Search This Blog

SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MEMBACA BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI KELAS IV SDLB C1

SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MEMBACA BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI KELAS IV SDLB C1


(KODE : PEND-PLB-0016) : SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MEMBACA BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI KELAS IV SDLB C1




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Setiap anak harus memperoleh pengajaran membaca, tidak terkecuali anak tunagrahita sedang. Setelah memperoleh pengajaran membaca diharapkan anak akan mampu memahami informasi lewat tulisan dan mampu memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian tidaklah mudah pengajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang.
Pengajaran membaca untuk anak tunagrahita sedang terasa lebih sulit. Hal itu disebabkan hambatan yang dimiliki oleh anak tunagrahita. Seperti telah diketahui bersama bahwa salah satu hambatan siswa tunagrahita adalah dalam hal kemampuan intelektualnya yang berada di bawah rata-rata (normal). Hambatan intelektual ini berdampak pada kemampuan kognitifnya sehingga menyebabkan anak tunagrahita sedang kesulitan untuk menguasai pelajaran yang sifatnya akademik, diantaranya membaca. Astati (2001 : 8) menyatakan bahwa "Anak tunagrahita sedang hampir tidak dapat mempelajari pelajaran yang sifatnya akademik. Diantara mereka ada yang dapat menulis, berhitung, dan membaca sosial."
Berdasarkan kondisi tersebut artinya anak tunagrahita sedang masih dapat diajarkan membaca tapi pada tahap membaca permulaan. Dalam tahap membaca permulaan ini dapat diperkenalkan kepada mereka beberapa kata, terutama kata benda atau yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kata benda yang diajarkan adalah berkaitan dengan benda-benda kongkrit dan sudah dikenal oleh anak. Melalui pengajaran kata benda tersebut diharapkan dapat menjadi modal agar anak tunagrahita sedang dapat membaca meskipun kata-kata yang sederhana dan sudah dikenal oleh anak.
Oleh karenanya dibutuhkan upaya dari guru sehingga dapat membantu anak tunagrahita sedang lebih mudah dalam belajar membaca permulaan. Guru yang baik tentunya akan berupaya secara bersungguh-sunguh membantu anak tunagrahita sedang ketika belajar.
Berdasarkan hasil observasi pendahuluan (bulan Mei) ternyata pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang belum sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Pada saat mengajarkan membaca, guru menggunakan metode ceramah dan tanya jawab serta jarang menggunakan alat/media pembelajaran. Tampaknya guru lebih terpaku pada mengejar target pencapaian kurikulum sehingga guru lebih cepat beralih pada materi baru sedangkan anak belum menguasai materi sebelumnya.
Pelaksanaan pembelajaran seperti demikian akan menambah masalah belajar bagi anak tunagrahita sedang. Dengan kondisinya yang mengalami hambatan mental, seharusnya mereka ini memperoleh pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya, bukan harus sesuai dengan kurikulum. Bahkan dalam pembelajaran pun, agar mereka lebih mudah memahami materi seharusnya guru menggunakan berbagai metode pembelajaran yang inovatif dan menggunakan berbagai media/alat pembelajaran.
Berangkat dari pemikiran di atas, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan pembelajaran membaca pada siswa tunagrahita sedang di kelas IV SLB X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : "Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang ?"

C. Rincian Masalah
Secara umum penelitian ini fokus kepada upaya guru dalam melaksanakan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang di kelas IV SLB X. Rincian masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kegiatan guru dalam melaksanakan pembelajaran membaca pada anak tunagrahita sedang di kelas IV SLB X ?
2. Bagaimanakah kesulitan-kesulitan yang dihadapi guru dalam pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang di kelas IV SDLB C1 SLB X ?
3. Bagaimanakah upaya-upaya guru mengatasi kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang di kelas IV SDLB C1 SLB X ?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran data lapangan yang berkaitan dengan upaya guru dalam pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang di kelas IV SDLB C1 SLB X. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk memperoleh data lapangan yang berkaitan dengan :
1. Kegiatan yang dilakukan guru dalam pelaksanaan pembelajaran membaca pada anak tunagrahita sedang di kelas IV SDLB C1 SLB X.
2. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang.
3. Upaya-upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang yang ada saat ini di kelas IV SDLB C1 SLB X.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Sebagai bahan kajian ilmiah mengenai pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbang saran bagi guru mengenai pembelajaran membaca yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak tunagrahita sedang.
b. Manfaat bagi sekolah adalah agar sekolah lebih memperhatikan dan menyediakan bebagai alat/media yang dapat menunjang pada pembelajaran khususnya pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang.
SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN


(KODE : KEPRAWTN-0010) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
PASI adalah singkatan dari Pengganti Air Susu Ibu (PASI), dan umumnya berupa susu formula. PASI merupakan makanan bayi yang dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. (www.asuh.wikia.co. 2009). PASI dapat diberikan dalam keadaan dimana bayi harus dipisahkan dari ibunya, misalnya jika si ibu menderita sakit parah atau menular, bayi dapat diberi ASI sesuia petunjuk dokter atau tim kesehatan.
Berdasarkan rekomendasi dari WHO dan UNICEF di Geneva pada tahun 1979 menyusui merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah serta merupakan dasar biologik dan psikologik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Susu formula mudah terkontaminasi oleh kuman dan dalam pemberian susu formula harus disesuaikan dengan takaran susu dan umur bayi. Apabila takaran susu tidak sesuai maka mengakibatkan diare (Sarwono, 1999).
Bayi yang diberi susu formula mengalami kesakitan diare 10 kali lebih banyak yang menyebabkan angka kematian bayi juga 10 kali lebih banyak, infeksi usus karena bakteri dan jamur 4 kali lipat lebih banyak, sariawan mulut karena jamur 6 kali lebih banyak. Penelitian di Jakarta memperlihatkan persentase kegemukan atau obesitas terjadi pada bayi yang mengkonsumsi susu formula sebesar 3,4% dan kerugian lain menurunnya tingkat kekebalan terhadap asma dan alergi (Dwinda, 2006).
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) (2003), angka kematian bayi di Indonesia sebesar 35/1000 kelahiran hidup. Angka kesakitan dan angka kematian bayi ditimbulkan salah satunya disebabkan dari dampak susu formula tersebut.
Menurut profil Dinkes Sumut 2005, pemberian ASI Eksklusif di 9 kabupaten Sumatera Utara yang tidak memberikan ASI eksklusif, Asahan 90%, Tanjung Balai 84%, Tobasa 81%, Tapsel 68,5%, Sibolga 68%, Taput 58,5%, Tapteng 46%, dan Labuhan Batu 39%.
Tidak semua bayi dapat menikmati ASI secara eksklusif dari ibu, hal ini dikarenakan oleh berbagai keadaan tertentu misalnya, keluarga ibu yang memutuskan untuk tidak menyusui bayi karena adanya suatu penyakit, misalnya: tuberculosis (TBC), atau Acuired Immunodeficiency Syndrom (AIDS). Dengan keadaan tersebut cara lain untuk memenuhi kebutuhan gizi pada bayi adalah dengan memberikan susu formula sebagai Pengganti Air Susu Ibu (PASI) (Roesli, 2000).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Cohen dan kawan-kawan di Amerika pada tahun 1995 diperoleh bahwa 25% ibu-ibu yang memberikan ASI secara eksklusif pada bayi dan 75% ibu-ibu yang memberikan susu formula pada bayi. Bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif lebih jarang terserang penyakit dibandingkan dengan bayi yang memperoleh susu formula, karena susu formula memerlukan alat-alat yang bersih dan perhitungan takaran susu yang tepat sesuai dengan umur bayi. Hal ini membutuhkan pengetahuan ibu yang cukup tentang dampak pemberian susu formula (Roesli, , 2000).
Angka kejadian dan kematian akibat diare pada anak-anak di negara-negara berkembang masih tinggi, lebih-lebih pada anak yang sedang mendapat susu formula dibandingkan dengan anak yang mendapat ASI. Meningkatnya penggunaan susu formula dapat menimbulkan barbagai masalah, misalnya kekurangan kalori protein tipe marasmus, moniliasis pada mulut, dan diare karena infeksi (Soetjiningsih, 1997).
Di Indonesia masih banyak ibu-ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayi, karena kaum ibu lebih suka memberikan susu formula dari pada memberikan ASI. Hal ini disebabkan oleh pekerjaan ibu, penyakit ibu serta ibu-ibu yang beranggapan bahwa apabila ibu menyusui maka payudaranya tidak indah lagi sehingga suami tidak sayang (Soetjiningsih, 1997).
Presentasi kaum ibu-ibu yang berada di pedesaan yang memberikan ASI pada bayinya sebesar 80-90% sampai bayi berumur lebih dari 1 tahun. Tetapi dengan adanya iklan dan sumber informasi tentang susu formula maka kecendrungan masyarakat untuk meniru gaya hidup modern. Di Jakarta lebih dari 50% bayi yang berumur 2 bulan telah mendapat susu formula karena pada awalnya calon ibu tidak diberikan penjelasan dan penyuluhan tentang pemberian ASI eksklusif (Soetjiningsih, 1997).
Berdasarkan profil kesehatan Kecamatan Sibolga Sambas tahun 2008 menunjukkan bahwa 54 bayi dinyatakan 32 bayi mendapatkan susu formula. Sedangkan dari hasil tersebut menunjukkan bahwa masih ada ibu-ibu di Kecamatan Sibolga Sambas yang memberikan susu formula kepada bayi.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku PASI Ibu Dengan Pasien Diare Pada Anak Usia 1-24 Bulan Di Di Rumah Sakit X.

B. Masalah Penelitian
Pada penelitian RISDAYATI, 2008, mengenai perbedaan lama hari rawat inap diare pada anak (7-24 bulan) yang diberi ASI eksklusif degan yang diberi PASI di RS. X. dengan jumlah sampel 48 orang. Hasil penelitian sebanyak 34 (70,8%) dirawat dengan Diare, diberi PASI.
Dari data diatas peneliti ingin menegtahuai sejauhmana kontribusi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku PASI Ibu Dengan Pasien Diare Pada Anak Usia 1-24 Bulan. Secara khusus masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran karakteristik responden
a. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan usia ibu.
b. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan ibu.
c. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu.
d. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan penghasilan keluarga..
2. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang Diare.
3. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang PASI.
4. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang Diare dengan perilaku PASI.
5. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang PASI dengan perilaku PASI.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahuai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku PASI Ibu dengan klien diare pada anak 1-24 bulan Di Rumah Sakit X.
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden
1) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan usia ibu.
2) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan ibu.
3) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu.
4) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan penghasilan keluarga..
b. Memperoleh informasi tentang gambaran pengetahuan ibu tentang Diare.
c. Memperoleh informasi tentang gambaran pengetahuan ibu tentang PASI.
d. Memperoleh informasi hubungan antara pengetahuan ibu tentang Diare dengan perilaku PASI.
e. Memperoleh informasi hubungan antara pengetahuan ibu tentang PASI dengan perilaku PASI.

D. Manfaat penelitian
1. Bagi ibu
Penelitian ini akan menjadi informasi dan masukan dalam meningkatkan pengetahuan ibu mengenai perilaku pemberian susu formula pada anak dalam mencegah diare.
2. Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman berharga bagi peneliti dalam menerapkan ilmu metode penelitian dan menambah wawasan pengetahuan tentang perilaku PASI yang baik untuk mencegah diare.
3. Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi atau sumber informasi untuk penelitian berikutnya dan sebagai bahan bacaan di perpustakaan.
SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X

SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X


(KODE : KEPRAWTN-0009) : SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Sehat menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah keadaan baik pada seluruh badan serta bagian-bagiannya. Menurut UU no 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. WHO mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.
Menurut Kisanti (2008), kesehatan anak penting sekali artinya bagi keluarga, ibaratnya kesehatan anak merupakan kebahagiaan bagi orangtua. Jika anak sakit hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kesehatan anak menentukan kualitas anak dikemudian hari, karena keberhasilan anak dimasa yang akan datang akan tergantung dari bagaimana anak menjalani tahap awal kehidupannya yaitu usia bayi, toddler, prasekolah dan sekolah. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam pemenuhan kebutuhan anak untuk pertumbuhan dan perkembangan anak (Supartini, 2004).
Dalam proses perkembangan anak usia prasekoah ada ciri- ciri yang melekat pada anak-anak tersebut. Menurut Snowman (dalam Patmonodewo, 2003) mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6 tahun) yang meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak. Pertama pada ciri fisik, anak prasekolah terlihat lebih aktif sehingga membutuhkan kontrol pada tubuhnya untuk istirahat yang cukup. Hal ini dikarenakan anak prasekolah seringkali tidak menyadari bahwa mereka harus beristirahat yang cukup. Kedua pada ciri sosial, pada tahap ini anak prasekolah lebih cepat bersosialisasi dengan teman-temannya. Ketiga pada ciri emosi, dimana pada tahap ini anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka, sedangkan pada ciri perkembangan kognitif anak prasekolah umunya terampil dalam berbahasa.
Pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dicapai secara optimal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak diantaranya pemberian nutrisi yang adekuat, memfasilitasi kegiatan bermain, dan melakukan upaya pemeliharaan kesehatan untuk pencegahan penyakit. Salah satu upaya pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit adalah dengan pemberian imunisasi. Dimana imunisasi merupakan upaya yang dilakukan dengan sengaja, memberikan kekebalan pada anak prasekolah sehingga terhindar dari penyakit. Masalah kesehatan yang sering dijumpai pada anak prasekolah diantaranya adalah infeksi (Supartini, 2004).
Saat anak prasekolah dirawat di rumah sakit, kondisi ini memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan rumah yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan serta hilangnya waktu bermain bersama teman-teman sepermainannya. Adapun reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah selama dirawat di rumah sakit adalah dengan menolak makan, sering bertanya kepada orang tuanya tentang hal-hal yang tidak dipahaminya, menangis dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
Dampak dari perpisahan yang dialami anak prasekolah saat dirawat di rumah sakit akan menimbulkan rasa kecemasan pada anak tersebut. Kecemasan adalah suatu penyerta yang normal dalam merespon sesuatu yang baru dan belum pernah dialami. Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan kecemasan bagi anak maupun orang tua. Faktor yang mempengaruhi kecemasan anak yang dirawat di rumah sakit antara lain lingkungan rumah sakit, bangunan fisik, bau khas rumah sakit, obat-obatan, alat-alat medis, petugas kesehatan, warna seragam, dan sikap petugas kesehatan seperti dokter dan perawat (Moersintowati, dkk 2008). Menurut Supartini (2004), perawatan di rumah sakit seringkali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak merasa malu, bersalah, cemas dan takut. Anak juga sering merasa takut pada hal-hal yang tidak logis, seperti takut gelap, monster, dll. Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak usia prasekolah yaitu cemas, marah, sedih, takut dan rasa bersalah. Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan serta lingkungan rumah sakit (Wong, 2000). Penelitian Isle of Wight yang dilaporkan oleh Rutter dan kawan-kawan (dalam Nelson, 2000) menemukan prevalensi gangguan kecemasan adalah 6,8%. Sekitar sepertiga anak ini adalah cemas berlebihan, dan sepertiga lainnya menderita ketakutan spesifik atau fobia yang merupakan cacat. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Furi Seftiani yang berjudul Hubungan Antara Perilaku Caring Dengan Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Klien Anak di Ruang Perawatan Anak RS Sentra Medika Cimanggis (2008), didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap caring perawat dengan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada klien anak di ruang perawatan anak.
Upaya untuk mengatasi kecemasan pada anak antara lain yang pertama melibatkan orang tua anak, agar orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam. Jika tidak mungkin, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud untuk mempertahankan kontak antara mereka. Yang kedua melakukan modifikasi lingkungan rumah sakit, agar anak tetap merasa nyaman dan tidak asing dengan lingkungan baru. Upaya yang ketiga adalah peran dari petugas kesehatan rumah sakit (dokter, perawat), dimana diharapkan petugas kesehatan khususnya perawat harus menghargai sikap anak karena selain orang tua perawat adalah orang yang paling dekat dengan anak selama perawatan di rumah sakit. Sekalipun anak menolak orang asing (perawat), namun perawat harus tetap memberikan dukungan dengan meluangkan waktu secara fisik dekat dengan anak menggunakan suara bernada tenang, pilihan kata yang tepat, kontak mata dan sentuhan secara empati (Wong, 2008).
Komunikasi merupakan upaya individu dalam menjaga dan mempertahankan individu untuk tetap berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi adalah kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih, dalam bentuk pembagian ide, pikiran dengan menggunakan lambang, memiliki tujuan tejadi perubahan pada orang lain (Tamsuri, 2008). Effendy (2002) dalam Suryani (2004) menyatakan lima komponen dalam komunikasi yaitu komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003). Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang mempunyai efek penyembuhan. Karena komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi yang akurat dan membina hubungan saling percaya terhadap klien, sehingga klien akan merasa puas dengan pelayanan yang diterimanya. Apabila perawat dalam berinteraksi dengan klien tidak memperhatikan sikap dan teknik dalam komunikasi terapeutik dengan benar dan tidak berusaha untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi terapeutik, maka hubungan yang baik antara perawat dengan klienpun akan sulit terbina (Anggraini, 2009). Cara berkomunikasi pada anak berbeda dengan komunikasi terapeutik pada orang dewasa. Komunikasi terapeutik pada anak hendaknya selalu memperhatikan nada suara, jarak interaksi dengan anak, sentuhan yang diberikan kepada anak harus atas persetujuan anak (Mundakir, 2006).
Dalam komunikasi terapeutik ada beberapa sikap dan teknik komunikasi yang harus dipahami oleh perawat. Sikap komunikasi terapeutik pada anak prasekolah antara lain memberitahu apa yang terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada anak untuk menyentuh alat pemeriksa yang akan digunakan, bicara lambat, hindari sikap mendesak untuk dijawab, hindari konfrontasi langsung, salaman pada anak (untuk mengurangi kecemasan). Sedangkan teknik komunikasi terapeutik dengan anak yang harus dipahami oleh perawat antara lain teknik non verbal teknik orang ketiga, bercerita, dan teknik verbal menulis, menggambar, bermain (Tamsuri, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh A.Aziz A.Hidayat (2003) yang berjudul Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Perawat Dalam Komunikasi Terapeutik Pada Anak Usia Prasekolah di RSUD Dr.Soetomo Surabaya (2003), didapatkan hasil penegetahuan perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah di RSUD Dr.Soetomo adalah 56,3% berpengetahuan baik dan 43,8% berpengetahuan kurang. Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah di RSUD Dr. Soetomo adalah 65,6% bersikap positif dan 34,4% bersikap negatif.
Berdasarkan survey awal peneliti yang dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 2009, peneliti mendapatkan informasi bahwa sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian di rumah sakit ini mengenai komunikasi terapeutik pada anak di rumah sakit X . Di rumah sakit X terdapat dua ruang perawatan anak (satu ruangan kelas satu dan dua, satu ruangan kelas tiga) dengan kapasitas 30 tempat tidur, data kunjungan ke rumah sakit X khususnya pasien anak setiap bulannya cukup banyak, tiga bulan terakhir sekitar 74 pasien anak yang dirawat di rumah sakit X. Hasil studi pendahuluan terhadap anggota keluarga dari anak yang dirawat mengungkapkan bahwa waktu kunjungan terbatas dan jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu juga terbatas, kecemasan anak bertambah selama dirawat karena anak harus berpisah dengan orang-orang terdekatnya. Selain itu dari hasil wawancara dengan orang tua anak yang dirawat dua hari di ruang rawat anak rumah sakit X mengungkapkan dari sejak pertama kali masuk dan dirawat anak sering menangis, terlihat gelisah, juga takut jika didekati perawat dan jika akan diberikan suatu tindakan keperawatan. Sedangkan 3 dari 5 orang tua anak yang anaknya telah dirawat selama 5 hari mengungkapkan awal-awal dirawat anaknya juga sering menangis jika didekati perawat tetapi sekarang sudah tidak takut lagi kecuali jika akan diberikan tindakan tertentu (seperti dipasang infus). Menurut beberapa orang tua anak yang dirawat, komunikasi yang diterapkan perawat baik kepada anak maupun kepada orang tua sudah cukup baik, walaupun ada beberapa perawat yang dirasakan belum menerapkan cara-cara atau teknik komunikasi ke anak. Hasil wawancara kepada pihak managemen rumah sakit X yang dilakukan peneliti pada tanggal 16 Februari 2010 didapatkan data dari hasil angket yang diberikan pihak rumah sakit kepada pasien tingkat kepuasan pasien yang dirawat selama 3 bulan terakhir cukup bagus (85% pasien puas dengan pelayanan yang rumah sakit berikan). Selain itu penerapan komunikasi terapeutik di rumah sakit X sudah diterapkan, dan di rumah sakit X selalu dilaksanakan pelatihan tentang penerapan komunikasi terapeutik kepada semua karyawan termasuk kepada perawat.
Dari permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak prasekolah yang diruang perawatan rumah sakit X .

B. Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan adalah apakah ada hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada anak prasekolah di ruang perawatan rumah sakit X
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran tentang karakteristik (jenis kelamin dan lama hari rawat) pasien anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X
b. Memperoleh gambaran tentang kecemasan pasien prasekolah anak di ruang perawatan anak rumah sakit X
c. Menganalisis hubungan antara sikap komunikasi terapeutik perawat dengan kecemasan pada anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X
d. Menganalisis hubungan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan kecemasan pada anak prasekolah yang di ruang perawatan anak rumah sakit X

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti : Dapat memperkaya ilmu keperawatan khususnya tentang komunikasi terapeutik agar dapat diterapkan dengan baik dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien di rumah sakit.
2. Bagi Perawat : Dapat menjadi pendorong agar memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien khususnya pasien anak, sehingga masalah psikologis pada anak dapat teratasi juga dapat membantu proses penyembuhan.
3. Bagi Institusi Pendidikan : Dapat menjadi tambahan informasi tentang pentingnya komunikasi terapeutik bagi pasien anak pra sekolah dan sebagai bahan informasi perawat untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan dan sikap dalam berkomunikasi secara terapeutik.
4. Bagi Rumah Sakit : Dapat menjadi masukan yang digunakan untuk penerapan komunikasi terapeutik kepada pasien anak prasekolah sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
5. Bagi Pasien : Dapat menjadi informasi sebagai pertimbangan memilih pelayanan kesehatan.
SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA DI DESA X

SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA DI DESA X


(KODE : KEPRAWTN-0008) : SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA DI DESA X




BAB 1 
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih (WHO, 1965). Menjadi tua (lanjut usia) merupakan peristiwa yang sangat alamiah dan normal terjadi pada setiap manusia. Setiap manusia tentunya berharap dapat menjalani masa tuanya dengan bahagia. Ketika memasuki masa tua tersebut, sebagian lansia dapat menjalaninya dengan bahagia, namun tidak sedikit dari mereka yang mengalami hal sebaliknya, masa tua dijalani dengan rasa ketidakbahagiaan, sehingga menyebabkan rasa ketidaknyamanan (Dana, 2007). Ketidakbahagiaan tersebut bisa disebabkan karena kondisi lingkungan, kurangnya perawatan, perhatian ataupun kepedulian dari orang-orang di sekitar lansia, .terutama keluarga. Sebagian lansia tinggal bersama dengan keluarga sendiri dan ada juga yang tinggal di Panti Werdha atau tempat lainnya, tetapi menurut Tachman (1999), tempat yang paling baik bagi lansia adalah tempat tinggalnya sendiri dengan anggota keluarga lainnya. Perawatan yang dilakukan oleh anak sendiri diduga memberikan rasa aman dan nyaman karena mereka lebih toleran terhadap lansia dibandingkan kerabat atau orang lain, sehingga kebutuhan fisik, psikis, sosial, ekonomi dan spiritual lansia bisa terpenuhi dengan baik.
Jumlah lansia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, di seluruh dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta, dengan usia rata-rata 60 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1, 2 milyar (Nugroho, 2000). Berdasarkan data penduduk mutakhir, jumlah lansia di Indonesia sekarang sekitar 16 juta jiwa (Sabdono, 2007). Pada tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 273 juta jiwa, dan hampir seperempat dari jumlah penduduk tersebut atau sekitar 62, 4 juta jiwa tergolong sekelompok penduduk lanjut usia. Bahkan, jika menggunakan model proyeksi penduduk PBB, jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2050 menjadi dua kali lipat atau sekitar 120 juta jiwa lebih (Sardjunani, 2007). Sedangkan di Provinsi X berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2007, jumlah penduduk yang berumur 60 tahun ke atas mencapai 693.494 jiwa, atau 5,4% dari jumlah penduduk di Provinsi X (12.834.371 jiwa). Dan jumlah penduduk lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y sebanyak 213 jiwa (Laporan Kepala Desa Z, 2009).
Peningkatan persentase penduduk lanjut usia membawa implikasi terhadap berbagai sektor pembangunan lainnya. Pergeseran struktur penduduk dari muda ke tua tersebut antara lain berdampak terhadap perubahan kebijakan pemerintah, tidak saja di sektor kependudukan tetapi juga di sektor kesehatan, sosial dan bahkan ke sektor ekonomi. Hal ini tentunya membawa implikasi pada kebijakan yang dibuat harus dapat mengakomodasi keberadaan lanjut usia dengan segala karakteristiknya baik dari aspek demografi, sosial dan ekonomi. Faktor-faktor seperti demografi, sosial dan ekonomi banyak melatarbelakangi lanjut usia melakukan aktivitas yang beragam, baik yang bernilai ekonomi maupun yang tidak bernilai ekonomi (Mundiharno, 1997).
Masalah kesehatan lanjut usia tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses kemunduran yang panjang. Ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap, dan pada waktu kompensasi terhadap penurunan ini dapat dilakukan, dikenal sebagai "senescence", yaitu masa proses menjadi tua. Seseorang akan menjadi semakin tua pada awal atau akhir usia enam puluhan, tergantung pada laju kemunduran fisik dan mentalnya, dan juga tergantung pada masing-masing individu yang bersangkutan. Penyebab fisik dari kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh bukan karena penyakit khusus, tetapi karena proses menua. Akibatnya terjadi penurunan pada peranan-peranan sosial dan timbulnya gangguan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain. Kemunduran juga bisa terjadi oleh karena faktor psikologis. Sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan kehidupan pada umumnya dapat menuju ke keadaan seseorang yang menjadi eksentrik, kurang perhatian dan terasing secara sosial sehingga penyesuaian dirinya menjadi buruk, akibatnya orang menurun secara fisik dan mental sehingga mengalami penurunan dalam melakukan aktivitasnya. Seseorang yang mengalami ketegangan dan stres hidup akan mempengaruhi laju kemunduran tersebut. Demikian juga, bahwa motivasi memainkan peranan penting dalam kemunduran. Dengan adanya gangguan tersebut, menyebabkan lanjut usia menjadi tidak mandiri dan membutuhkan orang lain untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari (Hurlock, 2002).
Dalam menghadapi kemunduran, mereka membutuhkan bantuan untuk mencapai rasa tentram, nyaman, kehangatan dan perlakuan yang layak dari lingkungannya. Memberikan perhatian pada lanjut usia dan mengupayakan agar mereka tidak terlalu tergantung pada orang lain, mampu membantu diri sendiri, itu semua adalah kewajiban keluarga dan lingkungan (Supartondo, 2003).
Berdasarkan data dari Kantor Kepala Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y terdapat 213 jiwa lanjut usia di Desa Zi Kecamatan X Kabupaten Y dan jumlah keluarga yang memiliki lanjut usia sebanyak 173 keluarga. Dari data yang didapat, tidak semua kemunduran yang dialami lanjut usia sama, tetapi tergantung dari cara perawatan keluarga terhadap lanjut usia itu sendiri.
Berdasarkan kondisi di atas, peneliti menjadi tertarik untuk meneliti bagaimana perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y dalam mencegah atau menanggulangi kemunduran yang dialami oleh lanjut usia.

2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, adapun pertanyaan dari penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y?

3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi gambaran perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y.

4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ditujukan pada Praktek Keperawatan, Pendidikan Keperawatan, Penelitian Keperawatan dan Keluarga Lansia.
- Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam memberikan intervensi keperawatan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sebagai upaya meningkatkan kebutuhan perawatan keluarga terahadap lansia.
- Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence base yang diintegrasikan dalam wahana pembelajaran keperawatan keluarga, khususnya perawatan gerontik tentang materi pembelajaran gambaran perawatan keluarga tehadap lansia, sehingga informasi ini dapat dikembangkan dalam praktek belajar lapangan.
- Penelitian Keperawatan
Hasil penelian ini dapat digunakan sebagai informasi lanjutan pada penelitian selanjutnya yang meneliti tentang perawatan keluarga terhadap lansia, baik lansia yang sehat maupun lansia dengan berbagai gangguan kesehatan.
- Keluarga Lansia
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi keluarga dalam merawat lansia untuk meningkatkan kualitas hidup lansia dan agar lansia dapat menjalani hari tua dengan rasa aman, nyaman dan menyenangkan.
SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TBC DI KELURAHAN X

SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TBC DI KELURAHAN X


(KODE : KEPRAWTN-0007) : SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TBC DI KELURAHAN X




BAB I 
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, dan sebagian lagi dapat menyerang diluar paru-paru, seperti kelenjar getah bening (kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan.(Laban, 2008).
Kuman TBC telah menginfeksi sepertiga penduduk didunia, dan setiap tahunnya 8 juta orang menderita penyakit TBC, bahkan hampir 2 juta orang meninggal karena penyakit tersebut.(DepKes.RI, 2002).
Penyakit TBC pada tanggal 21 Oktober 2008 masih merupakan masalah utama masyarakat Indonesia. Jumlah penderita TBC di Indonesia mencapai 10% peringkat ke 3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina. TBC merupakan penyebab kematian tertinggi diantara penyakit menular lainnya. Penyakit TBC ini menyebabkan produktivitas orang yang mengidapnya menjadi menurun bahkan dapat menyebabkan kematian. Penurunan produktivitas penderita akan menyebabkan menurunnya aktivitas ekonomi sehingga pada akhirnya penyakit tuberculosis ikut menambah beban ekonomi. Menurut dokter Bondan, kepala dinas kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mengatakan berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 sebesar 107 / 100.000 penduduk (246.000 kasus baru setiap tahun), dan prevalensi 597.000 kasus (untuk semua kasus) TBC adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia, yang menyebabkan sekitar 300 orang setiap hari atau lebih dari 100.000 orang setiap tahun meninggal karena TBC. Dalam soal penagananya, pada tahun 2007 khususnya di DIY pelaksanaan pemberantasan penyakit TBC berhasil menemukan dan menngobati 1.136 penderita TBC masih dibawah target nasional sekitar 70%. sedangkan angka kesembuhan baru mencapai 79,30% dari target nasional sebesar 85%, dan angka kesuksesan 84,23% yang berarti juga di bawah target nasional sebesar 85%. http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?td=4970 diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 orang penderita TBC dengan jumlah kematian sebanyak 140.000 orang, hal ini di ungkapkan WHO pada tahun 1999. Secara kasar diperkirakan dari setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 orang penderita baru TBC paru BTA positif. Penyakit TBC menjadi masalah sosial, karena sebagian besar penderitanya adalah kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah, dan tingkat pendidikan rendah. Selain itu masalah lainnya adalah pengobatan penyakit TBC yang memerlukan j angka waktu lama dan rutin yaitu 6-8 bulan. Dengan demikian, apabila penderita meminum obat secara tidak teratur/tidak selesai, justru akan mengakibatkan terjadinya kekebalan ganda kuman TBC terhadapm Obat Anti -Tuberkulosis (OAT), yang akhirnya untuk pengobatannya penderita harus mengeluarkan biaya yang tinggi/mahal serta dalam jangka waktu yang relatif lebih lama.(DepKes.RI, 2002).
TBC menyerang lebih dari 75% penduduk usia produktif, 20-30% pendapatan keluarga hilang per tahunnya akibat TBC. Selain itu, seorang penderita aktif TBC akan menularkan 10-15 orang disekitarnya per tahun, dan tanpa pengobatan yang efektif, 50-60% penderita TBC akan meninggal dunia.
Sejak tahun 1995, WHO merekomendasikan program pemberantasan penyakit TBC dengan srtrategi DOTS (Directly Observed Treatment Short course) yang menurut Bank Dunia merupakan strategi kesehatan yang paling Cost-effective yaitu memerlukan biaya pengobatan yang lebih murah, namun mampu menghasilkan angka penyembuhan yang lebih tinggi. Menurut WHO, pada tahun 1996, dari penderita TBC yang tidak diobati setelah 5 tahun, 50% meninggal, 25% kronik dan menular. (Laban, 2008).
TBC penyakit menular yang sudah sejak lama ada di negeri ini ternyata belum dipahami dengan benar oleh masyarakat. Hasil survei yang dilakukan Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS) yang dilakukan pada Oktober sampai Desember 2005 di 90 desa pada 15 kabupaten/kota X, dengan jumlah responden 3.677 menemukan sekitar 19,7% responden yang memberi jawaban yang benar tentang penyakit TBC. Hasil survei tersebut antara lain menemukan ada 11% responden tidak tahu TBC adalah penyakit menular, 11% responden tidak tahu TBC bukan penyakit guna-guna, 26% responden tidak tahu batuk berdahak > 3 minggu adalah gejala TBC, 58% responden tidak tahu bahwa TBC bisa disembuhkan dengan sempurna, 58% tidak tahu penderita TBC memerlukan pemantau minum obat (PMO), 38% responden tidak tahu bahwa obat TBC bisa diperoleh gratis di puskesmas. Hal ini dituturkan oleh ketua dewan eksekutif KuIS, dokter Firman Lubis MPH, dalam hasil survei TBC di RT 7/RW 7 kelurahan X. Beliau juga menuturkan bahwa TBC erat kaitanya dengan kondisi lingkungan seperti kelembaban, kepadatan penduduk. Kondisi ini mempermudah penularan kuman TBC. Menjadikan lingkungan yang sehat tidak hanya mengatasi TBC, tetapi juga penyakit lain.
Di sisi lain, pemahaman masyarakat terhadap TBC sangat kurang, penanggulangan TBC masih lebih berfokus pada pengobatan. Tingginya kasus TBC di Indonesia, antara lain karena penanggulanganya belum dilakukan dengan benar (masih menekankan kuratif). Perhatian terhadap TBC dari masyarakat dan swasta pun masih rendah. Sangat jarang kegiatan yang terkait dengan TBC, misalnya kegiatan pengumpulan dana. Di tengah masyarakat ada anggapan bahwa penyakit TBC adalah penyakit yang tidak elite. Di wilayah X, jumlah penderita TBC pada tahun 2008, seluruhnya terdapat 14.416 orang. http://www.gizi.net/cgi.bin/berita/fullnews.cgi?newsid diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
Di wilayah X sendiri, jumlah penderita TBC pada tahun 2000 berkisar 3700 orang dengan perkiraan suspect sebanyak 27889 orang dimana jumlah BTA positif sebanyak 701 orang dan angka konversinya sebesar 86.59%. Sedangkan pada tahun 2001, penderita TBC berkisar 4512 orang dengan BTA poositif 736 orang dan angka konversinya sebesar 91.40%. Angka konversi tersebut melebihi target yang ditetapkan secara nasional yaitu sebesar 80%. Sedangkan target nasional untuk angka kesembuhan adalah sebesar 85%, tetapi di wilayah X hanya dapat mencapai 79.88% pada tahun 2000. (Suku Dinas Kesehatan X, 2001).
Dalam penelitian Widagdo pada tahun 2003 di Puskesmas Kecamatan Y, ditemukan bahwa dari 71 orang, terdapat 50 penderita TBC yang bersikap positif dan patuh dalam pengobatan, dan 21 orang lainnya bersikap negatif dan pada umumnya tidak patuh dalam pengobatan.
Di wilayah Puskesmas kelurahan X jumlah penderita TBC yang di dapat dari data pasien yang berobat sepanjang tahun 2008-Februari 2009, adalah 72 orang yang terdiri dari : 16 orang merupakan pasien lama dari bulan Januari-Mei 2008. 56 orang merupakan pasien baru, dari 56 pasien, 20 orang di antaranya merupakan pasien yang berasal dari luar wilayah kelurahan X. Kemudian 6 orang sudah pindah tempat tinggal ke wilayah lain dan mulai tidak aktif berobat sejak bulan Desember. Jadi, pasien yang di ambil oleh peneliti adalah 30 orang, yang benar-benar bertempat tinggal di wilayah kelurahan X dan masih aktif berobat ke Puskesmas X dari bulan Desember 2008-Februari 2009. (Puskesmas X, 2009).
Peneliti tertarik mengambil penelitian ini karena penyakit TBC merupakan penyakit yang sering dialami di negara berkembang seperti di Indonesia. Sehingga di perlukan bagi kepala keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang terkena TBC untuk mengetahui tentang TBC. Karena berdasarkan pengalaman pribadi, peneliti pernah menemukan tetangga yang meninggal dunia karena penyakit TBC yang sudah kronik. Jadi peneliti berharap semoga penelitian ini dapat berguna bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang terkena TBC.

B. PERUMUSAN MASALAH
Pengetahuan tentang TBC merupakan salah satu langkah yang dibutuhkan dalam mengetahui pengertian tentang penyebab, pencegahan, dan cara merawat anggota keluarga yang terkena TBC. Cara merawat anggota keluarga yang tepat dapat dilaksanakan apabila adanya partisipasi kepala keluarga dan dukungan pemerintah sebagai penyedia dan pemberi informasi. (http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?td=4970 diperoleh tanggal 5 Desember 2008). Adanya kecenderungan fluktuasi penyakit TBC ini akan meningkat pertahun, karena di perkirakan 1 atau 2 orang yang menderita TBC dapat menularkan penyakit tersebut ke 10-15 orang di sekitarnya. Dan jika tanpa pengobatan yang efektif, 50-60% penderita TBC akan meninggal dunia. Menurut WHO, pada tahun 1996, dari penderita TBC yang tidak diobati setelah 5 tahun, 50% meninggal, 25% kronik dan menular. (Laban, 2008).
Di sisi lain, pemahaman masyarakat terhadap TBC sangat kurang, penanggulangan TBC masih lebih berfokus pada pengobatan. Tingginya kasus TBC di Indonesia, antara lain karena penanggulanganya belum dilakukan dengan benar (masih menekankan kuratif). Perhatian terhadap TBC dari masyarakat dan swasta pun masih rendah. Sangat jarang kegiatan yang terkait dengan TBC, misalnya kegiatan pengumpulan dana. Di tengah masyarakat ada anggapan bahwa penyakit TBC adalah penyakit yang tidak elite. Di wilayah X, jumlah penderita TBC pada tahun 2008, seluruhnya terdapat 14.416 orang. (http://www.gizi.net/cgi.bin/berita/fullnews.cgi?newsid diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat merumuskan suatu masalah yaitu bagaimana tingkat pengetahuan kepala keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita TBC di kelurahan X.

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan kepala keluarga dalam merawat anggota keluarga yang terkena TBC, di kelurahan X.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah kepala keluarga (KK) dapat :
a. Mengetahui definisi tentang TBC
b. Mengetahui etiologi / penyebab tentang TBC
c. Mengetahui patofisiologi terjadinya TBC
d. Mengetahui pengetahuan dan usaha pencegahan TBC
e. Mengetahui klasifikasi dan tipe penderita TBC
f. Mengetahui gejala penyakit TBC
g. Mengetahui pengobatan TBC
h. Mengetahui peran Pengawas Minum Obat (PMO)
i. Mengetahui pengobatan dan pencegahan TBC untuk anak
j. Mengetahui pengobatan TBC pada keadaan khusus
k. Mengetahui pemeriksaan-pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan.
l. Mengetahui komplikasi penyakit TBC.
m. Mengetahui cara merawat anggota keluarga dengan penyakit TBC.

D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik bagi institusi tempat melakukan penelitian maupun bagi peneliti sendiri.
1. Bagi FIKES Universitas X.
Secara akademik penelitian ini untuk menambah pengetahuan mahasiswa keperawatan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat dalam merawat anggota keluarga yang terkena TBC.
2. Bagi Praktisi
Diharapkan petugas Puskesmas dapat memberikan penyuluhan tentang merawat anggota keluarga yang terkena TBC sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang ada di wilayah kerjanya.
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang merawat anggota keluarga yang menderita TBC, sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pencegahan penularan TBC.


SKRIPSI PENGARUH BUDAYA PERUSAHAAN TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN PADA PT. HONDA X

SKRIPSI PENGARUH BUDAYA PERUSAHAAN TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN PADA PT. HONDA X

(KODE : FISIP-AN-0030) : SKRIPSI PENGARUH BUDAYA PERUSAHAAN TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN PADA PT. HONDA X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Setiap perusahaan selalu berusaha meningkatkan produktivitas karyawannya agar dapat bertahan, berkembang serta memiliki kepercayaan yang tinggi dari pihak luar perusahaan. Demi meningkatkan produktivitas karyawan, maka sering dilakukan pembenahan dan peningkatan sumber daya manusia dari karyawan.
Di era globalisasi dan perekonomian dunia yang pro pasar bebas (free market) dewasa ini, mulai tampak semakin jelas bahwa peranan non-human capital di dalam sistem perekonomian cenderung semakin berkurang. Para stakeholder yang bekerja di dalam sistem perekonomian semakin yakin bahwa modal tidak hanya berwujud alat-alat produksi seperti tanah, pabrik, alat-alat, dan mesin-mesin, akan tetapi juga berupa human capital. Sistem perekonomian dewasa ini mulai didominasi oleh peranan human capital, yaitu 'pengetahuan' dan 'ketrampilan' manusia.
Namun seringkali kegiatan peningkatan sumber daya manusia dari karyawan tidak mencapai hal yang diharapkan yaitu tercapainya tujuan dari organisasi perusahaan tersebut seperti peningkatan produktivitas kerja karyawan. Meskipun telah memiliki sumber daya yang berkualitas, karyawan belum tentu dapat memberikan hasil kerja yang baik bagi organisasi perusahaan apabila mereka masih berada dalam belenggu budaya kerja yang kurang mendukung dan tidak kondusif. Karyawan akan larut dalam budaya organisasi perusahaan yang tidak mendukung terhadap tujuan organisasi perusahaan yaitu melenceng dari nilai-nilai organisasi perusahaan.
Produktivitas karyawan ditentukan oleh keberhasilan budaya organisasi perusahaan (corporate culture) yang dimilikinya. Keberhasilan mengelola organisasi tidak lagi hanya ditentukan oleh keberhasilan prinsip-prinsip manajemen seperti planning, organizing, leading, controlling; akan tetapi ada faktor lain yang lebih menentukan keberhasilan peusahaan mencapai tujuannya. Faktor tersebut adalah budaya organisasi perusahaan (corporate culture). Budaya organisasi perusahaan dapat membantu penerapan manajemen dengan baik.
Budaya perusahaan secara realistis mempengaruhi produktivitas kerja karyawan. Kesadaran pemimpin perusahaan ataupun karyawan terhadap pengaruh budaya organisasi perusahaan dapat memberikan semangat yang kuat untuk mempertahankan, memelihara, dan mengembangkan budaya organisasi perusahaan tersebut yang merupakan daya dorong yang kuat untuk kemajuan organisasi perusahaan. Budaya organisasi perusahaan (corporate culture) yang kuat akan menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab yang besar dalam diri karyawan sehingga mampu memotivasi untuk menampilkan kinerja yang paling memuaskan, mencapai tujuan yang lebih baik, dan pada gilirannya akan memotivasi seluruh anggotanya untuk meningkatkan produktivitas kerjanya.
Budaya perusahaan (corporate culture) telah dikenal di Amerika Serikat dan Eropa di era tahun 1970-an. Salah satu tokoh yang memperkenalkan budaya organisasi perusahaan adalah Edward H. Schein. Beliau adalah professor dibidang manajemen dari Sloan School of Management dan juga sebagai ketua kelompok studi organisasi di lembaga manajemen tersebut sejak tahun 1972-1981 serta konsultan budaya organisasi pada berbagai perusahaan di Amerika dan Eropa. Salah satu tulisan beliau adalah Organizational culture and leadership. Di dalam buku ini, dijelaskan tentang prinsip dasar budaya organisasi perusahaan dan bagaimana seorang pemimpin menciptakan budaya organisasi perusahaan, yang diikuti oleh personil dan kelompok yang ada dalam perusahaan tersebut guna memajukan organisasi/perusahaannya.
Di Indonesia, budaya organisasi mulai diperkenalkan di era 1990-an, ketika itu banyak dibicarakan perihal konflik budaya, bagaimana mempertahankan budaya Indonesia serta pembudayaan nilai-nilai baru. Seiring dengan hal itu, budaya organisasi kemudian dimasukkan dalam kurikulum berbagai program pendidikan, pelatihan, bimbingan, dan penyuluhan, baik di lingkungan perguruan tinggi dan instansi pemerintah maupun di berbagai perusahaan swasta besar di Indonesia.
Misi dan filosofi perusahaan merupakan elemen kunci untuk membentuk dan menimbulkan budaya perusahaan. Misi perusahaan merupakan penjabaran dari filosofi perusahaan yang biasanya ditetapkan oleh pendiri perusahaan. Misi perusahaan mencakup maksud, tujuan, dan ruang lingkup kegiatan usaha suatu perusahaan, dan merupakan landasan dasar perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasar pendirian perusahaan. Filosofi perusahaan, apabila disadari dan dihayati oleh seluruh sumber daya manusia (SDM) dalam perusahaan, akan memberi semangat dan kekuatan yang memberdayakan sumber daya manusia (SDM) untuk mewujudkan misi perusahaan melalui kegiatan sehari-hari. Oleh karena itu, filosofi perusahaan perlu ditegaskan agar seluruh sumber daya manusia (SDM) dalam perusahaan menghayati dan menjiwai dan menjadi acuan dalam segala tindak dan perilaku dalam operasi perusahaan.
Banyak orang berpendapat tentang mobil merek Honda yaitu : terkenal dengan mobil sedannya. Honda pantas disebut sedan paling bagus di Indonesia. Honda terkenal dengan keiritannya akan pemakaian BBM, stabil bila dikendarai, harga jual yang tinggi, bertenaga, sporty, perawatan lebih murah, banyak main di rpm (revolution per minute) tinggi.
Sebelum kita melihat lebih dalam ke PT. X maka kita perlu mengetahui visi dan misi dari perusahaan tersebut. Adapun visi dan misi dari PT. X adalah : Visi : "Menjadikan Honda X Sebagai Dealer Honda Terbaik dari segi Sales, After Sales Service; Customer Satisfaction."
Misi :
1. Melebihi Pencapaian Target Penjualan dari HPM (Honda Prospect Motor) maupun Perusahaan.
2. Membentuk Team Marketing yang Produktif dan Berkualitas.
3. Memberikan Pelayanan yang Optimal kepada Konsumen.
4. Mencapai Market Share sesuai dengan Harapan dari HPM (Honda Prospect Motor).
5. Mencapai Kinerja dan Performance sesuai dengan Harapan dari Pemilik.
Untuk menjalankan visi dan misi tersebut, para anggota perusahaan harus menumbuhkan budaya kerja perusahaan yang memungkinkan visi dan misi perusahaan tersebut dicapai.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : "PENGARUH BUDAYA PERUSAHAAN (CORPORATE CULTURE) TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN PADA PT. HONDA X"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian yang melatarbelakangi masalah di atas, maka penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut : "Seberapa besar pengaruh budaya perusahaan (corporate culture) terhadap produktivitas kerja karyawan pada PT. Honda X"

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini :
1. Untuk mengetahui bagaimana Budaya Perusahaan (Corporate Culture) pada PT. Honda X.
2. Untuk mengetahui tingkat produktivitas kerja karyawan pada PT. Honda X.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh budaya perusahaan terhadap produktivitas kerja karyawan pada PT. Honda X.

D. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini, maka diharapkan akan memberikan manfaat antara lain :
1. Bagi penulis berguna untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berpikir dalam menganalisa setiap gejala dan permasalahan yang dihadapi di lapangan.
2. Bagi instansi, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan atau informasi tentang budaya perusahaan yang dapat mempengaruhi produktivitas kerja karyawan pada PT. Honda X.
3. Bagi FISIP, dapat memperkaya bahan referensi penelitian di bidang Ilmu-Ilmu Sosial pada umumnya dan Ilmu Administrasi Negara pada khususnya.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang disusun dalam rangka memaparkan keseluruhan hasil penelitian ini secara singkat dapat diketahui sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
BAB II METODE PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisi data, karakteristik objek penelitian yang relevan dengan topik penelitian.
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis.
BAB V ANALISIS DATA
Bab ini memuat analisa data pada Bab IV untuk selanjutna memberikan interpretasinya.
BAB VI PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang dilakukan.
SKRIPSI PENGARUH PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN (STUDI PADA CALL CENTER PT. TELKOMSEL X)

SKRIPSI PENGARUH PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN (STUDI PADA CALL CENTER PT. TELKOMSEL X)

(KODE : FISIP-AN-0029) : SKRIPSI PENGARUH PELAKSANAAN PENILAIAN KINERJA TERHADAP PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN (STUDI PADA CALL CENTER PT. TELKOMSEL X)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Masalah sumber daya manusia saat ini masih tetap menjadi pusat perhatian dan tumpuhan bagi suatu organisasi atau perusahaan untuk dapat bertahan di era globalisasi yang diiringi dengan tingkat persaingan yang semakin ketat. Sumber daya manusia mempunyai peran utama dalam setiap kegiatan perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan kunci pokok yang harus diperhatikan dengan segala kebutuhannya. Salah satu pelaksanaan manajemen sumber daya manusia yaitu adanya sistem penilaian terhadap kinerja yang disebut dengan penilaian kinerja. Penilaian tersebut adalah suatu proses penilaian yang sistematis yang terarah dan terpadu dalam menilai keseluruhan unsur-unsur yang dimiliki oleh karyawan sebagai pekerja yang produktif. Penilaian ini bertujuan untuk menilai secara menyeluruh terhadap pelaksanaan pekerjaan serta perilaku kerja karyawan yang berada dalam organisasi untuk memastikan bahwa semua pekerjaan yang telah dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya dan apabila terjadi suatu kesalahan atau penyimpangan maka pekerjaan tersebut dapat segera diperbaiki dan ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan.
Arti pentingnya penilaian kinerja dapat dilihat dengan jelas yaitu bahwa penialian kinerja tidak sekedar menilai yaitu mencari aspek dari pegawai atau karyawan tentang yang kurang atau lebih, tetapi lebih luas lagi yaitu membantu pegawai atau karyawan untuk mencapai kinerja yang diharapkan oleh organisasi dan berorientasi pada pengembangan pegawai atau karyawan. Untuk itu beberapa kegiatan yang merupakan bagian integral dengan penilaian kinerja harus dilakukan seperti penetapan sasaran kinerja yang spesifik, terukur, memiliki tingkat kemudahan yang sedang dan berbatas waktu (Hariandja : 2002 : 197). Selanjutnya sasaran atau standar yang jelas sangat diperlukan untuk memudahkan karyawan dalam mencapai kinerja yang telah ditetapkan dan akan memudahkan kegiatan penilaian kinerja.
Faktor penilaian obyektif memfokuskan pada fakta yang bersifat nyata dan hasilnya dapat diukur,misalnya kuantitas, kualitas, kehadiran dan sebagainya. Sedangkan faktor-faktor subyektif cenderung berupa opini seperti menyerupai sikap, kepribadian, penyesuaian diri dan sebagainya. Faktor-faktor subyektif seperti pendapat dinilai dengan meyakinkan bila didukung oleh kejadian-kejadian yang terdokumentasi. Dengan pertimbangan faktor-faktor tersebut diatas maka dalam penilaian kinerja harus benar-benar obyektif yaitu dengan mengukur kinerja karyawan yang sesungguhnya atau mengevaluasi perilaku yang mencerminkan keberhasilan pelaksanaan pekerjaan. Dengan Penilaian kinerja yang obyektif akan memberikan feed back yang tepat, dan melalui feedback yang tepat diharapkan terjadi pembahan perilaku kearah peningkatan produktivitas kerja yang diharapkan (Hariandja : 2002 : 198).
Call Center PT. Telkomsel X yang dinamakan Caroline (Customer Care On-Line) mempakan organisasi yang dibentuk untuk melayani pelangggan temtama dalam memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam memperoleh informasi, konsultasi, kebutuhan dan permasalahan pelanggan setiap saat, kapanpun dan di manapun yang dapat diakses melalui telepon selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu. Dalam pelaksanaan layanan tersebut, PT. Telkomsel selalu berupaya untuk menjaga kualitas pelayanan petugas Caroline agar pelanggan selalu mendapatkan informasi yang tepat dan sikap layanan yang memuaskan. Untuk mencapai upaya tersebut maka petugas Caroline telah dibekali dengan standar kinerja yang jelas dan dilakukan pelaksanaan penilaian kinerja secara periodik yang dilakukan oleh sebuah tim dengan tujuan agar kualitas pelayanan Caroline tetap terjaga dan dapat lebih bisa menampilkan kinerja yang produktif.
Berdasarkan Laporan Performansi Penyediaan Jasa Layanan Contact Center Call Center PT.Telkomsel X pada Bulan Januari, Februari, Maret, April dan Mei memperlihatkan nilai rata-rata penilaian kinerja dimensi solusi layanan berturut-turut sebesar 92.72, 90.77, 92.04, 93.49, dan 95.05 sementara untuk dimensi proses sikap dan layanan berturut-turut sebesar 95.61, 95.41, 94.56, 95.84, dan 95.94. Dari data tersebut menunjukan bahwa karyawan yang bertugas sebagai Caroline masih banyak yang mendapat nilai di bawah standar ideal yang telah di tetapkan yaitu 100 atau belum mencapai kinerja yang maksimal, tentu hal ini dapat menimbulkan masalah terhadap upaya mewujudkan peningkatan produktivitas karyawan dan juga bisa berdampak negatif bagi pelanggan yang menggunakan layanan call center tersebut.
Bertitik tolak dari latar belakang yang dikemukakan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh Pelaksanaan Penilaian Kinerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan di Call Center PT. Telkomsel X".

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : "Bagaimana Pengaruh Pelaksanaan Penilaian Kinerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan di Call Center PT. Telkomsel X ?"

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Penilaian Kinerja yang dilakukan Call Center PT. Telkomsel X.
2. Untuk mengetahui bagaimana Produktivitas Kerja karyawan pada Call Center PT. Telkomsel X.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh Pelaksanaan Penilaian Kinerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan pada Call Center PT. Telkomsel X.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang dilaksanakan ini adalah :
1. Bagi penulis penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemapuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang telah diterima di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2. Bagi FISIP, penelitian ini juga diharapkan dapat melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat mahasiswa dan dapat menjadi bahan referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.
3. Penelitian ini diharapkan menjadi sumbagan pemikiran dan bahan masukan kepada Call Center PT.Telkomsel X terhadap Pengaruh Pelaksanaan Penilaian Kinerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan.

1.5 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari uraian tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Definisisi Konsep, Definisisi Operasional, dan Sistematika Penulisan.
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menguraikan tentang Bentuk Penelitian, Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisa Data yang diterapkan dalam penelitian ini.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini menguraikan gambaran atau karakteristik lokasi penelitian berupa sejarah singkat, Visi dan Misi, dan Struktur Organisasi.
BAB IV PENYAJIAN HASIL PENELITIAN
Penyajian dilakukan dengan menguraikan hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan menganalisanya berdasarkan metode yang penulis gunakan.
BAB V ANALISA DAN INTERPRETASI DATA
Bab ini membuat pembahasan atau interpretasi dari data-data yang disajikan pada bab-bab sebelumnya.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini membuat tentang Kesimpulan dari hasil-hasil penelitian dan saran-saran yang dianggap penting bagi pihak yang membutuhkan.
SKRIPSI KUALITAS PELAYANAN DI KANTOR URUSAN SIM SATLANTAS POLRES X

SKRIPSI KUALITAS PELAYANAN DI KANTOR URUSAN SIM SATLANTAS POLRES X

(KODE : FISIP-AN-0028) : SKRIPSI KUALITAS PELAYANAN DI KANTOR URUSAN SIM SATLANTAS POLRES X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dalam era globalisasi dengan kondisi persaingan yang cukup ketat dan penuh tantangan aparatur pemerintah dituntut untuk bisa memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat dan berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Kualitas pelayanan kepada masyarakat ini menjadi salah satu indikator dari keberhasilan penyelenggara pemerintah.
Negara sebagai organisasi publik, pada dasarnya dibentuk untuk penyelenggaraan pelayanan masyarakat dan bukan dimaksudkan untuk berkembang menjadi besar sehingga mematikan organisasi publik lainnya. Meskipun organisasi publik memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan organisasi bisnis, akan tetapi tidak ada salahnya dalam operasionalnya menganut paradigma yang dianut dalam organisasi bisnis, yaitu : efisiensi, efektif, dan menempatkan masyarakat sebagai stakeholder yang harus dilayani sebaik-baiknya. Fokus dari dinamika perbaikan kualitas pelayanan terletak pada kepuasan masyarakat yang disini berperan sebagai stakeholder, oleh karena itu perlu dipahami hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Masyarakat dalam konteks ini adalah semua orang yang menuntut suatu organisasi publik untuk memenuhi standart kualitas tertentu dan arena itu memberi pengaruh organisasi publik.
Pada dasarnya suatu organisasi yang bergerak dalam bidang jasa kunci keberhasilan terletak pada pelayanan yang diberikan kepada masyarakat (pengguna jasa). Haruslah disadari pula bahwa pelayanan dan kepuasan masyarakat sebagai pengguna jasa merupakan suatu aspek vital dalam rangka mempertahankan eksistensi suatu organisasi. Meskipun demikian untuk mewujudkan kepuasan secara menyeluruh tidaklah mudah, apalagi masyarakat sekarang lebih terdidik dan betul-betul telah memahami haknya. Masyarakat akan selalu memperhatikan semua haknya dan dengan semaksimal mungkin akan menggunakannya untuk mendapatkan kepuasan kebutuhan.
Dalam konteks good governance, pelayanan publik merupakan gerbang utama reformasi birokrasi instansi karena pelayanan publik adalah ruang dimana masyarakat dan aparatur negara berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Disinilah pelayanan publik seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik karena akan terpantau secara transparan kebijakan, prosedur dan perilaku yang menyimpang. Paradigma pelayanan publik berkembang dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan.
Kepolisian Republik Indonesia disini merupakan bagian fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan dan keamanan, ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayom, dan pelayanan pada masyarakat. Secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa, polisi sangatlah lekat dengan pelayanan publik.
Penerbitan administrasi lalu lintas pelayanan Surat Izin Mengemudi (SIM), pelayan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), pelayan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), dan pengaduan kehilangan, kecelakaan, kematian, keramaian dan lainnya adalah bentuk pelayanan dari instansi Kepolisian terhadap masyarakat. Dalam suatu kenyataan di lapangan, tentang biaya pengurusan SIM, STNK dan BPKB menunjukan bahwa pembengkakan biaya pengurusan tersebut karena tidak sesuai dengan administratif dengan ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan di luar ketentuan oleh pengurusan.
Harus diakui bahwa kondisi pengurusan SIM saat ini secara umum tidak sesuai dengan tarif yang ditentukan. Demikian fenomena yang terjadi pada Kantor Urusan SIM Satlantas Polres X, keluhan dari masyarakat sekarang ini bahwa biaya pembuatan SIM C yang menurut ketentuan yaitu Rp. 75.000 bisa mencapai hampir Rp. 250.000, kemungkinan hal itu karena pemakaian jasa' perantara'. Diharapkan dalam fenomena ini petugas Kepolisian dapat menindak oknum secara tegas yang menaikkan biaya pembuatan SIM yang dinilai sangat memberatkan masyarakat. (www.mediakonsumen.com/artikel 665.html)
Seharusnya akses masyarakat untuk mendapatkan SIM harus lebih mudah dengan harga yang sesuai prosedur. Bukan hanya menyangkut biaya pembuatan SIM yang diluar prosedur, tetapi pelayanan aparat polisi dalam bertindak dan merespon keinginan pengguna jasa menjadi penilaian bagi masyarakat. Sikap polisi yang arogan, kurang ramah terhadap masyarakat dalam menangani pembuatan SIM menumbuhkan tudingan negatif dari masyarakat.
Masyarakat X dalam mengurus pembuatan SIM cenderung menggunakan jasa "perantara", karena mereka merasa lebih cepat dan mudah untuk mendapatkan SIM tanpa harus menjalani berbagai prosedur. Tetapi tidak sedikit pula yang mengeluhkan keberadaan perantara pada Kantor Urusan SIM Satlantas Polres X. Citra Polisi akan lebih baik lagi bila aparat Polri tidak mau menerima pemberian yang bersifat informal (pungli) sehingga masyarakat akan menghormati Polri sebagai aparat yang melayani dan mengayomi masyarakat. Diharapkan dalam hal ini Polri dapat memberantas pencaloan untuk pengurusan SIM, STNK, dan BPKB.
Beberapa keluhan dari masyarakat tentang pelayanan SIM diatas serta permintaan pembuatan SIM yang semakin meningkat di tiap tahunnya, membuat Polres X khususnya Satlantas terus berupaya melakukan langkah-langkah baru dibidang pelayanan pembuatan SIM. Rata-rata untuk pembuatan SIM di Satlantas Polres X 90-100 pemohon pembuat SIM tiap harinya. Hal tersebut tidak dapat diprediksi karena batas berlaku SIM tiap orang berbeda-beda. Berikut di sajikan jumlah pemohon SIM selama dua tahun terakhir di Kantor Urusan SIM Satlantas Polres X.
Banyaknya pemohon atau pemakai jasa layanan pembuatan SIM di Kantor Urusan SIM Satlantas Polres X haruslah diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan, karena masyarakat akan menuntut pelayanan yang lebih baik dari organisasi publik. Maka hal yang harus diingat bahwa pelayanan pada masyarakat merupakan tuntutan yang tidak bisa diabaikan, masyarakat merupakan bagian terpenting dari keberadaan dan kelangsungan suatu organisasi.
Kualitas pelayanan seringkali digunakan untuk melihat bagaimana kinerja pelayanan organisasi publik. Pelayanan umum di Kantor Urusan SIM Satlantas Polres X merupakan salah satu fungsi tugas pokok. Kualitas pelayanan tersebut mencerminkan kualitas dari instansi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Melalui pelayanan publik yang dilaksanakan untuk masyarakat, maka "wajah" sosok instansi akan banyak dinilai oleh masyarakat. Kualitas pelayanan yang baik akan mencitrakan instansi pemerintah yang baik dimata masyarakatnya. Pelayanan umum yang kurang baik tidak akan menciptakan suatu kepuasan pada masyarakat. Dari sinilah dapat disimpulkan dan dijadikan tolak ukur dimana dalam mewujudkan kepuasan pada masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan, instansi maupun pemerintah haruslah mampu untuk memberikan pelayanan sebaik mungkin dengan mengevaluasi aspek-aspek kualitas pelayanan yang ada.
Keberadaan Satlantas Polres X sangatlah dibutuhkan masyarakat untuk menunjang kelancaran dalam pembuatan SIM, tuntutan masyarakat terhadap Satlantas Polres X agar dapat meningkatkan pelayanan mereka merupakan keharusan bagi Satlantas Polres X guna mewujudkan kualitas pelayanan yang baik, sehingga apa yang menjadi keinginan dan harapan pengguna jasa akan dapat tercapai.

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut :
Bagaimanakah kualitas pelayanan di Kantor Urusan SIM Satlantas Polres X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kualitas pelayanan jasa yang diberikan oleh Kantor Urusan SIM Satlantas Polres X.
2. Memberikan input yang dianggap perlu untuk evaluasi terhadap kinerja pelayanan dan pengembangan SDM khususnya dari segi pelayanan pada masyarakat.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
1. Bagi peneliti sebagai latihan dalam penelitian dan penulisan yang bersifat ilmiah;
2. Sebagai referensi bagi pihak-pihak tertentu dalam mengevaluasi kinerja dan mengambil kebijakan dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat.
3. Dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian dalam bidang yang sama.
SKRIPSI PENGARUH PENGAWASAN TERHADAP DISIPLIN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR SEKRETARIAT DPRD

SKRIPSI PENGARUH PENGAWASAN TERHADAP DISIPLIN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR SEKRETARIAT DPRD

(KODE : FISIP-AN-0027) : SKRIPSI PENGARUH PENGAWASAN TERHADAP DISIPLIN KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL PADA KANTOR SEKRETARIAT DPRD




BAB I
PENDAHULUAN


A.Latar Belakang
Peranan Sumber Daya Manusia merupakan salah satu faktor utama yang sangat penting dalam suatu organisasi. Pemanfaatan Sumber Daya Manusia ecara efektif merupakan jalan bagi suatu organisasi untuk memperthnkan kelangsungan hdup dan pertumbuhan dimasa yang akan datang. Denga kata lain, keberhasilan atau kemunduran suatu organisasi tergantung pada keahlian dan keterampilan pegawainya masing-masing yang bkerja didalamnya.
Pegawai Negeri Sipil merupakan Sumber Daya Manusia Aparatur Negara yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyeleggaraan tugas negara, pemerinahan dan pembangunan, dengan dilandasi kesetiaan, dan ketaatan kepada pancasila dan Undang-undang 1945,. Kedudukan dan peranan Pegawai Negeri Sipil di Indonesia dirasakan semakin penting untuk menyelenggarakan pemerinthan dan pemabngunan dalam usaha mencapai tujuan nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang madani yang taat akan hukum, berperadapan modern, demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi. Kedudukan dan peranannya yang penting menyebabkan Pegawai Negeri Sipil senantiasa dituntut supaya memiliki kesetiaan dan ketaatan penuh dalam menjalankan
tugas-tugasnya dan memusatkan seluruh perhatian serta megerahkan segala daya dan tenaga secara berdaua guna dan berhasil guna.
Disiplin pada hakikatnya adalah pencerminan nilai kemandirian yang dihayati dan diamalkan oleh setiap individu dan masyarakat suatu bangsa dalam kehidupan. Untuk membina Pegawai Negeri Sipil yang memiliki kesetiaan dan ketaatan penuh, telah dikeluarkan peraturn tentang disiplin pegawai negeri. Dalam peraturan Pemerintaha Nomor 30 tahun 1980 dan telah diatur dengan jelas kewajiban yang harus ditaati dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh setiap Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pelanggaran disiplin. Dengan ditetapkannya peraturan tentang disilin bagi Pegawai Negeri Sipil adalah penting guna menjamin tata tertib dan kelancaran pelaksanaan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka. Karena kedisiplinan merupakan kunci atau pra syarat bagi suksesnya pelaksanaan tugas-tugas yang dipercayakan oleh organisasi.
Maka untuk menjamin terlaksananya seluruh tugas-tugas sesuai dengan apa yang telah direncanakan oleh organisasi tersebut, kesiapan sluruh pegawai baik itu kemampuan maupun kemauan yang tinggi sangat diharapkan didalam melaksanakan seluruh kegiatan organisasi serta menuntut adanya kedisiplinan yang tinggi dari para pegawai. Karena tanpa kedisiplianan akan timbul berbagai macam alternatif yang mengancam terealisasinya tujuan yang hendak di capai. Pegawai Negeri harus dapat memeriksa secara sadar dan menganggap sikap disiplin kerja tersebut sebagai kewajiban dan tanggung jawabnya. Dan ini pun berlaku juga bagi seluruh pegawai di kantor Sekretariat DPRD Kabupaten X.
Menurut penamatan penulis, kedisiplinan di Kantor Sekretriat DPRD Kabupaten X memang sudah cukup baik, namun demikian dalam setiap intansi atau organisasi pasti masih ada saja pegawai yang kurang disiplin dan kurang optimal dalam melaksanakan yugas-tugas kedinasan bahkan belum memahami peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman kerja ayau peraturan. Hal ini dapat terlihat dari kebisaan pegawai, seperti terlambat masuk kerja, pulang kerja lebih awal dari waktu yang ditentukan, masih adanya pegwai yang tidak mentaati peraturan dalam berpakaian dan masih ditemu adanya pegawai keluar kantor tanpa izin pimpinan bahkan untuk urusan yang yidak berhubungan sama sekali dengan tugasnya. Tentu saja hal ini dapat mengakibatkan pekerjaanyan menjadi tidak efektif dan efisien.
Oleh karena itu, adanya Suatu system pengawasan yang baik sangat penting dan berpengaruh dalam proses pelaksanaan kegiatan dalam organisasi. Karena pengawasan dianggap sebagai salah satu alternatif yang berhubunagn dengan pencegahan dan tindakan bagi Pegawai Negeri Sipil yang melanggar peraturan disiplin. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Sujamto (1998 : 18), bahwa pengawasan adalah segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan apakah sesuai dengan apa yang semestinya atau tidak.
Dan lebih lanjut pengawasan merupakan bagian dari fungsi menajemen yang diharapkan mempu menciptakan efisiensi dan efektifitas kerja yang dilakukan oleh para pegawai. Dengan pengawasan yang baik diharapkan akan berkurangnya kesalahan dan penyimpangan yang terjadi. Tugas seorang pemimpin adalah untuk mengawasi para pegawai yang ada dalam lingkup organisasinya.
Dari pendapat tersebut jelaslah bahwa peranan pengawasan adalah sesuatu hal yang sangat essensial dan tidak dapat diabaikan. Karena, pada hakekat nyan pengawasan adalah suatu usaha untuk mendeteksi kegiatan yang dilakukan oleh pegawai apakah kegiatan tersebut telah mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi serta untuk menilai pegawai dalam hal ketaatanya dan mematuhi kebijakan-kebijakan yang berlaku.
Pengawasan adalah kewajiban setiap atasan untuk mengatasi setiap bawahannya yang bersifat preventif dan pembinaan, untuk menciptakan aparatur yang lebih efektif, efisien, bersih dan berwibawa terutama dalam menanggulangi masalah korupsi, penyalahgunaan wewenang, kebocoran dan pemborosan keuangan Negara. Sehingga pimpinan dapat mengetahui kegiatan-kegiatan nyata dari setiap aspek serta permasalahan pelaksanaan-pelaksanaan tugas dalam lingkungan suatu organisasi masing-masing yang selanjutnya bilamana terjadi penyimpangan, dapat segera langsung dapat mengambil langkah-langakh perbaikan dan tindakan seperlunya sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya serta peratiran perundang-undangan yang berlaku.
Dari uraian diatas, maka untuk memperkecil atau mengurangi ruang gerak dari permasalahan tersebut mka setiap pemimpin satuan organisasi harus jeli melihat pentingnya pelaksanaan pengawasan dalam meningkatkan disiplin kerja pegawai, Bedasarkan dari uraian diatas penulis memilih tugas akhir dengan judul : "Pengaruh Pengawasan Terhadap Disiplin Kerja Pegawai Negeri Sipil Pada Kantor Sekretariat DPRD Kabupaten X"

B. Perumusan Masalah
Beetitik tolak dari uraian sebelumnya, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah : "Bagaimana pengaruh pengawasan terhadap disiplin kerja pegawai negeri sipil pada kantor sekretariat kabupaten X".

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pengawasan terhadap disiplin kerja pegawai negeri sipil pada Kantor Sekretariat DPRD Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan pengawasan pada Kantor Sekretariat DPRD Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui bagaimana tingkat disiplin pegawai negeri sipil pada Kantor Sekretariat DPRD Kabupaten X.

D.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat dan berguna dalam hal :
1. Untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis peroleh selama perkuliahan.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan khususnya bagi Kantor Sekretariat DPRD Kabupaten X.
3. Sebagai bahan tambahan referensi untuk penulisan yang relevan.

E. Sistematika Penulisan
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini beisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, definisisi konsep, definisisi operasional, dan sistematika penulisan.
BAB II : METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik penetuan skor, dan teknik analisis data.
BAB III : GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Bab ini meliputi gamaran umum lokasi penelitian, sejarah singkat berdirinya organisasi, kedudukan, tugas dan fungsi struktur organisasi.
BA IV : PENYAJIAN DATA
Bab ini berisikan tentang data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dan memberikan interpretasi dari data yang di peroleh sehingga dapat menjawab permaslahan yang sudah dirumuskan.
BAB V : ANALISA DATA DAN INTERPRETASI DATA
Bab ini membahas tentang analisa dan interpretasi dari data yang di peroleh sehingga dapat menjawab permaslahan yang sudah dirumuskan.
BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan dan saran yang dianggap penting bagi pihak yang membutuhkan.
SKRIPSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN ALOKASI DANA DESA X

SKRIPSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN ALOKASI DANA DESA X

(KODE : FISIP-AN-0026) : SKRIPSI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PEMANFAATAN ALOKASI DANA DESA X




BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka daerah diberi keleluasaan untuk menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan serta dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. UU ini sebagai landasan hukum bagi tiap daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Masyarakat diberi peran yang lebih besar dalam pembangunan daerah. Selain itu masyarakat dituntut berkreativitas dan berinovasi dalam mengelola potensi daerah serta memprakarsai pembangunan daerah.
Sejalan dengan perkembangan kemampuan rakyat dalam pembangunan dan berkurangnya campur tangan pemerintah pusat terhadap daerah, maka pembangunan seharusnya diarahkan untuk merubah kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Perencanaan dan implementasi pembangunan seharusnya merupakan usaha untuk memberdayakan rakyat sehingga mereka mempunyai akses terhadap sumber-sumber ekonomi.
Model pembangunan yang melibatkan masyarakat dapat juga disebut dengan model pembangunan partisipatif. Pelaksanaan pembangunan partisipatif merupakan konsekuensi logis dari tuntutan reformasi dan keterbukaan yang diinginkan oleh masyarakat sejak tumbangnya rejim orde baru, yang juga didukung oleh prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang tertuang dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan pentingnya dilaksanakan otonomi daerah, demokratisasi, partisipasi masyarakat serta desentralisasi kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan di tingkat daerah.
Berdasarkan Pedoman Umum Proyek Pemberdayaan Masyarakat untuk Pembangunan Desa (PMPD) Tahun 2004, dari berbagai kebijakan dan program pembangunan yang telah dilaksanakan pemerintah, upaya penanggulangan kemiskinan menunjukkan hasil yang cukup menarik, yaitu berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 68% pada tahun 1970 menjadi hanya 11% pada tahun 1996. Namun demikian, sebagai akibat adanya krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan berkembang menjadi krisis multi dimensi, jumlah penduduk miskin pada tahun 1999 kembali meningkat menjadi 23,4% atau sejumlah 47,97 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 15,6 juta jiwa berada di perkotaan dan 32,33 juta jiwa di perdesaan. Di samping itu, masih ada sekitar 25% penduduk yang diperkirakan rentan terhadap kemiskinan. Hal ini berarti hampir separuh penduduk Indonesia dapat dikategorikan miskin atau rentan terhadap kemiskinan.
Kondisi tersebut digambarkan melalui komposisi dan jumlah penduduk miskin desa-kota yang sangat besar. Selain itu, berdasarkan tabel di atas juga dapat dijelaskan bahwa jumlah penduduk miskin di pedesaan cenderung lebih besar apabila dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Salah satu akar permasalahan kemiskinan di kawasan perdesaan adalah terdapatnya ketidakseimbangan hubungan dengan kawasan perkotaan yang cenderung merugikan perdesaan. Oleh karena itu diperlukan upaya penguatan perdesaan yang menempatkan desa sebagai basis desentralisasi. Hal ini penting karena tiga alasan, yaitu :
1. Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di dalam komunitas pedesaan.
2. Komunitas pedesaan itu terkelompok ke dalam satuan masyarakat hukum yang memiliki pemerintahan yang otonom.
3. Desentralisasi di tingkat desa akan meningkatkan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. (www.forumdesa.org)
Meskipun Desa seharusnya menjadi basis desentralisasi dan mampu menjalankan peran sebagai self governing community, kebanyakan Desa menghadapi masalah yang akut. Pertama : Desa memiliki APBDES yang kecil dan sumber pendapatannya sangat tergantung pada bantuan yang sangat kecil pula. Kedua : Kesejahteraan masyarakat desa rendah sehingga susah bagi Desa mempunyai Pendapatan Asli Desa (PADes) yang tinggi. Ketiga : Masalah itu diikuti oleh rendahnya Dana Operasional Desa untuk menjalankan pelayanan. Keempat : Tidak kalah penting bahwa banyak program pembangunan masuk ke desa, tetapi hanya dikelola oleh Dinas. Program semacam itu mendulang kritikan bahwa program tersebut tidak memberikan akses pembelajaran bagi Desa dan program itu bersifat top down sehingga tidak sejalan dengan kebutuhan Desa dan masyarakatnya. (www.forumdesa.org)
Menurut Ilham Maulana, Ketua Forum Masyarakat Labuhan Batu, data survey dari Desa Tebangan Kec.Bilah Barat dan Desa Aek Bontar Kec.Bilah Hulu yang dilakukan mulai tahun 2004 hingga 2007 menunjukkan bahwa beberapa desa yang melakukan pemberdayaan (swadaya) oleh kelompok swadaya yang tidak di program (proyek) justru berhasil dengan baik, seperti membuat kolam ikan mas, nila dan lele secara kolektif yang bisa ditularkan ke beberapa dusun lain di Bilah Barat. Pembangunan masjid, aula desa dan sekolah secara swadaya juga berhasil di Kec. Bilah Hulu dan dikerjakan sendiri. (www.bitra.or.id/news.php)
Banyak hal telah dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, akan tetapi masih menemui jalan buntu. Seperti Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Takesra, Kukesra, PDMDKE, P2KP dll, belum dapat memberikan hasil yang spektakuler. Turunnya berbagai bantuan tersebut belum ditindaklanjuti dengan manajemen program yang tepat. Untuk menciptakan keberdayaan dan kemandirian masyarakat, tidak cukup dengan stimulan dana saja. Semestinya stimulan dana tersebut dibarengi dengan kemampuan manajemen dan pengorganisasian yang baik. (Ambar Teguh Sulistiyani, 2004 : 19).
Menurut Ilham Maulana, belum berhasilnya upaya pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah seperti penyediaan kebutuhan pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir, pembangunan sarana dan prasarana umum dan pendampingan, dikarenakan kebijakan program yang selama ini dilakukan merupakan kebijakan dari pemerintah pusat (top down), di mana kebijakan tersebut mempunyai banyak kelemahan yang perlu dikoreksi secara mendasar seperti : (1) Pemberdayaan yang berindikasi KKN (2) Masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro (3) Kebijakan yang terpusat (4) Lebih bersifat karikatif (5) Memposisikan masyarakat sebagai obyek (6) Cara pandang kemiskinan yang diorientasikan pada ekonomi (7) Bersifat sektoral (8) Kurang terintegrasi (9) Tidak berkelanjutan atau mengesampingkan faktor/daya dukung lingkungan. (www.bitra.or.id/news.php)
Gerakan pembangunan selama ini sering kali bias kepentingan politik. Atmosfir semacam itu berdampak pada pelayanan publik yang tidak merata. Ada desa yang selalu mengalir dengan lancar proyek-proyek dari tahun ke tahun, atau bahkan bisa bertumpuk beberapa proyek secara bersamaan, namun ada desa yang sama sekali tidak pernah tersentuh proyek tersebut. Kondisi semacam ini di samping menciptakan kecemburuan antar masyarakat juga membangun rasa enggan, apatis, bahkan kebencian pada pemerintah bagi desa yang tidak pernah kebagian proyek tersebut. (www.forumdesa.org)
Selain itu, beban pembangunan bisa dikatakan lebih besar di kota daripada desa. Akses pelayanan publik di kota jauh lebih cepat berkembang daripada di desa dan dengan demikian pelayanan masyarakat semakin senjang dari waktu ke waktu. Strategi pembangunan semacam ini tidak akan bisa mengatasi kemiskinan struktural. Jumlah kemiskinan di desa akan selalu lebih tinggi dan urbanisasi akan terus semakin besar. Sejalan dengan permasalahan tersebut, pada tahun 2005 pemerintah mengeluarkan kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD), yang ditandai dengan terbitnya PP Nomor 72 Tahun 2005, yang tujuannya lebih mengarah pada pemberdayaan desa.
Pelaksanaan alokasi dana desa (ADD) diatur oleh pemerintah dalam PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Dalam pasal 68 ayat 1 huruf c, dijelaskan bahwa bagian dari dana perimbangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa. Peraturan mengenai Alokasi Dana Desa ditindak lanjuti melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/640/SJ Tahun 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa yang intinya berisi mengenai prosedur pelaksanaan Alokasi Dana Desa.
Untuk menindaklanjuti PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa serta SE Mendagri Nomor 140/640/SJ tentang Pedoman Alokasi Dana Desa, pemerintah kabupaten X pada tahun 2006 mengeluarkan Perda Nomor 27 Tahun 2006 tentang Keuangan Desa dan kemudian mengeluarkan Peraturan Bupati X Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Sumber Pendapatan dan Kekayaan Desa.
Untuk mengatur pelaksanaan Alokasi Dana Desa secara lebih rinci, Pemerintah Kabupaten X kemudian mengeluarkan Peraturan Bupati X Nomor 20 Tahun 2007 tentang Mekanisme Penyaluran Alokasi Dana Desa (ADD) dimana dalam Bab II Pasal 5 mengatur tentang Penggunaan Alokasi Dana Desa yakni Alokasi Dana Desa yang diterima Pemerintah Desa sejumlah 30% dipergunakan untuk biaya operasional penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Biaya operasional tersebut mencakup : (a) Belanja Pemerintah Desa seperti belanja barang, belanja pemeliharaan, biaya perjalanan dinas, biaya rapat, ATK dan lain-lain sebesar 20%. (b) Operasional dan tunjangan BPD terdiri dari tunjangan pimpinan dan anggota BPD, perjalanan dinas, biaya rapat dan ATK sebesar 25%. (c) Tambahan kesejahteraan Kepala Desa dan Perangkat Desa sebesar 15%. (d) Bantuan biaya operasional Lembaga Desa yang dibentuk, diakui dan dibina oleh Pemerintah Desa seperti LPMD, RT, RW, PKK, Karang Taruna dan LINMAS sebesar 40%. Kemudian ADD yang diterima Pemerintah Desa sejumlah 70% dipergunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa. Pemberdayaan masyarakat desa ini mencakup : (a) Belanja pembangunan fisik diprioritaskan untuk mendukung pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, kesehatan masyarakat desa dan peningkatan pelayanan masyarakat. (b) Belanja pembangunan non fisik dalam rangka penguatan ekonomi masyarakat desa.
Sebagaimana tercantum dalam Peraturan Bupati X Nomor 20 Tahun 2007, ADD dimaksudkan untuk membiayai program Pemerintahan Desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Sedangkan tujuan dari ADD adalah :
1. Meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa sesuai kewenangannya.
2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan secara parti sipatif sesuai dengan potensi desa.
3. Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat desa.
4. Mendorong peningkatan swadaya gotong-royong masyarakat desa.
Alokasi Dana Desa (ADD) adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk Desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten. Pemberian ADD merupakan stimulus bagi kemandirian masyarakat desa dalam melakukan pembangunan di wilayahnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bupati X, Rina Iriani, yang mengemukakan bahwa ADD dapat dijadikan stimulan untuk menggerakkan masyarakat agar berpartisipasi dalam pembangunan, karena kalau hanya mengandalkan dana pemerintah, jumlahnya sangat terbatas. Nantinya, desa yang terbesar dalam penggalian swadaya akan memperoleh penghargaan (Solopos, 30 Juli 2007 hal IX).
Dengan sudah ditetapkannya berbagai macam dasar hukum mengenai ADD diatas, maka Desa X sebagai bagian daerah di Kabupaten X berkewajiban untuk melaksanakan kebijakan ADD sesuai dasar hukum yang telah ditetapkan dan pada Desa X sudah menerapkannya. Akan tetapi, dalam pelaksanaan ADD tersebut peneliti menemukan permasalahan khususnya mengenai pemberdayaan masyarakatnya.
Dalam Musrenbangdes ada usulan pembangunan dari Dusun Kabang yang tidak dimasukkan dalam APBDesa X. Usulan tersebut yaitu usulan untuk membangun jembatan yang sudah runtuh sebagian karena curah hujan yang tinggi. Jembatan tersebut merupakan akses terdekat yang menghubungkan Dusun Kabang dengan jalan utama ke Desa X. Seharusnya usulan ini bisa menjadi prioritas dalam pembangunan di Dusun Y. Hal ini seperti yang diungkapkan Bapak Suwarto selaku Perangkat Desa X sebagai berikut :
"Dalam Musrenbangdes ada usulan pembangunan dari Dusun Kabang yang tidak dimasukkan dalam APBDesa X. Usulan tersebut yaitu usulan untuk membangun jembatan yang sudah runtuh sebagian karena curah hujan yang tinggi." (Wawancara, 2/6/2008)
Selain itu, dalam pelaksanaanya, penggunaan ADD di Desa X sejumlah 70% yang dipergunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa secara keseluruhan hanya mencakup belanja pembangunan fisik saja. Padahal dalam Peraturan Bupati X Nomor 20 Tahun 2007 dijelaskan bahwa ADD yang diterima Pemerintah Desa sejumlah 70% dipergunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa harus mencakup belanja fisik dan belanja non fisik.
Berdasarkan permasalahan yang terkait dengan penggunaan ADD tersebut, peneliti menjadi tertarik untuk mengetahui pelaksanaan ADD di Desa X terutama mengenai pengembangan program pemberdayaan masyarakat. Apakah ADD ini hanya diposisikan sebagai dana proyek pembangunan saja (hal ini cenderung seperti transfer keuangan saja dari Pemerintah Kabupaten ke Pemerintah Desa dan seluruh pembangunan dikerjakan oleh Tim Pelaksana ADD) atau ADD diposisikan sebagai dana untuk membangun wilayahnya sekaligus untuk meningkatkan kemampuan masyarakatnya.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa X ?
2. Faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa X ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan fokus permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa X.
2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa X.
3. Untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan (S-1) Ilmu Administrasi di Fakultas Ilmu dan Ilmu Politik.

D. MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten X, khususnya Pemerintah Desa di X
Diharapkan dapat menjadi masukan dan sekaligus evaluasi terhadap pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) di Desa X.
2. Bagi Penulis
Karya ini dapat melatih kepekaan penulis untuk menemukan masalah dalam masyarakat serta dapat menjadi syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan (S-1) Ilmu Administrasi di Fakultas Ilmu dan Ilmu Politik.