Search This Blog

SKRIPSI PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA ANAK USIA DINI

SKRIPSI PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0014) : SKRIPSI PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA PADA ANAK USIA DINI




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran matematika dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ditujukan pada pengembangan pola pikir praktis, logis, kritis dan jujur dengan berorientasi pada penerapan matematika dalam menyelesaikan masalah. KBK mengisyaratkan bahwa empat pilar dasar pendidikan perlu diberdayakan agar nantinya anak mampu berbuat untuk memperkaya pengalaman belajarnya (learning to do) dengan meningkatkan interaksi dengan lingkungannya baik fisik, sosial, maupun budaya, sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuannya terhadap dunia sekitarnya (learning to know). Dengan demikian anak dapat membangun pengetahuan dan kepercayaan dirinya (learning to be). Kesempatan untuk berinteraksi dengan individu atau pun kelompok yang bervariasi (learning to live together) akan membentuk pemahaman akan kemajemukan dan keragaman yang menumbuhkembangkan sikap positif dan toleran (Tarigan, 2006 : 16).
Berbagai interaksi dengan lingkungan dan aktivitas sehari-hari anak dalam membangun pengetahuannya sering kali anak dihadapkan pada masalah yang membutuhkan suatu cara pemecahan masalah atau penalaran yang melibatkan matematika. Karena memang matematika tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan manusia dalam menghadapi persoalan hidup.
Menurut Kirkpatrick (Payne, 1975 : 70) tujuan dari pembelajaran matematika pada masa kanak-kanak adalah untuk membantu anak melihat makna dalam situasi-situasi dan kejadian-kejadian yang dialaminya dalam aktivitas sehari-hari. Anak belajar menghubungkan suatu situasi kepada bentuk matematika. Saat menjalani kehidupan sehari-hari dengan menjelajah dan menemukan benda-benda di sekitarnya, anak dihadapkan pada dunia matematika.
Pendidikan matematika merupakan bagian dari sistem pendidikan yang dapat mengembangkan kemampuan bernalar dan memecahkan masalah. Sejalan dengan KTSP pelajaran matematika (BNSP, 2006 : 28) menyatakan bahwa :
Pembelajaran matematika bertujuan agar anak memahami konsep matematika, menggunakan penalaran, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan, serta meningkatkan sikap menghargai kegiatan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Hal senada juga diungkapkan oleh Fathani (2008 : 1), ada beberapa alasan mengapa matematika diajarkan pada anak, yakni :
(a) matematika merupakan pengetahuan terpenting yang harus dikuasai oleh anak (b) setiap individu dalam hidup membutuhkan matematika (c) anak dikaruniai kecerdasan matematis logis (d) matematika sangat bermakna bagi kehidupan manusia.
Dari beberapa penjabaran di atas, matematika merupakan sarana untuk melakukan pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Untuk membantu anak melihat hubungan antara kejadian sehari-hari dan model matematika yaitu dengan mengembangkan permasalahan yang berasal dari dunia nyata dan pengalaman anak sehari-hari sehingga anak mudah untuk memahaminya. Dari permasalahan tersebut anak mencoba untuk meyelesaikannya secara logis dan sistematis.
Pada dasarnya, matematika adalah pemecahan masalah karena itu, matematika sebaiknya diajarkan melalui berbagai masalah yang ada disekitar anak dengan memperhatikan usia dan pengalaman yang mungkin dimiliki anak (Ariyanti, 2008 : 1).
Kemampuan pemecahan masalah pada anak usia dini dapat dikembangkan melalui berbagai upaya. Copley (2001 : 1) dan Kirkpatrick (Payne, 1975 : 71) memaparkan salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada anak usia dini yaitu memberikan kesempatan atau peluang kepada anak untuk mencari solusi dari permasalahan yang dihadapinya dengan memberikan kebebasan kepada anak untuk bereksperimen dan bereksplorasi dengan benda-benda yang ada disekitarnya. Lebih lanjut diungkapkan bahwa permasalahan yang diberikan harus dihubungkan dengan dunia nyata dan berasal dari pengalaman anak sehari-hari. Hal ini dimaksudkan agar anak tertarik dan mudah untuk memecahkan masalah yang ditemuinya.
Pembelajaran matematika yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah secara spesifik mengungkapkan standar pembelajaran matematika untuk anak usia dini (anak usia prasekolah sampai dengan SD kelas awal) yang direkomendasikan oleh The National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) tentang prinsip dan standar Matematika Sekolah. Standar pembelajaran matematika untuk anak usia dini meliputi standar isi dan standar proses pembelajaran matematika, antara lain : (1) bilangan dan operasi bilangan, (2) aljabar (3) geometri, (4) pengukuran, (5) analisis data dan probabilitas, (6) problem solving, (7) penalaran dan pembuktian, (8) komunikasi, (9) koneksi, (10) representasi (Sriningsih, 2008 : 10).
Sebagaimana telah dipaparkan pada standar pembelajaran matematika untuk anak usia dini, matematika merupakan disiplin ilmu yang bukan sekedar berhitung tetapi matematika juga merupakan sarana untuk melakukan pemecahan masalah. Matematika merupakan aktivitas untuk menemukan dan mempelajari pola dan hubungan. Matematika merupakan bahasa. Matematika dapat dijadikan cara dan alat untuk berpikir. Matematika digunakan oleh setiap orang. Matematika untuk mengerjakan matematika dan sarana untuk berpikir independen (Sriningsih, 2008 : 17).
Riedesel (Sriningsih, 2008 : 18) menekankan tentang pentingnya matematika sebagai sarana untuk berpikir independen sehingga mampu mengubah pengetahuan teoretis yang dimiliki oleh manusia menjadi pengetahuan praktis yang bermanfaat dalam memecahkan berbagai permasalahan yang ditemui sehari-hari
Belajar matematika pada anak terjadi secara alami. Anak usia dini dapat menemukan, menguji, serta menerapkan konsep matematika secara alami hampir setiap hari melalui kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan matematika tersebut dapat meningkatkan kemampuan anak dalam memecahkan masalah dan dapat merangsang anak untuk memahami fenomena alam atau perubahan lingkungan di sekitarnya.
Menurut Fromboluti dan Rinck (Sriningsih, 2008 : 29) anak membangun konsep-konsep matematika melalui berbagai kegiatan sehari-hari yang ia lakukan melalui pengalaman langsung pada berbagai percobaan dan penemuan. Anak-anak sering mendengar dan mengucapkan kata-kata yang berhubungan dengan matematika dari orang tua, guru dan juga teman sesamanya. Pada umumnya anak mendengar dan mengucapkan terlebih dahulu berbagai konsep yang berhubungan dengan matematika bam kemudian seiring dengan meningkatnya usia dan kemampuan berpikirnya, ia mulai memahami konsep-konsep matematika itu dengan lebih mendalam. Anak usia 2-3 tahun sudah memiliki kemampuan untuk membilang buta namun belum diikuti oleh kesadaran terhadap kuantitas benda.
Belajar matematika memerlukan kemampuan untuk berpikir abstrak. Pembelajaran matematika pada anak harus disesuaikan dengan tahapan kognitifnya. Tahapan kognitif anak usia prasekolah menumt Piaget (Sriningsih, 2008 : 30 ) berada pada tahap praoperasional (2-7 tahun), dimana anak mampu menggunakan simbol-simbol dalam pikirannya untuk merepresentasikan benda-benda atau kejadian
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di TK X, ada beberapa masalah yang muncul dalam pembelajaran matematika temtama pada kemampuan pemecahan masalah. Pembelajaran matematika hanya ditekankan pada kemampuan berhitung. Tidak ada pendekatan pembelajaran yang dapat mengembangkan selumh aspek perkembangan anak temtama dalam hal pemecahan masalah. Pengembangan pembelajaran matematika yang disampaikan oleh guru tidak mengarahkan anak pada kemampuan pemecahan masalah yang dihubungkan dengan pengalaman anak sehari-hari.
Masalah lain yang muncul di TK X adalah guru kurang kreatif dalam menyediakan media-media pembelajaran. Media pembelajaran yang kurang bervariasi berpengaruh terhadap kemampuan anak dalam perkembangan pemecahan masalah. Pembelajaran lebih terpaku pada buku tulis, atau metode pembelajaran yang ditekankan adalah metode konvensional sehingga pembelajaran lebih sering dilakukan dengan kegiatan menulis. Tidak ada kegiatan yang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan minat dan kebutuhannya sehingga pembelajaran menjadi membosankan.
Dari penjelasan di atas dapat dikatakan kurang maksimalnya penggunaan pendekatan dalam pembelajaran dan penyediaan media yang bervariasi sehingga berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah di TK X. Dengan demikian, diperlukan suatu cara untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Banyak strategi, metode, pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada anak usia dini.
Salah satu alternatif yang dapat menyelesaikan permasalahan di atas yaitu penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik (Realistic mathematic education atau disingkat RME. Pembelajaran matematika realistik merupakan suatu paradigma baru dalam proses pembelajaran matematika yang diperkenalkan oleh Freudenthal, ide utama dari RME menurut Gravemeijer adalah bahwa siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvent) ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Usaha untuk membangun kembali ide dan konsep matematika tersebut melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan realistis. Menurut Heuvel (Caslam, 2007 : 34) realistis dalam pengertian tidak hanya situasi yang ada di dunia nyata, tetapi juga masalah yang dapat mereka bayangkan.
Pembelajaran matematika realistik menurut Gravemeijer (Tarigan, 2006 : 18) adalah pembelajaran matematika yang menekankan akan pentingnya konteks nyata yang dikenal anak dan proses konstruksi pengetahuan matematika oleh anak sendiri. Pembelajaran matematika realistik merupakan pendekatan yang orientasinya menuju kepada penalaran anak yang bersifat realistik sesuai dengan salah satu tujuan pendidikan bagi anak yaitu mengembangkan pola pikir praktis, logis, kritis, dan jujur dengan berorientasi pada penalaran matematika dalam menyelesaikan masalah.
Hasil penelitian Saragih (2008 : 18) menunjukkan bahwa pendekatan matematika realistik layak dipertimbangkan untuk digunakan di jenjang pendidikan dasar di Indonesia dalam rangka untuk meningkatkan berpikir logis dan sikap siswa terhadap matematika yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam matematika.
Hasil penelitian lain yang dilakukan Caslam (2007 : 2) menerangkan bahwa penerapan model pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan hasil belajar matematika dalam pokok bahasan operasi hitung pada bilangan pecahan. Selanjutnya penelitian Caslam mengarah pada kemampuan memecahkan masalah, dimana anak akan terbiasa dengan memecahkan masalah realistis, sehingga mereka akan lebih siap menghadapi kehidupan yang penuh dengan berbagai persoalan. Penggunaan model pembelajaran realistic mathematic education akan mendorong siswa untuk memanipulasi persoalan-persoalan untuk mendapatkan solusi pemecahannya.
Selanjutnya hasil penelitian Diyah (2007 : 86) yang menunjukan bahwa pembelajaran matematika realistik dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah pada mated segi tiga dan segi empat. Selain itu pembelajaran matematika realistik lebih efektif dibanding dengan pembelajaran konvensional.
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati dkk (Ahman, 2009 : 114) terhadap anak usia dini bahwa pembelajaran matematika realistik mempunyai keunggulan yang salah satunya adalah munculnya kemampuan problem solving pada anak. Kemampuan problem solving ini berkembang karena anak dapat menemukan dan menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan caranya sendiri dan berbeda dengan temannya.
Meskipun telah cukup sumber dan hasil penelitian mengenai pengaruh pendekatan pembelajaran matematika realistik terhadap peningkatan hasil belajar anak, akan tetapi sumber dan hasil penelitian mengenai pengaruh pendekatan pembelajaran matematika realistik terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah pada anak usia dini masih terbatas. Oleh karena itu berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas dan hasil kajian terhadap penelitian terdahulu, penelitian ini berfokus pada "Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika pada Anak Usia Dini".

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak usia dini di kelas kontrol dan kelas eksperimen di TK X sebelum menggunakan pendekatan pembelajaran matematika realistik?
2. Bagaimana tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak usia dini di kelas kontrol dan kelas eksperimen di TK X setelah menggunakan pendekatan pembelajaran matematika realistik?
3. Apakah pendekatan pembelajaran matematika realistik memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak usia dini di TK X?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pengaruh pendekatan pembelajaran matematika realistik terhadap peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak usia dini di TK X.
2. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Memperoleh gambaran tentang kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak usia dini di kelas kontrol dan kelas eksperimen di TK X sebelum penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik.
b. Memperoleh gambaran tentang kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak kelas di kontrol dan kelas eksperimen di TK X setelah penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik.
c. Memperoleh gambaran tentang pengaruh pembelajaran matematika realistik terhadap tingkat kemampuan pemecahan masalah pada anak usia dini di TK X.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak usia dini di TK X setelah mendapatkan pendekatan pembelajaran matematika realistik.
2. Secara Praktis
a. Bagi Peneliti
Memberikan pengalaman dan wawasan pribadi dalam melakukan penelitian pendidikan, khususnya tentang pengaruh pembelajaran matematika realistik terhadap tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak usia dini.
b. Bagi Guru
Penerapan pendekatan pembelajaran matematika realistik diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak usia dini dan dapat dijadikan acuan serta perbandingan dalam memperbaiki kondisi pembelajaran di kelas.
c. Bagi Lembaga Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan memberi kontribusi positif bagi lembaga penyelenggara pendidikan, khususnya TK X dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika pada anak usia dini.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan bahan acuan bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian dengan menggunakan metode yang berbeda.

E. Asumsi Penelitian
1. Menurut Gravemeijer matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari (Tarigan, 2006).
2. Matematika dapat dijadikan sebagai sarana untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Membimbing anak untuk berpikir mendalam tentang berbagai realitas pandang matematika kemudian mencoba untuk menemukan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan memecahkannya secara logis dan sistematis (Sriningsih, 2008).
3. Pembelajaran matematika realistik memiliki pengaruh yang positif terhadap peningkatan kemampuan pemecahkan masalah matematika pada anak usia dini.

F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian eksperimen kuasi. Metode eksperimen kuasi ini digunakan untuk mencari pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Penelitian kuasi eksperimen dilakukan karena penelitian ini tidak memakai teknik randomization (sampel yang diacak) tetapi menggunakan kelompok yang sudah tersedia (intact group) di sekolah.
Desain penelitian ini dilakukan dua kali observasi yaitu sebelum dan sesudah ekperimen (perlakuan). Observasi yang dilakukan sebelum perlakuan (X1), dan observasi sesudah perlakuan (X2). Perbedaan antara X1 dan X2 atau X2 dan X1 diasumsikan merupakan efek eksperimen (treatment) (Arikunto, 2006).
SKRIPSI IMPLEMENTASI PENGGUNAAN MEDIA PUZZLE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI TAMAN KANAK-KANAK

SKRIPSI IMPLEMENTASI PENGGUNAAN MEDIA PUZZLE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI TAMAN KANAK-KANAK

(KODE : PG-PAUD-0013) : SKRIPSI IMPLEMENTASI PENGGUNAAN MEDIA PUZZLE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI TAMAN KANAK-KANAK




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar belakang Masalah
Anak usia taman kanak-kanak adalah individu yang berusia empat sampai enam tahun yang sedang menjalani proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat dan fundamental dalam berbagai aspek yang meliputi motorik kasar, motorik halus, seni, kognitif, bahasa, serta social emosional. Semua aspek perkembangan ini harus dikembangkan sesuai dengan tahapannya.
Pembelajaran pada anak usia dini bertujuan untuk memperkenalkan konsep-konsep dasar yang bermakna bagi kehidupan anak agar mereka mampu berinteraksi dengan lingkungan baik sekarang maupun di masa yang akan datang. Konsep-konsep tersebut sebaiknya diperkenalkan melalui kegiatan yang berorientasi pada kegiatan bermain karena melalui kegiatan yang berorientasi pada kegiatan bermain anak memiliki kesempatan untuk bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan berbagai hal yang ditemui dalam kehidupan dengan cara yang menyenangkan. Salah satu konsep dasar yang dipelajari di TK adalah matematika.
Matematika bagi anak usia dini merupakn salah satu cara bagi anak untuk memahami dunia dan pengalaman-pengalaman yang dilakukannya serta upaya untuk memecahkan berbagai permasalahan yang ditemuinya setiap hari (Nining Sriningsih, 2008).
Pembelajaran matematika di Taman Kanak-kanak menurut Hiebert & Linquist (Kellough, 1996 : 189), adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan intuisi, persepsi informasi, serta berbagai analisis sirtuasi sehari-hari yang dibangun secara alami berdasarkan interaksi anak dengan teman sebaya. Pembelajaran matematika di TK pada dasarnya adalah pembelajaran yang mengkaitkan berbagai aktivitas atau kegiatan sehari-hari anak yang dibawa ke dalam kelas.
Sebagai salah satu bidang pengembangan, matematika sangat berperan penting dalam menumbuh kembangkan kemampuan berfikir kritis logis dan sistematis. Kellough (1996) menyatakan bahwa kemampuan berfikir kritis logis dan sistemaits pada anak TK ditandai oleh :
(1) anak mengerti konsep matematika sederhana,
(2) anak memahami prosedur atau cara kerja matematika, (3) anak dapat mencari cara pemecahan masalah,
(4) anak mampu mengkomunikasikan persoalan-persoalan dalam matematika sederhana,
(5) anak dapat menginterpretasikan atau mengungkapkan kembali apa yang telah anak ketahui sesuai dengan pemahamannya.
Menurut Copley (2001), anak akan lebih efektif mempelajari berbagai konsep matematika bila anak dapat memanipulasi benda-benda baik itu benda dua dimensi maupun tiga dimensi. Jadi dalam memperkenalkan konsep matematika guru dapat memanfaatkan lingkungan sekitar dan pengalaman sehari-hari anak dan mengkaitkannya dengan kegiatan pembelajaran di kelas.
Salah satu kegiatan pembelajaran untuk anak yang dapat membantu mereka dalam mengenalkan konsep matematika yaitu berupa pemberian media puzzle. Puzzle merupakan permainan yang membutuhkan kesabaran dan ketekunan anak dalam merangkainya. Dengan terbiasa bermain puzzle, lambat laun mental anak juga akan terbiasa untuk bersikap tenang, tekun dan sabar dalam menyelesaikan sesuatu. Kepuasan yang didapat saat ia menyelesaikan puzzle pun merupakan salah satu pembangkit motivasi untuk mencoba hal-hal yang baru baginya. Dengan mencoba beberapa cara memasang kepingan berupa potongan-potongan gambar maka anak dilatih untuk berfikir kreatif dan mengasah ketekunan anak dalam memecahkan masalah (http : //www.ayahbunda.co.id).
Berkenaan dengan pembelajaran matematika dikembangkan pada anak taman kanak-kanak, berdasarkan penelitian di TK Islam Al Muawanah X, anak mengalami kesulitan dalam menyusun kepingan-kepingan puzzle yang diberikan, seperti pada saat ada warna puzzle yang berbeda dalam setiap kepingan anak menjadi bingung, serta pada saat ada bentuk geometri yang berbeda maka anak sering kali tidak dapat menyelesaikan puzzle tersebut. Hal ini berarti anak kurang mampu memahami konsep matematika yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan fenomena yang telah diuraikan, diperlukan suatu motivasi pada anak untuk lebih mengembangkan pembelajaran yang ada baik di sekolah, di rumah, maupun lingkungan sekitar.
Media puzzle memberikan pengalaman yang lebih baik jika dibandingkan dengan media pembelajaran matematika lainnya. Sebagaimana penelitian yang dilakukuan oleh Heni (2008) dengan judul penelitiannya, Penggunaan Puzzle Pada Pembelajaran Operasi Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat Untuk Meningkatkan Aktivitas dan Keterampilan Berhitung, telah dibuktikan bahwa penggunaan puzzle memberikan pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan media pembelajaran matematika lainnya.
Mencermati paparan sebelumnya, maka penelitian ini menitikberatkan pada implementasi penggunaan media puzzle dalam pembelajaran matematika di TK. Adapun judul penelitian uang diambil penulis adalah : "IMPLEMENTASI PENGGUNAAN MEDIA PUZZLE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI TK ISLAM X"

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada pembahasan masalah diatas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi penggunaan media puzzle dalam aspek perencanaan pada pembelajaran matematika di TK Islam X?
2. Bagaimana implementasi penggunaan media puzzle dalam aspek pelaksanaan pada pembelajaran matematika di TK Islam X?
3. Bagaimana implementasi penggunaan media puzzle dalam aspek penilaian pada pembelajaran matematika di TK Islam X?
4. Apa kendala yang dihadapi guru TK Islam X pada implementasi penggunaan media puzzle dalam pembelajaran matematika?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini untuk :
1. Mendeskripsikan perencanaan implementasi penggunaan media puzzle dalam pembelajaran matematika di TK Islam X.
2. Mendeskripsikan pelaksanaan implementasi penggunaan media puzzle dalam pembelajaran matematika di TK Islam X.
3. Mendeskripsikan penilaian implementasi penggunaan media puzzle dalam pembelajaran matematika di TK Islam X.
4. Mengungkap kendala yang dihadapi guru TK Islam X pada implementasi penggunaan media puzzle dalam pembelajaran matematika.

D. Manfaat Penelitian
Secara rinci manfaat penelitian ini dipaparkan sebagai berikut :
1. Bagi para guru Taman Kanak-kanak tempat dilangsungkannya penelitian untuk menjadi bahan pertimbangan dalam menggunaan media pembelajaran yang dapat digunakan di Taman Kanak-kanak khususnya dalam pembelajaran matematika anak usia 4-6 tahun.
2. Bagi pihak Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) khususnya pada program Pendidikan Anak Usia Dini (PGAUD) sebagai rujukan dalam penggunaan media pembelajaran yang efektif dalam dunia pendidikan Anak Usia Dini.

E. Definisi Operasional
1. Media Puzzle adalah media pembelajaran matematika yang berupa kepingan yang di dalamnya terdapat teka-teki yang harus anak selesaikan.
2. Pembelajaran matematika di taman kanak-kanak merupakan sarana yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berfikir anak, untuk mengembangkan berbagai potensi intelektual yang dimilikinya, serta dapat dijadikan sebagai sarana untuk menumbuhkan berbagai sikap dan perilaku positif dalam rangka meletakan dasar-dasar kepribadian sedini mungkin (Sriningsih, 2008).

F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Metode deskriptif merupakan bagian dari penelitian kualitatif. Adapun tujuan dari penelitian kualitatif sendiri adalah untuk memberikan gambaran secara sistematis dan akurat dari fenomena-fenomena yang ada, atau hubungan-hubungan antara fenomena yang diteliti apa adanya tanpa perlakuan-perlakuan khusus. Berkaitan dengan hal tersebut, alasan peneliti menggunakan metode deskriptif ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai implementasi penggunaan media puzzle dalm pembelajaran matematika di TK islam X secara mendalam, terperinci dan utuh. Dalam penelitian deskriptif ini, jenis data yang diambil adalah jenis data kualitatif, dimana data diambil dari pengamatan langsung oleh peneliti mengenai implementasi penggunaan media puzzle dalam pembelajaran matematika yang belangsung di TK Islam X seacara alamiah tanpa ada intervensi peneliti

G. Subjek Penelitian
Dalam penelitian derkriptif ini yang diambil sebagai subjek penelitian adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab, benar-benar mengetahui, menguasai, dan banyak terlibat dalam kegiatan pembelajaran, yaitu : Guru kelompok A yang betanggung jawab langsung terhadap penmbelajaran di kelas meliputi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran, serta anak kelompok A sebanyak 18 orang.

H. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa alat pengumpulan data, yaitu :
1. Studi Pustaka
Studi Pustaka dalam penelitian ini dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data dari berbagai literature dengan tujuan mendapatkan teori dan konsep-konsep yang dapat dijadikan sebagai landasan pemikiran dalam penelitian. Pada penelitian ini peneliti mempelajari sejumlah buku referensi, laporan tugas akhir, skripsi, thesis, website yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
2. Wawancara
Wawancara merupakan salah satu bentuk teknik pengumpulan data yang banyak digunakan dalam penelitian deskriptif kualitatif dan deskriptif kuantitatif (Syaodih, 2007 : 216).
3. Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini dilakukan oleh peneliti untuk melihat data-data yang ada serta pendokumentasian hasil penelitian di lapangan. Dokumentasi yang dilakukan adalah hasil data yang dikumpulkan, foto-foto selama penelitian.
4. Observasi
Observasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang sedang berlangsung. Penelitian ini menggunakan observasi sistematis yang dilakukan pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrument pengamatan (Arikunto, 2002 : 133).

I. Sistematika Penulisan
Laporan hasil penelitian ini ditulis dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Memaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data dan sistematika penelitian
Bab II Kajian Pustaka/Kerangka teoritis
Merupakan kajian kepustakaan sebagai gambaran padat menyeluruh sekaligus petunjuk untuk penelitian ini.
Bab III Metode Penelitian
Memaparkan tentang metode penelitian yang akan dipakai, dalam bab ini dijelaskan pengumpulan data yang akan dilakukan di lapangan dan mengumpulkan dokumen yang mendukung.
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Masalah
Merupakan pokok bahasan implementasi penggunaan media puzzle dalam pembelajaran matematika.
Bab V Kesimpulan dan rekomendasi
Merupakan bab penutup dan kesimpulan akhir dari penelitian yang telah dilakukan, serta berisikan rekomendasi yang diharapkan dapat bermanfaat.
SKRIPSI EFEKTIFITAS METODE BIL-HIKMAH DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA AL-QURAN PADA ANAK TAMAN KANAK-KANAK

SKRIPSI EFEKTIFITAS METODE BIL-HIKMAH DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA AL-QURAN PADA ANAK TAMAN KANAK-KANAK

(KODE : PG-PAUD-0012) : SKRIPSI EFEKTIFITAS METODE BIL-HIKMAH DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA AL-QURAN PADA ANAK TAMAN KANAK-KANAK




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah satu-satunya agama yang haq dan diridhoi Alloh SWT yang disampaikan melalui nabi Muhammad SAW kepada selumh umat manusia agar dijadikan sebagai jalan hidup hingga akhir zaman, sebagaimana Firman Alloh SWT yang tercantum dalam Al-Quran surat Ali Imron ayat 19 yang terjemahannya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam... (QS. Ali Imron : 19)
Islam telah mengatur manusia mengenai bagaimana cara menjalani dan menjalankan hidup dan kehidupan yang baik dan benar agar kelak mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Islam secara terperinci telah menetapkan ketentuan-ketentuan sebagai tuntunan untuk membentuk generasi paripurna yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pembentukan generasi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat dimulai dengan upaya memberikan pendidikan dan pengetahuan agama terhadap anak-anak sedini mungkin, karena anak-anak adalah cerminan dan cikal bakal generasi yang kelak akan menggantikan generasi saat ini. Umar bin Al Khatab ra. pernah berkata "Hari ini adalah penentu hari esok, pemuda bisa diibaratkan dengan hari ini (sekarang), merekalah penentu masa yang akan datang".
Pentingnya pendidikan agama terhadap anak-anak juga diatur dalam peraturan pemerintah yang termaktub dalam fungsi dan tujuan pendidikan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) dalam Himpunan Perundang-undangan (2003; 7) :
Untuk mengembangkan kemampuan dan pembentukan watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut diatas terutama dalam menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia serta berbudi pekerti luhur, maka pendidikan harus dibarengi dan dibentengi dengan pendidikan agama.
Ajaran atau petunjuk dalam agama Islam tehimpun dalam sebuah kitab yaitu Al-Quran. Alloh SWT telah menurunkan Al-Quran kepada seluruh umat manusia melalui nabi Muhammad SAW untuk dijadikan sebagai tuntunan dan pedoman hidup manusia agar dapat selamat dalam mengarungi kehidupannya di dunia dan di akhirat serta kelak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang beruntung, sebagaimana tercantum dalam Al-Quran surat Al-A'raaf ayat 52 yang terjemahannya : Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah kitab (Al-Quran) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (Q.S Al-A'raaf : 52).
Serta tercantum dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhori, bahwa Rosululloh SAW telah bersabda : "Aku tinggalkan dua perkara sepeninggalku, barang siapa yang berpegang teguh pada keduanya, maka dia tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitab Alloh dan sunnah rosul."
Ayat serta hadits diatas menjelaskan bahwa salah satu pedoman yang harus dijadikan rujukan dan pegangan dalam mengarungi dan menjalankan kehidupan ini adalah Al-Quran yang harus dapat dibaca, difahami dan diamalkan.
Seluruh manusia harus menjadikan Al-Quran sebagai acuan pokok dalam memutuskan dan menjalankan roda kehidupannya, karena dalam Al-Quran telah terkandung tuntunan yang sangat lengkap, aturan, perintah, larangan, kisah-kisah terdahulu yang harus dijadikan ibroh atau pelajaran serta kabar gembira dan balasan atas semua perbuatan melalui keindahan surga dan dahsyatnya siksaan neraka. Pemahaman tentang betapa pentingnya Al-Quran dijadikan sebagai pedoman hidup manusia ini harus ditanamkan sejak dini.
Salah satu pendidikan agama yang sangat penting adalah bagaimana orang tua mengenalkan serta memahamkan putra putri mereka sejak dini dengan pedoman dan tuntunan hidup yang benar yang akan membawa kebahagiaan dan keselamatan didunia dan di akhirat.
Apabila semenjak kecil anak-anak sudah dididik dan diajarkan agar menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup, maka mereka akan terbiasa untuk mengukur langkah dan perbuatannya dengan aturan dan tuntunan yang terdapat dalam Al-Quran. Kandungan yang terdapat dalam Al-Quran akan menjadi pertimbangan benar dan salahnya perbuatan yang akan mereka lakukan, hingga akhirnya Al-Quran adalah cerminan dari amal perbuatannya.
Pemahaman tentang pentingnya Al-Quran sebagai pedoman hidup tentulah merupakan buah dari proses panjang dari mengenal, mengerti dan memahami Al-Quran secara keseluruhan, yang tentunya semua itu diawali dengan proses membaca.
Disinilah peran penting dari orang tua untuk mengajarkan putra putri mereka dalam membaca Al-Quran. Sebuah tantangan, tuntutan, tanggung jawab serta lahan ibadah yang tentunya akan berbuah manis bagi orang tua bila peran ini dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.
Diriwayatkan Abu Dawud dari Mu'adz bin Anas bahwa Nabi SAW bersabda : "Barang siapa membaca Al-Quran dan mengamalkan kandungan isinya, niscaya Allah pada hari kiamat akan mengenakan kepada kedua orang tuanya sebuah mahkota yang cahayanya lebih indah daripada cahaya matahari di rumah-rumah dunia. Maka apa pendapatmu tentang orang yang mengamalkan hal ini".
Dalam rangka mengenalkan serta memahamkan anak-anak terhadap Al-Quran, maka langkah pertama adalah bagaimana orangtua atau para pendidik menemukan dan menggunakan metode yang benar, sesuai dengan perkembangan anak dan efektif dalam mengajarkan anak-anak membaca Al-Quran. Membaca adalah kunci ilmu, awal dari memahami, mengamalkan dan akhirnya mengajarkan Al-Quran.
Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh imam ahmad yaitu; " Hak anak atas orang tuanya ada tiga, yaitu : Memilihkan nama yang baik ketika baru lahir, mengajarkan Al-Quran ketika mulai berfikir dan menikahkan ketika dewasa". Dalam mengajarkan Al-Quran, Ibnu Khaldun dan Ibnu Sina menjelaskan bahwa "Pendidikan Al-Quran sangat penting diberikan sejak usia dini, karena dengan pendidikan Al-Quran sejak dini, fitrah suci anak akan dapat dilestarikan dengan baik dan tertanam dalam kalbunya" (Syarifuddin; 2004 : 12)
Berbagai metode dalam mengajarkan anak-anak membaca Al-Quran sejak usia dini yang telah dilaksanakan khususnya di sekolah-sekolah Islam ataupun umum di Indonesia diantaranya metode bahgdadiyah, metode shautiyah, metode kalimah, metode Al-Barqi, metode Iqro dan metode Bil-Hikmah.
Salah satu metode yang masih jarang digunakan bahkan masih banyak yang sama sekali tidak mengetahui metode ini akan dijadikan sebagai referensi oleh penulis dalam tulisan ini, Insya Alloh dapat dijadikan sebagai alternatif metoda dalam mengajarkan anak-anak membaca Al-Quran melalui cara serta perangkat yang berbeda, lebih aktif dan inovatif yang sesuai dengan perkembangan anak, yaitu metode Bil-Hikmah.
TK X telah menggunakan salah satu metode tersebut diatas dalam mengajarkan membaca Al-quran, namun belum mampu secara efektif meningkatkan kemampuan membaca Al-Quran pada anak usia dini. Ketidakefektifan ini dapat dilihat dari evaluasi hasil pembelajaran selama satu semester. Oleh karena itu peneliti berupaya menggunakan metode Bil-Hikmah dengan tujuan mengetahui tingkat efektifitas metode Bil-Hikmah dalam meningkatkan kemampuan membaca Al-Quran pada anak-anak TK X.
Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian ini berorientasi pada upaya menguji efektifitas metode Bil-Hikmah dalam meningkatkan kemampuan membaca Al-Quran pada anak Taman Kanak- kanak di TK X".

B. Rumusan Masalah
Berkenaan dengan latar belakang masalah diatas, maka secara umum penelitian ini memfokuskan kepada masalah tentang "Bagaimana efektifitas metode Bil-Hikmah dalam meningkatkan kemampuan membaca Al-Quran pada anak Taman Kanak-kanak di TK X. "
Adapun rumusan masalah secara khusus, diantaranya yaitu :
1. Bagaimana kondisi awal kemampuan anak-anak TK X dalam membaca Al-Quran sebelum diberikan metoda Bil-Hikmah?
2. Bagaimana kondisi akhir kemampuan anak-anak TK X dalam membaca Al-Quran setelah diberikan metoda Bil-Hikmah ?
3. Apakah penggunaan metode Bil-Hikmah dapat meningkatkan kemampuan anak-anak TK X dalam membaca Al-Quran secara signifikan ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode Bil-Hikmah dalam meningkatkan kemampuan membaca Al-Quran pada anak Taman Kanak-kanak di TK X.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kondisi awal kemampuan anak-anak TK X dalam membaca al-Quran sebelum diberikan metode Bil Hikmah.
2. Mengetahui kondisi kemampuan anak-anak TK X dalam membaca Al-Quran sesudah diberikan metode Bil-Hikmah.
3. Mengetahui efektivitas metode Bil-Hikmah dalam meningkatkan kemampuan membaca Al-Quran pada anak-anak TK X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari hasil penelitian adalah :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang peningkatan kemampuan membaca Al-Quran anak usia Taman Kanak Kanak melalui metode Bil-Hikmah.
2. Secara Praktis
a. Bagi anak Taman Kanak-kanak
Memberikan pengalaman dan wawasan pribadi dalam mengembangkan program pembelajaran khususnya tentang membaca Al-Quran melalui metode Bil-Hikmah.
b. Bagi Guru
Sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam memilih metode pengajaran membaca Al-Quran untuk meningkatkan kemampuan membaca Al-Quran pada anak Taman Kanak-kanak.
c. Bagi Lembaga Taman Kanak-kanak
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif kepada lembaga penyelenggaraan pendidikan khususnya TK X dalam rangka peningkatan kemampuan membaca Al-Quran pada anak TK.
d. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti selanjutnya mengenai hal yang sama secara lebih mendalam

E. Asumsi Penelitian
Asumsi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. " Hak anak atas orang tuanya ada tiga, yaitu : Memilihkan nama yang baik ketika baru lahir, mengajarkan Al-Quran ketika mulai berfikir dan menikahkan ketika dewasa". (H. R. Ahmad)
2. Diriwayatkan dari 'Aisyah r.a, dia berkata : Rosululloh SAW bersabda : Orang yang mahir dalam membaca Al-Quran kelak akan bersama golongan yang amat mulia lagi banyak berbakti, sedangkan orang yang gagap dalam membacanya dan (membaca Al-Quran) itu merupakan hal yang sulit baginya, baginya dua pahala. (H. R Muslim)
3. Pendidikan Al-Quran sangat penting diajarkan pada anak sejak usia dini, karena dengan pendidikan Al-Quran fitrah suci anak dapat dilestarikan dengan baik dan tertanam dalam kalbunya. (Syarifuddin; 2004 : 12)
4. Penerapan metode Bil-Hikmah dapat membantu meningkatkan kemampuan membaca Al-Quran pada anak usia Taman Kanak kanak. (Yahya; 1997)

F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode quasi eksperimen, dimana metode ini merupakan pengembangan dari true experimental design, adapun desain yang digunakan adalah nonequivaalent control group design dimana pada desain ini kelompok ekspeimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih secara random.
Desain penelitian ini memilih satu kelompok anak yang selanjutnya dari satu kelompok tersebut setengah diberi metode Bil-hikmah dan yang setengah lagi tidak. Metode ini dipilih untuk melihat efektifitas metode Bil-Hikmah dalam meningkatkan kemampuan membaca Al-Quran pada anak TK.
SKRIPSI EFEKTIVITAS MATH MANIPULATIVE TERHADAP KEMAMPUAN OPERASI PENJUMLAHAN BILANGAN ANAK USIA TK

SKRIPSI EFEKTIVITAS MATH MANIPULATIVE TERHADAP KEMAMPUAN OPERASI PENJUMLAHAN BILANGAN ANAK USIA TK

(KODE : PG-PAUD-0011) : SKRIPSI EFEKTIVITAS MATH MANIPULATIVE TERHADAP KEMAMPUAN OPERASI PENJUMLAHAN BILANGAN ANAK USIA TK




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran pada anak usia dini khususnya Taman Kanak-Kanak (TK) merupakan wahana untuk mengembangkan potensi seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat masing-masing anak. Anderson (1993) mengemukakan bahwa pendidikan TK memberikan kesempatan untuk mengembangkan kepribadian anak, oleh karena itu pendidikan untuk anak TK perlu menyediakan berbagai kegiatan yang dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan yang meliputi : aspek kognitif, bahasa, sosial, emosi, fisik, dan motorik.
Pada kenyataannya, proses pembelajaran anak TK masih menjadi permasalahan di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Hal ini disebabkan karena pola pembelajaran yang dilaksanakan cenderung berorientasi akademik dan menganggap bahwa konsep-konsep yang ada pada diri anak tidak berkembang secara spontan melainkan harus ditanamkan dan diserap oleh anak melalui perlakuan orang dewasa. Paulo Freire (Faizah : 2006) mengemukakan bahwa sekolah telah melakukan "pedagogy of the oppressed" terhadap anak-anak didiknya. Dimana guru mengajar, anak diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak mendengarkan, guru mendisiplinkan dan anak didisiplin, guru memilih dan mendesakkan pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak hanya membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program dan anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah objek dari proses pembelajaran.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan hakikat pembelajaran di TK yang menekankan anak sebagai pembelajar yang aktif. Apabila anak TK diajarkan dan bukannya dibelajarkan, maka pengembangan berbagai potensi anak secara optimal tidak akan tercapai. Rachmawati (2005) mengemukakan bahwa memberikan kegiatan belajar pada anak didik harus memperhatikan kematangan atau tahap perkembangan anak didik, alat bermain, metode yang digunakan, waktu, serta tempat bermain.
Undang undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 14, menyatakan bahwa : Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Dengan demikian, anak usia TK perlu diberikan suatu program atau kegiatan yang didasarkan pada prinsip tumbuh kembang anak dimana program yang diberikan adalah berupa pengasuhan dan pendidikan yang dapat memberikan rangsangan perkembangan fisik (motorik kasar dan halus), kognitif, bahasa, sosial-emosional, pemahaman moral dan agama secara proporsional dan terintegrasi. Hal ini berarti, tingkat perkembangan yang diharapkan dapat dicapai anak pada usia TK bukanlah merupakan suatu tingkat pencapaian kecakapan akademik (calistung), tetapi lebih merupakan aktualisasi potensi semua aspek perkembangan.
Direktur Jendral Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Nasional, Ace Suryadi dalam Pujiati (2007) mengemukakan bahwa pembelajaran membaca, menulis dan berhitung pada anak usia dini/TK merupakan salah satu kesalahan terbesar dan berdampak negatif pada perkembangan anak. Selaras dengan hal tersebut, Solehuddin dalam Sriningsih (2008 : 3) mengungkapkan bahwa pembelajaran yang hanya menitikberatkan kepada penguasaan baca, tulis dan hitung merupakan sesuatu yang tidak lengkap dan berdampak negatif terhadap perkembangan anak karena hanya akan mengembangkan sebagian aspek dari kecakapan individu sambil "mematikan" pengembangan kecakapan lainnya. Dengan demikian yang lebih dikehendaki adalah suatu pendekatan dan strategi pendidikan bagi anak yang lebih integratif dan comprehensif serta sesuai dengan dunia dan kebutuhannya.
Berdasarkan pernyataan tersebut, tentu tidak bijaksana jika anak usia TK sudah diberi 'beban' untuk cakap dalam calistung yang bersifat akademik. Namun demikian, bukan berarti anak usia TK tidak boleh diajarkan calistung khususnya berhitung. Yang perlu ditekankan adalah pendidik perlu memperhatikan tahapan-tahapan anak dalam belajar berhitung permulaan. Ini berarti kegiatan yang diberikan di TK diharapkan lebih menunjang anak untuk memiliki kesiapan berhitung.
Pada dasarnya pembelajaran matematika untuk anak usia dini bertujuan untuk menstimulasi kemampuan berfikir anak agar memiliki kesiapan untuk belajar matematika pada tahap selanjutnya (Sriningsih, 2008 : 1). Pembelajaran matematika untuk anak usia dini lebih menekankan pada pengenalan konsep matematika dasar, salah satunya yaitu konsep aritmatika atau berhitung. Aritmatika atau berhitung merupakan salah satu bagian dari kemampuan matematika, sebab salah satu syarat untuk belajar matematika adalah belajar berhitung yang keduanya saling mendukung.
Berdasarkan standar NCTM {National Council of Teacher Mathematics) aritmatika merupakan bagian dari standar isi bilangan dan operasi bilangan. Pada bilangan dan operasi bilangan ini anak-anak dapat memecahkan konsep dasar aritmatika dalam memecahkan masalah (Sriningsih, 2008 : 62). Aritmatika adalah bidang yang berkenaan dengan sifat hubungan bilangan-bilangan nyata dengan perhitungan terutama menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian (Mulyono, 2003 : 253).
Untuk meningkatkan kemampuan penguasaan operasi penjumlahan bilangan pada anak Taman Kanak-kanak diperlukan pembelajaran yang melibatkan anak secara aktif untuk berinteraksi dalam proses pembelajarannya, salah satunya melalui permainan matematika.
Bermain dan anak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Aktivitas bermain dilakukan anak dan aktivitas anak selalu menunjukkan kegiatan bermain. Bermain dan anak sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, salah satu prinsip pembelajaran dalam pendidikan anak usia dini adalah bermain.
Bermain merupakan pendekatan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran pada anak usia TK. Untuk itu dalam memberikan pendidikan pada anak usia TK harus dilakukan dalam situasi yang menyenangkan sehingga anak tidak merasa bosan dalam mengikuti pelajaran. Selain menyenangkan, metode, materi dan media yang digunakan harus menarik perhatian serta mudah diikuti sehingga anak akan termotivasi untuk belajar. Melalui kegiatan bermain anak diajak untuk bereksplorasi, menemukan dan memanfaatkan objek-objek yang dekat dengannya, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Bermain bagi anak juga merupakan suatu proses kreatif untuk bereksplorasi, mempelajari keterampilan yang baru dan dapat menggunakan simbol untuk menggambarkan dunianya.
Menurut Sudono (2000 : 1) Bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan informasi, memberi kesenangan maupun mengembangkan imajinasi pada anak. Sedangkan menurut Hildebrand (Setianingsih, 2007 : 10) mengungkapkan bahwa bermain berarti berlatih, mengeksploitasi, merekayasa, mengulang latihan apapun yang dapat dilakukan untuk menstransformasi secara imajinatif hal-hal yang sama dengan dunia orang dewasa. Kemudian Dopyera (Sriningsih, 2008) mendefinisikan bahwa kegiatan bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela oleh anak. Bermain timbul dari dorongan yang ada dalam diri anak itu sendiri, sehingga memungkinkan keterlibatan anak dalam setiap permainan secara aktif dan bermakna.
Mayke dalam Sudono (2000 : 3) mengemukakan bahwa belajar dengan bermain memberi kesempatan kepada anak untuk memanipulasi, mengulang-ulang, menemukan sendiri, bereksplorasi, mempraktikkan, dan mendapatkan bermacam-macam konsep serta pengertian yang tidak terhitung banyaknya. Disinilah proses pembelajaran terjadi, melalui permainan memberikan pengalaman belajar pada peserta didik.
Berdasarkan definisi bermain di atas, bermain merupakan suatu sarana bagi anak untuk berlatih, mengeksploitasi dan merekayasa yang dilakukan secara berulang-ulang dengan menggunakan atau tanpa menggunakan alat untuk memperoleh informasi, kesenangan dan mengembangkan daya imajinasinya. Dengan demikian, banyak konsep dasar yang dapat dipelajari anak melalui aktivitas bemain. Salah satunya adalah konsep matematika.
Pada kenyataannya yang kerap terjadi dilapangan pola pembelajaran matematika untuk anak usia dini dilaksanakan cenderung berorientasi akademik. Solehuddin (2000 : 9) mengemukakan bahwa :
Pendekatan pendidikan prasekolah yang berorientasi akademik dicirikan dengan dominasi guru dikelas, kurikulum dan kegiatan belajar yang terstruktur, serta penekanan akan segi penguasaan materi yang diajarkan sesuai dengan yang diharapkan guru. Hasil belajar dalam bentuk prestasi akademik adalah sasaran utama dari pendekatan ini.
Sejalan dengan apa yang di kemukakan diatas, dalam penelitiannya Rachmawati (2008) mengemukakan bahwa "Praktek pelaksanaan operasi angka di Taman Kanak-kanak lebih bersifat akademik seperti layaknya anak usia SD. Sebagian besar langsung menggunakan soal-soal latihan yang bersifat abstrak berupa penjumlahan angka, pengurangan angka, bahkan kombinasi dari penjumlahan dan pengurangan, tanpa menggunakan lat bentu media".
Adanya kecenderungan proses pembelajaran matematika yang berorientasi akademik ini dialami di TK X. Selama ini, pembelajaran matematika di TK X menggunakan metode drill yang dilakukan setiap hari sebelum anak-anak memulai kegiatan di sekolah, anak menyebutkan urutan bilangan satu sampai sepuluh sambil melihat gambar angka/ bilangan yang tertempel pada dinding kelas. Selain itu pengajaran konsep matematika di TK X ini sering menggunakan lembar kerja atau lebih sering di sebut LK yang merupakan bagian dari praktek paper-pencil. Sehingga anak kurang bisa mengaitkan antara apa yang dipelajarinya dengan lingkungan sekitarnya.
Anak cenderung menghafal angka yang terdapat pada gambar dan kurang mengkaitkan dengan penerapan angka-angka itu untuk menerangkan orang atau benda yang sering ditemuinya sehari-hari. Dengan demikian pembelajaran yang terjadi kurang menjembatani apa yang diperoleh anak di TK dengan kemampuan yang seharusnya dimiliki anak untuk menghadapi lingkungannya.
Berdasarkan gambaran tersebut, peranan guru sebagai fasilitator sangat dibutuhkan. Guru dituntut untuk lebih kreatif dalam memanipulasi obyek-obyek atau alat dalam bentuk permainan yang dilaksanakan dalam pembelajaran matematika di Taman Kanak-kanak.
Permainan berhitung merupakan bagian dari matematika, permainan ini diperlukan untuk menumbuhkembangkan keterampilan berhitung yang sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang merupakan dasar bagi pengembangan kemampuan matematika maupun kesiapan untuk mengikuti pendidikan dasar.
Salah satu permainan matematika adalah permainan Math Manipulative. Permainan Math Manipulative merupakan salah satu dari permainan Whole math. Whole math merupakan pendekatan pembelajaran matematika untuk anak usia dini yang menghubungkan pelajaran matematika dengan kehidupan nyata atau kehidupan sehari-hari (Moomaw and Hironymus, 1995 : 2).
Menurut Clements dalam Bennett L Tisha (2000) menyatakan bahwa manipulatif yang baik adalah yang dapat membantu anak dalam membangun, memperkuat, dan menghubungkan berbagai representasi ide matematika. Sedangkan menurut James (1997 : 06) media manipulatif adalah model konkrit yang dapat disentuh, digerakan oleh anak yang berfungsi untuk membantu anak memahami berbagai konsep yang berhubungan dengan matematika. Hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dapat ditemukan oleh anak dalam kehidupan sehari-hari dapat dijadikan media manipulatif seperti bola, biji-bijian, kelereng, jepitan jemuran dan lain-lain. Permainan math manipulative ini menggunakan material yang dekat dengan keseharian anak, seperti boneka, kelereng sebagai alat permainannya, kelereng merupakan salah satu benda yang familiar atau dekat dengan anak.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka penelitian ini memfokuskan pada kajian "Efektivitas Math Manipulative terhadap Kemampuan Operasi Penjumlahan Bilangan Anak Usia Taman Kanak-kanak".

B. Rumusan Masalah
Permasalahan utama dalam penelitian ini difokuskan pada pembahasan "Efektivitas Math Manipulatif Terhadap Kemampuan Operasi Penjumlahan Bilangan Anak Usia TK". Permasalahan tersebut diuraikan ke dalam bentuk rincian pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana kemampuan awal operasi penjumlahan bilangan anak usia TK pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sebelum diterapkan permainan math manipulative ?
2. Bagaimana kemampuan akhir operasi penjumlahan bilangan anak usia TK pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sesudah diterapkan permainan math manipulative ?
3. Apakah permainan Math Manipulatif efektif untuk meningkatkan kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak TK?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai efektivitas Math Manipulative terhadap kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak usia Taman Kanak-kanak. Adapun secara lebih khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Memperoleh gambaran tentang kondisi awal kemampuan operasi penjumlahan bilangan di kelompok kontrol dan kelompok eksperimen di TK X.
2. Memperoleh gambaran tentang kondisi akhir kemampuan operasi penjumlahan bilangan di kelompok kontrol dan kelompok eksperimen di TK X.
3. Sejauh mana efektivitas permainan Math Manipulative dalam meningkatkan kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak di TK X.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoretis :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, peningkatan mutu pendidikan, dan untuk menambah keilmuan tentang efektifitas Math Manipulative terhadap kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak usia Taman Kanak-kanak.
2. Secara Praktis :
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah :
a. Bagi Peneliti
Memberikan pengalaman dan wawasan pribadi dalam mengembangkan penelitian mengenai efektifitas Math Manipulative terhadap kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak usia Taman Kanak-kanak.
b. Bagi Guru
Meningkatkan pemahaman guru tentang permainan matematika khususnya Math Manipulative serta menjadi acuan bagi guru dalam menggunakan metode bermain sebagai upaya mengembangkan kemampuan operasi penjumlahan bilangan anak TK.
c. Bagi Lembaga Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangsih kepada Lembaga penyelenggara pendidikan pada umumnya dan khususnya untuk TK X, dalam menciptakan pembelajaran matematika yang menyenangkan bagi anak, serta dapat meningkatkan kemampuan anak dalam memahami operasi penjumlahan bilangan.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti selanjutnnya mengenai hal yang lebih mendalam.
SKRIPSI EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN MAKRO TERHADAP PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA SUNDA ANAK USIA TK

SKRIPSI EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN MAKRO TERHADAP PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA SUNDA ANAK USIA TK

(KODE : PG-PAUD-0010) : SKRIPSI EFEKTIVITAS PENGGUNAAN METODE BERMAIN PERAN MAKRO TERHADAP PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA SUNDA ANAK USIA TK




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan salah satu hal terpenting dalam kehidupan anak, dengan bahasa anak dapat berinteraksi dengan orang lain dan menemukan banyak hal baru dalam lingkungan tersebut. Dengan bahasa juga anak mampu menuangkan suatu ide atau gagasan terhadap keinginannya tersebut. Menurut (Mossofa, 2008 : 14) Bahasa adalah segala bentuk komunikasi dimana pikiran dan perasaan seseorang disimbolisasikan agar dapat menyampaikan arti kepada orang lain. Oleh karena itu perkembangan bahasa dimulai dari tangisan pertama sampai anak mampu bertutur kata.
Hartini (Cahyaningsih, 2009 : 2) mengemukakan bahwa bahasa merupakan sarana berkomunikasi yang sangat penting dalam kehidupan anak. Komunikasi yang diharapkan adalah komunikasi lisan yang tepat guna, artinya bahasa itu harus dapat dipahami oleh orang lain.
Kemampuan bahasa anak usia 4-5 tahun berada dalam fase perkembangan bahasa secara ekspresif. Hal ini berarti bahwa anak lebih dapat mengungkapkan keinginannya, penolakannya, maupun pendapatnya dengan menggunakan bahasa lisan sebagai alat berkomunikasi. Anak usia tersebut dapat mengucapkan kata-kata yang mereka gunakan, dapat menggabungkan beberapa kata menjadi kalimat yang berarti, namun menurut Hurlock (1990 : 190) "kemampuan berkomunikasi pada anak usia prasekolah dengan orang lain masih dalam taraf rendah. Masih banyak kosakata yang harus dikuasai untuk dapat menggunakan bahasanya dengan baik.
Pembendaharaan kosakata berperan penting dalam pengembangan bahasa. Menurut Hurlock (1990 : 113) usia 4-5 tahun, merupakan saat berkembang pesatnya penguasaan tugas pokok dalam berbicara, yaitu menambah kosakata, menguasai pengucapan kata dan menggabungkan kata menjadi kalimat sedangkan menurut Hurlock (1990 : 151) mengemukakan bahwa salah satu tugas utama dalam belajar berbicara ialah anak harus dapat meningkatkan jumlah kosakata, anak harus belajar mengaitkan arti dengan bunyi karena banyak kata yang memiliki arti lebih dari satu dan sebagian kata bunyinya hampir sama, tetapi memiliki arti yang berbeda, maka meningkatkan kosakata jauh lebih sulit dari pada mengucapkannya sehingga diperlukan adanya suatu peningkatan kosakata pada anak yang dapat menunjang pada perkembangan berbicara.
Menurut Dhieni dkk (2005 : 3.1) anak usia 4-5 tahun dapat mengembangkan kosakata secara mengagurukan. Sedangkan menurut Owens (Dhieni, 2005 : 3.1), anak pada usia tersebut memperkaya kosakatanya melalui pengulangan. Dalam menggunakan kosakata tersebut, anak menggunakan fast mapping atau suatu proses dimana anak menyerap arti kata baru setelah mendengarnya sekali atau dua kali dalam percakapan. Pada masa kanak-kanak awal inilah anak mulai mengkombinasikan suku kata menjadi kata, dan kata menjadi kalimat. Selain itu, Dhieni dkk (2005 : 3.1) juga mengungkapkan bahwa anak usia 4-5 tahun rata-rata dapat menggunakan 900 sampai 1000 kosakata yang berbeda. Mereka menggunakan 4-5 kata dalam satu kalimat yang dapat membentuk kalimat pernyataan, tanya, dan perintah. Pada usia 5 tahun pembicaraan anak mulai berkembang dimana kosakata yang digunakan lebih banyak dan rumit. (Dhieni dkk, 2005 : 3.1)
Dalam hal ini peningkatan kosakata Anak Usia Dini khususnya kosakata Bahasa Indonesia sangat penting, namun bukan hanya kosakata Bahasa Indonesia saja yang harus dikuasai dan terus ditingkatkan oleh anak, kosakata Bahasa Daerah pun, khususnya kosakata Bahasa Sunda perlu ditingkatkan dan dikuasai oleh Anak Usia Dini. Hal ini dikarenakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan sebagai pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda yang harus diperkenalkan kepada anak. Bahasa Sunda merupakan alat komunikasi etnik sunda. selain itu bahasa Sunda juga sebagai alat pengembang dan pendukung kebudayaan Sunda. Para ahli bahasa telah banyak meneliti dan membuktikan bahwa bahasa Sunda disamping sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Indonesia, juga menjadi pendukung bahasa nasional. Bahasa Sunda menjadi bahasa ibu hingga kini dijadikan sebagai bahasa pengantar disekolah dasar dijabar pada tingkat permulaan.
Namun pada kenyataannya di Taman Kanak-Kanak penggunaan Bahasa Sunda jarang sekali digunakan. Begitupun dengan masyarakat, sebagian masyarakat belum sadar akan pentingnya bahasa sunda, para Orang Tua lebih senang apabila anak-anaknya menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Hal ini menyebabkan banyak anak yang belum bisa menggunakan Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan rumah maupun dilingkungan sekolah.
Hal ini diperkuat oleh Ajip Rosidi (Harian Umum Pikiran Rakyat) dalam Martini (2009 : 7) yang mengemukakan bahwa :
"....bahasa Sunda sekarang sedang dalam proses kematian, karena kita saksikan orang Sunda secara perlahan-lahan sedang menjalankan pembunuhan terhadap bahasa Sunda sebagai bahasa Ibunya. Kita saksikan kian banyak orang Sunda yang tidak mau bercakap-cakap dengan bahasa Sunda, walaupun sesama orang Sunda. Kita juga saksikan umumnya orang Sunda kalau mau bercakap-cakap tentang hal tertentu lalu beralih kode ke bahasa Indonesia atau bahasa lain. Bahasa Sunda dianggap tidak cukup terhormat untuk menyampaikan pikirannya."
Selain itu Koran Harian Kompas Bandar Lampung dalam Martini (2009 : 7) melaporkan bahwa sebanyak 726 dari 746 bahasa Daerah di Indonesia terancam punah karena generasi muda tidak mau memakai bahasa tersebut. Bahkan kini hanya tersisa 13 bahasa Daerah yang memiliki jumlah penutur diatas 1 juta orang, itupun sebagian besar generasi tua.
Mengingat bahasa Sunda sebagai bahasa ibu dan sebagai pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda yang harus diperkenalkan kepada anak, maka pendidikan TK sebagai lembaga pendidikan awal bagi anak harus berupaya untuk membangkitkan kembali minat terhadap penggunaan bahasa Sunda.
Saat Ini di TK, bahasa Sunda kurang menjadi perhatian guru dan dalam pelaksanaan pembelajarannya kurang optimal, hal tersebut dapat terlihat dari jarangnya penggunaan media yang kurang bervariasi yang dapat mempengaruhi perkembangan bahasa Sunda anak dan kurangnya kesadaran dari guru akan pentingnya bahasa daerah. Seperti yang terjadi di TK X, berdasarkan hasil observasi sebelumnya masih banyak anak yang pasif dan diam ketika diajak bicara menggunakan bahasa sunda, bahkan kebanyakan dari mereka tidak bisa berbahasa Sunda.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan di TK dalam mengembangkan bahasa daerah salah satunya dengan mengoptimalkan penggunaan metode pembelajaran. Adapun metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Sunda khususnya dalam penguasaan kosakata adalah metode bermain peran.
Bermain peran ini diambil karena dalam metode bermain peran ada interaksi yang melibatkan anak dengan teman sebayanya. Dengan metode ini anak-anak menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dan bertukar ide, hingga meningkatkan kelancaran berbicara dan memperkaya kosakatanya.
Seperti penelitian yang dilakukan Arixs, (Cahyaningsih, 2009 : 5) tentang penerapan metode belajar sosiodrama atau bermain peran terhadap siswa PAUD di Denpasar Bali, menyimpulkan bahwa sekitar 90% materi pembelajaran dapat diserap anak-anak dengan menggunakan metode belajar sosiodrama, dan 65% maateri pelajaran dapat diserap oleh anak-anak dengan metode belajar konvensional.
Hamalik (Cahyaningsih, 2009 : 5) juga menyatakan bahwa metode bermain peran dapat mendorong siswa untuk mempelajari masalah-masalah sosial yang dapat memupuk komunikasi antar insani dikalangan siswa di kelas. Melalui kegiatan bermain peran siswa akan aktif membicarakan masala-masalah yang ditemuinya, menginformasikan hasil pengalaman melalui kegiatan berbicara. Begitu pula dikemukakan oleh Delpie (Cahyaningsih, 2009 : 5) tentang bentuk-bentuk permainan yang dapat dipakai sebagai intervensi pembelajaran salah satunya yaitu bermain pura-pura atau bermain peran adalah suatu bentuk permainan yang dilakukan oleh anak dengan menggunakan imajinasi agar membantu dalam pengembnagan daya berpikir dan kemampuan berbahasa.
Menurut Masitoh (Cahyaningsih,2009 : 5) bermain peran adalah salah satu metode pembelajaran yang bertujuan untuk mendorong anak berkomunikasi walaupun dengan bahasa yang terbatas menggunakan komunikasi verbal, seperti gerakan tubuh dan ekspresi muka juga melibatkan anak dari berbagai tingkatan melalui anggota tubuh mereka, pikiran, emosi, interaksi social dan bahasa.
Masitoh (Cahyaningsih, 2009 : 5) juga menjelaskan bahwa melalui bermain peran anak memperoleh kesempatan untuk berbagi peran-peran interaktif. Misalnya guru-murid, pedagang-pembeli, dokter-pasien. Selain itu juga anak dituntut untuk mampu beradaptasi dengan peran yang dimainkannya, responsif terhadap akting temannya, terampil berkomunikasi secara efektif mampu menerima kritik bila respon yang diberikan tidak sesuai dengan ekspektasi temannya.
Dalam kehidupan anak TK bermain peran atau bermain pura-pura mempunyai beberapa fungsi, antara lain untuk : menghindari keterbatasan kemampuan yang ada. Mengatasi larangan-larangan, dan menjadi pengganti berbagai hal yang tidak terpenuhi, menghindarkan diri dari hal-hal yang menyakitkan hati, menyalurkan perasaan negatif yang tidak mungkin dapat ditampilkan.
Menurut Moeslichatoen (Cahyaningsih, 2009 : 6) bermain peran atau bermain pura-pura lebih banyak dilakukan oleh anak yang kurang pandai menyesuaikan diri daripada oleh anak yang pandai menyesuaikan diri. Bermain pura-pura sendiri dapat dibedakan dalam bentuk :
a. minat pada personifikasi, misalnya berbicara pada boneka atau benda-benda mati
b. bermain pura-pura dengan menggunakan peralatan, misalnya minum dengan menggunakan cangkir kosong
c. bermain pura-pura dalam situasi tertentu, misalnya situasi kehidupan sehari-hari dalam keluarga, situasi di tempat praktek dokter yang mengobati anak sakit, dan sebagainya.
Bentuk kegiatan bermain peran atau bermain pura-pura merupakan cermin masyarakat disekitarnya dalam kehidupan sehari-hari. Segala sesuatu yang dilihat dan didengar akan terulang dalam kegiatan bermain pura-pura tersebut.
Kegiatan bermain peran ini terbagi dalam dua jenis kegiatan bermain. Pertama bermain peran besar (Makro) yang memerlukan kostum dan perlengkapan sesuai yang diperankan anak. Kedua, bermain peran kecil (Mikro) yang memerlukan peralatan tiruan (mainan).
Hal ini sesuai dengan pendapat Erickson (Ryolitta,2009 : 8) bahwa "teori bermain peran terbagi menjadi dua jenis, yaitu bermain peran mikro atau ukuran kecil dan bermain peran makro atau ukuran sesungguhnya”.
Selain itu menurut Khoirudin (2010) bermain peran mikro adalah kegitan bermain peran atau roleplay dengan menggunakan bahan-bahan main berukuran kecil seperti rumah boneka lengkap dengan perabotannya dan orang-orangan sehingga anak dapat memainkannya, atau rangkaian kereta api dengan rel dan jalan, dengan mobil, lapangan pesawat udara, kebun binatang, kemudian anak memainkanya lengkap dengan skenario yang biasanya disusun seketika dan dimainkannya bersama teman-temanya. Sedangkan bermain peran makro adalah main peran seasungguhnya dengan alat-alat main berukuran sesungguhnya dan anak dapat menggunakannya untuk menciptakan dan memainkan peran-peran, misalnya main dokter-dokteran maka alat permainan yang digunakan antara lain stetoskop mainan ukuran besar, replica jarum suntik, buku resep dan ball point, meja pendaftaran, petugas pendaftaran, perawat yang membantu dokter, kamar periksa dan sebagainya yang semuanya dalam ukuran besar dan dapat dipergunakan seperti kegiatan sesungguhnya. dalam skala besar misalnya kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, ruang tamu, ruang makan, kamar tidur, meja belajar, garasi, dan sebagainya dan anak-anak ada yang berperan sebagai bapak, ibu, kakak, adik, dan sebagainya.
Kegiatan bermain peran yang akan dilaksanakan di TK X adalah kegiatan bermain peran makro, dimana anak akan memerankan sebagai tokoh-tokoh tertentu, seperti pedagang, guru, dokter, dan lain-lain.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini untuk meneliti mengenai "Efektivitas Penggunaan Metode Bermain Peran Makro terhadap Peningkatan Penguasaan Kosakata Bahasa Sunda Anak Usia Taman Kanak-kanak"
Penelitian ini akan dilakukan di TK X dengan pertimbangan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti masih ditemukannya anak yang kosakata Bahasa Sundanya terbatas.

B. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini dirumuskan masalah sebagi berikut :
1. Bagaimana penguasaan kosakata bahasa Sunda anak sebelum diberikan metode pembelajaran bermain peran di TK X?
2. Bagaimana penguasaan kosakata bahasa Sunda anak sesudah diberikan metode pembelajaran bermain peran di TK X?
3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada kosakata Bahasa Sunda anak sebelum dan sesudah diberikannya metode bermain peran?

C. Tujuan Penelitian
a. Tujuan umum
Memperoleh informasi yang empiris tentang pengaruh penggunaan metode bermain peran terhadap peningkatan kosakata bahasa Sunda anak.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kosakata bahasa Sunda anak sebelum diberikannya metode bermain peran.
2. Untuk mengetahui kosakata bahasa Sunda anak sesudah diberikannya metode bermain peran.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan pada kosakata bahasa Sunda anak sebelum dan sesudah diberikan metode bermain peran.
SKRIPSI PENGARUH METODE PEMBELAJARAN BEYOND CENTERS AND CIRCLES TIME (BCCT) TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DI PLAY GROUP PLUS X

SKRIPSI PENGARUH METODE PEMBELAJARAN BEYOND CENTERS AND CIRCLES TIME (BCCT) TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DI PLAY GROUP PLUS X

(KODE : PG-PAUD-0009) : SKRIPSI PENGARUH METODE PEMBELAJARAN BEYOND CENTERS AND CIRCLES TIME (BCCT) TERHADAP PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI DI PLAY GROUP PLUS X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamen dalam kehidupan anak selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi penciri masa usia dini adalah the Golden Ages atau periode keemasan. Banyak konsep dan fakta yang ditemukan memberikan penjelasan periode keemasan pada masa usia dini, di mana semua potensi anak berkembang paling cepat. Beberapa konsep yang disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka, dan masa bermain.
Konsep tersebut diperkuat oleh fakta yang ditemukan oleh ahli-ahli Neurologi (ilmu tentang susunana dan fungsi saraf) yang menyatakan bahwa pada saat lahir otak bayi mengandung 100 sampai 200 milyar neuron atau sel syaraf yang siap melakukan sambungan antar sel. Sekitar 50% kapasitas kecerdasan manusia telah terjadi ketika usia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi 100% ketika anak berusia 8 sampai 18 tahun. Pertumbuhan fungsional sel-sel syaraf tersebut membutuhkan berbagai situasi pendidikan yang mendukung, baik dalam situasi pendidikan keluarga, masyarakat maupun sekolah. Para ahli pendidikan sepakat bahwa periode keemasan tersebut hanya berlangsung satu kali sepanjang rentang kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa betapa meruginya suatu keluarga, masyarakat dan bangsa jika mengabaikan masa-masa penting yang berlangsung pada anak usia dini.
Ada beberapa pendapat mengenai batasan masa anak. Batasan yang digunakan oleh The National Association For The Education Of Young Children (NAEYC) adalah yang dimaksud dengan Early chilhood (anak masa awal) yaitu anak yang sejak lahir sampai dengan usia delapan tahun, preschol adalah anak antara usia 1-3 tahun dan usia masuk kelas satu biasanya antara usia 3-5 tahun. sementara pengertian toddler (masih pendapatnya NAEYC) ialah anak yang mulai berjalan sendiri sampai dengan usia tiga tahun. Sedangkan Kindergarten secara perkembangannya meliputi anak usia 4-6 tahun.
Menurut Biecheler dan Snowman bahwa anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun yang biasanya mengikuti program prasekolah dan Kindergarten. Dalam pandangan mutakhir di negara maju, istilah anak usia dini (Early Chilhood) adalah anak yang berkisar antara usia 0-8 tahun. Bila dilihat dari jenjang pendidikan yang berlaku di Indonesia, maka yang termasuk dalam kelompok anak usia dini adalah anak SD kelas rendah (1-3), taman kanak-kanak (kindergarten), kelompok bermain (play Group), dan anak masa bayi. Masa kanak-kanak dalam hal ini dipandang sebagai masa anak usia 4-6 tahun. Sedangkan berdasarkan UU No. 22 Tahun 2003 Pasal 28 tentang Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Anak usia dini adalah kelompok manusia yang berumur 0-6 tahun. UU No.20 Tahun 2003 pasal itu juga menyebutkan bahwa, (1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar; (2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal; (3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat; (4) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan nonformal berbentuk Play Group (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat; dan (5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Beberapa ahli dalam bidang pendidikan dan psikologi memandang periode usia dini merupakan periode yang perlu mendapatkan penanganan sedini mugkin. Maria montessori berpendapat bahwa usia 3-6 tahun merupakan periode sensitif atau masa peka pada anak, yaitu suatu periode dimana suatu fungsi tertentu perlu dirangsang, diarahkan sehingga tidak terhambat perkembangannya. Erik H. Erikson juga memandang periode usia 4-6 tahun sebagai fase sense of initiative yang mana pada periode ini anak harus didorong untuk mengembangkan prakarsa, seperti kesenangan untuk mengajukan pertanyaan dari apa yang dilihat, didengar dan dirasakan. Mansyur juga berpendapat bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu proses pembinaan tumbuh kembang anak usia lahir sampai enam tahun secara menyeluruh, yang mencakup aspek fisik dan non fisik dengan memberikan rangsangan bagi perkembangan jasmani, rohani (moral dan spiritual), motorik, akal pikir, emosional, dan sosial yang tepat agar anak dapat tumbuh dan berkembangan secara optimal.
Ditinjau dari perkembangan otak manusia, maka tahap perkembangan otak pada usia dini menempati posisi yang paling vital, yakni meliputi 80% perkembangan otak. Masa anak-anak pun sangat identik dengan masa bermain. Bermain bagi anak-anak merupakan suatu hal yang tidak bisa dilewatkan, tetapi pada dasarnya dengan bermainan anak mengembangkan segala kemampuan yang dimilikinya. Selain itu, anak memiliki kebutuhan yang sangat besar terhadap teman sebaya sebagai teman bagi dia dalam melakukan suatu permainan. Pada saat ini pula anak bersifat aktif dan energik seolah tidak pernah merasa lelah, bersifat ekploratif dan berjiwa petualang.
Pada umur anak usia dini merupakan masa dimana mulai tumbuh rasa agama dalam kepribadian anak dan terbentuknya dasar nilai moral yang baik serta mulai terbinanya sikap positif pada agama. Sehinga dengan ini pengenalan dan penanaman konsep aqidah, ibadah dan intelektual yang sesuai dengan ajaran agama Islam yang fitri pada anak usia dini ini akan menjadi pondasi dan pembimbing baginya untuk menghadapi kehidupannya kelak. Ajaran agama Islam bukan suatu pengetahuan yang cukup hanya diketahui dan dihafal, tetapi harus diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, karena pada dasarnya setiap agama mengajak umatnya untuk memperoleh kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Ciri khusus tumbuh kembang anak pada usia dini ini memiliki efek yang sangat besar terhadap cara mendidik anak pada usia ini. Sedangkan pada realitanya, saat ini program pendidikan anak usia dini hanya terfokus pada peningkatan akademik, baik dalam hafalan-hafalan maupun kemampuan baca, tulis, dan hitung, yang pada pelaksanaannya seringkali mengabaikan tahap perkembangan anak. Banyaknya pelangaran hukum, pelangaran norma masyarakat dan agama, aksi anarkisme, penyimpangan sek, banyaknya siswa-siswa sekolah yang susah diajak belajar, dan lain sebagainya bisa diakibatkan oleh penyelenggaraan pendidikan yang kurang memperhatikan tahapan perkembangan anak, sehingga proses belajar yang dirasakan oleh anak adalah di bawah tekanan bukan sesuatu yang menarik dan penting bagi dirinya. Padahal yang terpenting pada pendidikan anak usia dini ini adalah memberikan fasilitas pendidikan yang sesuai, agar anak pada saatnya memiliki kesiapan baik secara fisik, mental, maupun sosial/emosionalnya dalam melaksanakan proses pendidikan selanjutnya.
Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitik beratkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Maka dari itu Pendidikan anak harus selalu dikedepankan jika memang sebuah bangsa mau menjadikan bangsanya lebih maju dari sebelumnya, atau minimal mempertahankan segi positip dari apa yang sudah ada sebelumnya. Disini, peranan orang tua, guru, dan masyarakat umumnya, harus mulai memikirkan cara terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan anak tersebut. Pembentukan karakter bangsa dan kehandalan sumber daya manusia ditentukan oleh bagaimana memberikan perlakuan yang tepat kepada anak. Stimulasi yang diberikan pada anak usia dini akan mempengaruhi laju pertumbuhan dan perkembangan anak serta sikap dan perilaku sepanjang rentang kehidupannya.
Salah satu usaha untuk mencetak generasi yang selalu mau belajar dan mengembangkan segala kemampuan yang ada pada diri dan sesuai dengan perkembangannya adalah dengan pendekatan beyond centers and circle time.
Pendekatan Beyond Centers And Circle Time (BCCT) atau pendekatan "sentra dan lingkungan" merupakan pendekatan penyelengaraan PAUD yang diadopsi dari Cretive Center for Chilhood Reasearch and Training (CCCRT) yang berkedudukan di Florida, Amerika Serikat. CCCRT meramu kajian teoritik dan pengalaman empirik dari berbagai pendekatan. Dari Montessori, Highscope, Head Start, dan Reggio Emilia. CCCRT dalam kajiannya telah diterapkan di Creative Pre School selama lebih dari 33 tahun.
Di Indonesia, BCCT kali pertama diadaptasi oleh TK Istiqlal Jakarta berlatar belakang Islam yang dipimpin oleh Nibras binti Nor Salim. Beliau pernah terbang langsung ke CCCRT Florida melakukan riset selama tiga bulan.
Pendekatan ini terfokus pada anak yang pada proses pembejarannya berpusat di sentra main. Pembelajaran disini dilakukan dengan prinsip bermain sambil belajar dan belajar seraya bermain.
Salah satu lembaga pendidikan anak usia dini yang mengalami pertumbuhan dengan pesat adalah Play Group Plus dengan berbagai sebutan lain seperti Taman Bermain atau Play Group. Play Group sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (pasal 28) merupakan salah satu lembaga pendidikan anak usia dini yang terdapat di jalur pendidikan non formal yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak usia 3 tahun sampai memasuki pendidikan dasar. Aturan yuridis ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan Play Group kedudukannya setara dengan penyelenggaraan Taman Kanak-Kanak yang juga mengelola anak usia 4 tahun sampai usia 6 tahun dan berada dalam jalur pendidikan formal.
Diantara berbagai lembaga pendidikan anak usia dini di Indonesia yaitu Play Group Plus X yang merupakan salah satu lembaga pendidikan penyelengara PAUD yang telah menerapkan metode Beyond Centres And Cilcles Time (BCCT).
Dari uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengambil judul "Pengaruh Metode Pembelajaran Beyond Centers and Circles Time (BCCT) Terhadap Perkembangan Anak Usia Dini di Play Group Plus X".

B. Rumusan Masalah
Mengacu pada penjelasan dalam latar bclakang diatas, maka penelitian memerlukan rumusan masalah sebagai acuan dalam meneliti, untuk menentukan sasaran dalam penelitian. Dalam penelitian kami merumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time (BCCT) di Play Group Plus X Kecamatan X ?
2. Bagaimana perkembangan anak usia dini di Play Group Plus X Kecamatan X?
3. Apakah metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time (BCCT) berpengaruh terhadap perkembangan anak usia dini di Play Group Plus X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelaksanaan metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time (BCCT) di Play Group Plus X Kecamatan X.
2. Untuk mengetahui perkembangan anak usia dini di Play Group Plus X.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time (BCCT) terhadap perkembangan anak usia dini di Play Group Plus X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan penelitian dalam skripsi ini adalah :
1. Bagi peneliti :
a. Sebagai bahan pembelajaran bagi peneliti serta tambahan pengetahuan sekaligus untuk mengembangkan pengetahuan penulis dengan landasan dan kerangka teoritis yang ilmiah atau pengintegrasian ilmu pengetahuan dengan praktek serta melatih diri dalam research ilmiah.
b. Untuk memenuhi beban SKS dan sebagai bahan penyusunan skripsi serta ujian munaqosah yang merupakan tugas akhir penulis untuk memperoleh gelar sarjana strata satu (S1) pada jurusan Pendidikan Agama Islam.
2. Bagi Obyek Penelitian
a. Untuk meningkatkan mutu pembelajaran dengan memberikan metode pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak usia dini sehingga anak dapat mencapai perkembangan yang ideal.
b. Membantu guru dalam mengefektifkan pembelajaran di Play Group Plus khususnya di Play Group Plus X.
c. Sebagai sumbangan khasanah keilmuan dalam bidang pendidikan dan khususnya pendidikan anak usia dini.
3. Sebagai sumbangan kepada IAIN X khususnya kepada perpustakaan sebagai bahan bacaan yang bersifat ilmiah dan sebagai kontribusi hasanah intelektual pendidikan.

E. Sistematika Pembahasan
BAB I : Membahas tentang : Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, hipotesis, batasan masalah, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II : Membahas tentang : Kajian Teoritis Metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time, Perkembangan anak usia dini, serta Pengaruh metode pembelajaran Beyond Centers and Circles Time terhadap perkembangan anak usia dini.
BAB III : Membahas Laporan Penelitian yang meliputi : Gambaran umum obyek penelitian, Penyajian data dan analisis data terkait Play Group Plus X.
BAB IV : Kesimpulan, saran-saran serta penutup.
SKRIPSI PENGARUH METODE CANTOL ROUDHOH TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TK

SKRIPSI PENGARUH METODE CANTOL ROUDHOH TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TK

(KODE : PG-PAUD-0008) : SKRIPSI PENGARUH METODE CANTOL ROUDHOH TERHADAP KEMAMPUAN MEMBACA DINI ANAK TK




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan seseorang untuk mengutarakan perasaan yang sedang dialaminya, sehingga beban hidupnya dapat terasa lebih ringan. Bahasa juga dapat merupakan beberapa simbol baik verbal maupun visual yang dapat anak gunakan untuk mendapatkan pemahaman suatu informasi bam. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membaca informasi tersebut di buku atau majalah dan dapat didengar melalui radio atau media elektronik. Menurut Yunus (2005 : 118) Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang biasa digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan orang lain. Dhieni et al (2005 : 1.8) menyatakan bahwa bahasa mencakup cara berkomunikasi, dimana pikiran dan perasaan dapat diekspresikan melalui simbol seperti tulisan, lisan, lukisan, isyarat maupun mimik wajah atau body language yang dapat menggambarkan perasaan seseorang. Sejalan dengan itu, Sofa (2008 : 1) menyatakan bahasa mencakup segala bentuk komunikasi, baik yang diutarakan dalam bentuk lisan, tulisan, bahasa isyarat, bahasa gerak tubuh, ekspresi wajah pantomim atau seni.
Bahasa memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh DEPDIKBUD (1996 : 3) bahwa bahasa berfungsi sebagai, (1) Alat untuk berkomunikasi dengan lingkungan (2) Alat untuk mengembangkan kemampuan intelektual anak (3) Alat untuk mengembangkan ekspresi anak (4) Alat untuk menyatakan perasaan dan buah pikiran kepada orang lain.
Anak usia dini sebenarnya belum mampu menguasai kata-kata, dengan kemampuannya yang sedang berkembang pesat, anak usia dini mulai mengerti dan memahami satu per satu makna kata, dan apa yang dikatakan oleh orang dewasa. Selain dapat berkomunikasi dengan orang dewasa, anak dapat berinteraksi dengan teman sebayanya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Hurlock (1993 : 192) bahwa hal-hal yang dibicarakan oleh anak sangat dipengaruhi oleh umur, luas pengalaman, dan pola kepribadian mereka. Anak terutama membicarakan mengenai dirinya sendiri, kegiatan, dan keluarga mereka, serta hubungan mereka dengan keluarga lain.
Dalam suatu lingkungan sekolah maupun masyarakat, bila ada satu orang anak yang sudah mampu untuk mengucapkan huruf "R" dengan jelas, pasti akan ada anak yang belum mampu mengucapkan huruf "R" seperti anak yang pertama. Menurut Handayani (2004 : 11.1) setiap anak itu berbeda, dalam satu sekolah ada beberapa orang anak yang berada pada rentang usia yang sama tetapi tahapan perkembangan mereka berbeda. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan berbahasa anak. Menurut Petty dan Jensen (Handayani, 2004 : 11.8) ada 4 faktor yang mempengaruhi perkembangan berbahasa anak, yaitu : (1) berbedanya cara anak mempelajari bahasa tersebut (2) berbedanya jenis bahasa yang dipelajari anak (3) berbedanya karakteristik anak (4) berbedanya lingkungan tempat proses pembelajaran bahasa itu terjadi.
Salah satu perkembangan bahasa yang harus dikuasai oleh anak adalah membaca. Pratiwi (2007 : 1.27) menyatakan perkembangan bahasa khususnya membaca merupakan kemampuan yang harus dikuasai oleh anak dengan baik. Membaca itu sangat penting untuk pengembangan dan pemeliharaan kehidupan suatu masyarakat. Membaca merupakan dasar bagi manusia untuk mencapai puncak suatu kesuksesan. Hal ini sejalan dengan pendapat Leonhardt (Dhieni et al, 2005 : 5.2) bahwa membaca sangat penting bagi anak. Anak yang gemar membaca akan memiliki rasa kebahasaan yang tinggi sehingga perkembangannya dalam berbicara, menulis dan memahami gagasan-gagasan yang rumit dapat lebih baik.
Menurut Yunus (2007 : 1.5) Membaca adalah kegiatan berbahasa yang secara aktif menyerap informasi atau pesan yang disampaikan melalui media tulis seperti buku, artikel, modul, surat kabar, atau media tulis lainnya. Membaca itu bukan sekadar memahami simbol-simbol tulisan, tetapi juga harus membangun makna, memahami tulisan, gambar dan maknanya. Oleh karena itu membaca disebut kegiatan aktif. Sependapat dengan Yunus, Goodman (Setiawan & Budi, 2006 : 7.2) menyatakan bahwa membaca bukan hanya sekedar membunyikan huruf-huruf tetapi memberi makna pada tulisan.
Kegemaran membaca harus dikembangkan sejak dini, karena bila anak gemar membaca itu akan membawa pengaruh yang positif bagi kehidupannya di masa depan. Anak usia Taman Kanak-kanak sesungguhnya sudah dapat diajarkan untuk membaca. Membaca dan menulis itu seperti permainan yang sangat menyenangkan bagi anak, dan penerapan membaca dini sangat cocok diterapkan pada anak usia prasekolah. Tetapi orang tua maupun pendidik harus dapat melihat karakteristik dan kesiapan anak untuk diajarkan membaca. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Tom dan Sobol (2003 : 26) bahwa anak yang sudah memiliki kesiapan membaca di Taman Kanak-kanak akan lebih percaya diri dan penuh kegembiraan.
Membaca dini merupakan salah satu persiapan bagi anak Taman Kanak-kanak agar dapat membaca kata-kata sederhana, mengetahui tulisan, dan makna katanya. Membaca dini dapat menimbulkan dampak positif bagi perkembangan bahasa anak untuk jenjang pendidikan selanjutnya. Soutgate : 1972, Steinberg : 1982, Smith : 1990, dan Tampubolon : 1993 (Ruspitasari, 2006 : 2) mengemukakan bahwa "membaca dini adalah membaca yang diajarkan secara terprogram kepada anak prasekolah". Program ini menumpukan perhatian pada perkataan-perkataan utuh dan bermakna dalam konteks pribadi anak-anak. Bahan yang diajarkan diberikan melalui permainan dan kegiatan yang menarik sebagai perantara pembelajaran.
Pada dasarnya pelajaran membaca tidak diperkenankan di tingkat Taman Kanak-kanak, kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan kata dasar yang dikenalkan setelah anak berada di kelompok B. Akan tetapi, pada saat ini hal tersebut menimbulkan sedikit masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran membaca. Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca dini bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai keterampilan tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, pembelajaran membaca dini bagi anak Taman Kanak-kanak dapat diberikan melalui permainan, dan banyak cara yang dapat dilakukan oleh pendidik maupun orang tua untuk mengembangkan kemampuan membaca dini bagi anak usia prasekolah. Berbagai metode banyak dikembangkan di Taman Kanak-kanak dan salah satunya adalah metode cantol roudhoh.
Metode cantol roudhoh salah satu metode yang dikembangkan untuk mengajarkan anak membaca melalui lagu, dengan begitu anak lebih mudah untuk mengingat berbagai macam simbol huruf. Anak-anak cukup mengenal dan mengingat 21 nama cantolan, dalam metode cantol roudhoh terdapat berberapa media untuk anak belajar membaca, seperti VCD lagu yang berisi tentang cantolan dengan suku katanya, VCD penuntun yang memperkenalkan anak pada 19 kelompok barisan, lingkaran cantol adalah media untuk mengevaluasi anak terhadap penguasaan kelompok suku kata, dan kartu bacaan sebagai penguasaan akhir anak membaca.
Rinta (2009 : 1) Metode cantol roudhoh merupakan salah satu teknik yang dikembangkan "Quantum Learning' dalam penerapannya, metode ini bersosialisasi dalam persamaan bunyi dan bentuk visual. Dalam mengajarkan membaca teknik-teknik tersebut sangat diperlukan untuk mempermudah anak dalam mengingat simbol-simbol huruf. Pengenalan membaca yang efektif adalah mengenalkan seluruh bunyi suku kata dasar yang menjadi pembentukan kata dalam bahasa Indonesia dan tahap selanjutnya adalah "kata" yang dikenalkan kepada anak.
Menurut Dian Rinta (2009 : 2) Metode membaca cantol roudhoh adalah sebuah metode membaca yang berpegang pada prinsip dengan mengembangkan aspek visual, auditurial dan kinestetik yang didalamnya terdapat unsur warna, gambar, nada, irama, dan rasa nyaman. Lagu merupakan salah satu unsur didalamnya. Metode ini mempermudah anak hanya dengan mengingat 21 cantolan beserta kelompok suku katanya yang mudah dihafal dalam bentuk lagu, sehingga metode ini sangat mudah sekali diserap oleh anak-anak prasekolah.
Penerapan metode cantol roudhoh dalam pembelajaran dapat membuat anak tertarik dan anak mau berlama-lama untuk belajar membaca, serta dapat menciptakan suasana yang menarik dan menyenangkan. Sebagaimana yang dikemukakan Budi (2008 : 1) yaitu belajar dengan metode "Cantol Roudhoh" membuat anak-anak usia tiga hingga delapan tahun menjadi betah berlama-lama belajar membaca, sebab tidak ada paksaan ataupun hukuman. Metode ini hanya memerlukan gambar-gambar yang menarik perhatian anak dan yang paling penting menciptakan suasana nyaman serta menyenangkan bagi anak.
Penelitian yang dilakukan oleh Wijayanti (2009) untuk meningkatkan kemampuan membaca anak dengan menggunakan metode cantol roudhoh terhadap anak kelompok A1 Taman Kanak-kanak TK ABA. Membuktikan bahwa : (1) Penerapan metode cantol roudhoh dapat meningkatkan keterampilan membaca siswa kelas A1 TK ABA. Pada saat sebelum dikenai tindakan, sebagian besar siswa tidak mengalami kemajuan, tetapi mereka mengalami kemajuan pesat setelah dikenai tindakan dengan metode cantol roudhoh. Hal ini terbukti adanya peningkatan keterampilan membaca siswa setelah dilakukan tindakan. Alat ukur yang digunakan untuk mengetahui peningkatan keterampilan membaca siswa adalah tes membaca; (2) Penerapan metode cantol roudhoh dapat meningkatkan motivasi, perhatian, dan keaktifan siswa kelas A1 di TK ABA.
Berdasarkan hasil observasi awal terhadap guru di Taman Kanak-kanak Islam X Kota X, metode cantol roudhoh belum pernah digunakan dalam aktivitas pembelajaran perkembangan bahasa anak, khususnya dalam meningkatkan kemampuan membaca dini. Metode yang digunakan untuk pembelajaran membaca di Taman Kanak-kanak tersebut hanya menggunakan metode konvensional berupa buku paket membaca, majalah, dan pengenalan huruf secara terpisah, sehingga anak merasa aktivitas membaca sangat membosankan dan terkesan "dipaksakan".
Kondisi akhir-akhir ini, orang tua mengharapkan anak usia prasekolah itu sudah dapat membaca, menulis dan berhitung atau yang lebih dikenal dengan "CaLisTung”. Seperti yang dikatakan oleh Teale dan Sulzby (Setiawan & Budi, 2006 : 7.2) bahwa mereka mengatakan kita tidak dapat menerapkan metode baca-tulis untuk anak SD di Taman Kanak-kanak karena pembelajaran tradisional yang biasa digunakan di kelas satu, tidak sesuai untuk anak kecil (anak di bawah kelas satu SD).
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian difokuskan pada "Pengaruh Metode Cantol Roudhoh Terhadap Kemampuan Membaca Dini Anak TK".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "pengaruh metode cantol roudhoh terhadap kemampuan membaca dini anak" dan secara lebih rinci, rumusan masalah akan diuraikan sebagai berikut :
1. Bagaimana profil awal kemampuan membaca dini anak di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol di Taman Kanak-kanak Islam X ?
2. Bagaimana profil akhir kemampuan membaca dini anak di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol Taman Kanak-kanak Islam X ?
3. Apakah terdapat pengaruh dari penggunaan metode Cantol Roudhoh terhadap kemampuan membaca dini anak ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Penelitian
Dengan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran secara umum tentang penggunaan metode Cantol Roudhoh terhadap kemampuan membaca dini anak di TKI X.
2. Tujuan Khusus Penelitian
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Mengetahui profil awal kemampuan membaca dini anak di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol TK Islam X.
2. Mengetahui profil akhir kemampuan membaca dini anak di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol TK Islam X.
3. Mengetahui pengaruh dari penggunaan metode Cantol Roudhoh terhadap kemampuan membaca dini anak di kelompok eksperimen dan kelompok kontrol TK Islam X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Bagi bidang keilmuan pendidikan anak usia dini, dapat memberikan sumbangan ilmiah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak terutama dalam kemampuan membaca dini melalui metode Cantol Roudhoh.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Peneliti memperoleh pengalaman dan wawasan pribadi dalam mengembangkan program pengembangan bahasa, khususnya kemampuan membaca dini pada anak usia dini.
b. Bagi Guru
1) Penelitian ini dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam memilih metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan
membaca dini bagi anak usia dini.
2) Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan dalam melakukan pengkajian lebih lanjut melalui kegiatan penelitian kemampuan membaca dini pada anak usia dini.
c. Bagi Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Lembaga mendapatkan kontribusi yang dapat meningkatkan dan mengembangkan program pembelajaran, khususnya dalam pengembangan kemampuan membaca dini pada anak usia dini.

E. Sampel Penelitian
Sampel menurut Riyanto (2001 : 52) adalah bagian dari populasi. Jenis sampel yang diambil harus mencerminkan populasi. Sampel dapat didefinisikan sebagai sembarang himpunan yang merupakan bagian dari populasi.
Arikunto (Muharromi, 2009 : 12) menyatakan penentuan sampel dengan jumlah populasi yang kurang dari seratus dapat digunakan teknik total sampling, artinya seluruh populasi dijadikan sampel penelitian.
Dengan pertimbangan TK Islam X merupakan salah satu Taman Kanak-kanak yang belum menggunakan metode Cantol Roudhoh dalam kegiatan pembelajarannya dalam mengembangkan kemampuan berbahasa anak dalam hal membaca dini.
Sementara itu, objek penelitian dari populasi di atas ditujukan kepada kelompok B1 dan B2 di TK Islam X dengan jumlah murid masing-masing kelas 10 orang.
SKRIPSI PENGARUH METODE PEMBELAJARAN EKSPERIMEN TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS ANAK

SKRIPSI PENGARUH METODE PEMBELAJARAN EKSPERIMEN TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS ANAK

(KODE : PG-PAUD-0007) : SKRIPSI PENGARUH METODE PEMBELAJARAN EKSPERIMEN TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS ANAK




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Proses pembelajaran di Taman Kanak-Kanak, terkadang tidak sesuai dengan anak yang aktif dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Pembelajaran di TK lebih banyak merupakan transfer pengetahuan dan berupa hafalan. Hal itu tidaklah sepenuhnya salah karena ada beberapa materi pembelajaran yang harus disampaikan secara langsung dan harus dihafalkan oleh anak-anak.
Bredekamp & Copple, (Masitoh, 2005 : 21) mengatakan bahwa anak usia TK memiliki sifat relatif spontan dalam mengekspresikan perilakunya, bersifat aktif dan energik, memiliki rasa ingin tahu dan antusias yang tinggi terhadap berbagai objek, bersifat eksploratif dan berjiwa petualang, kaya akan imajinasi, serta merupakan masa yang potensial untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangannya.
Sains adalah bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan. Oleh karena itu, guru harus mengenalkan sains dalam pembelajaran di TK. Pada masa kanak-kanak belum dapat secara efektif berpikir parsial, spesifik, dan terkotak-kotak. Berdasarkan itu maka pembelajaran sains di TK semestinya disajikan dalam bentuk yang holistik terpaut dengan dunia nyata anak dan mata pelajaran yang lain. Perlu juga diperhatikan bahwa kemampuan persepsi anak terhadap informasi dalam pembelajaran sains turut dipengaruhi oleh tingkat atensi (perhatian)nya terhadap obyek-obyek yang diobservasi, gerakan, intensitas stimuli, kebaruan (novelty), dan faktor-faktor yang dapat dimanipulasi guru untuk meningkatkan keinginan anak untuk mempelajari sains. Permasalahan yang muncul adalah apabila pembelajaran yang berorientasi pada sains, dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada hasil. Pembelajaran ilmu pengetahuan terutama yang berhubungan dengan sains sebaiknya menggunakan metode pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk aktif dalam mengeksplorasi berbagai ide-ide mereka dan tidak terlalu menekan anak untuk belajar secara akademis.
Abrucato (Nugraha, 2008 : 45) mengungkapkan bahwa Pembelajaran sains akan diwujudkan secara nyata dalam bentuk menemukan konsep baru, mengkreasi keterampilan yang bersifat orisinil dari anak. Apabila dihubungkan dengan kedudukan sains yang menjungjung tinggi orisinalitas maka kreativitas merupakan tujuan alamiah dari pembelajaran sains di TK, serta makna nilai pembelajaran sains di TK adalah untuk perkembangan dan pertumbuhan daya pikir serta daya imajinasi anak.
Kegiatan pengenalan sains untuk anak TK sebaiknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Guru hendaknya tidak memberikan konsep sains kepada anak, tetapi memberikan kegiatan pembelajaran yang memungkinkan anak menemukan sendiri fakta dan konsep sederhana tersebut. Teori Experimental Learning dari Carl Roger (elearn.bpplsp-reg5.go.id) mengisyaratkan pentingnya pembelajaran yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan anak.
Dalam pembelajaran sains di TK seyogyanya lebih mementingkan proses daripada hasil, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran sains lebih menekankan pada hasil.
Praktek pembelajaran sains di lapangan masih menggunakan metode-metode konvensional dimana guru menggunakan metode berceramah, diskusi, yang membuat anak banyak mendengar, duduk, dan diam, padahal hakikat pembelajaran sains adalah memberikan pengalaman yang menantang sehingga memfasilitasi rasa ingin tahu anak dengan menyuguhkan pembelajaran yang variatif, menyenangkan, menantang anak untuk mengobservasi dan mengeksplorasi berbagai macam objek fisik dan alam, serta kejadian-kejadian yang ada di lingkungan anak. Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas dan permasalahan yang ditemukan di lapangan, maka studi ini terarah pada pengujian pengaruh metode pembelajaran eksperimen terhadap keterampilan proses sains anak usia taman kanak-kanak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas secara umum permasalahan pokok penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan, "Apakah metode pembelajaran eksperimen lebih berpengaruh positif terhadap keterampilan proses sains anak daripada pembelajaran kovensional ?". Secara rinci rumusan masalah di atas dijabarkan ke dalam rumusan pertanyaan penelitian berikut.
1. Bagaimana keterampilan proses sains anak pada saat pembelajaran dengan metode konvensional?
2. Bagaimana keterampilan proses sains anak pada saat pembelajaran dengan metode eksperimen?
3. Apakah terjadi perbedaan yang signifikan terhadap keterampilan proses sains pada kelompok kontrol (metode konvensional) dan kelompok eksperimen (metode eksperimen)?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pembelajaran eksperimen pada keterampilan proses sains pada anak. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui keterampilan proses sains anak pada pembelajaran dengan metode konvensional (kelompok kontrol).
2. Untuk mengetahui keterampilan proses sains anak pada pembelajaran dengan metode eksperimen (kelompok eksperimen).
3. Untuk mengetahui signifikasi perbedaan keterampilan proses sains anak pada pembelajaran dengan metode konvensional dan pembelajaran dengan metode eksperimen.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat-manfaat sebagai berikut :
1. Untuk mengukur keterampilan proses sains anak di TK X dengan menggunakan metode konvensional dan meode eksperimen.
2. Pembuktian pengaruh pembelajaran eksperimen terhadap keterampilan proses sains anak di TK X.

E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini, disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis, defmisi operasional variabel, asumsi penelitian, metode penelitian, sampel penelitian dan sumber data, teknik pengurupulan data, teknik pengolahan data, serta sistematika penulisan.
Bab II Eksperimen sebagai Salah Satu Metode yang Efektif dalam Meningkatkan Keterampilan Proses Sains berisi penjelasan tentang, keterampilan proses sains dalam pembelajaran eksperimen.
Bab III Prosedur Penelitian berisi tentang metode dan desain penelitian, prosedur penelitian, variabel penelitian, defmisi operasional variabel, instrumen, teknik analisis, serta populasi dan sampel penelitian
Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, memuat deskripsi hasil penelitian dan analisis hasil penelitian.
Bab V Simpulan dan Rekomendasi, berisi simpulan dan rekomendasi yang diperoleh penulis setelah melakukan penelitian.