A. Latar Belakang Masalah
Presiden Republik Indonesia pada pertengahan tahun 1998 telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian (selanjutnya disebut Inpres No 18 Tahun 1998). Melalui Inpres No 18 Tahun 1998, Presiden Republik Indonesia memerintahkan kepada Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah untuk mempermudah perijinan pendirian koperasi. Dikeluarkannya Inpres No 18 Tahun 1998 berdampak pada banyaknya jumlah koperasi yang berdiri di Indonesia. Inpres No 18 Tahun 1998 memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batasan wilayah kerja, koperasi menjadi lebih mandiri dan bebas melakukan aktivitas usahanya tanpa ada campur tangan pemerintah (Muhammad Firdaus dan Agus Edhi S, 2002 : 109).
Kebijakan tersebut tidak terlepas dari keinginan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian rakyat melalui koperasi. Didalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut Undang-Undang No 25 Tahun 1992) dinyatakan bahwa koperasi diselenggarakan berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi sebagai badan perusahaan yang berdasar atas asas kekeluargaan dianggap sebagai soko guru perekonomian nasional yang sesuai dengan sendi-sendi perekonomian Indonesia yang tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945).
Pasal 44 Undang-Undang No 25 Tahun 1992 menyatakan bahwa "Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk anggota dan calon anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi lain dan atau anggotanya". Berdasar ketentuan Pasal 44, jati diri sebuah koperasi adalah "dari anggota, oleh anggota, untuk anggota". Hal tersebut sejalan dengan tujuan koperasi. Adapun tujuan koperasi yaitu memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Menurut Halomoan Tamba, dari perspektif sejarah koperasi Indonesia, dapat ditarik suatu benang merah bahwa koperasi Indonesia lahir dan tumbuh dari "proses simpan pinjam". Artinya, koperasi yang ada saat ini diawali dari adanya kegiatan simpan pinjam. Koperasi Simpan Pinjam merupakan embrio berkembang-mekarnya suatu koperasi (http://www.smecda.com/deputi7/file _Infokop/Edisi%2022/revitalisasi.htm).
Koperasi Simpan Pinjam merupakan salah satu jenis koperasi yang peraturannya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (selanjutnya disebut PP No 9 Tahun 1995) dan Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (selanjutnya disebut Kepmen No : 351/Kep/M/XII/1998).
Kemudahan dalam perijinan pendirian koperasi telah mendorong semakin banyaknya berdiri koperasi, salah satunya adalah Koperasi Simpan Pinjam. Saat ini banyak kita jumpai Koperasi Simpan Pinjam yang bermunculan bak jamur di musim hujan. Menurut Sriyadi, Kepala Dinas Pelayanan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Jawa Tengah, pada akhir 2006, ada 11.235 unit koperasi yang aktif menjalankan aktivitasnya. Dari unit koperasi yang aktif sebanyak 82% atau sekitar 7.200 koperasi merupakan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dengan anggota mencapai 87% dari jumlah anggota seluruh koperasi di Jawa Tengah (http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2007/06/04/brk.20070604-101190.id.html).
Banyaknya Koperasi Simpan Pinjam yang ada saat ini bukan jaminan terwujudnya perekonomian nasional yang mapan. Bahkan Koperasi Simpan Pinjam yang ada saat ini justru dinilai telah jauh meninggalkan prinsip serta tujuan utama koperasi. Dari sekitar 16.000 koperasi yang tercatat di Dinas Pelayanan Koperasi dan UMKM Jawa Tengah, sebanyak 4.765 koperasi hanya tinggal papan nama karena tidak ada lagi aktivitasnya. Banyaknya koperasi yang tinggal papan nama karena koperasi tersebut didirikan hanya untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Padahal untuk mendapatkan fasilitas itu tidak mudah karena syaratnya antara lain koperasi itu sehat dan usianya lebih dari dua tahun (http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2007/06/04/brk.20070604101190.id.html).
Seiring berjalannya waktu, jati diri koperasi sebagai badan usaha "dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota" dinilai semakin pudar. Koperasi Simpan Pinjam yang ada lebih berorientasi pada keuntungan atau laba yang tinggi, bukan pada kemakmuran anggotanya. Semakin banyak Koperasi Simpan Pinjam yang berdiri, semakin ketat pula persaingan antar sesama Koperasi Simpan Pinjam. Mereka saling berinovasi dan berlomba-lomba menawarkan berbagai bentuk investasi simpanan untuk mencari calon-calon anggota.
Ketentuan "calon anggota" dalam Pasal 18 ayat (2) PP No 9 Tahun 1995 ternyata telah dimanfaatkan oleh Koperasi Simpan Pinjam. Koperasi Simpan Pinjam memanfaatkan ketentuan "calon anggota" untuk merekrut masyarakat dengan harapan mereka mau berinvestasi di Koperasi Simpan Pinjamnya sehingga semakin banyak masyarakat yang direkrut semakin banyak pula keuntungan yang didapat. Meskipun ketentuan tentang calon anggota telah diatur secara jelas, bahwa dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota. Namun kenyataanya setelah waktu yang ditentukan berakhir calon-calon anggota tersebut statusnya tidak berubah menjadi anggota.
Kegiatan usaha Koperasi Simpan Pinjam telah diatur dalam Pasal 19 ayat (1) PP No 9 Tahun 1995 yang menyebutkan bahwa : "Kegiatan Usaha Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam adalah : a. menghimpun simpanan koperasi berjangka dan tabungan koperasi dari anggota dan calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya; b. memberikan pinjaman kepada anggota, calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya". Berdasarkan Kepmen No : 351/Kep/M/XII/1998, dalam melaksanakan kegiatan usaha penghimpunan dana, ada 2 (dua) bentuk simpanan yang diperbolehkan, yaitu tabungan koperasi dan simpanan berjangka. Untuk melayani kebutuhan penyimpanan, koperasi dapat menciptakan berbagai jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka. Pemberian nama dan ketentuan mengenai jenis-jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka merupakan wewenang pengurus koperasi.
Namun dalam prakteknya, seringkali Koperasi Simpan Pinjam melakukan penghimpunan dana dari masyarakat yang jelas-jelas bukan anggota koperasi dalam bentuk deposito berjangka dengan memberikan bunga kepada nasabahnya di atas bunga bank. Dengan menempatkan sejumlah uangnya pada koperasi, para calon nasabah diberikan harapan nantinya akan mendapatkan pengembalian yang tinggi, tanpa harus bekerja keras keuntungan pun bisa didapat. Tawaran semacam ini sangat menggiurkan, karena orang akan lebih cenderung bersikap pragmatis untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Dorongan kuat akan memperoleh keuntungan tinggi mampu membuat orang tanpa perlu lagi mempertimbangkan secara masak terhadap rasionalitas usaha maupun kemungkinan resikonya. Sehingga banyak masyarakat yang kemudian tertarik dan menginvestasikan uangnya (http://yy2n.wordpress.com/tinjauan-hukum-terhadap-perlindungan-dana-nasabah-dalam-koperasi-simpan-pinjam).
Seperti kasus yang dilakukan oleh Koperasi Simpan Pinjam Manunggal Utama Karya yang ada di Solo. Kasus tersebut berkedok penawaran deposito berjangka. Para nasabah mengaku tergiur iming-iming bunga tinggi, sehingga membeli sertifikat deposito berjangka dengan nilai 10 juta rupiah per sertifikat. Karena tergiur keuntungan yang besar, sejumlah nasabah terbujuk untuk membeli belasan sertifikat tersebut. Namun hingga batas waktu yang dijanjikan bunga dan pengembalian uang deposito ternyata tidak juga dibayarkan oleh pihak koperasi (http://euro2008.tempointeraktive.com/hg/nusa/2007/11/05/brk/20071105-110756.id.html).
Contoh kasus lainnya yaitu, kasus yang dilakukan oleh Wijaya Bank, Kendati namanya Memakai kata "bank", Wijaya Bank (WB) bukanlah bank, tetapi murni usaha Koperasi Simpan Pinjam. Dahlan Sutalaksana selaku Direktur Muda Bank Indonesia telah melakukan pengecekan dan hasilnya dinyatakan bahwa nama WB tidak tercantum dalam daftar nama bank-bank yang diberi izin operasi oleh Departemen Keuangan. Hasil pengecekan tersebut dilaporkan kepada polisi dan segera ditindaklanjuti oleh polisi. Dari hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa Wijaya Bank memiliki izin sebagai Koperasi Usaha Simpan Pinjam dari Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Koperasi DKI Jakarta per 1 Juni 1992. Dalam izin hanya dicantumkan nama Koperasi Simpan Pinjam Wijaya, tanpa sebutan "bank" dibelakangnya. Semula, koperasi itu hanya memiliki izin usaha sebagai Koperasi Simpan Pinjam dari anggotanya. Namun, dengan bantuan oknum di kantor koperasi, izin usahanya diubah menjadi menerima deposito berjangka, sertifikat deposito, valuta asing, juga izin mengeluarkan kartu kredit (http://majalah.tempointeraktive.com/id/cetak/1992/09/12/KRI/mbm.1992091 2.KRI10378.id.html).
Perizinan bagi setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diawasi. Hal ini mengingat dalam kegiatan itu terkait perlindungan dana masyarakat yang disimpan. Terkait dengan kasus Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana dari masyarakat di luar anggotanya, hal tersebut mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 44 Undang-Undang No 25 Tahun 1992 juncto Pasal 18 ayat (1) PP No 9 Tahun 1995. Ditinjau dari Undang-Undang Perbankan, Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana masyarakat diluar anggota juga diindikasikan melanggar ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Pasal 21 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa salah satu bentuk hukum suatu bank yaitu koperasi. Berdasar ketentuan tersebut, secara normatif jika suatu koperasi ingin menghimpun dana dari masyarakat, maka koperasi tersebut harus mendapat izin sebagai bank dari Bank Indonesia. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa :
Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Menteri, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pihak yang menghimpun dana masyarakat tanpa izin Bank Indonesia sering disebut sebagai "Bank gelap". Ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 16 ayat (1) tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat (1) yang berbunyi :
Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Selanjutnya Pasal 46 ayat (2) menyebutkan bahwa :
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Terkait dengan penyimpanan dana nasabah di Koperasi Simpan Pinjam, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan bagi nasabah yang menyimpan dananya di Koperasi Simpan Pinjam. Dengan tidak adanya perlindungan bagi nasabah penyimpan dana, maka dalam kegiatan Koperasi Simpan Pinjam rawan terjadi tindak pidana. Tindak pidana yang biasa terjadi dalam kegiatan Koperasi Simpan Pinjam yaitu penipuan dan/atau penggelapan atas dana nasabah yang disimpan oleh pengurus Koperasi Simpan Pinjam.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan menyusunnya dalam sebuah skripsi yang berjudul : KAJIAN YURIDIS PENYELENGGARAAN KEGIATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM YANG BERPOTENSI TINDAK PIDANA.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam ?
2. Tindak pidana apa saja yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam ?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tujuan penelitian juga harus jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam dalam peraturan perundang-undangan;
b. Untuk mengetahui Tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
2. Tujuan Subyektif
a. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam program studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas X;
b. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis dalam mengkaji masalah di bidang hukum pidana dan hukum perdata khususnya mengenai tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam;
c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori ilmu hukum yang telah penulis peroleh.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat penulis ambil dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum pidana dan hukum perdata pada khususnya;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam kepustakaan tentang tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam;
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan bagi penelitian-penelitian sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti;
b. Menjadi sarana bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah.
E. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Istilah "metodologi" berasal dari kata "metode" yang berarti "jalan ke". Terhadap pengertian metodologi, biasanya diberikan arti-arti sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2006 : 5-6) :
1. logika dari penelitian ilmiah;
2. studi terhadap prosedur dan teknik penelitian;
3. suatu sistim dari prosedur dan teknik penelitian.
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Adapun maksud dari penelitian hukum normatif itu adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2006 : 10).
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, ada beberapa pendekatan dalam penelitian hukum. Pendekatan-pendekatan itu antara lain pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 93).
Dalam penulisan ini, penulis cenderung menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Sedangkan pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder, yaitu data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan sebagainya yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji oleh penulis.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah sumber data sekunder. Dimana data sekunder tersebut mencakup (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007 : 13) :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
3) Undang-Undang No 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
4) Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi;
5) Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nom or : 351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi;
6) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan penelitian hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 141). Bahan penelitian hukum yang digunakan buku-buku yang terkait dengan materi/bahasan yang penulis gunakan yaitu buku yang membahas mengenai penyelenggaraan Koperasi khususnya Koperasi Simpan Pinjam dan Potensi tindak pidana yang terjadi dalam kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka Studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan data terkait penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam, dengan cara mengunjungi perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, literatur, artikel majalah dan koran, karangan ilmiah, makalah dan sebagainya yang berkaitan erat dengan pokok permasalahan dalam penelitian yaitu terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
6. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis isi (content analysis), yaitu suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya analisis ini mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemrosesan data ilmiah (bahan hukum).
Mengutip dari Albert Widjaja dalam bukunya Noeng Muhadjir, tentang content analysis, dalam menganalisa harus berlandaskan aturan yang dirumuskan secara eksplisit (Noeng Muhadjir, 2000 : 68). Berdasarkan pendapat tersebut, dalam hal ini penulis berusaha mendeskripsikan isi yang terdapat dalam suatu peraturan, mengidentifikasinya, dan mengkompilasi data-data terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam yang diperoleh penulis, kemudian mengurutkannya berdasarkan isu hukum terkait dan mengkorelasikannya dengan alur pemikiran sehingga dapat diketemukan suatu benang merah yang mengarah kepada pembahasan dan menghasilkan kesimpulan. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan tersebut kemudian ditemukan suatu celah yang dapat dimanfaatkan guna memberikan saran/masukan.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini yang terdiri dari 4 (empat) Bab. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelititan, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis memberikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang Perkoperasian di Indonesia dan tinjauan tentang Tindak Pidana. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka dalam bab ini juga disertai dengan kerangka berfikir.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis mengungkapkan dan membahas hasil penelitian dari sumber data sekunder. Untuk mempermudah dalam mengungkapkan dan membahas hasil penelitian, maka penulis membaginya menjadi 2 (dua) tahap :
a. Penulis mendiskripsikan hasil temuan data yang diperoleh penulis sehubungan dengan peraturan perundang-undangan mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam;
b. Penulis melakukan kajian terhadap temuan-temuan data tersebut untuk menjawab rumusan masalah kedua mengenai Tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini penulis memberikan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan serta memberikan saran-saran terhadap beberapa kekurangan yang menurut penulis perlu diperbaiki dan yang penulis temukan selama penelitian.