Search This Blog

TESIS PENGARUH METODE MEMBACA SURVEY, QUESTION, READ, RECITE, DAN REVIEW (SQ3R) TERHADAP PRESTASI BELAJAR BAHASA INDONESIA SISWA SEKOLAH DASAR KELAS V DI KECAMATAN X DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR

TESIS PENGARUH METODE MEMBACA SURVEY, QUESTION, READ, RECITE, DAN REVIEW (SQ3R) TERHADAP PRESTASI BELAJAR BAHASA INDONESIA SISWA SEKOLAH DASAR KELAS V DI KECAMATAN X DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR

(KODE : PASCSARJ-0104) : TESIS PENGARUH METODE MEMBACA SURVEY, QUESTION, READ, RECITE, DAN REVIEW (SQ3R) TERHADAP PRESTASI BELAJAR BAHASA INDONESIA SISWA SEKOLAH DASAR KELAS V DI KECAMATAN X DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR (PRODI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan mempunyai peran yang amat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi perkembangan bangsa dan negara. Kemajuan suatu kebudayaan tersebut antara lain mengenali, menghargai, dan memanfaatkan sumber daya manusia, dalam hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan anggota masyarakatnya kepada peserta didik.
Tujuan pendidikan pada umumnya adalah menjadikan lingkungan yang memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan masyarakat. Setiap orang mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda, oleh karena itu, membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula. Salah satu kemungkinan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan bagi peserta didik adalah kegiatan membaca.
Pada hakikatnya keterampilan membaca perlu dimiliki oleh setiap orang, bukan hanya pelajar atau golongan terdidik saja, tetapi masyarakat luas pun harus menempatkan keperluan membaca sejajar dengan keperluan yang lain. Dari kegiatan itulah sebenarnya banyak menggali informasi yang makin hari makin sarat dengan ide-ide pengembangan dan pembangunan.
Membaca merupakan salah satu keterampitan berbahasa yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Kemampuan dan kesanggupan membaca merupakan modal dasar bagi seseorang untuk mengembangkan memajukan dirinya, yang pada akhirnya nanti diharapkan dapat membangun lingkungan dalam lingkup yang lebih besar dan kompleks. Membaca dapat mengantarkan seseorang menjadi insan cendekia (Mujianto, 1995 : 1). Karena itulah maka salah satu masalah yang dihadapi kini adalah menentukan cara-cara agar membaca itu dapat dengan baik mempromosikan kesejahteraan pribadi dan kemajuan kelompok.
Membaca di Sekolah Dasar telah diajarkan mulai dari kelas I sampai kelas VI. Pada waktu siswa belajar membaca, siswa mengenal kata demi kata, mengejanya, dan membedakannya dengan kata-kata lain. Selagi belajar, siswa diajari membaca secara struktural, yaitu dari kiri ke kanan dan mengamati tiap kata dengan seksama pada susunan yang ada. Cara tersebut memiliki keterbatasan, belum memungkinkan memanipulasi kata dari susunan kata itu dalam kalimat, oleh karena pada waktu membaca siswa melakukan kegiatan: (1) menggerakkan bibir untuk melafalkan kata-kata yang dibaca, (2) menggerakkan kepala dari kiri ke kanan; dan (3) menggunakan jari atau benda lain untuk menunjuk kata demi kata.
Secara tidak disadari, cara membaca yang dilakukan waktu kecil terutama, kelas I, II, dan III diteruskan hingga dewasa (Soedarso, 1994 : 5). Agar kebiasaan tersebut tidak diteruskan hingga kelas di atasnya, maka siswa perlu dikenalkan metode membaca dengan pendekatan sistematis, kecepatan membaca yang fleksibel, memahami isi bacaan dengan baik, efektif dan efisien, dan hasil pemahaman relatif tahan lama, maka perlu diterapkan metode membaca yang sering disebut SQ3R. Yang dimaksud dengan membaca metode SQ3R yaitu metode yang mencakup lima langkah, yaitu : 1) Survey (penelaahan pendahuluan); 2) Question (bertanya); 3) Read (membaca); 4) Recite (mengutarakan kembali); 5) Review (mengulang kembali) (Tarigan, 1991 : 56). Dengan demikian, yang dimaksud dengan SQ3R adalah suatu metode membaca untuk menemukan ide-ide pokok dan pendukungnya, serta untuk membantu mengingat agar lebih tahan lama melalui lima langkah kegiatan yaitu : Survey, Question, Read, Recite, dan Review. Metode membaca SQ3R bertujuan untuk : 1) membekali siswa dengan suatu pendekatan yang sistematis terhadap jenis-jenis kemampuan membaca; 2) meningkatkan proses belajar mengajar secara lebih mantap dan efisien untuk berbagai materi pelajaran (Ahmad S., 1988 : 65).
Motivasi merupakan faktor yang sangat penting dalam pembelajaran. Untuk mencapai hasil belajar yang maksimal motivasi harus senantiasa ditumbuhkan. Hilangnya motivasi belajar pada para siswa akan berpengaruh terhadap prestasi belajarnya. Siswa akan merasa malas, mengalami kesulitan, merasa asing dan tidak akan tertarik kepada pelajaran Bahasa Indonesia. Pada dasarnya siswa akan tertarik untuk belajar suatu pelajaran jika pelajaran tersebut menarik dan akrab dengan keadaan nyata siswa. Metode membaca SQ3R adalah salah satu cara untuk meningkatkan prestasi Bahasa Indonesia siswa .

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Pelajaran Bahasa Indonesia dianggap pelajaran yang tidak menarik dan membosankan siswa khususnya di sekolah dasar.
2. Kesulitan belajar menjadi penyebab rendahnya prestasi siswa ditimbulkan oleh beberapa faktor antara lain rendahnya motivasi belajar siswa terhadap Bahasa Indonesia.
3. Kurangnya penerapan metode pembelajaran Bahasa Indonesia dalam pembelajaran sehingga pembelajaran cenderung kurang bermakna bagi siswa.
4. Pada umumnya guru mengajar Bahasa Indonesia dengan pendekatan konvensional.
5. Diperlukan penerapan metode pembelajaran Bahasa Indonesia untuk merangsang motivasi siswa agar prestasi belajar Bahasa Indonesia meningkat.

C. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini berkenaan dengan pengaruh metode SQ3R terhadap prestasi belajar Bahasa Indonesia ditinjau dari motivasi siswa Sekolah Dasar di kecamatan X. Obyek yang diteliti adalah siswa kelas VI Sekolah Dasar Negeri yakni Sekolah Dasar Negeri X.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara penerapan metode membaca SQ3R dengan metode konvensional terhadap prestasi belajar Bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar ?
2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara siswa yang memiliki motivasi tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar Bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar ?
3. Apakah terdapat interaksi pengaruh yang signifikan antara metode membaca dengan motivasi siswa terhadap prestasi belajar Bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar ?

E. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Perbedaan pengaruh penerapan metode membaca SQ3R dengan metode konvensional terhadap prestasi belajar Bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar.
2. Perbedaan pengaruh antara siswa yang memiliki motivasi tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar Bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar.
3. Interaksi pengaruh metode membaca dengan motivasi siswa terhadap prestasi belajar Bahasa Indonesia siswa Sekolah Dasar.

F. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan :
1. Manfaat Teoretis
Sebagai bahan masukan bagi Sekolah Dasar Negeri di Wilayah Kecamatan X, dalam memberikan alternatif jenis metode untuk pembelajaran Bahasa Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai arah dan pedoman bagi para guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode pembelajaran Bahasa Indonesia untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa dalam belajar Bahasa Indonesia.
b. Sebagai pendorong untuk lebih memanfaatkan metode pembelajaran Bahasa Indonesia dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dasar.
TESIS KINERJA GURU TERSERTIFIKASI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI SISWA DI MI X

TESIS KINERJA GURU TERSERTIFIKASI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI SISWA DI MI X

(KODE : PASCSARJ-0103) : TESIS KINERJA GURU TERSERTIFIKASI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI SISWA DI MI X (PRODI : PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH)




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan, abad dimana pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Untuk meningkatkan pengetahuan tidak akan terlepas dari dunia pendidikan. Karena pendidikan adalah jalur utama menuju masyarakat yang berpengatahuan.
Secara umum terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam sebuah pendidikan yang bermutu untuk menuju masyarakat yang berpengetahuan. Faktor-faktor tersebut antara lain: guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan dan kurikulum. Kelima faktor tersebut memegang peranan dan wewenang masing-masing yang saling mendukung.
Guru adalah pelaku utama dalam pendidikan karena guru yang bersingunggan langsung dengan peserta didik. Sarana dan prasarana merupakan pendukung dalam tercapainya tujuan pendidikan, begitu juga dengan kurikulum yang berperan sebagai menu wajib bagi siswa untuk dipelajari sesuai dengan tingkatan dan kompetensinya. Sehingga faktor-faktor tersebut harus berjalan dengan baik dan saling menguatkan.
Namun, sering kali pendidikan di Indonesia mengasumsikan bahwa apabila ada kemerosotan dalam pendidikan, memposisisikan kurikulum, sarana dan prasarana sebagai penyebab utama merosotnya pendidikan di Indonesia. Hal tersebut tercermin dengan adanya perubahan kurikulum mulai kurikulum 1975 sampai dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Sebagaimana Nasanius menjelaskan bahwa pada realita yang ada ternyata kemerosotan pendidikan bukan dikarenakan oleh lemahnya kurikulum dan sarana-prasarana, melainkan oleh kurangnya kompetensi guru. Sehingga pendidikan kita belum menemukan model pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi anak didik kita.
Faktor guru apabila kita cermati mempakan faktor yang sangat penting dan tidak dapat diganti oleh apapun, karena guru sebagai subyek pendidik dan sebagai penentu keberhasilan dalam pendidikan itu sendiri. Nana Sudjana menyebutkan bahwa prestasi siswa sangat dipengamhi oleh guru dan guru mumpakan pelaku utama dalam peningkatan prestasi belajar siswa.
Peran guru dalam meningkatkan prestasi siswa akan semakin kelihatan apabila berada pada keterbatasan sarana dan prasarana. Sejalan dengan penelitian Nana di atas dari hasil study yang dilakukan oleh Heyneman dan Loxly dalam Dedi Supriyadi menjelaskan bahwa dari 16 negara berkembang guru memberikan kontribusi besar terhadap prestasi siswa sebesar tiga puluh empat prosen.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, tergambar secara jelas bahwa peran guru sangat penting dalam peningkatan prestasi siswa dalam pendidikan. Meskipun sarana dan prasarana sudah begitu lengkap dan cangih, namun apabila tidak di tunjang oleh keberadaan guru yang kompeten dan profesional maka mustahil pendidikan bisa berjalan dengan maksimal. Guru adalah faktor kunci bagi terlaksanannya pendidikan nasional.
Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai landasan yuridis untuk peningkatan kualifikasi dan profesional guru, dengan asumsi bahwa guru sebagai profesi yang profesional dengan segala kompetensi yang harus dimiliki akan berdampak dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, output maupun outcome. Setiap pendidik dan tenaga kependidikan layaknya memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial.
Kompetensi guru mempakan seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan kinerja secara tepat dan efektif Sedangkan guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguman sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.
Pendidik yang profesional tidak akan lepas dari kemampuan pedagogiknya, karena pedagogik mempakan ilmu yang membahas pendidikan, yaitu ilmu pendidikan anak. Jadi pedagogik mencoba menjelaskan tentang seluk beluk pendidikan anak. Pedagogik sebagai ilmu sangat dibutuhkan oleh guru, khususnya guru madrasah atau sekolah dasar karena mereka akan berhadapan dengan anak yang belum dewasa.
Tugas guru bukan hanya mengajar untuk menyampaikan, atau mentransformasikan pengetahuan kepada para anak di sekolah, melainkan guru mengemban tugas untuk mengembangkan kepribadian anak didiknya secara terpadu. Guru mengembangkan sikap mental anak, mengembangkan hati nurani anak, sehingga anak akan sensitif terhadap masalah-masalah kemanusiaan, harkat, derajat manusia, dan menghargai sesama manusia. Begitu juga guru harus mengembangkan keterampilan anak, keterampilan hidup di masyarakat sehingga mampu untuk menghadapi segala permasalahan hidupnya.
Kompetensi pedagogik tersebut didapat dari pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Namun untuk mencapai hal tersebut dan menjadi seorang guru yang profesional tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada lima syarat yang harus dilewati untuk menjadi guru profesional, yaitu: 1) Seorang guru bisa dikatakan sebagai seorang profesional apabila dia memiliki latar belakang pendidikan sekurang-sekurangnya setingkat sarjana (S1/D4), 2) Guru adalah seorang ahli. Sebagai seorang ahli,
maka dalam diri guru harus tersedia pengetahuan yang luas dan mendalam (kemampuan kognisi atau akademik) yang terkait dengan substansi mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya, 3) Guru dituntut untuk menunjukkan keterampilannya secara unggul dalam bidang pendidikan dan pembelajaran (kemampuan pedagogik), seperti: keterampilan menerapkan berbagai metode dan teknik pembelajaran, teknik pengelolaan kelas, keterampilan memanfaatkan media dan sumber belajar, dan sebagainya. Sehingga akan timbul motivasi dan gairah berprestasi pada diri siswa, 4) Guru bekerja dengan kualitas tinggi. Pekerjaan guru termasuk dalam bidang jasa atau pelayanan (service). Pelayanan yang berkualitas dari seorang guru ditunjukkan melalui kepuasan dari para pengguna jasa guru yaitu siswa, dan 5) Guru dapat berperilaku sejalan dengan kode etik profesi serta dapat bekerja dengan standar yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, kita ketahui bahwa untuk menjadi guru dengan predikat sebagai profesional tampaknya tidaklah mudah, tidak cukup hanya dinyatakan melalui selembar kertas yang diperoleh melalui proses sertifikasi. Namun guru dituntut untuk memiliki kemampuan menyelenggarakan proses pembelajaran dan penilaian yang menyenangkan dan sesuai dengan kriteria yang berlaku dengan tujuan agar dapat mendorong peningkatan dan tumbuhnya prestasi, motivasi, dan kreatifitas pada diri siswa.
Peningkatan prestasi pada siswa dipengamhi oleh faktor lingkungan, internal dan eksternal siswa, selain itu faktor utama peningkatan prestasi siswa terletak pada bagaimana kualitas proses pembelajaran yang berlangsung. Oleh karena itu untuk meningkatkan prestasi siswa, proses pembelajaran dikelas harus berlangsung dengan baik, berdaya guna dan berhasil guna. Proses pembelajaran akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh guru yang mempunyai kemampuan profesional (tersertifikasi), karena guru merupakan faktor utama dalam tercapainya pelaksasanaan pendidikan. Guru profesional atau yang telah tersertifikasi tentu akan mampu menumbuhkan semangat dan motivasi belajar siswa lebih baik.
Untuk dapat menumbuhkan kualitas dan prestasi siswa, guru tersertifikasi akan bempaya untuk mempengamhi emosi dan minat siswa dalam proses pembelajaran. Sehingga siswa akan selalu termotivasi dan pada akhirnya akan tercipta pembelajaran yang berdaya guna. Apabila dalam sebuah pembelajaran sudah berdaya guna tentu akan mudah bagi guru tersertifikasi untuk dapat meningkatkan prestasi siswa.
Namun kurangnya tenaga pendidik yang profesional, menjadi penyebab permasalahan keilmuan yang dihadapi lembaga pendidikan saat ini, umumnya mengalami kekurangan guru yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan subyek atau guru bidang studi yang kompeten dan sesuai dengan latar belakang guru. Akhirnya sekolah terpaksa menempuh kebijakan yang tidak populis bagi anak, guru mengasuh pelajaran yang tidak sesuai bidangnya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesional yang ditunjang dengan sertifikasi belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang kelim sehingga mereka tidak mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas. Dan permasalahan inilah yang menjadi faktor awal merosotnya prestasi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan adanya guru yang sudah tersertifikasi diharapkan dapat menjadikan guru sebagai guru yang profesional. Sehingga permasalahan kebijakan sekolah yang tidak populis dapat dicegah. Sertifikasi guru mempakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas seorang guru, sehingga ke depan semua guru harus memiliki sertifikat sebagai lisensi atau ijin mengajar. Dengan demikian, upaya pembentukan guru yang profesional di Indonesia segera menjadi kenyataan dan diharapkan tidak semua orang dapat menjadi guru dan tidak semua orang menjadikan profesi guru sebagai batu loncatan untuk memperoleh pekerjaan.
Pada kenyataanya saat ini guru yang sudah tersertifikasi belum dapat menjalankan amanahnya dengan sebenar-benarnya sebagaimana kriteria yang telah ditetapkan. Ada indikasi bahwa guru yang telah tersertifikasi tidak lagi seproduktif ketika mereka belum mendapatkan tunjangan profesi.
Berdasarkan hal tersebut Madrasah Ibtida'iyah (MI) X memiliki beberapa kelebihan terkait dengan program sertifikasi yang telah dilakukan dan prestasi siswa baik prestasi akademik maupun non akademik. Dengan ditunjang sarana dan prasarana yang cukup memadai yaitu dengan adanya laboraturium multimedia satu-satunya yang ada di kawawasan gugus enam (Candi Tlagawangi) dan perlengkapan komputer serta alat-alat kegiatan non akademik. Peningkatan prestasi siswa diharapkan dapat tercapai dengan baik.
Tercapai dan tidaknya peningktan prestasi siswa tentu tidak akan terlepas dari kinerja lembaga pendidikan dan khususnya para guru profesional (tersertifikasi). Sebagaimana uraian di atas yang secara teoritis menjelaskan bahwa mutu pendidikan akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh guru yang profesional.
Namun apakah benar guru yang tersertifikasi mampu meningkatkan prestasi siswa di MI X. Kemudian upaya apa yang dilakukan guru tersertifikasi di MI X dalam meningkatkan prestasi siswa. Pernyataan-pernyataan inilah yang membuat peneliti ingin mengetahui secara riil bagaimana kinerja dan upaya guru tersertifikasi dalam meningkatkan prestasi siswa di MI X.

B. Rumusan Masalah
Secara umum dalam penelitian ini peneliti ingin mendeskripsikan kinerja yang dilakukan oleh guru pra dan pasca sertifikasi dalam meningkatkan prestasi siswa di MI X.
Secara khusus rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah:
1 Kegiatan akademis apa saja yang diikuti oleh guru tersertifikasi di MI X pra dan pasca sertifikasi?
2 Upaya apa yang dilakukan guru tersertifikasi dalam meningkatkan prestasi siswa di MI X?
3 Faktor apa yang menghambat guru tersertifikasi dalam peningkatan prestasi siswa di MI X?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini untuk:
1. Untuk mendeskripsikan kegiatan yang dilakuakan guru tersertifikasi pra dan pasca sertifikasi di MI X.
2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan guru tersertifikasi dalam meningkatkan prestasi siswa di MI X.
3. Untuk mengetahui faktor penghambat guru tersertifikasi dalam peningkatan prestasi siswa di MI X

D. Manfaat dan Pentingnya Penelitian
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk mengungkapkan dan memaparkan bentuk-bentuk upaya dan kinerja guru dalam pengembangan guru tersertifikasi di MI X. Sedangkan secara praktis, penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi atau masukan, referensi, dan pertimbangan dari pihak terkait.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan timbul kesadaran bagi para kepala sekolah atau kepala madrasah tentang pentingnya usaha pembinaan pengelolaan dan pengembangan guru profesional yang tidak hanya terbatas pada surat keterangan sertifikasi. Juga dapat dijadikan perhatian bagi para guru untuk selalu mengembangkan dirinya agar menjadi guru yang profesional, serta mempunyai etos kerja yang tinggi sehingga tercipta pendidikan yang efektif dan bermutu. Dan pada akhirnya akan melahirkan siswa-siswi yang berprestasi, kreatif, inovatif dan memiliki semangat (motivasi) tinggi dalam pendidikan.

E. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada permasalah-permasalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini ditujukan kepada guru yang sudah tersertifikasi dengan tujuan guru tersebut mempakan guru yang sudah profesional dan mampu meningkatkan prestasi siswa di MI X.
2. Faktor yang diteliti yaitu: kegiatan akademis guru pra-sertifikasi dan pasca-sertifikasi, upaya yang dilakukan guru tersertifikasi dan faktor penghambat guru tersertifikasi dalam pelaksanaan peningkatan prestasi siswa di MI X.
3. Lokasi penelitian dilakukan di Madrasah Ibtida'iyah (MI) X.

F. Penegasan Istilah
Agar tidak terjadi salah penafsiran, maka perlu dikemukakan penegasan istilah dalam judul tesis, sebagai berikut:
1. Guru tersertifikasi adalah guru yang memiliki keahlian dan ketrampilan karena pendidikan dan latihan, dan memperoleh bayaran karena pekerjaan itu. Dalam penelitian ini guru yang tersertifikasi adalah guru yang sudah diasumsikan profesional.
2. Pada penelitian ini yang dimaksud dengan Prestasi adalah hasil belajar kognitif siswa yang ditunjukkan dengan penilaian Raport, ulangan tengah semester (UTS), ulangan akhir semester (UAS), ulangan harian (UH) dan dokumen perolehan prestasi non akademis siswa.

G. Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang Sertifikasi dan Kompetensi Profesional guru dalam peningkatan prestasi dan motivasi siswa telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Sebagaimana Sudarman menjelaskan bahwa dalam penelitianya bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang tanggapan positif dan tanggapan negatif guru Sekolah Dasar di Kecamatan Jiwan terhadap program sertifikasi guru dan memperoleh temuan-temuan yang dapat menjelaskan persepsi guru Sekolah Dasar di Kecamatan Jiwan terhadap sertifikasi guru. Penelitian ini dirancang dan dianalisis secara kualitatif atau postpositivistik yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Tanggapan positif adalah (1) UU No. 14 Tahun 2005 merupakan landasan hukum dalam meningkatkan kualitas guru, (2) kualifikasi akademik Sarjana/D IV bagi guru sudah sesuai dengan tuntutan jaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) Guru wajib memiliki empat kompetensi dasar, (4) sertifikasi model portofolio sangat menguntungkan bagi guru, (5) tunjangan profesi diyakini guru akan dapat terealisasi.
Tanggapan negatif guru adalah (1) UU No. 14 Tahun 2005 hanya merupakan janji yang sulit untuk terealisasi, (2) guru tidak harus berkualifikasi Sarjana/D-IV, (3) sertifikasi model portofolio kurang sosialisasi, (4) tunjangan profesi guru tidak akan dapat terealisasi. Dalam penelitiannya Sudarman memperoleh temuan-temuan yang terkait dengan sertifikasi guru antara lain: (1) Guru kurang yakin dapat mencapai skor minimal yang ditetapkan oleh pemerintah, (2) masih ada guru yang bermoral kurang baik dalam melengkapi dokumen, (3) penentuan peserta sertifikasi portofolio masih belum sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dian Maya Shofiana menjelaskan dari hasil penelitiannya bahwa terdapat pengaruh dan kaitan yang sangat erat antara profesional guru dalam bidang studi Fiqih dengan peningkatan prestasi siswa di MTs Al-Jamii.ah Tegallega Cidolog Sukabumi. Lebih dari 50% prestasi siswa diindikasikan oleh kontribusi profesional guru. Dengan kata lain, dalam penelitian tersebut bahwa prestasi siswa di MTs Al-Jamii.ah ditentukan atau dipengaruhi oleh tingkat profesional guru sebanyak lima puluh persen (50%), dan faktor yang lain seperti sarana, prasarana, dan pengembangan kurikulum berpengaruh terhadap prestasi siswa sebanyak 50%.
Posisi dari penelitian tersebut adalah menganalisa secara statistik pengaruh profesional guru dengan prestasi siswa. Dari hasil penelian di atas sangat terlihat bahwa faktor Guru sangat diperlukan dan menjadi kunci dalam peningkatan prestasi siswa apabila dibandingkan dengan kelengkapan dan fasilitas yang memadai, serta kurikulum yang selama ini sering menjadi kambing hitam gagalnya peningkatan prestasi pendidikan di Indonesia.
Sebagaimana penelitian Sudarman dan Dian di atas, Arif Sulistiyo Hadi juga mengkaji tentang Pengembangan Profesional guru dalam peningkatan prestasi siswa agama Islam di madrasah tsanawiyah negeri Ketanggung kecamatan Sine kabupaten Ngawi dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa guru agama Islam sudah memenuhi persyaratan sebagai guru yang profesional karena rata-rata sudah Sarjana dan guru diberi kewenangan yang besar dari madrasah untuk mengelola dan mengendalikan proses pendidikan dalam kegiatan belajar mengajar, serta ikut aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler di madrasah, seperti: BTQ, Hadrah, Muqadharoh, dan aktif dalam kegiatan PHBI.
Upaya-upaya pengembangan profesional guru yang telah dilakukan antara lain melalui: pembinaan dan supervisi terhadap guru agama Islam, meningkatkan kesejahteraan guru, mengikutkan guru agama Islam pada kegiatan-kegiatan ilmiah, mengaktifkan guru agama Islam dalam MGMP, memotivasi guru agama Islam untuk sekolah (belajar). Ari juga menjelaskan faktor-faktor yang menghambat proses pengembangan profesional guru agama Islam, yang dibagi menjadi dua yaitu , pertama : faktor penghambat dari madrasah, antara lain : faktor minimnya fasilitas, lemahnya finansial, Kedua : faktor penghambat dari guru, antara lain : lemahnya kreatifitas guru, rendahnya moral kerja guru.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa pengembangan profesional guru adalah jalan yang tepat untuk meningkatkan prestasi siswa. Karena dengan guru yang tersertifikasi dan profesional proses pembelajaran dapat di tingkatkan melalui pendelegasian, pengaktifan guru dan pembinaan.
Sejalan dengan pengembangan kinerja profesional guru, Arif Firdausi A. dalam tesisnya menjelaskan bahwa sebagian besar kinerja guru profesional (ter-sertifikat) pendidik ditinjau dari standar kompetensi guru adalah dalam kategori baik, dalam artian guru yang profesional telah menjalankan ke empat kompetensi tersebut sesuai dengan kemampuan dan standar yang berlaku. Namun ada sebagian kecil guru profesional (tersertifikat pendidik) pada pelaksanaan pembelajaran kurang sesuai dengan kompetensi yang akan dicapai siswa. Permasalahan tersebut berkenaan dengan kompetensi guru itu sendiri yang memang masih rendah. Arif Firdaus menjelaskan masih ada guru yang masih kesulitan dalam memberikan penjelasan pada pelajaran tertentu sehingga tidak dapat mencapai target hasil pembelajaran.
Dari ketiga penelitian di atas, menunjukkan bahwa kompetensi profesional sangat berpengaruh terhadap prestasi siswa. Antara penelitian yang satu dengan yang lain saling melengkapi dan saling menyempurnakan dalam mencapai suatu tujuan. Dian maya, Arif sulistiyo dan Arif firdausi menjelaskan bahwa lebih dari 50% keberhasilan prestasi siswa dipengaruhi oleh profesional guru dan guru yang profesional (tersertifikasi) dapat menjalankan kompetensinya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, baik kompetensi profesional, pedagogik, personal, dan sosial.
Sebagai kesimpulan dari penelitian di atas, bahwa sudah banyak inovasi yang dilakukan oleh kalangan tenaga pendidik yang tersertifikasi dan profesional untuk meningkatkan prestasi siswa. Namun demikian, keragaman materi, perkembangan prestasi siswa, kemampuan SDM guru, kultur sekolah dan sebagainya dari hasil penelitian di atas nampaknya masih membutuhkan penyempurnaan, karena belum ada kajian yang lebih spesifik yaitu Upaya guru tersertifikasi dalam meningkatkan prestasi siswa. Upaya tersebut tidak hanya pada kemampuan guru profesional saja melainkan juga melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar untuk meraih prestasinya.
Selain itu, penelitian yang secara spesifik mengambil fokus materi upaya guru tersertifikasi dalam meningkatkan prestasi siswa, sampai saat ini belum dapat peneliti identifikasi (temukan). Berdasarkan argumen ini, maka penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang upaya guru tersertifikasi dalam meningkatan prestasi siswa. Hal ini penting dilakukan mengingat upaya guru yang telah tersertifikasi memiliki karakteristik tersendiri yang jauh berbeda dengan apa yang dikaji peneliti sebelumnya.
TESIS IMPLEMENTASI PROGRAM RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)

TESIS IMPLEMENTASI PROGRAM RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI)

(KODE : PASCSARJ-0102) : TESIS IMPLEMENTASI PROGRAM RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL (SBI) (PRODI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pemerintah telah mempercepat pencanangan Milenium Development Goals, yang dicanangkan pada tahun 2020 dipercepat menjadi tahun 2015. Millenium development goals adalah era pasar bebas atau era globalisasi sebagai era persaingan mutu atau kualitas, siapa yang bermutu dan ber kualitas dialah yang maju dan mampu mempertahankan eksistensinya. Oleh karena itu pembangunan SDM suatu keniscayaan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Indonesia merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang sangat membanggakan namun warganegaranya belum mempunyai kemampuan berfikir (thingking skill) yang memadai, sehingga tetap menjadi negara yang terperangkap dalam lingkaran kemiskinan, keterbelakangan, ketidak adilan, terlebih dalam kualitas pendidikan yang masih jauh dibawah Negara tetangga seperti Malaysia.
Percepatan arus informasi dalam era globalisasi menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, misi tujuan dan strategi agar sesuai dengan kebutuhan dan tidak ketinggalan zaman. Penyesuaian tersebut secara langsung mengubah tatanan sistem makro, maupun mikro demikian halnya dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan nasional senantiasa harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional atau global.
Era globalisasi memaksa kita harus dengan cepat melakukan reevaluasi dan revolusi di bidang pendidikan agar tidak terjadi ketinggalan pendidikan yang sangat jauh dengan negara-negara lain yang pada akhirnya akan berdampak pada lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan untuk mampu bersaing. Perkembangan untuk mampu bersaing dengan negara-negara maju khususnya dunia pendidikan, maka pendidikan merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi tantangan globalisai. Penyelenggaraan pendidikan yang sementara ini berorientasi nasional dituntut mengikuti perubahan zaman dalam dunia pendidikan global.
Sejalan dengan yang diamanatkan UUSPN nomor 20/2003 pasal 50 ayat 3, pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu-satuan pendidikan dan semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Hal ini lebih dijabarkan dalam buku Pedoman Penjamin Mutu Sekolah Madrasah Bertaraf Internasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah (Mendiknas 27 Juni 2007).
Pengertian Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah yang memenuhi seluruh standar nasional pendidikan serta mempunyai keunggulan yang merujuk pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional.
Indikator daya saing di forum internasional dalam bidang pendidikan khususnya yaitu kemampuan dan daya saing lulusan di forum internasional sebagaimana dijelaskan UUSPN pada ayat (1) yaitu ditunjukan dengan:
1. diterima pada satuan pendidikan bertaraf internasional di dalam negeri atau satuan pendidikan di luar negeri yang terakreditasi atau yang diakui oleh negaranya.
2. lulus sertifikasi internasional yang dikeluarkan oleh negara lain yang memiliki keunggulan tertentu dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
3. diterima bekerja pada lembaga internasional atau negara lain, dan atau
4. mampu berperan aktif dan berkomunikasi langsung di forum internasional.
Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di SMA Negeri X yaitu Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) pada awal tahun 2004-2005. Rintisan ini didasari oleh surat Dirjen Dikdasmen Nomor 13 54/C4/LL/2004 tentang penyusunan School Development Investment Plan (SDIP) yang menginstruksikan untuk membuka SBI.
Pelaksanaan Program Sekolah Nasional Bertaraf Internasional di SMA Negeri X pada tahun 2004-2005 sebagai awal uji coba sehingga baru menerima dua rombongan belajar dengan siswa setiap kelas hanya 28 siswa didik, kemudian pada tahun pelajaran 2008-2009 SMA Negeri X telah menerapkan untuk semua siswa didik baru kelas X adalah RSBI. Tahapan proses seleksi siswa didik baru yaitu pendaftaran, pelaksanaan tes tertulis, psikotes dan wawancara.
Menurut Dirjen Dikdasmen (2006:10) penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internacional (SBI) dilatarbelakangi oleh :
1. Era globalisasi menuntut kemampuan daya saing yang kuat dalam teknologi, manajemen dan sumber daya manusia. Keunggulan teknologi akan menurunkan beaya produksi, meningkatkan kandungan nilai tambah, memperluas keragaman produk dan meningkatkan mutu produk.
Keunggulan manajemen akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi. SDM merupakan kunci daya saing karena SDM-lah yang akan menentukan siapa yang mampu menjaga kelangsungan hidup, perkembangan dan kemenangan dalam persaingan.
2. Rintisan penyelenggaraan SBI memiliki dasar hukum yang kuat yaitu pasal 30 ayat 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasoinal yang menyebutkan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Kemudian pada pasal 50 ayat 7 UUAPN 20/2003 manyatakan bahwa ketentuan tentang sekolah bertaraf internasional diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). Mengingat sampai saat ini PP yang dimaksud belum dibuat, sementara itu tuntutan penyelenggaraan SBI sudah merupakan keniscayaan, maka pemikiran-pemikiran tentang perintisan penyelenggaraan SBI saat ini sangat terbuka masukan setelah PP SBI nanti dibuat. Akan tetapi jika SBI dengan standar sementara dibuat cukup tinggi maka perubahannya diperkirakan hanya sedikit setelah PP SBI dirumuskan dan diberlakukan. Meskipun secara formal
belum ada PP-nya, saat ini sejumlah sekolah telah melakukan rintisan ke arah SBI. Prakarsa ini perlu diarahkan, dibimbing, dan didorong agar berkembang menjadi sekolah yang benar-benar bertaraf internasional meskipun tetap berjati diri Indonesia.
3. Penyelenggaraan SBI didasari oleh filosofi eksistensialisme dan esensialisme (fungsionalisme). Filosofi ekstensialisme berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro-perubahan (kreatif, minat, dan eksperimentif), menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia harus memperhatikan perbedaan kecerdasan, kecakapan, bakat, dan minat peserta didik. Jadi, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan potensi intelektual, emosional, dan spiritualnya. Para peserta didik merupakan aset bangsa yang sangat berharga dan merupakan salah satu faktor daya saing yang kuat, secara potensial mampu merespon tantangan globalisasi. Filosofi esensialisme menekankan bahwa pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan, baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub-sub sektornya, baik lokal, nasional, maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi, pendidikan harus menyiapkan sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaing secara internasional.
Dalam mengaktualisasikan kedua filosofi tersebut, empat pilar pendidikan yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelarasan praktek-praktek penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai sistem penilaiannya. Pasalnya, pembelajaran tidaklah sekedar memperkenalkan nilai-nilai (Learning to know). Tetapi juga harus bisa membangkitkan penghayatan dan mendorong menerapkan nilai-nilai tersebut (Learning to do) yang diharapkan secara kolaboratif (Learning to live together) dan menjadikan peserta didik percaya diri dan menghargai dirinya (Learning to be).
Undang-Undang Pendidikan No. 20 Tahun 2003 telah menggariskan secara tegas memanfaatkan perkembangan globalisasi agar mampu membawa kemajuan di bidang pendidikan yang berkualitas internasional. Dengan tingginya tingkat persaingan yang ada, maka sekarang ini tidak lagi hanya mengandalkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu negara, tetapi juga harus meningkatkan keunggulan kompetitif yang tercipta dari keunggulan SDM untuk lebih mampu bersaing memperebutkan berbagai peluang dan kesempatan. Pada dasarnya peningkatan kualitas SDM sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ada di suatu negara, karena antara kualitas SDM dan kualitas pendidikan memiliki korelasi positif. Undang-Undang pendidikan juga mengamanatkan secara langsung tentang keberadaan
sekolah-sekolah bertaraf internasional di setiap jenjang pendidikan dalam suatu daerah otonom, yang berarti setiap daerah otonom berkewajiban menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional minimal satu di setiap jenjang pendidikan agar dapat menyumbangkan SDM yang berkualitas internasional.
Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari anggota organisasi perdagangan bebas dunia atau WTC (World Trade Organization) juga telah menandatangani kesepakatan tentang liberalisasi sektor jasa pendidikan, dimana setiap negara anggota WTO berkewajiban melakukan request maupun offer. Pengertian request adalah meminta negara anggota WTO membuka pasarnya di bidang jasa pendidikan agar dapat dimasuki oleh lembaga pendidikan formal maupun non formal dari negara lain. Sedangkan offer adalah setiap negara anggota WTO dapat mengajukan penawaran untuk memasuki jasa perdagangan sektor pendidikan di negara lain. Kondisi ini akan menumbuhkan persaingan yang sangat ketat dalam dunia pendidikan, sehingga hanya lembaga pendidikan yang berkualitas sajalah yang akan mampu bertahan dan bersaing. Oleh karenanya perlu ditumbuhkembangkan semangat dan kesadaran setiap pengelola pendidikan baik formal maupun non formal untuk meningkatkan dan mengembangkan dirinya agar dapat sejajar dengan lembaga pendidikan asing yang akan memasuki seluruh wilayah Indonesia.
Mensikapi perkembangan dunia pendidikan yang sedemikian itulah maka Provinsi Jawa Tengah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah membuat suatu inovasi di bidang pendidikan untuk menjawab tantangan internasionalisasi pendidikan dengan menyelenggarakan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional.
Sekolah Bertaraf Internasional selain berbahasa pengantar bahasa Inggris buku yang dipergunakan selain mengacu pada kurikulum nasional juga dikembangkan menuju kurikulum internasional yang dipakai di banyak negara yang telah terakreditasi internasional. Keberadaan Sekolah Bertaraf Internasional diharapkan bisa menjadi jawaban bagi permasalahan untuk meningkatkan daya saing di dunia internasional, karena selama ini kendala utama bagi SDM kita adalah lemahnya penguasaan bahasa Inggris.
Sebagai suatu hal yang baru, keberadaan Sekolah Bertaraf Internasional tentunya menghadapi banyak kendala, baik yang bersifat internal seperti kemampuan sekolah, guru, siswa maupun kurikulumnya juga masalah lain yang berhubungan dengan stakeholder. Berangkat dari pemikiran tersebut maka sangatlah menarik untuk diteliti dan dikaji lebih mendalam mulai dari tahap persiapan, penyiapan sarana prasarana, kurikulum, SDM guru, staf administrasi, manajemen pengelolaan, kerjasama dengan komite dan orangtua siswa, input siswa, sampai dengan implementasi atau penyelenggaraan program rintisan SBI di SMA Negeri X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka fokus permasalahan yang akan diteliti oleh peneliti dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana Implementasi Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di SMA Negeri X?
2. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam pelaksanaan Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di SMA Negeri X?
3. Bagaimana hasil yang dicapai dalam pelaksanaan RSBI di SMA Negeri X, dalam hal kualitas lulusan, penerimaan di PTN, PTLN dan di dunia kerja.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan, antara lain:
1. Untuk mengetahui kesiapan dan upaya-upaya apakah yang dilakukan sekolah dalam mengimplementasikan Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di SMA Negeri X.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang di hadapi sekolah dalam mengimplementasikan Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di SMA Negeri X.
3. Mengetahui kualitas lulusan, penerimaan di Perguruan Tinggi Negeri, penerimaan Dunia Kerja melalui Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di SMA Negeri X.

D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan diperoleh manfaat antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap upaya memahami implementasi Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di SMA atau jenjang satuan pendidikan lainnya.
b. Dapat dijadikan bahan penelitian dan kajian lebih lanjut tentang implementasi Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di SMA atau jenjang pendidikan lainnya.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang positif yaitu :
a. Bagi sekolah yang mulai tahun pelajaran 2007/2008 melaksanakan Rintisan SBI, sebagai bahan kajian untuk dapat melaksanakan RSBI tersebut secara lebih baik lagi.
b. Bagi Kepala Sekolah sebagai bahan masukan untuk meningkatkan kemampuan manajemen dan masukan bagi sekolah-sekolah untuk mengambil langkah dalam meningkatkan kualitas SDM guru dan staf, melalui berbagai kegiatan pelatihan-pelatihan dll.
c. Bagi para guru, akan memberikan langkah awal dan arah yang jelas dalam kesiapannya menghadapi pelaksanaan Program Rintisan SBI .
d. Bagi Depdiknas dan lembaga-lembaga terkait lainnya, sebagai bahan masukan sehingga dalam mengambil kebijakan akan dapat mendukung dan memfasilitasi demi suksesnya pelaksanaan Program Rintisan SBI pada tahun-tahun mendatang.
e. Bagi para peneliti berikutnya, penelitian ini sebagai referensi untuk memahami SBI lebih mendalam lagi.
TESIS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN SPIRITUAL QUOTIENT DI MTS X

TESIS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN SPIRITUAL QUOTIENT DI MTS X

(KODE : PASCSARJ-0101) : TESIS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN SPIRITUAL QUOTIENT DI MTS X (PRODI : MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Lembaga pendidikan yang merupakan institusi yang melakukan proses pendidikan harus memenuhi kebutuhan anak didik, masyarakat, dan bangsa. Anak didik sebagai obyek sekaligus subyek dalam proses pendidikan maka hasil yang diinginkan menurut undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Si stem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Konsep manusia dalam dunia pendidikan dilihat sebagai makhluk yang lengkap terdiri dari unsur jasmani-ruhani, jiwa-akal, nafs-qolb. Bagi seorang guru mendidik merupakan perkerjaan yang kompleks dan dimensional sifatnya, sehingga seorang guru perlu memiliki prinsip-prinsip, perencanaan, dan menguasai berbagai teknik dalam melaksanakan proses pendidikan. Ramayulis mengatakan bahwa prinsip pendidikan merupakan kebenaran yang sifatnya universal yang dijadikan dasar dalam perumusan perangkat pendidikan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pendidikan membutuhkan prinsip-rpinsip yang bisa
dijadikan landasan dalam menjalankannya. Prinsip-prinsip pendidikan yang harus di miliki guru menurut Abdul Majid yaitu (1) Rumusan kompetensi yang harus dicapai harus jelas dan kongkrit.(2) Persiapan dibuat secara sederhana dan fleksibel. (3) Kegiatan yang disusun dan di kembangkan sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. (4) Persiapan dikembangkan secara utuh dan menyelumh serta jelas pencapaiannya. (5) Ada koordinasi diantara komponen-komponen pelaksana program sekolah.
Pendidikan adalah salah satu unsur dari aspek budaya yang diproduk oleh masyarakat yang mempunyai peran sangat strategis dalam pembinaan suatu keluarga, masyarakat, dan bangsa. Peran yang sangat strategis ini sebenarnya pada intinya mempakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia secara sadar, sistematis, terarah, dan terpadu untuk memanusiakan peserta didik dalam membentuk mereka sebagai kholifah di muka bumi ini.
Bagi anak didik, pendidikan yang dilaksanakan berfungsi untuk menjaga keutuhan unsur-unsur individual dan mengoptimalkannya selaras dengan apa yang telah digariskan Allah. Kemudian dalam pelaksanaannya seorang guru harus mempunyai strategi. Menumt Atwi Suparman bahwa strategi mempakan cara yang sistematis dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada anak didik untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan.
Strategi pelaksanaan pendidikan menumt Muhaimin yang mengutip pendapat Noeng Muhajir membagi strategi pendidikan nilai-nilai (sikap, jiwa, dan cita rasa beragama islam) kedalam lima macam. (1) Strategi indoktrinasi atau memberitahukan kepada anak nilai mana yang baik dan nilai mana yang buruk. (2) Strategi bebas. Maksudnya adalah membiarkan anak untuk memilih sendiri nilai mana yang akan dianut atau diyakini. (3) Strategi keteladanan. Pendidik dan tenaga kependidikan menampilkan prilaku yang sesuai dengan nilai etika-religius yang dianutnya. (4) Strategi klarifikasi. Yaitu pendidik membantu anak untuk memilih nilai etik-religius yang diyakininya, bukan hanya sekedar memberitahukan. (5) Strategi transinternalisasi. Yaitu anak diajak untuk mengenal nilai etik-religius dan dihayatinya sehingga menjadi miliknya melalui proses transinternali sasi.
Disamping itu dalam taksonomi Blom bahwa hasil pendidikan yang berupa perubahan tingkah laku di klasifikasikan dalam 3 domain yaitu :
1. Kognitif yang meliputi kemampuan mengetahui, memahami, mengetrapkan, menganalisa, dan mensintesis.
2. Afektif, yang meliputi menerima, menanggapi, menghargai, membentuk, dan berpribadi.
3. Psikomotorik yaitu tentang kegiatan otot dan fisik.
Spiritual Quotient (SQ) merupakan ilmu psikologi terkini yang di populerkan Danah Zohar dan Ian Marshall, konsep spiritual quotient menurut mereka merupakan kecakapan internal, bawaan dari otak dan psikis manusia, ini menggambarkan sumber yang paling dalam dari hati semesta itu sendiri, maka dengan demikian spiritual quotient merupakan kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Danah Zohar mengatakan SQ merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan masalah makna dan nilai. SQ adalah kecerdasan untuk menempatkan prilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Kemudian secara psikologi bahwa dalam diri manusia terdapat 3 macam kecerdasan: (1) IQ, yaitu kecerdasan yang memungkinkan bagi manusia untuk berfikir rasional, logis dan taat asas. (2) EQ, kecerdasan yang bisa kita berfikir asosiatif yang terbentuk oleh kebiasaan, dan kemampuan mengenali pola-pola emosi. (3) SQ, yaitu kecerdasan yang memungkinkan kita berfikir kreatif, berwawasan jauh, membuat dan bahkan mengubah aturan. Tiga kecerdasan ini merupakan milik manusia yang bisa dikembangkan secara maksimal baik langsung maupun tidak langsung.
Kegiatan pendidikan yang dilaksanakan oleh MTs. X atau para guru harus bisa menyentuh ketiga kecerdasan diatas, baik di kelas ataupun di luar kelas, seperti kegiatan belajar mengajar di kelas, latihan ataupun praktek yang bisa menjadi pengalaman bagi anak didik. Kecerdasan manusia ini juga bisa dipengaruhi oleh pengalaman sehari-hari yang menyangkut kesehatan fisik dan mental, porsi latihan yang diterima oleh anak didik dan juga ragam hubungan yang dijalin, dan berbagai faktor lainnya dapat mempengaruhi jiwa seorang anak didik.
Iman Supriyono memberikan langkah-langkah dalam proses penbelajaran anak dengan istilah lima dalam satu.
a. Memahami. Bahwa belajar itu dimulai dengan cara memahami sebab dengan memahami ini maka kita akan mengerti apa yang sedang dia pelajari.
b. Mengerjakan. Setelah memahami maka dia harus berusaha untuk mengerjakan terhadap apa yang dia pahami itu.
c. Mengulang-ulang. Suatu ilmu yang dimiliki itu tidak cukup hanya dengan sekedar mempraktekkan akan tetapi perlu pengulangan secara terus menerus.
d. Membiasakan. Setelah melakukan secara berulang-ulang maka akan timbul kebiasaan. Membiasakan terhadap sesuatu ilmu itu merupakan suatu keharusan sehingga melekat pada diri mereka.
e. Menuai hasil. Setelah kita membiasakan maka menuai hasil dari kebiasaan itu.
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan rohani yang menuntun diri kita dan memungkinkan kita menjadi utuh. Kecerdasan spiritual berada pada bagian yang paling dalam dari diri kita, terkait dengan kebijaksanaan yang berada diatas ego. Kecerdasan spiritual bukan saja mengetahui nilai-nilai yang ada tetapi juga secara kreatif menemukan nilai-nilai baru. Konsep spiritual quotient walaupun bukan konsep agama tetapi bagaimanapun juga konsep ini tetap ada kaitannya dengan konsep agama.
Berkaitan dengan kecerdasan spiritual ini, Islam merupakan agama yang pandangan dunia tauhidnya sangat prihatin justru kepada kecerdasan ini. Sebab, menurut pandangan dunia tauhid Islam, manifestasi dari keseluruhan kecerdasan itu akan tidak bermakna justru ketika tidak berbasiskan spiritualitas. Dengan demikian kecerdasan spiritual menjadi sentra kepedulian pendidikan islam. Sehingga, adalah sangat wajar apabila persoalan kecerdasan dan keterampilan spiritual mendapatkan perhatian yang sangat khusus dari para ahli ruhani Islam, terutama kaum 'urafa atau sufi. Pada tingkat metodologi praktis, perhatian terhadap persoalan ini telah melahirkan banyak aliran Tariqah di dunia tasawuf. Sedangkan pada tingkat pemikiran sufistik dan teosofik, telah dikembangkan sampai ke tingkat teori perjalanan ruhani.
Sebagai pendidik (para guru), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, dan menantang atau problematis sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang mampu bersaingan di pentas dunia global.

B. Rumusan Masalah
Dengan melihat latar belakang, identifikasi masalah, dan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dapat peneliti kemukakan sebagai berikut :
1. Bagaimana proses pendidikan spiritual quotient di MTs. X?
2. Bagimana hasil pendidikan spiritual quotient di MTs. X?

C. Tujuan penelitian
Dengan melihat permasalahan yang ingin dijawab di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui bagaimana proses pendidikan spiritual quotient di MTs. X.
2. Ingin mengetahui bagaimana hasil pendidikan spiritual quotient di MTs. X

D. Manfaat Hasil Penelitian
Setelah penelitian dilakukan maka peneliti berharap bisa memberikan menfaat kepada :
1. Bagi Peneliti
Dari hasil penelitian diharapkan menambah wawasan pengetahuan dan khasanah keilmuan kepada peneliti khususnya dalam bidang kecerdasan spiritual.
2. Bagi Lembaga Pendidikan
Kepada Lembaga MTs. X hasil penelitian diharapkan memberikan sumbangan informasi yang berguna sebagai umpan balik bagi lembaga pendidikan, guru, kepala madrasah berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan spiritual quotient (SQ) sehingga tercapai hasil yang maksimal dan menjadikan anak didik yang rahmatan lil alamin.
3. Bagi Perguruan Tinggi
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat kepada IAIN X bagi Program Pascasarjana Konsentrasi Pendidikan Islam adalah untuk mengembangkan program studi dan untuk memperluas wacana ilmu psikologi secara khusus.

E. Definisi Operasional
Agar tidak menimbulkan kerancauan dalam memahami tesis ini, maka perlu peneliti rumuskan definisi operasional sehingga penelitian ini lebih terarah pada tujuan dan fokus masalah yang akan diteliti.
1. Implementasi Pendidikan
Implemintasi adalah pelaksanaan atau penerapan sesutau yang telah dirumuskan dan direncanakan. Pelaksanaan suatu rencana dilaksanakan sesuai dengan landasan, asas dan prinsip yang ada sesuai dengan rumusan program yang telah ditetapkan. Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia secara sistematis, terarah dan terpadu untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Rumusan tujuan lembaga pendidikan atau program pendidikan disesuai dengan visi dan misi yang ingin dicapai oleh pendidikan. Jadi dengan demikian implemintasi pendidikan adalah proses pelaksanaan pendidikan haruslah bertolah dari landasan, mengindahkan sejumlah asas-asas, dan prinsip tertentu. Hal ini mejadi penting karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap pengembangan manusia dan masyarakat suatu bangsa tertentu.
2. Spiritual Quotient (SQ)
Spiritual Qoutient; Kata spiritual adalah setiap perbuatan yang berhubungan dengan hal-hal bathin, rohani, upacara-uparaca keagamaan dan sejenisnya. Spiritual adalah berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (rohani, batin) nilai-nilai kemanusiaan yang non materi, seperti; kebenaran, kebaikan, keindahan, kesucian, dan cita. Spiritual quotient adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh. Spiritual quotient adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, oleh karena itu SQ adalah kecerdasan manusia yang paling tinggi. Hal ini secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kemampuan manusia mentransendensikan diri: "transendensi merupakan kualitas tertinggi dari kehidupan spiritual.

F. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai Spiritual Quotient (SQ) pada dasarnya sudah di lakukan oleh para ilmuwan, hal ini bisa kita lihat dengan terbitnya buku Spiritual Quotient (SQ) oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, ESQ oleh Ery Ginanjar, dan juga FSQ yang tulis oleh Iman Supriyono. Namun demikian peneliti melihat bahwa penelitian yang secara khusus membahas masalah implemintasi pendidikan spiritual quotient masih belum ada, terutama penelitian yang di lakukan oleh mahasiswa pascasarjana IAIN X.
Tanpa menafikan teori-teori yang telah ada terlebih dahulu, maka penulis dalam melakukan penelitian disini tetap menggunakan teori-teori pendidikan secara umum dan spiritual quotient sebagai landasannya, sehingga penelitian yang dilakukan oleh penulis tetap memenuhi syarat-syarat dan standart sebagai penelitian ilmiah.

G. Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam tesis ini diklasifikasikan menjadi lima bab yang terbagi menjadi sub-sub bab yang saling berkaitan, sehingga antara yang satu dengan yang lainya tidak dapat saling melepaskan. Hal ini dimaksudkan agar permasalahan-permasalahan yang dirumuskan, dapat terjawab secara tuntas. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini, peneliti mengungkap tentang berbagai masalah yang erat kaitanya dengan penyusunan tesis yaitu:
1. Latar belakang masalah merupakan paparan tentang pentingnya pengangkatan judul tesis ini, ditinjau dari kondisi ideal dan kondisi obyektif tentang implemintasi pendidikan spiritual quotient.
2. Dari latar belakang ini, peneliti membuat identifikasi masalah yang muncul sebagai langkah untuk menentukan masalah yang akan menjadi fokus penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti.
3. Disamping itu agar penelitian ini tidak menjadi bias maka kemudian peneliti membuat batasan masalah yang akan diteliti
4. Kemudian peniliti merumuskan masalah yang akan diteliti sehingga penilitian ini dapat terfokus pada masalah yang diteliti .
5. Kemudian peneliti membuat tujuan penelitian, sehingga penelitian lebih terfokus pada tujuan yang telah di tetap untuk di teliti secara mendalam.
6. Manfaat hasil penelitian, merupakan hasil guna yang bisa memberikan manfaat kepada para pembaca, lembaga, dan peneliti pada khususnya.
7. Agar penelitian ini terarah dan sesuai dengan judul maka peneliti membuat defmisi operasional untuk menghindari berbagai macam penafsiran terhadap penelitian ini.
8. Studi pendahuluan merupakan langkah awal dari peneliti untuk mencari dan menelusuri terhadap penelitian terdahulu tentang judul dan masalah yang akan peneliti lakukan, baik dalam bentuk buku maupun tesis.
9. Sistematika pembahasan merupakan gambaran umum dalam penulisan sebauh karya ilmiah bagi seorang peneliti. Dari sistematika inilah para pembaca sebuah karya ilmiah dapat mengetahui apa yang menjadi latar belakang masalah yang akan diteliti, tujuan, dan metode yang digunaka.
BAB II : LANDASAN TEORI
Landasan teori adalah teori-teori yang digunakan oleh peneliti dalam meneliti sebuah masalah. Landasan teori ini oleh peneliti dibagi menjadi dua yaitu :
1. Konsep dasar tentang implementasi sebuah program pendidikan yang didesain oleh sebuah lembaga pendidikan, hal ini menyangkut tujuan, perencanaan, metode, pelaksanaan, dan hasil yang ingin dicapai dari program tersebut.
2. Spiritual quotient (SQ). Sebuah teori tentang spikologi modern dimana jiwa seorang anak dapat dibangun dan dikembangkan secara maksimal untuk mencapai tujuan hidup yang hakiki.
BAB III : METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan dasar dan langkah-langkah yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penilitian yang terkait dengan :
1. Jenis Penelitian.
Jenis penelitian dalam sebuah karya ilmiah merupakan pedoman awal untuk menentukan langkah selanjutnya terutama dalam jenis dan pengumpulan data. Jenis penelitian merupakan konsep dalam menentukan penelitian apakah kualitatif atau kuantitatif, sehingga dalam pengumpulan data sesuai dengan konsep jenis pelitian yang diinginkan.
2. Jenis Data.
Data merupakan bahan yang disajikan dalam sebuah penelitian, dan dengan data ini maka peneliti akan mengambil kesimpulan dari hasil penelitiannya sebagai sebuah karya ilmiah.
3. Sumber data
Sumber data dalam penelitian harus sesuai dengan mmusan dan tujuan penelitian. Artinya bahwa mmusan dan tujuan penelitian menjadi acuan dalam menetapkan sumber data yang harus ditetapkan sehingga data yang didapatkan menjadi valid.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penelitian peneliti perlu memilih teknik tertentu sehingga data yang dibutuhkan benar-benar didapatkan sesuai dengan kebutuhan.
5. Analisa Data
Analisa data masih sangat dibutuhkan dalam penelitian ilmiah karena data yang didapatkan dilapangan masih harus di pilah dan dipilih sesuai dengan masalah yang diteliti.
BAB IV : HASIL PENELITIAN
Pada bab empat ini peneliti memaparkan hasil pengumpulan data dilapangan sesuai dengan masalah yang telah dimmuskan untuk diteliti, baik melalui metode observasi, wawancara, ataupun dokumentasi. Dalam penyajian data termuat; 1) Gambaran umum obyek penelitian. 2) Penyajian data yang dihasil dilapangan. 3) Analisa data. Data yang dihasilkan dilapangan masih perlu dianalisa sehingga data menjadi sesuai dengan masalahnya. 4). Diskusi dan interpretasi data dengan teori-teori yang telah penulis tetapkan masih sangat diperlukan sehingga kesimpulan dapat diambil.
BAB V : PENUTUP
Bab lima ini merupakan kesimpulan dari hasil penelitian. Kemudian peneliti memberikan saran seperlunya sesuai dengan hasil penelitian kepada pihak-pihak terkait, baik itu kepada MTs. X sebagai tempat penelitian.
TESIS HUBUNGAN PERSEPSI GURU TERHADAP SUPERVISI KLINIS DAN BANTUAN SUPERVISOR DENGAN KINERJA GURU SMAN X

TESIS HUBUNGAN PERSEPSI GURU TERHADAP SUPERVISI KLINIS DAN BANTUAN SUPERVISOR DENGAN KINERJA GURU SMAN X

(KODE : PASCSARJ-0100) : TESIS HUBUNGAN PERSEPSI GURU TERHADAP SUPERVISI KLINIS DAN BANTUAN SUPERVISOR DENGAN KINERJA GURU SMAN X (PRODI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pembentukan kepribadian manusia Indonesia seutuhnya, diperlukan proses pendidikan yang merupakan proses untuk meningkatkan harkat serta martabat bangsa. Karena melalui usaha pendidikan ini diharapkan dapat mengarahkan perkembangan anak di dalam pembentukan suatu pribadi yang mandiri.
Tujuan pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, Tujuan pendidikan ini bisa menyangkut kepentingan peserta didik sendiri, kepentingan masyarakat dan tuntutan lapangan pekerjaan atau ketiga-tiganya peserta didik, masyarakat dan pekerjaan sekaligus. Proses pendidikan terarah pada peningkatan penguasaan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka pembentukan dan pengembangan diri peserta didik. Pengembangan diri ini dibutuhkan, untuk menghadapi tugas-tugas dalam kehidupannya sebagai pribadi, sebagai siswa, karyawan, profesional maupun sebagai warga masyarakat (Sukmadinata, 2004: 4).
Guru sebagai pendidik profesional mempunyai citra yang baik di masyarakat apabila dapat menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan masyarakat sekelilingnya. Masyarakat terutama akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang patut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkatkan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya dan bagaimana cara guru berpakaian dan berbicara serta cara bergaul baik dengan siswa, teman-temannya serta anggota masyarakat, sering menjadi perhatian masyarakat luas.
Dalam perilaku guru dituntut lebih profesional, sikap profesional guru dapat terlihat dari bagaimana guru dapat memahami, menghayati, serta mengamalkan sikap kemampuan dan sikap profesinya. Guru yang profesional cenderung menghargai peraturan-peraturan yang ada, organisasi profesi, teman sejawat, anak didik, tempat kerja, pimpinan dan pekerjaannya. Sikap profesional tersebut dapat terbentuk melalui peningkatan ketrampilan dan sikap inovatif guru dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Dengan peningkatan ketrampilan, seorang guru dapat melaksanakan tugas dengan baik dan lebih profesional, demikian halnya dengan sikap inovatif guru dapat menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang ada, sehingga guru lebih dapat diterima di tengah-tengah masyarakat dan peserta didik.
Dalam mewujudkan tujuan pendidikan, SMA Negeri di Kabupaten X mencanangkan visi terwujudnya sekolah yang unggul dibidang IMTAQ dan IPTEK, dan misi: (a) Melaksanakan pembelajaran secara aktif dan koordinatif sehingga setiap siswa dapat berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya, (b) Menumbuhkembangkan semangat keunggulan secara intensif dan koordinatif kepada seluruh warga sekolah, (c) Mendorong dan membantu setiap siswa untuk mengenal potensi dirinya, sehingga dapat berkembang secara optimal, (d) Meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan tutuntan masyarakat dan perkembangan IPTEK, (e) Meningkatkan prestasi dalam bidang ekstrakurikuler sesuai dengan potensi yang dimiliki, (f) Menyelenggarakan program pendidikan yang senantiasa berakar pada sistem nilai, adat istiadat, agama dan budaya masyarakat dengan tetap mengikuti perkembangan dunia luar, (g) Meningkatkan penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama yang dianut serta budaya bangsa sehingga menjadi sumber kearifan dalam bertindak.
Kepemimpinan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam manajemen berbasis sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah SMA Negeri Kabupaten X berkaitan dengan masalah kepala sekolah dalam meningkatkan kesempatan untuk mengadakan pertemuan secara efektif dengan para guru dalam situasi yang kondusif. Tindakan kepala sekolah dilakukan dalam rangka untuk mendorong kinerja guru dengan menunjukkan rasa bersahabat, dekat, dan penuh pertimbangan terhadap para guru baik sebagai individu maupun sebagai kelompok.
Guru merupakan panutan bagi peserta didik, untuk itu disiplin kerja guru merupakan hal yang sangat ditekankan di SMA Negeri Kabupaten X Disiplin merupakan sikap perilaku guru yang menunjukkan ketaatan pada aturan yang berlaku baik waktu maupun peraturan sehingga dalam pelaksanaan tugas dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Jadi disiplin merupakan sikap seseorang dalam melaksanakan tugas yaitu mentaati semua yang harus ditaati dan juga mentaati semua larangan yang tidak boleh dilanggar, hal ini sangat diperlukan demi tercapainya tujuan itu sendiri.
Meskipun sulit dibuktikan kenyataan yang sering dijumpai masih ada guru yang dalam melaksanakan tugasnya kurang atau bahkan tidak memperlihatkan kinerja yang baik, yaitu tidak membuat perencanaan pembelajaran, pelaksanaannya tidak mencapai target yang direncanakan bahkan masih ada guru yang kurang disiplin dalam kehadirannya dikelas.
Kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personel. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada personel yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personel di dalam organisasi. Penilaian kinerja secara reguler yang dikaitkan dengan proses pencapaian tujuan kinerja setiap personel. Tindakan ini akan membuat personel untuk senantiasa berorientasi terhadap tujuan yang hendak dicapai (Ilyas, 1999: 55).
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam pelaksanaan tugasnya guru dituntut untuk memiliki kinerja yang tinggi. Kinerja guru merupakan serangkaian hasil dari proses dalam melaksanakan pekerjaannya yang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Hal tersebut sesuai dengan Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Guru No. 14 Tahun 2005 pasal 4 yang menyebutkan bahwa "guru berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional".
Terkait dengan otonomi pendidikan, dalam upaya peningkatan kinerja guru diperlukan adanya menajemen berbasis sekolah (MBS). MBS dipandang sebagai alternatif dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka.
Dengan telah ditetapkannya visi, misi, tujuan dan sasaran pembangunan SMA Negeri Kabupaten X tahun pelajaran XXXX/XXXX maka sekolah telah mengambil kebijakan untuk memprioritaskan peningkatan kinerja guru. Dalam upaya peningkatan kinerja guru SMA Negeri Kabupaten X diperlukan adanya kepemimpinan kepala sekolah yang bijaksana, yang memiliki kemampuan sebagai subervisor, memberikan bantuan supervisor, dan memiliki kemampuan melaksanakan supervisi dengan baik. Berbagai upaya dalam meningkatkan kinerja guru telah dilakukan oleh kepala sekolah, namun masih terdapat berbagai kendala antara lain: (1) masih adanya guru yang kurang disiplin dalam melaksanakan tugas; (2) kepemimpinan kepala sekolah masih dirasa kurang komunikatif bagi sebagian guru; (3) masih adanya guru yang kurang bersemangat dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Terkait dengan permasalahan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini akan dikaji hubungan persepsi guru terhadap supervisi klinis dan bantuan supervisor dengan kinerja guru Sekolah Menengah Atas Negeri di Kabupaten X.

B. Identifikasi Masalah
Kinerja guru sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain profesionalitas guru, kesejahtraan guru, kondisi lingkungan kerja, pelaksanaan supervisi, dan sebagainya. Supervisi sebagai salah satu uppaya pengembangan kemampuan guru secara maksimal agar menjadi orang yang lebih profesional, Supervisi apabila dilaksanakan secara efektif akan sangat mempengaruhi kinerjanya, yaitu peningkatan kualitas proses pembelajaran di kelas. Agar sasaran ini dapat dicapai maka supervisi harus dilaksanakan secara efektif oleh kepala sekolah. Sehubungan dengan hal tersebut masalah-masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan supervisi di sekolah dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
1. Efektifitas pelaksanaan supervisi masih belum jelas, karena banya yang melakukan hanya sekedar memenuhi syarat administrasi atau sekedar melaksanakan tugas tidak diprogramkan secara sistematis, sehingga setelah kegiatan supervisi dilakukan sering tidak ada implementasinya atau tidak ada tindak lanjutnya.
2. Profesionalitas supervisor (Kepala sekolah) bervariasi, ada supervisor yang benar-benar profesional, tetapi tidak sedikit supervisor (Kepala sekolah) yang sebenarnya kurang profesional terhadap bidang tugasnya.
3. Persepsi guru terhadap kegiatan supervisi kurang mendukung, masih banyak guru-guru yang acuh tak acuh terhadap pelaksanaan supervisi karena merasa sudah tidak mempunyai kepentingan lagi dengan urusan kenaikan pangkat, maupun ketidak puasan terhadap pelaksanaan supervisi yang dilaksanakan selama ini.
4. Tidak semua guru mendapatkan tunjangan sertifikasi sehingga dalam hal ini memunculkan sikap kecemburuan sosial yang berhubungan dengan finansial. Akibatnya banyak guru yang melakukan kerja sambilan diluar bidang pekerjaannya sebagai pendidik karena tuntutan kebutuhan yang tinggi.

C. Pembatasan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini terbatas pada permasalahan yang berkaitan dengan persepsi guru terhadap supervisi klinis dan bantuan supervisor hubungannya dengan kinerja guru dengan wilayah penelitian terbatas di Sekolah Menengah Atas Negeri di Kabupaten X.

D. Perumusan Masalah
1. Apakah terdapat hubungan persepsi guru terhadap supervisi klinis dengan kinerja guru pada SMA Negeri di Kabupaten X?
2. Apakah terdapat hubungan persepsi guru terhadap bantuan supervisor dengan kinerja guru pada SMA Negeri di Kabupaten X?
3. Apakah terdapat hubungan antara persepsi guru terhadap supervisi klinis dan persepsi guru terhadap bantuan supervisor secara bersama-sama dengan kinerja guru pada SMA di Kabupaten X?

E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan persepsi guru terhadap supervisi klinis dengan kinerja guru pada SMA Negeri di Kabupaten X
2. Untuk mengetahui hubungan persepsi guru terhadap bantuan supervisor dengan kinerja guru pada SMA Negeri di Kabupaten X
3. Untuk mengetahui hubungan persepsi guru terhadap supervisi klinis dan persepsi guru terhadap bantuan supervisor secara bersama-sama dengan kinerja guru pada SMA Negeri di Kabupaten X.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran berdasarkan teori-teori manajemen teknologi pendidikan tentang persepsi guru terhadap supervisi klinis, dan bantuan supervisor;
b. Memberi masukan yang penting dalam perkembangan dan peningkatan mutu ilmu pendidikan, khususnya sebagai pertimbangan dalam pembagian tugas guru sesuai dengan keahlian atau bidangnya.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi Departemen Pendidikan Kabupaten X dalam rangka meningkatkan kinerja guru.
b. Sebagai masukan bagi sekolah dalam upaya meningkatkan kualitas kinerja guru melalui adanya supervisi
TESIS KONTROVERSI PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR (STUDI KOMPILASI ILMU FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM)

TESIS KONTROVERSI PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR (STUDI KOMPILASI ILMU FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM)

(KODE : PASCSARJ-0099) : TESIS KONTROVERSI PERNIKAHAN DI BAWAH UMUR (STUDI KOMPILASI ILMU FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM) (PRODI : ILMU KEISLAMAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu perbuatan hukum yang sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat. Lembaga perkawinan merupakan faktor yang penting sebagai salah satu sendi kehidupan dan susunan masyarakat Indonesia, dan perkawinan itu sendiri merupakan masalah hukum, agama dan masyarakat.
Di dalam lingkungan peradaban barat maupun yang bukan barat, perkawinan merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dan berdasarkan aturan-aturan baik secara yuridis formal (undang-undang hukum positif) atau secara religius (aturan agama yang diyakini) yang dilakukan selama hidupnya sesuai dengan lembaga perkawinan. Oleh karena itu pelaksanaan perkawinan harus berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan baik oleh pemerintah maupun oleh agama (ajaran Islam). Pelaksanaan perkawinan yang berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah telah disepakati untuk dipatuhi, dan bagi yang melanggarnya akan mendapat sanksi. Aturan perundangan tentang perkawinan dikemas dalam peraturan; Kompilasi Hukum Islam (sumber hukum Islam yang menjadi Hukum Positif) dan Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah NO. 9 Tahun 1989 Tentang Pelaksanaan dari Undang-Undang Perkawinan.
Menurut hukum agama pada umumnya perkawinan merupakan perbuatan yang suci yaitu suatu ikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan YME. agar kehidupan keluarga dan berkerabat berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi ajaran agama, membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan 'iman dan taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Agama tidak membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak berdasarkan ajaran agama.
Khusus hukum agama Islam yang dijadikan dasar hukum utama adalah al-Qur'an dan Hadith Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi kadang-kadang ada ayat-ayat al-Qur'an dan hadith Nabi yang tidak bisa dipahami secara langsung oleh manusia, oleh sebab itu bisa melalui jalan Ijtihad. Dari hasil Ijtihad para ulama itu terkumpul, sehingga menjadi suatu ilmu yang disebut Ilmu Fiqh. Sehingga Ilmufiqh dapat diartikan Ilmu yang menjelaskan tentang hukum-hukum shara' dengan dalil-dalil secara terperinci, atau disebut juga fiqh adalah mengetahui cabang-cabang hukum shar'i mengenai perbuatan yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Ketentuan hukum dalam ilmu fiqh menjadi rujukan umat Islam khususnya dalam menerapkan suatu hukum. Di dalam ilmu fiqh telah banyak dijelaskan secara detil oleh para imam madhab, bahwa perkawinan dapat dilakukan apabila telah memenuhi sharat dan rukun perkawinan. Dari beberapa syarat perkawinan adalah calon mempelai harus baligh, ukuran baligh (dewasa) bagi orang laki-laki dan perempuan berbeda menurut ulama fiqh. Beberapa ulama telah berpendapat bahwa perempuan dikatakan baligh; apabila telah mengalami masa haid (menstruasi), sedangkan laki-laki dikatakan baligh apabila telah bermimpi basah (dukhul). Shari'at (al-Qur'an dan hadith) telah menetapkan sebuah aturan, bahwa dalam melaksanakan perkawinan harus ada syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh subyek hukum, karena ajaran Islam tidak mengajarkan adanya pergaulan laki-laki dan perempuan selain mahram secara bebas tanpa batas.
Selain al-Qur'an dan Hadith Nabi, kumpulan kitab-kitab fiqh senantiasa menjadi salah satu rujukan oleh manusia dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Oleh sebab itu dengan perkembangan zaman, muncullah beberapa pemikiran tentang pemberlakuan hukum Islam bagi umat Islam, hal ini berkembang bahwa hukum Islam menjadi hukum positif. Akhirnya dibuatlah rumusan hukum Islam dengan instruksi presiden RI NO. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang memuat tiga bidang yaitu bidang hukum Perkawinan, Hukum Waris, dan Hukum Wakaf. Dalam bidang Hukum Perkawinan Kompilasi Hukum Islam, menjelaskan tentang batasan usia di perbolehkan melakukan perkawinan apabila mempelai laki-laki telah berusia 19 tahun sedangkan mempelai perempuan telah berusia 16 tahun.
Kompilasi Hukum Islam merupakan rujukan yang dipakai oleh hakim di lingkungan pengadilan agama di Indonesia. Disebut juga bahwa Kompilasi Hukum Islam merupakan rangkuman dari ilmu fiqh, maksudnya bahwa Kompilasi Hukum Islam dirumuskan dari beberapa kitab-kitab fiqh yang telah ditulis oleh ulama terdahulu yang di ambil dari beberapa dalil-dalil shara' secara terperinci. Namun pada bidang perkawinan terdapat ketentuan yang sangat berbeda mengenai batas usia bolehnya melakukan perkawinan, antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. Ketentuan dalam ilmu fiqh jelas berdasarkan al-Qur'an dan hadith-hadith Nabi Muhammad yang telah ditafsiri oleh ulamafiqh. Secara historis, ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam, diambil dari beberapa kitab fiqh. Dan dari kedua ketentuan baik ilmu fiqh maupun Kompilasi Hukum Islam sama-sama menjadi rujukan umat Islam terutama hakim di lingkungan Pengadilan Agama.
Adanya perbedaan yang sangat kuat tentang batasan usia sebagai syarat menikah dari ilmu fiqh dan Kompilasi Hukum Islam ini, menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat (baik formal maupun non formal). Bagi yang tidak memenuhi kriteria usia yang telah ditentukan dalam Kompilasi Hukum Islam dianggap melanggar hukum dan disebut Perkawinan di Bawah umur. Sedangkan masyarakat masih menyakini bahwa shariat Islam tidak melarangnya dengan berpedoman pendapat para imam madhab.
Lebih menarik pendapat yang kontroversi di kalangan masharakat, baru-baru ini terjadi sebuah pernikahan seorang yang bernama Pujiono Cahyo Widianto dipanggil shekh puji dengan seorang gadis di bawah umur yang tempatnya di kota Semarang. Pernikahan di bawah umur yang dilakukan oleh Shekh Puji ini, mengundang perhatian banyak orang dan Organisasi Masharakat (ORMAS) untuk ikut berkomentar. Bagi mereka berpendapat tidak ada masalah menikahi perempuan dibawah umur. Dengan alasan bahwa dalam ajaran Islam tidak ada batasan usia (usia minimal) sebagai sharat bolehnya menikah, akan tetapi ajaran Islam hanya menjelaskan bahwa calon mempelai laki-laki dan perempuan harus baligh. Mereka membuktikan dengan Hadith yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad menikahi Siti 'Aishah pada waktu usia 9 tahun. Dalam hal ini yang ditanyakan bagaimana peran Kompilasi Hukum Islam sebagai Undang-Undang Hukum Islam yang dijadikan pedoman oleh hakim Pengadilan Agama. Perdebatan ini terus berkembang, sebagaimana pelaksanaan perkawinan di bawah umur sebenarnya juga masih banyak dilakukan oleh masyarakat. Persoalan ini berkembang bukan hanya di lingkungan akademisi saja, melainkan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga formal (KOMNAS Perlindungan Anak dan HAM), juga ikut berpartisipasi menyumbangkan aspirasinya bahwa Pernikahan di bawah umur melanggar Undang-Undang. Ternyata benar-benar ada perbedaan antara KHI dengan ketentuan yang terdapat dalam teori fiqh.
KH Husein Muhammad berpendapat; pandangan fiqh berbeda-beda mengenai usia minimal menikah, kita di Indonesia mengadopsi pandangan Hanafi. Masih terdapat dualisme hukum fiqh di beberapa kalangan ilmuan di Indonesia sebagian masih mengadopsi fiqh lama dan menekankan pada teks, sebagian yang lain menerapkan fiqh secara kontekstual. Seto Mulyadi berpendapat Perkawinan di bawah umur walaupun mungkin menurut shariat Islam itu benar, tetapi menurut hukum positif di Indonesia hal itu tidak bisa di benarkan. Karena bertentangan dengan undang-undang perkawinan dan juga undang-undang perlindungan anak. Di Mesir sebagai negara yang berdasarkan shariat Islam, pencatat penikahan diberi instruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah 18 tahun, dan calon isteri di bawah 16 tahun. Kemudian tahun 1931, sidang dalam organisasi hukum dan shari'ah menetapkan untuk tidak merespons pernikahan bagi pasangan dengan umur di atas.
Pendapat kontroversi ini berkembang terus sampai pada pembahasan adanya beberapa pendapat bahwa sebenarnya Nabi menikahi Siti 'Aishah bukan pada usia 9 tahun. Pendapat yang lain menjelaskan bahwa Nabi menikahi 'Aishah pada usia 9 tahun, akan tetapi belum diajak kumpul satu rumah dengan Nabi melainkan masih bersama Abu Bakar (orang tua 'Aishah). Beberapa pendapat perkawinan di bawah umur, ditemukan beberapa pendapat dengan dikuatkan adanya analisa hadith tentang perkawinan Nabi dengan A'ishah, dapat dipahami bahwa sebenarnya usia 'Aishah saat itu bukan 9 tahun melainkan 19 tahun. Dalam hal ini, bagaimana pendapat ulama madhab fiqh tentang batas usia di perbolehkannya menikah, dan apa dasar ketentuan baligh atau mumayiz bagi seseorang. Oleh sebab itu perlu adanya kajian lanjutan yang menemukan sebuah formulasi hukum, sebagai dasar rujukan masyarakat khususnya umat Islam.

B. Batasan Masalah
Penelitian tesis ini di batasi pada sebuah perbedaan yang sangat kuat antara konsep Ilmu Fiqh dengan konsep Kompilasi Hukum Islam tentang Pernikahan di Bawah Umur, Apa dasar hukumnya sehingga kedua konsep tersebut mengalami perbedaan. karena kedua konsep tersebut menjadi salah satu rujukan dari umat Islam termasuk oleh seorang hakim. Adapun penelitian ini akan dimulai dari beberapa konsep yang terdapat di ilmufiqh dan kompilasi hukum Islam tentang batasan usia bolehnya menikah.

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengapa ilmu fiqh tidak memberikan batasan usia calon mempelai sebagai syarat menikah?
2. Mengapa Kompilasi Hukum Islam membatasi usia calon mempelai sebagai syarat menikah?
3. Mengapa terdapat perbedaan antara konsep ilmu fiqh dengan kompilasi hukum Islam tentang batas usia bolehnya menikah?
4. Apa dampak yang terjadi apabila syarat batasan usia dalam perkawinan tidak dipenuhi?

D. Penjelasan Judul
Maksud judul pada penelitian tesis ini adalah adanya perbedaan pendapat di lingkungan masyarakat mengenahi dasar ketentuan pernikahan di bawah umur (ketentuan Ilmu Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam). Pernikahan di bawah umur maksudnya; penikahan yang dilakukan oleh seseorang sebelum berusia yang cukup sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Adapun dasar yang dikuatkan adalah Ilmu Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam.

E. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk menganalisa ketentuan apa yang terkandung dalam ilmu fiqh sehingga tidak membatasi usia dibolehkannya seseorang menikah.
2. Untuk menganalisa ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam dalam membatasi batas usia dibolehkannya seseorang menikah.
3. Menganalisa adanya perbedaan yang kuat diantara konsep ilmu fiqh dan Kompilasi Hukum Islam tentang batas usia bolehnya menikah.
4. Untuk mengetahui dampak yang terjadi apabila batasan usia dalam syarat perkawinan tidak dipenuhi.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Diharapkan dapat menjadi pijakan pada penulisan lanjutan dalam pengembangan hukum Islam.
2. Memberikan alternatif pemecahan (solusi) masalah tentang batas usia bolehnya menikah dalam ketentuan hukum Islam sebagai hukum positif dan bisa mengamandemen Kompilasi Hukum Islam.
3. Diharapkan menjadi sebuah pemikiran, wawasan yang lebih luas dalam menyikapi sebuah kontroversi yang terdapat dalam kehidupan masyarakat.
4. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya hazanah perpustakaan Islam, khususnya dalam bidang hukum Islam (fiqh) di Indonesia. Sasaran pembacanya adalah masyarakat, terutama mereka yang ingin mendalami masalah fiqh atau hukum Islam.

G. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif yang berupaya memecahkan permasalahan dengan cara mengumpulkan data melalui metode komparatif (perbandingan) dan observasi untuk menjelaskan perbedaan konsep Ilmu Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam tentang batasan usia sebagai syarat perkawinan. Data-data yang telah terkumpul akan dianalisis secara Induktif dengan ulasan atau penjelasan secara deskriptif.
1. Sumber data
Kajian ini bersifat kepustakaan (library reseach). Karena itu, data-data yang akan dihimpun merupakan data-data kepustakaan yang representatif dan relevan dengan obyek studi ini. Adapun sumber data terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berasal dari; pendapat para imam madhab fiqh yang diambil dari kitab-kitab fiqh, kitab-kitab hadith, dan kitab tafsir, selain itu juga diambil dari Kompilasi Hukum Islam, Hukum perkawinan di Indonesia, Sejarah pemberlakuan hukum Islam, Artikel tentang perkawinan di bawah umur. Sedangkan sumber data sekunder adalah buku-buku yang representatifdan membahas tentang perkawinan di bawah umur, sharat dan rukun perkawinan.
2. Metode pengumpulan data.
Penulis akan menghimpun data-data yang meliputi dasar penetapan pendapat ulama madhab tentang batas usia bolehnya menikah. Dan penulis juga menghimpun data-data yang meliputi kondisi sosial, historis dirumuskannya Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian data-data yang dihimpun, sudah tentu tidak hanya berupa kajian normatif sebagai kajian ontologis. Secara internal dalam kajian filsafat pengetahuan tentang hakikat ilmu mengacu pada tiga aspek, yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi.
3. Analisis data.
Secara metodologis, penelitian ini akan menggunakan pendekatan dan library reasech dan sejarah (historical approach). Oleh sebab itu penelitian ini menggunakan analisis kualitatif yang bertitik tolak pada interpretasi ayat al-Qur’an dan Hadith Nabi sebagai dasar, mengemukakan pendapat oleh ulama madhab fiqh, qawaid al-fiqhiyah dan fenomenologi (agar dalam memahami pemikiran masa lalu tidak hanya berhenti pada term-term tertentu saja, tetapi juga mengungkap landasan filosofisnya). Dalam mengambil konklusi, pendekatan ini menggunakan tiga langkah, interpretasi, eksplorasi dan pemaknaan. Interpretasi digunakan untuk mengungkap latar belakang, konteks, materi yang ada agar dapat diketahui konsep atau gagasan yang jelas. Eksplorasi dimaksudkan untuk menangkap apa yang ada dibalik yang tersimpan atau memperdalam pengetahuan suatu gejala dalam rangka merumuskan masalah yang lebih rinci, sedangkan pemaknaan untuk mengetahui yang etis transendental dari apa yang terjadi. Pemaknaan hasil analisis bertujuan untuk menarik kesimpulan penelitian. Penarikan kesimpulan didasarkan atas rumusan masalah yang difokuskan lebih spesifik.
4. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mudah memahami bangunan pemikiran secara makro proposal tesis ini, penulis akan menampilkan rencana pembahasan yang disusun sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang berfungsi mengantarkan masalah yang diteliti secara metodologis, dan penelitian ini, berisi latar belakang masalah, penjelasan judul, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berupaya mendeskripsikan teori-teori yang terdapat dalam shari'at Islam (al-Qur'an) dan hadith, Ilmu fiqh yang terdapat dalam kitab-kitab ilmu fiqh, qawaid al-fiqhiyah dan rumusan dalam kompilasi hukum Islam tentang batas usia yang menjadi rukun dalam perkawinan. Pada bab ini juga mengantarkan pembaca untuk mengetahui hal-hal yang menjadi dasar ketetapan pendapat ulama madhab fiqh dan sejarah yang melatarbelakangi dirumuskannya Kompilasi hukum Islam.
Bab ketiga, mengantarkan pembaca mengetahui dampak yang terjadi apabila batas usia sebagai rukun perkawinan tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan, baik secara fisik maupun psikis.
Bab keempat, berisi uraian yang berupaya menganalisis ketentuan yang terkandung dalam ilmufiqh dan kompilasi hukum Islam, kemudian menganalisis adanya kontroversi yang sangat mencolok di antara kedua konsep tersebut. Hasil analisis merupakan jawaban dari persoalan penelitian yang ditetapkan.
Bab kelima, dari beberapa uraian merupakan penutup, yang di dalamnya memuat kesimpulan dan saran. Penarikan kesimpulan didasarkan atas rumusan masalah yang difokuskan lebih spesifik dan telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga pembaca mengetahui jawaban dari persoalan yang telah diteliti. Kemudian penulis memberikan saran yang terkait dengan materi pembahasan dalam mengaplikasikannya, baik pada pribadinya maupun pada orang lain, dan penulis berharap ada penelitian lanjutan yang lebih maksimal.
TESIS FLYPAPER EFFECT PADA DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA DAERAH SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA KEUANGAN PADA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI X

TESIS FLYPAPER EFFECT PADA DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA DAERAH SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA KEUANGAN PADA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI X

(KODE : PASCSARJ-0098) : TESIS FLYPAPER EFFECT PADA DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA DAERAH SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA KEUANGAN PADA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI X (PRODI : MAGISTER AKUNTANSI)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang mulai dilaksanakan secara efektif tanggal 1 januari 2001, merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya. Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Halim, 2007). Seperti dikemukakan oleh Menteri Keuangan Budiono (dalam sidik et al., 2002:v), tujuan otonomi adalah untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan, dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Dalam UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang menjadi landasan otonomi tersebut dijelaskan lebih jauh bagaimana pengaplikasian hal-hal tersebut melalui beberapa Peraturan Pemerintah (PP), yang kemudian dipandu dengan Kepmendagri No. 29/2002.
Pada tahun 2004, dikeluarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menggantikan UU No.22 Tahun 1999. Begitu pula UU No.25 Tahun 1999 digantikan oleh UU No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dengan daerah. Dalam UU No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat akan mentransfer Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Disamping dana perimbangan tersebut, Pemda mempunyai sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pembiayaan, dan lain-lain pendapatan (Maimunah, 2006). Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada Pemerintah daerah. Dana transfer dari Pempus diharapkan digunakan secara efektif dan efisien oleh Pemda untuk meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat. Kebijakan penggunaan dana tersebut sudah seharusnya pula secara transparan dan akuntabel.
Sekarang ini, kemampuan asli sebagian besar daerah yang tercermin dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya mampu mengumpulkan tidak lebih dari 15% nilai APBD. Oleh karena itu, kekurangannya harus dibantu oleh Pemerintah Pusat melalui mekanisme dana perimbangan yang terdiri dari DBH, DAU, dan DAK yang satu sama lain saling mengisi dan melengkapi (Usman et al., 2008).
UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa transfer dari pemerintah berupa Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana bagi hasil digunakan untuk pelaksanaan kewenangan Pemda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Saragih (2003), dana bagi hasil berperan sebagai penyeimbang fiskal antara pusat dan daerah dari pajak yang dibagihasilkan. DAU berperan sebagai pemerataan fiskal antardaerah (fiscal equalization) di Indonesia. Sedangkan DAK berperan sebagai dana yang didasarkan pada kebijakan yang bersifat darurat. Diluar dari fungsi tersebut, untuk secara detailnya, penggunaan dana tersebut diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan. Oleh karena itu, diharapkan pemerintah kabupaten/kota dapat menggunakan dana ini dengan efektif dan efisien untuk peningkatan pelayanan pada masyarakat dengan disertai pertanggungjawaban atas penggunaan dana tersebut.
Transfer dari Pemerintah Pusat merupakan dana utama Pemerintah Daerah untuk membiayai operasi utamanya sehari-hari, yang oleh Pemerintah Daerah dilaporkan diperhitungan APBD. Terdapat perbedaan penafsiran mengenai DAU oleh daerah-daerah. Dalam Saragih (2003), berbagai penafsiran tersebut diantaranya (a) DAU merupakan hibah yang diberikan pemerintah pusat tanpa ada pengembalian, (b) DAU tidak perlu dipertanggungjawabkan karena DAU merupakan konsekuensi dari penyerahan kewenangan atau tugas-tugas umum pemerintahan ke daerah, (c) DAU harus dipertanggungjawabkan, baik ke masyarakat lokal maupun ke pusat, karena DAU berasal dari dana APBN. Padahal tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi (kalau tidak mungkin menghilangkan) kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri (Simanjuntak dalam Sidik et al., 2002).
Penelitian sebelumnya telah banyak yang mengangkat permasalahan transfer ini, di Amerika Serikat, persentase transfer dari seluruh pendapatan mencapai 50% untuk pemerintah federal dan 60% untuk pemerintah daerah (Fisher, 1982). Khususnya di daerah Winconsin di AS sebesar 47% pendapatan Pemda berasal dari transfer Pempus (Deller et al., 2002). Di negara-negara lain, persentase transfer atas pengeluaran Pemda adalah 85% di Afrika selatan, 67%-95% di Nigeria, dan 70%-90% di Meksiko.
Sayangnya, alokasi transfer di negara-negara sedang berkembang pada umumnya lebih banyak didasarkan pada aspek belanja tetapi kurang memperhatikan kemampuan pengumpulan pajak lokal. Akibatnya, dari tahun ke tahun pemerintah daerah selalu menuntut transfer yang lebih besar lagi dari pusat, bukannya mengeksplorasi basis pajak lokal secara lebih optimal (Oates, 1999 dalam Halim 2003). Keadaan tersebut juga ditemui pada kasus pemerintah daerah kota dan kabupaten di Indonesia (Kuncoro, 2007).
Dominannya peran transfer relatif terhadap PAD dalam membiayai belanja pemerintah daerah sebenarnya tidak memberikan panduan yang baik bagi governansi (governance) terhadap aliran transfer itu sendiri. Bukti-bukti empiris secara internasional menunjukkan bahwa tingginya ketergantungan pada transfer ternyata berhubungan negatif dengan pemerintahannya (Mello dan Barenstrein, 2001). Hal ini berarti pemerintah daerah akan lebih berhati-hati dalam menggunakan dana yang digali dari masyarakat sendiri daripada uang yang diterima dari pusat. Fakta di atas memperlihatkan bahwa perilaku fiskal pemerintah daerah dalam merespon transfer dari pusat menjadi determinan penting dalam menunjang efektivitas kebijakan transfer.
Beberapa peneliti menemukan respon Pemda berbeda untuk transfer dan pendapatan sendiri (seperti pajak). Artinya ketika penerimaan daerah berasal dari transfer, maka stimulasi atas belanja yang ditimbulkannya berbeda dengan stimulasi yang muncul dari pendapatan daerah (terutama pajak daerah). Ketika respon (belanja) daerah lebih besar terhadap transfer, maka disebut flypaper effect (Oates, 1999 dalam Halim 2003). Pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja Pemerintah Daerah di Pulau Jawa dan Bali sebelumnya telah diteliti dan menghasilkan analisis bahwa ketika tidak digunakan tanpa lag, pengaruh PAD terhadap Belanja daerah lebih kuat daripada DAU, tetapi dengan digunakan lag, pengaruh DAU terhadap Belanja daerah justru lebih kuat dari pada PAD (Abdullah dan Halim, 2003). Hal ini berarti terjadi flypaper effect dalam respon Pemda terhadap DAU dan PAD. Selanjutnya Deller dan Maher (2005) meneliti kategori pengeluaran daerah dengan fokus pada terjadinya flypaper effect. Mereka menemukan pengaruh unconditional grants pada kategori pengeluaran adalah lebih kuat pada kebutuhan non esensial atau kebutuhan luxury seperti taman dan rekreasi, kebudayaan dan pelayanan pendidikan daripada kebutuhan esensial atau normal seperti keamanan dan proteksi terhadap kebakaran.
Maimunah (2006) telah melakukan pengujian adanya flypaper effects pada belanja daerah pemerintah kabupaten/kota di pulau Sumatera tahun 2004. Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa flypaper effect terjadi pada DAU terhadap Belanja Daerah. Namun hasil penelitian tersebut tidak dapat digeneralisasikan untuk seluruh wilayah Indonesia. Karena menurut Halim (2002) Pemda kabupaten/kota di Jawa-Bali memiliki kemampuan keuangan berbeda dengan Pemda kabupaten/kota di luar Jawa-Bali.
Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai flypaper effect Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah serta dampaknya terhadap kinerja keuangan di Provinsi X dengan alasan bahwa X memiliki karakteristik ekonomi dan geografis yang sama dan ketersediaan data. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu dimana penelitian ini mencoba menganalisis pengaruh flypaper effect DAU dan PAD terhadap Belanja Daerah dengan menggunakan data runtun waktu (time series) (2003-2007), sehingga diharapkan dapat memberikan hasil analisis yang lebih komprehensif. Selain itu penelitian ini juga dihubungkan dengan kinerja keuangan pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi X. Sehingga penulis mengajukan judul "FLYPAPER EFFECT PADA DANA ALOKASI UMUM (DAU) DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP BELANJA DAERAH SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA KEUANGAN PADA KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI X".

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah terjadi flypaper effect pada pengaruh DAU dan PAD terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di provinsi X?
2. Bagaimana pengaruh DAU dan PAD dalam memprediksi Belanja Daerah?
3. Jika terjadi flypaper effect, apakah ada perbedaan pada Kabupaten/Kota yang PAD-nya tinggi dengan Kabupaten/Kota yang PAD-nya rendah?
4. Bagaimana dampak flypaper effect terhadap kinerja keuangan daerah?

1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui kemungkinan terjadinya flypaper effect pada Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di provinsi X.
2. Mengetahui pengaruh DAU dan PAD dalam memprediksi Belanja Daerah.
3. Mengetahui kemungkinan adanya perbedaan flypaper effect antara Kabupaten/Kota yang PADnya tinggi dengan Kabupaten/Kota yang PADnya rendah.
4. Mengetahui dampakflypaper effect terhadap kinerja keuangan daerah?

1.4 Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah berupa kontribusi empiris, teori dan kebijakan, yaitu :
1. Kontribusi empiris, untuk memperkuat penelitian sebelumnya, berkenaan dengan adanya flypaper effect yang terjadi dalam transfer dana (DAU) dan PAD terhadap Belanja daerah.
2. Kontribusi kebijakan, memberikan masukan baik bagi Pemerintah Pusat maupun Daerah dalam hal penyusunan kebijakan di masa yang akan datang yang berkaitan dengan perencanaan, pengendalian, dan evaluasi dari APBN dan APBD, serta UU dan PP yang menyertainya.
3. Kontribusi teori, sebagai bahan referensi dan data tambahan bagi peneliti-peneliti lainnya yang tertarik pada bidang kajian ini.