Search This Blog

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengetahuan Tentang Sindrom Klimakterium Pada Wanita Usia 40-60 Tahun Di Desa X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengetahuan Tentang Sindrom Klimakterium Pada Wanita Usia 40-60 Tahun Di Desa X

(Kode KEBIDANN-0008) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Pengetahuan Tentang Sindrom Klimakterium Pada Wanita Usia 40-60 Tahun Di Desa X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di Indonesia masih dijumpai masalah kesehatan reproduksi yang memerlukan perhatian semua pihak. Masalah-masalah kesehatan reproduksi tersebut muncul dan terjadi akibat pengetahuan dan pemahaman serta tanggung jawab yang rendah. Akses untuk mendapatkan informasi yang benar dan bertanggung jawab mengenai alat-alat dan fungsi reproduksi (Bambang, 2005). Secara garis besar periode daur kehidupan wanita melampaui beberapa tahap diantaranya pra konsepsi, konsepsi, pra kelahiran, pra pubertas, pubertas, reproduksi, klimakterium dan senium/lansia (Manuaba,1998).
Sepanjang daur kehidupan seorang wanita akan mengalami satu masa yang sifatnya fisiologis, sebagai fase dimana proses penuaan wanita ditandai dengan perpindahan dari masa reproduksi ke masa non produksi yang dinamakan periode klimakterium (Fiedman, 1998). Dalam periode ini ± 75% wanita akan mengalami perubahan-perubahan yang dapat menimbulkan gangguan (Mustopo, 2005). 25% wanita dalam masa ini ditemukan keluhan yang cukup berat (Wiknjosastro, 1999).
Berdasarkan perhitungan statistik, diperkirakan di tahun 2020 jumlah penduduk indonesia akan mencapai 262,6 juta jiwa dengan jumlah perempuan yang hidup dalam usia menopause adalah sekitar 30,3 juta jiwa dari jumlah lakilaki (Fadilah, 2005).
Jumlah dan proporsi penduduk perempuan yang berusia diatas 50 tahun dan diperkirakan memasuki usia menopause dari tahun ke tahun juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 jumlah perempuan berusia diatas 50 tahun baru mencapai 15,5 juta orang atau 7,6% dari total penduduk, sedangkan tahun 2020 jumlahnya diperkirakan meningkat menjadi 30,3 juta atau 11,5% dari total penduduk. Untuk X, jumlah penduduknya mencapai 35 juta. Dari jumlah itu, sekitar 60% perempuan, artinya, jumlah wanita menopause di X sekitar 1,5 juta orang (Winarsi, 2005).
Dari hasil studi pendahuluan diketahui bahwa jumlah wanita usia 40-60 tahun di Desa X mencapai 357 orang (25%) dari jumlah penduduk wanita yang berjumlah 1435. Disamping itu juga belum terdapat program kesehatan yang terkait dengan menopause, program kesehatan yang ada masih terbatas pada pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan dan pelayanan KB. Dari hasil wawancara terhadap beberapa wanita menopause, diketahui bahwa mereka masih belum mengetahui tentang menopause dan gejala-gejala yang menyertainya sehingga mereka tidak mengetahui penyebab keluhan-keluhan yang mereka alami hal ini disebabkan karena kurangnya informasi tentang sindrom klimakterium, antara lain ibu sulit tidur pada malam hari/insomnia, jantung berdebar-debar, haid sudah tidak teratur bahkan haid benar-benar berhenti, vagina terasa kering sehingga tidak dapat menikmati hubungan seksual, hot flash/terasa panas pada muka dan leher, nyeri pada pinggang, mudah marah dan tersinggung, sulit konsentrasi.
Guna mengetahui gambaran mengenai pengetahuan wanita usia 40-60 tahun tentang sindrom klimakterium, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian “Pengetahuan Tentang Sindrom Klimakterium Pada Wanita Usia 40-60 tahun di Desa X Kecamatan X Kabupaten X”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pengetahuan wanita usia 40-60 tahun mengenai sindrom klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran Pengetahuan Wanita usia 40-60 tahun Mengenai Sindrom Klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan wanita usia 40-60 tahun tentang perubahan fisik sindrom klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
b. Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan wanita usia 40-60 tahun mengenai perubahan psikologis sindrom klimakterium di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Menambah karakteristik pengetahuan wanita usia 40-60 tahun mengenai sindrom klimakterium
2. Manfaat praktis
a. Bagi Pemerintah/institusi kesehatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan masukan dalam perencanaan dan pelaksanaan program Kesehatan reproduksi wanita terutama pada wanita menopause.
b. Bagi pembaca
Sebagai bahan informasi mengenai gejala-gejala perubahan baik secara fisik maupun secara psikologis yang dialami.
c. Bagi penulis
Memperdalam pengetahuan mengenai sindrom klimakterium pada wanita usia 40-60 tahun.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Efektivitas Program Pemberian Tablet Merah Terhadap Peningkatan Hemoglobin Ibu Hamil Dengan Anemia Ringan

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Efektivitas Program Pemberian Tablet Merah Terhadap Peningkatan Hemoglobin Ibu Hamil Dengan Anemia Ringan

(Kode KEBIDANN-0007) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Efektivitas Program Pemberian Tablet Merah Terhadap Peningkatan Hemoglobin Ibu Hamil Dengan Anemia Ringan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin di bawah 11 gr/dl pada trimester 1 dan 3, atau kadar < 10,5 gr/dl pada trimester 2 (Saifudin, 2001).
Anemia merupakan masalah kesehatan lain yang paling banyak ditemukan pada ibu hamil. Kurang lebih 50% atau 1 diantara 2 ibu hamil di Indonesia menderita anemia (Anonim a, 2005).
Anemia adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya kadar hemoglobin dalam darah. Akibatnya, fungsi dari hemoglobin untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh tidak berjalan dengan baik. Jika anemia terjadi pada ibu hamil, maka asupan oksigen untuk janin pun akan berkurang. Hal ini akan menghambat pertumbuhan organ-organ pada janin, termasuk organ-organ yang penting semisal otak. Tak hanya mengancam pertumbuhan janin, anemia juga merupakan penyebab utama kematian ibu hamil saat melahirkan. Biasanya, kematian terjadi akibat perdarahan (Anonim b, 2006).
Menurut WHO, 40% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia dalam kehamilan (Saifudin, 2001). Saat ini, angka kematian ibu hamil di Indonesia merupakan yang tertinggi di ASEAN yakni 307 dari 100 ribu kelahiran. Bandingkan dengan Malaysia, yang hanya 40-50 dari 100 ribu kelahiran (Anonim b, 2006).
Kontribusi anemia terhadap kematian ibu di Indonesia diperkirakan mencapai 50% hingga 70%. Dengan kata lain bahwa 50% hingga 70% kematian ibu di Indonesia sesungguhnya dapat dicegah apabila prevalensi anemia ibu hamil dapat ditekan sampai serendah-rendahnya (Hadi, 2002).
Anemia ibu hamil bisa terjadi akibat kekurangan zat besi yang disebut anemia defisiensi besi. Selain itu bisa juga karena kekurangan asam folat dan vitamin B12 yang disebut anemia megaloblastik (Anonim c, 2006).
Dalam penanggulangan anemia pada ibu hamil, Departemen Kesehatan menyusun program kuratif dengan pemberian tablet tambah darah kepada seluruh ibu hamil, dimana Dinas Kesehatan sebagai ujung tombak pelaksana pemberian tablet tambah darah tersebut. Tablet tambah darah (yang seterusnya dikenal dengan tablet merah) diberikan kepada seluruh ibu hamil berjumlah 90 tablet, tiap tablet salut berisi Ferro Sulfat 200 mg dan Asam Folat 0,25 mg.
Sejak tahun 1974 pemerintah telah melakukan program suplementasi besi pada ibu hamil melalui puskesmas dan posyandu. Namun sekalipun suplementasi besi pada ibu hamil telah lama dikerjakan di beberapa kabupaten di X, prevalensi anemia pada ibu hamil masih mencapai 80% (Anonim d, 2001).
62,3% anemia ibu hamil terjadi karena defisiensi besi dan 37,7% karena anemia dengan penyebab yang lain (Wiknjosastro, 1999).
Untuk itu peneliti tertarik untuk mengetahui efektivitas program pemberian tablet merah terhadap peningkatan hemoglobin ibu hamil dengan anemia ringan.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, “Apakah program pemberian tablet merah efektif terhadap peningkatan hemoglobin ibu hamil dengan anemia ringan ?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas program pemberian tablet merah terhadap peningkatan hemoglobin ibu hamil dengan anemia ringan.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui faktor-faktor prevalensi anemia ibu hamil di daerah penelitian.
b. Mengetahui ketaatan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet merah.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Praktis
Dapat bermanfaat dalam rangka perbaikan program penanganan anemia ibu hamil.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Formal Ibu Dengan Ketepatan Jadwal Imunisasi Dasar Bayi Di Polindes X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Formal Ibu Dengan Ketepatan Jadwal Imunisasi Dasar Bayi Di Polindes X

(Kode KEBIDANN-0006) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Formal Ibu Dengan Ketepatan Jadwal Imunisasi Dasar Bayi Di Polindes X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia masih mengalami banyak masalah kesehatan yang cukup serius terutama dalam bidang kesehatan ibu dan anak. Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2003 Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 35 per 1000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKABA) 46 per 1000 kelahiran hidup (Anonim2, 2007).
Salah satu faktor penting dalam upaya penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) adalah dengan program imunisasi. Banyak penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian seperti dipteri, tetanus, hepatitis B dan masih banyak penyakit lainnya (Anonim2, 2006).
Berdasarkan Depkes RI (2001) insidensi penyakit menular pada tahun 2000 yang dapat mematikan anak yaitu dipteri sebanyak 23 kasus, pertusis sebanyak 142 kasus, tetanus neonaturum sebanyak 466 kasus, polio sebanyak 48 kasus dan campak sebanyak 56 kasus. Beberapa penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian seperti tuberkulosis, hepatitis B, dipteri, tetanus, pertusis, polio, dan campak sebagaian dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Cakupan imunisasi meliputi seluruh propinsi di Indonesia hampir 97% dari 302 kabupaten telah mencapai target Universal Child Immunization (UCI). Hal ini berarti bahwa cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B, mencapai 80% baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten bahkan di setiap desa, sedangkan jumlah sasaran bayi di Indonesia per tahun 4,6 juta (Ranuh dkk, XXXX).
Berdasarkan data subdit Imunisasi Ditjen PPM dan PLP Depkes tahun 2004 cakupan imunisasi di Indonesia adalah cakupan perantigen yaitu 1 dosis BCG mencapai target 99,6%, untuk 3 dosis DPT mencapai target 90,6%, untuk 4 dosis polio mencapai target 85%, sedangkan 3 dosis hepatitis B hanya mencapai 62% dan 1 dosis campak mencapai target 91,7%. Dari data tersebut diketahui hampir semua jenis imunisasi mencapai cakupan yang ditargetkan oleh Universal Child Immunization (UCI) minimal 80% (Ranuh dkk, XXXX).
Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam imunisasi adalah ketepatan jadwal imunisasi. Apabila ibu tidak tepat dalam mengimunisasikan bayinya akan berpengaruh terhadap kekebalan dan kerentanan bayi terhadap suatu penyakit. Sehingga bayi harus mendapatkan imunisasi tepat waktu agar terlindung dari berbagai penyakit berbahaya. Salah satu faktor yang mempengaruhi ketepatan jadwal imunisasi adalah tingkat pendidikan formal ibu. Tingkat pendidikan formal akan mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang imunisasi. Pengetahuan tentang imunisasi akan mempengaruhi motivasi ibu untuk mengimunisasikan bayinya dengan tepat sesuai jadwal yang telah ditentukan (Basuki dan Parwati, 2001).
Berdasarkan hasil evaluasi dari Penyakit Menular yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) di Kecamatan X masih ditemukan beberapa insidensi penyakit menular. Insidensi penyakit campak ditemukan sebanyak 7 kasus dan hepatitis B sebesar 4 kasus namun tidak ditemukan jumlah insidensi dipteri, pertusis, tetanus dan polio (Pemerintah Kabupaten X, XXXX).
Setelah dilakukan pengamatan pada 10 ibu yang mempunyai bayi berumur 9-12 bulan di Polindes X Kecamatan X didapatkan 6 orang (60%) sudah mengimunisasikan bayinya dengan tepat sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan 4 orang (40%) belum mengimunisasikan bayinya dengan tepat sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Selain itu tingkat pendidikan formal ibu yang mengimunisasikan bayinya juga bervariasi yaitu 1 orang (10%) lulus SD, 3 orang (30%) lulus SLTP, 4 orang (40%) lulus SLTA dan 2 orang (20%) lulus Akademi/Perguruan Tinggi.
Bertolak dari pemikiran tersebut diatas serta mengingat pentingnya pendidikan untuk membentuk pengertian dan penerimaan program imunisasi, maka peneliti ingin mengetahui adanya hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi di Polindes X Kecamatan X.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah : “Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi di Polindes X Kecamatan X ?“

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pendidikan formal ibu yang mengimunisasikan bayinya di Polindes X Kecamatan X.
b. Untuk mengetahui ketepatan jadwal imunisasi dasar pada bayi di polindes X Kecamatan X.
c. Untuk mengetahui hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi di Polindes X Kecamatan X.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Polindes X Kecamatan X Diharapkan dapat berguna sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan untuk meningkatkan mutu pelayanan program imunisasi di Polindes X Kecamatan X.
2. Bagi Institusi Pendidikan
a. Sebagai bahan refrensi ilmu kesehatan anak khususnya imunisasi.
b. Diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya.
3. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti tentang hubungan antara tingkat pendidikan formal ibu dengan ketepatan jadwal imunisasi dasar bayi.
4. Bagi Responden
Diharapkan dapat bermanfaat dalam merumuskan cara peningkatan kesadaran ibu untuk mengimunisasikan bayinya sesuai jadwal yang telah ditetapkan khususnya di Polindes X Kecamatan X.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X

(Kode KEBIDANN-0005) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini angka kematian perinatal di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 40/1000 kelahiran hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian tersebut antara lain penyakit dan semua hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan baik langsung maupun tidak langsung. Faktor yang berhubungan langsung pada bayi baru lahir adalah penyakit. Penyakit tersebut sangat beresiko tinggi pada bayi, oleh karenanya perlu mendapat penatalaksanaan yang cepat sehingga angka kematian dan kesakitan dapat diturunkan. Bayi-bayi yang beresiko tinggi salah satunya yaitu kuning atau ikterus (Nuchsan, 2000).
Penelitian di dunia kedokteran menyebutkan bahwa 70% bayi baru lahir mengalami kuning atau ikterus, meski kondisi ini bisa dikategorikan normal namun diharapkan untuk tetap waspada (Anonim2, 2006). Sehingga tidak sampai terjadi hiperbilirubinemia pada keadaan dimana terjadi peningkatan kadar hiperbilirubin serum yang dihubungkan dengan hemolisis sel darah merah (SDM) dan resorpsi lanjut dari bilirubin yang terkonjugasi dari usus kecil (Doenges, 2001). Salah satu penyebab ikterik adalah Inkompatibilitas ABO atau ketidakcocokan golongan darah. Kejadian ini ditemukan pada ibu dengan golongan darah O yang melahirkan bayi bergolongan darah A atau B, sekitar 20-40% dari seluruh kehamilan (Noortiningsih, 2003). Kondisi ini terjadi pada perkawinan yang inkompatibel dimana darah ibu dan bayi yang mengakibatkan zat anti dari serum darah ibu bertemu dengan antigen dari eritrosit bayi dalam kandungan. Sehingga tidak jarang embrio hilang pada sangat awal secara misterius, sebelum ibu menyadari bahwa ia hamil. Namun apabila janin yang dilahirkan hidup, maka dapat terjadi ikterus yang dapat mengarah pada ikterus patologis atau hiperbilirubinemia. Apabila hal ini tidak ditangani secara tepat dapat menimbulkan kematian atau kelainan perkembangannya seperti gangguan perkembangan mental, tuli, lambat bicara dan lain-lain (Suryo, 2005).
Survey pendahuluan yang di lakukan di RSU X menyebutkan jumlah persalinan pada tahun 2006 sebanyak 1527 persalinan, dimana untuk angka kejadian ikterus sebanyak 60 dalam tahun 2006 baik ikterus fisiologis maupun ikterus patologis (Rekam Medik RSU X, 2006), untuk yang diakibatkan karena Inkompatibilitas ABO yang juga memegang peranan penting dalam terjadinya Hiperbilirubinemia, angka kejadiannya tidak dihitung dengan pasti.
Berdasarkan hal di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai “Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO di RSU X“

B. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah penelitian difokuskan pada:
1. Berapa persentase golongan darah ABO dari ibu yang melahirkan, suaminya dan bayi yang dilahirkan yang mengalami hiperbilirubinemia di RSU X?
2. Berapa persentase angka kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO di RSU X?
3. Bagaimana Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum.
Untuk mengetahui Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X.
2. Tujuan Khusus.
a. Memaparkan persentase golongan darah ABO dari ibu yang melahirkan, suaminya dan bayi yang dilahirkan yang mengalami hiperbilirubinemia di RSU X.
b. Memaparkan persentase angka kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO di RSU X Tahun XXXX.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Mendapatkan informasi dan tambahan ilmu pengetahuan mengenai Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO Di RSU X.
2. Manfaat Aplikatif
a. Bagi RSU X
Hasil penelitian dapat memberikan masukkan atau tambahan ilmu pengetahuan untuk membuat rencana penatalaksanaan yang tepat dalam kasus hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO.
b. Bagi Institusi Pendidikan Kebidanan.
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.
c. Bagi Penulis
Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam melaksanakan penelitian ilmiah.
d. Bagi Pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan referensi khususnya mengenai Hiperbilirubinemia Akibat Inkompatibilitas ABO.
e. Bagi Pasien
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pertimbangan melakukan skrening pasangan suami istri pada perbedaan golongan darah.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Sindrom Premenstruasi Pada Mahasiswi D-IV Kebidanan X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Sindrom Premenstruasi Pada Mahasiswi D-IV Kebidanan X

(Kode KEBIDANN-0003) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Sindrom Premenstruasi Pada Mahasiswi D-IV Kebidanan X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Ciri khas kedewasaan manusia ialah perubahan-perubahan siklik pada alat kandungannya sebagai persiapan untuk kehamilan. Hal ini adalah suatu proses yang kompleks dan harmonis meliputi serebrum, hipotalamus, hipofisis, alat genital, kortek adrenal, grandula tireoidea dan kelenjar-kelenjar lain (Prawirohardjo, 2005). Menurut Manuaba (1999), sebagai puncak kedewasaan wanita mulai mengalami perdarahan rahim pertama ‘menarche’ Sekitar 85% wanita yang sudah haid mengalami gangguan fisik dan psikis menjelang menstruasi, saat, ataupun sesudah menstruasi. Biasanya berlangsung antara satu minggu sebelum dan sesudah menstruasi. Gejala ini disebut dengan Sindrom Premenstruasi (Anonim, 2005)
Gejala ini dapat beragam dari gejala yang belum pasti dengan rasa sakit yang ringan sampai dengan serangkaian gejala yang sangat berat. Sejumlah banyak gejala dapat terjadi dan ini dapat tetap sama atau bervariasi dari bulan ke bulan. Pada umumnya adalah manifestasi dari produksi hormon progesteron di bagian akhir dari siklus haid. Lebih cepat masa haid datang, biasanya gejala-gejala ini dirasakan (Knight, 2000). Sebuah hasil penelitian mengungkapkan, satu dari tiga perempuan berusia reproduktif mengalami Sindrom Premenstruasi dan satu dari 20 perempuan mengalami kesakitan yang berlebihan hingga mempengaruhi aktifitas sehari-hari (Anonim, 2005).
Tubuh dan pikiran mempunyai hubungan yang erat satu sama lain. Gangguan mental dapat menimbulkan gejala-gejala pada fisik (Ragawaluya, 1997). Gejala ini meliputi depresi, mudah marah, tegang, sakit kepala, tidak dapat memusatkan pikiran, diare, konstipasi, buah dada nyeri, cepat lelah, gelisah, kebiasaan makan berubah, tidak dapat tidur waktu malam dan bedebar-debar (Colemon, 2000)
Menurut Llewellyn (2001), gangguan alam perasaan (mood) negatif dan gangguan fisik pada fase luteal berlangsung cukup berat, sehingga menganggu kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Prawirohardjo (2005), Faktor kejiwaan, masalah dalam keluarga, masalah sosial dan lain-lain juga memegang peranan penting. Yang lebih mudah menderita Sindrom Premenstruasi ialah wanita yang lebih peka terhadap perubahan hormon dalam siklus haid dan terhadap faktor psikologis.
Ansietas atau kecemasan merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan berlebihan dari susunan saraf atonomik (SSA) (Kaplan and Sadock, 1999). Menurut Sanders (1996), bila mengalami stress dan tekanan lain, Sindrom Premenstruasi itu bisa berlangsung lebih lama.
Seseorang yang mengalami stressor psikososial yang ditangkap melalui panca indra akan diteruskan ke susunan saraf pusat yaitu bagian saraf otak yang disebut limbic system melalui transmisi saraf dan selanjutnya melalui susunan saraf outonom akan diteruskan ke kelenjar hormonal yang merupakan system imunitas tubuh dan organ-organ tubuh yang dipersarafinya (Hawari, 2006)
Berdasarkan studi pendahuluan pada hari Jum’at, 16 Maret XXXX terhadap 6 mahasiswi DIV Kebidanan semester II jalur reguler, didapatkan hasil bahwa 6 mahasiswi tersebut mengalami Sindrom Premenstruasi. Gejala yang sering dialami antara lain payudara terasa nyeri, perut kembung, perubahan nafsu makan, mudah tersinggung, mudah marah dan sukar berkonsentrasi. Tiga dari 6 mahasiswi merasa terganggu kegiatannya dengan adanya Sindrom Premenstruasi ini.
Agar gejala-gejala Sindrom Premenstruasi tidak mengganggu kegiatan belajar mahasiswi dan hubungan dengan lingkungannya, maka peneliti ingin meneliti hubungan antara tingkat kecemasan dengan Sindrom Premenstruasi.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Adakah Hubungan antara Tingkat Kecemasan dengan Sindrom Premenstruasi pada Mahasiswi DIV Kebidanan X?”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan antara Tingkat Kecemasan dengan Sindrom Premenstruasi Pada Mahasiswi DIV Kebidanan X.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat kecemasan mahasiswa DIV Kebidanan.
b. Untuk mengetahui gejala Sindrom Premenstruasi yang dialami mahasiswi DIV Kebidanan.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritik : Menambah pengetahuan tentang tingkat kecemasan yang berkaitan dengan Sindrom Premenstruasi.
2. Maanfaat Praktis:
a. Bagi pemberi pelayanan kesehatan, hasil penelitian diharapkan bisa menjadi acuan dalam pemberian penyuluhan kesehatan reproduksi remaja.
b. Perlu tidaknya intervensi psikiatrik pada mahasiswi dengan Sindrom Premenstruasi yang disebabkan oleh kecemasan.
Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Tingkat Kepuasan Pelayanan Pasien Rawat Inap Di Ruang Kebidanan Kandungan Rumah Sakit X

Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Tingkat Kepuasan Pelayanan Pasien Rawat Inap Di Ruang Kebidanan Kandungan Rumah Sakit X

(Kode KEBIDANN-0002) : Karya Tulis Ilmiah (KTI) D-IV Tingkat Kepuasan Pelayanan Pasien Rawat Inap Di Ruang Kebidanan Kandungan Rumah Sakit X

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi, persaingan menjadi sangat tajam baik dari pasar domestik maupun di pasar internasional, dan hal ini mulai berkembang dalam industri jasa rumah sakit. Rumah sakit sebagai industri mempunyai fungsi social dan ekonomi. Persaingan dalam industi jasa adalah dengan memberikan pelayanan yang cepat, tepat, dan handal. Untuk memenangkan persaingan rumah sakit harus mampu memberikan kepuasan kepada pelanggan. (Supranto, 2001)
Prioritas utama Departemen Kesehatan adalah memperluas jangkauan serta pemerataan pelayanan kesehatan dengan berbagai program dan sejak repelita V telah mulai dicanangkan peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Namun dalam pelaksanaanya belum menunjukan hasil yang signifikan.
Keadaan ini terbukti dari data yang disajikan yaitu banyaknya keluhan pasien, masyarakat, dan LSM terhadap mutu pelayanan kesehatan. (Pohan, 2003)
Menurut data yang diambil oleh Roesmil Kusnandi di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, didapat 80,7% pasien merasa tidak puas dengan pelayanan di poliklinik rawat jalan. (Roesmil, 2000)
Pendekatan jaminan mutu pelayanan kesehatan selalu menggunakan data yang akurat, sehingga setiap pengambilan keputusan dapat dilaksanakan berdasarkan fakta. Penggunaan data akan membangun prilaku jujur, “evidence based”, dan logis. Keberhasilan penerapan pendekatan jaminan mutu pelayanan kesehatan akan menimbulkan kepuasan pasien, sehingga tuntutan pasien terhadap petugas kesehatan dapat dihindari jika pelayanan kesehatan menerapkan pendekatan jaminan mutu pelayanan kesehatan. (Pohan, 2003)
Bagian rawat inap merupakan indikator kerja rumah sakit untuk memikat pasien. Bila kualitas pelayanan medisnya tidak senantiasa dipelihara dan ditingkatkan, besar kemungkinan jumlah pasien akan menyusut. Selain itu dengan meningkatnya jumlah pasien rawat inap akan meningkatkan rasio tingkat hunian atau BOR (Bed Occupancy Rate) sehingga pendapatan rumah sakit akan meningkat.
Rumah sakit X merupakan rumah sakit swasta di kabupaten X sekaligus rumah sakit yang digunakan sebagai lahan praktek mahasiswa. Rumah sakit ini sudah berdiri selama delapan belas tahun, tetapi untuk pelayanan khusus kebidanan baru berdiri selama tiga tahun dan sampai saat ini, belum pernah diteliti tentang tingkat kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan, sehingga belum dapat diketahui tingkat penerimaan masyarakat dengan hadinya rumah sakit ini.
Menurut data yang ada pada periode Januari-Desember XXXX, jumlah pasien rawat inap adalah 540 pasien dengan 12 kapasitas tempat tidur untuk pasien kebidanan dan kandungan serta BOR 30%. Faktor kepuasan pasien terhadap pelayanan kesehatan akan mempengaruhi jumlah kunjungan. Apabila pasien tidak puas (misal menunggu terlalu lama, ”provider” kurang ramah, ketrampilanya juga kurang), akan membuat pasien kecewa. Faktor kepuasan pasien juga dapat menciptakan persepsi masyarakat tentang citra rumah sakit.
Dengan dilakukanya pengukuran tingkat kepuasan pasien pada pelayanan akan tersedia umpan balik yang segera, berarti, dan objektif.
Berdasarkan hasil pengukuran, orang lain dapat melihat bagaimana mereka melakukan pekerjaanya, membandingkan dengan standart kerja, dan memutuskan untuk melakukan perbaikan.

B. Identifikasi Masalah
Bagaimanakah tingkat kepuasan pasien rawat inap di ruang kebidanan dan kandungan RS X?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap di ruang kebidanan dan kandungan RS X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap di ruang kebidanan dan kandungan RS X terhadap kualitas pelayanan kesehatan dari dimensi tampilan.
b. Mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap di ruang kebidanan dan kandungan RS X terhadap kualitas pelayanan kesehatan dari dimensi kehandalan.
c. Mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap di ruang kebidanan dan kandungan RS X terhadap kualitas pelayanan kesehatan dari dimensi ketanggapan.
d. Mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap diruang kebidanan dan kandungan RS X terhadap kualitas pelayanan kesehatan dari dimensi jaminan.
e. Mengetahui tingkat kepuasan pasien rawat inap di RS X terhadap kualitas pelayanan kesehatan dari dimensi empati.

D. Manfaat
1. Dapat dijadikan bahan evaluasi tentang bagaimana jalanya pelayanan yang telah di berikan selama ini.
2. Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan strategi pengambilan keputusan dalam perbaikan kualitas pelayanan.
3. Dapat dijadikan dasar menentukan standar kerja dan standart prestasi yang harus di capai menuju mutu yang semakin baik.
4. Dapat memberikan umpan balik yang segera bagi pelaksana.
Tesis Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan

Tesis Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan

(Kode ILMU-HKMX0030) : Tesis Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bagi Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan, tetapi merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi melakukan tindak pidana di masa yang akan datang. Pancasila sebagai landasan idiil dari sistem pemasyarakatan, menyebutkan adanya keseimbangan dan keselarasan baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungannya dengan masyarakat, hubungannya dengan alam, dengan bangsa-bangsa lain maupun hubungannya dengan Tuhan. Dalam hal ini, Bahrudin Soerjobroto mengemukakan :
Pemasyarakatan dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai kesatuan hidup, kehidupan dan penghidupan yang terjalin antara individu pelanggar hukum dengan pribadinya sebagai manusia, antara pelanggar dengan sesama manusia, antara pelanggar dengan masyarakat serta alamnya, kesemuanya dalam lindungan Tuhan Yang Maha Esa.1
Sejalan dengan perkembangan paradigma yang terus berubah di tengah-tengah masyarakat serta upaya penegakan hak asasi manusia dalam sistem tata peradilan pidana, maka dilakukan pembenahan serta perubahan-perubahan pada sistem kepenjaraan melalui payung hukum pemasyarakatan yaitu Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Untuk mengadopsi norma-norma hukum lama yang masih relevan maupun instrumen internasional, aspek sosial, maupun opini masyarakat. Perubahan paradigma sosial, budaya, ekonomi dan hukum dalam masyarakat merupakan hasil interaksi sosial pada tataran internasioanal yang dampaknya berimbas pada kondisi nasional, dampak tersebut cukup berpengaruh terhadap perkembangan sistem tata peradilan pidana di Indonesia termasuk sistem perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan.3 Lembaga Pemasyarakatan di mata masyarakat dipandang berfungsi sebagai tempat membatasi ruang gerak orang yang dijatuhi hukuman pidana penjara. Oleh karena itu masyarakat umum lebih mengenal sebagai penjara dari pada Lembaga Pemasyarakatan. Fungsi pemenjaraan ini lebih merupakan usaha untuk memastikan bahwa terpidana tidak akan mengulangi perbuatannya sepanjang masa penghukumannya. Dengan kata lain fungsi pemenjaraan merupakan strategi untuk membuat agar terpidana tidak mampu melakukan pelanggaran hukum, atau dalam konsep penologi disebut incapacitation.4Menurut Moeljatno :
Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh faktor kondisi ekonomi yang buruk pada golongan rakyat yang memiliki status sosial dan ekonominya rendah dan yang biasanya memiliki banyak anak, ditambah lagi dengan adanya kemungkinan faktor lain seperti korelasi antara besarnya keluarga dan kurangnya mental orang tua, serta kurangnya pengawasan terhadap anak. 5
Pembaharuan sistem pidana penjara secara lebih manusiawi dengan tidak melakukan perampasan hak-hak serta kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan, melainkan hanya pembatasan kemerdekaan yang wajar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan norma-norma yang ada di masyarakat, merupakan dasar pertimbangan sistem pemasyarakatan yang bertujuan untuk mempersiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dan bertanggung jawab di masyarakat.6Perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dengan sistem pembinaan pemasyarakatan disamping untuk mencegah diulangnya kejahatan serta perlindungan terhadap masyarakat, juga berupaya untuk mengintegrasikan warga binaan pemasyarakatan dalam derap langkah kehidupan masyarakat yang dinamis. Ditempatkannya warga binaan pemasyarakatan di masyarakat, diharapkan melalui pembinaan yang terus menerus akan tumbuh partisipasi masyarakat terhadap sistem pembinaan bagi warga binaan pemasyarakatan, yang sangat diperlukan bagi keberhasilan sistem pembinaan. Harus disadari walaupun pembinaan yang diberikan selama di Lembaga Pemasyarakatan itu baik, tetapi kalau narapidana itu sendiri tidak sanggup ataupun masyarakat itu sendiri yang tidak mau menerimanya, maka pembinaan tidak akan mencapai sasarannya. Konsekuensi terhadap dilaksanakannya perlakuan yang memfokuskan kegiatan narapidana di tengah-tengah masyarakat, maka selesainya masa pidana itu pun tidak berakhir di Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi berakhir di tengah-tengah masyarakat.
Dalam rangka mewujudkan sistem pembinaan pemasyarakatan, salah satu upaya yang ditempuh adalah pelaksanaan pemberian Cuti Menjelang Bebas (CMB), yang merupakan bagian dari hak-hak warga binaan pemasyarakatan. Pelaksanaan pemberian hak-hak warga binaan pemasyarakatan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo. Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Cuti Menjelang Bebas (CMB) adalah proses pembinaan narapidana dan anak pidana yang dipidana satu tahun keatas, di luar Lembaga Pemasyarakatan untuk beberapa waktu sebesar remisi terakhir maksimum 6 (enam) bulan, setelah menjalani ? (dua pertiga) masa pidana, sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan berkelakuan baik.7
Sering terjadi kerancuan penafsiran antara cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat dan pidana bersyarat. Untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani ? (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak tanggal penahanan dengan ketentuan ? (dua pertiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Sisa masa pidana tidak perlu dijalani selama ia tidak melanggar syarat-syarat yang ditetapkan untuk itu. Sedangkan untuk pidana bersyarat, hukuman terhadap terpidana tetap dijatuhkan tetapi tidak perlu dijalani, kecuali jika dikemudian hari ternyata terpidana sebelum habis masa percobaan berbuat sesuatu tindak pidana lagi atau melanggar syarat-syarat yang diberikan kepadanya oleh hakim, jadi keputusan hukum tetap ada hanya pelaksanaan hukuman itu yang tidak dilaksanakan.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, disebutkan :
Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.
Dasar dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 adalah sebagai sarana penunjang pelaksanaan hak-hak warga binaan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam pasal-pasal tersebut hak-hak warga binaan diatur dan dijamin, mengingat adanya pengakuan hak-hak asasi manusia dan nilai kemanusiaan mengharuskan mereka diperlakukan sebagai subjek, dimana kedudukannya sejajar dengan manusia lain. Pemidanaan tidak lagi ditujukan sebagai efek penjeraan, melainkan sebagai upaya preventif atau mencegah terjadinya kejahatan.
Berdasarkan praktek di Lembaga Pemasyarakatan pada umumnya, ternyata pemberian hak-hak narapidana khususnya tentang pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) tidak efektif dan optimal, karena ada narapidana yang tidak memperoleh remisi sehingga tidak dapat diberikan hak Cuti Menjelang Bebas (CMB).
Bertitik tolak dari kenyataan di Lembaga Pemasyarakatan tersebut di atas dan uraian penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan bagaimana pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini jika dihubungkan dengan Permen Hukum dan HAM RI No. M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, mendorong minat Penulis untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan”.

B. Perumusan Masalah
Masalah adalah setiap persoalan dalam kesulitan yang menggerakkan manusia untuk memecahkannya.8Rumusan masalah ini dimaksudkan untuk penegasan masalah-masalah yang akan diteliti, guna mempermudah pencapaian sasaran dan tujuan penelitian. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ?
2. Apakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan ?
3. Upaya-upaya apakah yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan?

C. Tujuan Penelitian
Seiring dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
2. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
3. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian
Dalam suatu penelitian, perumusan terhadap suatu permasalahan yang dihadapi selalu dikaitkan dengan kemanfaatan penelitian baik dalam praktek maupun dalam teori.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya yang berhubungan dengan sistem pembinaan narapidana.
b. Dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang Pemasyarakatan.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan penjelasan hal ikhwal mengenai pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan.
b. Dapat mengungkapkan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut.

E. Keaslian Penelitian
Penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini merupakan pendalaman dari Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.01.PK.04-10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Berdasarkan penelusuran studi kepustakaan dan pemantauan yang penulis lakukan di Perpustakaan Universitas X tentang penelitian “Pelaksanaan Cuti Menjelang Bebas (CMB) Bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan”, belum pernah ada dilakukan penelitian dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama. Oleh karena itu, menurut penulis, penelitan ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi seorang peneliti.
Tesis Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP

Tesis Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP

(Kode ILMU-HKMX0029) : Tesis Pengaturan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Ketentuan Pidana Di Luar KUHP

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Banyak hal dalam kehidupan kita dipengaruhi oleh korporasi, apabila pengaruhnya positif tentu tidak perlu dirisaukan, akan tetapi justru banyak dari pengaruh tersebut yang merugikan individu dan masyarakat secara luas. Timbulnya kejahatan korporasi disadari oleh dunia Internasional, hal ini ditandai dengan adanya kongres PBB ke V tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggaran Hukum (the Prevention of Crime and Treatment of Offender) pada tahun 1975 dan dipertegas kembali dalam kongres PBB VII tahun 1985, yang menunjukkan terdapat kejahatan-kejahatan bentuk baru dilakukan oleh korporasi.1
Korporasi tersebut bukanlah barang baru melainkan barang lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradapan dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan beserta kompleksitasnya. Disisi lain ketentuan pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya, sehingga banyak bermunculan tindakan-tindakan ilegal namun tidak dapat dikategorikan sebagai crime. Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi karena adanya kerugian (harm) yang mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana atau criminal liability. Persoalan yang mengundang perdebatan adalah bagaimana menerapkan pertanggungjawaban pada tindak pidana korporasi atau corporate liability, mengingat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia pada Pasal 59 yang dianggap sebagai subjek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person).
KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana. 4 Asas ini sebetulnya berlaku pada abad yang lalu diseluruh negara Eropa kontingental. Hal ini sejalan dengan pendapat hukum pidana individualistik dari aliran klasik yang berlaku pada waktu itu, kemudian juga dari aliran positif dalam hukum pidana. Pada memori penjelasan KUHP yang diberlakukan pada tanggal 1 September 1886 disebutkan bahwa suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh perorangan (naturlijke person). Pemikiran fiksi tentang sifat badan hukum tidak berlaku pada bidang hukum pidana.5
Seiring dengan perkembangan zaman akhirnya korporasi diterima sebagai subjek tindak pidana hal ini diawali dengan adanya Undang-Undang No. 7 Drt. 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, pada Pasal 15 yang menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana. Setelah itu diikuti dengan berbagai undang-undang lainnya, seperti Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga faktanya sekarang pengaturan tentang berbagai masalah dalam masyarakat dominan diatur di luar KUHP. Diterimanya korporasi sebagai subjek hukum menjadikan korporasi dapat bertindak seperti manusia, keberadaan dan ihwal korporasi seperti hak, kewajiban, tindakan hingga tanggungjawabnya ditentukan oleh undang-undang. Selain itu dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum membawa dampak yang positif dalam aktivitas bisnis karena dapat menguasai kumpulan modal dari banyak orang di atas suatu jangka waktu yang tidak dipengaruhi oleh kematian atau penarikan diri dari individu-individu, akan tetapi di sisi lain juga menimbulkan perluasan dari pengertian siapa yang merupakan pelaku tindak pidana (dader).
Permasalahan akan segera muncul sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana dari korporasi, karena asas utama dari pertanggungjawaban pidana adalah harus ada kesalahan (schuld) pada pelaku, sehingga bagaimanakah harus mengkonstruksikan kesalahan dari suatu korporasi, serta bagaimana pertanggungjawaban pidana dan unsur kesalahan pada korporasi, apakah tetap dapat dipertahankan seperti halnya pada manusia. Konsekuensi dari persoalan tersebut menjadikan peraturan perundang-undangan yang tidak spesifik merumuskan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi sulit untuk diaplikasikan sehingga memungkinkan timbulnya berbagai penafsiran.6
Menghindari berbagai penafsiran tersebut, sudah seharusnyalah undang-undang yang memuat tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dirumuskan secara spesifik. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memenuhi rumusan kebijakan legislasi menyangkut sistem pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana. 7
Kebijakan legislasi yang berlaku pada saat ini khususnya yang memuat tentang pertanggungjawaban korporasi meliputi, perumusan perbuatan yang dilarang (dalam hal apa dan bagaimana suatu kejahatan dikatakan sebagai kejahatan korporasi) dan penentuan kesalahan pelaku masih kurang jelas, begitu juga dalam menentukan siapa-siapa yang dapat melakukan tindak pidana tersebut. Penentuan kesalahan korporasi, yang merupakan urat nadinya hukum pidana juga sangat sulit, karena kesalahan yang dilimpahkan kepada korporasi bukanlah korporasi secara pribadi, sebab pada hakikatnya yang melakukan tindak pidana adalah orang (pengurus korporasi). Begitu juga masalah sanksi pidana yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berhubungan dangan pertanggungjawaban korporasi, belum tertata secara jelas mana yang pidana pokok, pidana tambahan serta tindakan. Meskipun hal tersebut telah ada tetapi apa dasarnya menetapkan suatu sanksi sebagai pidana pokok atau pidana tambahan, undang-undang tidak menjelaskan.
Akibat dari ketidak jelasan tersebut akan terjadi keragu-raguan pada majelis hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana, sehingga kecil kemungkinan terealisasinya kepastian hukum dan peraturan hukum yang ideal. 9 Selain itu berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah khususnya oleh aparatur penegak hukum dalam penanganan masalah kejahatan korporasi masih beranjak dari paradigma lama yakni melihat konsep kejahatan secara konvensional, berakibat penanganannya juga tidak berbeda dengan penanganan kejahatan konvensional lainnya.10
Permasalahan tersebut akan semakin berpengaruh dalam aspek hukum kehidupan masyarakat karena pada semua tingkat di dalam korporasi terdapat pelembagaan mengenai ketidak bertanggungjawaban dengan membiarkan korporasi menjalankan fungsinya, namun dibalik itu seolah-olah membiarkan individu-individu dalam korporasi tertutup oleh tirai yang seakan-akan bertindak sesuai dengan moral. Begitu juga pejabat-pejabat yang lebih tinggi dapat membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban dengan memberikan alasan bahwa tindakan–tindakan ilegal dalam mencapai tujuan-tujuan korporasi yang begitu luas berlangsung tanpa sepengatahuan mereka. Begitu pula dengan pendelegasian tanggungjawab dan perintah yang tidak tertulis menjaga mereka yang di puncak struktur korporasi jauh dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh keputusan-keputusan dan perintah mereka, seperti halnya para pimpinan kejahatan terorganisir, kekayaan tetap tidak tersentuh hukum.11Dilatarbelakangi oleh begitu kompleksnya persoalan pertanggungjawaban pidana korporsi pada tindak pidana di luar KUHP tersebut maka sudah sepatutnyalah masalah penting ini diangkat sebagai suatu karya ilmiah. B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut :
1. Bagaimanakah konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana?
2. Bagaimanakah pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana di luar KUHP?
3. Bagaimanakah kebijakan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana?

C. Tujuan Penelitian :
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui rumusan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam hukum pidana.
2. Mengetahui pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana di luar KUHP.
3. Mengetahui kebijakan pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam rangka pembaharuan hukum pidana.

D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan-tujuan tersebut di atas, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya :
1. Secara teoritis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran secara teoritis terhadap penanganan pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak pidana di luar KUHP.
2. Secara praktis :
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
a. Aparat penegak hukum agar dapat mengetahui bagaimana pertanggungjawaban korporasi terhadap tindak pidana diluar KUHP tersebut sehingga memudahkan dalam penangangan tindak pidana korporasi.
b. Bagi pemerintah sebagai sumbangan pemikiran terhadap pembaharuan hukum pidana dalam perumusan perundang-undangan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi pada tindak pidana diluar KUHP sehingga penegakan hukum yang menyangkut tindak pidana korporasi dapat dilakukan dengan baik.
c. Bagi akademisi sebagai langkah awal dalam pengembangan dan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui inventarisasi perundang-undangan khususnya dalam hal mengetahui prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.

E. Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan judul ”Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Di Luar KUHP” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas X, akan tetapi isu hukum yang berkaitan dengan korporasi telah pernah diteliti oleh beberapa orang yakni :
1. Mahmud Mulyadi, tesis pada tahun 2001 dengan judul proses pembuktian dan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup.
2. Edy Yunara, tesis pada tahun 2004 dengan judul pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana korupsi.
3. Zairida, tesis pada tahun 2005 dengan judul pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.
Permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak serta elektronik. Mangacu kepada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Tesis Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah

Tesis Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah

(Kode ILMU-HKMX0028) : Tesis Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lembaga perbankan merupakan salah satu lembaga yang mempunyai peran yang sangat strategi dalam pembangunan Indonesia. Hal ini tidak dapat disangkal bahwa dalam mencapai tujuan pembangunan nasional yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Peran yang sangat strategis dari bank sebagai suatu badan usaha adalah bank yang mempunyai fungsi untuk menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan dana yang dihimpun tersebut kepada masyarakat.1 Bank sebagai lembaga keuangan diharapkan dapat menyerasikan, menyelaraskan, serta menyeimbangkan unsur pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional yang pada akhirnya mengarah pada peningkatan taraf hidup masyarakat dan peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Keberadaan bank sangat krusial bagi perekonomian suatu negara, karena itu asset bank dalam bentuk kepercayaan masyarakat sangat penting dijaga guna meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi serta untuk mencegah terjadinya bank runs and panic. 2 Oleh Karena itu perbankan harus dapat bekerja secara profesional, mampu membaca, menelaah, dan menganalisis semua kegiatan dunia usaha serta perekonomian nasional. Mempunyai entrepreneurship dan kemampuan membaca pasar agar dapat menjalankan fungsi intermediasi dengan baik, sebagaimana dimaksud Pasal 1 Angka 2.
Untuk mencapai tujuan tersebut badan pengawas bank perlu memiliki kewenangan luas untuk mengatur dan mengawasi industri perbankan. Kewenangan tersebut antara lain kewenangan menetapkan besarnya modal yang harus dimiliki, besarnya kredit yang boleh diberikan kepada suatu perusahaan, siapa yang boleh menjadi pengurus bank dan sebagainya. Kewenangan mengawasi diberikan dengan tujuan untuk memonitor apakah bank tersebut melakukan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlu dikaji untuk memberikan kewenangan penyidikan kepada badan pengawas. Kewenangan tersebut bertujuan untuk melindungi nasabah, melindungi perekonomian dan menjaga agar tidak terjadi konsentrasi bisnis. Perlindungan terhadap nasabah merupakan alasan paling dasar untuk mengawasi bank karena nasabah merupakan target yang mudah bagi pencurian oleh pengurus bank.4
4 Zulkarnain Sitompul.1, Op cit., hal.3.
Bank sebagai suatu lembaga yang hidupnya tergantung dari dana masyarakat yang disimpan pada bank. Agar nasabah bersedia menyimpan dananya kepada bank yang bersangkutan, nasabah harus memiliki kepercayaan bahwa bank tersebut, mau dan membayar kembali dana yang disimpan pada bank pada waktu dana itu ditagih oleh nasabah penyimpan dana. Pada peristiwa beberapa tahun yang lalu banyak bank dilikuidasi oleh pemerintah, para nasabah bank tersebut tidak dapat memperoleh kembali dananya ketika bank-bank tersebut dilikuidasi, maka hancurlah kepercayaan masyarakat terhadap perbankan pada saat itu yang memang berada ditingkat yang rendah. Hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan ditandai dengan terjadinya rush atau bank run dimana masyarakat beramai-ramai menarik dana simpananya dari bank yang belum dilikuidasi terutama dari bank-bank swasta nasional.5
Jika melihat kenyataan pada saat itu tentu rasanya tidak adil bila nasabah harus menanggung keputusan likuidasi akibat kesalahan dalam pengurusan bank. Adalah wajar apabila deposan berhak mendapatkan seluruh dananya berikut bunganya, bukannya dipotong dengan biaya administrasi yang sangat memberatkan. Kenyataanya, bank tidak pernah memberikan agunan apa pun kepada nasabahnya, kecuali modal kepercayaan, sehingga wajar pertanggungjawaban pihak bank diperluas. 6 Untuk itu perlu diupayakan agar masyarakat berkeinginan menyimpan dananya di bank, dan keinginan masyarakat menyimpan uang di bank merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan.7
Untuk mengukur tingkat kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan tercermin dari keinginan masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan perbankan seperti menyimpan atau menginvestasikan uang, mendepositokan dan meminjam uang untuk memulai atau memperluas usaha. Peran dan partisipasi kalangan masyarakat luas ini merupakan sesuatu yang vital bagi industri perbankan itu sendiri maupun kesejahteraan masyarakat umum secara luas yang pada akhirnya berkepentingan pada pembangunan.8
Oleh sebab itu bank sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan, wajib memberikan informasi mengenai risiko kerugian akibat transaksi sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1992 yang dirubah oleh Undang-Undang Nomor. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan khususnya pada Pasal 29 ayat 4. 9
Mengingat peranan dari lembaga perbankan tersebut, maka dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional tidak berlebihan apabila lembaga perbankan ditempatkan begitu strategis dan mendapat perhatian pemerintah melalui pembinaan yang intensif. Semuanya itu didasari oleh landasan pemikiran agar lembaga perbankan di Indonesia mampu berfungsi secara efisien, sehat, wajar dan mampu melindungi secara baik dana yang dititipkan masyarakat kepadanya, serta mampu menyalurkan dana masyarakat tersebut kebidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan.
Bank sebagai suatu lembaga yang melindungi dana nasabah juga berkewajiban menjaga kerahasiaan terhadap dana nasabahnya dari pihak-pihak yang dapat merugikan nasabah. Dan sebaliknya masyarakat yang mempercayakan dananya untuk dikelola oleh bank juga harus dilindungi terhadap tindakan yang semena-mena yang dilakukan oleh bank yang dapat merugikan nasabahnya. Hal ini sangat dibutuhkan karena sebagai lembaga keuangan, bank harus mendapat kepercayaan dari masyarakat, dan kepercayaan dari masyarakat tersebut akan lahir apabila semua data hubungan masyarakat dengan bank tersebut dapat tersimpan secara rapi atau dirahasiakan. Hal demikian membawa konsekuensi kepada bank, yaitu bank memikul kewajiban untuk menjaga kerahasiaan tersebut, sebagai timbal balik dari kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada bank selaku lembaga keuangan atau sumber dana masyarakat. Sebagai suatu badan usaha yang dipercaya oleh masyarakat untuk menghimpun dana masyarakat, sudah sewajarnya bank memberikan jaminan perlindungan kepada nasabah yang berkenaan dengan “keadaan keuangan nasabah” yang lazim dinamakan dengan “Kerahasiaan Bank”. Kerahasiaan bank sangat penting karena bank memerlukan kepercayaan dari masyarakat yang menyimpan uangnya di bank. Nasabah hanya mempercayakan uangnya kepada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila bank memberikan jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan tidak akan disalahgunakan.
Dengan adanya jaminan kerahasian bank atas semua data-data masyarakat dalam hubungannya dengan bank, maka masyarakat mempercayai bank tersebut, kemudian selanjutnya mereka akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank. Kepercayaan masyarakat lahir apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak disalahgunakan, dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. 13
Hubungan antara bank dengan nasabah ternyata tidaklah seperti hubungan kontraktual biasa, tetapi dalam hubungan tersebut terdapat pula kewajiban bagi bank untuk tidak membuka rahasia dari nasabahnya kepada pihak lain manapun jika ditentukan lain oleh perundang-undangan yang berlaku, karena itu dapat dikatakan bahwa hubungan antara lawyer dengan klien, atau dokter dengan pasiennya.14
Dengan adanya ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Ketentuan rahasia bank berlaku bagi pihak-pihak terafiliasi dalam operasional bank. 15 Dengan demikian, istilah rahasia bank mengacu kepada rahasia dalam hubungan antara bank dengan nasabahnya. Sedangkan rahasia-rahasia lain yang bukan merupakan rahasia antara bank dengan nasabahnya, sesungguhnya pun bersifat “rahasia“ tidak tergolong ke dalam istilah ”rahasia bank” menurut undang-undang perbankan.16 Rahasia-rahasia lain yang bukan rahasia bank tersebut misalnya rahasia mengenai data dalam hubungan dengan pengawasan bank oleh Bank Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Ayat (3), dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.17
Seiring dengan kemajuan teknologi dewasa ini salah satu wujud kerahasian dan perlindungan nasabah bank adalah dengan diluncurkannya kartu ATM (Anjungan Tunai Mandiri) sebagai salah satu fasilitas yang disediakan oleh bank. Banyak bank saat ini telah menyediakan fasilitas kartu ATM sebagai wujud rahasia dan perlindungan terhadap nasabahnya. 18
Sutan Remy Sjahdeini mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ketentuan ketat mengenai kerahasiaan bank. Pelanggaran terhadap kerahasiaan bank adalah merupakan tindak pidana, karena begitu ketatnya ketentuan rahasia bank di Indonesia, hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pidana yang berhubungan dengan rahasia bank harus memperoleh izin dari Menteri Keuangan. Tentu saja ini bertentangan dengan Pasal 24 Undang Undang Dasar 1945, 19 Karena menurut ketentuan didalam Undang-Undang Dasar 1945 bahwa di dalam mengadili suatu perkara baik pidana maupun perdata hakim memiliki kekuasaan yang merdeka, dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial 20. Ketatnya ketentuan rahasia bank di Indonesia memungkinkan terjadinya tindak pidana pencucian uang (money laundering) seperti peredaran uang-uang hasil perdagangan narkotika, perjudian, penyuapan, terorisme dan lain-lain. Oleh sebab itu ketentuan rahasia bank perlu diperlonggar.
Thomas Suyatno mengatakan bahwa ketentuan rahasia bank sangat diperlukan di dalam operasional bank, tetapi penerapannya jangan terlalu kaku. Masalah rahasia bank berhubungan dengan prilaku bankir dan pihak lain yang terlibat. Ketentuan rahasia bank yang tercantum pada Bab VII Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang kemudian dirubah oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, sebab bank harus melindungi dana nasabahnya. Bank yang membocorkan informasi layak dikenakan sanksi berat.
Untuk mengurangi risiko itulah maka setiap bank diwajibkan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian. Salah satu upaya dalam melaksanakan prinsip kehati-hatian adalah penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer Prinsiple). 23 Selain prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer Principle) dalam operasional perbankan prinsip keterbukaan juga dibutuhkan dalam melindungi nasabah. Berdasarkan hal-hal di atas, penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini untuk diteliti dan dibahas yang pada akhirnya menjadikan penelitian ini berjudul “Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah untuk dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Mengapa bank wajib menjaga kerahasiaan dalam melindungi nasabahnya?
2. Apakah terdapat hubungan antara penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer Principle) dengan rahasia bank dalam melindungi nasabah?
3. Perlukah ketentuan rahasia bank diperlonggar untuk mencegah/memberantas kejahatan.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini mempunyai tujuan penelitian yang diinginkan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui alasan bank menjaga kerahasiaan dalam melindungi nasabahnya.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan ruang lingkup rahasia bank telah memberikan perlindungan kepada nasabah.
3. Untuk mengetahui perlu tidaknya ketentuan rahasia bank diperlonggar dalam mencegah/memberantas kejahatan

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari Penelitian ini dapat dilihat dari 2 (dua) sisi yaitu :
1. Secara teoritis, Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan hukum perbankan Indonesia terutama yang berhubungan dengan kerahasiaan bank (confidencia bank).
2. Secara praktis, memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat dan pihak-pihak yang berhubungan dengan kerahasiaan bank (confidential bank) sebagai wujud perlindungan nasabah.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan diperpustakaaan khususnya pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas X, penelitian dengan judul “Menjaga Kerahasiaan Bank Sebagai Wujud Perlindungan Nasabah”, belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya dengan demikian penelitian ini adalah baru pertama kali.
Tesis Perlindungan Hukum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Tesis Perlindungan Hukum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

(Kode ILMU-HKMX0027) : Tesis Perlindungan Hukum Terhadap Petugas Pemasyarakatan Di Dalam Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan kehidupan manusia baik dalam segi industri, ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan pada era sekarang ini sangat berpengaruh terhadap prikehidupan manusia sebagai makhluk pribadi (person) atau orang yang hidup, baik sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan negara secara universal. Hal lain yang paling sering menjadi obyek yang mendapat perhatian besar dan serius adalah masalah yang berkaitan dengan manusia yang mempunyai hak-hak dasar yang merupakan hak mutlak yang harus dilindungi, dijaga, dan harus dipertahankan, apalagi dalam suatu negara hukum.
Sistem peradilan pidana yang merupakan terjemahan dari criminal justice system secara singkat dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat yang digunakan untuk menanggulangi berbagai tindak kejahatan, sehingga hal tersebut dapat tetap terjaga sesuai dengan batas-batas toleransi masyarakat. Gambaran ini hanyalah salah satu dari tujuan sistem peradilan pidana yang ada secara universal, sehingga cakupan sistem peradilan pidana itu memang dapat dikatakan luas yaitu :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan pelaku kejahatan telah di pidana, dan
c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu tidak mengulangi lagi.2
Sebagai suatu sistem yang saling terkait, maka diharapkan adanya suatu kerjasama yang terintegrasi di antara perangkat-perangkat yang terkait di dalamnya. Jika terdapat kelemahan pada salah satu komponen yang ada di dalamnya, maka akan sangat mempengaruhi kinerja komponen lain dalam suatu sistem yang terintegrasi itu, bahkan kadang ada suatu kecenderungan yang kuat dalam suatu sistem peradilan pidana itu untuk memperluas komponen sistemnya, dalam pengertian law enforcement officer, yaitu sampai kepada pengacara atau advokat.3
Menurut Amir Syamsudin, penegakan hukum tidak mungkin terlepas dari pembicaraan atau pembahasan mengenai aparaturnya. Upaya penegakan hukum tentu saja harus ada aktornya. Sejauh ini ditemukan dan dirasakan fakta adanya penegakan hukum yang terus-menerus dilakukan, tetapi outputnya tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Kenapa hal ini terjadi? Hal ini dikarenakan gagalnya proses penegakan hukum yang dilakoni selama ini. Salah satu penyebab utama adalah integritas penegak hukum yang rendah.4
Ada empat faktor yang menandai kondisi gagalnya proses penegakan hukum di Indonesia. Pertama, ketidakmandirian hukum, Kedua, integritas penegak hukum yang buruk, Ketiga, kondisi masyarakat yang rapuh dan sedang mengalami Pseudoreformatif Syndrome, dan Keempat, pertumbuhan hukum yang mandek. Secara konkretnya, kegagalan proses penegakan hukum bersumber dari substansi peraturan perundang-undangan yang tidak berkeadilan, aparat penegak hukum yang korup, dan budaya masyarakat yang buruk serta lemahnya kelembagaan hukum.5 Untuk mencapai suatu suasana kehidupan masyarakat hukum yang mampu menegakkan kepastian hukum dan sekaligus mencerminkan rasa keadilan masyarakat maka diperlukan beberapa faktor.
1. Adanya suatu perangkat hukum yang demokratis (aspiratif).
2. Adanya struktur birokrasi kelembagaan hukum yang efisien dan efektif serta transparan dan akuntabel.
3. Adanya aparat hukum dan profesi hukum yang profesional memiliki integritas moral yang tinggi.
4. Adanya budaya yang yang menghormati, taat dan menunjang tinggi nilai-nilai hukum dan HAM menegakkan supremasi hukum (rule of law)6.
Bertolak dari pengertian kekuasaan kehakiman dalam arti luas seperti dikemukakan di atas, maka .kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. artinya harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana. Artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman dalam arti luas yaitu kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, maka .kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri. harus pula terwujud dalam keseluruhan proses penegakan hukum pidana, artinya keseluruhan kekuasaan kehakiman di bidang penegakan hukum pidana (yaitu .kekuasaan penyidikan., kekuasaan penuntutan., .kekuasaan mengadili., dan .kekuasaan eksekusi pidana., seharusnya merdeka dan mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah/eksekutif. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri harus terwujud dalam keseluruhan proses dalam sistem peradilan pidana (SPP) harus merdeka dan mandiri. Tidaklah ada artinya apabila kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri itu hanya ada pada salah satu sub sistem (yaitu pada sub sistem .kekuasaan mengadili.).7
Kebijakan pengembangan/peningkatan kualitas aparat penegak hukum tentunya terkait dengan berbagai aspek yang mempengaruhi kualitas aparat penegak hukum itu sendiri. Berbagai aspek itu dapat mencakup kualitas individual (SDM) kualitas institusional/kelembagaan, kualitas mekanisme tata kerja/manajemen, kualitas sarana/prasarana, kualitas substansi hukum/perundang-undangan, dan kualitas lingkungan (kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya, termasuk budaya hukum masyarakat). Dengan demikian upaya peningkatan kualitas aparat penegak hukum/penegakan hukum harus mencakup keseluruhan aspek/kualitas yang mempengaruhi kualitas penegakan hukum.
Pada prinsipnya dalam paham negara hukum .rechtstaat. terkandung asas supremasi hukum (supremacy law) asas persamaan kedudukan di depan hukum bagi setiap orang (equality before the law) dan asas perlindungan terhadap hak asasi manusia.8
Dalam KUHAP dimuat ketentuan yang menjalin instansi-instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerjasama yang dititik beratkan bukan hanya untuk menjernihkan tugas wewenang dan efisiensi kerja, tetapi juga diarahkan untuk terbina suatu tim aparat penegak hukum yang dibebani tugas dan tanggung jawab saling mengawasi dalam .sistem checking. antara sesama mereka. Bahkan sistem ini bukan hanya meliputi antara instansi pejabat lembaga pemasyarakatan, penasehat hukum, dan keluarga tersangka/terdakwa. Dengan adanya penggarisan penguasaan yang berbentuk checking, KUHP telah menciptakan dua bentuk sistem pengawasan dalam pelaksanaan penegakan hukum di negara Indonesia : 9
Pertama; built in control pengawasan ini dilaksanakan berdasarkan struktural oleh masing-masing instansi menurut jenjang pengawasan (span of control) oleh atasan kepada bawahan. Pengawasan built in control merupakan pengawasan yang dengan sendirinya ada pada struktur organisasi jawatan.
Kedua; demi tercapainya penegakan hukum yang lebih bersih dan manusiawi, penegakan hukum harus diawasi dengan baik. Semakin baik dan teratur mekanisme pengawasan dalam suatu satuan kerja, semakin tinggi prestasi kerja. Karena dengan mekanisme pengawasan yang teratur, setiap saat dapat diketahui penyimpangan yang terjadi. Jika sedini mungkin penyimpangan dapat dimonitor, masih mudah untuk mengembalikan penyimpangan tersebut ke arah tujuan dan sasaran yang hendak dicapai/sebenarnya.
Untuk memperkecil terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan penegakan hukum, KUHAP telah mengatur suatu sistem pengawasan yang berbentuk .sistem checking. di antara sesama instansi. Malah di dalamnya ikut terlibat peran tersangka/terdakwa atau penasihat hukum. Sistem checking ini merupakan hubungan koordinasi fungsional dan instansional. Hal ini berarti, masing-masing instansi sama-sama berdiri setaraf dan sejajar antara instansi yang satu dengan yang lain, tidak ada yang berada di bawah atau di atas instansi yang lain. Yang ada adalah .koordinasi pelaksanaan fungsi. penegakan hukum antara instansi. Masing-masing melaksanakan ketentuan wewenang dan tanggung jawab demi kelancaran dan kelanjutan penyelesaian proses penegakan hukum. Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan dan kekeliruan pada satu instansi dapat mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum.0
Penekanannya dititik beratkan pada cita .cara pelaksanaan. aparat penegak hukum terhadap setiap manusia yang berhadapan dengan mereka. Setiap manusia, apakah dia tersangka atau terdakwa harus diperlakukan :
a. Sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan harga diri.
Mereka bukan benda mati atau hewan yang boleh diperlakukan sesuka hati, mereka bukan barang dagangan yang dapat diperas dan dieksploitasi untuk memperkaya dan mencari keuntungan bagi pejabat penegak hukum.
b. Mereka harus diperlakukan dengan cara yang manusiawi dan beradab.
Tersangka dan terdakwa bukan binatang dan bukan sampah masyarakat yang dapat diperlakukan dengan kasar, kejam dan bengis, mereka adalah manusia yang harus diakui dan dihargai :
1. Sebagai manusia yang mempunyai derajat yang sama dengan manusia lain atau equal and dignitiy.
2. Mempunyai hak perlindungan hukum yang sama dengan manusia selebihnya atau equal protection on the law.
3. Mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, serta perlakuan keadilan yang sama di bawah hukum (equal before the law and equal justice under the law).1
Dengan landasan filosofis kemanusiaan diharapkan suatu penegakan hukum yang luhur dan berbudi yang menempatkan kedudukan aparat penegak hukum sebagai pengendali hukum demi mempertahankan perlindungan dan ketertiban masyarakat pada suatu pihak, dan pada pihak lain menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai subjek hukum yang berhak mempertahankan derajat martabatnya di depan hukum, dan aparat penegak hukum harus melindungi hak kemanusiaannya.
Budaya hukum merupakan unsur pendukung lain yang sangat erat kaitannya dengan penegakan hak asasi manusia di era globalisasi. Budaya hukum (legal culture) merupakan salah satu unsur penting yang ada dalam rangka penegakan hukum. Selain struktur dan substansi hukum, untuk mengetahui mengapa legal culture sangat penting dalam menentukan suatu sistem hukum dapat berjalan atau tidak sebagaimana diharapkan oleh para pembuat sistem hukum tersebut, maka dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Lawrence. M. Friedman, sebagai berikut :
Working legal system can be analyzed further into three kinds of components. Some are structural the institusion themselves, the from they take, the process that they perform : These are structure. Structure includes the number and the type of courts, presence of absence of constitusion, presence of absence of federalism pluralism, devision of power between judges legislator in various institusion, and the like. Other component are substantive, this is the out put side of the legal system. These are the laws them selvesthe rules doctrines, statutes, and decress to the extent they are actually used by the rules and ruled; And in addition, all other rules and the decisions which govern, whatever their formal statutes others elementsin in the systems are cultural. These are the values and attitudes whics binds the system together and wich determine the place of the legal system in culuire of a society as a whole. What kind of training and habbits do the lawyers and judges have.? What do people thing of law?, do groups or individual willingly go to court? For what pur posedo people turn of lawyers, for what purpose do they make of other officials and inter mediarries? Islam there respect for law, govertmen traditions? what Islam the relationship between class structure and the use of legal instutions? who prefers which kind of controls and why.2
Suatu sistem hukum yang bekerja dapat dianalisa lebih lanjut dalam 3 (tiga) komponen yakni : Pertama, struktural (structural) yaitu struktur atau bentuk lembaga dan institusi dari sistem hukum tersebut dan proses yang mereka jalankan. Struktur dapat berupa jumlah dan pengadilan yang ada. Kedua, substansi (substantif) di mana dari hasil (output) dari suatu sistem hukum yang merupakan sistem hukum itu sendiri yang terdiri dari aturan-aturan, doktrin sepanjang digunakan oleh yang mengatur dan yang diatur. Ketiga, (cultural) atau kebudayaan yang merupakan nilai-nilai dan cara pandang yang menyatukan sistem tersebut dan yang menentukan di mana sistem hukum itu diletakkan dalam kebudayaan atau masyarakat secara keseluruhan, seperti pendidikan dan kebiasaan apa yang dipunyai oleh para ahli hukum dan apa pendapat masyarakat tentang hukum.3
Pemasyarakatan sebagai tujuan pidana diartikan sebagai pemulihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan yang hakiki, yang terjadi antara individu pelanggar hukum dengan masyarakat serta lingkungan kehidupannya.4 Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.5 Sistem pemasyarakatan dalam pelaksanaannya untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan kembali ketengah-tengah masyarakat dengan baik. Ada tiga peran yang saling berkaitan dan sangat penting untuk mencapai keberhasilan dalam proses pembinaan dan bimbingan tersebut yaitu, narapidana itu sendiri, masyarakat dan petugas.6
Menurut teori Leo Fonseka ada tiga pilar utama di dalam pembangunan nasional yaitu pemerintahan, swasta, dan masyarakat. Maka dengan sistem pemasyarakatan Indonesia (sipasindo) juga ada tiga pilar utama di dalam .membangun manusia mandiri. Ketiga pilar tersebut adalah masyarakat, petugas pemasyarakatan dan narapidana, di antara ketiganya harus saling terkait dan saling menjaga keseimbangan di dalam memecahkan suatu permasalahan yang ada, khususnya membangun manusia mandiri di lingkungan permasyarakatan .the more internal balanced and independent the three are the better it is for the society.7
Kualitas petugas termaksud di dalamnya kualitas kesejahteraan merupakan satu hal yang sangat dominan dalam mempengaruhi kinerja pemasyarakatan. Kualitas petugas yang baik akan meningkatkan kinerja organisasi, sebaliknya kualitas petugas yang rendah berdampak pada buruknya kinerja organisasi.8
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil yang layak dalam hubungan kerja.9
The Implementation Standard Minimum Rules For The Treatment of Prisoners, menyatakan bahwa syarat yang harus dimiliki petugas pemasyarakatan adalah integritas moral, profesionalisme, rasa kemanusiaan dan kecocokan pekerjaan itu dengan hati nuraninya. Karena itu upaya yang harus ditempuh dalam manajemen pemasyarakatan adalah menciptakan kondisi kondusif bagi terbentuknya petugas yang memenuhi persyaratan tersebut, melalui proses rekruitmen, pendidikan, dan latihan, pembinaan karir dan lain sebagainya.160
Secara ideal, proses akomodasi harus berlangsung dengan sistem formal, di mana pada intinya tukar menukar kepentingan dilandasi aturan yang berlaku. Hakhak penghuni yang dijamin undang-undang dijadikan modus/sarana terciptanya kondisi dan perilaku yang diinginkan (conditioning operant) dalam kondisi inilah fungsi penjara (Lembaga Pemasyarakatan) dapat diharapkan sebagai tempat untuk mengubah tingkah laku penghuninya dari yang tidak baik menjadi perilaku yang terpuji.
Secara faktual kondisi ideal proses akomodasi yang berlangsung dengan sistem formal yang pada intinya merupakan tukar menukar kepentingan dilandasi aturan yang berlaku tersebut seringkali sulit dicapai, karena berbagai alasan, antara lain masih rendahnya kualitas dan kesejahteraan petugas, dan sisi lain adanya kecenderungan status sosial ekonomi narapidana yang makin tinggi.161
Lembaga Pemasyarakatan sebagai ujung tombak pelaksanaan hukum pidana atau asas pengayoman merupakan tempat untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan melalui pendidikan, rehabilitas, dan reintegrasi. Sejalan dengan peran lembaga pemasyarakatan tersebut, maka tepatlah apabila petugas pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengamanan terhadap warga binaan pemasyarakatan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditetapkan sebagai pejabat fungsional penegak hukum.162
Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), dengan demikian pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem kelembagaan, cara pembinaan, dan petugas pemasyarakatan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu rangkaian proses penegakan hukum.163
Mengingat tugas dan tanggung jawab petugas pemasyarakatan yang demikian berat adalah suatu hal yang wajar apabila diciptakan peraturan sebagai payung hukum bagi setiap tindakan yang dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan sistem pemasyarakatan. Tidak hanya hak-hak para tahanan dan narapidana yang harus dilindungi, tetapi hak-hak dari para petugas pelaksana terutama hak untuk mendapatkan perlindungan dan memperoleh kenyamanan dalam bekerja juga tidak bisa diabaikan.
Perlindungan hukum bagi petugas pemasyarakatan merupakan hal yang sangat esensial. Perlindungan yang dimaksud bukan berarti menyebabkan petugas tersebut menjadi kebal hukum, akan tetapi bertujuan agar si petugas tersebut mampu lebih bertanggung jawab dalam menjalankan kewajibannya dengan maksimal. Perlindungan hukum tersebut juga merupakan suatu upaya bagi suatu instansi dalam melindungi petugasnya dari kemungkinan intervensi terlalu jauh dari pihak lain.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang akan diteliti dan dianalisis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana peraturan perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan di dalam pelaksanaan tugas?
2. Bagaimana pelaksanaan kedudukan dan fungsi perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan?
3. Bagaimana akibat hukum yang timbul dari ketidakjelasan jaminan perlindungan hukum petugas pemasyarakatan di dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan di dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan kedudukan dan fungsi perlindungan hukum terhadap petugas pemasyarakatan.
3. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari ketidakjelasan jaminan perlindungan hukum petugas pemasyarakatan di dalam UU RI No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu :
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran di bidang penegakan hukum khususnya mengenai pemasyarakatan.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam penyusunan rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan yang baru.

E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas X, penelitian mengenai analisis Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan belum pernah dilakukan pada topik dan permasalahan yang sama.
Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.