatan manajemen mutu terpadu adalah jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) disebabkan pengelolaan manajemen sekolah yang lebih mapan. Gambaran kualitas penjaminan mutu SMA dapat dijadikan sebagai "patok duga" tentang bagaimana kualitas penjaminan mutu sekolah-sekolah dibawah tingkatannya yakni Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Dasar (SD).

B. Identifikasi Masalah
Berbagai permasalahan yang terjadi di sekolah sehubungan dengan penjaminan mutu : 
1. Bagaimanakah tingkat pemahaman kepala sekolah terhadap konsep penjaminan mutu secara umum dan penjaminan mutu pendidikan secara khusus ?
2. Bagaimanakah tingkat pemahaman warga sekolah lainnya terhadap konsep penjaminan mutu secara umum dan penjaminan mutu pendidikan secara khusus ?
3. Bagaimanakah gambaran pelaksanaan penjaminan mutu sekolah yang berjalan selama ini ?
4. Model/pendekatan apa yang digunakan dalam pelaksanaan penjaminan mutu sekolah yang berjalan selama ini ?
5. Apakah pelaksanaan penjaminan mutu sekolah berbanding lurus dengan kinerja sekolah ?
6. Apakah proses pelaksanaan penjaminan mutu sekolah berbanding lurus dengan kinerja sekolah yang diukur berdasarkan standar nasional pendidikan ?
7. Sejauh mana peran Dinas Pendidikan Propinsi dan Kab/Kota dalam menstimulasi pelaksanaan penjaminan mutu di sekolah ?

C. Batasan Masalah
Seluruh permasalahan diatas perlu dibatasi dikarenakan keterbatasan waktu, dana, tenaga dan teori. Pembatasan juga diperlukan guna menemukan fokus penelitian dan untuk pendalaman penelitian. Untuk itu permasalahan tersebut diatas dapat dibatasi menjadi :
1. Gambaran kinerja Sekolah Menengah Atas (SMA) secara keseluruhan di Propinsi X berdasarkan indikator pendekatan manajemen mutu terpadu/total quality management (TQM).
2. Gambaran hasil belajar siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) secara keseluruhan di Propinsi X berdasarkan indikator nilai Ujian Nasional (UN).
3. Pengaruh kinerja Sekolah Menengah Atas (SMA) di Propinsi X berdasarkan indikator pendekatan manajemen mutu terpadu/total quality management (TQM) terhadap hasil belajar siswa.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah gambaran kinerja Sekolah Menengah Atas (SMA) secara keseluruhan di Propinsi X berdasarkan indikator pendekatan manajemen mutu terpadu/total quality management (TQM) ?
2. Bagaimanakah gambaran hasil belajar siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) secara keseluruhan di Propinsi X berdasarkan indikator nilai Ujian Nasional (UN) ?
3. Bagaimanakah pengaruh kinerja Sekolah Menengah Atas (SMA) di Propinsi X berdasarkan indikator pendekatan manajemen mutu terpadu/total quality management (TQM) terhadap hasil belajar siswa ?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 
1. Mendapatkan gambaran kinerja Sekolah Menengah Atas (SMA) secara keseluruhan di Propinsi X berdasarkan indikator pendekatan manajemen mutu terpadu/total quality management (TQM).
2. Mendapatkan gambaran hasil belajar siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) secara keseluruhan di Propinsi X berdasarkan indikator nilai Ujian Nasional (UN)
3. Melihat pengaruh kinerja Sekolah Menengah Atas (SMA) di Propinsi X berdasarkan indikator pendekatan manajemen mutu terpadu/total quality management (TQM) terhadap hasil belajar siswa.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain adalah : 
1. Untuk SMA yang ada di Propinsi X : 
a. Dapat memberikan gambaran tentang kinerja Sekolah mereka berdasarkan indikator pendekatan manajemen mutu terpadu/total quality management (TQM), sehingga dapat menjadi informasi dan pengetahuan tambahan bagi pihak sekolah tentang peta manajemen mutu mereka serta manajemen mutu terpadu itu sendiri.
b. Dapat menyajikan sudut pandang yang berbeda dengan hasil akreditasi sekolah dalam menilai kinerja sekolah mereka. 
c. Dapat memberikan gambaran prediksi tentang kesiapan pihak sekolah dalam menjalankan manajemen mutu terpadu.
2. Untuk pemangku kepentingan pendidikan di Propinsi X : 
a. Dapat memberikan gambaran tentang kinerja Sekolah mereka berdasarkan indikator pendekatan manajemen mutu terpadu/total quality management (TQM), sehingga dapat menjadi pijakan dalam pengambilan keputusan tentang kebijakan dan program-program yang menyangkut penjaminan mutu pendidikan.
b. Dapat memberikan gambaran prediksi tentang kesiapan lembaga pendidikan dalam menjalankan manajemen mutu terpadu.
c. Dapat memberikan gambaran tentang hubungan antara kinerja Sekolah mereka berdasarkan indikator pendekatan manajemen mutu terpadu/total quality management (TQM), dengan hasil belajar siswa.

SKRIPSI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (STUDI DI TK X DAN Y)

SKRIPSI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (STUDI DI TK X DAN Y)

(KODE : PG-PAUD-0064) : SKRIPSI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (STUDI DI TK X DAN Y)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa orde lama pengelolaan pendidikan yang dianut dan dijalankan di Indonesia bersifat sentralistik, pusat menjadi sangat dominan dalam pengambilan kebijakan. Sebaliknya, daerah dan sekolah bersifat pasif, hanya sebagai penerima dan pelaksana perintah pusat saja. Pola kerja sentralistik tersebut sering mengakibatkan adanya kesenjangan antara kebutuhan riil sekolah dengan perintah atau apa yang digariskan oleh pusat. Hal ini dapat terlihat dari ketatnya pengaturan dalam pelaksanaan kurikulum, pengadaan, pemanfaatan prasarana dan sarana, pengaturan dan pemanfaatan anggaran, pembinaan guru, dan lain-lain. Selain itu manajemen pendidikan di sekolah juga kurang memanfaatkan peran serta masyarakat untuk kemajuan pendidikan di sekolah.
Sekolah merupakan salah satu dari pusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, dimana sekolah adalah suatu sistem organisasi, yang didalamnya terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Manajemen pendidikan menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Oleh karena itu, dituntut kemandirian dan kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran di balik otonomi yang dimilikinya. Sekolah juga harus mampu mencermati kebutuhan peserta didik yang bervariasi, keinginan staff yang berbeda, kondisi lingkungan yang beragam, harapan masyarakat yang menitipkan anaknya pada sekolah agar kelak bisa menjadi anak yang mandiri, serta tuntutan dunia kerja untuk memperoleh tenaga yang produktif, potensial dan berkualitas.
Manajemen Berbasis Sekolah terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-management), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. Sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adalah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarakat saling berkorelasi, keduanya saling membutuhkan. Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM bangsa tersebut. Kualitas SDM tergantung pada tingkat pendidikan masing-masing individu pembentuk bangsa. Pendidikan yang visioner, memiliki misi yang jelas akan menghasilkan keluaran yang berkualitas. Dari sanalah pentingnya manajemen pendidikan diterapkan.
Manajemen pendidikan merupakan hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan, sehingga menghasilkan keluaran yang diinginkan. Kenyataannya, banyak institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang digunakan masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal dari modernitas. Hal ini mengakibatkan sasaran-sasaran ideal pendidikan yang seharusnya bisa dipenuhi ternyata tidak bisa diwujudkan. Parahnya, terkadang para pengelola pendidikan tidak menyadari akan hal itu.
Manajemen pendidikan merupakan suatu proses untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya pendidikan seperti guru, sarana dan prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dalam perkembangannya, manajemen pendidikan memerlukan Good Management Practice untuk pengelolaannya. Tetapi pada prakteknya, ini masih merupakan suatu hal yang elusif. Banyak penyelenggara pendidikan yang beranggapan bahwa hal tersebut bukanlah suatu hal yang penting.
Tuntutan akan lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang membuka peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan di pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan untuk mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan, dalam hal ini tentang paradigma baru dalam pendidikan, bagaimana menghasilkan mutu bisa berlangsung dalam pendidikan, dan bagaimana peran sistem manajemen untuk mendukung berlangsungnya pencapaian mutu pendidikan tersebut.
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam, madrasah memegang peran penting dalam proses pembentukan kepribadian anak didik, karena melalui pendidikan madrasah ini para orang tua berharap agar anak-anaknya memiliki dua kemampuan sekaligus, tidak hanya pengetahuan umum (IPTEK) tetapi juga memiliki kepribadian dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya (IMTAQ). Oleh sebab itu jika kita memahami benar harapan orang tua ini maka sebenarnya madrasah memiliki prospek yang cerah.
Di sisi lain, jika dilihat dari sejarahnya, madrasah memiliki akar budaya yang kuat di tengah-tengah masyarakat, sebab itu madrasah sudah menjadi milik masyarakat. Apabila dewasa ini banyak ahli berbicara tentang inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola masyarakat (community based management), maka madrasah dan termasuk juga pesantren merupakan model dari pendidikan tersebut.
Persoalan madrasah menurut Fadjar (1998 : 35) dari sekian puluh ribu madrasah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air ini sebagian besar masih bergumul dengan persoalan berat yang sangat menentukan hidup dan matinya madrasah, sehingga nilai tawar semakin rendah dan semakin termarginalkan.
Fenomena di atas setidaknya disebabkan dan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kaitannya dengan problem internal kelembagaan dan parental choice of education, bahwa popularitas dan marginalitas lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana lembaga pendidikan bersangkutan mampu merespon dan mengakomodasi aspirasi masyarakat dan seberapa jauh lembaga bersangkutan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan internal kelembagaan ke arah profesionalitas penyelenggaraan pendidikan.
Kaitannya dengan problem internal kelembagaan, bahwa problem internal madrasah yang selama ini dirasakan, seperti dikatakan Fadjar (1998 : 41) meliputi seluruh sistem kependidikannya, terutama sistem manajemen dan etos kerja madrasah, kualitas dan kuantitas guru, kurikulum, dan sarana fisik dan fasilitasnya. Problem semacam itu karena posisi madrasah berada dalam lingkaran yang membingungkan, sebuah problem yang bersifat causal relationship.
Selanjutnya parental choice of education, menurut Fadjar (1999 : 76) bahwa dalam masyarakat akhir-akhir ini terjadi adanya pergeseran pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan masyarakat (social demand) yang berkembang dalam skala yang lebih makro. sekarang masyarakat melihat pendidikan tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan terhadap perolehan pengetahuan dan keterampilan dalam konteks waktu sekarang. Di sisi lain, pendidikan dipandang sebagai bentuk investasi, baik modal maupun manusia (human and capital investment) untuk membantu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan sekaligus mempunyai kemampuan produktif di masa depan yang diukur dari tingkat penghasilan yang diperolehnya (Suryadi, dan Tilaar, 1993). Pergeseran tersebut menurut Praktiknya (dalam Fadjar, 1999 : 77) mengarah pada; Pertama, terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, kecenderungan perilaku masyarakat yang lebih fungsional, dimana hubungan sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan kepentingan semata, ketiga, masyarakat padat informasi, dan keempat, kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem yang terbuka (open system).
Sesuai dengan ciri masyarakat tersebut, maka pendidikan yang akan dipilih oleh masyarakat adalah pendidikan yang dapat memberikan kemampuan secara teknologis, fungsional, individual, informatif dan terbuka. Dan yang lebih penting lagi, kemampuan secara etik dan moral yang dapat dikembangkan melalui agama.
Dengan melihat problem internal kelembagaan madrasah seperti dijelaskan di atas, dikaitkan dengan parental choice of education, dimana masyarakat semakin kritis, prakmatis, terbuka dan berpikir jauh ke depan dalam melakukan pilihan pendidikan bagi anak-anaknya, maka pendidikan madrasah akan tetap berada pada posisinya sebagai lembaga pendidikan "kelas dua", "marginal” yang hanya diminati masyarakat bawah dan tidak atau kurang dilirik oleh masyarakat menengah atas (upper middle class), sebaliknya jika madrasah secara internal dikelola dengan sistem manajemen profesional dan mampu memahami dan merespon tuntutan dan aspirasi masyarakat tersebut, maka madrasah akan memperoleh peluang yang lebih besar untuk menjadi pilihan utama dan pertama bagi masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut bahwa semakin terpelajar masyarakat semakin banyak aspek yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih suatu lembaga pendidikan. Dan sebaliknya, semakin awam masyarakat semakin sederhana pertimbangannya dalam memilih lembaga pendidikan atau barangkali, bahkan hanya sekadar menjadi makmum dengan kepercayaannya. Menurutnya, ada tiga hal yang paling tidak menjadi pertimbangan masyarakat terpelajar dalam memilih suatu lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka, yaitu cita-cita dan gambaran hidup masa depan, posisi dan status sosial, serta agama. Dalam kaitan ini, jika madrasah atau lembaga pendidikan islam lainnya memenuhi ketiga kriteria di atas, maka akan semakin diminati oleh masyarakat terutama masyarakat terpelajar, tetapi sebaliknya, banyak lembaga pendidikan Islam yang akan semakin meminggir posisinya karena tidak menjanjikan apa-apa.
Kesan marginalitas madrasah, sebenarnya lebih banyak disebabkan karena sebagian besar madrasah lebih berorientasi pada kerakyatan (populis), pendidikan hanya dijadikan sebagai fungsi "cagar budaya" dan pada saat bersamaan ia mengabaikan kualitas dan prestasi, sebab itu penyelenggaraan pendidikan cenderung dilakukan secara konvensional, apa adanya, manajemen non-profesional, stagnan dan status quo, dan pada akhirnya pendidikan semacam ini ditinggalkan oleh masyarakat dan hanya diminati kelompok masyarakat bawah.
Akan tetapi dewasa ini persepsi atau pemahaman masyarakat tentang madrasah sudah mengalami pergeseran sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara makro yang dilakukan pemerintah dengan kebijakan-kebijakan barunya. Pada awalnya madrasah dipahami sebagai sekolah yang hanya mengajarkan agama tetapi sekarang ini persepsi masyarakat sudah berubah bahwa ternyata madrasah pada dasarnya sama dengan sekolah umum lainnya karena memiliki kurikulum yang sama, di sisi lain madrasah dianggap sebagai sekolah umum plus agama. Perubahan persepsi dan pemahaman tersebut seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara makro, madrasah dianggap sebagai sekolah agama ketika kurikulum madrasah masih berbanding 70% agama dan 30% umum, tetapi ketika terjadi perubahan dimana madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam yang memiliki kurikulum sama dengan sekolah umum dan memiliki kelebihan yakni "identitas keislaman", maka madrasah kemudian dianggap sebagai sekolah umum plus yang memiliki nilai lebih dibanding dengan sekolah umum.
Berikutnya muncul kesadaran baru dalam beragama (santrinisasi), terutama pada masyarakat perkotaan kelompok masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses re-Islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-organisasi keagamaan, lembaga-lembaga dakwah atau yang dilakukan secara perorangan. Terjadinya santrinisasi masyarakat elit tersebut akan berimplikasi pada tuntutan dan harapan akan pendidikan yang mengaspirasikan status sosial dan keagamaannya. Sebab itu pemilihan lembaga pendidikan didasarkan minimal pada dua hal tersebut, yakni status sosial dan agama.
Kecenderungan di atas harus segera direspon oleh madrasah jika lembaga ini tidak ingin ditinggalkan oleh masyarakat. Disamping itu Madrasah juga harus dapat membaca alasan-alasan dan pertimbangan orang tua dalam memilih lembaga pendidikan baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, tentunya persoalan pendidikan harus seiring berjalan atas standar minimal manajemen yang baik, manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memperdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber daya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
TK di Kabupaten X dan TK Kota Y juga didukung oleh Kepala TK yang bertanggung jawab sebagai manajer yaitu dapat mengelola atau mengatur manajemen yang ada di sekolahnya, pendidik dan tenaga kependidikan yang profesional dalam mengoperasikan sekolahnya, serta orang tua murid yang mendukung program TK. Selain itu, sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk proses belajar mengajar. Dalam hal sarana dan prasarana di TK Kabupaten X dan TK Kota Y, selain didukung oleh orang tua murid juga didukung oleh pemerintah pada setiap tahunnya. Berdasarkan hasil observasi tersebut di atas TK Kabupaten X dan TK Kota Y menggunakan manajemen berbasis sekolah.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu : 
1. Bagaimanakah perencanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y ?
3. Bagaimanakah evaluasi implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y ?

C. Fokus Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui perencanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.
3. Untuk mengetahui evaluasi implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.

E. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
Dengan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi taman kanak-kanak se-Kabupaten X dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah di taman kanak-kanak.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat bagi : 
a. Bagi Kepala Sekolah
Memberi pengetahuan tentang peran dan fungsi sebagai Kepala Sekolah dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah.
b. Bagi Penulis
Memberi pengalaman, mendapatkan informasi-informasi, menambah wawasan dan kajian tentang implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.
c. Bagi Dinas Pendidikan Kabupaten X dan Kota Y
Memberi masukan dan gambaran pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di TK Kabupaten X dan TK Kota Y.

SKRIPSI PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI

SKRIPSI PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0063) : SKRIPSI PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses tiada henti sejak manusia dilahirkan hingga akhir hayat. Bahkan banyak pendapat mengatakan bahwa pendidikan sudah dimulai sejak manusia masih berada dalam kandungan (pre-natal). Pastinya proses pendidikan akan dan harus dialami dan dijalani oleh setiap manusia di setiap waktu.
Masa anak usia dini adalah salah satu fase yang dijalani oleh manusia. Masa ini merupakan masa pendidikan yang terfokus pada psikomotorik anak serta penanaman akhlak dan sikap hidup anak didik. Di masa kanak-kanak, anak belum memiliki kemampuan untuk berpikir dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Untuk itu, peranan orang tua dengan memberikan teladan berupa budi pekerti yang baik akan membantu proses belajar anak. Kesan-kesan yang baik, yang diberikan orang tua kepada anak akan membantu mendorong berkembangnya kepribadian anak ke arah yang baik.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah adalah fase kedua dari pendidikan pertama dalam keluarga, karena pendidikan pertama dan utama diperoleh anak dari keluarganya. Pada masa inilah peletakan pondasi belajar harus tepat dan benar.
Dalam perkembangannya, seorang anak selain membutuhkan perhatian dari keluarga dan sekolah juga membutuhkan perhatian dari lingkungan masyarakat. Lingkungan ini nantinya akan memberi pengaruh terhadap perkembangan jiwa anak. Seperti yang diungkapkan oleh Suhartono (2008 : 50) bahwa lingkungan masyarakat adalah kegiatan pendidikannya berpusat pada bimbingan potensi moral. Masyarakat secara kodrat bertanggung jawab atas pencerdasan emosional. Peran masyarakat terhadap pendidikan amat menentukan. Tanpa pelibatan masyarakat, pendidikan sekolah tidak bisa berlangsung. Oleh sebab itu, agar peran masyarakat terhadap pendidikan lebih efektif, setiap faksi sosial perlu membangun kembali visinya dengan menanamkan kependidikan sebagai landasan dasar kemajuan. Bahwa kemajuan kehidupan masyarakat tanpa spirit pendidikan tidaklah mungkin. Karena pendidikan pada hakikatnya adalah upaya mempertumbuhkan nilai kemanusiaan. Jika nilai kemanusiaan tumbuh, maka tidak mungkin terjadi kerusakan moral, kerusakan alam, dam kerusakan spiritual (Suhartono, 2008 : 52).
Pendidikan anak usia dini perlu dilakukan dengan terarah ke pengembangan segenap aspek pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak serta dilaksanakan secara terintegrasi dalam suatu kesatuan program yang utuh dan proporsional. Secara makro, prinsip ini juga memiliki makna bahwa penyelenggaraan pendidikan anak usia dini (PAUD) dilakukan secara terintegrasi dengan si stem sosial yang ada di masyarakat dan menyertakan segenap komponen masyarakat sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangannya. Hal ini memerlukan keselarasan antara pendidikan yang dilakukan dalam berbagai lembaga; keluarga, sekolah dan masyarakat (Siti Aisyah, dkk., 2008 : 1.23).
Penyelenggaraan pendidikan anak usia dini di negara maju telah berlangsung lama sebagai bentuk yang berbasis masyarakat (community based education), akan tetapi gerakan untuk menggalakkan pendidikan ini di Indonesia baru muncul beberapa tahun terakhir. Hal ini didasarkan akan pentingnya pendidikan untuk anak usia dini dalam menyiapkan manusia Indonesia seutuhnya (MANIS) serta membangun masa depan anak-anak dan masyarakat Indonesia seluruhnya (MASIS). Namun sejauh ini jangkauan pendidikan anak usia dini masih terbatas dari segi jumlah maupun eksistensinya, misalnya; penitipan anak dan kelompok bermain masih terkonsentrasi di kota-kota. Padahal bila dilihat dari tingkat kebutuhannya akan perlakuan sejak dini, anak-anak usia dini di pedesaan dan dari keluarga miskin jauh lebih tinggi guna mengimbangi miskinnya rangsangan intelektual, sosial dan moral dari keluarga dan orang tua.
Pemerintah telah menunjukkan kemauan politiknya dalam membangun sumber daya manusia sejak dini. Seperti yang disampaikan Ibu Megawati Soekarno Putri (Wakil Presiden saat itu) saat membuka Konferensi Pusat I Masa Bakti VII Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia. Beliau menegaskan pentingnya pendidikan anak usia dini dalam konsep pembinaan dan pengembangan anak dihubungkan pembentukan karakter manusia seutuhnya. Lebih jauh lagi beliau menyatakan sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan bagi anak usia dini merupakan basis penentu pembentukan karakter manusia Indonesia di dalam kehidupan berbangsa.
Pernyataan ini menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini sangat penting bagi kelangsungan bangsa dan perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah. Pendidikan anak usia dini merupakan strategi pembangunan sumber daya manusia harus dipandang sebagai titik sentral mengingat pembentukan karakter bangsa dan kehandalan SDM (sumber daya manusia) ditentukan sebagaimana penanaman sejak usia dini. Pentingnya pendidikan pada masa ini sehingga sering disebut dengan masa usia emas (the golden age).
Dalam merealisasikan upaya tersebut pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah telah menerapkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan, salah satunya standar nasional pendidikan yang dinilai paling berperan terhadap peningkatan mutu pendidikan adalah standar pendidik dan standar kependidikan. Standar pendidik dan tenaga kependidikan mencakup jalur pendidikan formal dan pendidikan non formal. Semua upaya pemerintah tersebut dimaksudkan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Adapun tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam hal ini menekankan pada peningkatan kualitas manusia. Ngalim Purwanto (2006 : 37), menegaskan bahwa hal tersebut didasarkan atas tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat dan negara dalam pengembangan ilmu dan teknologi yang sangat diperlukan dalam kehidupan dunia yang sedang mengalami era industrialisasi, informasi dan globalisasi. Dalam mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, maka diupayakanlah suatu penyelenggaraan pendidikan yang bersifat formal mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Segala aktivitas yang berlangsung di dalamnya memerlukan sarana dan prasarana yang memadai seperti pendidik yang kompeten, laboratorium dan perpustakaan yang baik.
Ki Hajar Dewantara, selaku Bapak Pendidikan Indonesia menegaskan bahwa : "Pendidikan harus dilakukan secara kooperatif antara keluarga, terpenting, karena kelurga lah pondasi utama pembentukan Intelligence Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ)”.
Bertolak dari latar belakang tersebut, peneliti bermaksud untuk mengupas lebih lanjut pokok persoalan tentang "PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI (STUDI PADA TAMAN KANAK-KANAK X)".

B. Rumusan Masalah
Untuk membuat permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan dalam penelitian ini, tidak melebar dari apa yang dikehendaki. Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas, ada beberapa rumusan yang bisa diambil : 
1. Sejauh mana peran guru dan orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X serta di lingkungan keluarga ?
2. Faktor-faktor apakah yang mendorong dan menghambat guru dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X ?
3. Faktor-faktor apakah yang mendorong dan menghambat orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di lingkungan keluarga ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penelitian di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui sejauh mana peran guru dan orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X serta di lingkungan keluarga.
2. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat guru dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X.
3. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di lingkungan keluarga.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian kualitatif ini meliputi dua, yaitu : 
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi khasanah ilmu, terutama bagi jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dalam memberikan gambaran yang jelas mengenai peran guru dan orang tua dalam mendidik budi pekerti anak usia dini Taman Kanak-kanak.
2. Manfaat Praktis
Bagi orang tua dan guru di Taman Kanak-kanak X, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang dapat digunakan dalam upaya peningkatan pembinaan budi pekerti pada anak usia dini.

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN ORIENTASI POLA ASUH ANAK USIA DINI

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN ORIENTASI POLA ASUH ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0062) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN ORIENTASI POLA ASUH ANAK USIA DINI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Usia Prasekolah adalah usia yang rentan bagi anak, usia dini (0-6 tahun) adalah masa (Golden Age) dimana pada masa ini anak perlu dasar pengasuhan, ini tercermin dalam ungkapan "Belajar di masa kecil, bagai mengukir di atas batu" para ahli menyatakan bahwa mereka yang mendapatkan stimuli dan pengasuhan yang baik selama masa usia dini akan memiliki resiko rendah terkena stres dan gangguan mental. Pada masa ini anak mempunyai sifat meniru atau imitasi terhadap apapun yang dilihatnya, kenyataan yang terjadi di masyarakat tanpa disadari anak semua perilaku serta kepribadian orang tua yang baik dan tidak baik akan ditiru dan direkam oleh anak. Anak tidak tahu bahwa yang dilakukannya baik atau tidak bagi perkembangan selanjutnya bagi dirinya, karena anak Prasekolah belajar dari apa yang dia lihat, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak yang berpengaruh sangat besar bagi kelanjutan perkembangannya. Haryoko (1997 : 54) berpendapat bahwa lingkungan sangat besar pengaruhnya sebagai stimulus dalam perkembangan anak, orang tua adalah guru ataupun orang yang pertama dalam memberikan pengasuhan dasar tentang semua perkembangan baik yang berhubungan dengan peletakan dasar moral, psikomotor, bahasa, seni serta keterampilan yang telah dimiliki anak.
Setiap anak pada dasarnya dilahirkan dengan membawa sejumlah potensi yang diwarisi dari kedua orang tua biologisnya, potensi bawaan adalah berbagai kemampuan yang dimiliki anak, potensi tersebut dapat berkembang secara alamiah (by natural) bila diberikan rangsangan melalui stimulus orang tua sedari dini secara tepat sehingga potensi fisik, meliputi kekuatan, ketahanan, daya ledak, kecepatan, koordinasi, kelenturan, keseimbangan, ketepatan, kelincahan dan potensi fisik meliputi berbagai aspek kecerdasan intelektual, emosional, mental, sosial, moral dan spiritual yang berkembang terhadap pembentukan pribadi anak di masa datang (Sujiono, 2004 : 32). Dalam memberikan pembelajaran tentang semua potensi yang dimiliki anak sejak usia dini tak lepas hubungannya dengan faktor pola asuh orang tua. Pengasuhan yang diberikan orang tua sangat menjadi dasar bagi perkembangan anak yang akan menjadikannya kelak sebagai pribadi yang berkarakter baik bagi dirinya dan bagi lingkungan sosialnya. Pengasuhan yang diberikan orang tua pada anaknya sangat berbeda cara dan metodenya, sehingga kualitas pengasuhannya pun akan berpengaruh pada anak secara berbeda pula. Hal ini berhubungan dengan bagaimana kedekatan anak dan orang tuanya dalam keseharian dan faktor latar belakang yang mewarnai kehidupan orang tua itu sendiri, baik yang berhubungan dengan lingkungan keluarganya, agama, kebudayaan, ekonomi maupun latar belakang pendidikan orang tua itu sendiri.
Pengasuhan orang tua yang diberikan pada anaknya bukanlah pengasuhan yang sifatnya sementara dan singkat, akan tetapi pengasuhan yang sifatnya interaksi antara orang tua dan anak secara langsung, sesuai pendapat Riyanto (2002 : 67) dalam mengasuh orang tua bukanlah hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuannya saja, melainkan langsung membantu menumbuh kembangkan anak secara maksimal.
Dalam pelaksanaan pemberian pengasuhan seyogyanya orang tua tidak memaksakan kehendaknya, tetapi harus mengetahui apa yang dibutuhkan anak dan sesuai dengan usia perkembangan anak. Semua itu dimengerti oleh orang tua bila mereka mengerti dan peduli terhadap proses pengasuhan anak dalam keluarga. Kepedulian orang tua terhadap pengasuhan selain didasari faktor alami juga karena faktor latar belakang pendidikannya, peranan pendidikan masing-masing orang tua sangatlah berpengaruh pada pemberian pengasuhan. Anak akan menjadi tumbuh dan berkarakter karena peranan pengasuhan orang tua yang mendasarinya. Perbedaan pendidikan yang dimiliki orang tua akan dapat terlihat pada kualitas hasil proses pengasuhan.
Seiring dengan perkembangan kecerdasan emosional, seorang anak juga akan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal ini terbukti dengan bertambahnya tinggi dan berat badan, untuk pertumbuhan anak secara pesat dibutuhkan nutrisi dan gizi yang cukup namun untuk perkembangan kecerdasan emosional membutuhkan berbagai pengalaman dalam berhubungan sosial dengan lingkungan serta pemahaman tentang perasaan. Kecerdasan emosional itu sendiri terkait dengan faktor-faktor pemberian pola asuh terhadap anak oleh orang tua.
Bagi anak yang masih dalam rentang usia 0 hingga 6 tahun, biasanya sangat memiliki kedekatan dengan orang tua karenanya pada masa inilah bimbingan dan pola asuh orang tua sangat menentukan perkembangan anak baik untuk berhubungan sosial, perkembangan tingkah laku secara maksimal maupun penumbuhan rasa percaya diri yang sangat berguna untuk masa depannya.
Ketika anak masih dalam usia batita (bawah tiga tahun) kecenderungan kelekatan dengan ibunya begitu kuat hal ini karena pada masa itu seorang anak masih membutuhkan ASI dari ibunya, sementara dalam kemampuan motoriknya belumlah sempurna sehingga ia juga membutuhkan bantuan orang tua ketika hendak melakukan sesuatu.
Pada usia di bawah tiga tahun, seorang anak memiliki ciri tak berdaya dalam menghadapi sesuatu, mencoba sesuatu yang baru menyenangi sesuatu yang menarik, sampai kadang bersikap egois dan bandel dari ciri sikap yang menonjol tersebut, sebenarnya anak sudah memerlukan adanya dukungan, penghargaan, pengertian dan dorongan dan bisa juga pujian dari orang tuanya.
Sebagai orang tua, kita dapat mewujudkan perhatian pada anak tersebut melalui pemberian hadiah seperti contohnya ketika buah hati terampil menggunakan alat makan maka kita orang tua harus jeli, bagaimana bisa menempatkan posisi buah hati sebagai anggota baru dalam meja makan. Target yang diharapkan dalam pembelajaran ini adalah melatih kemandirian atau menumbuhkan rasa percaya diri bagi buah hati kita.
Dalam kondisi yang serba terampil dan mulai adanya kekritisan pada fokus perhatiannya inilah kita sebagai orang tua mulai memberikan batasan yang konsisten berupa hal yang dapat dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Kebutuhan anak yang utama adalah pujian pendampingan dan perhatian dimana semua kebutuhan itulah yang nantinya dapat diterapkan ketika berhubungan sosial dengan orang lain. Seorang anak tidak akan mengetahui perilaku sesuai dengan kelompok sosial dan memiliki sumber motivasi untuk mendorongnya berbuat sesuka hati.
Dalam hal ini jelas awalnya jalan sosial diperoleh dalam lingkungan keluarga anak belajar dari orang tua, saudara kandung dan anggota keluarga yang lain apa yang dianggap benar dan salah dalam hubungan bagi perilaku yang salah dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku yang benar, seorang anak akan memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang diterapkan anggota keluarga.
Dengan memahami hal tersebut, sebaiknya orang tua memberikan pendidik terbaik kepada anak tanamkanlah nilai-nilai kehidupan yang baik pada masa ini kepada anak, tanamkanlah nila-nilai kehidupan yang baik pada masa ini kepada anak. Perilaku, sikap dan komitmen orang tua akan menjadi teladan dan sumber yang akan ditiru oleh anak-anak.
Stimulasi dini adalah rangsangan-rangsangan atau stimulus yang diberikan kepada anak oleh lingkungan sekitarnya, terutama orang tuanya agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dengan stimulasi dini ini diharapkan perkembangan motorik anak berjalan baik sehingga dapat mengikuti pendidikan berikutnya.
Peranan orang tua di sini sangatlah penting pada aktifitas pemberian pola asuh pada anaknya pada dasarnya orang tua adalah pembentuk akhlak dan dasar tingkah laku yang nantinya akan berperan pada fase perkembangan selanjutnya, sehingga sangatlah penting wawasan dan pendidikan orang tua dalam upaya peletakan pola asuh di dalam keluarga. Adapun pendidikan tersebut, tidaklah harus dilihat dari pendidikan formal yang di peroleh, pendidikan non formal pun (pendidikan agama) sangatlah diperlukan dalam pemberian pola asuh yang sesuai dengan kebutuhannya pada masa fase perkembangannya.
Betapa banyak orang tua yang ingin anak-anaknya menjadi anak yang cerdas otak rasionalnya, cerdas emosionalnya juga kecerdasan jamak lainnya. Semua kecerdasan bisa didapat bila diasuh oleh orang tua yang pintar dalam membentuk semua itu, walaupun unsur kesiapan menerima kehadiran anak juga tak kalah pentingnya berperan dalam pengasuhan anak.
Kriteria untuk berperan sebagai orang tua ideal memang tidak sederhana baik bagi mereka yang berpendidikan rendah ataupun yang berpendidikan tinggi orang tua yang berperan ganda seperti ibu misalnya, tentu saja memiliki keterbatasan waktu dan tenaga untuk memberikan sentuhan fisik maupun psikologis bagi anak-anaknya sekalipun demikian ibu yang ideal untuk mencapai kriteria ideal, paling tidak, orang tua menunjukan semangat dan upaya untuk berusaha lebih baik dalam memenuhi kebutuhan anaknya di berbagai sisi, baik fisik, psikologis maupun sosial anak.
Erikson (1993 : 98), seorang ahli dalam bidang perkembangan menjelaskan pentingnya peran orang tua dalam mengembangkan aspek psikososial anak orang tua yang memberikan kehangatan, kenyamanan, cinta dan kasih sayang pada anak sejak usia dini, akan memungkinkan anak mengembangkan rasa percaya pada lingkungannya bila bisa melalui tahap-tahap ini dengan baik, anak akan lebih mudah mengembangkan percaya diri dan inisiatif pada dirinya dengan kata lain anak tidak akan di dominasi oleh rasa ragu ataupun cemas dalam mengeksploitasi lingkungannya.
Uraian di atas fokusnya ada pada orang tua sebagai sentralnya dalam keluarga, hal ini menjadi suatu rujukan dari beberapa pemikiran yang mendasari penelitian tentang pola asuh dan pendidikan orang tua.
Dari segi ini jelaslah pula adanya perbedaan pola asuh yang diberikan pada anaknya kita tahu pada umumnya jelaslah bisa dilihat bagaimanakah peranan seorang suami/istri yang pendidikannya lebih tinggi dari pasangannya, betapa akan sangat terlihat mereka lebih tertata dalam penanaman pola asuh pada anaknya baik dari segi bahasa ataupun teladan yang lain dalam penerapan dalam peletakan pengasuhan berwawasan lebih luas akan lebih terarah pola asuh dalam penerapan keseharian, mereka yang berpendidikan lebih tinggi pastinya akan menggunakan pola asuh yang penuh dengan keakraban (demokratis) orang tua dan anaknya, mereka sadar akan pentingnya pemberian pola asuh yang tepat akan berdampak positif pada belahan jiwanya. Hal ini pun tak lepas dari faktor karakter dari masing-masing orang tua, hanya saja suami atau istri yang lebih tinggi pendidikannya akan lebih dominan dalam mewarnai pola asuh yang diterima anak-anak pada umumnya.
Wujud kasih sayang seseorang memang beragam bentuknya ada yang dinyatakan secara lisan, tulisan. Adapula yang terlihat dalam sikap dan perilaku, demikian pula wujud kasih sayang orang tua kepada anak bisa di nyatakan dengan cara yang berbeda, sesuai dengan keyakinan atau prinsip, wawasan atau pengetahuan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor kondisi atau situasi.
Namun demikian, penerimaan anak tentang sayang tidaknya orang tua terhadap mereka tentu saja berbeda jika di lihat dari segi usia. Kualitas dan kuantitas interaksi yang diberikan orang tua akan sangat berpengaruh terhadap ikatan emosi yang terjalin diantara mereka. Dengan demikian untuk anak usia dini, kuantitas pertemuan tidaklah cukup sebagai bukti kasih sayang.
Kualitas harus diiringi dengan kuantitas anak usia dini perlu sentuhan baik fisik maupun psikologis yang intensif. Kebersamaan dengan orang tua dalam rumah sangat memungkinkan anak bisa mengungkapkan perasaannya di kala sedih dan suka. Mendapatkan jawaban tentang berbagai hal yang ingin diketahuinya, mendapatkan perhatian dan pujian serta, serta hal positif lainnya di saat yang dibutuhkan kebersamaan anak dengan orang tuanya selama sekian waktu dalam sehari tentu saja menumbuhkan ikatan emosi mereka akan merasa saling kehilangan jika tidak bersama. Berkaitan dengan hal ini tentu saja ekstra tenaga dan kesabaran orang diperlukan untuk meminimalkan masalah yang mungkin terjadi. Green (2005 : 89) mengatakan jika para ibu yang ingin bekerja atau harus bekerja di luar rumah menjalankan segala kehidupannya dan berhenti merasa bersalah, tetapi hidup mereka akan lebih bahagia walaupun secara kuantitas waktu ibu bekerja tidak bisa memberikan terbaik untuk anak, paling tidak mereka bisa mengoptimalkan kualitas kebersamaan dengan anak dalam waktu yang terbatas untuk meminimalkan masalah yang mungkin terjadi.
Hal ini seharusnya disadari lawan pasangan masing-masing karena sudah ada kesepakatan diantara keduanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulannya hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak.
Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Semua jelas sangatlah dipengaruhi oleh faktor latar belakang pendidikan orang tua, orang tua dalam memberikan pengasuhan tentang pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung jawab, yang semua penerapannya pun pasti dari pengalamannya dalam keluarganya ataupun lingkungannya, baik lingkungan sosial lingkungan pendidikan maupun lingkungan budayanya. Manakala suami istri di masa kalanya menerima penerapan pola arah yang baik niscaya mereka pun akan memberikan pelayanan pola asuh yang lebih baik pula ke anaknya ataupun generasi selanjutnya, secara sadar pun bilamana dulu orang tua mendapatkan pengalaman pola asuh yang kurang baik pun, dengan sendirinya orang tua akan membuangnya jauh-jauh dan tidak ingin semuanya terulang pada anak-anaknya.
Pengasuhan sosial yang diberikan orang lain akan sangat bermanfaat bagi anak kita, karena dengan pengasuhan etika dan moral pada anak, anak akan memiliki keterampilan ber sosial dan juga akan lebih bisa menahan diri, mengontrol emosi dan menghargai peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Etika dan sistem nilai adalah sesuatu yang dipandang paling dan di junjung tinggi (Guhardja, Harroyo, Puspitawati & Hastuti, 1994).
Dari semua fenomena tentang pengasuhan orang tua diatas, membuka inisiatif peneliti untuk lebih jelas dalam memahami dan mendalami tentang hubungan perbedaan pendidikan orang tua dengan pola pengasuhan. Peneliti mengambil sampel langsung dari masyarakat desa X yang mempunyai anak usia dini dengan mengambil batasan pendidikan orang tua dari SMP sampai dengan yang berpendidikan sarjana.

B. Identifikasi Masalah
Pendidikan orang tua merupakan pondasi bagi pendidikan anak di kemudian hari, semakin baik pendidikan orang tua maka dimungkinkan akan lebih memberikan peluang pendidikan, peluang orientasi, peluang ketahanan dan kekebalan hidup. Selanjutnya Tingkat pendidikan orang tua akan saling melengkapi dalam menata kehidupan di keluarganya, asumsi kemanusiaan seorang yang berpendidikan tinggi maka akan mencari pasangan yang minimal pendidikannya setara atau satu tingkat diatas atau di bawahnya, walaupun masih bisa ditemukan Tingkat pendidikan yang jauh tetapi dalam prosentase sedikit.
Selanjutnya bahwa tingkat pendidikan tetap saja memberikan pengaruh yang besar terhadap pola asuh yang dilakukan dan diberikan kepada anak di keluarganya, hal ini tentunya akan memberikan gambaran tentang pengaruh perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak.

C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini membatasi masalah sangat penting untuk memberikan arah yang jelas terhadap masalah yang akan diteliti. Peneliti menjadi terarah dan dapat memberikan nilai praktis bagi peneliti. Hal penting dalam keluarga adalah pola asuh bagi anak yang dilatarbelakangi berbagai faktor, diantaranya lingkungan, sosial budaya serta pendidikan orang tua. Dalam penelitian ini yang di kaji adalah pola asuh yang didasari oleh pendidikan orang tua.
Salah satu cara untuk mencapai kemajuan pada suatu sekolah adalah adanya gaya kepemimpinan kepala sekolah. Penulis membatasi masalah dalam penelitian ini yaitu sejauh mana Tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas peneliti berkeinginan melaksanakan penelitian yang berjudul hubungan antara tingkat pendidikan orang tua terhadap orientasi pola asuh, selanjutnya untuk mengetahui : 
(1) Menganalisis dan mendeskripsikan hubungan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak usia dini ?
(2) Apa dampak dari perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola Asuh anak usia dini ?

E. Tujuan Penelitian
(1) Untuk mengetahui pengaruh perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak usia dini.
(2) Untuk mengetahui dampak dari adanya perbedaan tingkat pendidikan keluarga terhadap pola asuh anak usia dini.

F. Manfaat
(1) Manfaat Teoritis.
Diharapkan dapat memberikan manfaat dan untuk menambah dan mengembangkan dalam kecakapan pengetahuan terutama mengenai pola asuh.
(2) Manfaat Praktis.
1) Bagi orang tua.
Dapat digunakan sebagai acuan atau masukan dalam pendidikan pola asuh anak di keluarga.
2) Bagi sekolah.
Dapat digunakan sebagai masukan dalam penanganan pola asuh di lingkungan pendidikan.
3) Bagi Peneliti.
Dapat menerapkan pola asuh yang benar khususnya bagi anak sendiri dan bagi lingkungan masyarakat pada umumnya.

SKRIPSI KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU TAMAN KANAK-KANAK

SKRIPSI KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU TAMAN KANAK-KANAK

(KODE : PG-PAUD-0061) : SKRIPSI KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU TAMAN KANAK-KANAK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam memenuhi hak setiap warga negara memperoleh pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan Intelektual dan fisiknya kelihatannya masih belum dapat diatasi secara tuntas. Persoalan mutu Pendidikan Nasional juga masih belum sepenuhnya seperti yang diharapkan.
Menanggulangi masalah pemerataan dan perluasan akses memperoleh pendidikan dan peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing sekaligus di dalam waktu yang bersamaan merupakan hal yang rumit. Permasalahan pendidikan tidaklah berdiri sendiri tetapi terkait dengan aspek masukan, proses, dan keluaran. Masukan pendidikan mencakup antara lain peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan, kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, dana dan perangkat peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku serta lingkungan. Masing-masing komponen masukan ini memiliki karakteristik yang sangat majemuk dan sulit dapat distandarkan.
Salah satu komponen masukan yang sangat strategis adalah ketersediaan Guru TK yang secara kuantitas dan kualitas masih belum memenuhi kebutuhan khususnya di Kabupaten X.
Di samping jumlah dan kemampuan pendidik yang diperlukan beraneka ragam, karakteristik peserta didiknya juga sangat majemuk dilihat dari usia, latar belakang pendidikan sosial, ekonomi dan budaya. Rentang dan jangkauan Guru TK semakin meluas apabila dibawa ke konteks pendidikan sepanjang hayat yang berarti permasalahannya pun semakin kompleks termasuk berkaitan dengan Guru TK yang dibutuhkan.
Untuk menanggulangi masalah mutu pendidik itu program peningkatan mutu Guru TK di bertujuan untuk meningkatkan kecukupan jumlah Guru TK, meningkatkan kemampuannya, kemampuan melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan dan pembelajaran pada setiap satuan Pendidikan Anak Usia Dini.
Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu, berarti bahwa tanggung jawab penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional untuk menjamin warga negara Indonesia, siapapun dan dimanapun akan dapat memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk itulah dalam penyelenggaraan pendidikan Nasional dikenal Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan.
Berkaitan dengan pemahaman tentang pentingnya setiap peserta didik memperoleh pendidikan bermutu yang dapat dipertanggungjawabkan secara kependidikan dan profesional, upaya peningkatan kualitas Guru TK harus dipahami sebagai upaya meratakan mutu pelayanan Guru TK pada Pemerintah Kabupaten X. 
Seiring dengan meningkatnya tuntutan mutu pendidikan, lembaga pendidikan semakin berbenah diri. Salah satu komponen penyelenggaraan pendidikan yang banyak disorot adalah pendidik atau guru, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Disadari bahwa pendidik merupakan garda terdepan pendidikan yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Oleh karena itu tidak heran apabila mutu pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan.
Kondisi dan fakta yang dapat diamati di wilayah bahwa ketersediaan Guru TK yang secara kuantitas dan kualitas masih belum memenuhi kebutuhan, di samping itu adanya faktor yang sangat mempengaruhi mutu para Guru TK adalah faktor ekonomi sehingga belum dapat memenuhi standar kualifikasi pendidikan yaitu (S1) Sarjana. Hal lainnya adalah belum dibentuknya Peraturan Daerah yang di dalamnya membahas tentang peningkatan kualitas pendidik, khususnya Guru TK di sehingga upaya menuju profesionalitas Guru TK dirasakan masih banyak menemui hambatan, padahal profesionalitas Guru PAUD menjadi investasi berharga bagi kemajuan bangsa, karena berbagai studi telah membuktikan bahwa pengembangan dan pendidikan anak usia dini merupakan investasi yang strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Perubahan dalam pengembangan sumber daya manusia yang terjadi sekarang ini, di wilayah dalam pendidikan khususnya dalam komponen tenaga Guru TK prosesnya menemui berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut baik bersifat klasikal maupun kontemporer seiring dengan perubahan yang berlangsung. Permasalahan memang tidak dapat dihindari dalam setiap interaksi. Akan tetapi bila tidak diupayakan solusinya dari permasalahan tersebut akan besar. Adapun permasalahan yang melekat dalam pengembangan tenaga Guru TK di yaitu pertama masalah tenaga pendidik yang belum memenuhi persyaratan dan kualifikasi sebagai pendidik atau Guru TK. Yang kedua masalah sistem dan manajemen, yaitu masih lemahnya dalam membangun sistem struktur kendali di Pemerintahan Daerah X, sehingga manajemen belum dapat berjalan sebagaimana mestinya.

B. Fokus Penelitian
Penelitian tentang Kebijakan Pemerintah ini akan difokuskan di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten (DIKPORA) berdasarkan tugas pokok dan fungsi DIKPORA.

C. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dikemukakan selaras dengan fokus penelitian seperti tersebut di atas : 
1. Bagaimana Kebijakan Pemerintah melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK ?
2. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK ?
3. Bagaimana Strategi dalam peningkatan kualitas Guru TK di Kabupaten Y ?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Kebijakan Pemerintah melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK.
3. Untuk mengetahui strategi dalam peningkatan kualitas Guru TK.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Mahasiswa
Sebagai wahana untuk melatih pemikiran dan penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh dalam penyusunan karya ilmiah.
2. Bagi Pemerintah Daerah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian dalam membuat kebijakan-kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pendidik anak usia dini khususnya Guru Taman Kanak-Kanak.
3. Bagi Guru Taman Kanak-kanak
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang proses pendidikan dan pembelajaran pada setiap satuan pendidikan Taman Kanak-kanak.
4. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan yang telah ada.

SKRIPSI IMPLEMENTASI PENDEKATAN SELARAS PERKEMBANGAN (DAP) DALAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA 4 SAMPAI 6 TAHUN

SKRIPSI IMPLEMENTASI PENDEKATAN SELARAS PERKEMBANGAN (DAP) DALAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA 4 SAMPAI 6 TAHUN

(KODE : PG-PAUD-0060) : SKRIPSI IMPLEMENTASI PENDEKATAN SELARAS PERKEMBANGAN (DAP) DALAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA 4 SAMPAI 6 TAHUN


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Masa kanak-kanak awal merupakan masa emas perkembangan anak atau sering disebut dengan the golden age, dimana potensi anak dari manapun dia berasal berdasarkan riset terkini diyakini sangat luar biasa dan menakjubkan (sarwa potensi). Gambaran tentang potensi anak yang diyakini terpercaya, secara sederhana saat ini salah satunya ditunjukkan dengan teridentifikasi beberapa ragam kecerdasan anak. Hurlock (1978) menyatakan bahwa sedikitnya terdapat enam tugas perkembangan pada masa kanak-kanak awal ini, namun yang paling sulit bagi anak adalah belajar untuk berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara-saudara kandung dan orang lain. Hal ini berkaitan dengan ciri-ciri atau karakteristik anak yang bersangkutan. Seorang guru anak usia dini sewajarnya memahami bahwa komponen anak merupakan komponen terpenting dalam proses pengajaran. Karenanya proses pengajaran itu harus diciptakan atas dasar pemahaman siapa dan bagaimana anak tumbuh dan berkembang.
Dengan kata lain kegiatan pembelajaran yang secara praktis dikembangkan guru di TK dituntut untuk berorientasi pada perkembangan anak (DAP) secara tepat, merujuk pada pemahaman yang mendalam (philosophy) tentang pentingnya pengejawantahan pengetahuan mengenai perkembangan anak ke dalam setiap keputusan pengembangan program dan praktek pembelajaran. Pendekatan selaras perkembangan mendasarkan pada pemahaman baik dimensi umur anak maupun dimensi individunya. Dengan pendekatan selaras perkembangan pembelajaran berorientasi pada apa yang anak sukai, anak harapkan atau anak inginkan. Pendekatan selaras perkembangan menghendaki pembelajaran menjadi lebih bersifat "child initiated, child-directed" dan "teacher-supported". Ketiganya sebagai komponen esensial dalam pendekatan selaras perkembangan (Carol, 1995).
Agar dapat mengintegrasikan tujuan, kegiatan dan perkembangan anak, guru harus (mutlak) memahami kebutuhan dan karakteristik perkembangan anak. Jadi, kriteria utama bagi seorang guru jika ingin sukses menyandang gelar sebagai guru Taman Kanak-Kanak profesional adalah dengan membekali diri berupa kemampuan (kompetensi) untuk menyelami perkembangan dan karakteristik anak. Guru juga harus mampu menyediakan arahan dan bimbingan yang tepat bagi anak agar mereka dapat mengeksplorasi lingkungannya melalui setiap tahap perkembangan yang bermakna dan belajar dalam situasi yang menyenangkan, menarik, serta relevan dengan pengalaman mereka.
Salah satu keterampilan yang penting untuk dikuasai anak pada masa kanak-kanak awal (prasekolah) adalah keterampilan sosial. Dengan mengembangkan keterampilan sosial sejak dini akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga anak dapat berkembang secara normal dan sehat. Menurut teori Moeslichatoen (dalam http://docstoc.com yang diakses pada tanggal 24 Februari 2010) mengungkapkan keterampilan sosial pada anak usia prasekolah antara lain : membina dan menanggapi hubungan antar pribadi dengan anak lain secara memuaskan, tidak suka bertengkar, tidak ingin menang sendiri, berbagi kue dan mainan, juga sering membantu.
Perkembangan sosial anak dimulai dari egosentrik, individual ke arah interaktif, dan kelompok. Perkembangan sosial yang meliputi dua aspek penting yaitu kompetensi sosial dan tanggung jawab sosial (Kostelnik, Soderman, & Waren : 1993). Kompetensi sosial menggambarkan kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan sosialnya secara efektif. Sedangkan tanggung jawab sosial antara lain ditunjukkan oleh komitmen anak terhadap tugas-tugasnya, menghargai perbedaan individual, memperhatikan lingkungannya, dan mampu menjalankan fungsinya sebagai warga negara yang baik. Tentu saja perkembangan sosial tersebut berjalan secara bertahap.
Keterampilan sosial perlu dikuasai anak karena akan membekali anak untuk memasuki kehidupan sosial yang lebih luas baik di lingkungan rumah terlebih lagi di lingkungan sekolah yang akan segera dimasukinya. Lingkungan pertama tempat anak melatih keterampilan sosialnya selain di lingkungan keluarga adalah lingkungan sekolah dan pihak yang cukup berkompeten dalam mengenalkan bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan adalah guru TK. Oleh karena itu pembelajaran di TK pada tahap awal lebih dominan kegiatan individual dari pada kegiatan kelompok, akan tetapi kegiatan kelompok kecil dan klasikal juga penting untuk memperkenalkan kepada tentang keterampilan sosial. Adanya interaksi dengan anak yang lain, anak mulai mengenal adanya perbedaan pola pikir dan keinginan dari anak lainnya. Hal ini membuat egosentrismenya semakin berkurang, mengembangkan rasa empati dan melatih kerjasama.
Namun berdasarkan hasil penelitian Wisnu Sri Hertinjung, Pratini, dan Wiwin Dinar Pratisti dalam penelitiannya yang berjudul Keterampilan Sosial Anak Pra Sekolah ditinjau dari Interaksi Guru-Siswa Model Mediated Learning Experience di TK Aisyiyah Pabelan kelompok B tahun 2007 menyatakan bahwa yang terjadi adalah orang dewasa jarang memberikan penguatan yang memadai kepada anak, sehingga mengakibatkan kurang berkembangnya keterampilan sosial anak. Banyak guru mengeluh tentang bagaimana cara menerapkan keterampilan sosial pada awal masuk sekolah, dikarenakan ada permasalahan sosial yang sering dialami seperti tidak mau di tinggal sedangkan orang tua harus bekerja, anak bermain sendiri karena tidak mempunyai teman bermain yang dikenal dan atau bersikap menang sendiri. Hal tersebut terjadi disebabkan lingkungan Taman Kanak-Kanak merupakan lingkungan baru bagi anak. Begitu juga teman-teman bermain yang belum anak-anak kenal. Di pihak lain guru pun memiliki banyak target yang harus dicapai dan seringkali lebih banyak memberikan perangsangan kognitif.
Akan tetapi berbeda dengan keadaan di Taman Kanak-Kanak X dan TK Y di kabupaten X. Berdasarkan pengamatan peneliti dari 36 TK di X beberapa bulan sebelum penelitian di Taman Kanak-Kanak X dan TK Y dimana setiap hari sebagian besar anak tidak ditunggu oleh orang tuanya. Jadi orang tua hanya mengantar dan menjemput saja. Anak-anak bermain bersama-sama, mau diajak berkomunikasi dengan orang dewasa dan frekuensi bermusuhan yang sedikit. Selain dilihat Selain itu juga berdasarkan panduan pengembangan kegiatan selaras perkembangan guru yang berkualifikasi untuk bekerja menangani usia 4 sampai 6 tahun adalah guru yang berijazah sesuai program pendidikan anak-anak, dalam hal ini adalah S1 PAUD dan pernah mengikuti pelatihan tentang pendekatan selaras perkembangan.
Prestasi yang pernah diraih oleh kedua TK tersebut juga cukup banyak baik dari guru ataupun anak. Hal ini berkat pengembangan bakat dan minat anak didik yang dilakukan oleh guru sendiri sehingga tersalurkan dengan baik dan memperoleh prestasi. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat yang didukung dengan sarana dan prasarana sekolah. Kedua TK tersebut mempunyai karakter yang berbeda, terlihat dalam penyusunan program kegiatan untuk menunjang dan menambah pengetahuan anak di luar sekolah. TK X dalam melaksanakan kegiatan tanpa didampingi oleh orang tua sehingga anak mandiri, disiplin dan mempunyai hubungan sosial yang baik dengan teman yang lain. Komite juga berjalan dengan baik. Begitu juga dengan TK Y dimana setiap minggu sekali mendapat pembinaan dari kepolisian untuk pengenalan aturan lalu lintas sehingga anak sudah mengenal aturan dan disiplin baik di dalam kelas ataupun di jalan raya.
Berdasarkan dari hasil observasi tersebut diduga di TK X dan TK Y telah menggunakan pendekatan selaras perkembangan dalam pembelajaran keterampilan sosial.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian deskripsi ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana gambaran implementasi pendekatan yang selaras perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun pada TK X dan TK Y.
2. Apakah faktor yang menghambat implementasi DAP dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun pada TK X dan TK Y ?
3. Apakah faktor yang mendukung implementasi DAP dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun pada TK X dan TK Y ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Memberikan gambaran tentang implementasi pendekatan selaras dengan perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun TK X dan TK Y pada saat pembelajaran. 
2. Menjelaskan tentang faktor penghambat pelaksanaan penerapan pendekatan selaras dengan perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial.
3. Menjelaskan tentang faktor pendukung dari penerapan pendekatan selaras perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoretis
Pengembangan IPTEK, diharapkan memberikan kontribusi yang baik pada pengembangan ilmu pengetahuan berupa informasi tentang implementasi pendekatan selaras dengan perkembangan (DAP).
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru : dengan dilaksanakannya penelitian ini, menambah wawasan guru dan lebih memahami pendekatan selaras dengan perkembangan serta diharapkan dapat menerapkan ke anak didik.
b. Bagi peneliti : penelitian ini akan memberi pengalaman serta menambah wawasan dalam memahami pendekatan selaras dengan perkembangan untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan.
c. Bagi institusi : hasil penelitian ini akan memberi sumbangan yang baik bagi sekolah dalam rangka perbaikan sistem pembelajaran dan sebagai bentuk inovasi model pendek.