Search This Blog

SKRIPSI PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DALAM KUHP DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

SKRIPSI PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DALAM KUHP DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(KODE ILMU-HKM-0050) : SKRIPSI PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DALAM KUHP DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pesatnya arus globalisasi, maraknya industrialisasi dan adanya perdagangan bebas membuat banyak perubahan terhadap kondisi umat manusia. Hal ini juga berakibat pada makin marak dan beragamnya tindak-tindak pidana yang terjadi. Tindak pidana tersebut tidak hanya menyentuh ranah publik tetapi juga ranah pribadi individu manusia. Adanya ketidakseimbangan ekonomi yang semakin lebar menjadi salah satu faktor utama penyebab berbagai macam tindak pidana. Salah satu pihak yang paling dirugikan akibat hal tersebut adalah perempuan. Apalagi budaya kita, yang cenderung patriarkis, sering menempatkan perempuan sebagai pihak yang lemah.
Perempuan, sering menjadi korban kekerasan karena seksualitasnya sebagai seorang perempuan. Banyak hasil penelitian dan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, yang menunjukkan bagaimana lemahnya posisi perempuan ketika mengalami kekerasan terhadap dirinya. Perempuan, termasuk juga anak perempuan, sangat rentan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya, di ruang-ruang publik, tempat bekerja, bahkan dirumahnya sendiri. Dan hal itu akan semakin bertambah bila perempuan berada dalam status sosial dan ekonomi yang rendah, tingkat pendidikan dan ketrampilan yang tidak memadai, tidak memiliki akses terhadap informasi, atau karena perempuan itu masih berada di bawah umur.
Komisi Nasional anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat adanya peningkatan hampir dua kali lipat angka kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2004 dibandingkan tahun sebelumnya. Kalau tahun 2003 tercatat yang hanya 7.787 kasus, tahun lalu mencapai 14.020 kasus (Tempo Interaktif, 7 Maret 2005).
Berdasarkan lokasi terjadinya, kekerasan terhadap perempuan dominan terjadi di dalam ru i sebetulnya diharapkan dapat memberikan rasa aman. Data dari Komnas Perempuan, menunjukkan bahwa pada tahun 2004 sebanyak 4.310 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di dalam rumah. Jika diketahui sebagian dari kasus dalam kategori rumah tangga atau komunitas mencakup insiden kekerasan yang terjadi di dalam rumah, maka dapat dikatakan inilah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang paling menonjol secara kuantitatif untuk seluruh tahun 2004. Yang patut disesalkan adalah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan selama ini dianggap sebagai masalah yang wajar dan tidak dianggap sebagai tindak pidana kejahatan, karena terjadinya kekerasan itu sering dianggap sebagai kesalahan perempuan itu sendiri.
Akibat lain dari pesatnya arus globalisasi, industrialisasi dan perdagangan bebas adalah juga membawa serta terjadinya interaksi dan saling mempengaruhi antara hukum internasional, nasional dan lokal (hukum adat, kebiasaan). Tindak pidana kekerasan terhadap perempuan yang menjadi isu global telah diatur pula dalam instrumen-instrumen hukum internasional dan berbagai kebijakan-kebijakan internasional.
Hal ini dapat dilihat secara nyata dari ditetapkannya sejumlah instrumen-instrumen hukum internasional sehubungan dengan fenomena tindak kekerasan terhadap perempuan, antara lain:
a. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979)
b. Vienna Declaration and Programme of Action (1993)
c. Declaration on the Elimination of Violence Against Women (1993)
d. Beijing Declaration and Platform for Action (1995)
Konferensi Dunia tentang Wanita ke-4 di Beijing tahun 1995 menyepakati tentang 12 masalah kritis yang dihadapi dunia wanita, salah satunya adalah masalah tindak kekerasan terhadap wanita. Dalam hal ini ada kebulatan tekad yang disusun dalam bentuk Deklarasi Beijing, dengan salah satu pasal adalah untuk mencegah dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Di dalam Platform for Action yang disepakati pada Konferensi Beijing tersebut direkomendasikan bahwa program untuk menanggulangi kekerasan ini agar dilaksanakan oleh pemerintah dengan tujuan strategis:
a. secara integratif melakukan tindakan nyata untuk mencegah dan menghilangkan tindak kekerasan terhadap wanita
b. dilakukan studi penyebab dan konsekuensi tindak kekerasan terhadap wanita serta effectiveness dari tindakan pencegahan yang dilakukan
c. menghilangkan perdagangan wanita (trafficking in women) dan penyiapan dukungan bagi korban kekerasan sebagai akibat pelacuran dan perdagangan wanita (Endang Sumiarni, 2005 : 3)
Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita ke dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Sebagai Negara-Peserta, adalah merupakan kewajiban bagi Indonesia, seperti dalam perspektif hukum internasional, untuk mentaati segala ketentuan dan prosedur yang menjadi ketetapan dalam instrumen tersebut. Sebagai anggota aktif dari PBB, Indonesia mempunyai kewajiban moral untuk melaksanakan ketentuan serta melakukan tindakan yang ditetapkan dalam Deklarasi yang telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB.
Namun sangat disayangkan bahwa masih banyak ketentuan-ketentuan, prosedur maupun langkah-langkah yang ditetapkan dalam instrumen-instrumen hukum internasional yang diratifikasi oleh Indonesia tidak ditaati atau tidak dilaksanakan di Indonesia. Bahwa disisi lain Indonesia telah mempunyai Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, namun sayangnya pemerintah sepertinya setengah hati dalam mewujudkan undang-undang ini.
Tahun 2004 merupakan tahun terobosan karena pada tanggal 22 September 2004 telah disahkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT). Undang-undang ini berdiri diluar KUHP sebagai undang-undang pidana khusus.
Walaupun ada pihak yang kurang setuju dengan pengesahan undang-undang ini karena dianggap menyentuh ranah pribadi individu-individu mengingat hukum pidana sebagai hukum publik, dan bahwa apa yang terdapat dalam KUHP sudah cukup untuk menjerat para pelaku tindak pidana ini, namun tidak sedikit juga yang mendukung pengesahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ini sebagai suatu terobosan. Hal ini karena tidak adanya peraturan perundang-undangan yang khusus memberikan perlindungan kepada mereka yang menjadi korban kekerasan, terutama ketika kita menghadapi kasus-kasus seperti kekerasan domestik (domestic violence) atau kekerasan seksual.
Perbuatan-perbuatan yang termasuk sebagai kekerasan domestik secara khusus memang belum diatur dalam KUHP sehingga kejahatan tersebut juga belum banyak terungkap di pengadilan maupun dalam data statistik kriminal di kepolisian. Meskipun kejahatan ini terjadi di banyak tempat, kejahatan ini masih tersembunyi dalam kehidupan masyarakat dan terlindung dari intervensi dunia luar, karena nilai patriarki yang mewarnai sikap dan kultur kehidupan kebanyakan keluarga di Indonesia (Satjipto Raharjo, 1998).
Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga kebanyakan dialami perempuan yang dirasa kurang mendapat perlindungan, dalam proses penyelesaiannya mau tidak mau harus menggunakan hukum positif yang berlaku untuk menuntut para pelaku tindak pidana ini, dalam hal ini KUHP.
Sedikitnya ada tiga masalah utama yang menonjol, yaitu:
1. banyaknya fakta kasus kekerasan dalam rumah tangga yang secara tidak adil dibiarkan berlangsung tanpa ada solusi penyelesaian.
2. bahwa perempuan menjadi korban terbanyak di antara korban kekerasan dalam rumah tangga lainnya.
3. bahwa hukum di Indonesia tidak secara tegas melarang kejahatan dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga, sehingga upaya pencegahan dan penanggulangan masalah ini tidak tampak (Rita Selena Kolibonso, 1999)
Dalam banyak kasus, diketahui bahwa hukum pidana kita tidak dapat sepenuhnya dijadikan acuan bagi pembelaan terhadap perempuan korban kekerasan. Padahal disisi lain penegak hukum sangat terikat pada asas legalitas, sehingga undang-undang dibaca sebagaimana huruf-huruf itu berbunyi, dan sangat sulit memberikan interpretasi yang berbeda bahkan ketika harus berhadapan dengan kasus-kasus yang berkaitan erat dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Tidak jarang, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan terkena imbas dari sistem peradilan yang tidak netral, seperti misalnya terkait persoalan politik dan uang. Oleh karena itu diharapkan dapat muncul pemikiran-pemikiran baru dan terobosan-terobosan yang dapat memberikan perlindungan yang memadai bagi para pencari keadilan khususnya dalam hal ini, perempuan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: "PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WANITA DALAM KUHP DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA."

B. Pembatasan Masalah
Guna memberikan gambaran yang terfokus mengenai obyek bahasan penelitian dalam penulisan hukum ini, dan untuk menghindari terjadinya perluasan dan kekaburan masalah yang diteliti sebagai akibat dari luasnya ruang lingkup penelitian, maka penulis hanya akan membatasi dan mengkaji tentang perlindungan hukum ini ditinjau dari aspek tindak pidana kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan saja.

C. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk mempermudah penulis dalam membatasi masalah yang akan diteliti sehingga tujuan dan sasaran yang akan dicapai menjadi jelas, terarah dan mendapatkan hasil seperti yang diharapkan.
Dalam penelitian ini, perumusan dari masalah-masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan wanita dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?
2. Bagaimanakah perbandingan pengaturan perlindungan wanita dalam KUHP dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

D. Tujuan Penelitian
Menyadari bahwa setiap penelitian harus mempunyai tujuan tertentu, demikian pula penelitian ini yang mempunyai tujuan obyektif dan subyektif sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap wanita dalam KUHP dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
b. Untuk mengetahui perbandingan pengaturan perlindungan wanita dalam KUHP dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum pidana khususnya mengenai perlindungan hukum terhadap wanita yang terdapat dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta terkhusus dalam hukum pidana dalam kaitannya terhadap pemberian perlindungan hukum terhadap wanita dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terutama yang terdapat dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta guna menambah literatur dan bahan-bahan informasi ilmiah mengingat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih merupakan bahasan yang tergolong baru dalam penerapan hukum di Indonesia.
2. Manfaat Praktis
a. Guna mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir yang dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh b. Memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti
c. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait masalah yang diteliti

F. Metode Penelitian
Dalam mencari data mengenai suatu masalah, diperlukan suatu metode yang bersifat ilmiah yaitu metode penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.
Metode adalah suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu. Sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. (Sutrisno Hadi, 1989: 4)
Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotesa. 1. Jenis Penelitian
Mengacu pada judul dan perumusan masalah, maka penelitian ini termasuk ke dalam kategori penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Senada dengan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencakup:
a) Penelitian terhadap asas-asas hukum
b) Penelitian terhadap sistematik hukum
c) Perbandingan hukum
d) Sejarah hukum (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 15)
2. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas.
Menurut Soerjono Soekanto, data sekunder di bidang hukum ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier (Soerjono Soekanto, 2001:13)
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang dalam hal ini adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
b. Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti:
a) Hasil karya ilmiah para sarjana
b) Hasil-hasil penelitian
c. Bahan Hukum Tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet, kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif dan sebagainya.
3. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu penelitian dapar diperoleh. Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik atau catatan-catatan resmi, yaitu dokumen peraturan perundang-undangan yang dapat memuat tentang perlindungan hukum terhadap perempuan. Dalam hal ini sumber data yang digunakan adalah KUHP dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Selain sumber data yang berupa undang-undang negara maupun peraturan pemerintah, data juga diperoleh dari makalah-makalah, buku-buku referensi dan artikel media massa yang mengulas tentang perlindungan hukum terhadap wanita.
4. Teknik Pengumpulan Data
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
5. Teknik Analisis Data
Agar data yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan dan dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan, maka perlu suatu teknik analisis data yang tepat.
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 1993).
Berdasarkan judulnya, maka teknik analisis data yang digunakan adalah content analysis atau analisis isi, berupa teknik yang digunakan dengan cara melengkapi analisis dari suatu data sekunder. Menurut Krippendorf, analisis isi yaitu serangkaian metode untuk menganalisa isi segala bentuk komunikasi dengan mereduksi seluruh isi komunikasi menjadi serangkaian kategori yang mewakili hal-hal yang ingin diteliti.
Analisis isi dalam penelitian ini adalah mengklasifikasikan pasal-pasal dalam KUHP dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ke dalam kategori yang telah ditentukan. Setelah itu, hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data yang diperoleh.

G. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan hukum ditujukan untuk dapat lebih memberikan gambaran yang lebih jelas, komprehensif dan menyeluruh mengenai bahasan dalam penulisan hukum yang akan disusun. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang hukum pidana pada umumnya, tentang tindak pidana, tinjauan tentang perbandingan hukum, tinjauan umum tentang kekerasan terhadap perempuan dan tinjauan umum tentang kekerasan dalam rumah tangga.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ketiga akan berisi tentang pokok-pokok permasalahan yang ingin diungkap berdasarkan rumusan masalah, yaitu berupa pokok-pokok pengaturan perlindungan hukum terhadap wanita dalam KUHP dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan kelemahan-kelemahan kedua undang-undang tersebut.
BAB IV PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisikan kesimpulan-kesimpulan yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan tersebut.
SKRIPSI TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (KAJIAN PERKEMBANGAN BENTUK DAN JENIS PEMIDANAAN DI PENGADILAN NEGERI X)

SKRIPSI TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (KAJIAN PERKEMBANGAN BENTUK DAN JENIS PEMIDANAAN DI PENGADILAN NEGERI X)

(KODE ILMU-HKM-0049) : SKRIPSI TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (KAJIAN PERKEMBANGAN BENTUK DAN JENIS PEMIDANAAN DI PENGADILAN NEGERI X)


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Negara kita adalah negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan di segala bidang, dengan tujuan pokok untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini dapat tercapai apabila masyarakat mempunyai kesadaran bernegara dan berusaha untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.Masyarakat dikatakan sejahtera apabila tingkat perekonomian menengah keatas dan kondisi keamanan yang harmonis Hal tersebut dapat tercapai dengan cara setiap masyarakat berperilaku serasi dengan kepentingan yang berlaku dalam kehidupan masyarakat yang diwujudkan dengan bertingkah laku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
Namun belakangan ini dengan terjadinya krisis moneter yang berpengaruh besar terhadap masyarakat sehingga mengakibatkan masyarakat Indonesia mengalami krisis moral. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin meningkatnya kejahatan dan meningkatnya pengangguran. Dengan meningkatnya pengangguran sangat berpengaruh besar terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang rendah cenderung untuk tidak mempedulikan norma atau kaidah hukum yang berlaku. Melihat kondisi ini untuk memenuhi kebutuhan ada kecenderungan menggunakan segala cara agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi. Dari cara-cara yang digunakan ada yang melanggar dan tidak melanggar norma hukum.
Salah satu bentuk kejahatan yang sering terjadi di masyarakat adalah pencurian. Dimana melihat keadaan masyarakat sekarang ini sangat memungkinkan orang untuk mencari jalan pintas dengan mencuri. Dari media-media massa dan media elektronik menunjukkan bahwa seringnya terjadi kejahatan pencurian dengan berbagai jenisnya dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang tidak tercukupi. Dengan berkembangnya tindak pidana pencurian maka berkembang pula bentuk-bentuk lain dari pencurian. Salah satunya yang sering dilakukan adalah tindak pidana pencurian dengan kekerasan.
Dari catatan mulai tahun XXXX sampai dengan tahun XXXX di Pengadilan Negeri Kabupaten X tindak pidana pencurian dan pencurian dengan kekerasan mengalami peningkatan. Pada tahun XXXX tindak pidana pencurian sejumlah 25 kasus sedangkan tindak pidana pencurian dengan kekerasan sebanyak 4 kasus. Pada tahun 2001 tindak pidana pencurian sebanyak 16 kasus dan tindak pidana pencurian dengan kekeasan sebanyak 3 kasus. Pada tahun 2002 tindak pidana pencurian sebanyak 22 kasus dan tindak pidana pencurian dengan kekerasan sejumlah 7 kasus. Pada tahun 2003 ada 17 kasus untuk tindak pidana pencurian dan 6 kasus untuk tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Pada tahun 2004 ada 47 kasus untuk tindak pidana pencurian dan 8 kasus untuk tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Pada tahun XXXX ada 33 kasus untuk tindak pidana pencurian dan 5 kasus untuk tindak pidana pencurian dengan keekrasan (Sumber: Pengadilan Negeri Kabupaten X).
Meningkatnya kejahatan di wilayah hukum Kabupaten X khususnya tindak pidana pencurian dengan kekerasan disebabkan oleh beberapa hal. Sebab-sebab yang melatarbelakangi tindak pidana pencurian dengan kekerasan adalah dari faktor ekonomi,rendahnya tingkat pendidikan,meningkatnya pengangguran, kurangnya kesadaran hukum, mengendurnya ikatan keluarga dan sosial masyarakat .
Tindak pidana pencurian diatur dalam KUHP buku II bab XXII pasal 362 sampai dengan pasal 367. Untuk pasal 362 memberi pengertian tentang pencurian, pada pasal 363 mengatur tentang jenis pencurian dan pencurian dengan pemberatan, pasal 364 mengatur tentang pencurian ringan, pasal 365 mengatur tentang pencurian dengan kekerasan, pasal 367 mengatur tentang pencurian dalam keluarga.
Adapun yang menjadi alasan bagi penulis untuk memilih judul: TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (Kajian Perkembangan Bentuk dan Jenis Pemidanaan di Pengadilan Negeri Kabupaten X) adalah:
a. Jumlah tindak pidana pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Kabupaten X semakin meningkat dari kualitas maupun kuantitasnya.
b. Penulis ingin mengetahui faktor-faktor apa yang melatarbelakangi penyebab terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan.

1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Dengan keadaan ekonomi pada masyarakat sekarang ini maka cenderung terjadinya kejahatan. Banyaknya pengangguran menjadi salah satu faktor terjadinya tindak pidana pencurian. Kebutuhan masyarakat semakin komplek namun lapangan pekerjaan sangat sulit. Pencurian diatur dalam pasal 362 KUHP.
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling sedikit enam puluh rupiah.
Banyaknya jenis-jenis tindak pidana pencurian adalah salah satu bukti tindak pidana pencurian meningkat dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Namun dalam penelitian ini, peneliti membatasi dan membahas pada tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Mengenai tindak pidana pencurian dengan kekerasan diatur dalam pasal 365 KUHP. Yang berbunyi:
Ayat 1. Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, kepada orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya.
Ayat 2. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
Ke 1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kerata api atau trem yang sedang berjalan. Ke 2. Jika kejahatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih.
Ke 3. Jika yang bersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan pembongkaran atau memanjat atau memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
Ke 4. Jika perbuatan menimbulkan akibat luka berat pada seseorang.
Ayat 3. Dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun, jika perbuatan itu menimbulkan akibat matinya seseorang. Ayat 4. Hukuman mati atau penjara atau seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun dijatuhkan, jika perbuatan itu mengakibatkan luka atau matinya seseorang dan perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih. Dan lagi pula disertai salah satu hal yang tersebut dan di dalam no 1 dan ayat 2.
Dari perumusan pasal di atas maka dapat diketahui adanya unsur atau syarat yang menjadi sifat dilarangnya perbuatan yang terdapat dalam pasal ini yaitu, perbuatan mencuri itu sendiri kemudian dilengkapi dengan unsur didahului, disertai, dan diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menjadi pemberatan.
1.2.2 Pembatasan Masalah
Agar masalah yang ingin peneliti bahas tidak meluas sehingga dapat mengakibatkan kekaburan dan ketidakjelasan pembahasan masalah, maka penyusun akan membatasi masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah tersebut mengenai :
1. Perkembangan kasus tindak pidana pencurian dengan kekerasan dan faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan tersebut sesuai dengan Pasal 365 KUHP.
2. Mengamati penerapan pidana dan jenis-jenis tindak pidana pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kabupaten X.

1.3 Perumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah intensitas tindak pidana pencurian dengan kekerasan selama lima tahun terakhir di mulai dari tahun XXXX sampai dengan XXXX, dan faktor-faktor apa yang menyebabkan kuantitas tindak pidana pencurian dengan kekerasan meningkat di wilayah hukum Kabupaten X ?
2. Bagaimana penerapan pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kabupaten X ?

1.4 Tujuan Penelitian
Sudah dapat diketahui bahwa setiap usaha maupun kegiatan apapun mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Karena tujuan akan memberikan manfaat dan penyelesaian dari penelitian yang akan dilaksanakan.
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian dengan judul TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (Kajian Perkembangan Bentuk dan Jenis Pemidanaan di Pengadilan Negeri Kabupaten X) adalah:
1. Mengkaji dan memahami secara jelas mengenai intensitas tindak pidana pencurian dengan kekerasan selama lima tahun terakhir yang dimulai dari tahun XXXX sampai tahun XXXX yang terjadi di wilayah hukum Kabupaten X.
2. Mengkaji secara konkrit mengenai hal-hal yang menyebabkan kuantitas tindak pidana pencurian dengan kekerasan meningkat di wilayah hukum Kabupaten X.
3. Mengetahui tentang penerapan jenis pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian dengan kekerasan di Pengadilan Negeri Kabupaten X.

1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian yang berjudul TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN (Kajian Perkembangan Bentuk dan Jenis Pemidanaan di Pengadilan Negeri Kabupaten X) adalah:
1. Manfaat Teoritis
Untuk menambah pengetahuan di bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana yang ada di masyarakat.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberi gambaran secara jelas tentang hal-hal yang mempengaruhi kuantitas tindak pidana pencurian dengan kekerasan di Pengadilan Negeri Kabupaten X pada khususnya dan masyarakat pada umumnya sehingga dapat memberikan masukan bagi aparat hukum dalam menjalankan tugas-tugasnya demi tegaknya negara hukum yang diharapkan bersama.
b. Dapat memberikan masukan pada mereka yang tertarik meneliti masalah ini lebih lanjut. 1.6 Sistematikan Skripsi
Skripsi ini terdiri dari tiga bagian yaitu bagian pendahuluan skripsi, isi skripsi dan bagian akhir skripsi. Bagian pendahuluan skripsi terdiri dari: halaman judul, halaman persetujuan, halaman pengesahan, halaman motto dan persembahan, halaman abstrak, kata pengantar, halaman daftar isi, daftar tabel serta daftar lampiran.
Pada bagian isi skripsi terdiri dari lima bab yaitu bab satu adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, Identifikasi dan Pembatasan Masalah, Perumusan masalah, Tujuan penelitian, kegunaan penelitian dan sistematika skripsi. Pada bab dua berisi landasan teori. Bab ini mengemukakan tentang pengertian dan unsur-unsur pencurian, pengertian tindak pidana pencurian dengan kekerasan beserta unsur-unsurnya, faktor-faktor yang menjadi penyebab meningkatnya tindak pidana pencurian dengan kekerasan, dan jenis-jenis tindak pidana pencurian. Pada bab tiga berisi tentang dasar penelitian, fokus penelitian, sumber data penelitian, teknik penelitian dan teknik pengumpulan data, metode analisis data dan prosedur penelitian. Pada bab empat berisi tentang hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian. Pada bab lima berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran-saran. Pada bagian akhir skripsi berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang diperlukan dalam skripsi ini.
SKRIPSI PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA (KROON GETUIGE) DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI PERSIDANGAN (STUDI KASUS PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI PENGADILAN NEGERI X)

SKRIPSI PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA (KROON GETUIGE) DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI PERSIDANGAN (STUDI KASUS PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI PENGADILAN NEGERI X)

(KODE ILMU-HKM-0048) : SKRIPSI PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA (KROON GETUIGE) DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI PERSIDANGAN (STUDI KASUS PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI PENGADILAN NEGERI X)


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dalam kedudukannya sebagai instrumen hukum publik yang mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memiliki rumusan sistem pembuktian tersendiri. Adapun rumusan sistem pembuktian tersebut adalah untuk mendukung tujuan dari pada hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan memperoleh atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil.
Kebenaran materiil adalah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari pelaku yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum, meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan, dan apakah orang yang didakwakan ini dapat dipersalahkan.
Untuk mendukung implementasi rumusan sistem pembuktian tersebut harus berpedoman pada asas-asas yang berlaku dalam proses peradilan pidana, seperti asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), asas persamaan dihadapan hukum (equality before the law) dan asas pemeriksaan akusator. Sebagai perwujudan asas praduga tidak bersalah, maka di dalam Pasal 66 KUHAP ditegaskan bahwa tersangka atau terdakwa sebagai subjek dalam setiap tingkatan pemeriksaan tidak dibebani dengan kewajiban pembuktian. Hal tersebut merupakan bentuk perlindungan hak asasi terdakwa sebagai konsekuensi dari dianutnya asas pemeriksaan akusator dalam KUHAP.
Sebagai subjek dalam pemeriksaan, maka tersangka atau terdakwa diberikan kebebasan untuk melakukan pembelaan diri terhadap dakwaan yang ditujukan kepada dirinya. Pasal 52 KUHAP menyebutkan bahwa "dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau Hakim". Dengan kata lain terdakwa mempunyai hak untuk ingkar, yakni berhak untuk mengingkari setiap keterangan ataupun kesaksian yang memberatkan dirinya serta berhak untuk mengingkari terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya karena dilindungi oleh asas praduga tak bersalah.
Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana, maka perihal pembuktian merupakan hal yang sangat penting bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bagi penuntut umum, maka pembuktian merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka mendukung tugasnya sebagai pihak yang memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Berbeda halnya dengan advokat dalam kapasitasnya sebagai penasihat hukum, maka pembuktian merupakan faktor yang penting dalam rangka melakukan pembelaan yang optimal terhadap terdakwa selaku kliennya. Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pada tingkatan pengadilan maka perihal pembuktian merupakan faktor yang juga sangat menentukan bagi hakim dalam mendukung pembentukan faktor keyakinan hakim.
Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang pada pokoknya menjelaskan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang terbentuk didasarkan pada alat bukti yang sah tersebut. Apabila ditinjau dari perspektif yuridis, maka dalam hal pembuktian tersebut harus berisi ketentuan tentang jenis alat bukti dan ketentuan tentang tata cara pembuktian yang dilakukan secara benar dan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dengan melanggar hak asasi terdakwa. (www.MMS Consulting - Advocates & Counselors at Law -.htm)
Dalam praktek pembuktian perkara pidana di persidangan dikenal alat adanya alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan.
Selain itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum. Dalam perkembangannya, ternyata muncul berbagai pendapat, baik yang berasal dari praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana.
Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota diperbolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa. Bahkan perbedaan persepsi tentang penggunaan saksi mahkota ini juga muncul dalam berbagai yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. (www. MMS Consulting - Advocates & Counselors at Law.htm)
Saksi mahkota dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 1986 K/Pid/1989, adalah teman terdakwa yang dilakukan secara bersama-sama yang diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum dimana dalam hal ini perkaranya dipisah dikarenakan kurangnya alat bukti. Di dalam Putusan ini memang membenarkan adanya pengajuan saksi mahkota yang mana keterangannya dipergunakan sebagai alat bukti bersama dengan keterangan saksi yang lain.
Di dalam Putusan Mahkamah Agung RI yang lain No. 1174 K/Pid/1994 dan No. 1592 K/Pid/1994 tidak membenarkan adanya penggunaan saksi mahkota. Menurut putusan ini saksi mahkota juga pelaku, yang diajukan sebagai terdakwa dalam dakwaan yang sama oleh terdakwa yang diberikan kesaksian. Sebagaimana ketentuan untuk menjadi seorang saksi adalah ia harus melihat, mendengar ataupun mengalami sendiri karena apabila diketahui bahwa keterangannya adalah palsu, maka ia dapat dikenakan dengan pidana atas kesaksiannya tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut adalah bertentangan dengan hak terdakwa, karena sebenarnya saksi mahkota sendiri adalah juga terdakwa. Disini saksi mahkota mengalami tekanan psikis bagaikan makan buah simalakama, karena secara implisit membuktikan perbuatan yang ia lakukan dengan kesaksian yang benar karena adanya ancaman pidana dalam posisinya sebagai terdakwa tidak dapat mengingkari atau membela diri (karena terikat sumpah ketika menjadi saksi). Hal inilah yang membuat hak-hak saksi mahkota serasa percuma karena tidak dapat digunakan.
Berdasarkan uraian di atas tidak jarang dalam proses Pengadilan menggunakan saksi mahkota dalam mengungkap fakta hukum dan fakta peristiwa karena keterbatasan alat bukti. Tidak semua perkara pidana boleh menggunakan saksi mahkota, hanya perkara tertentu saja dalam hal terdapat sifat penyertaannya. Disini, hakim berhak untuk mempertimbangkan mengenai kesaksian yang diberikan oleh saksi mahkota, karena ia juga telah terikat sumpah. Dalam penetapan putusan oleh majelis hakim, berhak untuk mempertimbangkan atau tidak terhadap keterangan saksi mahkota tersebut.
Disinilah yang menjadi pertanyaan, ketika saksi keterangannya diindahkan oleh majelis hakim, maka bagaimanakah kekuatan pembuktiannya.
Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang membahas permasalahan tentang penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Hal tersebut penulis sajikan dalam bentuk penelitian Penulisan Hukum yang berjudul "PENGGUNAAN SAKSI MAHKOTA (KROON GETUIGE) DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI PERSIDANGAN (STUDI KASUS PENCURIAN DENGAN KEKERASAN DI PENGADILAN NEGERI X)"

B. Rumusan Masalah
Guna memberikan arah dan panduan yang mengerucut mengenai bahasan yang di kaji dalam suatu penelitian, perumusan masalah sebagai sebuah konsepsi permasalahan yang akan dicari jawabannya perlu ditentukan terlebih dahulu. Adapun permasalahan dalam penelitian ini antara lain:
- Bagaimanakah penggunaan saksi mahkota (kroon getuige) dalam proses pembuktian tindak pidana pencurian dengan kekerasan di persidangan Pengadilan Negeri X?
- Bagaimanakah kekuatan saksi mahkota (kroon getuige) sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pencurian dengan kekerasan di persidangan?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui bagaimana penggunaan saksi mahkota oleh hakim Pengadilan Negeri X dalam memeriksa dan memutus perkara pencurian dengan kekerasan.
b. Untuk mengetahui kekuatan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pencurian dengan kekerasan di persidangan.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum serta pemahaman aspek yuridis pada teoritik dan praktik dalam lapangan hukum khususnya terhadap penerapan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas X.
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberi masukan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya, dalam ilmu hukum pada umumnya dan khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan pembuktian.
b. Hasil penelitian ini dapat menambah literatur, referensi dan bahan-bahan informasi ilmiah serta pengetahuan bidang hukum yang telah ada sebelumnya, khususnya untuk memberikan suatu deskripsi yang jelas mengenai penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam perkara pidana. Bagaimanakah kekuatan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana di persidangan.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti penulis yaitu bagaimana penggunaan saksi mahkota dalam proses pembuktian tindak pidana pencurian dengan kekerasan khususnya di Pengadilan Negeri X dan bagaimana kekuatan pembuktiannya.
b. Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun ke dalam masyarakat nantinya c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.

E. Metode Penelitian
Metode adalah suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu. Sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, gejala atau hipotese, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. (Sutrisno Hadi, 1989: 4)
Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang bertujuan untuk menemukan, mengembangkan maupun guna menguji kebenaran maupun ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala atau hipotes
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang peneliti lakukan ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, atau dikenal sebagai penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan ( Soerjono Soekanto 2001:13-14 ).
2. Sifat Penelitian
Dalam penelitian hukum ini, sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat (Amirudin dan Z. Asikin. 2004:25). Dari pengertian tersebut dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek atau subjek yang diteliti pada saat sekarang berdasarkan fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Jadi dari pengertian tersebut penulis berusaha untuk melukiskan keadaan dari suatu objek yang dijadikan permasalahan.
Dalam penelitian ini penulis ingin memperoleh gambaran yang lengkap dan jelas tentang penggunaan saksi mahkota dan kekuatan pembuktian tindak pidana pencurian dengan kekerasan.
3. Jenis Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pemah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal maupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas.
Soerjono Soekanto dalam bukunya Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, data sekunder di bidang hukum ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Dalam hal ini penulis menggunakan bahan hukum primer, meliputi:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3) Putusan MA No. 1986 K/Pid/1989 dan Putusan MA No. 1174 K/Pid/1994 dan No. 1592 K/Pid/1994
4) Putusan Hakim Pengadilan Negeri X No. 53/Pid.B/2002/PN.Pwt, tanggal putusan 20 Mei 2002
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum. Bahan hukum sekunder ini meliputi : jurnal, literatur, buku, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
c. Bahan hukum tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum tersier berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia.
4. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat di mana dan ke mana data dari suatu penelitian dapar diperoleh. Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder berupa dokumen publik atau catatan-catatan resmi, yaitu dokumen Putusan Hakim Pengadilan Negeri X No.53/Pid.B/2002/PN.Pwt, tanggal putusan 20 Mei 2002 dan peraturan perundang-undangan yang memuat tentang penggunaan saksi mahkota dan pembuktian.
Selain sumber data yang berupa undang-undang negara maupun peraturan pemerintah, data juga diperoleh dari makalah-makalah, buku-buku referensi dan artikel media massa yang mengulas tentang penggunaan saksi mahkota dan kekuatan pembuktiaannya.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang dipakai dalam pengumpulan data ini yang diambil oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah studi kepustakaan atau studi dokumen (Library Research). Teknik pengumpulan data ini dengan cara membaca, mengkaji, dan membuat catatan dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen serta tulisan-tulisan yang berhubungan dengan masalah yang menjadi obyek penelitian.
Sehubungan dengan jenis penelitian yang merupakan penelitian normatif maka untuk memperoleh data yang mendukung, kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara pengumpulan (dokumentasi) data-data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk mengumpulkan dan menyusun data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Faktor terpenting dalam penelitian untuk menentukan kualitas hasil penelitian yaitu dengan analisis data. Data yang telah kita peroleh setelah melewati mekanisme pengolahan data, kemudian ditentukan jenis analisisnya, agar nantinya data yang terkumpul tersebut lebih dapat dipertanggungj awabkan.
Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, yang dalam hal ini analisis dilakukan secara logis, sistematis dan yuridis normatif dalam kaitannya dengan masalah yang diteliti. Adapun yang dimaksud dengan logis adalah pemahaman data dengan menggunakan prinsip logika baik itu deduktif maupun induktif, sistematis adalah dalam pemahaman suatu data yang ada tidak secara berdiri sendiri namun dalam hal ini harus saling terkait, dan yang dimaksud dengan yuridis normatif adalah memahami data dari segi aspek hukum dengan menggunakan interpretasi yang ada, asas-asas yang ada, perbandingan hukumnya, sinkronisasinya dan juga interpretasi dari teori hukum yang ada.
Sebagaimana hal tersebut dengan memperhatikan penafsiran hukum yang dilakukan serta asas-asas hukum yang berlaku pada ilmu hukum, yaitu undang-undang tidak berlaku surut; undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula; undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum; undang-undang belakangan membatalkan yang berlaku terdahulu; undang-undang sebagai sarana semaksimal mungkin mencapai kesejahteraan spiritual dan material masyarakat maupun individu.

F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum maka penulis menggunakan sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang pengertian pembuktian dan alat bukti yang sah menurut KUHAP, tinjauan umum tentang saksi mahkota dan pengertian tentang pencurian dengan kekerasan.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya : Pertama, penggunaan saksi mahkota (kroon getuige) dalam proses pembuktian tindak pidana pencurian dengan kekerasan di persidangan Pengadilan Negeri X. Kedua, bagaimanakah kekuatan saksi mahkota (kroon getuige) sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pencurian dengan kekerasan di persidangan
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
SKRIPSI IMPLEMENTASI WEWENANG KEPOLISIAN UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN PENGAMBILAN SIDIK KAKI DALAM RANGKA PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

SKRIPSI IMPLEMENTASI WEWENANG KEPOLISIAN UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN PENGAMBILAN SIDIK KAKI DALAM RANGKA PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN

(KODE ILMU-HKM-0047) : SKRIPSI IMPLEMENTASI WEWENANG KEPOLISIAN UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN PENGAMBILAN SIDIK KAKI DALAM RANGKA PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN


BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa Indonesia adalah Negara hukum bukan Negara kekuasaan belaka.Pernyataan para pendiri Negara Republik Indonesia pada waktu itu sekaligus meletakan rambu-rambu pengendali terhadap siapa saja yang diberi kepercayaan untuk menyelengarakan pemerintahan di republic Indonesia.Tujuan atau Fungsi hokum pada umumnya sebagai pengayom, melindungi, yaitu dengan jalan menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh di lakukan.
Mewujudkan tata kehidupan bermasyarakat memanglah tidak mudah semua itu tergantung pada setiap individu yang ada pada lingkup masyarakat dalam menjalani kehidupanya sehari-hari.Mampu atau tidak memperjuangkan hal tersebut terutama dalam hal kualitas perilaku dan pengendalian diri dari setiap individu tidak dapat di kontrol lagi pada akhirnya dapat terjadi kejahatan sehungga timbul ketidaknyamanan dan ketidakadilan terhadap yang berada di lingkungan sekitar.
Kejahatan menurut hukum pidana dapat dinyatakan sebagai perilaku yang merugikan terhadap kehidupan sosial (social injury), atau perilaku yang bertentangan dengan ikatan-ikatan sosial (anti sosial), ataupun perilaku yang tidak disesuai dengan pedoman hidup bermasyarakat (non-conformist). Konsekuensi dari proses interaksi sosial yang menyangkut terhadap perilaku kejahatan akan mendapatkan reaksi sosial. Reaksi-reaksi sosial terhadap kejahatan dalam masyarakat mempunyai berbagai wujud, yakni sebagian kejahatan ada yang dihukum sesuai dengan rumusan-rumusan hukum tentang kejahatan, dan sebagian lain ada pula yang diberikan reaksi sosial tanpa dihukum. Wujud reaksi sosial berubah-ubah sesuai dengan perubahan kondisi sosial, baik yang formal oleh pejabat yang berwenang maupun yang informal oleh kalangan masyarakat tertentu.
Terjadinya proses kejahatan ditinjau dari tingkat pertumbuhan sejak dahulu, dapat dikelompokkan menjadi bentuk kejahatan individual dan kejahatan konvensional yang menyentuh kepentingan orang dan harta kekayaan sebagaimana telah dirumuskan dalam aturan hukum pidana atau kodifikasi hukum pidana. Akan tetapi, dalam perkembangan kehidupan masyarakat yang makin kompleks kepentingannya itu, menumbuhkan bentuk-bentuk kejahatan inkonvensional yang makin sulit untuk merumuskan norma dan saksi hukumnya, sehingga menumbuhkan aturan hukum pidana baru yang bersifat peraturan khusus. Kejahatan konvensional menyentuh kepentingan hak asasi, ideologi negara, dan lain-lainnya yang dinyatakan sebagai perilaku jahat dengan modus operandi dan kualitas yang makin sulit untuk dijangkau oleh aturan hukum pidana yang berlaku umum.
Dilihat dari segi kuantitas, tidak kejahatan yang terjadi sekarang ini semakin meningkat. Tindak kejahatan yang meningkat itu disebabkan oleh banyak faktor, antara lain kemiskinan, tingkat pengangguran yang tinggi dan tingkat pendidikan yang rendah. Sebagai contoh dapat kita ketahui banyak Para pemuda yang menjadi pengamen dan anak jalanan yang melakukan tindak kekerasan terhadap para pemakai jalan ataupun penumpang bus yang tidak mau memberikan uang mereka kepadanya. Tindak kekerasan dan pemaksaan itu merupakan wujud dari tindak kejahatan yang banyak terjadi sekarang ini. Hal ini merupakan fenomena sosial yang tidak mungkin kita pungkiri.
Dari segi kualitas para pelaku kejahatan semakin lihai dalam menghilangkan jejak mereka dan menyembunyikan identitas korbannya. Sebagai contoh pelaku kejahatan pembunuhan dengan melakukan pemotongan pada tubuh korban dengan maksud menghilangkan jejak dan identitas korban. Bukti lain bahwa kejahatan semakin canggih baik dari sudut kualitas pelaku kejahatan maupun sarana yang digunakan, yaitu kejahatan pencurian dengan menggunakan sarana komputer sebagai alat tindak kejahatan. Pelaku kejahatan yang sering disebut sebagai hecker ini dinilai dari sudut kualitas pelaku kejahatan dan sarana yang digunakan untuk melakukan kejahatan sudah dapat dikatakan canggih. Karena hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melakukan tindak kejahatan ini.
Menurut si stem hukum kita, yaitu KUHAP, aktivitas pemeriksaan terhadap suatu kasus pidana melibatkan:
1. Kepolisian, selaku penyidik yang melakukan serangkaian tindakan penyelidikan, penangkapan, penahanan, serta pemeriksaan pendahuluan.
2. Kejaksaan, selaku penuntut umum, dan sebagai penyidik atas tindak pidana khusus yang kemudian melimpahkannya ke Pengadilan.
3. Pengadilan untuk mendapatkan putusan hakim.
Salah satu asas yang penting dalam Hukum Acara Pidana adalah asas praduga tak bersalah yang termuat dalam perumusan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa seseorang yang disangka, ditahan, ditangkap, dituntut di muka pengadilan dianggap tak bersalah hingga pengadilan memutuskan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dengan bersumber asas praduga tak bersalah ini, meski bukti kuat dalam penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan, seorang tersangka tetap tidak dianggap bersalah.
Penyidikan terhadap kejahatan merupakan suatu cara atau prosedur untuk mencari serta memberikan pembuktian-pembuktian dalam menerangkan suatu peristiwa yang terjadi mengenai kejahatan yang dilakukan. Penyidik akan menerima perintah dari atasannya untuk melaksanakan tugas-tugas penyidikan dan pengusutan, mengumpulkan keterangan sehubungan dengan peristiwa tersebut, yang kemudian akan menyerahkan berkas pemeriksaannya terebut ke Kejaksaan untuk diambil tindakan selanjutnya.
Hasil penyidikan akan membuktikan bahwa memang telah terjadi tindak pidana maka langkah selanjutnya adalah menemukan siapa tersangkanya dengan jalan penyidikan secara singkat penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi guna menemukan tersangkanya.
Sifat penyidikan itu sendiri adalah mencari kebenaran materiil yaitu suatu kebenaran menurut fakta yang sebenarnya. Dalam hal ini penulis menggunakan sidik kaki atau bekas telapak kaki sebagai sarana penyidikan guna mengungkapkan suatu tindak pidana. Sidik kaki atau bekas telapak kaki dapat berupa telapak dan lekuk. Telapak adalah gambaran dasar yang biasanya ditinggalkan di atas dasar yang keras. Sedangkan lekuk adalah bekas telapak kaki yang ditinggalkan diatas permukaan yang lunak.
Sidik kaki merupakan salah satu bukti fisik yang mempunyai ciri-ciri yang berbeda antara satu orang dengan yang lain. Ciri-ciri tersebut tidak akan berubah selama hidup. Dalam kenyataannya memang tidak banyak peristiwa pidana yang menjadi terang atau dapat terungkap dengan bantuan pemeriksaan sidik kaki. Kata tidak banyak bukan berarti tidak ada sama sekali tetapi mengandung arti bahwa hanya sedikit peristiwa yang dapat terungkap dengan menggunakan pemeriksaan sidik kaki.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis menganggap penting untuk mengangkat masalah tersebut sebagai bahan penulisan hukum dengan judul: "IMPLEMENTASI WEWENANG KEPOLISIAN UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN PENGAMBILAN SIDIK KAKI DALAM RANGKA PROSES PENYIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN ( STUDI KASUS DI POLWILTABES X )".

B. PERUMUSAN MASALAH
Untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas serta untuk lebih mengarahkan pembahasan maka perumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah implementasi wewenang kepolisian untuk melakukan tindakan pengambilan sidik kaki dalam rangka proses penyidikan perkara tindak pidana pencurian dengan kekerasan di Polwiltabes X ?
2. Apakah hambatan implementasi wewenang kepolisian untuk melakukan tindakan pengambilan sidik kaki dalam dalam rangka proses penyidikan perkara tindak pidana pencurian dengan kekerasan di Polwiltabes X ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Dalam suatu penelitian ada tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Tujuan ini tidak lepas dari permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengertian mengenai sidik kaki.
b. Untuk mengetahui bagaimana prosedur penyidikan.
c. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang ditemui dalam proses pengambilan sidik kaki.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memberikan pengetahuan bagi penyusun tentang seluk beluk pemeriksaan mengenai sidik kaki
b. Untuk menambah , memperluas serta mengembangkan pengetahuan bagi penyusun dalam bidang ilmu hukum khususnya Hukum Acara Pidana dengan harapan dapat bermanfaat di kemudian hari.
c. Untuk memperoleh data dalam rangka penyusunan penulisan hukum sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan di bidang hukum di Fakultas Hukum X.


D. MANFAAT PENELITIAN
Adanya suatu penelitian diharapkan memberi manfaat yang diperoleh terutama bagi bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang diperoleh dari peneliti ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian dapat menyumbangkan pemecahan-pemecahan atas permasalahan dari sudut teori.
b. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menambah referensi di bidang karya ilmiah yang dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.
c. Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis selama menjalani kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas X serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat praktis
a. Dapat memberikan data-data informasi mengenai kegunaan sidik kaki dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh Polresta X.
b. Dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepntingan langsung dengan penelitian ini.
c. Sebagai praktik dan teori penelitian dalam bidang hokum dan juga sebagai praktik dalam pembuatan karya ilmiah dengan suatu metode penelitian ilmiah.

E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah suatu tulisan atau karangan mengenai penelitian disebut ilmiah dan dipercaya kebenarannya apabila pokok-pokok pikiran yang dikemukakan disimpulkan melalui prosedur yang sistematis dengan menggunakan pembuktian yang meyakinkan, oleh karena itu dilakukan dengan cara yang obyektif dan telah melalui berbagai tes dan pengujian (Winarno Surachman, 1992 : 26).
Peranan metode penelitian dalam sebuah penelitian adalah sebagai berikut:
1. Menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan secara lebih baik dan lengkap.
2. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian inter-disipliner.
3. Memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum diketahui.
4. Memberikan pedoman mengorganisasikan serta mengintergrasikan pengetahuan mengenai masyarakat (Soerjono Soekanto, 1986 : 7).
"Metode adalah pedoman cara seseorang ilmuwan mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi" (Soerjono Soekanto, 1986:6). Maka penulisan skripsi ini bisa disebut sebagai suatu penelitian ilmiah dan dapat dipercaya kebenarannya dengan menggunakan metode yang tepat. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Menurut bidangnya penelitian ini termasuk penelitian hukum yang bersifat empiris atau sosiologis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan sesuatu hal di daerah tertentu pada saat tertentu. Sedangkan bila ditinjau dari bidang ilmu pengetahuan yang diterapkan dalam skripsi ini, pelitian ini merupakan penelitian dibidang hukum yakni merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya ( Soerjono Soekamto , 1986 :118-119 )
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian lapangan yang didukung atau dilengkapi dengan penelitian kepustakaan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga menghasilkan gabungan antara teori dan praktek lapangan. Sifat penelitian yang penulis pergunakan adalah sifat penelitian deskriptif kualitatif. "Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya" (Soerjono Soekanto, 1986:10). Metode penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif merupakan suatu penelitian yang menyelesaikan masalah-masalah yang ada dengan cara pengumpulan data, menyusun, mengklasifikasi, menganalisis dan menginterprestasi data-data kemudian diperoleh suatu hasil.
3. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data-data dalam penelitian, penulis melakukan penelitian dengan mengambil lokasi di unit Penyidikan Polwiltabes X.
4. Jenis Data
Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini tergolong dalam data primer dan data sekunder :
a. Data Primer
Merupakan data yang diambil langsung dari sumber yang menjadi obyek penelitian. Data yang dimaksud adalah data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan bagian penyidil Polwiltabes X.
b. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan data orang lain yang sudah tersedia dalam buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan di perpustakaan atau milik pribadi penulis. Dalam hal ini adalah bahan pustaka yang berkaitan dengan hukum khususnya tentang pemeriksaan sidik kaki.
5. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh langsung di lokasi penelitian yaitu hasil dari wawancara dengan penyidik dari polwiltabes X yaitu IPDA X dan AIPDA X.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari kepustakaan, dalam hal ini dibedakan menjadi tiga, yaitu :
1) Bahan Hukum Primer, yaitu semua bahan atau materi hukum yang mempunyai kedudukan mengikat secara yuridis, meliputi Peraturan Perundang-undangan dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu semua bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.
Dalam penelitian ini data sekunder berupa bahan-bahan kepustakaan meliputi:
a. Buku-buku ilmiah di bidang hukum.
b. Makalah dan hasil-hasil karya ilmiah dari para sarjana.
c. Literatur dan hasil penelitian.
3) Bahan Hukum Tersier, yaitu semua bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, meliputi kamus, ensiklopedia dan sebagainya.
6. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam suatu penelitian sangat diperlukan, karena dengan adanya data dapat menunjang penulisan sebagai bahan dalam penulisan itu sendiri.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Wawancara (interview)
Merupakan. penelitian yang digunakan secara langsung terhadap obyek yang diteliti dalam rangka memperoleh data primer dengan wawancara (interview). Wawancara ini dilakukan dengan mengadakan tanya jawab secara langsung baik lisan maupun tulisan dengan responden yakni wawancara langsung dengan anggota unit Penyidikan Polwiltabes X yaitu dengan IPDA X dan AIPDA X. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara yang terarah, terpimpin dan mendalam sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti guna memperoleh hasil berupa data dan informasi yang lengkap.
b. Studi Dokumen
Merupakan pengumpulan data untuk memperoleh keterangan dan data yang diperlukan sebagai landasan berfikir dengan cara membaca dan mempelajari buku-buku literatur, perundang-undangan serta segala yang berkaitan dengan penelitian ini.
7. Teknik Penentuan Sampel
Populasi atau universe adalah seluruh obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau kejadian atau seluruh unit yang menjadi objek penelitian. Populasi yang menjadi objek penelitian ini adalah Kepolisian Wilayah Kota Besar X khususnya unit Pelayanan Penyidikan.
8. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan tahap selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi satu laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 2001 : 103).
Penulis menggunakan proses analisis kualitatif dengan model interaktif dalam penelitian ini, yaitu proses analisis dengan menggunakan 3 (tiga) komponen yang terdiri dari reduksi data sajian data dan kemudian penarikan kesimpulan yang aktivitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data sebagai proses siklus antara tahap-tahap tersebut. Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan skema analisis interaktif sebagai berikut:
Kegiatan komponen itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada penyerdehanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis di kepustakaan. Reduksi tersebut berlangsung terus menerus bahkan sebelum data benar-benar terkumpul sampai sesudah penelitian dan laporan akhir lengkap tersusun.
b. Penyajian Data
Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang member! kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
c. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi
Pada saat pengumpulan data seorang penganalisis mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat dan proporsi. Kesimpulan-kesimpulan tetap akan ditangani dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula-mula belum jelas, meningkat menjadi lebih rinci dan mengarah pada pokok. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penulis selama ia menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan-catatan, atau mungkin menjadi seksama dan makan tenaga dengan peninjauan kembali (Matthew B. Miles dan Michael Huberman, 1992 : 19).
Peneliti harus bergerak diantara keempat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-balik diantara kegiatan reduksi, penyajian dan penarikan kesimpulan atau verifikasi selama sisa waktu penelitiannya. Aktivitas yang dilakukan dengan proses itu komponen-komponen tersebut akan didapat yang benar-benar mewakili dan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data yang diperoleh. Setelah semua data dikumpulkan, kemudian direduksi yang berupa klasifikasi dan seleksi. Kemudian kita ambil kesimpulan dan langkah tersebut tidak harus urut tetapi berhubungan terus sehingga membuat siklus (H. B Sutopo, 2002 : 113).

F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Untuk lebih memudahkan dalam pembahasan, menganalisa serta menjabarkan isi dari penulisan hukum ini, maka penulis menyusun sistematika penilisan hukum dengan membagi bab-bab, sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis memberikan gambaran penulisan hukum mengenai latar belakang masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang tinjauan umum tentang Penyidikan Perkara Pidana, tinjauan umum tentang sidik kaki.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan menjawab dan membahas permasalahan yang ingin diungkapkan sebelumnya yang meliputi Pengertian Sidik Kaki, Prosedur dalam Penyidikan. Hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses penyidikan.
BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi simpulan dan saran berdasarkan analisa dari data yang diperoleh selama penelitian sebagai jawaban terhadap permasalahan bagi para pihak yang terkait agar dapat menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan sehingga bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi berbagai sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum ini.
LAMPIRAN
SKRIPSI PENGARUH STRATEGI QUANTUM QUOTIENT DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PAI SISWA DI SMPN X

SKRIPSI PENGARUH STRATEGI QUANTUM QUOTIENT DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PAI SISWA DI SMPN X

(KODE PEND-AIS-0033) : SKRIPSI PENGARUH STRATEGI QUANTUM QUOTIENT DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PAI SISWA DI SMPN X


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah.
Pendidikan merupakan cerita atau jalan untuk mengembangkan dan mengarahkan dirinya menjadi sosok manusia yang memiliki kepribadian yang utama dan sempurna. Dengan pendidikan, manusia dapat mengembangkan kepribadian baik jasmani maupun rohani ke arah yang lebih baik dalam kehidupannya, sehingga semakin maju suatu masyarakat maka akan semakin penting pula adanya pendidikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. 1Bersamaan dengan itu Islam memandang pendidikan sebagai dasar utama seseorang diutamakan dan dimuliakan. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur'an Surat al-Mujadalah ayat 11, berikut ini yang berbunyi :
Artinya : "Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu sekalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat". (QS, al-Mujadalah : 11).
Dalam pelaksanaan pendidikan pemerintah telah mengupayakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran Nasional yang diatur dalam undang-undang. Untuk itu pemerintah memberikan hak pada warganya untuk mendapatkan pengajaran dan pendidikan ini dimulai dari lingkungan keluarga sebagai Lembaga pendidikan, kemudian pendidikan di lingkungan masyarakat sebagai pendidikan nonformal, oleh karena itu pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Dalam keseluruhan proses pendidikan (dalam hal itu di Sekolah atau Madrasah), kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok, ini berarti berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak tergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami oleh murid sebagai anak didik.
Istilah belajar sebenarnya telah lama dikenal oleh manusia, sejak manusia ada sebenarnya mereka telah melakukan ahtifitas belajar, oleh karena itu kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kegiatan belajar itu ada sejak adanya manusia. 5Belajar merupakan suatu proses perubahan di dalam tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya di dalam memenuhi kehidupannya.
Ahtifitas belajar bagi kegiatan individu tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar, terkadang lancar dan terkadang tidak, terkadang dapat menangkap dengan cepat apa yang dipelajarinya, terkadang amat sulit, demikian antara lain kenyataan yang kita jumpai pada anak didik dalam kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan ahtifitas belajar.
Setiap individu memang tidak ada yang sama, perbedaan individual ini pula yang menyebabkan perbedaan tingkah laku belajar dikalangan anak didik. Dalam keadaan di mana anak didik tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan kesulitan belajar.
Sehubungan dengan ini, bahwa pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting bagi umat manusia, sebagaimana perkembangan dan perwujudan diri bagi pembangunan Bangsa dan Negara serta Agama. Yang mana pendidikan dapat diperoleh secara formal (Sekolah) maupun nonformal (luar Sekolah). Di dalam lingkungan Sekolah terdapat bidang studi pendidikan Agama Islam yang bertujuan :
"Untuk meningkatkan keimanan, penghayatan, pemahaman dan pengamalan siswa tentang Agama Islam menjadi manusia Muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, serta berahklak mulia dalam kehidupan pribadi, masyarakat berbangsa dan bernegara, serta untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih baik".
Di samping itu pendidikan Sekolah bertujuan untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang positif (tingkah laku dan sikap) dalam diri murid yang sudah berkembang menuju kedewasaan. 7Sehingga anak didik dapat mewujudkan dirinya dan dapat berfungsi sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan masyarakat.
Maka profil seorang pendidik sebagai personil yang menduduki posisi strategis dalam mengembangkan sumber daya manusia dituntut untuk terus mengikuti perkembangan konsep-konsep baru dalam dunia pengajaran. Guna mencapai dunia pendidikan itu sendiri, dalam hal ini tentunya diperlukan suatu cara atau alat untuk mencapai tujuan pendidikan yang dimaksud yaitu strategi belajar.
Strategi Quantum Quotient atau kecerdasan Quantum (QQ) adalah kecerdasan manusia yang mampu mengoptimalkan seluruh potensi diri secara seimbang, sinergi dan komprehensif meliputi kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Intelektual berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan pemikiran rasional, logis dan matematis. Emosional berkaitan dengan emosi pribadi dan antar pribadi guna efektifitas individu dan organisasi, sedangkan spiritual berkaitan dengan segala sesuatu yang melampaui intelektual dan emosional, karakteristik utama QQ adalah terbuka kepada ide-ide baru atau hanif, dan senantiasa bergerak maju sepanjang spiral ke atas menuju kesempurnaan.
Langkah awal Quantum Quotient adalah mengembangkan kecerdasan intelektual yang meliputi pengenalan potensi otak manusia yang sangat besar yakni 100 milyard sel ahtif sejak lahir, serta mengembangkan otak kiri yang berpikir urut, Persial dan logis dengan otak kanan yang berpikir acak, holistik dan kreatif. Kemudian mengahtifkan otak reptil, instinctive, lapisan manusia feeling, dan lapisan Neo-cortex, berpikir tingkat tinggi, otak sadar dan di bawah sadar juga merupakan bagian penting untuk optimalisasi intelektual.
Berikutnya melangkah kemulti Intellegence yang meliputi IQ, EQ, SQ Accelered learning disarankan untuk mengembangkan IQ, mengenali emosi kemudian mengelolahnya secara kreatif untuk meningkatkan EQ, refleksi trasendensi dan realisasi adalah langkah utama mengasah otak SQ.
Dimensi spiritual adalah pusat QQ, pusat diri kita untuk perenungan pemaknaan, dan momen transendensi dibiasakan sebagai ahtifitas harian.
Dalam pendidikan Islam, strategi ini sangat erat hubungannya dalam rangka meningkatkan prestasi siswa, sebab anak bisa cepat tanggap terhadap meteri yang disampaikan karena anak lebih mudah menyerap atau mengingat kembali memori ingatan yang telah lalu serta mempertahankannya.
Sehubungan dengan hal ini, peningkatan kreatifitas siswa dapat diperhatikan, baik peningkatan kemampuan berpikir maupun kemampuan menyerap atau mengingat ciri-ciri kepribadian yang kreatif, mengingat perkembangan yang optimal dari prestasi berhubungan cara mengajar. Dalam suasana non otoriter, ketika belajar atas prakasa sendiri dapat dikembangkan, karena guru menaruh kepercayaan terhadap kemampuan anak untuk berpikir dan berani mengungkapkan gagasan baru dan ketika anak diberi kesempatan sesuai minat dan kebutuhannya, dalam hal ini kreatifitas siswa dapat berkembang dengan baik.
Oleh sebab itu menjadi guru yang kreatif, profesional dan menyenangkan dituntut untuk memiliki kemampuan mengembangkan pendekatan dan memilih metode belajar yang efektif, hal ini penting terutama untuk menciptakan iklim belajar yang kondusif dan menyenangkan, cara guru melakukan suatu kegiatan belajar memerlukan pendekatan dan strategi yang berbeda dengan belajar yang lainnya. Oleh karena itu belajar sangat penting dalam melaksanakan penerapan pemecahan masalah dengan menggunakan strategi Quantum Quotient atau kecerdasan Quantum, maka penulis mengadakan penelitian dengan judul : "Pengaruh Strategi Quantum Quotient Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar PAI Siswa Di SMPN 3 X".

B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan variabel penelitian ini perlu diterangkan dalam suatu rumusan yang jelas guna memberikan arahan terhadap pembahasan selanjutnya. Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan strategi belajar Quantum Quotient di SMPN X?
2. Bagaimana prestasi belajar siswa pada mata pelajaran PAI Kelas VIII di SMPN X?
3. Apakah ada pengaruh strategi belajar Quantum Quotient (QQ) dalam meningkatkan prestasi PAI siswa di SMPN X?

C. Tujuan Dan Signifikansi Penelitian.
1. Tujuan Penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut :
1). Untuk mengetahui penerapan strategi belajar Quantum Quotient (QQ) siswa Kelas VIII di SMPN X.
2). Untuk mengetahui prestasi siswa Kelas VIII di SMPN X.
3). Untuk mengetahui ada tidaknya signifikansi strategi belajar Quantum Quotient (QQ) dalam meningkatkan pretasi siswa pada mata pelajaran PAI Kelas VIII di SMPN X.
2. Signifikansi Penelitian.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik dalam pengembangan pengetahuan yang sedang dikaji maupun bermanfaat bagi penyelenggara di SMPN X, secara rincian tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :
1). Signifikasi Akademik ilmiah.
Hasil penelitian ini dapat mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam belajar PAI.
2). Signifikasi sosial praktis.
Adapun hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bahan perhitungan bagi tenaga kependidikan untuk mengembangkan dan memanfaatkan strategi belajar dalam rangka meningkatkan prestasi belajar pendidikan Agama Islam.

D. Hipotesa Penelitian.
Hipotesa adalah yang mungkin benar atau mungkin salah, maka penelitian tersebut akan ditolak jika salah dan diterima jika benar. Adapun hipotesa yang penulis gunakan adalah :
1. Hipotesa kerj a (Ha).
Yaitu hipotesa alternatif yang menyatakan adanya hubungan antara independent variabel dengan dependen variabel yaitu : Pengaruh strategi Quantum Quotient (QQ) dalam meningkatkan prestasi belajar PAI siswa di SMPN X.
2. Hipotesa nihil (Ho).
Hipotesa nihil yaitu hipotesa yang menyatakan adanya persamaan atau tidak adanya perbedaan antara kedua variabel yaitu : tidak ada pengaruh strategi Quantum Quotient (QQ) dalam meningkatkan prestasi belajar PAI siswa di SMPN X.

E. Definisi Operasional.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang judul skripsi ini yakni, "Pengaruh Strategi Quantum Quotient (QQ) Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) Siswa Di SMPN X. Maka lebih dahulu akan dijelaskan beberapa pengertian atau arti dari istilah-istilah yang terdapat pada judul di atas.
Daya yang ada atau yang timbul dari sesuatu (orang, benda) yang berkuasa atau berkekuatan.10 Adalah cara atau hasil usaha yang dihasilkan dalam mengorganisasikan sesuatu berdasarkan yang perlu dikembangkan dan meliputi tiga perkembangan yakni, intelektual, emosional, intelektual dan spiritual.11 Intelektual berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan pemikiran rasional, logis dan matematis, emosional berkaitan dengan emosi pribadi dan antar pribadi guna efektifitas individu dan organisasi, sedangkan spiritual berkaitan dengan segala sesuatu yang melampaui intelektual dan emosional.
Adalah suatu hasil yang diperoleh berupa kesan-kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari ahtivitas belajar mengajar. Sebuah Lembaga pendidikan Sekolah Menengah Pertama yang berada dalam naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang berada di Kelurahan X.
Berdasarkan batasan makna yang terdapat pada definisi operasional di atas, bahwa pengaruh strategi Quantum Quotient dalam meningkatkan prestasi belajar PAI siswa di SMPN X tersebut dapat diketahui dengan melibatkan hasil belajar siswa yang diperoleh dari pretest dan post-test, dalam belajar tersebut. Adapun kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya adalah yang meliputi hasil belajar, kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dan pendidikan Agama Islam adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar setelah selesai pendidikannya dapat mengalami dan mengamalkan ajaran Agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup.

F. Metode Penelitian.
Dilihat dari judul penelitian, yakni pengaruh strategi Quantum Quotient dalam meningkatkan prestasi belajar PAI siswa kelas VIII di SMPN X, maka penelitian yang digunakan di sini adalah jenis penelitian kuantitatif, yaitu pendekatan ini berangkat dari suatu teori, gagasan para ahli ataupun dikembangkan menjadi permasalahan dan beserta pemecahan-pemecahannya yang diajukan untuk memperoleh kebenaran dalam bentuk dukungan data empiris lapangan dan juga memerlukan analisis statistik, yaitu dengan menggunakan angka-angka untuk mencapai kebenaran hipotesis. Angka-angka di sini mempunyai peran sangat penting dalam pembuatan, penggunaan dan pemecahan masalah model kualitatif. Meskipun jenis penelitian ini kuantitatif namun tidak manafikan data kualitatif sebagai pendukung data.
1. Identifikasi variabel.
Variabel adalah objek yang menjadi titik perhatian saat penelitian, penelitian ada dua variabel pertama, adalah anak yang ikut dalam sebuah penelitian ilmiah sangat penting untuk menentukan objek penelitian, yang selanjutnya dapat diperoleh data yang benar dan akurat berdasarkan masalah di atas, yaitu, "Pengaruh strategi Quantum Quotient dalam meningkatkan prestasi belajar pendidikan Agama Islam (PAI) siswa di SMPN X, ditentukan dua variabel yaitu :
a. Variabel bebas (independen variabel). Adalah yaitu merupakan variabel tinggal sendiri yang tidak dipengaruhi variabel lain, dalam penulisan ini, penelitian menjadikan penerapan strategi Quantum Quotient, sebagai variabel bebas yang diberi (simbol) X.
Adapun indikator variabel X sebagai berikut:
1). Teknik-teknik dalam Quantum Quotient.
2). Langkah-langkah penggunaan Quantum Quotient.
b. Variabel terikat (dependen variabel).
Adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini variabel terikat prestasi belajar PAI.
Adapun indikator variabel Y sebagai berikut:
1). Prestasi belajar mengajar.
2). Nilai hafalan.
3). Nilai praktek.
4). Nilai ulangan.
5). Nilai Semester (raport).
2. Populasi.
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada di wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi, penelitian populasi dilakukan apabila peneliti ingin melihat semua liku-liku yang ada di dalam populasi.
Metode penarikan/pengambilan data yang melibatkan seluruh anggota populasi disebut sensus.
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah kelas VIII terdiri atas 6 kelas, yaitu : Kelas VIII A : 40 siswa. Kelas VIII B : 40 siswa. Kelas VIII C : 40 siswa. Kelas VIII D : 40 siswa. Kelas VIII E : 40 siswa. Kelas VIII F : 40 siswa. 240 siswa.
3. Sampel.
Sampel adalah sebagian sebagian dari populasi terjangkau yang memiliki sifat yang sama dengan populasi. menurut Suharsimi Arikunto, sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti.
Mengingat begitu besar dan luasnya populasi dalam penelitian ini, maka kurang memungkinkan jika melakukan pada penelitian populasi secara keseluruhan, oleh karena itu untuk mendapatkan hasil yang memuaskan maka peneliti menggunakan sampel, yakni mengambil sebagian dari populasi, populasi dalam penelitian ini bersifat homogen, yakni sama dari kelas VIII di SMPN X.
Yakni cara mengambil sampel dari populasi dengan memberikan kesempatan yang sama bagi anggota populasi untuk terpilih menjadi anggota sampel. Cara mengambil sampel dari sampling random random ini ada 3 cara yakni : undian, ordinal, dan tabel bilangan random. Tapi karena sempitnya waktu peneliti memakai cara undian, pada pengambilan dengan cara undian ini, peniti menggunakan dasar pemikiran sebagaimana yang dikemukakan oleh Suharsimi Arikunto, populasi lebih dari 100 dapat diambil sampel antara 10-15 % atau 20-25 % atau lebih. (Arikunto Suharsimi, 1997), oleh karenanya dalam penelitian ini, peneliti mengambil 15 % dari sampel yang ada, yakni 90 responden.
4. Jenis data dan sumber data
a. Jenis Data.
Data adalah kumpulan hasil pengukuran terhadap variabel yang berisi informasi tentang karakteristik variabel. Menurut sifatnya data digolongkan menjadi dua yaitu :
1). Data kuantitatif.
Adalah data yang berbentuk angka. Dalam penelitian ini yang termasuk data kuantitatif adalah :
a). Jumlah siswa.
b). Jumlah tenaga edukatif dan karyawan
c). Hasil angket
d). Dan sebagainya yang bersangkutan dengan kuantitatif.
2). Data kualitatif.
Data yang tidak berbentuk angka. Data ini bisa disusun dan langsung ditafsirkan untuk menyusun kesimpulan penelitian. Dalam penelitian ini termasuk data kualitatif adalah gambaran umum sekolah.
b. Sumber Data.
1). Library research (penelitian Perpustakaan) yaitu meliputi kepustakaan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang dibahas, metode ini digunakan dalam kaitannya buku-buku atau teori-teori pembahasan yang berhubungan dengan referensi strategi Quantum Quotient (QQ).
2). Field research (penelitian lapangan) dalam bab ini penulis mengadakan penelitian serta pengamatan langsung kepada objek yang dimaksud pada tempat penelitian dalam rangkaian memperoleh data kongkrit tentang masalah yang diselidiki. Data field research ini meliputi informasi dan responden, yaitu :
a). Informasi, yaitu meliputi kepala Sekolah, guru PAI, siswa, tata usaha, dan lain-lain.
b). Responden meliputi siswa-siswa yang dijadikan sampel.
5. Metode pengumpulan data.
a. Metode observasi.
Adalah tehnik pengumpulan data yang cara mengadakan pengamatan langsung terhadap objek yang diamati.20Metode ini digunakan untuk mendapatkan tentang data pelaksanaan strategi Quantum Quotient di kelas VII SMPN X.
b. Metode angket.
Angket adalah sebuah metode di mana di dalamnya sebuah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui, sedangkan dalam hal metode angket ini, penulis menggunakan angket secara langsung dengan tipe tertutup. Responden tinggal memilih jawaban yang tersedia dengan membutuhkan tanda silang (x) sesuai dengan keadaan yang diketahui.
Metode ini bertujuan untuk mengidentifikasi respon atau komentar siswa terhadap kegiatan strategi Quantum Quotient dalam belajar PAI.
c. Metode dokumentasi.
Adalah metode dalam pengumpulan data dengan cara mencatat dokumen-dokumen atau catatan-catatan, metode ini digunakan untuk mendapatkan data tentang siswa, guru, nilai raport/ulangan siswa, karyawan yang berhubungan dengan objek penelitian.
d. Metode tes.
Adalah seperangkat rangsangan yang diberikan kepada seseorang dengan maksud untuk mendapatkan jawaban yang dapat dijadikan dasar bagi penetapan skor angka.
Metode ini digunakan untuk mengetahui adanya pengaruh strategi Quantum Quotient terhadap keberhasilan belajar PAI.
Data tes diperoleh dari pretes dan post-test selanjutnya dari hasil tersebut dianalisis dengan menggunakan metode statistika.
e. Tehnik analisa data.
Tehnik analisa data adalah tehnik yang digunakan menganalisa yang diperoleh dari hasil penelitian. Data yang sudah terkumpul kemudian diolah yakni dianalisis diinterpretasikan dan disimpulkan. Tehnik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik analisa data statistik. Analisis statistik adalah dalam menganalisis suatu data menggunakan dasar tehnik dan tata kerja statistik, sedangkan non statistik adalah analisis data dengan menggunakan metode kualitatif, kemudian untuk mengetahui bagaimana penerapan strategi Quantum Quotient (QQ) pada mata pelajaran PAI.

G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dan memahami penulisan skripsi ini, maka penulis membuat suatu sistem pembahasan sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, hipotesis penelitian, definisi operasional, metodologi penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II : Landasan teori yang menguraikan tentang strategi Quantum Quotient, tehnik-tehnik Quantum Quotient, langkah-langkah penggunaan setrategi Quantum Quotient, pemanfaatan setrategi Quantum Quotient, selanjutnya tentang prestasi belajar yang di dalamnya membahasa tentang, pengertian hasil belajar, jenis prestasi, kriteria prestasi, evaluasi serta faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa.
BAB III : Laporan hasil penelitian yang di dalamnya membahas tentang gambaran umum objek penelitian di dalamnya membahas tentang : struktur organisasi sekolah, keadaan guru, karyawan dan murid, sarana dan prasarana, penyajian data dan analisis data yang di dalamnya membahas tentang hasil analisis penerapan, pendekatan strategi Quantum Quotient, serta analisis data kuantitatif tentang prestasi siswa yang kemudian diakhiri tentang hasil analisis tentang pengaruh setrategi Quantum Quotient dalam meningkatka prestasi siswa Kelas VIII di SMPN X.
BAB IV : Penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan saran sebagai saran
SKRIPSI STUDI KOMPARASI ANTARA GURU YANG BELUM SERTIFIKASI DENGAN GURU SUDAH SERTIFIKASI TERHADAP PROFESIONALISME GURU

SKRIPSI STUDI KOMPARASI ANTARA GURU YANG BELUM SERTIFIKASI DENGAN GURU SUDAH SERTIFIKASI TERHADAP PROFESIONALISME GURU

(KODE PEND-AIS-0032) : SKRIPSI STUDI KOMPARASI ANTARA GURU YANG BELUM SERTIFIKASI DENGAN GURU SUDAH SERTIFIKASI TERHADAP PROFESIONALISME GURU


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya dalam proses belajar mengajar (PBM) itu terdiri dari tiga komponen, yaitu : pengajar (Dosen, Guru, Instruktur, dan Tutor) siswa yang belajar dan bahan ajar yang di berikan oleh pengajar. Peran pengajar sangat penting karena ia berfungsi sebagai komunikator, begitu pula siswa berperan sebagai komunikan.
Semua orang yakin bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan proses pembelajaran di sekolah, dari tangan guru peserta didik akan dibentuk sesuai dengan potensi yang ada pada dirinya. Minat bakat kemampuan dan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik digali dan dikembangkan oleh guru, tanpa bantuan guru, minat bakat, kemampuan dan potensi peserta didik tidak akan berkembang secara optimal.2 Dalam hal ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual, karena perbedaan kemampuan dan potensi yang ada pada peserta didik antara satu dan yang lainnya tidak sama. Masing-masing mempunyai kemampuan dan potensi sendiri-sendiri, oleh sebab itu dalam pengembangan potensinya guru harus benar-benar jeli dalam memperhatikannya agar dapat tersalurkan dengan baik.
Sejak orang tua mendaftarkan ke sekolah, pada saat itu pula mereka menaruh harapan besar kepada guru agar dapat mendidik anaknya dengan baik. Harapan dari setiap orang tua pasti menginginkan anaknya dapat berkembang secara optimal, tersalurkan bakat dan kemampuannya dengan baik. Sehingga mereka benar-benar menjadi individu-individu berkualitas yang dapat membanggakan orang tuanya dan semua orang yang ada di sekitarnya.
Dengan diketahuinya potensi yang ada pada diri anak didik, maka ini akan dapat mempermudah guru dalam mengarahkan siswa, agar menjadi siswa yang berprestasi di bidangnya. Akan tetapi untuk dapat mengarahkan anak pada minat, bakat dan kompetensi siswa, bukanlah hal yang mudah. Guru harus pandai-pandai memfasilitasi anak didiknya dengan baik. Untuk itulah mengapa peran guru sangat penting dalam mutu pendidikan, karena mutu pendidikan amat ditentukan oleh mutu gurunya. Menurut Abdul Malik Fajar dengan tegas bahwa "guru adalah yang utama".
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan aspek utama yang ditentukan adalah kualitas guru. Untuk itu upaya awal yang dilakukan dalam peningkatan mutu pendidikan adalah kualitas guru. Kualifikasi pendidikan guru sesuai dengan persyaratan minimal yang ditentukan oleh syarat-syarat seorang guru yang profesional.
Guru profesional yang dimaksud adalah guru yang berkualitas, berkompetensi, dan guru yang tahu secara dalam tentang apa yang dikerjakannya, cakap dalam cara mengajarkannya secara efektif dan efisien, dan guru tersebut berkepribadian mantap. Menyadari akan penting profesionalisme dalam pendidikan, maka Ahmad Tafsir mendefmisikan profesionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan hams dilakukan oleh orang yang profesional.
Akan tetapi melihat realitas yang ada, keberadaan guru profesional sangat jauh dari apa yang dicita-citakan. Menjamurnya sekolah-sekolah yang rendah mutunya memberikan suatu isyarat bahwa guru profesional hanyalah sebuah wacana yang belum terealisasi secara merata dalam selumh pendidikan yang ada di Indonesia. Hal itu menimbulkan suatu keprihatinan yang tidak hanya datang dari kalangan akademis, akan tetapi orang awam sekalipun ikut mengomentari ketidak beresan pendidikan dan tenaga pengajar yang ada. Kenyataan tersebut menggugah kalangan akademis, sehingga mereka membuat pemmusan untuk meningkatkan kualifikasi guru melalui pemberdayaan dan peningkatan profesionalisme guru dari pelatihan sampai dengan inkuiri agar guru memiliki kualifikasi pendidikan minimal strata satu (S-l).
Yang menjadi permasalahan bam adalah guru hanya memahami instmksi tersebut sebagai formalitas untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang sifatnya administratif. Sehingga kompetensi guru profesional dalam hal ini tidak menjadi prioritas utama. Dengan pemahaman tersebut, konstribusi untuk siswa menjadi kurang diperhatikan bahkan terabaikan.
Peningkatan mutu guru merupakan upaya yang amat kompleks karena melibatkan banyak komponen yang diawali dari proses pemilihan kualitas calon guru yang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), rendahnya SKG amat ditunggu oleh banyak guru dan penyelenggaraan pendidikan di daerah, meskipun SKG ini bukanlah tujuan akhir akan tetapi SKG ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan apakah guru itu dapat disebut berkualitas atau tidak. Dengan SKG ini akan terbuka lebar-lebar kemungkinan untuk mendongkrak mutu guru, selain itu juga dapat memiliki ukuran yang sangat jelas tentang profil guru yang diperlukan serta untuk menentukan guru yang bagaimana yang dapat diberi sertifikat. Sebagai guru kompetensi berdasarkan jenjang pendidikan dan pelatihan tingkat dasar, lanjut, menengah dan tinggi yang telah mereka ikuti.
Bertolak kondisi itulah pemerintah memunculkan program sertifikasi guru, yang tertuang dalam undang-undang No. 14 tentang 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Dimana di dalamnya disebutkan bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik berhak mendapatkan intensif yang bempa tunjangan profesi.6 Pemberian tunjangan profesi ini tidak hanya guru yang bertugas sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tetapi juga guru non PNS. Selama yang bersangkutan memiliki sertifikat pendidik, harapan pemerintah dalam peningkatan mutu pendidikan baik dan sisi proses (layanan) maupun hasil (luaran) pendidikan.
Wujud sertifikasi guru yang menjadi harapan bahwa guru akan menjadi profesional, tetapi khalayak di lapangan terdapat persoalan yang krusial yang mengitarinya di antaranya soal profesionalisme. UUGD, yang dilahirkan dari UU Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) pasal 20 tahun 2003, ini memberikan garis tegas bahwa guru yang profesional adalah guru yang memiliki sertifikat pendidik. Sebaliknya akta 4 tidak lagi menjadi standar profesionalisme guru, tapi syarat mengikuti sertifikasi, pendidik, secara prosedural, tidak semua guru dapat mengikuti sertifikasi ini. Pemerintah melalui dinas pendidikan provinsi atau kota, mengadakan seleksi dari tiap komite sekolah untuk menentukan jumlah kuota yang layak mengikuti sertifikasi guru ini tidak mudah di lakukan. Guru di seleksi ketat dengan mempertimbangkan kelayakan mengikuti sertifikasi. Tetapi manipulasi dokumen bisa jadi merupakan jalan pintas untuk ikut merayakan sertifikasi, profesional guru pada peserta didik dan komite sekolah di korbankan.
Masalah lain yang di temukan penulis adalah sebagian kecil, seorang pendidik yang sudah tersertifikasi, memanfaatkan guru honorer untuk memenuhi tugasnya tanggung jawabnya sebagai pendidik atau membagi jam mengajar. Sehingga yang menjadi imbasnya adalah siswa sebagai anak didik tidak mendapatkan hasil pembelajaran yang maksimal. Padahal siswa ini adalah sasaran pendidikan yang dibentuk melalui bimbingan, keteladanan, bantuan, latihan, pengetahuan yang maksimal, kecakapan, ketrampilan, nilai, sikiap yang baik dari seorang guru.
Melihat wacana di atas, sangat terlihat bahwa sertifikasi guru belum tentu bisa menjadi tolak ukur profesionalisme dasar wacana yang ada di kalangan masyarakat mengenai masalah sertifikasi terhadap profesionalisme guru atau sebaliknya, dengan melakukan suatu penelitian.
Berdasarkan dugaan peneliti pada umumnya kondisi yang ada masih terdapat guru yang belum profesional. Kompetensi guru yang ada di sekolah tersebut belum sepenuhnya memenuhi kriteria sebagaimana yang diinginkan oleh persyaratan guru profesional. Oleh karena itu, pemerintah mengadakan program sertifikasi keguruan dengan mensyaratkan memilih kualifikasi pendidikan minimal S-l sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan pembahasannya dalam bentuk skripsi yang berjudul "Studi Komparasi antara Guru yang belum Sertifikasi dengan Guru sudah Sertifikasi terhadap Profesionalisme Guru SMP Negeri X".

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keberadaan sertifikasi guru SMP Negeri X?
2. Bagaimana profesionalisme guru pada di SMP Negeri X?
3. Adakah perbandingan profesionalisme guru yang belum sertifikasi dengan guru sudah sertifikasi di SMP Negeri X?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana keberadaan atau aplikasi sertifikasi guru di SMP Negeri X
2. Untuk mengetahui tingkat profesionalisme guru di SMP Negeri X
3. Untuk mengetahui adakah komparasi antara guru yang belum sertifikasi dengan guru sudah sertifikasi terhadap profesionalisme guru di SMP Negeri X
Adapun manfaat yang hendak dicapai dari hasil penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini berguna bagi kepala sekolah untuk lebih meningkatkan profesionalisme guru baik yang belum sertifikasi dan sudah sertifikasi
2. Melalui penelitian ini diharapkan guru mampu meningkatkan kualitas personal dan profesional sebagai pendidik
3. Penelitian ini akan memberi gambaran dan acuan tentang prosedur, tugas dan hak guru sebagai guru yang profesional, baik yang belum sertifikasi maupun yang sudah sertifikasi.
4. Bagi lembaga (instansi) yang terkait, diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam meningkatkan kaderisasi pendidik baik untuk saat ini maupun yang akan datang
5. Bagi penulis, dapat menambah dan mendapat informasi baru mengenai dan pengetahuan tentang dampak sertifikasi terhadap profesionalisme guru.
Dengan demikian, dapat memberi masukan dan pembekalan untuk proses ke depan.

D. Asumsi Penelitian
Alasan penulis memilih atau mengambil judul ini adalah yang pertama, penulis sangat tertarik dengan pembahasan terkait dengan sertifikasi guru. Yang mana kembali pada diri kita, orientasi ke depan sebagai pendidik atau guru. Kalau kita menanyakan setiap kelompok orang seperti yang dilakukan pada acara di televisi apa istilah yang saat ini (edisi pertengahan 2006 sampai sekarang) paling banyak diperbincangkan, bahkan paling banyak diangkat sebagai topik suatu seminar dari para kalangan guru di Indonesia? Diduga jawabannya akan mengarah pada sertifikasi guru. Yang dilindungi oleh Undang-Undang nomer 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen (UUGD) yang disahkan pada Desember 2005 tahun lalu, guna mensejahterakan guru dan dosen. Kedua, tentang profesionalisme guru, penulis berpendapat bahwa profesionalisme guru dalam pendidikan sangat berpengaruh terhadap proses kegiatan belajar mengajar. Yang mana penulis berpendapat bahwa kegagalan pendidikan di indonesia ini salah satu penyebabnya adalah tingkat profesionalisme guru yang kurang baik.

E. Batasan Masalah
Agar masalah dalam penelitian ini lebih fokus dan tidak menyimpang dari apa yang ingin diteliti maka penulis membatasi penelitian pada pembahasan sebagai berikut:
1. Secara garis besar, permasalahan yang menyangkut dengan sertifikasi guru yang sangat kompleks sekali. Adapun pada skripsi ini, sertifikasi guru yang dimaksud adalah guru yang lulus sertifikasi dan guru yang belum sertifikasi antara tahun 2006 sampai 2009 diperkuat dengan Undang-Undang Guru Dosen (UUGD) dan Peraturan Pemerintah (PP) beserta tolak ukur kelulusan sertifikasi.
2. Sedangkan profesionalisme guru yang dimaksud dalam skripsi ini adalah profesionalisme guru yang mempunyai kompetensi dan berkualitas.
Kompetensi guru yang akan diteliti dalam skripsi ini dibagi dalam empat kategori, yakni: merencanakan program belajar mengajar, menguasai bahan pelajaran, melaksanakan dan memimpin atau mengelola proses belajar mengajar serta menilai kemajuan proses belajar mengajar.

F. Definisi Operasional
Untuk mempermudah dalam memahami pengertian istilah judul skripsi ini dan agar tidak terjadi kesimpangsiuran perlu penulis tegaskan istilah-istilah dalam judul di atas yaitu:
1. Guru : orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesi) mengajar.
Memiliki kompetensi menganalisa dan mengarahkan anak didik, untuk dapat mengembangkan potensi yang ada pada diri anak didik secara optimal, sehingga benar-benar menghasilkan siswa yang berkualitas tidak cukup sampai di situ, proses belajar mengajar yang menyenangkan merupakan hal terpentig dalam pendesainan belajar dengan murid-murid.
2. Sertifikasi : proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen atau bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional.
3. Profesionalisme : Upaya yang mengarah terhadap pelaksanaan kerja secara profesional.

G. Sistematika Pembahasan
Sistematika penelitian skripsi ini penulis membagi pembahasannya menjadi 6 bab, yaitu :
Bab I : Membahas tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, asumsi penelitian, batasan masalah, definisi operasional dan sistematika
Bab II : Pembahasan ; Membahas tentang kajian teori tentang studi komparasi antara guru yang belum sertifikasi dengan guru sudah sertifikasi terhadap profesionalisme guru di SMP Negeri X yang meliputi :
1. Pembahasan tentang sertifikasi yaitu; pengertian sertifikasi, tujuan dan sasaran sertifikasi, prinsip sertifikasi guru.
2. Pembahasan tentang profesionalisme guru yaitu ; pengertian profesionalisme guru, Aspek guru islam profesional, kriteria guru profesional, kriteria guru profesional, dan indikator guru yang profesional.
Bab III : Metode penelitian meliputi; jenis penelitian, rancangan penelitian, populasi dan sampel, instrumen penelitian, dan analisis data.
Bab IV : Hasil penelitian meliputi; deskripsi data, analisis data dan pengujian Hipotesis.
Bab V : Pembahasan dan diskusi penelitian
Bab VI : Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran
SKRIPSI STUDI KORELASIONAL TENTANG KEGIATAN EMPLOYEE RELATIONS DAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN DI PT. X

SKRIPSI STUDI KORELASIONAL TENTANG KEGIATAN EMPLOYEE RELATIONS DAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN DI PT. X

(KODE ILMU-KOM-0028) : SKRIPSI STUDI KORELASIONAL TENTANG KEGIATAN EMPLOYEE RELATIONS DAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN DI PT. X


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap organisasi, baik organisasi non-profit ataupun organisasi profit tentunya memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Dalam upaya mencapai tujuan-tujuan tersebut maka dibutuhkan kerjasama yang baik di antara sumber daya yang terdapat dalam organisasi. Salah satu sumber daya yang terdapat dalam organisasi adalah karyawan. Karyawan merupakan salah satu anggota organisasi yang dapat menentukan keberhasilan sebuah organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. Tanpa adanya dukungan yang baik dari para karyawan maka organisasi akan sulit dalam mencapai tujuan-tujuannya. Karyawan dapat berkerja dengan baik apabila di dalam organisasinya terdapat bentuk hubungan dan komunikasi yang baik antara perusahaan yang diwakili oleh pihak manajemen dan para karyawan sebagai bawahannya.
Komunikasi memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, baik secara individu, kelompok, maupun dalam organisasi. Komunikasi dalam organisasi memiliki kompleksitas yang tinggi, yaitu bagaimana menyampaikan informasi dan menerima informasi merupakan hal yang tidak mudah, dan menjadi tantangan dalam proses komunikasinya. Dalam komunikasi organisasi, aliran informasi merupakan proses yang rumit, karena melibatkan seluruh bagian yang ada dalam organisasi. Informasi tidak hanya mengalir dari atas ke bawah, tetapi juga sebaliknya dari bawah ke atas dan juga mengalir diantara sesama karyawan.
Untuk membentuk kerjasama yang baik antara organisasi dan para anggota, maka dibutuhkan bentuk hubungan serta komunikasi yang baik antara para anggota organisasi.
Organisasi tidak mungkin berada tanpa komunikasi. Apabila tidak ada komunikasi, koordinasi kerja tidak mungkin dilakukan. Sehingga dapat menyebabkan kejenuhan bekerja pada diri karyawan. Komunikasi dalam organisasi merupakan bentuk interaksi pertukaran pesan antar anggota organisasi, baik komunikasi secara verbal maupun non verbal. Dalam fungsi public relations terdapat berbagai macam bentuk hubungan yang dapat dilakukan. Diantaranya yang umum dilakukan adalah, community relations, government relations, consumer relations, investor relations, media relations dan employee relations. Semua bentuk hubungan-hubungan tersebut diatur oleh public relations, dengan tujuan untuk mencapai pengertian public {public understanding), kepercayaan publik {public confidence), dukungan public (public support), dan kerjasama publik (public cooperation).
Salah satu bentuk hubungan dalam public relations yang mengatur hubungan antara perusahaan dan para karyawannya adalah employee relations. Employee relations dilakukan antara lain adalah untuk menciptakan bentuk hubungan atau komunikasi dua arah yang baik antara pihak manajemen dengan para karyawannya dalam upaya membina kerjasama dan hubungan yang harmonis di antara keduanya. Sehingga apabila suatu hubungan komunikasi sudah dapat berjalan dengan baik maka diharapkan aka nada peningkatan kerja dalam perusahaan. Dengan kata lain, employee relations bertujuan untuk mencapai saling pengertian (mutual understanding), kerjasama (relationship) serta loyalitas diantara pihak manajemen dengan para karyawannya.
Aktivitas employee relations yang berlangsung dalam organisasi akan berdampak langsung terhadap iklim komunikasi dalam organisasi tersebut. Iklim komunikasi yang di dalamnya terdapat komunikasi yang merupakan hasil dari persepsi karyawan terhadap kegiatan komunikasi yang berlangsung di dalam perusahaan. Dengan demikian apabila karyawan mempersepsikan bahwa aktivitas employee relations yang berlangsung dalam organisasi tidak menciptakan iklim komunikasi dalam kondisi yang baik di dalam organisasi, tentunya hal tersebut dapat memberikan pengaruh negatif terhadap perilaku dan partisipasi karyawan dalam perusahaan. Sehingga hal tersebut mempengaruhi usaha organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Iklim komunikasi tertentu memberi pedoman bagi keputusan dan perilaku individu. Keputusan-keputusan yang diambil oleh karyawan untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara efektif, untuk mengikatkan diri mereka dengan organisasi, untuk bersikap jujur dalam berkerja, untuk mendukung para rekan sekerja lainnya untuk melaksanakan tugas secara kreatif, dan untuk menawarkan gagasan-gagasan inovatif organisasi, semua ini dipengaruhi oleh iklim komunikasi.
Kegiatan employee relations bertujuan untuk mencipatakan iklim komunikasi yang dapat membantu mencapai tujuan perusahaan, yaitu iklim komunikasi yang dapat berkembang dengan baik, iklim komunikasi yang dapat meningkatkan saling keterbukaan dan hubungan baik antara pihak manajemen dan setiap karyawan, iklim komunikasi yang berorientasi pada kepentingan karyawan, dan dapat membangkitkan minat dan semangat kerja yang mengarahkan pada produktivitas kerja karyawan.
Pembahasan mengenai iklim komunikasi maka tidak lepas dari kepuasan kerja yang merupakan hasil dari iklim organisasi yang terdapat dalam organisasi. Kepuasan kerja ini cenderung menyoroti tingkat kepuasan individu dalam lingkungan komunikasinya. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa iklim komunikasi tertentu memiliki pengaruh terhadap keputusan dan perilaku karyawan di dalam organisasinya. Maka setiap organisasi harus dapat melakukan kegiatan employee relations yang dapat menciptakan kepuasan komunikasi yang kemudian akan menjadikan kepuasan bekerja pada diri karyawan.
Menurut McNamara (1997:107), keterampilan mengelola rapat merupakan perjalanan menuju komunikasi yang efektif yang merupakan salah satu prinsip-prinsip pokok komunikasi informal organisasi. Pertemuan-pertemuan dinas yang melibatkan para staff dan pegawai, baik itu yang diselenggarakan di markas besar maupun di kantor-kantor cabang, dan juga konferensi tingkat nasional, merupakan acara berkumpul yang bermanfaat untuk menggalang kebersamaan dan keakraban, sekaligus untuk menciptakan hubungan yang baik antara pihak manajemen dengan para pegawai. Dalam acara-acara tersebut, berlangsung suatu bentuk komunikasi yang paling efisien, yakni komunikasi tatap muka (Frank Jefkins, 2005: 176-177).
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka kegiatan yang dapat mempertemukan antara karyawan dengan atasannya adalah salah satu bentuk aktivitas employee relations yang dapat dilakukan oleh perusahaan. Salah satu bentuk employee relations adalah pertemuan rutin antara karyawan dengan atasanya seperti regular meeting. Regular meeting merupakan bentuk dari employee relations yang dilakukan perusahaan untuk membentuk iklim komunikasi yang positif dengan memelihara hubungan yang harmonis antara perusahaan atau pihak manajemen dengan para karyawannya.
Dalam penelitian ini penulis memilih PT CIMB NIAGA Tbk cabang X sebagai objek penelitian. Alasan-alasan penulis dalam memilih PT CIMB NIAGA Tbk cabang X sebagai objek penelitian adalah, karena PT CIMB NIAGA Tbk cabang X adalah grup perusahaan PT CIMB Niaga Tbk yang secara rutin melakukan aktivitas employee relations dalam bentuk regular meeting. Kegiatan regular meeting tersebut berlangsung secara rutin, setidaknya satu kali dalam setiap minggu. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian ini.
Menurut pendapat dari beberapa karyawan mengenai kegiatan regular meeting yang selama ini dilakukan, mereka mengatakan bahwa regular meeting yang rutin dilakukan memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan dalam lingkungan pekerjaan mereka. Mereka menilai bahwa regular meeting merupakan media yang baik untuk menjalin hubungan baik antara sesama karyawan, atau atasan dengan bawahannya. Melalui regular meeting karyawan juga mendapatkan informasi-informasi penting mengenai pekerjaan ataupun mengenai kebijakan-kebijakan baru dari perusahaan. Disamping itu ada juga karyawan yang menyatakan, bahwa regular meeting yang dilakukan tidak terlalu memiliki dampak yang positif terhadap kepuasan dalam lingkungan pekerjaan mereka. Karena mereka menilai bahwa semua pesan-pesan yang disampaikan dalam regular meeting dapat disampaikan melalui media penyampaian pesan lainnya seperti papan pengumuman, dan untuk berinteraksi antar sesama karyawan atau antara atasan dengan bawahan, dapat dilakukan setiap saat tanpa melalui kegiatan regular meeting.
Tidak terlepas dari reputasi baik yang dimiliki oleh PT CIMB NIAGA Tbk sebagai suatu organisasi profit atas kualitas produk serta pelayanan jasanya, dan juga berdasarkan fenomena yang telah disebutkan di atas,sehingga penulis merasa perlu melakukan penelitian ini, dan memberikan jawaban atas fenomena tersebut. Adapun hipotesa dalam penelitian ini yaitu, dengan mengetahui apakah terdapat hubungan antar variabel dalam penelitian ini, yaitu employee relations dalam bentuk regular meeting dan kepuasan kerja karyawan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti hubungan kegiatan employee relations dalam bentuk regular meeting terhadap kepuasan kerja karyawan. Selain itu juga karena, hasil penelitian mengenai kepuasan kerja dalam organisasi merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi organisasi.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, "Bagaimanakah hubungan antara kegiatan employee relations dan kepuasan kerja karyawan PT CIMB NIAGA Tbk"

1.3 Pembatasan masalah
Untuk lebih memperjelas ruang lingkup permasalahan yang akan diteliti agar tidak terlalu luas, maka peneliti membatasi permasalahan sebagai berikut:
a) Penelitian ini hanya terbatas pada employee relations dan kepuasan kerja karyawan PT CIMB NIAGA Tbk
b) Responden penelitian ini adalah para karyawan tetap PT CIMB NIAGA Tbk
c) Penelitian ini merupakan penelitian korelasional, untuk mengetahui hubungan employee relations terhadap kepuasan kerja karyawan PT CIMB NIAGA Tbk

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu, ingin mengetahui hubungan kegiatan employee relations dan kepuasan kerja karyawan di PT CIMB NIAGA Tbk
b. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi akademis dalam ilmu komunikasi bidang studi public relations tentang komunikasi organisasi bagi jurusan Ilmu Komunikasi FISIP.
2. Manfaat Teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan dan wawasan peneliti tentang penelitian.
3. Manfaat Praktis, penelitian ini dapat memberikan gambaran dan juga bahan masukkan bagi perusahaan-perusahaan, terutama bagi yang berminat tentang hubungan Human Employee terhadap kepuasan kerja karyawan.

1.5 Operasional Variabel
Operaisonalisasi adalah upaya membuat konsep-konsep yang telah dikelompokkan ke dalam variable agar dapat diteliti dengan rinci, maka diperlukan suatu operasionalisasi variable-variabel yaitu sebagai berikut:

1.6 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional menurut Singarimbun (1995: 46) adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama. Definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah :
a. Variabel Bebas (Karakteristik Responden dan Kegiatan employee relations)
- Usia : umur responden ketika mengisi kuesioner
- Jenis kelamin : Jenis kelamin responden
- Status : status responden (sudah menikah atau belum)
- Pendidikan : tingkat pendidikan responden
- Lama bekerja : berapa lama responden telah bekerja di prusahaan tersebut
- Departemen : di bagian apa responden tersebut bekerja
- komunikasi ke atas : komunikasi karyawan terhadap atasan
- komunikasi ke bawah : komunikasi atasan terhadap karyawan
- komunikasi sejajar : komunikasi antar sesama karyawan
b. Variabel Terikat (Kepuasan Kerja)
- alasan bekerja : apa alasan para responden bekerja di perusahaan tersebut
- status karyawan : status karyawan tetap atau outsourcing
- bentuk jaminan sosial : bentuk jaminan yang diterima karyawan
- penghargaan : bentuk penghargaan yang diberikan