Search This Blog

TESIS PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA

TESIS PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA


(KODE : PASCSARJ-0146) : TESIS PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya terus menerus yang bertujuan mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan peserta didik dalam mempersiapkan mereka agar mampu menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya. Dengan demikian, di satu sisi pendidikan merupakan sebuah upaya penanaman nilai-nilai kepada peserta didik dalam rangka membentuk watak dan kepribadiannya. Selanjutnya, pendidikan mendorong peserta didik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut ke dalam perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Fungsi pendidikan dalam Islam antara lain untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya di muka bumi, baik sebagai 'abdullah (hamba Allah yang harus tunduk dan taat terhadap segala aturan dan kehendak-Nya serta mengabdi kepada-Nya) maupun sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang menyangkut tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga, dalam masyarakat dan tugas kekhalifahan terhadap alam.
Manusia memang memiliki potensi dasar atau yang disebut fitrah, tetapi manusia juga punya keterbatasan. Keterbatasan atau kelemahan tersebut menyadarkan manusia untuk lebih memperhatikan eksistensi dirinya yang serba terbatas jika dibandingkan dengan Sang Maha Pencipta yang serba tak terbatas. Karena itu pendidikan dalam Islam antara lain bertugas untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar menyadari akan eksistensi dirinya sebagai manusia yang serba terbatas, serta menumbuhkembangkan sikap iman dan takwa kepada Allah yang serba Maha Tak Terbatas. Di samping itu, pendidikan juga bertugas untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengendalikan diri dan menghilangkan sifat-sifat negatif yang melekat pada dirinya agar tidak sampai mendominasi dalam kehidupannya, sebaliknya sifat-sifat positifnya yang tercermin dalam kepribadiannya.
Pengendalian diri yang disebutkan di atas terkait dengan emosi. Dalam konteks pendidikan, keberhasilan siswa tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya belaka, tapi ada kecerdasan lain yang ikut menentukan yakni kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional (EQ) bukan didasarkan pada kepintaran anak, melainkan pada sesuatu yang dahulu disebut karakteristik pribadi atau "karakter". Penelitian-penelitian sekarang menemukan bahwa keterampilan sosial dan emosional ini mungkin bahkan lebih penting bagi keberhasilan hidup ketimbang kemampuan intelektual. Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat.
Banyak orang yang tertarik pada konsep kecerdasan emosional dimulai dari perannya dalam membesarkan dan mendidik anak-anak, tetapi selanjutnya orang menyadari konsep ini baik di lapangan kerja maupun di hampir semua tempat lain yang mengharuskan manusia saling berhubungan. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan EQ yang sama untuk membuat anak atau peserta didik yang bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga.
Melihat urgensi EQ di atas, hendaknya pendidikan di mulai sejak dini yakni dalam lingkungan keluarga. Setiap orang tua tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang sehat, kuat, berketerampilan, cerdas, pandai, dan beriman. Bagi orang Islam, beriman itu adalah beriman secara Islam. Untuk mencapai tujuan itu, orang tualah yang menjadi pendidik pertama dan utama. Sedangkan yang menjadi posisi peserta didik tentulah si anak. Sekalipun demikian, sebenarnya semua anggota keluarga adalah peserta didik juga, tetapi dilihat dari segi pendidikan anak dalam keluarga, yang menjadi si terdidik adalah anak.
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam lingkungan keluarga inilah anak pertama kali memperoleh pendidikan dan bimbingan. Dalam perundang-undangan disebutkan bahwa keluarga memberikan keyakinan agama, menanamkan nilai moral, etika, dan kepribadian estetika, serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan keluarga dalam pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 merupakan jalur pendidikan informal. Setiap anggota keluarga mempunyai peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing, dan mereka memberi pengaruh melalui proses pembiasaan pendidikan di dalam keluarga.
Adapun bahan pendidikan atau bisa juga disebut kurikulum pendidikan dalam keluarga berbeda dengan kurikulum sekolah yang tegas. Kurikulum itu dalam garis besarnya ialah kurikulum untuk pengembangan jasmani dan keterampilan, kurikulum untuk pengembangan akal, dan kurikulum untuk pengembangan rohani anak. Kurikulum ini mengacu pada teori tentang aspek-aspek kepribadian dalam garis besar.
Kunci pendidikan dalam keluarga sebenarnya terletak pada pendidikan rohani dalam arti pendidikan kalbu, lebih tegas lagi pendidikan agama bagi anak. Karena pendidikan agamalah yang berperan besar dalam membentuk pandangan hidup seseorang. Ada dua arah mengenai kegunaan pendidikan agama dalam keluarga. Pertama, penanaman nilai dalam arti pandangan hidup, yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akalnya. Kedua, penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam menghargai guru dan pengetahuan di sekolah. Pendidikan yang harus diberikan oleh orang tua kepada anaknya, tidaklah cukup dengan cara "menyerahkan" anak tersebut kepada suatu lembaga pendidikan. Tetapi lebih dari itu, orang tua haruslah menjadi guru yang terbaik bagi anak-anaknya. Orang tua yang demikian, tidak hanya mengajarkan pengetahuan (yang harus diketahui) dan menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya, tetapi lebih dari itu orang tua juga harus menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Melalui keteladanan dan kebiasaan orang tua yang gandrung pada ilmu inilah, anak-anak bisa meniru, mengikuti dan menarik pelajaran berharga.
Dengan demikian, jika kecerdasan emosional merupakan salah satu unsur pokok dalam pendidikan anak, dan pendidikan itu berawal dari keluarga, maka pendidikan agama dalam keluarga khususnya akan menjadi kunci pula dalam pembentukan kecerdasan emosional pada anak atau peserta didik.
Namun satu hal yang tidak akan dilupakan, mungkin untuk sebagian besar orang, yaitu suatu tragedi yang mengejutkan terjadi di tanah Jombang. Seorang Ryan yang berasal dari keluarga dan lingkungan Islami, bahkan sempat mengenyam pendidikan di pesantren ternyata terlibat pembunuhan berantai yang menelan belasan korban. Tentu saja ulah mantan guru ngaji tersebut sontak membuat umat Islam mengernyitkan dahi serasa tidak percaya akan hal itu. Jadi ada kesenjangan di sini. Betapa tidak, karena pendidikan agama yang dipelajarinya ternyata jauh dari perbuatannya. Oleh karena itu, hal ini perlu penelusuran lebih jauh tentang teori yang menyebutkan bahwa pendidikan agama (Islam) dalam keluarga berperan besar dalam kecerdasan emosional, yang di dalamnya termasuk pengendalian diri.
Kembali terkait dengan kecerdasan emosional di atas, sekolah-sekolah dipandang sebagai informasi praktis tentang efektifitas pengajaran kecerdasan sosial dan emosional. Tentu saja jika dilihat praktiknya di lapangan, pendidikan agama Islam (PAI) memiliki kedudukan yang sangat potensial sehubungan dengan pengajaran kecerdasan emosional ini.
Pemahaman tentang PAI di sekolah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu PAI sebagai aktivitas dan PAI sebagai fenomena. PAI sebagai aktifitas, berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Sedangkan PAI sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih dan/atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak. Pemahaman yang demikian mengandung esensi bahwasanya PAI memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian yang selaras dengan ajaran dan nilai-nilai Islam, termasuk dalam pembentukan kecerdasan emosional yang tinggi. Nampaknya peranan ini terbentur dengan kenyataan yang sebaliknya yaitu semakin maraknya kemerosotan moral (krisis multi-dimensional) dan umumnya juga terjadi di kalangan pelajar, sehingga PAI dianggap tidak berhasil dalam mengejawantahkan nilai-nilai universalnya. Memang sebaiknya tidak terburu-buru menyimpulkan bahwa krisis moral atau akhlak merupakan kesalahan pendidikan agama semata, karena bertolak dari suatu pandangan bahwa kegiatan pendidikan merupakan suatu proses penanaman dan pengembangan seperangkat nilai dan norma yang implisit dalam setiap bidang studi sekaligus gurunya, maka tugas mendidikkan akhlak yang mulia sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama an sich.
Terlepas dari siapa penanggung jawab utama masalah krisis akhlak di atas, perlu dibahas lebih lanjut adalah solusi-solusi baik secara teoritis maupun praktis. Namun sebelumnya, jika krisis akhlak atau moral merupakan pangkal dari krisis multi-dimensional, sedangkan PAI banyak menggarap masalah akhlak, maka perlu ditelaah apa yang menjadi penyebab titik lemah dari pendidikan agama tersebut.
Mochtar Buchori menyatakan, bahwa kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Karena itu seharusnya para guru atau pendidik agama bekerja sama dengan guru-guru non-agama dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Pernyataan senada telah dinyatakan oleh Soedjatmoko, bahwa pendidikan agama harus berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama. Pendidikan agama, termasuk PAI, tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan non-agama kalau ia ingin mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Keberhasilan pendidikan agama dalam menanamkan nilai-nilai bagi pembentukan kepribadian dan watak siswa sangat ditentukan oleh proses yang mengintegrasikan antara aspek pengajaran, pengamalan, dan pembiasaan serta pengalaman sehari-hari yang dialami siswa baik di sekolah, keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Keterpaduan, konsistensi, dan sinkronisasi antara nilai-nilai yang diterima peserta didik dari pengajaran yang diberikan guru di depan kelas dengan dorongan untuk pengamalan nilai-nilai tersebut ke dalam bentuk tindakan dan perilaku nyata sehari-hari, tidak saja dari siswa sendiri, tetapi juga dari seluruh pelaku pendidikan, termasuk guru dan staf sekolah. Pengamalan dan pembiasaan perilaku sehari-hari yang sejalan dengan nilai-nilai agama yang diajarkan dan yang berlangsung secara terus menerus itulah yang akan menciptakan suatu lingkungan pendidikan yang melahirkan pribadi-pribadi siswa yang utuh. Sebaliknya, inkonsistensi dan tidak sinkronnya pengetahuan tentang nilai-nilai ajaran agama yang diperoleh siswa dari guru di depan kelas dengan tindakan dan perilaku sehari-hari yang dialami siswa, baik di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat, akan melahirkan split personality (pribadi pecah) pada siswa.
Adapun salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan penciptaan budaya religius di sekolah. Penciptaan suasana atau budaya religius berarti menciptakan suasana atau iklim kehidupan keagamaan. Dalam konteks PAI di sekolah berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah. Dalam arti kata, penciptaan suasana religius ini dilakukan dengan cara pengamalan, ajakan (persuasif) dan pembiasaan-pembiasaan sikap agamis baik secara vertikal (habluminallah) maupun horizontal (habluminannas) dalam lingkungan sekolah. Melalui penciptaan ini, siswa akan disuguhkan dengan keteladanan kepala sekolah dan para guru dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan, dan salah satunya yang paling penting adalah menjadikan keteladanan itu sebagai dorongan untuk meniru dan mempraktikkannya baik di dalam sekolah atau di luar sekolah. Sikap siswa sedikit banyak pasti akan terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, selain peranan pendidikan agama dalam keluarga, kecerdasan emosional pun dimungkinkan akan terlatih melalui penciptaan budaya religius di sekolah.
Dengan demikian, adanya budaya religius dan pendidikan agama Islam dalam keluarga ini menarik untuk diteliti lebih dalam kaitannya dengan pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional siswa yaitu dengan judul penelitian "PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SMAN X".

B. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang terkait dengan judul tesis ini adalah sebagai berikut :
Tesis karya I Wayan Suija yang berjudul Hubungan Iklim Sekolah dan Pola Asuhan dalam Keluarga dengan Perilaku Bermasalah Siswa SMA Negeri Kotamadya Denpasar tahun 1996. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif dan juga korelasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim sekolah dan pola asuhan dalam keluarga memberi sumbangan yang berarti terhadap perilaku bermasalah. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara iklim sekolah dengan perilaku bermasalah, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuhan dalam keluarga dengan perilaku bermasalah siswa SMA Negeri Kotamadya Denpasar.
Disertasi karya Esther Heydemans tahun 2008 yang berjudul Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua, Konsep Diri, Motivasi Diri, Iklim Sekolah dengan Kesadaran Emosi Siswa SMP Negeri di Kota Malang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional yaitu mencari hubungan antara variabel independen pola asuh orang tua, konsep diri, motivasi diri, iklim sekolah dengan variabel independen kesadaran emosi, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum variabel pola asuh orang tua, konsep diri, motivasi diri, iklim sekolah dan kesadaran emosi siswa SMP Negeri di Kota Malang menunjukkan kategori sedang. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama terdapat hubungan antara pola asuh orang tua, konsep diri, motivasi diri, iklim sekolah terhadap kesadaran emosi dan memberi sumbangan efektif yang signifikan terhadap kesadaran emosi siswa kecuali konsep diri yang tidak memberi pengaruh yang signifikan.
Disertasi karya Musa Sukardi yang berjudul Pengaruh Penerapan Model Self-Science terhadap Kecerdasan Emosional Siswa Sekolah Menengah Pertama yang ditulis tahun 2008. Penelitian ini menggunakan rancangan kuasi eksperimen non-equivalent control group design. Penerapan model pengembangan self-science dilakukan dalam kegiatan layanan bimbingan di kelas dan di luar kelas. Analisis data menghasilkan temuan penelitian sebagai berikut : Pertama, penerapan model pengembangan self-science efektif dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa sekolah menengah pertama. Kedua, ada perbedaan kecerdasan emosional pada siswa yang diberi model pengembangan self-science dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran sebagaimana biasanya. Model pengembangan self-science secara signifikan memberi pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran sebagaimana biasanya terhadap kecerdasan emosional siswa sekolah menengah pertama.
Berdasarkan hasil temuan di atas, maka tema yang diajukan dalam penelitian ini memiliki peluang untuk memperdalam kesimpulan-kesimpulannya dengan variabel independen berbeda, yaitu pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius di sekolah, serta kecerdasan emosional sebagai variabel dependen.

C. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan agama Islam dalam keluarga terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X ?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X ?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X ?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan antara pendidikan agama Islam dalam keluarga terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X.
2. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan antara budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X.
3. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini dapat memperkaya teori dan wawasan berupa studi ilmiah yang dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI).
b. Penelitian ini bisa digunakan sebagai referensi akademik dan bahan masukan bagi penelitian serupa di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
Bagi lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun informal, penelitian ini dapat memberikan gambaran secara riil mengenai kondisi pendidikan agama Islam dalam keluarga siswa dan budaya religius di sekolah secara umum serta pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional siswa, sehingga bisa menjadi masukan untuk mengadakan evaluasi dan pengembangan ke arah yang lebih baik.

F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh, sistematika penulisan tesis ini dibagi dalam enam bab, yaitu sebagai berikut.
Bab I memaparkan latar belakang masalah, penelitian terdahulu, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis penelitian, batasan penelitian, definisi operasional dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan kajian teori, yang mencakup pembahasan tentang pendidikan agama Islam dalam keluarga; budaya religius sekolah; kecerdasan emosional; dan hubungan kecerdasan emosional dengan pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius sekolah.
Bab III merupakan metode penelitian yang mencakup pendekatan dan jenis penelitian, populasi dan sampel, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisis data, uji validitas dan reliabilitas, pengecekan keabsahan data, dan tahapan penelitian.
Bab IV merupakan hasil penelitian, meliputi profil sekolah, deskripsi variabel penelitian, hasil pengujian persyaratan analisis, dan hasil pengujian hipotesis.
Bab V merupakan pembahasan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan.
Bab VI merupakan bab terakhir yang berisikan tentang kesimpulan dari semua isi atau hasil penelitian ini. Dalam bab ini, juga dikemukakan beberapa saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan.
TESIS PENGARUH ARAHAN PENDIDIKAN OLEH KELUARGA DAN KOMPETENSI GURU THD PEMBENTUKAN KARAKTER (CHARACTER BUILDING) SISWA

TESIS PENGARUH ARAHAN PENDIDIKAN OLEH KELUARGA DAN KOMPETENSI GURU THD PEMBENTUKAN KARAKTER (CHARACTER BUILDING) SISWA


(KODE : PASCSARJ-0145) : TESIS PENGARUH ARAHAN PENDIDIKAN OLEH KELUARGA DAN KOMPETENSI GURU THD PEMBENTUKAN KARAKTER (CHARACTER BUILDING) SISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan sesungguhnya memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kualitas suatu bangsa. Peningkatan taraf hidup, status sosial dan martabat manusia dapat dilakukan melalui jalur pendidikan. Hal ini sangat mungkin karena salah satu fungsi pendidikan adalah proses memanusiakan manusia dalam rangka mewujudkan budayanya. Ishomuddin (1996 : 11) menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan fithrah. Fithrah dalam al-Qur'an pada dasarnya memiliki arti kesiapan manusia untuk menerima kondisi yang ada di sekelilingnya dan mampu menghadapi tantangan serta dapat mempertahankan dirinya untuk survive dan berkembang selaras dengan al-Qur'an dan al-Sunnah.
Naquib Al-Attas (dalam Wan Muh Noor Wan Dawud, 2003 : 163) menegaskan bahwa secara umum ada dua pandangan teoritis mengenai tujuan pendidikan, masing-masing dengan tingkat keragamannya tersendiri. Pandangan teoritis yang pertama lebih berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan rakyat yang baik. Pandangan kedua lebih berorientasi kepada pembentukan individu. Pandangan ini menganggap bahwa pendidikan sangat efektif dalam rangka membentuk pribadi seutuhnya pada setiap peserta didik.
Secara spesifik, pendidikan Islam mengharuskan terjadinya proses intemalisasi nilai ketuhanan (ilahiah) pada diri manusia secara bertahap sesuai tugas perkembangannya. Pada tujuan inilah semestinya akan terbentuk kepribadian manusia yang utuh secara lahir dan batin, yang menampakkan corak wataknya dalam amal perbuatan dan tingkah laku. Ini adalah suatu pola kehidupan ideal yang hendak dibentuk melalui proses pendidikan yang islami.
Dengan demikian, baik secara mikro maupun makro posisi pendidikan Islam menduduki tempat yang sangat strategis dalam membentuk kepribadian individu yang pada akhirnya akan memberi warna pada karakter suatu bangsa.
Namun demikian cita-cita mulia yang terkandung pada setiap konsep pendidikan di negeri ini ternyata masih belum mampu menunjukkan hasil yang membanggakan. Dalam kajian nasional tentang mutu pendidikan di Indonesia masih didapatkan data yang menunjukkan bahwa mutu pendidikan di negeri ini belum mampu memenuhi target yang diinginkan. Banyak indikator yang mengarah pada kesimpulan tersebut.
Situs www.salimow.com merilis sebuah deskripsi kuantitatif berupa laporan UNDP (United Nations Development Programme) pada lima tahun terakhir tentang posisi Indonesia dalam aspek Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia yang masih mengkhawatirkan. Pada tahun 2005, dari 177 negara yang diteliti, Indonesia berada di peringkat 100. Posisi ini masih jauh apabila dibandingkan dengan negara Malaysia (urutan 61) dan Thailand (urutan 73).
Pada tahun berikutnya yaitu tahun 2006, Indonesia berada di posisi 108, setingkat dengan negara Vietnam yang berada di posisi 109. Pada pencapaian ini Indonesia berada di level menengah. Sedangkan pada saat itu negara-negara berkembang lainnya sudah berada di level atas. Singapura di peringkat 25, Brunei di peringkat 34 dan Malaysia di peringkat 61.
Kondisi yang hampir sama terjadi pada tahun 2007, pada tahun tersebut berdasarkan laporan UNDP yang dikeluarkan tanggal 27 Nopember 2007, Indonesia masih di peringkat 108. Hasil penelitian ini kemudian menempatkan usia harapan hidup bangsa Indonesia di peringkat 100, tingkat pemahaman aksara (melek huruj) orang dewasa di posisi 56 dan tingkat pendaftaran pada sekolah lanjutan di posisi 100.
Kondisi tersebut di atas setidaknya merupakan gambaran nyata tentang kualitas dan daya saing sumber daya manusia yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Apabila salah satu tujuan pendidikan yang disepakati adalah mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya, artinya deskripsi tersebut men-visual-kan sebuah keadaan yang bertolak belakang dari harapan yang diinginkan.
Pada skala mikro mutu pendidikan di Indonesia juga selalu dipertanyakan. Dengan jumlah sekolah yang sedemikian besar ternyata tidak sebanding dengan keberhasilan dalam membentuk moral dan karakter bangsa. Fakta yang ada akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan merebaknya dekadensi moral di segenap lapisan masyarakat. Kemajuan sains-teknologi yang diharapkan mampu membawa keberkahan, ternyata membawa efek negatif yang sukar dikendalikan. Anak-anak muda yang seharusnya menjadi aset umat di masa depan, secara mencolok terseret berbagai gaya hidup hedonis-materialistik yang dikampanyekan lewat piranti-piranti canggih. Nilai-nilai religius dan etis yang dianut generasi terdahulu, pelan-pelan diremehkan, untuk kemudian dilupakan samasekali. Dan harus diakui bahwa hal itu merupakan salah satu akibat penerapan sistem pendidikan yang salah.
Keberadaan lembaga pendidikan yang sebenarnya sangat strategis dalam membentuk sumber daya manusia, dewasa ini cendemng berorientasi pada materi. Pekerjaan mendidik anak bangsa yang demikian mulia menjadi ternodai oleh penerapan sistem yang salah, yaitu cendemng materialistik. Sistem tersebut sesungguhnya terbukti telah gagal melahirkan manusia sholih yang sekaligus mampu menguasai iptek dan mandiri. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh oleh standar nilai agama.
Pengajaran yang berorientasi pada nilai-nilai agama sangat tidak berimbang bila dibandingkan dengan muatan pendidikan ilmu-ilmu umum. Kalaupun ada hanyalah etika (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Proses pembelajaran hanya sebatas transfer ilmu pengetahuan saja. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan agar tumbuh menjadi manusia yang ideal menumt pandangan agama, justm kurang tergarap secara serius.
Banyak hal yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi. Terlalu dini apabila justifikasi kegagalan tersebut hanya ditujukan pada aspek tertentu saja. Secara mendasar barang kali perlu dikaji tentang kurikulum yang disajikan, sistem yang digunakan, visi dan misi tentang pendidikan, lingkungan asal anak didik dan tentunya sumber daya tenaga pengajarnya.
Sebagai agama yang sempurna, Islam memberikan konsep yang utuh tentang tatanan ideal proses pendidikan. Abdurrahman An-Nahlawi (2004 : 19) menyatakan, sistem pendidikan dalam Islam amat sempurna mencakup sumber, landasan, metode, sarana, sejarah hingga persoalan yang kerap melanda manusia.
Ajaran Islam menempatkan keluarga pada tempat yang utama dalam proses transfer nilai-nilai asasi dalam hidup. Pusat aktivitas sehari-hari segenap anggotanya, tempat pemenuhan perlindungan dan kasih sayang, tempat penguatan jati diri dan penghargaan, dan proses pembiasaaan dan tauladan bagi segenap anggotanya. Uraian tadi mengungkap betapa dalam keluarga banyak tanggung jawab dan peran yang harus dijalankan
Orang tua secara syar'i yang harus bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya. Bukan orang lain. Karena tugas tersebut dibebankan oleh Allah kepada setiap orang tua. Sehingga setiap orang tua wajib menyadari bahwa dirinya berfungsi sebagai pendidik bagi diri mereka sendiri dan bagi anak-anak yang menjadi tanggung jawab mereka.
Menurut Al-Ghazali (dalam Zainuddin, 1991 : 88), tanggung jawab keluarga dalam mendidik anak muncul karena 2 (dua) alasan, yaitu :
1. Anak lahir dalam keadaan bersih, suci dan sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa anak lahir dalam keadaan tidak berdaya dan belum dapat berbuat apa-apa sehingga sangat menggantungkan kepada orang lain yang lebih dewasa. Orang tua adalah tempat menggantungkan diri dan tempat berlindung anak secara wajar berdasarkan atas adanya hubungan keduanya sebagai anak dan orang tua.
2. Kelahiran anak di dunia ini merupakan akibat langsung dari perbuatan kedua orang tuanya. Oleh karena itu orang tua sebagai orang yang telah dewasa harus menanggung segala resiko yang timbul akibat perbuatannya, yaitu bertanggung jawab atas pemeliharaan dan pendidikan anaknya sebagai amanat Tuhan yang wajib dilaksanakan.
Banyak hal yang diasumsikan mampu membentuk karakter seorang anak. Dari pandangan umum difahami bahwa tanggung jawab pendidikan berada pada diri orang tua. Dengan demikian perlu terus diadakan penelitian seberapa besar pengaruh orang tua dalam membentuk karakter siswa.
Dalam kajian tentang peran keluarga dalam membentuk karakter siswa, Islam memandang bahwa tanggung jawab pendidikan pada awalnya sesungguhnya berada di pundak orang tua. Allah membebankan tanggung jawab tersebut seiring dengan besarnya peranan do'a yang diberikan oleh anak kepada orang tua ketika sudah meninggal.
Selain orang tua, yang perlu disoroti dalam kaitannya dengan proses pembelajaran di lembaga pendidikan adalah sumber daya manusia, khususnya guru. Guru dalam sebuah lembaga pendidikan merupakan ujung tombak bagi tercapainya tujuan pendidikan. Oleh sebab itu, penempatan seorang gum dalam kelas tidak bisa dilakukan dengan main-main.
Dalam hubungan ini Mohamad Athiyah al-Abrasyi (dalam Abuddin Nata, 2001 : 112) mengatakan bahwa seorang gum harus bersifat zuhud, berpenampilan bersih lahir batin, ikhlas dalam bekerja, pemaaf, berkepribadian sebagai bapak, dan mengetahui tabiat murid. Dalam hubungan ini Abuddin Nata (2001 : 112) juga mengutip pendapat Crow and Crow yang mengatakan bahwa seorang pendidik harus memiliki sepuluh ciri sebagai berikut : (1) memiliki perhatian dan kesenangan pada subjek didik; (2) memiliki kecakapan dalam merangsang subjek didik untuk belajar dan mendorong berpikir; (3) berpenampilan simpatik; (4) bersikap jujur dan adil terhadap para siswanya; (5) dapat menyesuaikan diri dan memperhatikan pendapat orang lain; (6) menampakkan kegembiraan dan antusiasme; (7) luas perhatiannya; (8) adil dalam tindakan; (9) menguasai diri; (10) menguasai ilmu yang diajarkannya.
Menumt perspektif keagamaan, secara khusus seorang gum agama harus pula memiliki sifat-sifat sebagai berikut : (1) senantiasa menyayangi murid-muridnya; (2) mau memberi nasihat; (3) bertujuan ibadah dalam mengajar; (4) lemah lembut; (5) tidak merendahkan pelajaran lain; (6) menyesuaikan dengan kemampuan muridnya; (7) mengamalkan ilmu yang diajarkannya; (8) mendorong para murid agar berpikir; (9) mengajarkan ilmu dimulai dari yang rendah; (10) bersikap adil terhadap semua murid.
Dengan menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada siswa, dapat menyampaikan dan mengaj arkan ilmu pengetahuan tersebut secara efektif dan efisien serta memiliki budi pekerti dan kepribadian yang luhur dan sifat-sifat lainnya sebagaimana disebutkan di atas, maka seorag guru dapat dikatakan sebagai petugas profesional.
Asumsi bahwa orang tua dan guru mampu membentuk karakter siswa berlaku pada setiap sekolah. Di lingkungan SMP X, cerminan pribadi siswa dalam bentuk tampilan lahiriah, misalnya cara berpakaian, beribadah, berorganisasi, kepemimpinan, pergaulan dengan lawan jenis, sikap terhadap orang tua, guru dan teman dan sebagainya untuk sementara dapat dijadikan sebagai tolok ukur karakter yang sudah terbentuk.
Penampilan (performance) lahiriah para siswa SMP X diukur berdasarkan pengamatan dan penilaian yang dilakukan oleh para guru, pengasuh, karyawan, maupun antarteman. Hasil penilaian tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah laporan perkembangan prestasi belajar (raport) setiap individu yang berisi kumpulan hasil evaluasi secara menyeluruh pada setiap aspek perkembangan termasuk kepribadian siswa, dan disampaikan kepada siswa dan orang tua pada setiap akhir semester.
Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana signifikansi peranan pendidikan yang telah diupayakan oleh keluarga dan kompetensi yang dimiliki guru dalam membentuk karakter (character building) siswa di SMP X.
Penelitian ini dilakukan dalam konteks manajemen pendidikan Islam. Sehingga diharapkan hasilnya nanti bermanfaat sebagai referensi bagi para praktisi dan pengelelola lembaga pendidikan Islam, khususnya pada aspek manajemen. Meski tidak mengkaji secara menyeluruh tentang manajemen pendidikan sebagai sebuah kerangka ilmu pengetahuan, penelitian ini mengkaji secara lebih detail bagian-bagian penting yang ada dalam proses pengelolaan dan pengembangan sebuah lembaga pendidikan.
Minimal ada 3 (tiga) bagian penting dari konsep manajemen sekolah yang dikaji dalam penelitian ini. Pertama, konteks manajemen kesiswaan. Dalam hal ini penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangan tentang pentingnya memberi perhatian terkait pembentukan karakter siswa. Kedua, manajemen sumber daya manusia dalam pendidikan, yaitu identifikasi tentang posisi penting seorang guru dalam proses pembentukan karakter siswa. Ketiga, manajemen hubungan masyarakat dalam pendidikan. Dalam hal ini berhubungan dengan keniscayaan sekolah menjalin kerja sama dengan para orang tua untuk bersama-sama membimbing dan mengembangkan karakter anaknya.

B. Rumusan Masalah
Penelitian ini berangkat dari konsep bahwa pendidikan yang dikelola secara profesional dengan memperhatikan setiap aspek yang berhubungan dengan pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Adakah pengaruh positif signifikan arahan pendidikan oleh keluarga terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?
2. Adakah pengaruh positif signifikan kompetensi guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?
3. Seberapa besar pengaruh arahan pendidikan oleh keluarga dan kompetensi guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis :
1. Pengaruh arahan pendidikan yang telah diberikan oleh keluarga terhadap pembentukan karakter siswa SMP X.
2. Pengaruh kompetensi kepribadian guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X.
3. Seberapa besar pengaruh arahan pendidikan yang telah diberikan oleh keluarga dan kompetensi guru terhadap pembentukan karakter siswa SMP X ?

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat kepada pihak-pihak yang berhubungan dengan proses pendidikan, antara lain :
1. Bagi para guru, penelitian ini diharapkan memberi gambaran bagaimana pentingnya menempatkan diri sebagai seorang pendidik yang mampu memberi teladan dalam rangka memaksimalkan setiap potensi yang dimiliki para siswanya.
2. Bagi orang tua, penelitian ini menyajikan sebuah kajian mendalam dan bermanfaat tentang arti penting keluarga, khususnya kedua orang tua yang bagi perkembangan kepribadian seorang anak.
3. Bagi para praktisi dan pengelola lembaga pendidikan, penelitian ini setidaknya dapat dijadikan sebagai referensi untuk mengembangkan manajemen lembaganya masing-masing
4. Bagi para peneliti, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi untuk melakukan penelitian di tempat lain.
5. Khusus bagi pengelola SMP X, hasil yang tersajikan dalam penelitian ini nantinya merupakan kondisi nyata yang ada pada lembaga bersangkutan. Sehingga diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu acuan pengelolaan lembaga ke depan.
SKRIPSI PENGARUH METODE BERCERITA MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA ANAK USIA DINI

SKRIPSI PENGARUH METODE BERCERITA MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA ANAK USIA DINI


(KODE : PG-PAUD-0019) : SKRIPSI PENGARUH METODE BERCERITA MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR TERHADAP KETERAMPILAN BERBICARA ANAK USIA DINI




BAB I
PENDAHULUAN 


A. Latar Belakang
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia karena bahasa merupakan alat komunikasi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dengan bahasa, seorang dapat menyampaikan ide, pikiran, perasaan kepada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini sejalan dengan pendapat Keraf (2004 : 1), bahwa bahasa adalah alat komunikasi antar anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Pengembangan bahasa di TK ialah usaha atau kegiatan mengembangkan kemampuan anak untuk berkomunikasi dengan lingkungannya melalui bahasa.
Menurut pendapat Hurlock (1997 : 175) bahwa :
Usia tiga sampai enam tahun anak sedang dalam masa peralihan dari masa egosentris menuju kemasa sosial. Pada usia ini anak mulai berkembang rasa sosialnya. Anak mulai banyak berhubungan dengan lingkungannya, terutama lingkungan sosialnya. Anak mulai bertanya segala macam yang dihayatinya. Disamping itu, anak juga mulai banyak mengeluarkan pendapat dan menanggapi hal-hal yang dapat diamati atau didengarnya.
Anak TK adalah individu yang mengalami suatu proses pertumbuhan dan perkembangan. Pada usia ini anak berada dalam keadaan yang sangat peka untuk menerima rangsangan dari luar. Rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu merupakan ciri yang paling menonjol. Aspek perkembangan anak yang meliputi perkembangan fisik, motorik, intelektual, emosi, bahasa, serta sosial berlangsung sangat cepat dan akan berpengaruh besar terhadap perkembangan selanjutnya.
Menurut Depdiknas (2003 : 105) fungsi pengembangan bahasa bagi anak TK adalah : (a) Sebagai alat untuk berkomunikasi dengan lingkungan. (b) Sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak. (c) Sebagai alat untuk mengembangkan ekspresi anak. (d) Sebagai alat untuk menyatakan perasaan dan buah pikiran kepada orang lain.
Bahasa dipergunakan pada sebagian besar aktivitas manusia, tanpa bahasa manusia tidak dapat menggungkapkan perasaannya, menyampaikan keinginan, memberikan saran dan pendapat, bahkan sampai tingkat pemikiran seseorang yang berkaitan dengan bahasa. Semakin tinggi tingkat penguasaan bahasa seseorang, semakin baik pula penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Manusia dalam mengungkapkan bahasanyapun berbeda-beda, ada yang lebih suka langsung menbicarakannya dan ada juga lebih suka melalui tulisan.
Berbicara termasuk pengembangan bahasa yang merupakan salah satu bidang yang perlu dikuasai anak usia dini. Pada masa ini anak usia dini memerlukan berbagai rangsangan yang dapat meningkatkan perkembangan bahasa anak, sehingga dengan pemberian rangsangan yang tepat maka bahasa anak dapat tercapai secara optimal.
Keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen yang terdiri dari keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis (Tarigan, 1984 : 1). Keempat keterampilan tersebut memiliki hubungan yang saling terkait satu sama lain, yang merupakan satu kesatuan. Keempat keterampilan tersebut perlu dilatih pada anak usia dini karena dengan kemampuan berbahasa tersebut anak akan belajar berkomunikasi dengan orang lain, sebagaimana dalam kurikulum 2004 diungkapkan bahwa kompetensi dasar dari pengembangan bahasa untuk anak usia dini yaitu "anak mampu mendengarkan, berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata dan mengenal simbol-simbol yang melambangkannya".
Salah satu masalah yang berkaitan dengan bahasa pada anak usia dini adalah keterampilan berbicara anak usia dini kurang mendapatkan perhatian dari para pengajar, karena lebih memfokuskan pada keterampilan membaca dan menulis. Akibatnya perbendaharaan kata yang dimiliki anak usia dini masih terbatas, sehingga anak usia dini kurang mampu mengungkapkan gagasan atau ide ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan dari guru dan anak kadang merasa belum paham dengan apa yang dibicarakannya.
Strand (Brian Boscolo, 2002 : 4) mengklaim bahwa "adanya stimulasi berkelanjutan, proses interaksi dan rumusan bahasa secara verbal dapat meningkatkan keterampilan berbicara anak".
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Strand, maka sewajarnya anak-anak dari usia dini difasilitasi proses interaksinya, atau dengan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan gagasannya dalam bentuk lisan. Sehingga dengan anak terampil dalam berbicara memungkinkan untuk dapat menjalin komunikasi lisan yang baik dengan orang dewasa atau bahkan dengan teman sebayanya.
Wortham, Sue (2006 : 212) menyatakan bahwa "kesiapan anak untuk berinteraksi dengan orang dewasa berarti berkembangnya pemahaman mereka mengenai aturan dan fungsi bahasa, akhirnya percakapan dengan orang dewasa menyediakan hubungan dengan konsep".
Sependapat dengan yang dikemukakan oleh Wotham Sue, bahwa anak akan belajar dengan orang-orang di sekitarnya, anak menjadi sering peniru yang baik ketika dihadapkan pada lingkungan tempat tinggalnya. Kemampuan berbicara pada usia dini remaja akan sangat tergantung terhadap pemerolehan kemampuan berbicara pada waktu kecil. Berhasilnya anak melewati masa-masa kritis perkembangan bicara akan menghasilkan kesuksesan di masa depannya.
Arsyad dan Mukti U.S (1993 : 23) dalam (Chista Rosita, 2007) mengungkapkan bahwa kemampuan berbicara adalah kemampuan mengucap kalimat-kalimat untuk mengekpresikan, menyatakan pikiran, gagasan dan perasaan.
Menyikapi hal tersebut, seyogyanya taman kanak-kanak sebagai salah satu bentuk pendidikan anak usia dini yang berada pada jalur formal untuk anak usia 4-6 tahun, perlu mempersiapkan dan melakukan pembenahan diri dalam rangka menghadapi serta mamasuki era globalisasi, salah satu caranya dengan meningkatkan kemampuan berbicara pada anak.
Dalam Pedoman Guru TK (1984) dikemukakan bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan perkembangan bahasa di TK hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Tiap anak diberi kesempatan yang sebaik-baiknya untuk mengembangkan bahasanya.
2. Dalam memelihara ketertiban, spontanitas anak sebaiknya jangan ditekan dan sebaiknya disalurkan.
3. Pendidikan bahasa hendaknya diberikan dalam suasana keakraban antara guru dengan murid.
4. Bahan untuk mengembangkan bahasa anak, hendaknya memenuhi syarat-syarat seperti :
a. Di ambil dari lingkungan anak.
b. Sesuai dengan usia dan taraf perkembangan anak.
c. Mengandung unsur-unsur yang merangsang perkembangan intelegensi, fantasi, social dan moral.
Banyak guru TK dalam membantu mengembangan bahasa anak kurang memperhatikan prinsip-prinsip di atas, sehingga dalam pelaksanaannya tidak optimal menggunakan beberapa metode yang biasa di gunakan di TK, seperti : bercerita, pemberian tugas, praktek langsung, bercakap-cakap, tanya jawab, menyanyi, deklamasi, peragaan, karya wisata, demonstrasi dan bermain peran.
Menurut Soejanto Sandjaja (tt : 4) dikutif dari Edisari berdasarkan usia kronologis anak antara dua sampai enam tahun, anak-anak menyukai buku yang didominasikan oleh gambar-gambar nyata.
Terkait hal tersebut di atas, bercerita dapat menjadi salah satu metode pengantar anak untuk terampil berbicara. Berbicara sangat penting artinya guna mendukung seseorang dalam peningkatan berkomunikasi antar manusia, karena sebagai manusia memilki keterbatasan dalam mengetahui sesuatu.
Bercerita juga tidak selalu baik bagi seseorang tergantung apa yang akan diceritakan dan manfaat bagi yang diceritakannya. Untuk kenyataan itu perlu memilihkan atau mengarahkan anak untuk terbiasa berbicara bahan bercerita yang memiliki makna baik, apalagi masa kanak-kanak merupakan masa yang paling baik untuk menanamkan sesuatu untuk bekal masa depannya kelak. bercerita secara lisan sangat cocok diterapkan pada anak usia dini karena selain melatih keberanian berbicara, juga melatih agar anak terampil berbicara melalui bercerita.
Metode bercerita cara bertutur kata dan menyampaikan cerita atau memberikan penerangan kepada anak secara lisan, metode tersebut dapat melatih siswa terbiasa untuk dapat mengungkapkan persaaannya lewat bercerita dan siswa dapat termotivasi untuk terampil mengungkapkan perasaannya di depan kelas tanpa malu-malu.
Paul (1998) dalam penelitian Brian Boscolo (2002 : 4) menyatakan bahwa anak tidak dapat menghasilkan kefasihan berbicara yang utuh kalau tidak ada bagian atau komponen yang bisa tersedia dari ingatan membaca yang baik.
Pada kenyataannya anak-anak belum dapat memahami makna simbol dari sebuah kata atau kalimat yang terdapat dalam buku, karenanya buku cerita bergambar merupakan alat yang baik untuk menarik anak-anak berkonsentrasi pada buku. Anak dapat membaca cerita dari sebuah buku cerita bergambar berdasarkan pemahaman atau pengetahuan yang dimilikinya.
Beberapa hasil penelitian sebelumnya tentang penggunaan metode bercerita telah banyak diteliti oleh beberapa mahasiswa. Salah satu penelitian yang menggunakan metode bercerita adalah Aam Aminah (2009) dari jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dengan judul Penerapan Metode Bercerita (Story Telling) untuk Meningkatkan Keterampilan Menyimak dalam Pembelajaran Bahasa Inggris. Penelitian tersebut telah membuktikan bahwa penerapan metode bercerita memberikan pengaruh yang lebih besar dalam keterampilan menyimak anak. Anak lebih antusias, dapat berkonsentrasi, serta menunjukkan ekspresi ketika mendengarkan cerita, dan dapat menjawab pertanyaan dari guru.
Penelitian dengan menggunakan metode bercerita juga diteliti oleh Eulis Siti Aisyah (2009) dari jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dengan judul Penerapan Metode Bercerita untuk Meningkatkan kemampuan Anak dalam Mengenal Bilangan. Penelitian tersebut dapat merangsang kemampuan anak dalam mengenal bilangan melalui ilustrasi gambar.
Berdasarkan penelitian dan latar belakang tersebut peneliti merasa tertarik untuk meneliti tentang "Pengaruh Metode Bercerita Menggunakan Buku Cerita Bergambar Terhadap Keterampilan Berbicara Anak Usia Dini".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Bagaimana pengaruh metode bercerita menggunakan buku cerita bergambar terhadap keterampilan berbicara anak usia dini". Dengan batasan masalah keterampilan berbicara anak usia dini dengan metode bercerita menggunakan buku cerita bergambar. Secara lebih rinci rumusan masalah diuraikan sebagai berikut :
1. Bagaimana keterampilan berbicara anak usia dini pada kelas yang tidak menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar ?
2. Bagaimana keterampilan berbicara anak usia dini pada kelas yang menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar ?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara metode bercerita terhadap peningkatan keterampilan berbicara anak usia dini ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian secara umum adalah untuk mengetahui pengaruh metode bercerita menggunakan buku cerita bergambar terhadap keterampilan berbicara anak usia dini. Secara lebih rinci di uraikan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui keterampilan berbicara anak usia dini pada kelas yang tidak menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar.
2. Untuk mengetahui keterampilan berbicara anak usia dini pada kelas yang menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar.
3. Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan antara metode bercerita terhadap peningkatan keterampilan berbicara anak usia dini.
SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL

SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL


(KODE : PG-PAUD-0018) : SKRIPSI MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Anak TK adalah individu yang berusia sekitar 4 hingga 6 tahun yang sedang menjalani proses pertumbuhan dan perkembangan. Anak pada usia TK mulai merasakan pendidikan di lingkungan sekolah yang lebih formal sebagai bentuk pengembangan dari pendidikan di lingkungan rumah yang biasa mereka hadapi. Anak TK juga berada dalam keadaan yang sangat peka untuk menerima rangsangan dari luar, memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi dan memiliki sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu. Pendapat tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Jamaris (2006), bahwa :
Usia Taman Kanak-kanak yaitu usia 4-5 atau 6 tahun merupakan usia yang mengandung masa keemasan bagi perkembangan fisik dan mental anak tersebut. Pada masa ini, anak sangat sensitif menerima segala pengaruh yang diberikan oleh lingkungannya. Anak pada usia ini dapat dianalogikan dengan sepotong karet busa yang menyerap air sepenuhnya dengan tidak mempedulikan apakah air tersebut kotor atau bersih. Oleh sebab itu, masa kanak-kanak adalah masa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan anak di masa depan. Kesuksesan anak dalam melalui masa ini menjadi pondasi bagi kesuksesan anak tersebut di masa depan.
Aspek yang perlu dikembangan pada anak meliputi perkembangan fisik, motorik, intelektual, emosi, bahasa serta sosial. Pernyataan ini sesuai dengan hasil Konferensi Jenewa yang menyepakati bahwa terdapat berbagai aspek yang perlu dikembangkan pada anak TK yaitu : bahasa, kognitif, psikomotorik, emosi, moral, sosial dan kepribadian (Yudha & Rudiyanti, 2005 : 3). Selaras dengan hasil konferensi Jenewa, Paud Anak Ceria Berbudaya Lingkungan mengungkapkan bahwa "Perkembangan anak usia TK yang terentang antara usia empat sampai dengan enam tahun merupakan bagian dari perkembangan manusia secara keseluruhan. Perkembangan pada usia ini mencakup perkembangan fisik dan motorik, kognitif, sosial emosional, serta bahasa".
Perkembangan tersebut berlangsung sangat cepat dan akan berpengaruh besar terhadap perkembangan selanjutnya, juga merupakan usia kritis sekaligus strategis dalam pendidikan yang akan mewarnai proses serta hasil pendidikan pada usia selanjutnya.
Salah satu aspek perkembangan anak yang dapat dikembangkan sebagai bekal kehidupan sekarang dan masa yang akan datang adalah aspek perkembangan sosial karena manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bias hidup tanpa adanya interaksi dengan manusia lainnya. Plato (Nugraha, 2004 : 113) "Secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial (zoon politicon)". Pendapat serupa diungkapkan Syamsuddin (1995 : 105) bahwa "sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk sosial", sedangkan menurut Loree (1970 : 86) "sosialisasi merupakan suatu proses di mana individu (terutama) anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya) serta belajar bergaul dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya".
Anak adalah mahkluk sosial dan memiliki potensi sosial yang dibawanya sejak lahir. Potensi sosial yang sudah dimiliki anak, dengan mulai menunjukkan keinginannya untuk berhubungan dengan orang lain. Interaksi sosial pada anak pertama kali terjadi dalam lingkungan keluga terutama orang tua dan saudara, .pada tahap perkembangan usianya anak akan berinteraksi dengan lingkungan baru seperti berinteraksi dengan lingkungan sosial sekolah. Sehingga sekolah sebagai lembaga pendidikan dapat dijadikan media untuk memfasilitasi perkembangan sosial anak, yang dapat dilihat secara langsung melalui suatu proses pembelajaran serta memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pembentukan perkembangan manusia dalam setiap tahap tugas perkembangannya.
Peran sekolah dalam pengembangan keterampilan sosial anak adakalanya tidak sesuai dengan yang diharapkan, karena fakta di lapangan banyak ditemukan siswa Taman Kanak-kanak yang kurang memiliki keterampilan sosial. Ini ditunjukkan dengan munculnya perasaan malu yang acap kali menjadi penghambat bagi anak untuk bergaul atau berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Anak menjadi canggung dan sulit membangun komunikasi di tengah teman-teman, anak merasa asing dan terkucil dari lingkungan, sehingga anak cenderung menarik diri dari lingkungannya (Surya, 2006 : 34).
Kazdin (Hanabi, 2009) menyebutkan bahwa dari seluruh anak-anak yang dirujuk karena mengalami gangguan klinis, sepertiga sampai setengah di antaranya mengalami gangguan perilaku sosial. Fenomena seperti ini umum terjadi di banyak Negara. Misalnya, penelitian epidemiologi di beberapa Negara seperti di Kanada, Queensland, dan Selandia Baru menunjukkan sekitar 5-7% anak-anak mengalami gangguan perilaku diungkapkan oleh Grainger (Desvi Yanti : 2005). Sementara itu di Indonesia, pada tahun 2000, BAPAS (Balai Permasyarakatan) mencatat bahwa di Lampung saja setiap bulan terjadi 35 kasus anak yang berkonflik dengan hukum, yang berarti satu tahunnya berjumlah 420 kasus. Kejahatan yang mereka lakukan bermacam-macam, mulai dari pencurian, pemerasan, pengeroyokan sampai penggunaan obat-obatan, pemerkosaan, serta pembunuhan (Lembaga Advokasi Anak-Damar Lampung, 2002). Kasus tersebut menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia banyak mengalami permasalahan dalam hal keterampilan sosial, pengembangan keterampilan sosial pada anak masih kurang sehingga sekolah sebagai lembaga pendidikan formal khususnya Taman Kanak-kanak memiliki tanggung jawab untuk dapat mengembangkan keterampilan sosial pada anak usia dini.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Crick, Dodge, dan Lohman (Hanabi, 2009) dapat disimpulkan bahwa anak yang memiliki keterampilan sosial rendah menunjukkan prasangka permusuhan, saat berhadapan dengan stimulus sosial yang ambigu mereka sering mengartikannya sebagai tanda permusuhan sehingga menghadapinya dengan tindakan agresif. Mereka juga kurang mampu mengontrol emosi, sulit memahami perasaan dan keinginan orang lain, dan kurang terampil dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial.
Permasalahan yang berkaitan dengan keteramplan sosial pada anak TK pun kerapkali muncul, seperti : maladjustment, egois, agresif dan perilaku anti sosial, negativisme, pertengkaran, mengejek dan menggertak, perilaku sok kuasa, prasangka, serta antagonisme jenis kelamin. Padahal seyogyanya anak usia TK memiliki kesempatan luas untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Sekolah serta rumah tempat tinggal menjadi tempat bagi anak untuk dapat melatih kepekaan sosial anak. Yusuf (2001 : 122) bahwa perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anak bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari atau proses ini disebut dengan sosialisasi.
Kegagalan anak dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangannya yang dalam hal ini adalah tugas untuk bersosialisasi, akan mengakibatkan pola perilaku yang tidak matang sehingga sulit diterima oleh kelompok. Kurniati (2006 : 38) menjelaskan bahwa "...tidak semua anak memiliki keterampilan sosial sesuai dengan tuntutan kelompoknya". Jika terdapat anggota kelompok yang menunjukkan pola-pola perilaku yang tidak diharapkan oleh anggota kelompok maka anak tersebut tidak akan disukai anggota kelompok lainnya sehingga anak akan dikucilkan dan dijauhi kelompoknya. Sejalan dengan pernyataan Hurlock (1978 : 307) "Efek penolakan dan pengabaian yang dilakukan oleh kelompok sosial terhadap anak sampai tingkat tertentu, akan bergantung pada sejauh mana makna penting persetujuan dan penerimaan sosial bagi mereka".
Semua permasalahan di atas menuntut para pendidik untuk dapat membantu peserta didik khususnya anak usia Taman Kanak-kanak mengembangkan keterampilan sosial yang dimilikinya, dengan berbagai metode pembelajaran sehingga dapat membentuk individu yang berkualitas sebagai bekal bagi jenjang pendidikan selanjutnya.
Ada berbagai metode pembelajaran yang diberikan bagi proses pembelajaran anak usia Taman Kanak-kanak, namun metode yang dirasakan tepat untuk mengatasi masalah keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak di sekolah adalah metode bermain. Hal ini sesuai dengan yang di ungkapkan Moeslichatoen (2004 : 33) bahwa :
Melalui bermain anak dapat mengembangkan kemampuan sosialnya, seperti membina hubungan dengan anak lain, bertingkah laku sesuai dengan tuntutan masyarakat, menyesuaikan diri dengan teman sebaya, dapat memahami tingkah lakunya sendiri, dan paham bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya.
Salah satu teknik dalam metode bermain adalah permainan, permainan merupakan teknik yang sesuai untuk dapat mengembangkan keterampilan sosial. Karena teknik permainan menciptakan suatu suasana santai dan menyenangkan. Suasana yang santai dan menyenangkan membuat seseorang dapat belajar lebih baik. Penelitian kurniati (2006) membuktikan penggunaan permainan dalam bimbingan dapat mengembangkan keterampilan sosial. Menurut Cremer & Siregar (1993 : 17) tingkah laku seseorang dalam permainan sama dengan tigkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari, misalnya mengenai cara untuk mengambil keputusan, memecahkan masalah, merencanakan sesuatu dan berkomunikasi. Sehingga dengan permainan yang diberikan, pendidik dapat mengetahui tingkah laku siswa atau peserta didik yang sebenarnya, yang dapat membantu memudahkan proses pengembangan keterampilan sosial.
Pendapat-pendapat lain tentang permainan yang dikemukakan oleh Elly Fajarwati (www.nasimaedu.com) antara lain : Santrock (1995) mengemukakan "Permainan adalah suatu kegiatan yang menyenangkan". Bagi Freud dan Erikson, "Permainan adalah suatu bentuk penyesuaian diri manusia yang sangat berguna untuk menolong anak menguasai kecemasan dan konflik". Kak Seto (2004) menyatakan "Permainan bersifat spontan dan sukarela, tidak ada unsur keterpaksaan dan bebas dipilih oleh anak". Piaget (1962) melihat "Permainan sebagai suatu media yang dapat meningkatkan perkembangan kognitif anak-anak". Vygotsky (1962) juga meyakini "Permainan adalah suatu seting yang sangat bagus bagi perkembangan kognitif. Daniel Berlyne (1960) menjelaskan "Permainan sebagai sesuatu yang mengasyikan dan menyenangkan karena permainan itu memuaskan dorongan penjelajahan kita".
Pendapat-pendapat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa permainan merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan, dilakukan tanpa paksaan, bentuk penyesuaian diri, sebagai media meningkatkan perkembangan kognitif dan dapat memuaskan dorongan untuk menjelajah. Terdapat banyak jenis permainan yang dapat digunakan dalam dinamika kelompok. Secara umum kita dapat mengklasifikasikannya ke dalam dua jenis yaitu permainan modern dan permainan tradisional. Permainan modern memerlukan biaya tinggi dan rentan terhadap masalah telah mengarahkan pada suatu pemikiran untuk lebih memperkenalkan siswa pada jenis permainan tradisional. Permainan tradisional memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan permainan modern, permainan tradisional yang diberikan pada anak memberikan banyak nilai-nilai pendidikan diantaranya dari gerakan yang dilakukan, syair lagu yang dinyanyikan maupun tembangnya. Selain itu permainan tradisional juga dapat memberikan rasa senang sebagai stimulus untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa taman kanak-kanak. Kelebihan dari permainan tradisional yaitu mengutamakan kelompok dan kebersamaan, sederhana, memiliki nilai-nilai perilaku filosofi, dan nilai-nilai sosial. Selain itu, permainan tradisional tidak dapat dipisahkan dengan fungsi psikologis perkembangan anak, tidak hanya sekedar memberi perasaan senang, juga mengembangkan fungsi kognitif, psikomotorik, sosial dan aspek emosional yang ditonjolkan seperti meningkatkan afiliasi dengan teman sebaya, kontak sosial, konservasi dan keterampilan sosial.
Aspek kompetensi sosial yang dapat dikembangkan melalui permainan tradisional meliputi pemecahan masalah, pengendalian diri, empati dan kerja sama. Seperti yang diungkapkan dalam (kurniati, 2006 : 47) bahwa "Permainan tradisional yang sarat dengan nilai-nilai budaya dapat membantu mengembangkan keterampilan sosial, dan dinamika kelompok dapat diarahkan pada pembentukan perilaku untuk mengatasi masalah penyesuaian sosial".
Berdasarkan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, penulis mencoba untuk melakukan penelitian untuk mengetahui lebih lanjut mengenai keefektifan penerapan metode permainan tradisional dalam meningkatkan keterampilan sosial anak TK. Permainan tradisional yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah boy-boyan yang berasal dari daerah Jawa Barat. Oleh karena itu penelitian ini berjudul "Meningkatkan Keterampilan Sosial Anak Taman Kanak-kanak Melalui Permainan Tradisional".

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Anak usia TK hendaknya memiliki kesempatan luas untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Menurut Syamsu Yusuf (2001 : 122), perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anak bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari atau proses ini disebut dengan sosialisasi. Sueann Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif. Semakin banyak kesempatan yang diberikan pada anak untuk bersosialisasi maka akan semakin banyak pula keterampilan-keterampilan yang didapat dan dikuasai oleh anak. Hasil yang diperoleh dari proses sosialisasi tersebut merupakan keterampilan sosial yang mempunyai kedudukan strategis bagi anak untuk dapat membina hubungan antarpribadi dalam berbagai lingkungan dan kelompok orang (Moeslichatoen, 2004 : 21).
Ketika proses sosialisasi berlangsung, tidak semua anak mampu menunjukkan keterampilan sosialnya dengan baik dan ini memungkinkan anak tidak dapat diterima oleh kelompok sosialnya. Adanya anak yang tidak diterima oleh kelompok sosialnya ini berarti keterampilan sosial anak yang dimiliki harus ditingkatkan.
Penyediaan lingkungan yang kondusif untuk belajar sambil bermain dan peran guru sebagai fasilitator disekolah sangat membantu anak untuk meningkatkan keterampilan sosial anak. Pemilihan metode pembelajaran yang tepat dan cocok dengan karakteristik dan kebutuhan anak adalah hal yang penting untuk meningkatkan keterampilan sosial anak.
Beragam teknik dapat digunakan dalam dinamika kelompok, salah satunya adalah melalui permainan. Permainan telah terbukti dapat mengembangkan sejumlah kemampuan fisik maupun psikis. Menurut Schafer & Reid (2001 : 105) permainan tidak hanya membuat seseorang senang tetapi dapat juga mengembangkan pemahaman dan penerimaan sosial. Berikut definisi para ahli mengenai permainan, yaitu :
1. John W. Santrock (1995 : 272) mengartikan permainan (Play) sebagai kegiatan yang menyenangkan yang dilaksanakan untuk kepentingan kegiatan itu sendiri .
2. Dockett & Fleer (Kurniati, 2006 : 48) mendefmisikan permainan sebagai aktivitas bermain yang di dalamnya telah memiliki aturan yang jelas dan disepakati bersama.
Permainan yang digunakan dalam penelitian adalah permainan tradisional. Cooney (Kurniati : 2006 : 49) menjelaskan Traditional play forms are those activities handed down from one generation to the next and conti nuosly followed by most people. Artinya permainan tradisional terbentuk dari aktivitas yang diturunkan terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya oleh banyak orang.
Jenis permainan tradisional yang digunakan dalam penelitian ini adalah permainan tradisional Jawa Barat. Menurut Kurniati (2006 : 48) permainan tradisional Jawa Barat merupakan suatu aktivitas bermain (kaulinan Barudak) yang tumbuh berkembang di Jawa Barat, yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan tata nilai kehidupan masyarakat sunda dan diajarkan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Berdasarkan anggapan bahwa keterampilan sosial anak TK itu penting untuk dimiliki dan ditingkatkan melalui penerapan metode bermain dengan teknik permainan tradisional maka penelitian ini difokuskan untuk mengetahui apakah keterampilan sosial anak TK dapat meningkat setelah diterapkan metode bermain dengan permainan tradisional boy-boyan, bagaimana proses pelaksanaannya dan bagaimana peran guru dalam menerapkan metode permainan tradisional tersebut. Atas dasar perumusan masalah maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana karakteristik keterampilan sosial yang dimiliki anak ?
2. Bagaimana upaya peningkatan keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak melalui permainan tradisional ?
3. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh guru dalam melakukan kegiatan teknik permainan tradisional untuk meningkatkan keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian yang dilaksanakan adalah untuk mengetahui gambaran tentang penerapan teknik permainan tradisional dalam meningkatkan keterampilan sosial pada anak TK.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1. Memahami karakteristik keterampilan sosial anak.
2. Memahami upaya peningkatan keterampilan sosial melalui permainan tradisional.
3. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh guru dalam melakukan teknik permainan tradisional untuk meningkatkan keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak.

D. Manfaat Penelitian
Berpijak pada latar belakang penelitian, hasilnya diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca dan para pendidik untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dibidang pendidikan anak usia taman kanak-kanak, lebih spesifik manfaat yang diharapkan diantaranya sebagai berikut :
a. Bagi Guru
1. Menambah wawasan guru mengenai metode pembelajaran dengan teknik permainan tradisional yang dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan sosial anak
2. Meningkatkan pemahaman guru tentang pentingnya pengembangan keterampilan sosial anak melalui penerapan teknik permainan tradisional
3. Memberikan pengalaman bagi guru dalam merancang metode bermain dengan menggunakan permainan tradisional
b. Bagi Lembaga Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada lembaga penyelenggara pendidikan pada umumnya dan untuk sekolah Taman Kanak-Kanak pada khususnya dalam rangka meningkatkan keterampilan sosil anak.
c. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan tentang metode bermain dan penerapan metode bermain dengan permainan tradisional untuk meningkatkan keterampilan sosial anak.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti efektifitas peningkatan keterampilan sosial anak TK melalui permainan tradisional.
SKRIPSI PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK USIA TK MELALUI METODE BERNYANYI HURUF DAN KATA

SKRIPSI PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK USIA TK MELALUI METODE BERNYANYI HURUF DAN KATA


(KODE : PG-PAUD-0017) : SKRIPSI PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK USIA TK MELALUI METODE BERNYANYI HURUF DAN KATA




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia, khususnya Taman Kanak-kanak telah diselenggarakan sejak lama, yaitu sejak awal kemerdekaan Indonesia. Pada jenjang ini, anak usia empat - lima atau enam tahun mendapat tempat untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya dalam berbagai bentuk kegiatan belajar sambil bermain. Bentuk kegiatan ini diwujudkan dalam berbagai ekspresi diri secara kreatif (Jamaris, 2005 : 3). Masa usia Taman Kanak-kanak (TK) mengalami perkembangan yang sangat pesat, sehingga sering disebut masa keemasan (Golden Age) dalam perkembangan kehidupan anak.
Masa-masa emas inilah merupakan masa pendidikan bagi anak, sebagaimana tertulis dalam pasal 1 Butir 14 Undang -Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa :
Pendidikan Anak Usia Dini merupakan suatu upaya yang ditujukan kepada anak sejak lahir hingga usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan untuk memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut.
Solehuddin (1997 : 2-3), memandang bahwa pentingnya pendidikan prasekolah tidak perlu diragukan lagi. Baik para ahli maupun masyarakat umum lazimnya sudah mengakui akan betapa esensialnya pendidikan bagi anak usia prasekolah. Pedulinya para ahli pendidikan dan masyarakat terhadap pendidikan prasekolah adalah sesuatu yang berdasar. Berikut ini merupakan alasan utama yang mendukung kepedulian mereka terhadap pentingnya pendidikan prasekolah, yaitu :
1. Dilihat dari kedudukan usia prasekolah bagi perkembangan anak selanjutnya. Sejak lama banyak ahli yang memandang usia prasekolah atau balita sebagai fase yang sangat fundamental bagi perkembangan individu. Freud (Santrock & Yussen, 1992) misalnya, memandang usia balita sebagai masa terbentuknya kepribadian dasar individu. Santrock & Yussen (1992) juga menganggap usia prasekolah sebagai masa yang penuh dengan kejadian-kejadian penting dan unik (a highly eventful and unique period of life) yang meletakkan dasar bagi kehidupan seseorang di masa dewasa.
2. Mendukung pandangan para ahli tersebut, temuan Sperry, Hubel, dan Wiesel (Witdarmono, 1996) menjelaskan bahwa perkembangan potensi untuk masing-masing aspek memiliki keterbatasan waktu yang sebagian besar diantaranya terjadi pada masa usia dini. Batas kesempatan untuk perkembangan bahasa sampai sepuluh tahun, untuk matematika adalah sampai empat tahun, dan untuk musik 3-10 tahun.
3. Lebih lanjut, penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa konstruksi jaringan otak ternyata hanya akan hidup bila diprogramkan melalui berbagai rangsangan. Tanpa dirangsang atau dipergunakan, otak manusia tidak akan berkembang. Karena pertumbuhan otak memiliki keterbatasan waktu, maka rangsangan otak di usia dini ini menjadi sangat penting. Penundaan yang terjadi akan membuat otak itu tetap tertutup sehingga tidak dapat menerima program-program baru.
Ebbeck dalam (Masitoh, 2004 : 2.11) mengemukakan bahwa :
Anak mulai berkembang pesat pada usia 3-6 tahun, dimana pada usia tersebut anak mengalami masa pertumbuhan yang paling hebat sekaligus paling sibuk, memiliki keterampilan dan kemampuan walaupun belum sempurna atau disebut juga fase fundamental yang akan menentukan kehidupan anak dimasa yang akan datang.
Untuk meningkatkan kemampuan anak sesuai dengan tugas dan perkembangan anak seperti yang dikemukakan oleh Havigurst dalam (Riyanto Handoko, 2004 : IX) adalah belajar berbicara dan belajar mempersiapkan diri untuk membaca. Kemampuan-kemampuan akademik dasar di atas dapat dikembangkan dengan cara-cara yang tidak memaksa, bahkan sebaliknya dapat menyenangkan anak. Cara tersebut dapat diperoleh melalui bernyanyi, bermain dan bercerita.
Berdasarkan alasan-alasan yang telah dipaparkan, maka guru TK dan orangtua perlu mencermati aspek-aspek kepribadian yang ada dalam perkembangan anak, diantaranya aspek bahasa, aspek kecerdasan, aspek motorik, aspek sosial, dan aspek emosi (Kamtini & Tanjung, 2005). Kelima aspek tersebut dapat mempengaruhi pemikiran anak, dan ini sangat bergantung pada kemampuan setiap individu. Oleh karena itu, anak perlu mendapatkan stimulasi yang baik dan tepat untuk mengoptimalkan aspek-aspek perkembangannya.
Salah satu kegiatan yang dapat menstimulasi otak anak dengan baik adalah membaca. Membaca bukan sekedar bisa mengucapkan apa yang dibaca, tetapi juga perlu diperhatikan apakah anak mengerti apa yang dibaca. Membaca merupakan salah satu fungsi tertinggi otak manusia. Selain itu, fungsi paling penting dalam hidup dan dapat dikatakan bahwa semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Semakin muda usia anak ketika dia belajar membaca, maka semakin mudah untuk lancar membaca. Mengenal kalimat dapat mempengaruhi perkembangan bahasa dan pemikiran anak, dan ini sangat tergantung pada kemampuan setiap individu (Olivia & Ariani, 2009 : xii).
Membaca dapat dikatakan kemampuan awal yang dilewati anak dalam proses menguasai keterampilan membaca secara menyeluruh. Membaca biasa dilakukan atau didapatkan oleh anak Taman Kanak-kanak yaitu sekitar 4-6 tahun. Anak-anak yang memperoleh keterampilan membaca akan lebih mudah menyerap informasi dan pengetahuan pada waktu-waktu selanjutnya dalam kehidupan anak itu sendiri. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Durkin dalam Dhieni (2007 : 5.3) yang menyatakan bahwa "tidak ada efek negatif pada anak-anak dari membaca dini. Anak-anak yang telah diajar membaca sebelum masuk sekolah dasar pada umumnya lebih maju di sekolah dari anak-anak yang belum pernah memperoleh membaca dini."
Kemudian Steinberg dalam Dhieni (2007 : 5.3) berpendapat serupa mengenai keuntungan mengajarkan anak membaca dini, yaitu :
a. Belajar membaca akan memenuhi rasa keingintahuan anak.
b. Situasi akrab dan informal di dalam rumah atau di sekolah (TK) merupakan faktor yang kondusif bagi anak untuk belajar.
c. Anak-anak yang berusia dini pada umumnya sangat perasa dan mudah terkesan serta mudah diatur.
d. Anak-anak yang berusia dini dapat mempelajari sesuatu dengan mudah dan cepat.
Membaca dini adalah kemampuan membaca anak dalam merangkaikan huruf menjadi kata yang bermakna serta melancarkan teknik membaca pada anak-anak (Purwanto dalam Muthiani, 2007 : 7).
Ada 5 prinsip dalam pokok pengajaran membaca, yaitu :
a. Materi bacaan harus terdiri dari kata-kata, frosa dan kalimat.
b. Membaca, terutama harus didasarkan pada kemampuan memahami bahasan lisan dan bukan kemampuan berbicara.
c. Membaca bukan mengajarkan aspek-aspek bahasa atau konsep-konsep (tata bahasa).
d. Membaca tidak harus bergantung kepada pengajaran menulis.
e. Mengajarkan membaca harus menyenangkan bagi anak.
Melihat dan menimbang 5 prinsip membaca dini yang dikemukakan di atas, maka pembelajaran membaca pada anak Taman Kanak-kanak berbeda dengan pembelajaran membaca pada tingkat sekolah dasar. Pada anak Taman Kanak-kanak belum ditekankan pada aspek tata bahasa dan prosesnya melalui kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna.
Membaca pada dasarnya adalah kegiatan memaknai pesan yang tertuang dalam sebuah tulisan. Lebih jauh lagi membaca dapat dijabarkan sebagai keterampilan bahasa tulis yang bersifat represif juga mempakan kegiatan mengenali humf dan kata-kata, menghubungkannya dengan bunyi, maknanya dan menarik kesimpulan mengenai maksud bacaan (Dhieni, 2007 : 5, 5)
Membaca adalah kegiatan yang sangat penting dalam dunia pendidikan. Dengan membaca kita memperoleh berbagai macam ilmu pengetahuan. Semakin banyak ilmu yang didapat semakin luas pula wawasannya. Agar anak memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya, orangtua harus menemukan minat baca pada anak sedini mungkin. Dalam menumbuhkan minat baca anak sejak dini diperlukan metode yang baik agar hasil yang diperoleh memuaskan. Metode ini harus sesuai dengan kondisi anak, yaitu usia dan kemampuan anak.
Seperti diketahui masih banyak guru TK yang kurang memperhatikan kemampuan dan keterampilan dasar belajar membaca anak, sehingga dalam pelaksanaannya tidak optimal dengan menggunakan beberapa metode yang biasa digunakan di TK, seperti bercerita, pemberian tugas, praktek langsung, tanya jawab, deklamasi, peragaan, karyawisata, demonstrasi dan bermain peran. Rifa'at (Tantranurandi, 2008 : 24) mengungkapkan bahwa metode belajar yang digunakan seorang guru harus sesuai dengan kebutuhan belajar siswanya. Satibi (2005) pun berpendapat bahwa metode bernyanyi ialah suatu metode yang melakukan pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan gembira melalui ungkapan kata dan nada.
Mengacu pada beberapa metode yang telah diuraikan di atas, salah satu metode yang sangat erat kaitannya dengan anak yaitu metode bernyanyi. Ruswandi (2004) berpendapat bahwa bernyanyi bagi anak mempakan kegiatan yang menggunakan instmmen suara yang dapat menambah wawasannya mengenai hal-hal yang belum ia ketahui. Anak-anak akan banyak memperoleh kata-kata baru sehingga dapat memperkaya perbendaharaan kata mereka dan lebih terampil dalam menggunakannya.
Anak usia TK pada umumnya senang bernyanyi atau diajak bernyanyi, bahkan kegiatan awal anak masuk TK pun banyak dilakukan menyanyi bersama-sama, maka akan sangat tepat bila dalam mengembangkan kemampuan membaca dini anak menggunakan metode bernyanyi huruf dan kata.
Berpijak dari uraian tadi, seyogyanya mengajarkan nyanyian pada anak bukan sekedar menambah perbendaharaan lagu, lebih dari itu membantu anak untuk mengembangkan bahasanya, meletakkan dasar untuk perkembangan anak selanjutnya khusunya pada kemampuan membaca dini. Dengan demikian, memilih nyanyian yang tepat dan bermakna bagi anak adalah sangat penting.
Sebagaimana Masitoh (2004), mengatakan bahwa dengan bernyanyi akan menambah perbendaharaan kata anak melalui kata-kata dari nyanyian anak. Suhartono (2005), mengatakan :
Untuk mengembangkan bahasa anak dapat diawali dengan melakukan pengenalan bunyi-bunyi bahasa, mulai dari bunyi bahasa yang mudah diucapkan dilanjutkan ke bunyi bahasa yang sulit. Pengenalan dapat dilakukan secara bertahap dari peniruan bunyi vokal, dilanjutkan dengan peniruan bunyi konsonan.
Beberapa kemampuan-kemampuan mendasar yang dapat ditingkatkan melalui nyanyian/musik ialah kemampuan mendengar, kemampuan meragakan dan kemampuan beraktifitas. Kemampuan mendengar tumbuh melalui ungkapan pikiran atau pesan nyanyian melalui nada. Kemampuan meragakan berkembang melalui kegiatan bernyanyi dan bermain musik. Kemampuan kreatif muncul melalui ekspresi nyanyian dengan gerak, permainan musik yang sifatnya kreatif.
Melihat dari fenomena yang terjadi di lapangan khususnya di Kelompok A TK X, proses pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan membaca anak kurang variatif dan menyenangkan sehingga anak terlihat kurang merespon, karena dalam meningkatkan kemampuan membaca anak lebih menggunakan metode membaca langsung. Kondisi seperti ini dirasakan kurang menyenangkan, karena anak usia TK pada umumnya senang bernyanyi dan diajak bernyanyi.
Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian lebih lanjut mengenai peningkatan kemampuan membaca dini anak usia Taman Kanak-kanak melalui metode bernyanyi huruf dan kata. Untuk itu dalam penelitian ini penulis mengajukan judul "Peningkatan Kemampuan Membaca Dini Anak Usia Taman Kanak-Kanak Melalui Bernyanyi Metode Huruf dan Kata ."

B. Rumusan Masalah
Permasalahan utama dalam penelitian ini difokuskan pada pembahasan "Apakah metode bernyanyi huruf dan kata dapat meningkatkan kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X ?". Permasalahan tersebut diuraikan ke dalam bentuk rincian pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X sebelum menggunakan metode bernyanyi huruf dan kata ?
2. Bagaimana kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X setelah menggunakan metode bernyanyi huruf dan kata ?
3. Apakah metode bernyanyi huruf dan kata dapat meningkatkan kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X ?".

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai Peningkatan kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X melalui metode bernyanyi huruf dan kata. Adapun secara lebih khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai Peningkatan kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X melalui metode bernyanyi huruf dan kata..
2. Tujuan Khusus
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X sebelum menggunakan metode bernyanyi huruf dan kata.
b. Untuk mengetahui kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X setelah menggunakan metode bernyanyi huruf dan kata.
c. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan membaca dini anak Kelompok A di TK X melalui metode bernyanyi huruf dan kata.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada berbagai pihak, diantaranya :
1. Manfaat Teoretis
Bagi bidang keilmuan pendidikan anak usia dini, dapat memberikan sumbangan ilmiah untuk meningkatkan kemampuan berbahasa terutama dalam kemampuan membaca dini anak melalui penggunaan metode bernyanyi huruf dan kata.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini memberikan pengalaman dan wawasan pribadi dalam mengembangkan program pengembangan bahasa khususnya kemampuan membaca dini anak usia Taman Kanak-kanak melalui penggunaan metode bernyanyi huruf dan kata.
b. Bagi orang tua
Hasil temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para orangtua bahwa menyanyi bisa digunakan untuk meningkatkan kemampuan membaca dini anak.
c. Bagi guru dan pihak sekolah
Para guru dan pihak sekolah dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk mengoptimalkan kegiatan menyanyi dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca dini anak.
SKRIPSI PENGENALAN MINAT MEMBACA PERMULAAN PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DENGAN MENGGUNAKAN GAMBAR

SKRIPSI PENGENALAN MINAT MEMBACA PERMULAAN PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DENGAN MENGGUNAKAN GAMBAR


(KODE : PG-PAUD-0016) : SKRIPSI PENGENALAN MINAT MEMBACA PERMULAAN PADA ANAK USIA PRA SEKOLAH DENGAN MENGGUNAKAN GAMBAR




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dunia modern ini tidak dapat dipisahkan dari dunia perbukuan. Peradaban manusia modern identik dengan peradaban buku, melalui buku kebudayaan manusia direkam, dilestarikan dan diteruskan ke generasi mendatang. Dunia kita memang benar adalah dunia buku.
Hampir semua orang yang melek huruf memerlukan buku. Sebagian orang memerlukan buku untuk memperlancar daya bacanya. Kaum terpelajar lainnya memerlukan buku, majalah dan koran-koran untuk menambah ilmu dan pengetahuan umumnya.
Minat baca berbanding lurus dengan kemajuan suatu bangsa. Bangsa yang besar minat bacanya pastilah bangsa yang maju, mereka akan membaca di setiap kesempatan contohnya terlihat tidak hanya dalam perpustakaan umum dan pribadi tetapi juga di stasiun, kereta dan dalam perjalananpun mereka dapat membaca.
Apa sebenarnya yang diambil dari buku ? Jawabannya semua hal ada di dalam buku yaitu ilmu teknologi, kebudayaan, adat istiadat, nilai, sejarah, politik dan lain-lain. Siapa yang maju, pintar atau berlmu harus banyak membaca.
Membaca adalah gudang ilmu, ilmu yang tersimpan dalam buku harus digali dan dicari melalui kegiatan membaca. Keterampilan membaca menentukan hasil penggalian ilmu itu karena dapat kita katakan keterampilan membaca sangat dibutuhkan dalam dunia modern seperti sekarang ini, sebagaimana dikatakan dalam Tarigan dalam bukunya yang berjudul Membaca Ekspresif (1987) bahwa kemampuan membaca dengan baik merupakan prestasi seseorang yang paling berharga. Dunia kita merupakan dunia baca (Bond, Pinker dan Wasson, 1979 : 3). Semakin banyak kita membaca semakin banyak informasi yang kita peroleh dan banyak ilmu pengetahuan yang kita miliki.
Di era globalisasi ini kemajuan IPTEK sudah semakin canggih, setiap orang mulai merasakan kecanggihan dan kenyamanan menggunakan berbagai macam teknologi itu, semakin meluasnya pemakaian media elektronik seperti radio, TV, perekam (tape recorder), komputer dan internet membuat orang lebih menyukai memperoleh informasi berita dan pengetahuan melalui media elektronik tersebut terutama televisi, orang lebih tertarik untuk menonton langsung atau mendengarkan cerita dari orang lain daripada harus membacanya sendiri, mereka beranggapan bahwa hal itu tidak praktis dan menyenangkan daripada haarus membaca buku.
Begitu pula anak, anak adalah individu yang unik mereka memiliki kemampuan dasar yang sangat menakjubkan untuk dikembangkan. Kemampuan dasar akan berkembang menjadi kemampuan potensial dan kemampuan riil. Apabila keunikan dan keberdayaan ini dihargai oleh orang-orang disekitarnya dan diberikan pengasuhan yang tepat. Pengasuhan yang dimaksud mencakup pemberian stimulasi edukatif (perangsangan pendidikan) yang sesuai dengan tahap perkembangan anak. Pada dasarnya perkembangan yang mampu memberikan kesiapan kepada anak untuk mempersiapkan diri dalam menyongsong usia berikutnya.
Setiap orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama baik dewasa maupun anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 yaitu "Tiap- tiap warga negara berhak mendapat pengajaran". Hal ini sesuai dengan UU RI No. 20 Tahun 2003 Pasal 28 yang menyatakan termasuk anak-anak berhak mendapat pendidikan baik yang diselenggarakan di jalur formal, non formal dan informal.
Pada dasarnya usia 3-5 tahun adalah masa kritis dalam kehidupan seorang anak. Masa yang sangat menentukan perkembanngan anak selanjutnya karena masa ini adalah masa keemasan bagi anak dalam belajar, masa peka untuk meletakkan dasar-dasar perkembangan seluruh potensi anak harus dimulai agar pertumbuhan dan perkembangannya tercapai secara optimal.
Diantara kemampuan-kemampuan anak yang harus dikembangkan salah satunya adalah menumbuhkan minat baca pada anak dimana membaca merupakan kecakapan fundamental anak yang paling penting yang akan selalu dipelajari. Membaca merupakan kesuksesan disekolah, di dunia kerja dan dalam kehidupan (Hainstock 2002 : 102). Pernyataan tersebut menunjukan bahwa tanpa latar belakang membaca yang baik, anak-anak akan mengalami kesulitan dimasa yng akan datang dan kesuksesan mereka dipertaruhkan.
Kemampuan membaca memang menduduki posisi serta peran yang sangat penting dalam konteks kehidupan umat manusia. Oleh karena itu membaca dini perlu diberikan pada anak sebagai salah satu usaha untuk menumbuhkan minat baca dan kebiasaan membaca serta menanamkan cinta buku pada anak.
Seorang anak yang berminat terhadap membaca dapat terlihat dari tindakan anak dalam melakukan aktivitas membaca. Tindakan-tindakan tersebut misalnya dengan mengunjungi tempat sumber bacaan.
Setiap anak memiliki minat baca yang berbeda-beda tergantung dari kesempatan anak tersebut untuk melakukan aktivitas membaca. Bila anak memiliki kesempatan membaca yang sangat banyak, maka anak akan memilki kesempatan yang sangat besar untuk memilih bahan bacaan yang disenanginya. Setelah anak menentukan bahan bacaan yang disenanginya maka anak akan melakukan kegiatan membaca dengan kesadaran sendiri tanpa harus dipaksakan.
Ada dua faktor yang mempengaruhi minat membaca anak yaitu faktor yang ada dalam diri anak yang meliputi usia, jenis kelamin, intelegensi, kemampuan membaca, sikap dan kebutuhan psikologi. Sedangkan faktor yang ada diluar diri anak yang meliputi ketersediaan jumlah buku-buku bacaan, jenis-jenis bukunya, status sosial ekonomi orang tua dan latar belakang etnis, pengaruh orangtua, guru dan teman sebaya.
Untuk menumbuhkan minat baca pada anak, guru dan orangtua dalam pembelajarannya menggunakan beberapa media, salah satunya dengan media gambar.Gambar merupakan alat visual yang penting dan mudah didapat sebab memberi penggambaran yang konkrit tentang masalah yang di gambarkannya. Gambar telah lama digunakan sebagai media untuk belajar dan mengajar serta dapat digunakan dengan efektif dan mudah. Gambar-gambar yang digunakan sebgai alat peraga dapat dikumpulkan dari majalah-majalah, surat kabar, kalender, buletin atau media-media informasi lainnya serta dapat juga dibuat oleh guru sendiri sebelum kegiatan belajar mengajar. Gambar-gambar yang diambil dari mass media (surat kabar, majalah, buletin) harus disesuaikan dengan tujuan dan bahan pelajaran yang hendak diajarkan pada anak.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Oemar Hamalik (1976 : 81-82) bahwa nilai gambar dalam pendidikan adalah sebagai berikut :
- Gambar bersifat konkrit
- Gambar mengatasi batas ruang dan waktu
- Gambar mengatasi kekurangan daya mampu panca indera manusia
- Gambar dapat digunakan untuk menjelaskan suatu masalah
- Gambar mudah didapat dan dibuat
- Gambar mudah digunakan baik untuk individu maupun untuk kelompok.
Dalam penulisan ini penulis memfokuskan pada penggunaan media gambar sen karena gambar sen merupakan alat visual yang mudah didapat dan besar manfaatnya untuk merangsang anak belajar.
Sulaeman dalam Kunaefi menyatakan tentang pengertian gambar seri sebagai berikut : "Gambar merupakan salah satu bentuk media gambar yang memiliki suatu urutan tertentu yang menggambarkan suatu peristiwa atau kejadian dan dapat pula berbentuk suatu cerita tersusun. Media gambar berseri sangat cocok digunakan untuk membentuk fikiran yang teratur".
Secara teoritis pembelajaran membaca memang dapat dimulai sejak anak usia prasekolah. Pada usia ini anak sudah memiliki karakteristik perkembangan bahasa yang memungkinkannya untuk diberi pelajaran membaca oleh karena itu penulis merasa tertarik untuk mengetahui bagaimana Pengenalan Minat Membaca Permulaan Pada Anak Usia Pra Sekolah Dengan Menggunakan Gambar.

B. Rumusan Masalah
Upaya meningkatkan minat membaca pada anak usia prasekolah dengan menggunakan media gambar, penulis menggunakan media ini dengan tujuan agar anak tidak jenuh dalam mengikuti pembelajaran, juga karena media ini mudah didapat dan tidak rumit dalam pembelajarannya. Oleh karena itu skripsi yang akan penulis susun berjudul "Pengenalan Minat Membaca Permulaan Pada Anak Usia Pra Sekolah Dengan Menggunakan Gambar".
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis merumuskannya sebagai berikut :
1. Apakah pengertian dari minat membaca pada anak usia prasekolah ?
2. Bagaimana gambaran minat membaca permulaan pada anak usia prasekolah saat ini dan minat membaca setelah dilakukan intervensi ?
3. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi minat membaca bagi anak usia prasekolah ?
4. Apakah penggunaan media gambar dapat menumbuhkan minat membaca pada anak usia prasekolah ?
5. Bagaimana cara menumbuhkan minat membaca pada anak usia prasekolah melalui gambar ?
6. Hambatan-hambatan apa saja yang dihadapi oleh guru dalam menumbuhkan minat membaca pada anak usia prasekolah ?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui upaya apa yang dilakukan guru dalam menumbuhkan minat membaca pada anak prasekolah.
b. Memperoleh data tentang berapa banyak anak yang berminat pada buku.
c. Strategi yang digunakan orangtua atau guru dalam menumbuhkan minat membaca pada anak usia prasekolah.
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk berbagai pihak sebagai masukan bagi lembaga terkait dalam upaya peningkatan kualitas keterampilan di masa yang akan datang sehingga dapat tercapai tujuan yang diharapkan.
b. Sebagai bahan informasi bagi peneliti lain sehingga timbul keinginan untuk meneliti lebih lanjut.
c. Sebagai pengalaman berharga dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan metodologi penelitian.
d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu dalam proses belajar mengajar di Taman Kanak-kanak.
SKRIPSI EFEKTIVITAS METODE BERCERITA DENGAN BUKU CERITA BERGAMBAR DALAM MENINGKATKAN PENGUASAAN KOSA KATA BAHASA INGGRIS UNTUK ANAK TK

SKRIPSI EFEKTIVITAS METODE BERCERITA DENGAN BUKU CERITA BERGAMBAR DALAM MENINGKATKAN PENGUASAAN KOSA KATA BAHASA INGGRIS UNTUK ANAK TK


(KODE : PG-PAUD-0015) : SKRIPSI EFEKTIVITAS METODE BERCERITA DENGAN BUKU CERITA BERGAMBAR DALAM MENINGKATKAN PENGUASAAN KOSA KATA BAHASA INGGRIS UNTUK ANAK TK




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Bahasa merupakan kebutuhan yang diperlukan oleh manusia sebagai sarana berkomunikasi dengan orang lain. Mustakim (2005 : 123) "Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi, hal ini dimaksudkan bahwa semua pernyataan pikiran, perasaan, dan kehendak seseorang kepada orang lain menggunakan bahasa".
Kemampuan berbahasa menjadi sebuah kebutuhan bagi anak TK, mereka dapat berkomunikasi dengan orang lain lewat bahasa yang ia pelajari dari proses mendengar dan melihat sehingga mereka dapat mengenal bahasa dan mengucapkan bahasa tersebut.
Menurut Depdiknas (2003 : 105) fungsi pengembangan bahasa bagi anak TK adalah : (a) Sebagai alat untuk berkomunikasi dengan lingkungan. (b) Sebagai alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak. (c) Sebagai alat untuk mengembangkan ekspresi anak. (d) Sebagai alat untuk menyatakan perasaan dan buah pikiran kepada orang lain.
Terkait bahwa bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dengan lingkungan, maka perkembangan bahasa sejalan dengan bagaimana lingkungan memberikan pengetahuan tentang berbagai bahasa yang mereka temui setiap hari. Melalui kegiatan menonton TV, bermain dan ketika mengikuti proses pembelajaran di sekolah mereka mengenal ada bermacam-macam bahasa, seperti bahasa daerah, bahasa Indonesia bahkan bahasa asing.
Kemampuan anak untuk mengetahui dan menguasai bahasa asing menjadi sebuah kebutuhan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat sebagian besar bersumber dari negara-negara asing, oleh karenanya pembelajaran bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris telah diperkenalkan kepada anak dari SD. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan agar bahasa Inggris diperkenalkan sejak dari sekolah dasar. Hal ini ditetapkan di dalam lampiran I Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 22 tahun 2006, tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar bahasa Ingris untuk SD.
Pada kenyataannya bahasa Inggris tidak hanya diberikan kepada anak SD tetapi juga di Taman Kanak-Kanak, karena didorong oleh keyakinan bahwa anak usia TK merupakan usia emas, saat yang tepat untuk anak-anak menyerap berbagai informasi dan mempelajari berbagai kemampuan.
"Penelitian yang dilakukan oleh sekelompok ahli neurosains di Eropa menyatakan bahwa proses mempelajari bahasa asing mengubah anatomi otak. "Grey area" yaitu bagian otak yang mengolah informasi, dalam proses ini berkembang seperti layaknya pembentukan otot dalam sebuah latihan badan, dengan kata lain, otak diajak "berolahraga" dengan belajar bahasa asing". Dydy (2005 : 1).
Hubungan antara belajar bahasa asing dengan perkembangan otak merupakan topik yang banyak diteliti oleh para ahli neurosains. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan berbagai pengaruh mempelajari bahasa asing bagi perkembangan otak, diantaranya adalah sebagai berikut :
(1)" Anak-anak yang mengikuti program bahasa asing cenderung menunjukkan perkembangan yang lebih pesat dalam proses kognitif, kreativitas dan "divergent thingking" dibandingkan anak-anak yang monolingual. (2) Beberapa study menunjukkan bahwa mereka yang menguasai lebih dari satu bahasa memiliki skor lebih baik dalam tes kemampuan verbal dan nonverbal. (3) Studi di Canada, India dan Hongkong menyatakan bahwa penutur bilingual lebih mampu menghadapi gangguan perhatian (distraction)'' Dydy (2005 : 1)
Pembelajaran bahasa Inggris tidak hanya menunjukkan perkembangan yang lebih pesat dalam proses kognitif anak saja namun bagi perkembangan bahasa anak itu sendiri. Menurut Musfiroh (2008 : 7) "Perkembangan bahasa anak meliputi perkembangan fonologis yakni mengenal dan memproduksi suara". Dengan mempelajari bahasa Inggris anak mengenal bahasa, juga memproduksi suara, yakni dalam kegiatan meniru dalam pengucapan kata-kata bahasa Inggris.
Standar kompetensi lulusan anak TK dalam kurikulum 2004 adalah : Membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi baik psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar. Pembelajaran di TK merupakan pengenalan anak dengan dunia luar, anak berkenalan dengan lingkungan di luar orangtua dan keluarga di rumah. Oleh karenanya guru membantu anak dengan mengenalkan segala hal yang ada di lingkungannya untuk siap memasuki pendidikan dasar, salah satunya dengan pengenalan bahasa Inggris. Pembelajaran bahasa Inggris di TK diperkenalkan kepada anak sebagai persiapan untuk memasuki pendidikan dasar.
Bahasa Inggris memiliki perbedaan dengan bahasa Indonesia. Oleh karenanya pemilihan dan penggunaan metode merupakan salah satu komponen penting yang harus diperhatikan dalam kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di TK.
Metode yang dibutuhkan adalah metode yang dapat memberikan rasa senang dan pengalaman langsung sehingga anak tidak merasa bosan, bingung, dan terbebani dengan pembelajaran tersebut. Salah satu metode yang dapat menstimulus anak dalam pengenalan bahasa Inggris di TK adalah metode bercerita. Menurut Moeslichatoen (2004 : 24) "metode - metode yang sesuai dengan karakteristik anak usia TK yaitu bermain, karyawisata, bercakap-cakap, bercerita, ...".
Bercerita merupakan salah satu kegiatan yang anak senangi. Ketika bercerita anak menyimak dan belajar bagaimana hubungan kata-kata yang didengar dalam peristiwa pada cerita tersebut. Dengan kata lain anak memperoleh kosakata langsung dengan makna kata yang terkandung didalamnya. Menurut Musfiroh (2008 : 86) :
"Mendengar cerita sama artinya dengan melakukan serangkaian kegiatan fonologis, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Selama menyimak cerita, anak belajar bagaimana bunyi-bunyi yang bermakna diujarkan dengan benar, bagaimana kata-kata disusun secara logis dan mudah dipahami, bagaimana konteks dan koteks berfungsi dalam makna".
Bercerita merupakan kegiatan menyampaikan amanat atau pesan melalui sejumlah kata-kata, dengan cara yang menarik melalui media atau nonmedia oleh pencerita kepada pendengar sehingga pesan yang dimaksudkan dapat dimengerti. Selain itu dari kegiatan bercerita si pencerita mengeluarkan banyak kosakata sehingga anak-anak memperoleh kata kata baru dari kegiatan menyimak cerita tersebut.
Perkembangan kosakata merupakan salah satu dari perkembangan bahasa yang pada usia anak-anak inilah perkembangan tersebut mengalami peningkatan.
Menurut Hurlock (1997 : 113) "anak pada usia 2 tahun telah mengenali sekitar 200 kata dan meningkat sekitar 2200 kata pada usia 5 tahun".
Dalam bercerita perkembangan kosakata anak dipengaruhi oleh lingkungan atau suasana yang dibangun dalam cerita tersebut. Hal ini didukung oleh pendapat Musfiroh (2008 : 49)
"Pertumbuhan kosakata anak dipengaruhi oleh pajanan lingkungan (exposure) yang dalam psikoliguistik dikenal dengan istilah "prinsip here and now", semakin banyak pajanan kata, semakin banyak kemungkinana anak mengakuisisinya, tuturan yang dihasilkan anak pun semakin kaya".
Lebih lanjut Musfiroh (2008 : 50) berpendapat bahwa "Bercerita dipandang sebagai salah satu metode pengembangan kosakata anak yang tepat untuk diterapkan di Taman Kanak-Kanak".
Hal tersebut didukung oleh Bunanta (2005 : 2) "Dalam dunia pengajaran dan bahasa, teknik mendongeng atau bercerita, terutama dalam bahasa Inggris ini merupakan salah satu cara untuk melatih kepercayaan diri dan lafal dalam penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya".
Bercerita dapat disampaikan kepada anak-anak melalui media atau non media. Salah satu bercerita dengan media adalah menggunakan buku cerita bergambar, dengan adanya media akan mempermudah materi sampai kepada anak karena proses pengajaran tidak membosankan hal ini dukung oleh Nana Sudjana (2007 : 2) Mengapa media pengajaran dapat mempertinggi proses belajar siswa.
(1) Pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar. (2) Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh para siswa, dan memungkinkan siswa menguasai tujuan pengajaran lebih baik. (3) Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi bila guru mengajar untuk setiap jam pelajaran. (4) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga aktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan dan Iain-lain.
Bercerita menggunakan buku cerita bergambar merupakan satu teknik yang dapat dilakukan guru dalam mengajarkan kata-kata baru kepada anak-anak sesuai apa yang dikemukakan oleh Nation (1990 : 51 dalam Cameron 2001 : 85) 'listed basic techniques by which teachers can explain the meaning of new words, all of which can be used in the young learner classroom : by demonstration or picture... (7)pictures from books....
Teknik dasar yang mana guru dapat menjelaskan arti dari kosakata baru, semua dapat digunakan di dalam kelas usia dini yaitu dengan mendemonstrasikan atau gambar... atau menggunakan gambar dari buku.
Menggunakan buku cerita bergambar dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk dapat mengetahui kosakata bahasa Inggris karena anak-anak dapat mendengar cerita dan melihat gambar dalam buku cerita tersebut. Menurut Musthafa (2008 : 11) :
"Children love to hear the language of storybooks. This language can enhance the oral English they have been using in the classroom. The picture and your expression help children to understand the vocabulary and the story. Children can see and hear the English they have learned come alive through storybook characters".
Anak-anak senang mendengarkan bahasa dari buku cerita. Bahasa ini dapat melatih kemampuan berbicara bahasa Inggris yang telah mereka gunakan di dalam kelas. Gambar dan ekspresimu dapat membantu anak untuk memahami kosakata dan cerita. Anak-anak dapat melihat dan mendengar bahasa Inggris yang telah mereka pelajari dengan nyata melalui karakter buku cerita".
Sebuah penelitian di Jepang oleh Sachiyo Kajikawa berhasil membuktikan bahwa bayi yang berusia sembilan bulan pun telah dapat mengingat kata-kata dari buku cerita yang dibacakan untuknya. Ia bereksperimen dengan kisah Thumbelina yang dibacakan keras-keras oleh seorang wanita (Masakata Nobuo 2002 : 1).
Berdasarkan observasi awal yang dilakukan peneliti diketahui bahwa TK X merupakan salah satu Taman Kanak-Kanak yang memberikan muatan lokal bahasa Inggris kepada anak didiknya namun wawancara dengan guru TK tersebut bahwa anak-anak kelas A belum cukup menguasai kosakata angka dan kosakata binatang bahasa Inggris dengan baik.
Sehubungan dengan hal di atas, dipandang penting mengembangkan metode bercerita untuk meningkatkan kemampuan anak dalam penguasaan kosakata bahasa Inggris. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis mengadakan penelitian yang berjudul "Efektivitas Metode Bercerita Dengan Buku Cerita Bergambar Dalam Meningkatkan Penguasaan kosa kata Bahasa Inggris untuk Anak TK"

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Bagaimana efektivitas metode bercerita dengan buku cerita bergambar dalam meningkatkan penguasaan kosa kata bahasa inggris untuk anak TK". Dengan batasan masalah penguasaan kosakata angka dan kosakata binatang dengan metode bercerita menggunakan buku cerita bergambar. Secara lebih rinci rumusan masalah diuraikan sebagai berikut :
1. Bagaimana penguasaan kosakata bahasa Inggris anak kelompok A1 TK X sebelum menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar ?
2. Bagaimana penguasaan kosakata bahasa Inggris anak kelompok A1 TK X sesudah menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar ?
3. Apakah metode bercerita dengan buku cerita bergambar dapat meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris anak kelompok A1 TK X secara signifikan ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode bercerita dengan buku cerita bergambar dalam meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris untuk anak TK. Secara lebih rinci diuraikan sebagai berikut :
1. Mengetahui penguasaan kosakata bahasa Inggris anak kelompok A1 TK X sebelum menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar.
2. Mengetahui penguasaan kosakata bahasa Inggris anak kelompok A1 TK X sesudah menggunakan metode bercerita dengan buku cerita bergambar.
3. Mengetahui metode bercerita dengan buku cerita bergambar dapat meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris anak kelompok A1 TK X secara signifikan.