Search This Blog

TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA THD ETOS KERJA GURU SMK

TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA THD ETOS KERJA GURU SMK

(KODE : PASCSARJ-0129) : TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA THD ETOS KERJA GURU SMK (PRODI : PENDIDIKAN TEKNOLOGI DAN KEJURUAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Profesionalisasi guru telah banyak dilakukan namun pelaksanaannya masih dihadapkan pada berbagai kendala, baik dilingkungan Depdiknas, maupun di lembaga pencetak guru. Kendala yang muncul di lembaga pencetak guru antara lain : tidak adanya lembaga secara khusus untuk menangani dan menyiapkan guru seperti IKIP pada masa lalu. Kemudian profesi guru belum menjadi pilihan utama bagi lulusan sekolah menengah, sehingga kualitas masukan (input) nya rendah.
Untuk merekayasa Sumber Daya Manusia yang berkualitas, dan yang mampu bersaing dengan Negara maju, diperlukan guru serta tenaga kependidikan profesional yang mempakan penentu utama sebagai ujung tombak keberhasilan dibidang pendidikan. Hasil penelitian para ilmuan : Murphy, (1992), Brand, (1993), Cheng dan Wong, (1996), Supriadi, (1998 : 178), Jalal dan Mustafa, (2001) Buku E. Mulyasa, (2008 : 8-9) sedikitnya ada tujuh indikator yang menunjukkan lemahnya kinerja guru dalam melaksanakan tugas utamanya sebagai pengajar yaitu : (a) rendahnya pemahaman tentang strategi pembelajaran, (b) kurangnya kemahiran dalam mengelola kelas, (c) rendahnya kemampuan melakukan dan memanfaatkan penelitian tindakkan kelas (d) rendahnya motivasi berprestasi, (e) kurang disiplin, (f) rendahnya komitmen profesi, (g) serta rendahnya kemampuan manajemen waktu.
Akadum (1999 : 1-2) menilai bahwa, rendahnya kompetensi guru dapat disebabkan karena beberapa hal antara lain : (1) masih banyak guru yang tidak menekuni profesinya secara total, (2) rentan dan rendahnya kepatuhan guru terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3) pengakuan terhadap ilmu pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan pihak-pihak terlibat, (4) masih belum smooth-nya perbedaan tentang proporsi, materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5) masih belum berfungsinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) sebagai organisasi profesi yang berupaya secara maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya. Selanjutnya, Ani M. Hasan (2006 : 6) mengemukakan bahwa rendahnya profesionalisme guru disebabkan : (1) masih banyaknya guru yang tidak menekuni profesinya secara profesional. Dalam hal ini dapat dilihat dari banyaknya guru yang bekerja di luar jam kerjanya, hal ini terjadi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari sehingga tidak ada waktu untuk membaca dan menulis atau melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan kemampuan dirinya; (2) belum adanya standar profesional guru sebagaimana tuntutan negara-negara maju; (3) kemungkinan disebabkan oleh adanya perguruan tinggi swasta sebagai pencetak guru yang lulusannya asal jadi dalam memperhitungkan sistem output, kelak di lapangan sehingga menyebabkan banyak guru yang tidak patuh terhadap etika profesi keguruan; (4) kurangnya motivasi guru dalam meningkatkan kualitas diri karena guru tidak dituntut untuk meneliti sebagaimana yang diberlakukan pada calon guru diperguruan tinggi.
Dengan demikian diperlukan suatu kebijakan pendidikan dalam rangka mengembangkan kompetensi profesional guru serta pedoman kebijakan teknis yang dapat membantu bidang pendidikan yang berisi panduan untuk meningkatkan kompetensi guru khususnya guru SMK untuk dapat dilaksanakan di setiap wilayah propinsi di seluruh Indonesia. Hal ini bertujuan untuk : (1) Memberikan pedoman untuk mengembangkan kompetensi guru SMK kepada para pejabat Dinas dan Pendidikan dan Pengajaran (Dinas P dan P) di setiap wilayah propinsi di Indonesia, (2) Memberikan acuan dalam menyelenggarakan pengembangan kompetensi guru SMK, (3) Meningkatkan kompetensi personal, profesional dan sosial dari guru-guru SMK, dan (4) Meningkatkan profesionalitas guru SMK.
Secara umum, kompetensi guru mempakan "seperangkat kemampuan, baik bempa pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dituntut untuk jabatan sebagai guru", Kompetensi dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan. Kemudian kompetensi seorang guru dapat dibagi dalam tiga kategori yaitu : kompetensi profesional, kompetensi sosial, dan kompetensi personal/kepribadian yang dijabarkan dalam penampilannya ketika menjalankan tugas serta fungsinya sebagai tenaga pendidik (Indra Djati Sidi, 2002 : 9).
Untuk itu komponen sumber daya manusia yang mempunyai etos kerja tinggi sangat diperlukan untuk mendukung terciptanya kompetensi yang disebutkan di atas. Ternyata etos kerja yang tinggi harus didukung oleh disiplin dan motivasi yang tinggi pula. Motivasi mempakan daya penggerak baik yang ditimbulkan dari dalam maupun dari luar diri. Dengan adanya motivasi dimungkinkan dalam melaksanakan tugasnya akan berjalan dengan baik. Edwin B. Flippo (Hasibuan, 2006 : 143) menyatakan bahwa motivasi adalah suatu kekuatan yang dihasilkan dari keinginan seseorang untuk memuaskan kebutuhannya. Makna ungkapan di atas menunjukkan bahwa dengan adanya motivasi seorang individu akan berusaha dengan sekuat tenaga agar mampu mencapai apa yang diinginkan.
Berkenaan dengan motivasi ini, maka motivasi akan ditentukan oleh adanya motivasi yang datang dari dalam diri dan yang datang dari luar diri seseorang. Menurut Abin Syamsudin (1999 : 29) motif dapat tumbuh dan berkembang dengan dua jalan yaitu yang datang dari dalam diri individu itu sendiri (instrinsik) dan yang datang dari lingkunag (ekstrinsik). Dengan dengan motif akan aktif dan menjadi kuat dalam diri seseorang karena pengaruh faktor-faktor yang ada dalam dirinya maupun yang berasal dari luar dirinya.
Melalui motivasi dan disiplin yang tinggi seorang guru mampu menunjukkan etos kerjanya. Etos kerja guru adalah sebagai aktualisasi komponen profesional yang dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Faktor internal artinya faktor yang berada di dalam diri guru itu sendiri, sedangkan faktor eksternal artinya faktor yang berada di luar dirinya.
Faktor internal yang berhubungan dengan etos kerja guru antara lain : keterampilan, kualifikasi pendidikan, disiplin, motivasi, moral, dan persepsi terhadap profesi. Faktor eksternal yang berhubungan dengan etos kerja guru antara lain : peraturan organisasi, kepemimpinan, imbalan (reward), dan hukuman (punishment) yang diterima, serta pendidikan dan pelatihan yang pernah diikutinya.
Fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak diantara guru yang cenderung kurang bisa memanfaatkan kesempatan atau waktu luangnya untuk berkreativitas. Hal ini dapat dilihat dari ketidakseriusan guru, masih kurangnya dorongan dari diri sendiri untuk mampu menunjukkan perannya sebagai guru profesional. Kurangnya motivasi ini terlihat dari sikap yang tidak disiplin dalam segala hal, seperti yang ditemukan dilapangan masih terdapat sejumlah guru datang terlambat mengajar, masih ada guru memberikan catatan sampai jam berakhir, masih terdapat guru yang tidak disiplin waktu, datang dan pulang tidak menandatangani daftar hadir, dan masih terdapat guru yang tidak memiliki perangkat persiapan mengajar yaitu, RPP. Fenomena ini tentu akan berimbas kepada tingkat etos kerja yang rendah.
Atas dasar pentingnya kompetensi profesional guru, disiplin dan motivasi yang diperlukan saat sekarang dan masa mendatang, penulis sangat tertarik untuk melakukan sebuah penelitian terhadap guru-guru SMK bidang Teknologi dan Industri yang ada di Kabupaten X dengan Judul : "PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP ETOS KERJA GURU SMK BIDANG TEKNOLOGI DAN INDUSTRI DI KABUPATEN X".

B. Identifikasi Masalah
Kompetensi guru adalah mempakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Guru sebagai orang yang perilakunya menjadi panutan siswa dan masyarakat pada umumnya harus dapat mengimplementasikan tujuan-tujuan pendidikan yang akan dicapai dalam tujuan nasional maupun sekolah. Kegiatan pembelajaran, dan hasil belajar peserta didik tidak saja ditentukan oleh manajemen sekolah, kurikulum, sarana dan prasarana pembelajaran, tetapi sebagian besar ditentukan oleh guru.
Peningkatan etos kerja dan pengembangan kompetensi guru dapat dilaksanakan melalui pembinaan disiplin dan motivasi yang terencana dengan baik dan berkesinambungan karena tantangan yang dihadapi dunia pendidikan semakin berat dan kompleks. Permasalahan yang muncul adalah :
1. Apakah motivasi kerja guru memiliki pengaruh terhadap etos kerja?.
2. Apakah disiplin kerja guru memiliki pengaruh terhadap etos kerja?
3. Apakah kompetensi profesional guru rendah diakibatkan oleh etos kerja?.
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut perlu ditinjau kembali tentang
disiplin kerja dan motivasi kerja guru terhadap etos kerja, dalam mengembangkan kompetensi profesional guru kejuruan yang telah dimiliki saat ini serta kompetensi ideal yang harus dimiliki.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, agar tidak terjadi salah penapsiran dalam penelitian ini maka penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut :
1. Pengaruh motivasi guru terhadap etos kerja dalam menjalankan tugasnya.
2. Pengaruh disiplin guru terhadap etos kerja.
3. Pengaruh rendahnya kompetensi profesional guru diakibatkan oleh etos kerja.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi telah dikemukan, maka penelitian ini dapat dimmuskan yaitu : "Adakah pengaruh yang signifikan antara motivasi dan disiplin kerja terhadap etos kerja?. Hal ini dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan penelitian dalam mengambil data dilapangan berupa data olahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaruh motivasi guru terhadap etos kerja?.
2. Bagaimanakah pengaruh disiplin guru terhadap etos kerja?.
3. Bagaimanakah pengaruh motivasi dan disiplin guru terhadap etos kerja guru?.

E. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan faktor-faktor yang berhubungan dengan etos kerja guru serta menemukan upaya untuk meningkatkannya secara optimal. Secara khusus, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Pengaruh motivasi guru terhadap etos kerja guru.
2. Pengaruh disiplin guru terhadap etos kerja guru.
3. Pengaruh disiplin dan motivasi guru terhadap etos kerja.

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yang berkaitan dengan peningkatan etos kerja guru, agar tercipta kondisi pada guru SMK kompetensi profesional.
a. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap prinsip-prinsip serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan etos kerja guru SMK.
b. Secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi pihak-pihak terkait dalam upaya mengembangkan dan merencanakan program peningkatan kompetensi profesional dan etos kerja guru SMK. Beberapa manfaat praktis yang ingin dicapai melalui penelitian ini antara lain sebagai berikut :
Pertama, bagi guru dalam mendorong perilakunya untuk meningkatkan kompetensi profesional secara mandiri sehubungan dengan tugas dan tanggung jawab profesi yang diembannya;
Kedua, bagi kepala sekolah dalam membimbing, membina, serta mengarahkan guru untuk mendorong atau memberi motivasi terhadap peningkatan etos kerjanya.
Ketiga, bagi penyelenggara dan pembina program pendidikan sebagai masukan dalam merumuskan kebijakan serta menyusun rencana program peningkatan semangat kerja guru untuk merealisasikan pengembangan kompetensi profesional sebagai tanggung jawabnya; dan Keempat, bagi peneliti selanjutnya sebagai sumber informasi yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang berbagai permasalahan yang berkaitan dengan peningkatan etos kerja guru sebagai salah satu upaya meningkatkan mutu pendidikan dan penyelenggaraan pendidikan di masa mendatang.
TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA MADRASAH DAN IKLIM ORGANISASI MADRASAH TERHADAP KINERJA INOVATIF GURU

TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA MADRASAH DAN IKLIM ORGANISASI MADRASAH TERHADAP KINERJA INOVATIF GURU

(KODE : PASCSARJ-0128) : TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA MADRASAH DAN IKLIM ORGANISASI MADRASAH TERHADAP KINERJA INOVATIF GURU (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu aspek yang sangat urgen untuk menimgkatkan kualitas sumber daya manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan berupa Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang secara operasionalnya dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Peraturan Pemerintah ini memberi arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan, yang meliputi : (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan dan (8) standar penilaian.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan, guru dan pengawas dituntut keprofesionalannya untuk melaksanakaan tugas pokok dan fungsinya. Hal trsebut dijelaskan dalam Standar Nasional Pendidikan dan Permendiknas nomor 12 tahun 2007 tentang kompetensi Pengawas. Guru sebagai penjamin mutu pendidikan di ruang kelas, sementara pengawas adalah penjamin mutu pendidikan dalam area yang lebih luas pada tinggat madrasah.
Pada era otonomi sekarang ini, sangat menuntut adanya perubahan paradigma baru dalam sistem pengelolaan madrasah. Dalam kaitan ini, Jam'an Satori yang dikutip oleh Dadang Suhardan (2006 : 8-9) menyatakan bahwa
"perubahan yang seharusnya terjadi di madrasah pada era otonomi pendidikan terletak pada : (1) Peningkatan kinerja staf; (2) Pengelolaan madrasah menjadi berbasis lokal; (3) Efisiensi dan efektivitas pengelolaan lembaga; (4) Akuntabilitas; (5) Transparansi; (6) Partisipasi masyarakat; (7) Profesionalisme pelayanan belajar; dan (8) Standarisasi". Kedelapan aspek tersebut seharusnya membawa madrasah kepada keunggulan mutu lembaga, sebab madrasah memiliki keleluasaan dalam melaksanakan peningkatan mutu layanan belajar, namun kenyataannya belum terjadi.
Menurut Dadang Suhardan (2006 : 9) : "... Madrasah-madrasah kini belum mampu memberi layanan belajar bermutu karena belum mampu memberi kepuasan belajar peserta didiknya"
Usaha apapun yang telah dilakukan pemerintah mengawasi jalannya pendidikan untuk mendobrak mutu bila tidak ditindak lanjuti dengan pembinaan gurunya, maka tidak akan berdampak nyata pada kegiatan layanan belajar dikelas. Kegiatan pembinaan guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam setiap usaha peningkatan mutu pembelajaran (Dadang Suhardan, 2006 : 9). Peranan Kepengawasan satuan Pendidikan di dalam pembinaan profesional guru sangat signifikan terhadap efektivitas dan kualitas kinerja guru. Masalah dukungan kemudahan dan faktor rintangan pelaksanaan pemberian bantuan profesional kepada guru tampaknya disadari sebagai sesuatu aspek yang tidak bisa dilepaskan dari seluruh keberhasilan kegiatan upaya peningkatan mutu pembelajaran yang harus diatasi.
Supervisi adalah kegiatan mengamati, mengidentifikasi mana-mana hal yang sudah baik, mana yang belum baik, dengan maksud memberi pembinan kepada guru. Supervisi adalah kegiatan pembinaan kepada madrasah pada umumnya dan guru pada khususnya agar kualitas pembelajarannya meningkat (Suharsimi, 2004 : 5).
Selanjutnya Suharsimi (2004 : 5) mengatakan bahwa sesuai dengan konsep pengertiannya supervisi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : (1) supervisi akademik, dan (2) supervisi administrasi.
1. Supervisi akademik adalah supervisi yang menitikberatkan pengamatan pada masalah akademik, yaitu langssung berada dalam lingkup kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru untuk membantu siswa ketika sedang dalam proses belajar.
2. Supervisi administrasi yang menitikberatkan pengamatan pada aspek-aspek administrasi yang berfungsi sebagai pendukung terlaksananya pembelajaran.
Madrasah terdiri dari bagian-bagian yang berinteraksi dan bersinergi dalam menjalankan peran dan fungsinya guna mencapai tujuan-tujuan pendidikan, dan efektifitas pencapaiannya dapat memberikan konstribusi bagi peningkatan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, madrasah merupakan suatu lembaga pendidikan yang penting dalam masyarakat, sebagai suatu sistem. Salah satu faktor yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan di masdrasah adalah individu pendidik/guru. Kinerja guru dalam menjalankan fungsi dan tugasnya di madrasah akan berdampak besar pada proses pendidikan dan pembelajaran di madrasah. Hal ini berarti bahwa peran guru dalam pencapaian tujuan pendidikan di madrasah sangat menentukan, bagaimana kualitas kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya akan merupakan suatu konstribusi besar bagi peningkatan kualitas pendidikan.
Kurangnya menguasai isi mated pembelajaran, ketrampilan dan keinovatifan menunjukkan masih perlunya upaya peningkatan kualitasnya, ini memerlukan sikap positif guru dilakukan terhadap perubahan dalam melaksanakan tugasnya. Proses pembelajaran yang terjadi di dalam kelas mesti diperbaiki terus menerus, sehingga pola kinerja rutin perlu ditingkatkan menjadi pola kinerja yang inovatif sebagai upaya untuk menghadapi dan mengantisipasi perubahan global yang juga menerpa dunia pendidikan. Pengembangan dan peningkatan kualitas kinerja guru menjadi inovatif akan mendorong pada proses pembelajaran yang inovatif pula, sehingga para siswa pun akan menjadi orang yang mampu menyesuaikan diri secara terus menerus dengan lingkungan yang berubah cepat. Kemampuan ini jelas sangat penting bagi siswa/output pendidikan dalam meningkatkan kemampuan bersaing, karena : "survival in fast changing world may well depend on the ability of pupils to develop skills in adaptation, flexibility, cooperation and imagination " (Whitaker, 1993 : 5).
Guru harus profesional dalam menjalankan tugasnya. Dan profesionaliseme guru akan tercermin dalam perwujudan yang secara ideal akan terlihat dalam lima hal berikut :
1) Guru yang memiliki semangat juang yang tinggi disertai kualitas keimanan dan ketaqwaan yang mantap
2) Guru yang mampu mewujudkan dirinya dalam keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek
3) Guru yang memiliki kualitas kompetensi pribadi dan profesional yang memadai disertai etos kerja yang kuat
4) Guru yang memiliki kualitas kesejahteraan yang memadai
5) Guru yang kreatif dan berwawasan masa depan
Dalam perkembangan belakangan ini, nampaknya tuntutan pada kinerja guru tidak lagi bersifat rutin melainkan perlu ditumbuhkan kinerja inovatif. Hal ini dikarenakan kompleksitas perubahan yang selalu menuntut respon baru, sebagaimana dikemukakan oleh Lampert dalam Hammond (2006 : 39) bahwa; "Teaching is never routin. Teachers must cope with changing situations, learning needs, challanges, questions, and dilemma". Kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, khususnya dalam konteks pelaksanaan kurikulum baru seperti KTSP, jelas memerlukan kreativitas serta kinerja inovatif dari para guru untuk dapat mengimplementasikannya, dan dalam hal ini kreativitas dan inovasi lembaga pendidikan menjadi hal yang perlu termasuk kreativitas dan keinovatifan guru dalam menjalankan tugasnya dalam proses pendidikan dan pembelajaran di madrasah/kelas.
Dengan demikian keberhasilan implemtasi berbagai perubahan yang diarahkan untuk memperbaiki proses pendidikan/pembelajaran tidak dapat mengandalkan pada pengawas saja tapi juga kenerja inovatif guru.
Pada hakekatnya supervisi adalah bantuan atau bimbingan profesional bagi guru dalam melaksanakan tugas pembelajarannya, perbaiki dan melakukan stimulasi, koordinasi, dan bimbingan secara kontinyu untuk pertumbuhan jabatan guru secara individual maupun kelompok. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tugas pengawas merupakan bantuan dan bimbingan ke arah terciptanya yang lebih baik pendidikan berkualitas.
Iklim organisasi yang kondusif sangat dibutuhkan bagi guru untuk menumbuhkan dorongan dalam diri guru tersebut supaya bekerja lebih bersemangat. Ini berarti bahwa iklim kerja berpengaruh terhadap tinggi rendahnya motivasi para guru. Hal ini sesuai dengan ungkapan Dirjen Dikti (Buku IIC, 1983 : 45) yang menyebutkan bahwa iklim organisasi sangat mempengaruhi motivasi dan produktivitas para anggotanya. Ada iklim yang menggairahkan para anggotanya untuk berprestasi, ada pula iklim yang justru memadamkan motivasi untuk berprestasi.
Iklim kirja yang dimaksudkan adalah tingkat keterbukaan komunikasi di antara orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan. Tingkat keterbukaan merupakan salah satu kategori iklim organisasi seabagai di kemukakan oleh Andrew W. Halpin dan Don B. Croft (Hoy dan Miskel, 2001 : 190) yang disebut sebagai Open Climate.
Kinerja inovatif seorang guru dalam upaya mencapai proses belajar mengajar yang efektif dan fungsional bagi kehidupan seorang siswa jelas perlu terus dikembangkan. Sehubungan dengan hal tersebut perlu dikaji berbagai faktor yang mungkin turut mempengaruhi kinerja seorang guru. Menurut McCall (1994 : 183-185) hal-hal yang perlu dilakukan guru dalam memperbaiki pembelajaran :
- Focus first on the student and are very attentive to who they are
- Know that bare wall are teachers but walls covered with interesting and colorful materials are better teachers... more interested in the quality of learning than in the quantity of information ingested and regurgitated.
- Try to use fresh materials instead of second-hand commercial stuff
- Engage other teachers in the constant search for new and fresh material
- Are noted for taking their student seriously but not themselves.
Berdasarkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang yang telah dikemukakan tersebut, maka selanjutnya penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul : "Pengaruh Supervisi Akdemik Kepala Madrasah dan Iklim Organisasi Madrasah Terhadap Kinerja Inovatif Guru di Madrasah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian tentang, Pengaruh Supervisi Akdemik kepala madrasah dan Iklim Organisasi Madrasah Terhadap Kinerja Inovatif Guru di Madrasah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran efektivitas supervisi akademik kepala madrasah di Madrasdah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X?
2. Bagaimana gambaran iklim organisasi madrasah di Madrasdah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X?
3. Bagaiman gambaran kinerja inovatif guru di Madrasdah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X?
4. Seberapa besar pengaruh Supervisi Akademik kepala madrasah terhadap kinerja inovatif guru di Madrasdah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X?
5. Seberapa besar pengaruh Iklim Organisasi Madrasah terhadap kinerja inovatif guru di Madrasdah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X?
6. Seberapa besar pengaruh Supervisi Akademik kepala madrasah terhadap Iklim Organisasi Madrasah di Madrasdah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X?
7. Seberapa besar pengaruh Supervisi Akademik kepala madrasah dan Iklim Organisasi Madrasah secara bersama-sama terhadap Kinerja Inovatif Guru di Madrasdah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X?

C. Tujuan Penelitian
Memperhatikan rumusan masalah tersebut, maka secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran empirik tentang pengaruh supervisi akademik dan iklim madrasah terhadap kinerja inovatif guru. Sedangkan secara spesifik penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui bagaimana gambaran diskriptif tentang supervisi akademik kepala madrasah di Madrasah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui bagaimana gambaran diskriptif iklim organisasi madrasah di Madrasah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui bagaimana gambaran diskriptif kinerja inovatif guru di Madrasah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X.
4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh supervise akademik kepala madrasah terhadap kinerja inovatif guru di Madrasah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X.
5. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh iklim organisasi madrasah terhadap kinerja inovatif guru di Madrasah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X.
6. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh supervisi akademik kepala madrasah terhadap iklim organisasi madrasah di Madrasah Aliyah Kecamatan X Kabupaten X.
7. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh supervisi akademik kepala madrasah dan iklim organisasi madrasah secara bersama-sama terhadap kinerja inovatif guru.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan baik bagi pihak peneliti maupun bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan (secara akademik). Secara lebih rinci kegunaan penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai berikut :
1. Kegunaan Teoritis
a) Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan terutama yang berhubungan dengan efektivitas supervisi akademik terhadap kinerja inovatif guru.
b) Menjadikan bahan masukan untuk kepentingan pengembangan ilmu bagi pihak-pihak yang berkepentingan guna menjadikan penelitian lebih lanjut terhadap objek sejenis atau aspek lainnya yang belum tercakup dalam penelitian ini.
2. Kegunaan Praktis
a) Memberikan masukan bagi para guru agar meningkatkan kualifikasinya sebagai upaya meningkatkan profesionalismenya.
b) Menambah wawasan bagi para praktisi pendidikan, bahwa kinerja inovatif guru dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya pengaruh supervisi akademik dan iklim kerja.
c) Sebagai bahan masukan bagi para guru, kepala madrasah dan pengawas bahwa kenerja inovatif guru harus dibentuk sedemikian rupa sehingga dapat mendorong terciptanya kinerja guru yang profesional.
d) Memberikan masukan bagi para kepala madrasah bahwa pengaruh supervisi akademik dan iklim organisasi madrasah dapat berpengaruh terhadap kenerja inovatif guru dalam melaksnakan tugasnya, yang akhirnya akan mempengaruhi juga terhadap kualitas guru.
e) Sebagai bahan masukan kepada kepala madrasah untuk lebih mernpertimbangkan perilaku selaku pemimpin dalam organisasi madrasah agar dapat mendorong kualitas kinerja inovatif guru dengan baik.
f) Sebagai bahan masukan kepada para praktisi pendidikan bahwa tujuan pendidikan nasional akan tercapai bila didukung oleh kualitas kinerja yang baik dari para tenaga kependidikan/guru.
Kreativitas Supervisi berorientasi pada perubahan dalam melaksanakan kinerja inovasi guru sebagai pendidik, kondisi ini tentu saja memerlukan berbagai kondisi yang dapat mewujudkan . Dalam konteks perkembangan dan perubahan yang cepat, berbagai pengaruh sudah barang tentu tidak bisa dihindari sehingga respon yang tepat dan kemampuan untuk berubah serta beradaptasi tuntutan bagi setiap orang termasuk guru sebagai pendidik/pengajar. Kreatifitas guru pada dasarnya akan menjadi dan pengaruh terhadap pelaksanaan pekerjaan guru tersebut sebagai pendidik/pengajar, tingkat kretifitas yang bervariasi di kalangan guru akan berdampak pada variasi dalam kinerja berkaitan dengan penyikapan terhadap tuntutan perubahan yang terus berkembang dan makin meningkat sebagai dampak globalisasi.
Pada dasarnya, perubahan kinerja guru kearah yang inovatif akan ditentukan oleh para guru itu sendiri, karena dalam tataran teknis, perubahan pendidikan sangat tergantung pada guru, seperti dinyatakan Fullan (1991 : 117) bahwa "educational change depends on what teachers do and think". Guru apakah inovasi pendidikan/pembelajaran dilaksanakan atau tidak, meskipun begitu dorongan dari luar tetap merupakan hal yang penting. Dalam hubungan ini Hargreaves dalam Fullan (1997 : 3) bahwa faktor guru dan faktor eksternal perlu dilihat secara parallel meski perbaikan secara internal dimana guru menjalankan tugasnya lebih penting.
Penelitian ini mencoba untuk memahami supervisi akademik kepala madrasah dan iklim organisasi madrasah terhadap kinerja guru dalam konteks perubahan yang sangat cepat dewasa ini dari sudut pandangan interaksi antara faktor internal/personal dengan faktor interaksi/eksternal dengan menitikberatkan pada aspek iklim organisasi. Dengan demikian penelitian itu melihat kinerja inovatif/inovasi pendidikan dalam perkembangan organisasi.

E. Metode Penelitian
Metode merupakan suatu cara yang digunakan untuk mengurupulkan dan menyusun data serta analisis dan interpretasi mengenai arti data yang diteliti. Menurut Surakhmad (1994 : 131) yang dimaksud dengan metode adalah :
Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa, dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu. Cara utama itu dipergunakan setelah penyelidikan serta situasi penyelidikan.
Sesuai dengan masalah yang diteliti, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan studi kepustakaan. Untuk lebih fokus dalam menafsirkan data dalam menganalisis masalah yang diteliti, maka metode deskriptif ini ditunjang oleh suatu studi yang menggali kajian-kajian keilmuan yang relevan serta mendukung terhadap masalah yang diteliti.
TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN BUDAYA SEKOLAH TERHADAP MUTU MENGAJAR GURU

TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN BUDAYA SEKOLAH TERHADAP MUTU MENGAJAR GURU

(KODE : PASCSARJ-0127) : TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN BUDAYA SEKOLAH TERHADAP MUTU MENGAJAR GURU (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Kemajuan-kemajuan dalam kehidupan seperti bidang ekonomi, dan ilmu pengetahuan hanya dapat dicapai melalui proses pendidikan. Dari proses pendidikan ini diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu "mencerdaskan kehidupan bangsa". Dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kemudian diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang menyatakan bahwa :
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sedangkan yang dimaksud pendidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah :
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Melalui pendidikan diharapkan bangsa Indonesia segera mencapai kemajuan. Departemen Pendidikan Nasional dalam merealisasikan tujuan tersebut membuat kebijakan, yaitu melaksanakan usaha peningkatan mutu pendidikan yang berpedoman pada azas persatuan.
Usaha peningkatan mutu pendidikan oleh pemerintah telah nampak dengan diadakannya upaya pembaharuan dan penyempurnaan kurikulum, sarana, tenaga pendidik, pelatihan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat.
Berbagai fakta empirik telah membuktikan, bahwa tingkat kemajuan yang dicapai oleh suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia bangsa itu. Seberapapun besarnya sumber daya alam, modal serta sarana dan prasarana, pada akhirnya ditangan sumber daya manusia yang handal terletak kemajuan yang ingin dicapai. Hal ini sesuai dengan pendapat (Sedarmayanti ; 288) :
Keberhasilan manajemen dalam suatu organisasi, baik organisasi yang bergerak dalam bidang pemerintahan, maupun organisasi yang bergerak dalam bidang usaha (bisnis), sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang ada pada organisasi tersebut. Artinya manusia yang memiliki daya, kemampuan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam setiap pelaksanaan kegiatan organisasi sehingga terwujud kinerja sebagaimana diharapkan.
Dalam perspektif berpikir seperti itu, rasanya tidak mungkin suatu organisasi atau suatu bangsa dapat mencapai kemajuan dibidang apapun tanpa mempersoalkan kesiapan sumber daya manusia yang telah diyakini sebagai faktor diterminan keberhasilan pembangunan.
Pembangunan di bidang pendidikan merupakan bagian integral dari keseluruhan aktifitas pembangunan nasional, karena pembangunan itu sendiri ingin memanfaatkan kemajuan yang dicapai di bidang pendidikan untuk mempercepat berbagai upaya pembangunan yang tengah dan akan berkelanjutan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, guru mempunyai peranan sentral. Hal ini sesuai dengan pendapat Syaodih (1998) mengemukakan bahwa guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Yang dimaksud dengan guru, seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 74 tentang guru, Pasal 1 ayat 1 adalah :
Pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menyadari hal tersebut, betapa pentingnya untuk meningkatkan aktivitas, kreatifitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Guru sebagai tenaga profesional harus memiliki kemandirian dalam keseluruhan kegiatan pendidikan baik dalam jalur sekolah maupun luar sekolah, guru memegang posisi yang paling strategis. Dalam tingkatan operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial (Surya, 2005 ;4). Guru merupakan sumber daya manusia yang mampu mendayagunakan faktor-faktor lainnya sehingga tercipta pembelajaran yang bermutu dan menjadi faktor utama dalam menentukan mutu pendidikan.
Tugas guru sebagai profesi menurut Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut, seorang guru dituntut memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan tertentu. Kemampuan dan keterampilan tersebut sebagai bagian dari kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik.
Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, diantaranya kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi :
a. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
b. pemahaman terhadap peserta didik;
c. pengembangan kurikulum atau silabus;
d. perancangan pembelajaran;
e. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
f. pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g. evaluasi hasil belajar; dan
h. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
(Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, Pasal 3 ayat 4)
Tugas guru erat kaitannya dengan peningkatan sumber daya manusia melalui sektor pendidikan, oleh karena itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan mutu mengajar guru untuk menjadi tenaga profesional, agar peningkatan mutu pendidikan dapat berhasil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tilaar (1999), mengatakan bahwa : "peningkatan kualitas pendidikan tergantung banyak hal, terutama mutu gurunya".
Guru, murid, dan bahan ajar merupakan unsur yang dominan dalam proses pembelajaran di kelas. Ketiga unsur ini saling berkaitan, saling mempengaruhi serta saling menunjang antara satu dengan yang lainnya. Jika salah satu unsur tidak ada, kedua unsur yang lain tidak dapat berhubungan secara wajar dan proses pembelajaran tidak akan berlangsung dengan baik. Jika proses belajar mengajar ditinjau dari segi kegiatan guru, maka akan terlihat bahwa guru memegang peranan strategis. Menurut Majid (2005 : 91) dalam konteks ini guru berfungsi sebagai pembuat keputusan yang berhubungan dengan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Ketiga hal tersebut merupakan indikator dari mutu mengajar guru. Apabila ketiga hal tersebut; perencanaan pembelajaran (input), pelaksanaan pembelajaran (proses), dan evaluasi pembelajaran (output) dilakukan oleh guru dengan baik, maka mutu mengajar guru bisa dikatakan baik.
Untuk menjadikan guru sebagai tenaga profesional maka perlu diadakan pembinaan secara terus-menerus dan berkesinambungan, dan menjadikan guru sebagai tenaga kerja perlu diperhatikan, dihargai dan diakui keprofesionalannya. Dengan demikian pekerjaan guru bukan semata-mata pekerjaan pengabdian namun guru adalah pekerja profesional seperti pekerjaan yang lain misalnya, dokter, pengusaha, pengacara, akuntan dan sebagainya. Memandang guru sebagai tenaga kerja profesional maka usaha-usaha untuk membuat mereka menjadi profesional tidak semata-mata hanya meningkatkan kompetensinya baik melalui pemberian penataran, pelatihan maupun memperoleh kesempatan untuk belajar lagi, namun perlu juga memperhatikan guru dari segi yang lain seperti peningkatan disiplin, pemberian motivasi, pemberian bimbingan melalui supervisi, pemberian insentif, gaji yang layak dengan keprofesionalannya sehingga memungkinkan guru untuk meningkatkan kinerja mengajarnya sebagai pendidik.
Proses pendidikan tidak akan terjadi dengan sendirinya melainkan harus direncanakan, diprogram, dan difasilitasi dengan dukungan dan partisipasi aktif guru sebagai pendidik. Tugas dan tanggung jawab guru adalah mengubah perilaku peserta didik ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pencapaian tujuan pendidikan sangat bergantung kepada pelaksanaan tugas dan kinerja guru di samping kemampuan peserta didik itu sendiri serta dukungan komponen system pendidikan lainnya. Posisi strategis guru merupakan salah satu faktor penentu kualitas proses dan hasil pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan akan ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mengarahkan peserta didiknya melalui kegiatan pembelajaran. Ketika pembelajaran berlangsung, guru tidak sekedar menyampaikan pelajaran akan tetapi juga menciptakan suasana belajar yang dialami setiap siswa. Komunikasi antara guru dan siswa sebaiknya berjalan dengan lancar. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan siswa sehingga kelas menjadi tempat yang menyenangkan dan siswa lebih mudah memahami pelajarannya. Menurut Satori (2002; 1) pembelajaran di kelas merupakan core business, jantung kegiatan sekolah dan pendidikan pada umumnya karena disanalah peserta didik seharusnya mendapatkan layanan belajar dan jaminan mutu hasil pendidikan.
Akan tetapi masih banyak permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah belum optimalnya sumber daya manusia yang terdapat pada guru. Fakta empirik yang sulit terbantahkan saat ini adalah kesulitan untuk mendapatkan guru yang benar-benar mengabdikan diri dan mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk melaksanakan tugas profesionalnya sebagai tenaga pendidik. Menurut Mulyasa (2005) bahwa :
Sedikitnya terdapat tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran. Kesalahan tersebut adalah mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, menunggu peserta didik berperilaku negative, menggunakan destruktif discipline, mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik, merasa diri paling pandai di kelasnya, tidak adil (diskriminatif), serta memaksa hak peserta didik.
Alasan klasiknya guru belum melaksanakan tugas profesionalnya sebagai tenaga pendidik adalah gaji dan kesejahteraan guru yang rendah membuat para guru seakan-akan tak mampu untuk menghadapi tuntutan yang berat yang dibebankan kepadanya. Mereka selalu terpuruk dan seakan-akan tak berdaya menghadapi hempasan badai keras globalisasi yang melunturkan semangat pengabdian mereka.
Paradigma metodologi pendidikan saat ini disadari atau tidak telah mengalami suatu pergeseran dari behaviourisme ke konstruktivisme yang menuntut guru dilapangan harus mempunyai syarat dan kompetensi untuk dapat melakukan suatu perubahan dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas. Guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan, bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.
Sejalan dengan pendapat diatas, pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme adalah :
Pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi Pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata. (Depdiknas, 2003 : 11)
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Center). Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa, sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong (cooperative learning).
Untuk menciptakan situasi yang diharapkan pada pernyataan diatas seoarang guru harus mempunyai syarat-syarat apa yang diperlukan dalam mengajar dan membangun pembelajaran siswa agar efektif dikelas, saling bekerjasama dalam belajar sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan saling menghargai (demokratis), diantaranya :
1. Guru harus lebih banyak menggunakan metode pada waktu mengajar, variasi metode mengakibatkan penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa, mudah diterima siswa, sehingga kelas menjadi hidup, metode pelajaran yang selalu sama (monoton) akan membosankan siswa.
2. Menumbuhkan motivasi, hal ini sangat berperan pada kemajuan, perkembangan siswa. Selanjutnya melalui proses belajar, bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran akan meningkatkan kegiatan belajar, dengan tujuan yang jelas maka siswa akan belajar lebih tekun, giat dan lebih bersemangat. (Slamet, 1987 : 92)
Pada saat ini banyak guru yang telah melaksanakan teori konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas tetapi volumenya masih terbatas, karena kenyataan dilapangan masih banyak dijumpai guru yang dalam mengajar masih terkesan hanya melaksanakan kewajiban. Ia tidak memerlukan strategi, metode dalam mengajar, baginya yang penting bagaimana sebuah peristiwa pembelajaran dapat berlangsung.
Disisi lain menurut Hartono Kasmadi (1993 : 24) bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dimana pengajar masih memegang peran yang sangat dominan, pengajar banyak ceramah (telling method) dan kurang membantu pengembangan aktivitas murid.
Dari uraian diatas, tidak dipungkiri bahwa dilapangan masih banyak guru yang masih melakukan cara seperti pendapat diatas, dan diakui bahwa banyak faktor penyebabnya sehingga dapat dilihat akibat yang timbul pada peserta didik, sering dijumpai siswa belajar hanya untuk memenuhi kewajiban pula, masuk kelas tanpa persiapan, siswa merasa terkekang, membenci guru karena tidak suka gaya mengajarnya, bolos, tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru, takut berhadapan dengan mata pelajaran tertentu, merasa tersisihkan karena tidak dihargai pendapatnya, hak mereka merasa dipenjara, terkekang sehingga berdampak pada hilangnya motivasi belajar, suasana belajar menjadi monoton, dan akhirnya kualitas pun menjadi pertanyaan.
Dari permasalahan tersebut, guru mempunyai tanggung jawab terhadap peningkatan mutu mengajar di sekolah karena guru sebagai ujung tombak dilapangan (di kelas) dan bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pembelajaran.
Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat terhadap kemajuan dan peningkatan kompetensi siswa, dimana hasilnya akan terlihat dari jumlah siswa yang lulus dan tidak lulus. dengan demikian tangung jawab peningkatan mutu pendidikan di sekolah, selalu dibebankan kepada guru.
Demikian halnya, dengan guru-guru di SMA Negeri se-Kabupaten X, dimana masih banyak guru yang belum optimal dalam menjalankan profesinya sebagai guru terutama dalam melaksanakan proses pembelajaran, seperti : belum memahaminya wawasan atau landasan kependidikan, belum memahami berbagai keadaan peserta didik, belum melakukan pengembangan kurikulum atau silabus, belum sempurnanya membuat perancangan pembelajaran, belum optimal dalam melaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, belum memanfaatkan teknologi pembelajaran, belum optimal dalam melakukan evaluasi hasil belajar, dan belum optimal dalam pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Hal ini mengakibatkan mutu pendidikan belum optimal.
Fenomena masih belum optimalnya mutu mengajar guru (proses pembelajaran) di SMA Negeri se-Kabupaten X diperoleh melalui hasil studi pendahuluan (survei) dan diskusi yang dilakukan oleh penulis terhadap teman sesama guru di Kabupaten X.
Melihat kenyataan ini, kalau dibiarkan akan mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan khususnya di Kabupaten X. Oleh karena itu permasalahan tersebut harus segera diatasi.
Ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan mutu mengajar guru meningkat, namun penulis mencoba mengkaji masalah supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala sekolah dan budaya sekolah.
Supervisi dalam hal ini adalah mengenai tanggapan guru terhadap pelaksanaan pembinaan atau bimbingan yang diberikan oleh kepala sekolah, apakah ada pengaruhnya terhadap peningkatan mutu mengajarnya.
Supervisi akademik merupakan salah satu tugas kepala sekolah dalam membina guru melalui fungsi pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah pada intinya yaitu melakukan pembinaan, bimbingan untuk memecahkan masalah pendidikan termasuk masalah yang dihadapi guru secara bersama dalam proses pembelajaran dan bukan mencari kesalahan guru.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, dinyatakan bahwa salah satu kompetensi Kepala Sekolah adalah memiliki kompetensi supervisi, yaitu :
1. Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
2. Melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat.
3. Menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
Adapun indikator-indikator dari supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadap guru menurut Suharsimi Arikunto (1990) adalah sebagai berikut :
1. Tujuan supervisi
2. Hubungan guru dengan supervisor
3. Bimbingan perencanan mengajar
4. Prosedur pelaksanaan supervisi
5. Bantuan dalam memecahkan masalah
6. Hasil dan tindak lanjut supervisi
Guru yang mempunyai persepsi yang baik terhadap supervisi akademik, maka guru akan mengajar dengan baik, karena supervisi itu berarti pembinaan kepada guru ke arah perbaikan dalam mengajar. Begitu sebaliknya jika saran dan advis dari supervisor (pengawas) dari kepala sekolah diabaikan oleh guru maka bisa berdampak pada kegiatan mengajarnya kurang baik.
Kegiatan supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah akan berpengaruh secara psikologis terhadap peningkatan mutu mengajar guru apabila guru menerima supervisi tersebut sebagai masukan dan motivasi untuk meningkatkan mutu mengajarnya sehingga ia akan bekerja dengan sukarela yang akhirnya dapat membuat produktivitas kerja guru menjadi meningkat. Tetapi jika guru tidak menerima supervisi akademik sebagai suatu hal yang dapat mengakibatkan peningkatan mutu mengajar dan motivasi atau dijadikan beban maka ia akan bekerja karena terpaksa dan kurang bergairah yang ditunjukkan oleh sikap-sikap yang negative sehingga mengakibatkan pruduktivitas kerja guru menjadi menurun.
Selain supervisi akademik yang dilakukan oleh kepalas sekolah hal lain yang dapat mempengaruhi mutu mengajar guru adalah budaya sekolah.
Budaya sekolah yang kerap disebut dengan iklim kerja menggambarkan suasana dan hubungan kerja antara sesama guru, antara guru dengan kepala sekolah, antara guru dengan tenaga kependidikan lainnya serta antara dinas di lingkungannya merupakan wujud dari lingkungan kerja yang kondusif. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan guru dan kepala sekolah untuk melaksanakan pekerjaannya dengan lebih efektif. Budaya sekolah dapat digambarkan melalui sikap saling mendukung (supportive), tingkat persahabatan (collegial), tingkat keintiman (intimate) serta kerja sama (cooperative). (Hasanah; 2008; 12). Kondisi yang terjadi atas keempat dimensi budaya sekolah tersebut berpotensi meningkatkan mutu mengajar guru.
Budaya sekolah yang kondusif akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh-contoh budaya sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Budaya sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif demi produktivitas sekolah.
Menurut Miller (1987 ; 56-57) indikator dari budaya sekolah adalah :
Budaya yang ada di sekolah dibagi dua, yaitu budaya yang mempunyai nilai-nilai primer, yaitu : (1) tujuan organisasi sekolah; (2) konsensus dan komitmen terhadap tugas; (3) keunggulan, (4) kesatuan kepentingan, (5) integritas. Sedangkan budaya yang bernilai sekunder, yaitu : (1) penerima layanan, (2) pengendalian yang disiplin, (3) kemandirian, (4) pengambilan keputusan yang cepat, (5) visioner, (6) pengembangan.
Dari hasil wawancara dan diskusi informal dengan teman sejawat sesama guru di SMA Negeri se-Kabupaten X menunjukkan bahwa pada umumnya guru-guru di SMA Negeri se-Kabupaten X motivasi kerja, kreativitas, kinerja, dan produktivitas kerja yang belum optimal dan belum sesuai dengan yang diharapkan, apalagi jika mengacu kepada standar kerja minimal yang dituntut kepada para guru, khususnya guru-guru di SMA Negeri se-Kabupaten X. Tanpa mengabaikan berbagai faktor yang berhubungan dengan perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah seperti faktor tingkat kesejahteraan (gaji) yang diterima masih jauh dari standar kebutuhan yang layak, iklim sosial, dan budaya di lingkungan sekolah kurang mendukung, kesibukan lain di luar jam mengajar di sekolah, dan yang lainnya, maka faktor supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah dan budaya sekolah diduga berpengaruh yang signifikan terhadap mutu mengajar guru di SMA se-Kabupaten X. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang : "Pengaruh Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Budaya Sekolah Terhadap Mutu Mengajar Guru" (Studi Analisis Tentang Mutu Mengajar Guru di SMA Negeri se-Kabupaten X).

1.2. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang penelitian dan identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu "Seberapa besar pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?". Rumusan masalah penelitian tersebut, dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana gambaran supervisi akademik kepala sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
b. Bagaimana gambaran budaya sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X?
c. Bagaimana gambaran mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
d. Apakah ada korelasi antara supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
e. Seberapa besar pengaruh supervisi akademik sekolah terhadap mutu megajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
f. Seberapa besar pengaruh budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
g. Seberapa besar pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah secara bersamaan terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?

1.3. Variabel dan Definisi Operasional
1.3.1.Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu :
1) Variabel bebas/independent variable (X) :
a. Supervisi akademik kepala sekolah (X-1).
Variabel supervisi akademik kepala sekolah diuraikan lagi menjadi subvariabel- subvariabel sebagai berikut : tujuan supervisi, hubungan guru dengan supervisor, bimbingan perencanan mengajar, prosedur pelaksanaan supervisi, dialog profesional dalam superisi, bantuan dalam memecahkan masalah, hasil dan tindak lanjut supervisi.
b. Budaya sekolah (X-2)
Variabel budaya sekolah diuraikan lagi menjadi subvariabel- subvariabel sebagai berikut : budaya yang mempunyai nilai-nilai primer, dan budaya yang bernilai sekunder.
2) Variabel terikat/dependent variable (Y) : mutu mengajar guru SMA Negeri se-Kabupaten X. Variabel mutu mengajar guru dijabarkan lagi menjadi subvariabel-subvariabel : perencanaan pembelajaran (input), pelaksanaan pembelajaran (prose), dan evaluasi pembelajaran (output).
1.3.2. Definisi Operasional
Definisi Operasional variabel bertujuan untuk menjelaskan makna variabel yang sedang diteliti. Masri. S (2003;46-47) memberikan pengertian tentang definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel, dengan kata lain definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama. Lebih lanjut beliau mengatakan : "dari informasi tersebut akan mengetahui bagaimana caranya pengukuran atas variabel itu dilakukan". Dengan demikian peneliti dapat menentukan apakah prosedur pengukuran yang sama akan dilakukan prosedur pengukuran baru.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi operasional itu harus bisa diukur dan spesifik serta bisa dipahami oleh orang lain. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Supervisi akademik kepala sekolah (X-1) adalah upaya seorang kepala sekolah dalam pembinaan guru agar guru dapat meningkatkan kualitas mengajarnya dengan melalui langkah-langkah perencanaan, penampilan mengajar yang nyata serta mengadakan perubahan dengan cara yang rasional dalam usaha meningkatkan hasil belajar siswa.
2. Budaya sekolah (X-2) adalah pola dasar atau aturan yang diciptakan oleh kepala sekolah, guru, siswa, masyarakat, stakeholders, dan lingkungannya untuk mencapai tujuan
3. Mutu mengajar guru (Y) adalah seperangkat perilaku yang ditunjukkan oleh guru pada saat menjalankan tugas dan kewajibannya dalam bidang pengajaran yang dapat memuaskan kebutuhan siswa sehingga menghasilkan pendidikan yang baik.

1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :
1. Mendapatkan gambaran empirik supervisi akademik kepala sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X.
2. Mendapatkan gambaran empirik budaya sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X.
3. Mendapatkan gambaran empirik mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.
4. Menganalisis korelasi antara supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X
5. Menganalisis pengaruh supervisi akademik kepala sekolah terhadap mutu megajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.
6. Menganalisis pengaruh budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.
7. Menganalisis pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah secara simultan terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.

1.5. Kegunaan Penelitian
1.5.1 Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan studi lanjutan yang relevan dan bahan kajian ke arah pengembangan konsep-konsep pengembangan guru yang mendekati pertimbangan-pertimbangan kontekstual dan konseptual, serta kultur yang berkembang pada dunia pendidikan dewasa ini. Pembahasan tentang pengaruh supervisi akademik dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen pendidikan yang akan menjadi suplemen bahasan dalam memperkuat validitas dan reliabilitas pelaksananan manajemen sekolah sebagai sebuah nilai budaya institusi, disamping sebagai sebuah konsep operasional.
1.5.2. Kegunaan Praktis
Secara praktis kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan sebagai berikut :
a. Bagi kepala sekolah sebagai supervisor, bisa mengambil manfaat dari hasil penelitian ini, dan mereka bisa melakukan supervisi akademik terhadap guru lebih baik lagi sehingga dapat memotivasi dan meningkatkan mutu mengajar guru, yang pada gilirannya mampu meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya.
b. Bagi penulis, menambah wawasan dalam bidang penelitian sehingga mengetahui bagaimana pengaruh supervisi akademik dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X sebagai bekal peningkatan profesionalisme pada masa yang akan datang.
c. Bagi para peneliti, sebagai masukan untuk dapat melakukan penelitian lebih akurat dengan populasi dan sampel yang berbeda, sehingga bisa menguatkan simpulan.

1.6. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan hasil penelitian ini dibuat dalam bentuk tesis dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
BAB II Landasan Teoritis
BAB III Metode Penelitian
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
BAB V Kesimpulan, Implikasi, dan Rekomendasi
TESIS PENGARUH SUPERVISI KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU DI SMAN KABUPATEN X

TESIS PENGARUH SUPERVISI KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU DI SMAN KABUPATEN X

(KODE : PASCSARJ-0126) : TESIS PENGARUH SUPERVISI KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU DI SMAN KABUPATEN X (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara.
Guru dituntut memiliki beberapa kemampuan dan ketrampilan tertentu. Kemampuan dan ketrampilan tersebut sebagai bagian dari kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik.
Tugas guru erat kaitannya dengan peningkatan sumber daya manusia melalui sektor pendidikan, oleh karena itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan mutu guru untuk menjadi tenaga profesional. Agar peningkatan mutu pendidikan dapat berhasil. Peningkatan kualitas pendidikan tergantung banyak hal, terutama mutu gurunya.
Guru sebagai tenaga professional maka perlu diadakan pembinaan secara terus menerus dan berkesinambungan, dan menjadikan guru sebagai tenaga kerja perlu diperhatikan, dihargai dan diakui keprofesionalannya. Untuk membuat mereka menjadi professional tidak semata-mata hanya meningkatkan kompetensinya baik melalui pemberian penataran, pelatihan maupun memperoleh kesempatan untuk belajar lagi namun perlu juga memperhatikan guru dari segi yang lain seperti peningkatan disiplin, pemberian motivasi, pemberian bimbingan melalui supervisi, pemberian insentif, gaji yang layak dengan keprofesionalnya sehingga memungkinkan guru menjadi puas dalam bekerja sebagai pendidik.
Kepuasan kerja bagi guru sebagai pendidik diperlukan untuk meningkatkan kinerjanya. Kepuasan kerja berkenaan dengan kesesuaian antara harapan seseorang dengan imbalan yang disediakan. Kepuasan kerja guru berdampak pada prestasi kerja, disiplin, kualitas kerjanya. Pada guru yang puas terhadap pekerjaannya maka kinerjanya akan meningkat kemungkinan akan berdampak positif terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Kinerja guru atau prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu (Hasibuan, 2007 : 94). Kinerja guru akan baik jika guru telah melakukan unsur-unsur yang terdiri dari kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran, kedisiplinan dalam mengajar dan tugas lainnya, kreativitas dalam pelaksanaan pengajaran, kerjasama dengan semua warga sekolah, kepemimpinan yang menjadi panutan siswa, kepribadian yang baik, jujur dan objektif dalam membimbing siswa, serta tanggung jawab terhadap tugasnya. Oleh karena itu tugas kepala sekolah selaku manager adalah melakukan penilaian terhadap kinerja guru. Penilaian ini penting untuk dilakukan mengingat fungsinya sebagai alat motivasi bagi pimpinan kepada guru maupun bagi guru itu sendiri.

B. Masalah Penelitian
Temuan sementara yang penulis dapat kemukakan pada kesempatan ini adalah bahwa secara kedinasan, dalam arti sesuai dengan tugasnya sebagai kepala sekolah, para kepala sekolah SMA Negeri di Kabupaten X telah atau selalu melaksanakan tugasnya melakukan supervisi kepada para guru. Tetapi menurut para guru, kegiatan supervisi tersebut bam sampai pada tataran pelaksanaan tugas saja, belum mencapai apa yang diharapkan dari fungsi supervisi itu sendiri yakni membantu para guru memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pelaksanaan pembelajaran.
Guru dalam melaksanakan tugasnya dituntut memiliki motivasi kerja yang tinggi supaya tugas dan tanggungjawabnya dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran sehingga akan melahirkan kinerja yang baik. Guru yang memiliki motivasi kerja yang tinggi selalu bemsaha untuk meningkatkan kemampuan dirinya dengan jalan mencari celah terobosan yang bam dalam mewujudkan strategi pembelajaran dan mempunyai komitmen yang tinggi untuk memperoleh hasil kerja yang sebaik-baiknya.
Kinerja guru SMA Negeri di Kabupaten X tampaknya dari segi kedinasan, dalam arti sebagai PNS bila ditinjau dari tingkat kehadiran mengajar cukup baik. Tapi pada sisi lain, penulis juga menemukan bahwa hampir di setiap sekolah para guru tidak mempersiapkan perangkat pengajaran dengan lengkap.
Jadi dengan demikian masalah yang dihadapi dalam penelitian ini adalah :
1. Pelaksanaan supervisi yang harus dibenahi
2. Motivasi berprestasi guru harus terns ditingkatkan
3. Kinerja guru yang harus ditingkatkan

C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian di atas tadi, penulis dapat mengemukakan pertanyaan penelitian :
1. Seberapa besar pengaruh supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X.
2. Seberapa besar pengaruh motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajarnya.
3. Seberapa besar pengaruh supervisi kepala sekolah dan motivasi berprestasi terhadap kinerja guru.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh Supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X
2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh Motivasi Berprestasi guru terhadap kinerja guru SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X.
3. Untuk mendapatkan besarnya pengaruh supervisi kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru secara bersama-sama terhadap kinerja guru SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperluas kajian disiplin ilmu administrasi pendidikan dan mengembangkan pengetahuan serta wawasan mengenai peran guru sebagai tenaga pendidik dalam melakukan pembelajaran di sekolah, sehingga tenaga pendidik dapat melakukan pekerjaannya secara efektif dan efisien.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :
a. Guru umumnya dan khususnya guru SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X untuk dijadikan pertimbangan secara kontekstual dan konseptual operasional dalam memmuskan pola pengembangan kinerja guru yang akan datang, dan memberi dorongan bagi para guru untuk meningkatkan kinerjanya dengan melalui motivasi kerja dan supervisi kepala sekolah yang nantinya dapat meningkatkan mutu pendidikan.
b. Kepala sekolah SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X sebagai masukan untuk lebih meningkatkan perhatiannya terhadap kualitas pendidikan dan kinerja guru melalui kegiatan supervisi sehingga memberikan dorongan kepada guru untuk lebih giat bersama-sama dalam meningkatkan kinerja guru.
c. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten X Propinsi X sebagai masukan dan bahan pemikiran mengenai mated motivasi kerja pada guru dan supervisi kepala sekolah dalam upayanya meningkatkan mutu pendidikan dan peningkatan kinerja bagi para guru.
d. Peneliti, hasil penelitian dapat sabagai bahan informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya di bidang yang sama.

F. Definisi Operasional
Variabel bebas (independent variables) dalam penelitian ini adalah : Supervisi Kepala sekolah (X1), dan Motivasi berprestasi guru (X2), sedangkan variabel terikat (dependent variable) adalah kinerja guru (Y).
1. Supervisi
Yang dimaksud dengan pelaksanaan supervisi dalam penelitian ini adalah kegiatan supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah mencakup (1) Materi supervisi, terdiri dari (a) sikap guru, (b) Kerapian tempat belajar, (c) Pengelolaan kelas dan Pelaksanaan kurikulum.
2. Motivasi Berprestasi Guru
Motivasi kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu proses yang dilakukan untuk menggerakkan, untuk melakukan pekerjaan dalam mencapai tujuan yang diharapkan yang ditampilkan dalam bentuk skor. Indikator dari motivasi berprestasi ini adalah : 1) Berhubungan dengan diri sendiri, 2) Berhubungan dengan orang lain
3. Kinerja Guru
Kinerja guru yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses kerja guru yang didukung oleh kemauan dan kemampuan untuk mencapai hasil atau prestasi kerja yang diinginkan dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, tugas-tugas rutin sebagai seorang guru adalah mengadakan perencanaan, pengelolaan, dan pengadministrasian atas tugas-tugas pembelajaran, serta melaksanakan pengajaran.
Dimensi dan indikator dari kinerja guru ini adalah : 1) perencanaan, 2) pelaksanaan pembelajaran, dan 3) pelaksanaan evaluasi hasil pembelajaran.
TESIS HUBUNGAN KUALITAS PERENCANAAN DAN PENGAWASAN KEPALA SEKOLAH DENGAN EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI LESSON STUDY

TESIS HUBUNGAN KUALITAS PERENCANAAN DAN PENGAWASAN KEPALA SEKOLAH DENGAN EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI LESSON STUDY

(KODE : PASCSARJ-0125) : TESIS HUBUNGAN KUALITAS PERENCANAAN DAN PENGAWASAN KEPALA SEKOLAH DENGAN EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI LESSON STUDY (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 menyatakan pendidikan nasional Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Demi tercapainya tujuan itu dibentuklah suatu sistem pendidikan nasional Indonesia yang dilandaskan kepada akar budaya dan filsafat bangsa dengan berorientasi kepada persaingan global dalam kemajuan peradaban dunia melalui manajemen pendidikan nasional.
Manajemen pendidikan nasional menata setiap komponen sistem pendidikannya, yaitu tenaga pendidikan, peserta didik, kurikulum dan sarana prasarana, secara sistematis agar dapat menghasilkan output pendidikan sesuai dengan tujuan tersebut. Dalam pelaksanaannya, Fattah, N. (2008 : 1) mengungkapkan pengelolaan setiap komponen sistem pendidikan tidak terlepas dari fungsi-fungsi manajemen, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemimpinan (leading) dan pengawasan (controlling). Fungsi-fungsi tersebut bertujuan untuk mengatur proses kegiatan pendidikan, termasuk di sekolah sebagai wahana pendidikan, agar dapat berjalan dengan baik sehingga pada gilirannya tercapai efektivitas dan efisiensi.
Peningkatan efektivitas dan efisiensi kualitas pendidikan harus terus menerus dilakukan melalui berbagai upaya untuk memenuhi perkembangan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan dan hasil pendidikan. Bicara masalah pelayanan dan hasil pendidikan selalu diidentikkan dengan profesionalisme dan kinerja guru. Guru, sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan, seyogianya menguasai 4 kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10.
Keempat kompetensi tersebut bersifat holistik dan integratif yang ditunjukkan dalam kinerja guru. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/silabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Sedangkan kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, secara obyekif mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan. Pengembangan kompetensi sosial juga tak kalah penting karena merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang mengharuskan seorang guru dapat berkomunikasi dengan baik dan mampu bergaul dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali dan masyarakat sekitar secara santun. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Secara khusus tugas dan fungsi tenaga pendidik didasarkan pada Undang-Undang no 14 tahun 2007, yaitu sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu guru dalam proses belajar mengajar harus memiliki kompetensi tersendiri guna mencapai harapan yang dicita-citakan dalam melaksanakan pendidikan pada umumnya dan proses belajar mengajar khususnya. Agar memiliki kompetensi tersebut guru perlu membina dan mengembangkan kemampuan peserta didik secara profesional di dalam proses belajar mengajar.
Berkaitan dengan peran dan tugas guru, Cooper (Satori, D. et al 2007 : 2.2) membagi kemampuan dasar guru ke dalam empat komponen, yakni (a) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (b) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya, (c) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, dan (d) mempunyai keterampilan dalam teknik mengajar.
Berdasarkan Undang-Undang no 20 tahun 2003 Pasal 39 ayat 2 pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dari pandangan tersebut peranan dan tugas guru dapat diidentifikasi dalam dua bagian pokok yaitu sebagai pengelola dan sebagai pelaksana pendidikan dan pengajaran di kelas. Artinya guru sebagai pengelola harus memiliki kemampuan manajerial yaitu menguasai perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian. Lalu, sebagai pelaksana, guru harus mampu memiliki kemampuan teknis yang terkait dengan bagaimana menggunakan segala sumber daya pendidikan yang ada dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, dalam hal ini guru harus mampu mengelola kegiatan belajar mengajar yang baik melalui berbagai strategi dan metode sekaligus menjadi sumber belajar bagi siswa.
Kenyataannya mutu pendidikan Indonesia dinilai secara rendah. Dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 diantara 130 negara di dunia.
Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0,935, dibawah Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965), Jawa Pos, edisi 12 Desember 2007 (Pujianto, W. 2008 : 1). Fakta tentang rendahnya mutu pendidikan Indonesia ini tentunya tidak terlepas dari masih lemahnya aspek manajemen pendidikan di Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkinan dari rendahnya kemampuan guru sebagai ujung tombak pendidikan dalam mengejawantahkan keempat kompetensinya tersebut. Oleh karena itu pengembangan keprofesionalan guru harus selalu ditingkatkan, karena peningkatan keprofesionalan guru akan diikuti oleh peningkatan efektivitas kegiatan belajar mengajar dan secara tidak langsung peningkatan keprofesionalan guru juga akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan secara luas.
Lesson Study dipercaya sebagai salah satu upaya menciptakan guru yang profesional. Lesson Study memang bukan suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi lebih merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi, dan melaporkan hasil pembelajaran. Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning community) yang secara konsisten dan sistematis melakukan untuk perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial. Mulyana, S. (2007 : 2) memberikan pandangan tentang Lesson Study yaitu sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.
Lesson Study dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan keprofesionalan guru karena memungkinkan guru selain untuk memikirkan dengan cermat mengenai tujuan pembelajaran jangka pendek dan jangka panjang terhadap materi pokok, strategi dan metode pembelajaran, Lesson Study juga membuat guru merancang pembelajaran yang kolaboratif. Hal ini menyebabkan terjadinya saling koreksi antar pelaksana Lesson Study demi perbaikan pembelajaran berikutnya.
Dalam pelaksanaannya program Lesson Study memerlukan fungsi-fungsi manajemen, terutama perencanaan yang kuat. Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang menempati posisi pertama dan utama di antara fungsi-fungsi manajemen lainnya. Ini berarti bahwa perencanaan merupakan titik pangkal berbagai program dalam manajemen atau organisasi. Perencanaan adalah proses menentukan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan jalan dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu seefisien dan seefektif mungkin.
Sejalan dengan pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah fakta mengenai pentingnya peran Kepala Sekolah dinyatakan dalam http://yberlantai.1971.multiply.com/jounal/item/26 dalam International Conference of Lesson Study awal Maret 2009 di SMPN 4 X dinyatakan bahwa : "Lesson Study di X diakui ada yang gagal dan ada yang berhasil. Berhasil karena ada dukungan dari pengawas, Kepala Sekolah, dan Dinas setempat. Jadi ternyata agar berhasil Lesson Study ini perlu dukungan bottom up dan top down. Petunjuk teknis tetap di perlukan. Ujung tombak keberhasilan Lesson Study ternyata ada di Kepala Sekolah sebagai leader of innovation and motivator. Kepala Sekolah ternyata kunci keberhasilan sekolah dan juga guru".
Dari pernyataan tersebut bisa diindikasikan bahwa pengawasan dari Kepala Sekolah menduduki peran yang sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan program Lesson Study ini. Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktivitas yang terlaksana sesuai dengan yang telah direncanakan. Pengawasan yang dilakukan Kepala Sekolah merupakan sebuah pengawasan internal yang pada hakikatnya meliputi pengujian dan evaluasi terhadap kecukupan dan keefektifan sistem pengendalian intern yang dimiliki oleh sekolah dan kualitas dari pelaksanaan program Lesson Study.
Perencanaan dan pengawasan yang efektif dapat melahirkan pelaksanaan program yang efektif pula. Menciptakan suasana kondusif agar semua guru mampu melaksanakan tugas bukan hanya sekedar tanggung jawab kesupervisian Kepala Sekolah, tetapi lebih sebagai akuntabilitas, yang tarafnya lebih tinggi dari tanggung jawab. Kepala Sekolah bertanggungjawab membangun sekolahnya sebagai tempat pembelajaran yang kondusif demi terciptanya sekolah yang efektif. Lunenburg (2008 : 14) dalam bukunya The Principalship : Vision to Action, menyatakan "The role of instructional leader helps the school to maintain a focus on why the school exists, and that is to help all students learn ". Hal ini berarti Kepala Sekolah sebagai pimpinan sekolah berperan sangat penting dalam membuat sekolah tetap fokus kepada mengapa sekolah tersebut ada, dan sekolah ada hanyalah untuk membantu siswa belajar. Kepala Sekolah merupakan the key person keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Kegagalan dan keberhasilan sekolah banyak ditentukan oleh kepala sekolah, karena kepala sekolah merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh sekolah menuju tujuannya.
Salah satu alasan utama penelitian ini dilakukan, yaitu sejalan dengan pendapat para ahli tentang peran Kepala Sekolah sebagai key person dalam organisasinya tersebut. Secara kontekstual peranan kepala sekolah sangat menentukan keefektifan implementasi program di sekolahnya termasuk Lesson Study, namun kenyataan di lapangan keberlangsungan Lesson Study perlu mendapat perhatian. Melalui beberapa kali pengamatan di beberapa sekolah, sebagian kepala sekolah tidak memiliki pengetahuan kepemimpinan, tidak hadir di hari efektif belajar mengajar, belum mampu menyusun program kerja tahunan, belum mampu merumuskan dan menjabarkan visi dan misi sekolahnya, dan belum melakukan pengawasan internal secara efektif terutama pada program Lesson Study. Hal ini tentu saja mempengaruhi keberlangsungan Lesson Study sebagai upaya perbaikan mutu pembelajaran, mutu lulusan dan mutu sekolah.
Terkait dengan penyelenggaraan Lesson Study, ada dua tipe penyelenggaraan Lesson Study, yaitu Lesson Study berbasis sekolah dan Lesson Study berbasis MGMP. JICA (Japan International Cooperation Agency) bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama Republik Indonesia membuat suatu program peningkatan kualitas SMP/MTs. Program ini baik mendukung terlaksananya Lesson Study berbasis MGMP maupun berbasis sekolah. Lesson Study berbasis MGMP merupakan pengkajian tentang proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh kelompok guru mata pelajaran tertentu, dengan pendalaman kajian tentang proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu, yang dapat dilaksanakan pada tingkat wilayah, kabupaten atau mungkin bisa lebih diperluas lagi. Sedangkan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) dilaksanakan oleh semua guru dari berbagai bidang studi dengan kepala sekolah yang bersangkutan dengan tujuan agar kualitas proses dan hasil pembelajaran dari semua mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan dapat lebih ditingkatkan.
Program Lesson Study Berbasis Sekolah menjadi menarik untuk dipelajari karena keterlibatan Kepala Sekolah yang sangat kuat dalam menciptakan iklim sekolah yang nyaman demi terlaksananya program tersebut. Beberapa penelitian menemukan beberapa fakta betapa sulitnya seorang Kepala Sekolah membangun iklim sekolah yang efektif. Beberapa diantaranya adalah :
1. masih tingginya tingkat ketidakhadiran guru dengan berbagai alasan, 45% tanpa alasan yang jelas, 36% karena sakit, dan 19% karena mendapat tugas resmi secara kedinasan (Usman, Ahmadi, dan Suryadarma, 2004, dalam Koesoema, 2009 : 194)
2. masih terjadinya mismatch teaching karena ketidakmerataan ketersediaan guru yang memungkinkan pengajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian guru (Koesoema, 2009 : 194)
3. masih adanya kultur sekolah yang negatif seperti senioritas dan bias gender (Kauffman and Liu, 2001, dalam Koesoema, 2009 : 195)
4. masih adanya norma privasi dalam kultur dalam profesi guru yang mengutamakan individualisme, meyakini bahwa pekerjaan guru merupakan urusan pribadi guru dan murid di dalam kelas di mana rekan kerja atau orang lain di luar kelas tidak berhak ikut campur (Fullan, 2007, dalam Koesoema, 2009 : 195)
5. dinamika, struktur, dan rutinitas pekerjaan guru yang cenderung sama setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun yang membuat guru terjerumus dalam kebosanan, kehilangan gairah dalam mengajar, terlalu terfokus pada mengajar tanpa memperkaya dirinya untuk belajar, mengakibatkan guru sulit menerima dan melakukan perubahan terutama dalam cara membelajarkan anak didiknya (Huberman, 1983; Hargreaves, 2005, dalam Koesoema 2009 : 82).
Masalah tersebut menjadi dasar bagi Kepala Sekolah dalam membuat kebijakannya dalam program Lesson Study yang menuntut guru untuk mau melakukan perubahan. Oleh karena itu perencanaan bersama dan pengawasan program Lesson Study oleh Kepala Sekolah adalah suatu keharusan demi terwujudnya keefektifan implementasi program.

B. Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dalam penelitian ini maka berikut ini adalah beberapa variabel yang akan menjadi fokus penelitian.
1. Efektivitas implementasi Lesson Study di sekolah pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS)
2. Perencanaan Lesson Study sebagai langkah awal pelaksanaan program Lesson Study yang dilakukan tim guru-guru yang bersangkutan dengan Kepala Sekolahnya
3. Pengawasan Lesson Study sebagai tindakan penilaian Kepala Sekolah sebagai pengawas internal
Bertolak dari latar belakang penelitian yang telah diungkapkan di atas dan fenomena yang telah dipaparkan bahwa perencanaan dan pengawasan merupakan faktor yang dapat meningkatkan efektivitas implementasi Lesson Study, maka fokus penelitian ini didasari oleh beberapa permasalahan yang muncul dalam manajemen sekolah khususnya manajemen pelaksanaan program Lesson Study di sekolah pelaksana LSBS yang terjadi saat ini berkisar pada perencanaan, pengawasan dan pelaksanaannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dengan judul : Hubungan Kualitas Perencanaan dan Pengawasan Kepala Sekolah dengan Efekti vitas Implementasi Lesson Study (Studi Analitik Terhadap Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri Pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah di Kabupaten X). Adapun rumusan masalah tersebut dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana hubungan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study?
2. Bagaimana hubungan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study?
3. Bagaimana hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah secara simultan dengan efektivitas implementasi Lesson Study?

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasionalnya
Penelitian ini berjudul "Hubungan Kualitas Perencanaan dan Pengawasan Kepala Sekolah dengan Efektivitas Implementasi Lesson Study". Untuk memberikan arahan yang jelas tentang maksud dari judul penelitian tersebut, perlu dijelaskan operasionalisasi variabel penelitian sebagai berikut.
1. Variabel bebas (X) atau disebut juga variabel prediktor adalah "variabel penyebab atau yang diduga memberikan suatu pengaruh atau efek terhadap peristiwa lain" (Sudjana, N. & Ibrahim, 1989 : 12). Variabel bebas dalam penelitian ini ada dua, yakni kualitas perencanaan LSBS (X1) dan pengawasan Kepala Sekolah (X2).
Variabel kualitas perencanaan LSBS terdiri dari beberapa aspek berikut :
1. Penyusunan tujuan
2. Metode/Teknik
3. Tingkat prioritas
4. Alokasi sumber daya/dana
5. Perumusan kriteria keberhasilan
6. Pembuatan revisi program
Sedangkan variabel pengawasan Kepala Sekolah terdiri dari beberapa aspek berikut :
1. Relevansi, yaitu kesesuaian pengawasan dengan tujuan efektivitas, efisiensi dan produktivitas.
2. Ketepatan, kesesuaian hasil pengawasan dengan standar penilaian.
3. Kejelasan, yaitu kejelasan tujuan pengawasan demi perbaikan dan pemecahan masalah.
4. Keadilan, kesesuaian pengawasan dengan job description dan dengan jadwal.
5. Akses, kesesuaian tugas mengawas oleh pihak yang berwenang selain Kepala Sekolah.
2. Variabel terikat (Y) atau disebut juga variabel respon, yakni "variabel yang ditimbulkan oleh variabel bebas" (Sudjana, N. & Ibrahim, 1989 : 12).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah efektivitas implementasi Lesson Study berbasis sekolah yang meliputi aspek berikut.
1. Kuantitas pekerjaan
2. Mutu pekerjaan
3. Pengetahuan pekerjaan
4. Kreativitas
5. Kooperatif
6. Keterkaitan
7. Prakarsa
8. Kualitas Pribadi

D.Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data empirik tentang besaran hubungan perencanaan dan pengawasan terhadap implementasi Lesson Study khususnya di sekolah pelaksana LSBS. Selanjutnya dianalisis dan diinterpretasikan untuk membuktikan hipotesis. Penganalisaan informasi dan data yang diperoleh dapat dijadikan bahan untuk pengembangan akademis pada level sekolah lain baik pelaksana LSBS maupun LS berbasis MGMP.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fenomena tentang :
a. Hubungan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.
b. Hubungan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.
c. Hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat dan kegunaan sebagai berikut :
a. Manfaat Teoretis
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah menambah wawasan keilmuan khususnya dalam bidang pendidikan yang berkenaan dengan manajemen pendidikan khususnya perencanaan dan pengawasan terhadap implementasi Lesson Study. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan studi lanjutan yang relevan terhadap pengembangan konsep peningkatan mutu tenaga pendidik dan pengembangan manajemen sekolah.
b. Manfaat Praktis
Hasil dari wawasan keilmuan tersebut dapat digunakan untuk upaya praktis diantaranya :
1. Perbaikan mutu implementasi Lesson Study di SMP terkait dalam menciptakan society learning yang berkesinambungan.
2. Perbaikan hubungan antara guru dan sesamanya, antara guru dan kepala sekolah dalam menuju iklim dan kultur sekolah yang kondusif.
3. Bahan perbandingan bagi para kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kinerja guru melalui Lesson Study dan pelaksanaan fungsi manajemen organisasi.
4. Bagi penulis sendiri, digunakan sebagai temuan awal untuk melakukan penelitian tentang model pengembangan kompetensi guru dan pelaksanaan fungsi manajemen organisasi.

F. Asumsi-Asumsi
Penelitian ini mempersoalkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi Lesson Study khususnya di sekolah pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah. Awal dari pemikiran bahwa efektivitas implementasi Lesson Study ini akan berjalan dengan baik di sekolah yang efektif. Mengutip pendapat Edmonds (1979) dalam buku The Principalship karya Lunenburg (2006 : 103) setidaknya ada tujuh dimensi yang berkorelasi menciptakan keefektifan sekolah berdasarkan riset yang ia kembangkan. "Edmond sets forth what he believed the research concluded were six (then seven) correlates for an Effective School : (1) clear and focused mission, (2) instructional leadership, (3) high expectation, (4) opportunity to learn and time on task, (5) frequent monitoring of student progress, (6) safe and orderly environment, dan (7) positive home-school relation. Lunenburg (2006) sangat setuju dengan pendapat Edmond bahwa sekolah yang efektif memiliki misi yang jelas, kepemimpinan yang kuat, target yang tinggi, memberikan kesempatan pembelajaran dan penugasan yang luas, memonitor kemajuan siswa secara rutin, memiliki lingkungan yang teratur dan aman, dan memiliki hubungan dengan lingkungan dan rumah dengan baik. Sejalan dengan pendapat mereka, lebih jauh lagi Danim, S. (2007 : 61) mengungkapkan beberapa kriteria yang menjadi ukuran dasar bagi sekolah yang efektif diantaranya mempunyai standar kerja yang tinggi dan jelas, menggunakan metode pembelajaran yang berbasis pada hasil penelitian dan mempunyai instrumen evaluasi yang terkait dengan standar yang telah ditentukan.
Dari pendapat para ahli tersebut peneliti menganggap bahwa Lesson Study sebagai program sekolah membutuhkan wadah yang tepat, yaitu sekolah yang efektif. Sekolah yang efektif dibangun oleh kesamaan visi pemimpin sekolah dan gurunya sehingga mereka bersama-sama sebagai perencana yang berkualitas di sekolahnya tersebut. Lebih jauh lagi sekolah yang efektif selalu melakukan pengawasan dan penilaian yang berkesinambungan baik oleh pemimpin sekolah, maupun petugas yang berwenang. Efektivitas pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah dibangun oleh perencanaan yang berkualitas dan pengawasan Kepala Sekolah yang berkesinambungan.

G. Hipotesis
Didasari oleh kerangka berpikir dan asumsi penelitian tersebut, diajukan hipotesis yang menunjukkan tentang "hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study" sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan yang signifikan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah
2. Terdapat hubungan yang signifikan pengawasan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas perencanaan dan pengawasan secara simultan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah

H. Metode dan Teknik Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan pendekatan korelasional, dimana metode ini digunakan untuk menemukan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survey, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian terhadap sampel penelitian.
Bentuk studi yang akan dikembangkan dan teknik pengurupulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah : (1) studi kepustakaan, (2) studi lapangan yang akan dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner. Angket tersebut akan disebarkan kepada guru-guru Sekolah Menengah Pertama Negeri pelaksana LSBS di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten X yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini akan dilakukan secara acak (simple random sampling), yaitu sebuah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota sampel.
Adapun teknik analisis data yang digunakan, Sugiyono (2008 : 215) karena menguji hipotesis asosiatif/hubungan yang datanya berbentuk interval maka diperlukan Korelasi Product Moment untuk menguji hipotesis hubungan antara satu variabel independen dengan satu variabel dependen dan Korelasi Ganda untuk menguji hipotesis tentang dua variabel independen atau lebih secara bersama-sama dengan satu variabel independen.
SKRIPSI PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

SKRIPSI PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

(KODE : FISIP-AN-0018) : SKRIPSI PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 telah banyak membawa perubahan yang fundamental kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketidakpuasan masyarakat akan sistem pemerintahan yang sentralistik, buruknya kinerja pemerintah, kualitas pelayanan publik yang rendah dan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tuntutan reformasi itu sendiri tertuju pada aparatur pemerintah. Rakyat mengharapkan lahirnya good governance dan mereka cukup paham bahwa pemerintahan yang baik itu antara lain dapat terwujud melalui kebijakan desentralisasi.
Namun, berbagai tuntutan itu tidaklah akan terbentuk secara otomatis. Banyak langkah yang mesti direncaanakan, dilakukan, dan dinilai secara sistematis dan konsisten. Dalam konteks ini, penataan sumber daya aparatur menjadi hal yang sangat penting dilakukan. Terlebih lagi di era otonomi daerah seperti sekarang. Penataan sumber daya aparatur yang profesional dalam manajemen otonomi daerah harus diprioritaskan, karena reformasi dibidang administrasi pemerintahan mengharapkan hadirnya pemerintah yang lebih berkualitas, lebih mampu mengemban fungsi-fungsi pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan sosial ekonomi.
Dengan adanya semangat otonomi daerah, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan berbagai Peraturan Perundang-undangan dalam rangka desentralisasi kepegawaian, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 3 ayat 1 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Sejalan dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan desentralisasi bidang kepegawaian kepada daerah otonom tersebut diatas, maka unit pengelola sumber daya aparatur dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil sudah selayaknya ditangani oleh sebuah lembaga teknis daerah berbentuk badan atau kantor, Selama ini daerah otonom hanya memiliki kewenangan terbatas dalam pengelolaan sumber daya aparatur, antara lain menyangkut usulan kenaikan pangkat, usulan mutasi, usulan pengisian jabatan kerja dan usulan pemberhentian, sedangkan keputusan terakhir tetap berada di tangan Pemerintah Pusat. Keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut pemberian kewenangan dalam bidang kepegawaian perlu diimbangi dengan penataan manajemen dan kelembagaan yang mengelola sumber daya aparatur.
Untuk memberi landasan yang kuat bagi pelaksanaan desentralisasi kepegawaian tersebut, diperlukan adanya pengaturan kebijakan manajemen Pegawai Negeri Sipil secara nasional tentang norma, standar, dan prosedur yang sama dan bersifat nasional dalam setiap unsur manajemen kepegawaian. Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah merupakan Perangkat Pemerintah Daerah yang berwenang melaksanakan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kinerja pegawai dalam rangka menunjang tugas pokok Gubernur, Bupati/Walikota. Kelancaran pelaksanaan tugas organisasi ini sangat tergantung pada kesempurnaan dari pegawai yang berada didalamnya yang mampu bekerja secara profesional, efektif dan efisien guna meningkatkan kelancaran roda pemerintahan.
Aparatur pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan bagi masyarakat sekaligus sebagai penanggung jawab fungsi pelayanan umum di Indonesia yang mengarahkan tujuannya kepada public service, memikirkan dan mengupayakan tercapainya sasaran pelayan kepada seluruh masyarakat dalam berbagai lapisan. Hal ini mengharuskan pihak pemerintah senantiasa mengadakan pembenahan menyangkut kualitas pelayanan yang dihasilkan. Pelayanan yang berkualitas berarti pelayanan yang mampu memberi kepuasan kepada pelanggan (masyarakat) dan mampu memenuhi harapan masyarakat. Sebab pelanggan adalah orang yang menerima hasil pekerjaan. Oleh sebab itu hanya pelanggan (masyarakat) yang dapat menentukan kualitas pelayanan dan mereka pula yang dapat menyampaikan apa dan bagaimana kebutuhan mereka.
Pelayanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah atas kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan publik atau masyarakat. Dengan demikian, kegiatan tersebut mengandung adanya unsur-unsur perhatian dan kesediaan serta kesiapan dari pegawai pemerintah. Rasa puas masyarakat dalam pelayanan publik akan terpenuhi ketika apa yang diberikan oleh pegawai sesuai dengan apa yang mereka harapkan selama ini, dimana dalam pelayanan tersebut terdapat tiga unsur pokok yaitu biaya yang relatif lebih murah, waktu untuk mengerjakan relatif lebih cepat dan mutu yang diberikan relatif lebih bagus.
Dalam hal ini Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten X, sebagai institusi pelayanan teknis mempunyai tugas kewenangan di bidang pelayanan publik antara lain: merumuskan perencanaan dan melaksanakan kebijakan teknis manajemen kepegawaian daerah, melaksanakan kegiatan penata usahaan Badan Kepegawaian Daerah, memberikan pertimbangan atau penetapan mutasi kepegawaian bagi PNS daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan memberikan pertimbangan pensiun PNS dan penetapan status kepegawaian diwilayah kerjanya.
Dari hasil pengamatan penulis, ada beberapa masalah yang ditemukan di Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) X diantaranya
1. BKPP X dinilai bobrok dan amburadul, terbukti dengan semrautnya administrasi penempatan tugas para CPNS formasi 2008, beberapa CPNS tenaga guru yang ditempatkan di sebuah sekolah sesuai yang tercantum dalam SK tapi ternyata ketika dicek oleh CPNS yang bersangkutan, ternyata sekolah yang tertera dalam SK pengangkatan tersebut tidak ada dilapangan.
2. Tidak ada lagi harmonisasi kerja, beberapa pegawai berjalan sendiri-sendiri, tidak ada lagi koordinasi.
3. Indikasi adanya oknum pejabat BKPP yang menerima suap dari beberapa oknum CPNS tertentu agar ditempatkan di instansi yang lebih refresentatif (basah) (www.harianglobal.com/12 September 2009).
Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya ketegasan dalam memberikan sanksi hukum terhadap oknum pejabat yang melakukan kecurangan. Selain beberapa masalah diatas terdapat juga kasus adanya tenaga honorer fiktif, banyak data tenaga honorer yang direkayasa oleh pihak-pihak tertentu dengan cara mengeluarkan surat keterangan mengabdi sebagai tenaga honorer, padahal oknum honorer itu tidak pernah mengabdi dan terdaftar sebagai tenaga bakti (http://www.harianberitasore.com/3 Maret 2009).
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah ini terjadi akibat minimnya kinerja pegawai terhadap tanggung jawab mereka sebagai pekerja (PNS), rendahnya mutu pelayanan publik yang diberikan oleh pegawai tersebut menjadi citra buruk BKPP itu sendiri ditengah masyarakat. Bagi masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi selalu mengeluh dan kecewa terhadap tidak layaknya pegawai dalam memberikan pelayanan. Pelayanan kepada masyarakat tidak akan dapat terlaksana secara optimal tanpa adanya kesiapan pegawai yang professional untuk melaksanakan visi dan misi pemerintah kabupaten /kota. Contohnya seperti yang dialami oleh Ibu Herawati, seorang CPNS tenaga guru SD warga Meukek. Dalam SK pengangkatan ia ditugaskan di sebuah SD di kawasan Kecamatan Kluet Tengah. Ternyata ketika ia mendatangi SD tersebut tidak ada. Akhirnya ia belum tahu harus bekerja di mana, sementara SK pengangkatan menjadi CPNS telah didapatkannya. Herawati tidak sendiri, beberapa CPNS yang lainnya juga mengalami nasib yang serupa, kasusnya pun berbeda-beda. Berdasarkan investigasi Global di BKPP X, Jumat (11/9) terungkap, dari 242 CPNS formasi umum tahun 2008 yang telah diserahkan SK nya itu, mayoritas dari keseluruhannya disinyalir kuat tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Dalam kenyataannya pelayanan yang diberikan pegawai belum sesuai dengan yang diharapkan. Adanya anggapan bahwa di era otonomi daerah, kualitas pelayanan publik justru semakin buruk dari sebelumnya (Sherwod 1997:7 dalam Revida 2007:1) bahwa profesionalisme pelayanan pemerintah didaerah sedang mengalami kemunduran. Aparatur Negara atau pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat diperlukan untuk melaksanakan kegiatan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah dalam melakukan pembangunan nasional. Dalam hal ini diperlukan pegawai yang profesional agar mampu meningkatkan mutu, pengetahuan, keterampilan karena didorong dengan banyaknya tanggung jawab tugas pemerintah serta pengabdiannya kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pegawai. Pegawai atau aparatur pemerintah yang profesional sangat berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap kemajuan dan peningkatan kualitas pelayanan organisasi pemerintah. Hal ini disebabkan bahwa pegawai pemerintah sebagai penentu, perencana, pelaksana, dan pengawas administrasi pemerintahan.
Kurangnya profesionalisme aparatur dalam pengelolaan pelayanan publik mengakibatkan kurangnya kemauan untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan dan adanya rasa apatis masyarakat terhadap pemerintahan mengakibatkan masyarakat merasa tersisihkan dari proses pemerintahan.
Dari berbagai bidang pekerjaan yang digeluti aparatur pemerintah jelas sekali yang menjadi permasalahan adalah menyangkut kekurang-profesionalan pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas penting yang dipercayakan kepadanya sehingga mengakibatkan banyak kerugian di pihak masyarakat yang sangat menginginkan hasil kerja pegawai yang optimal dalam memberikan pelayanan publik.
Mengingat pentingnya profesionalisme kerja sebagai persyaratan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka setiap pegawai dituntut untuk senantiasa meningkatkan profesionalismenya, berdasarkan asumsi saya terlihat bahwa profesionalisme kerja pegawai belumlah sesuai dengan kondisi yang diharapkan yaitu profesionalisme kerja yang dapat mendukung terlaksananya dan terwujudnya kualitas pelayanan yang lebih baik.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: "PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Studi Pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X)."

1.2 Perumusan Masalah
Dalam penelitian, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka peneliti harus merumuskan masalahnya dengan jelas, sehingga akan jelas pula darimana harus dimulai, kemana harus pergi dan apa yang akan dilakukan. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah meng-intepretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam penelitian, (Arikunto, Suharsimi, 1996: 19). Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: "Sejauh Mana Pengaruh Profesionalisme Kerja Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik di Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X?"

1.3 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau apa yang menjadi tujuan penelitian tentunya jelas diketahui sebelumnya. Suatu riset khusus dalam ilmu pengetahuan empiris pada umumya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu ilmu pengetahuan itu sendiri.
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana profesionalisme kerja pegawai di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui bagaimana kualitas pelayanan publik yang diberikan di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X kepada masyarakat.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap kualitas pelayanan publik pada Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara subyektif Sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir dalam menulis karya ilmiah tentang profesionalisme kerja pegawai dan kualitas pelayanan publik.
2. Secara praktis. Sebagai masukan/sumbangan pemikiran bagi Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional.
3. Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik dalam bidang ini.