Search This Blog

Tesis Hubungan Kemampuan Manajerial Aparat Pemerintah Desa Dengan Pembangunan Desa (Studi Pada Desa-Desa Di Kecamatan X Kabupaten X Propinsi X)

Tesis Hubungan Kemampuan Manajerial Aparat Pemerintah Desa Dengan Pembangunan Desa (Studi Pada Desa-Desa Di Kecamatan X Kabupaten X Propinsi X)

(Kode STUDPEMBX0021) : Tesis Hubungan Kemampuan Manajerial Aparat Pemerintah Desa Dengan Pembangunan Desa (Studi Pada Desa-Desa Di Kecamatan X Kabupaten X Propinsi X)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, semakin menguatkan posisi daerah dalam upaya meningkatkan kemampuan di segala bidang, karena semua yang menyangkut kemajuan daerah diserahkan pengelolaan sepenuhnya kepada daerah, terutama Kabupaten dan Kota sebagai titik berat otonomi daerah.
UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah secara normatif mengatur tentang desa sebagai unit organisasi pemerintah terendah, yang sebelumnya pada UU No. 5 Tahun 1979 bercorak sentralistik. Pergeseran perubahan yang menonjol pada UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004, terletak pada filosofi yang digunakan, yaitu keanekaragaman dalam kesatuan sebagai kontra konsep dari filosofi keseragaman yang digunakan dalam UU No. 5 Tahun 1979.
Dalam kerangka otonomi daerah, salah satu komponen yang masih perlu dikembangkan adalah wilayah pedesaan. Eksistensi desa memiliki arti penting dalam proses pembangunan pemerintahan dan kemasyarakatan, karena desa memiliki “hak otonomi”, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus secara bebas rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan adat istiadat masyarakat setempat. Dengan demikian, pembangunan pedesaan menuju terciptanya desa yang mandiri tidak dapat dilakukan secara uniform dan stereotifikal untuk seluruh bangsa/negara.
Merujuk pada konsep pengembangan development from bellow, yang menekankan proses penyelenggaraan pembangunan pada optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dan keahlian setempat, maka konsepsi pembangunan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk. Hal ini berarti surplus wilayah dikembalikan ke wilayah untuk mendiversifikasi ekonomi wilayah. Meskipun konsep wilayah lebih luas maknanya dibanding definisi desa, pusat perhatian konsep ini tetap menekankan pada elemen terkecil suatu wilayah untuk mengembangkan ekonomi wilayah yang lebih luas, dimana desa merupakan elemen terkecil dari sistem wilayah. Salah satu bentuk dari aplikasi konsep development from bellow adalah agropolitan development, sebagai konsep pembangunan wilayah yang memiliki basis perekonomian pertanian. Prasyarat yang dibutuhkan dalam implementasi konsep pembangunan ini adalah sistem pemerintahan yang demokratis dan tidak terlalu sentralistik. Prasyarat tersebut sejalan dengan apa yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, terutama di era otonomi daerah seiring dengan pemberlakuan UU No. 32 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Untuk mewujudkan kemandirian pelaksanaan pembangunan yang berbasis pada wilayah pedesaan, dituntut keterlibatan sosiokultural yang ada dalam masyarakat. Hal ini semakin membuka peluang bagi masyarakat desa untuk memanfaatkan nilai-nilai budaya serta pranata sosial setempat demi mewujudkan keberhasilan pembangunan di desanya masing-masing. Melalui otonomi desa, terbuka kesempatan yang luas untuk mengetahui sumber daya, masalah, kendala serta memperbesar akses setiap warga desa untuk berhubungan langsung dengan pemimpinnya, atau sebaliknya bagi pemimpin dapat mengetahui kebutuhan desa secara tepat. Pembangunan desa dengan demikian merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dari masyarakat, oleh masyarakat serta untuk masyarakat desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf kehidupan yang layak.
Karakteristik pembangunan desa memiliki sifat yang multidimensional menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat di desa. Dari sudut pemerintahan, pembangunan desa dioperasionalisasikan melalui berbagai sektor dan program yang saling terkait dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat dengan bantuan dan bimbingan pemerintah. Pada realitasnya, mayarakat desa sampai saat ini tetap memiliki berbagai keterbatasan sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, maupun sumber daya modal. Kerjasama yang dibangun antara pemerintah dengan mayarakat akan menciptakan pola hubungan yang serasi dalam proses pelaksanaan pembangunan di pedesaan.
Pembangunan pedesaan, identik dengan pembangunan di sektor pertanian, karena sebagian besar mata pencaharian penduduk bergerak di sektor pertanian, meskipun dalam prakteknya di lapangan, karakteristik budaya masyarakat pedesaan di Indonesia sangat beragam. Mubyarto (2000), membagi tipologi desa berdasarkan mata pencahariannya, yakni desa persawahan, desa perkebunan, desa perternakan, desa industri kecil dan menengah, desa jasa dan perdagangan, serta desa perladangan. Fenomena yang sama juga dijumpai di wilayah Kabupaten X. Berdasarkan data statistik, wilayah Kecamatan X yang menjadi lokasi penelitian, sebagian besar masyarakatnya bergerak di sektor pertanian, yakni terdapat sekitar 41,72% (BPS Kecamatan X dalam Angka, 2007:19).
Secara tradisional, peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi dipandang pasif dan bahkan hanya dianggap sebagai unsur penunjang semata (Todaro, 1998:432). Fenomena ini dijumpai dalam sejarah pembangunan di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru, yang menjadikan sektor pertanian sebagai sektor pendukung proses industrialisasi. Peranan sektor pertanian dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan sumber bahan baku murah demi perkembangan sektor-sektor industri yang diharapkan mampu mengejar ketertinggalan ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia. Akibat dari marginalisasi konsep pembangunan wilayah pedesaan selama pemerintahan Orde Baru, menimbulkan berbagai masalah bagi masyarakat desa yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Beberapa persoalan yang dihadapi masyarakat di pedesaan antara lain kurangnya sarana dan prasarana, banyaknya pengangguran, kualitas gizi yang masih rendah, aparatur desa belum berfungsi dengan baik, lokasi desa yang terisolisasi dan terpencar, keterampilan penduduk yang rendah, tidak seimbangnya antara jumlah penduduk dengan luas wilayah pertanian, kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, ketidakseimbangan struktural ataupun keterbalakangan pendidikan dan lain sebagainya.
Hal menonjol dilihat dari aspek pemerintahan adalah pelaksanaan organisasi pemerintahan desa yang belum secara optimal berjalan dengan baik, sehingga pertumbuhan dan perubahan sosial di desa relatif lambat, bahkan kemacetan sistem tidak dapat dihindarkan. Untuk melakukan perubahan sosial masyarakat desa, dibutuhkan perencanaan yang baik dalam pembangunan desa yang mampu mengangkat serta mengembangkan potensi lokal masyarakat di pedesaan.
Dalam perencanaan pembangunan desa, pemerintah desa dalam hal ini Kepala Desa mempunyai peran penting dan strategi dalam perencanaan bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam UU No. 32 Tahun 2004, memungkinkan setiap desa memiliki sebuah lembaga yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Lembaga ini bisa berupa lembaga adat atau lembaga kemasyarakatan desa yang ditetapkan dengan peraturan desa. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999, disebutkan bahwa lembaga kemasyarakatan ini merupakan mitra pemerintah desa dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan yang bertumpu pada masyarakat.
Konsep perencanaan pembangunan di wilayah pedesaan menjadi demikian penting, karena akan menentukan arah pembangunan di suatu desa. Selain itu, menjadi kewajiban pemerintah desa untuk menampung aspirasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa. Aspirasi masyarakat dapat ditampung dengan cara melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses perencanaan pembangunan desa bersama pemerintah desa, yaitu Kepala Desa beserta perangkatperangkatnya.
Untuk mencapai hasil maksimal pembangunan, dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga selesainya pembangunan, yang kata kuncinya diperlukan pengelolaan secara sistematik. Dalam konteks ini, sistem manajemen pemerintahan sebagai perangkat integral dan melekat dengan pengelolaan pembangunan desa berfungsi untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan itu, aspek kemampuan aparat pemerintahan desa sebagai penentu dan penyelenggara menajemen pemerintahan desa harus dapat menciptakan nilai keadilan dalam proses pembangunan desa. Nilai keadilan itu berkaitan dengan pemenuhan hal-hak warga negara yang harus terlayani secara menyeluruh oleh pemerintah desa. Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan pembangunan desa dibutuhkan kemampuan manajerial aparat pemerintah desa yang handal dalam usaha memberikan kepuasan bagi masyarakat melalui pelaksanaan pembangunan desa sesuai tujuan keberadaan institusi pemerintahan sebagai organisasi publik.
Secara empirik penerapan fungsi-fungsi manajemen pemerintahan pada desa-desa di wilayah Kecamatan X, belum berjalan secara optimal. Fenomena ini dapat dilihat dari pembuatan Daftar Usulan Rencana Proyek (DURP) yang seharusnya direncanakan oleh pemerintah desa dan BPD atas usul masyarakat desa, ternyata hanya dibuat oleh Kepala Desa dan aparat kecamatan. Proses pelaksanaan pembangunan juga tidak mengikutsertakan masyarakat. Pelaksana kegiatan dilakukan Kepala Desa dan aparat kecamatan tanpa mempertimbangkan aspek kepentingan masyarakat desa. Begitu pula pada aspek pengawasan hasil pembangunan, tidak pernah diperiksa oleh BPD, tetapi diperiksa oleh pihak kecamatan. Dengan demikian sejauh ini pelaksanaan pembangunan desa masih didasarkan atas kemauan dan keinginan Kepala Desa dan pihak kecamatan, belum atas dasar pertimbangan keinginan dan kemauan masyarakat desa.
Fenomena di atas menguatkan asumsi bahwa kemampuan manejerial aparat pemerintah desa dalam mengelola manajemen permintahan desa masih sangat rendah, bahkan aktivitas manajemen tidak dilaksanakan oleh aparat pemerintah desa. Kondisi ini, dapat menyebabkan kualitas pengelolaan manajemen pemerintah desa yang menunjang keberhasilan pembangunan desa menjadi rendah. Padahal pembangunan desa yang merupakan keterpaduan antar berbagai kebijakan pemerintah dengan partisipasi serta swadaya gotong-royong masyarakat, perlu didukung dengan kemampuan aparatur pemerintah dalam menciptakan iklim keterpaduan yang serasi dan berkesinambungan dalam memanfaatkan segala sumber daya di desa untuk didayagunakan dalam pelaksanaan program pembangunan desa.
Dalam kaitan itu, implikasi tingkat keberhasilan pembangunan desa, yang diukur dari tingkat taraf hidup masyarakat, ternyata masih sangat rendah. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa juga terlihat sangat rendah serta kurangnya kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri dalam menjaga dan melestarikan hasil-hasil pembangunan desa. Atas dasar kondisi objektif di atas, salah satu kunci keberhasilan organisasi pemerintah desa dalam melaksanakan pembangunan desa, terletak pada kemampuan manajerial aparat pemerintah desa. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seberapa besar hubungan kemampuan manajerial aparat pemerintah desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah pokok penelitian ini adalah "apakah terdapat hubungan antara kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X?". Secara rinci yang menjadi masalah penelitian ini diuraikan dalam poin-poin pertanyaan berikut:
1. Bagaimana kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa di Kecamatan X Kabupaten X?
2. Bagaimana tingkat pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X?
3. Apakah terdapat hubungan kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui, menjelaskan dan menganalisis hubungan antara kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X. Secara rinci tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tingkat kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Untuk mendeskripsikan tingkat pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X.
3. Untuk menjelaskan dan menganalisis hubungan kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X.

1.4 Kegunaan Penelitian
1. Secara akademis, hasil penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam studi pembangunan dan pemerintahan di wilayah pedesaan yang mandiri dan mempertimbangkan kualitas taraf hidup masyarakat.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten X, dalam meningkatkan kinerja aparatur pemerintahan desa melalui kemampuan manajerial dalam menunjang pembangunan desa.
3. Hasil penelitian ini juga berguna bagi para peneliti yang berminat pada kajian sejenis.
Tesis Kinerja Pemerintah Kelurahan Dalam Program Pemberdayaan Kelurahan (Studi Pada Kelurahan X Kecamatan X)

Tesis Kinerja Pemerintah Kelurahan Dalam Program Pemberdayaan Kelurahan (Studi Pada Kelurahan X Kecamatan X)

(Kode STUDPEMBX0020) : Tesis Kinerja Pemerintah Kelurahan Dalam Program Pemberdayaan Kelurahan (Studi Pada Kelurahan X Kecamatan X)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Otonomi Daerah yang sedang berlangsung saat ini merupakan suatu hal yang baru bagi setiap daerah di Indonesia, oleh karena otonomi yang dicanangkan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut lebih memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengekspresikan dirinya menuju arah berkembang melalui pemberdayaan masyarakat daerah itu sendiri. Hal tersebut tentunya mengembalikan masyarakat daerah kepada penemuan dirinya masing-masing dengan ciri dan kemampuannya masing-masing, setelah terbelenggu dengan penyeragaman yang selama ini terjadi oleh rezim yang ada.
J. Kaloh (2002) menyatakan, pada dasarnya di era otonomi daerah fungsi pemerintahan meliputi tiga hal yaitu pelayan kepada masyarakat (service); membuat pedoman/arah atau ketentuan kepada masyarakat (regulation); dan pemberdayaan (empowering). Selanjutnya Sadu Wasistiono (2000) menyatakan salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, oleh karena itu organisasi pemerintah sering pula disebut sebagai “pelayanan masyarakat” (public service).
Otonomi Daerah yang sarat dengan isu strategi berupa kelembagaan, sumber daya manusia berupa aparatur pelaksana, jaringan kerja serta lingkungan kondusif yang terus berubah merupakan sebuah tantangan bagi Kelurahan X untuk menanggapi serta mensiasatinya dengan tanggap dan cepat agar tidak ketinggalan dari kelurahankelurahan lainnya dalam memacu gerak pembangunan.
Dengan demikian diperlukan kinerja yang lebih intensif dan optimal dari bagian organisasi demi optimalisasi bidang tugas yang diembannya. Kinerja suatu organisasi sangat penting, oleh karena dengan adanya kinerja maka tingkat pencapaian hasil akan terlihat sehingga akan dapat diketahui seberapa jauh pula tugas yang telah dipikul melalui tugas dan wewenang yang diberikan dapat dilaksanakan secara nyata dan maksimal.
Kinerja organisasi yang telah dilaksanakan dengan tingkat pencapaian tertentu tersebut seharusnya sesuai dengan misi yang telah ditetapkan sebagai landasan untuk melakukan tugas yang diemban. Dengan demikian kinerja (performance) merupakan tingkat pencapaian hasil atau the degrees of accomplishment (Keban,1995). Sehubungan dengan tuntutan pembangunan di era otonomi, Pemerintah Kota X mengambil kebijakan “Program Pemberdayaan Kelurahan”. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Instruksi Walikota X Nomor:141/1417/INST, tentang Tugas dan Tanggung Jawab Camat dalam Membina dan Mengawasi Program Pemberdayaan Kelurahan di Kota X dan Instruksi Walikota X Nomor:141/079/INST, tentang Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Kelurahan dalam Pemberdayaan Kelurahan di Kota X.
Kelurahan sebagai organisasi pemerintahan yang paling dekat dan berhubungan langsung dengan masyarakat merupakan ujung tombak keberhasilan pembangunan kota khususnya otonomi daerah, dimana kelurahan akan terlibat langsung dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan serta pelayanan. Dikatakan sebagai ujung tombak karena kelurahan berhadapan langsung dengan masyarakat, oleh karena itu kelurahan harus mampu menjadi tempat bagi masyarakat untuk diselesaikan atau meneruskan aspirasi dan keinginan tersebut kepada pihak yang berkompeten untuk ditindak lanjuti. Disamping itu peran kelurahan di atas menjembatani program-program pemerintah untuk disosialisasikan kepada masyarakat sehingga dapat dipahami dan didukung oleh masyarakat.
Dengan begitu luas dan kompleksnya permasalahan yang ada di Kota X, seperti dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ditambah dengan pembangunan yang harus dilakukan Pemerintah Kota X, untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Maka baik visi, misi dan fungsi Kota X mengkondisikan perlunya suatu upaya Pemberdayaan Masyarakat, salah satunya adalah “Program Pemberdayaan Kelurahan”.
Dalam pelaksanaan “Program Pemberdayaan Kelurahan” di Kota X, kelurahan sebagai ujung tombak pemerintahan diberikan tugas dan tanggung jawab untuk mensukseskan program ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya Instruksi Walikota X Nomor: 141/079/INST, tentang tugas dan tanggung jawab kepala kelurahan dalam Program Pemberdayaan Kelurahan di Kota X untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti:
1. Kebersihan
2. Keamanan
3. Ketertiban
4. Pembinaan Masyarakat
5. Pelayanan Masyarakat
Berangkat dari kondisi di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa aparat kelurahan memiliki tanggungjawab yang besar dalam pencapaian hasil maksimal dari program pemberdayaan ini. Dengan perkataan lain, untuk mewujudkan dan mencapai tujuan tersebut diperlukan kemampuan dan kinerja aparat yang maksimal. Kinerja aparat kelurahan menjadi faktor yang sangat penting bagi implementasi pelaksanaan pemberdayaan kelurahan ini. Hal ini sejalan dengan pendapat Orsbone dan Gaebler (1992) yang menyatakan bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh pemerintah dewasa ini bukan terletak pada apa yang dikerjakan tetapi terletak pada bagaimana mengerjakan.
Dalam melaksanakan pemberdayaan pihak pemerintah kelurahan harus terlebih dahulu melihat semua faktor kemungkinan yang ada, baik itu kesempatan, peluang maupun tantangan serta hambatan apa yang ada dalam era otonomi ini serta pemberdayaan yang akan dibuat haruslah pula dapat menjawab serta memenuhi kehendak pelanggan yaitu masyarakat di kelurahan yang memerlukan pelayan secara optimal agar tercipta suatu keadaan yang menggambarkan good governance di kelurahan X. Untuk itu diperlukan pula aparat birokrasi pemerintah yang memiliki kemampuan dan responsif yang tinggi serta berdisiplin, komitmen dan bertanggungjawab serta accountability dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai unsur pelayananan terhadap organisasi publik. Ini sangat penting bagi birokrat dalam pelaksanaan misi tugasnya agar dapat terwujud tujuan ke arah keberhasilan, yaitu berupa pemenuhan kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Berdasarkan kondisi di atas maka penulis tertarik melakukan sebuah penelitian dengan judul “Kinerja pemerintah kelurahan dalam program pemberdayaan kelurahan (Studi pada Kelurahan X, Kecamatan X)”.

1.2. Perumusan Masalah
Berangkat dari permasalahan dan identifikasi masalah yang menjadi latar belakang kajian ini, maka untuk menjawab permasalahan penelitian ini diperlukan pertanyaan yang akan berguna bagi arah dan langkah penelitian dalam bentuk pertanyaan. Adapun rumusan masalah yang diajukan adalah: “Bagaimanakah kinerja Pemerintah Kelurahan X dalam Program Pemberdayaan Kelurahan?”

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah teridentifikasinya pelaksanaan program pemberdayaan kelurahan, dan secara khusus adalah untuk mengetahui: Kinerja Pemerintah Kelurahan dalam Program Pemberdayaan Kelurahan di Kelurahan X.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
a. Secara praktis sebagai masukan bagi Pemerintah dalam upaya peningkatan kinerja pemerintah dalam melaksanakan pelayanan dan pemberdayaan.
b. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan menambah khasanah pengetahuan di bidang pemberdayaan dan menjadi acuan oleh penelitian lain yang berhubungan dengan pemberdayaan dan kinerja pemerintah.
Tesis Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota X

Tesis Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota X

(Kode STUDPEMBX0019) : Tesis Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terutama kebijakan dalam keuangan negara haruslah melibatkan pemerintah daerah. Sebab, kinerja dan pengelolaan keuangan daerah saat ini menduduki posisi penting dalam strategi pemberdayaan pemerintah daerah terlebih lagi dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dan mewujudkan desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Tuntutan terhadap pengelolaan keuangan rakyat (publik money) secara baik merupakan issue utama yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam mewujudkan tujuan pemerintahan yang bersih (clean goverment), dimana pengelolaan keuangan daerah yang baik adalah kemampuan mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, transparan dan akuntabel.
Dalam pengelolaan keuangan daerah telah diatur dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagai pengganti Kepmen No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Regulasi aturan-aturan tersebut dirasakan sangat menyulitkan dalam hal pelaksanaannya karena di samping butuh waktu untuk mempelajari sekaligus memahami, kendala berikutnya adalah adanya aturan-aturan pelaksanaan yang belum dikeluarkan, baik itu turunan dari undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah itu sendiri sampai sekarang belum diwujudkan, tapi pemerintah tentunya tidak boleh hanya menunggu dengan tidak melaksanakan aturan yang ada. Kalau hal ini dilakukan sudah pasti apabila ada pemeriksaaan, maka akan menjadi temuan tentunya. Perubahan-perubahan aturan yang demikian cepat akan banyak menimbulkan masalah-masalah dalam hal pengelolaan keuangan daerah terutama pada pertanggungjawaban akhir kegiatan.
Akhirnya yang sangat merasakan dampaknya adalah masyarakat di daerah pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya, akibat dari banyaknya peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh regulator tapi kemudian diperbaharui, dicabut, diganti kembali sehingga tidak ada kepastian hukum. Hal ini juga mengakibatkan resiko bisnis di Indonesia dan khususnya di daerah-daerah, menimbulkan banyak problem, salah satunya adalah problem institusi-institusi kunci lemah dalam memberikan kepastian hukum.
Perubahan-perubahan pada aturan pelaksanaan inilah yang sangat merepotkan pada tatanan implementasi di Pemerintah Kota X karena perubahan-perubahan aturan tersebut. Namun, upaya untuk itu Pemerintah Kota X melakukan pelatihan-pelatihan dan menghadirkan para ahli keuangan untuk mengatasi ketidak pahaman aparatur pemerintah di masing-masing unit kerja yang ada.
Regulasi yang baik adalah penting, sebab diharapkan dapat menciptakan pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance), sehingga dalam pembuatan aturan-aturan pelaksanaan harus juga professional dan bertanggung jawab, jadi tidak hanya pihak-pihak yang akan melaksanakan saja yang harus mematuhi atau mengikuti aturan-aturan tapi pihak regulator atau pembuat aturan tidak mau mendengar, melihat dan memperhatikan best practice sekaligus diadakan uji publik dahulu, setelah itu baru diimplementasikan. Sehingga tidak membuat aparatur di daerah menjadi bingung. Hal ini dapat dimaklumi karena aparatur pemerintah daerah baru memahami dan melaksanakan aturan yang diberlakukan tahun anggaran 2003 (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002) kemudian pada tahun anggaran 2004 harus berubah total mengikuti aturan Permendagri No. 13 tahun 2006.
Masih banyaknya daerah, termasuk aparatur Pemerintahan Kota X, yang belum memahami Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 yang menjadi salah satu kendala implementasi penyusunan anggaran tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Tetapi masalah ini tidak akan berlangsung lama, asalkan setiap daerah memiliki komitmen untuk segera mengimplementasikannya.
Berbicara mengenai kebijakan pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilakukan dengan menekankan pada konsekuensi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Terbitnya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-undang No. 22 tahun 1999 memberikan warna baru landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengelolaan keuangan daerah berdasarkan pada Undang-undang No. 32 tahun 2004 tersebut bertumpu pada upaya peningkatan efisiensi, efektifitas, akuntabilitas, dan transparansi pengelolaan keuangan publik baik dari sisi pendapatan maupun belanja. Inti perubahan yang akan dilakukan antara lain mempertajam esensi pengelolaan keuangan daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyangkut penjabaran terhadap hak dan kewajiban daerah dalam mengelola keuangan publik, meliputi mekanisme penyusunan, pelaksanaan dan penatausahaan, pengendalian dan pengawasan, serta pertanggungjawaban keuangan daerah.
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance, pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota X dilakukan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan perudang-undangan yang berlaku. Pengelolaan keuangan daerah meliputi seluruh kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan dan pertanggung jawaban. Keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dengan memperhatikan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi menjadi:
1. Penyusunan dan Penetapan APBD
Anggaran sebagai perencanaan dan perwujudan pengelolaan keuangan daerah merupakan alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Penyusunan dan penetapan APBD dimaksudkan sebagai pedoman tercapainya tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka pencapaian tujuan.
2. Pelaksanaan APBD
Pelaksanaan APBD merupakan tindak lanjut dari perencanaan APBD yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Realisasi pelaksanaan APBD selama semester pertama harus dilaporkan dan dibuat kembali untuk pelaksanaan semester selanjutnya. Perubahan dan penyesuaian dalam pelaksanaan APBD dapat dilakukan apabila terjadi hal-hal berikut : perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum daerah, keadaan yang mengharuskan terjadinya pergeseran anggaran, serta keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran berjalan.
3. Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disampaikan dalam bentuk Laporan Keuangan yang sekurang-kurangnya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan keuangan tersebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintah Kota X merupakan salah satu upaya konkrit pemerintah daerah dalam mewujudkan asas transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Laporan keuangan disusun dan disajikan tepat waktu dengan bentuk dan isi yang sesuai standar akuntansi pemerintahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005.
Sebagai perwujudan akuntabilitas laporan maka Laporan Keuangan diaudit oleh lembaga independen (dalam hal ini adalah BPK) sebelum disampaikan kepada DPRD dan pihak yang memerlukan.
Dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota X nyatanya masih dijumpai kendala-kendala sebagai berikut :
1. Peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan undang-undang belum seluruhnya diterbitkan.
2. Masih belum tersedianya sumber daya manusia yang memadai.
3. Belum optimalnya sinkronisasi jadwal penyusunan antara APBN, APBD Propinsi, dan APBD Kabupaten/Kota.
4. Transparansi penetapan formula pengalokasian dana-dana di luar DAU belum nyata (daerah kesulitan menentukan asumsi penerimaan untuk tahun yang akan datang).
5. Banyaknya dana dari pusat yang langsung diberikan kepada berbagai instansi sementara pemerintah Kabupaten/Kota tidak diberitahu berapa alokasi dana yang diberikan maupun peruntukannya.
Dengan melihat kendala di atas Pemerintah Kota X melakukan upayaupaya sebagai berikut :
1. Membentuk kerjasama dengan instansi terkait untuk mengadakan pelatihan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
2. Mengikuti pelatihan dan workshop mengenai perkembangan peraturan pengelolaan keuangan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun lembaga keuangan lainnya.
3. Mengupayakan adanya informasi sedini mungkin dari Pemerintah Pusat agar prediksi penerimaan daerah yang masuk ke dalam APBD makin realistis.
4. Meningkatkan koordinasi antar instansi untuk memonitor dan melaporkan pengelolaan keuangan yang menjadi tanggungjawabnya.
Melihat pentingnya pengelolaan keuangan daerah dalam penyelenggaraan pembangunan daerah, serta untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan yang dilakukan pada Pemerintah Kota X tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul : Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota X.”

1.2 Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, sehubungan terjadinya permasalaha-permasalahan dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:”Bagaimana Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota X.”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota X.
b. Untuk melihat apa saja yang terjadi sehubungan dengan Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota X.
Adapun manfaat penelitian adalah :
a. Sebagai wahana untuk menambah dan pengembangan pegetahuan dalam membuat suatu karya tulis ilmiah.
b. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Pemerintahn Kota X dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006.
c. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti permasalahan yang sama dimasa yang akan datang.
Tesis Hubungan Antara Pendidikan, Motivasi Dan Budaya Kerja Dengan Kinerja Pegawai Badan Pengawasan Kota X

Tesis Hubungan Antara Pendidikan, Motivasi Dan Budaya Kerja Dengan Kinerja Pegawai Badan Pengawasan Kota X

(Kode STUDPEMBX0018) : Tesis Hubungan Antara Pendidikan, Motivasi Dan Budaya Kerja Dengan Kinerja Pegawai Badan Pengawasan Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah telah memberikan arah perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Setiap daerah diberi kewenangan dan dituntut untuk meningkatkan kemandirian daerah baik dalam hal keuangan maupun kualitas sumber daya manusianya. Kewenangan ini juga diberikan pada Daerah X yang mempunyai Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah, yang mempunyai konsekwensi kemandirian dalam pengaturan sumber-sumber daya daerah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemerintah daerah berupaya untuk lebih meningkatkan kualitas sumber daya aparatur disegala bidang karena peran sumber daya manusia pada masa kini akan menjadi penentu bagi keberhasilan pembangunan. Peningkatan sumber daya manusia diharapkan dapat meningkatkan kinerja organisasi dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Lembaga Administrasi Negara (2000:3) mendifinisikan kinerja sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, visi organisasi.
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu sehingga dapat diperoleh informasi tentang tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional yang diambil. Dengan adanya informasi mengenai kinerja suatu instansi pemerintah, akan dapat diambil tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas kebijakan, meluruskan kegiatan-kegiatan utama dan tugas pokok instansi sebagai bahan untuk perencanaan serta untuk menentukan tingkat keberhasilan (persentasi pencapaian misi) instansi.
Berdasarkan konsep perubahan, suatu organisasi yang mengadakan perubahan akan membawa organisasi pada situasi yang lain dari sebelumnya. Perubahan yang terjadi dapat memperkuat atau memperlemah kehidupan organisasi, perubahan dalam organisasi ini melibatkan sumber daya manusia yang berperan dalam peningkatan kinerja organisasi (Alford, 1998). Kinerja dipergunakan manajemen untuk melakukan penilaian secara periodik mengenai efektifitas operasional suatu organisasi berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Peningkatan kinerja dalam suatu organisasi juga sangat dipengaruhi oleh motivasi kerja. Menurut Siagian (1997:7) motivasi adalah keseluruhan proses pemberian motif bekerja kepada bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan iklas untuk mencapai tujuan. Timbulnya motivasi pada diri seseorang ditentukan oleh adanya kebutuhan hidup baik kebutuhan primer maupun kehidupan sekundernya. Jika kebutuhan tersebut dapat terpenuhi, maka seseorang akan giat bekerja dan dapat meningkatkan kinerjanya.
Kinerja juga sangat dipengaruhi oleh pendidikan yang dimiliki oleh pegawai/karyawan. Pengertian pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya yang akan datang. Tingkat pendidikan yang tinggi menunjang dalam pencapaian kinerja pegawai karena pendidikan yang rendah menyebabkan pegawai sulit menyerap berbagai informasi yang berhubungan dengan kegiatannya, semakin tinggi pendidikan maka semakin efisien ia dalam bekerja (Sedarmayanti 2003:33).
Selain motivasi dan pendidikan, kinerja pegawai atau karyawan juga sangat dipengaruhi budaya kerja. Budaya kerja adalah cara kerja sehari-hari yang bermutu dan selalu mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga menjadi motivasi, memberi inspirasi, untuk senantiasa bekerja lebih baik dan memuaskan bagi masyarakat yang dilayani (Kepmenpan Nomor : 25/KEP/M.PAN/04/2002). Kuatnya budaya kerja akan terlihat dari bagaimana pegawai memandang budaya kerja sehingga berpengaruh terhadap perilaku yang digambarkan antara lain memiliki motivasi, dedikasi, kreatifitas, kemampuan dan komitmen yang tinggi. Semakin kuat budaya kerja, semakin tinggi komitmen dan kemampuan yang dirasakan pegawai. Makin banyak pegawai yang menerima nilai-nilai makin tinggi kemampuan dan komitmen mereka pada nilai-nilai itu dan semakin kuat budaya tersebut (Robbins, 1996 : 292).
Tantangan yang cukup komplek adalah bagaimana mengubah budaya kerja lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai budaya kerja baru pada seluruh pegawai atas dasar keinginannya secara sukarela. Orang tidak akan berubah dengan sendirinya kalau tidak secara sukarela karena selama ini banyak para pemimpin dan aparatur negara bukan hanya sulit berubah tapi juga sering mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerjanya. Menurut pakar ekonomi dari Unsyiah X, Dr. Islahuddin dan Dr. Nazamuddin bahwa Budaya kerja yang ditampilkan dinas dan badan ditingkat Provinsi X dalam beberapa tahun ini belum baik. Perubahan fundamental disegala sektor yang menjadi visi dan misi Gubernur hanya bisa tercapai apabila dinas dan badan mengubah budaya kerja yang lama menjadi budaya yang berdisiplin tinggi, cepat tanggap dalam bertindak, serta tidak KKN.
Kota X merupakan daerah yang sedang tumbuh dan berkembang di Provinsi X yang terbentuk dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2001 pada tanggal 01 Juni 2001. Badan pengawasan merupakan salah satu instansi yang berada di bawah Pemerintahan Daerah Kota X. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang dapat diartikan sebagai kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa pekerjaan dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Pegawai Badan Pengawasan Kota X sebagai aparat pengawas internal pemerintah mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan dan pembinaan diseluruh instansi dilingkungan pemerintah Kota X. Institusi pengawasan diharapkan dapat menjadi detektor dini untuk mengetahui terjadinya penyimpangan dilingkungan pemerintah Kota X.
Walaupun Badan Pengawasan tidak secara langsung melayani masyarakat namun peran Bawasda sangat diharapkan didalam melakukan pembinaan dan usaha mengurangi praktek-praktek KKN dilingkungan pemerintah Kota X.
Dalam melaksanakan fungsinya Badan Pengawasan Kota X melakukan pemeriksaan yang terdiri dari beberapa jenis antara lain:
1. Pemeriksaan Reguler
Pemeriksaan yang dilaksanakan secara berkala sesuai dengan program kerja pemeriksaan tahunan (PKPT) yang telah disahkan oleh Walikota.
2. Pemeriksaan Khusus.
Pemeriksaan yang dilakukan atas dasar perintah Kepala Daerah terhadap unit kerja yang dianggap perlu dilakukan pemeriksaan karena diduga ada penyimpangan.
3. Pemeriksaan Kasus
Pemeriksaan yang dilakukan atas dasar laporan dan pengaduan masyarakat terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur atau pemerintah. Visi Badan Pengawasan Kota X adalah menjadi Badan Pengawasan dengan aparatur yang profesional dalam melaksanakan tugas. Sedangkan misi Bawasko X dalam DASK Bawasda Kota X tahun XXXX adalah :
1. Meningkatkan kinerja dan kualitas serta sumber daya aparatur di bidang pengawasan.
2. Menyusun dan melaksanakan program kerja pemeriksaan reguler, pemeriksaan khusus dan kasus.
3. Meningkatkan prasarana dan sarana untuk mendukung pelaksanaan pengawasan dalam rangka pelayanan prima.
4. Meningkatkan koordinasi pelayanan dengan instansi terkait.
Dari visi dan misi Badan Pengawasan Kota X terlihat harapan Bawasda untuk meningkatkan kinerja dan kualitas sumber daya aparaturnya di bidang pengawasan. Permasalahan yang terjadi pada Badan Pengawasan Kota X adalah sebagai berikut :
1. Program Kerja Pemeriksaan Tahunan (PKPT) tidak tercapai sejak tahun XXXX sampai dengan tahun XXXX. PKPT merupakan pemeriksaan reguler/tugas pokok Bawasda Kota X yang telah disahkan Walikota setiap tahunnya. Pencapaian PKPT dalam empat tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

PKPT yang tidak tercapai mengakibatkan program pengawasan pada instansi yang telah ditargetkan tidak terlaksana dan memungkinkan adanya instansi yang luput dari pemeriksaan.
2. Pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tidak tepat waktu. Waktu yang ditargetkan untuk menyelesaikan LHP adalah 15 hari setelah melakukan pemeriksaan namun kenyataannya penyelesaian LHP membutuhkan waktu 6 sampai dengan 7 minggu setelah pemeriksaan.

Keterlambatan penyelesaian laporan akan mengurangi nilai atau mamfaat dari laporan, seperti yang tercantum dalam Norma Pemeriksaan Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah No. SE-117/K/1985 bagian kedua yang menyatakan “Laporan pemeriksaan harus dibuat segera setelah pekerjaan pemeriksaan dan disampaikan kepada yang berkepentingan tepat pada waktunya”. Laporan pemeriksaan harus diselesaikan dan disampaikan tepat waktu agar informasi yang terkandung didalamnya dapat bermamfaat sepenuhnya dan dapat menghindari dari kejadian yang merugikan seperti tidak hemat, tidak taat dan sebagainya.
3. Pelaksanaan monitoring hasil pemeriksaan tidak tepat waktu Rendahnya kinerja pegawai Bawasda berdampak pada tidak tercapainya tujuan organisasi. Kondisi tersebut mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian tentang apa yang menyebabkan pencapaian kinerja pegawai Bawasda rendah dengan mengangkat judul “Hubungan antara pendidikan, motivasi dan budaya kerja dengan Kinerja Pegawai Badan Pengawasan Kota X”. Dalam penelitian ini menjelaskan apakah terdapat hubungan antara pendidikan, motivasi dan budaya kerja terhadap rendahnya kinerja pegawai Bawasda Kota X, sehingga diharapkan dapat dilakukan perubahan untuk meningkatkan produktifitas kerja pegawai dan tercapainya visi Bawasda.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rumusan penelitian ini adalah :
1. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara pendidikan dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.
2. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.
3. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara budaya kerja dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X
4. Apakah ada hubungan positif dan signifikan antara pendidikan, motivasi dan budaya kerja secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan :
1. Untuk mengetahui hubungan yang positif dan signifikan antara pendidikan dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.
2. Untuk mengetahui hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.
3. Untuk mengetahui hubungan yang positif dan signifikan antara budaya kerja dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X
4. Untuk mengetahui hubungan positif dan signifikan antara pendidikan, motivasi dan budaya kerja secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X pada Program Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.
2. Manfaat Praktis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Kota X dalam meningkatkan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X dalam melaksanakan tugas pengawasan.
Tesis Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota X)

Tesis Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota X)

(Kode STUDPEMBX0017) : Tesis Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota X)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping, tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 2000 : 20). Pembangunan juga diartikan sebagai suatu proses kperubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk mencapai kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka. (Rogers,1983 : 25). Pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih serba baik, secara material maupun spritual (Todaro, 2000 : 20).
Untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, yang diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan. Asumsi para pakar yang berpendapat bahwa semakin tinggi kepedulian atau partisipasi masyarakat pada proses-proses perencanaan akan memberikan output yang lebih optimal. Semangkin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan yang akan dicapai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan indikator utama dan menentukan keberhasilan pembangunan. Hal ini menunjukkan partisipasi masyarakat dan pembangunan berencana merupakan dua terminologi yang tidak dapat dipisahkan. Pendapat atau teori tersebut secara rasional dapat diterima, karena secara ideal tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu sangatlah pantas masyarakat terlibat di dalamnya.
Korten dalam Supriatna (2000 : 65) mengatakan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan adanya kesesuaian ini maka hasil pembangunan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program. Begitu juga Menurut Conyers (1991 : 154), yang mengatakan terdapat tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam pembangunan, yaitu: Pertama, partisipasi merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
Alasan kedua, yaitu bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut. Ketiga, adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri.
Gagasan tentang pelibatan peran warga dalam kajian masalah pembangunan, terutama melalui model pemberdayaan masyarakat guna peningkatan partisipasi sesungguhnya bukanlah topik yang baru. Semenjak timbulnya kesadaran bahwa perspektif pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) meninggalkan permasalahan kesenjangan ketidakadilan dan ketidakmerataan dalam pembagian manfaat pembangunan, maka berkembanglah berbagai pandangan yang ingin memberikan alternatif kepada pandangan yang hanya mengandalkan pertumbuhan, diantaranya teori-teori Redistribution With Growth yang dikembangkan oleh Chenery (1974), Human Development oleh Justin Pikunas (1976), dan People centre Development oleh David C. Korten (1986).
Perbedaan pandangan tentang pendekatan pembangunan tersebut berlangsung cukup lama, yang mana tujuannya adalah mengakhiri era Delivered Development dimana pembangunan direncanakan sepenuhnya dari atas dan menempatkan warga sebagai obyek pembangunan dan kemudian ingin diganti denga era Partisipatory Development dimana pembangunan direncanakan dari bawah dengan melibatkan warga, dan menempatkan mereka sebagai subyek dalam proses pembangunan.(Ponna Wignaraja dalam David C Korten, 1986 : 60).
Namun tidak dapat juga di sangkal bahwa perencanaan dengan melibatkan masyarakat diangap tidak efektif dan cenderung menghambat pencapaian tujuan pembangunan. Ada beberapa pertimbangan untuk kemudian tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yaitu waktu yang lebih lama, serta kemungkinan besar akan banyak sekali pihak-pihak yang menentang pembangunan itu. Menurut Soetrisno (1995 : 48) hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan proses pembangunan yang partisipatif adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksanaan pembangunan. Defenisi partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencanaan dan pelaksanaan pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.
Para perencana dan pelaksana menggunakan suatu konsep hirarkis dalam menyeleksi pembangunan pedesaan pada prakteknya. Di dalam proses pembangunan itu terlihat ada satu hal yang terjadi dalam interaksi antara para pelaksana pembangunan dan rakyat, yaitu tentang bagaimana para aparat pembangunan melihat usulan-usulan pembangunan. Dalam pikiran para aparat pelaksana terdapat “hierarki proyek pembangunan” tersebut, dimana proyek yang datang dari pemerintahan dan proyek yang direncakanan pemerintahan adalah benar-benar proyek yang mencerminkan “kebutuhan rakyat”, dan karena merupakan kebutuhan maka proyek pemerintah itu harus dilaksanakan. Sedangkan apa yang diusulkan oleh rakyat hanya merupakan “keinginan”, bukan mencerminkan hal yang benar-benar harus ada. Karena merupakan keinginan, maka pada umumnya proyek-proyek yang diusulkan oleh rakyat selalu akan diganti dengan usulan-usulan proyek yang digolongkan sebagai proyek “kebutuhan” dan memperoleh prioritas rendah. Kemudian menurut Soetrisno (1995: 55) yang menjadi permasalahan dari segi sosial politik dalam pelaksanaan pembangunannya pada negara sedang berkembang termasuk Indonesia, adalah munculnya suatu gejala dimana pemerintah menempatkan pembangunan bukan lagi sebagai pekerjaan rutin suatu pemerintah, melainkan telah diangkat kedudukannya sebagai suatu ideologi baru dalam negara. Perubahan ini mempunyai segi positif dan negatif. Aspek positifnya adalah dengan dijadikannya pembangunan sebagai suatu ideologi dalam suatu negara, maka pembangunan akan menjadi sesuatu yang harus dilakukan oleh pemerintahan dan pelestariannya harus dijaga oleh semua warga negara. Dengan kata lain, pembangunan harus dihayati oleh semua warga negara, seperti kita menghayati ideologi negara. Akan tetapi karena pembangunan telah menjadi sebuah ideologi, maka pembangunan itu telah menjadi sesuatu yang suci sehingga tidak bebas untuk dikritik, lebih-lebih untuk dikaji ulang guna mencari alternatifnya.
Di Indonesia pendekatan pembangunan dengan mengikutsertakan warga mulai tumbuh pada awal pelita VI yang ditandai dengan munculnya program-program penanggulangan kemiskinan yang menggunakan pola atau skema tindakan serangan langsung yang lebih subtansial terhadap permasalahan. (Vidhyandika Moeljarto, 1994 : 8). Contoh skema tindakan yang dimaksud antara lain kegiatan–kegiatan seperti pemetaan kantong kemiskinan dan penerapan Inpres Desa Tertinggal. Ada beberapa tujuan dari keikutsertaan warga secara langsung dalam tindakan program yaitu, Pertama, agar bantuan efektif karena sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak, kemampuan dan kebutuhan sendiri. Kedua, meningkatkan keberdayaan mereka dengan pengalaman dalam melakukan perencanaan, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. (Kartasasmita, 1996 : 54).
Begitu juga setelah desentralisasi menjadi sebuah keputusan pemerintah, yang artinya peluang potensi daerah membuat semakin besarnya kesempatan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan. Otonomi daerah harus dipandang sebagai peluang untuk keberdayaan masyarakat. Pemerintah daerah sebaiknya menjadikan momentum ini sebagai peluang untuk dapat memperkuat jaringan dan dapat mengintegrasikan seluruh jaringan dan kelompok sosial yang ada dalam masyarakat ke dalam sebuah wujud kerjasama yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, daerah mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana menurut pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 Kabupaten/Kota pada disebutkan bahwa lingkup kewenangan Pemerintah Daeraeh terdiri atas:
a. Perencanaan dan Pengendalian Pemerintahan dan Pembangunan
b. Penyelenggaraan Ketertiban Umum
c. Penanggulangan Masalah Sosial
d. Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan
e. Pengembangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
f. Pengendalian Lingkungan Hidup
g. Pelayanan Lingkungan dan Tata Ruang
h. Pelayanan Pertahanan dan Catatan Sipil
i. Pelayanan Dalam Penanaman Modal
j. Penyelenggaraan Pelayanan Dasar Lainnya
k. Pengembangan dan Pelestarian Budaya
l. Hubungan Harmonis Antara Pemerintah : Induk, Tetangga, Propinsi dan Pusat
Kecenderungan untuk menerapkan prinsip desentralisasi membuat daerah-daerah lebih memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dalam pembangunan daerah. Fokus perhatian pemerintah (eksekutif) pun mulai memberikan peluang yang sangat besar untuk munculnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Secara eksplisit ditegaskan bahwa penerapan otonomi daerah secara mendasar adalah mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran masyarakat. Dalam kajian mengenai partisipasi masyarakat dalam otonomi daerah mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan hal yang krusial dan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Bab II pasal 2 ayat 4 disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk :
1. Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan.
2. Menjamin tercipatanya integrasi, sinkroniasasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah.
3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan
4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat
5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
Undang-undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa salah satu tujuan dari sistem perencanaan pembangunan nasional adalah dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Artinya adalah bahwa sistem perencanaan pembangunan menekankan pendekatan partisipatif masyarakat atau yang biasa disebut perencanaan partisipatif.
Dalam UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bagi daerah terdapat 5 ruang lingkup perencanaan daerah, yaitu : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan Rencana Kerja Satuan Perangkat Daerah, yang mana dari masing-masing rencana mensinergikan proses top down-bottom up guna terjadinya sinkronisasi antara masing-masing proses perencanaan.
Sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa pemerintah daerah yang sudah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung harus memiliki dokumen rencana pembangunan mulai dari pembangunan jangka panjang hingga rencana pembangunan tahunan. Namun prioritas utama adalah menyiapkan dokumen pembangunan jangka menengah yang mengadopsi visi, misi kepala daerah terpilih melalui serangkaian proses, sebagai panduan dalam menyelenggarkan pembangunan selama 5 tahun masa periode kepala daerah terpilih.
Pemerintah Kota X, telah membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Adapun mekanisme pembuatan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ini diatur melalui SE Mendagri 050/2020/Sj tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan RPJP daerah dan RPJM daerah. Dalam peraturan tersebut, sebagaimana juga yang diatur oleh UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah tersebut haruslah melibatkan partisipasi masyarakat. Mengacu pada masalah tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan mengajukan judul tesis sebagai berikut: “PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF” (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X)”

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada latar belakang diatas, maka perlu kiranya untuk mencari tahu bagaimana partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan di Kota X, khususnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota X.
Sehingga yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X ”.

1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana mekanisme penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X .
2. Untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X .

1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis peroleh selama perkuliahan di Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas X.
2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kota X, sebagai masukan dalam penyusunan perencanaan pembangunan di daerah demi meningkatkan peran serta masyarakat sebagi objek dan subjek pembangunan guna peningkatan kesejahteraan rakyat.
3. Bagi Program Studi Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas X, akan melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan dan referensi bahan bacaan dan referensi dari satu karya ilmiah.
Tesis Respons Kultural Dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan Di Kota X

Tesis Respons Kultural Dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan Di Kota X

(Kode STUDPEMBX0016) : Tesis Respons Kultural Dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan Di Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak pemerintah kolonial Belanda berupaya membuka areal perkebunan di tanah Deli dan sekitarnya, yang dipelopori oleh Jacob Nienhuys pada tahun 1863 dengan menyewa tanah seluas 4.000 bau dari Sultan Mahmud untuk jangka waktu selama 20 tahun (O’Malley, 1983:30-49). Kemudian areal ditambah lagi seluas 26.000 bau, pada tahun 1869 dengan tenaga kerja sebanyak 1.525 orang, yang kebanyakan didatangkan dari Cina. Sehingga daerah ini menjadi ramai dan terkenal (Said, 1990). Dikalangan para investor lain pun banyak yang tertarik perhatiannya untuk datang ke tanah Deli. Tanaman kebun yang terpenting dan sangat dikenal pada waktu itu adalah tembakau. Daun tembakau yang dihasilkan dari daerah ini merupakan daun tembakau yang mutunya dianggap terbaik. Sebab, daun tembakau dari tanah Deli ini dapat dijadikan sebagai bahan baku pembalut cerutu dan dikenal sebagai “tembakau Deli” (Sinar, 1994: 25). “Tembakau Deli pada akhir abad ke-19 dan ketiga dasawarsa pertama dari abad ke20 menjadi suatu komoditi ekspor yang amat penting dan yang menjadi sangat terkenal di pasaran dunia” (Koentjaraningrat, 1982: 246).
Untuk pusat kegiatan administrasi perkatoran perkebunan, pada mulanya Jacob Nienhuys memusatkannya di kampung Labuhan, pusat perkantoran itu dinamakan Deli Maatschappij (Deli Mij). Karena kampung Labuhan mudah dilanda banjir bila dimusim penghujan, maka pusat perkantoran perkebunan dipindahkan di kampung X pada tahun 1869. Lambat-laun kampung X akhirannya lebih dikenal dengan sebutan X saja.
Sejak adanya pusat perkantoran perkebunan tembakau inilah, ramai orang-orang berdatangan. Ternyata mereka tidak hanya melakukan aktivitas berbisnis saja, tetapi juga membuat daerah ini sebagai tempat-tempat pemukiman. Berangsur-angsur semakin banyaklah kelompok-kelompok pemukiman dan akhirnya tumbuh menjadi perkampungan-perkampungan baru, seperti: kampung Petisah Hulu, kampung Petisah Hilir, kampung Sungai Rengas, kampung Aur, kampung Keling, kampung Baru dan lain sebagainya. Masing-masing wilayah kampung biasanya dipimpin oleh seorang Kepala kampung. Bangunan kantor-kantor yang lainnya pun didirikan, seperti bangunan emplasmen stasiun kereta-api yang dinamai Deli Spoorweg Maatschappij pada tahun 1883,1 bangunan hotel—Grand Hotel—pada tahun 1884. Bangunan bank—Javasche Bank—pada tahun 1909.2 Bangunan pertokoan di sekitarnya yang disebut Kesawan. Bangunan Kantor Pos pada tahun 1909. Bangunan gedung bioskop, dan berbagai sarana umum lainnya (Passchier, 1995: 56).
Perubahan dan kemajuan zaman tak bisa dibendung, X telah menjadi sebuah kota yang semakin besar dan semakin ramai. Gedung-gedung, sarana jalan dan kantor-kantor, beserta toko-toko tempat perbelanjaan, semakin banyak menghiasi kota X. X terus berkembang cepat dengan mengalirnya para pendatang yang berasal dari berbagai wilayah, juga dari India, Pakistan, Cina, dan Eropa. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memberikan status pemerintahan yang otonom untuk wilayah X pada tanggal 4 April 1918. Sejak saat itulah X menjadi sebuah kota yang sepenuhnya berada dalam pengelolaan pemerintahan kotapraja. Untuk menambah prasarana dan sarana perkotaan, pemerintah menambah lagi jaringan jalan-jalan baru, membangun berbagai gedung, jembatan, rumah sakit, saluran pipa air minum, fasilitas jaringan listerik, dan lain-lain sebagainya. Perkembangan kota X yang demikian pesatnya, sehingga dirasakan oleh orang-orang dari Eropa sebagai “Parijs van Sumatera” pada awal abad ke-18 (Breman, 1997).
Kalau dahulunya kota X, hanyalah sebuah perkampungan kecil saja di tanah Deli, dan hanya berfungsi sebagai lokasi tempat pemukiman penduduk asli setempat (suku-bangsa Melayu), yaitu kampung X. Letak kampung X ini dahulu berada di pertemuan antara delta sungai Deli dan delta sungai Babura, yakni sekitar 10 km di sebelah Selatan kampung Labuhan. Namun kini wilayah kampung X sudah berubah menjadi kota X, menjadi mekar dan menjadi lebih luas. X berkembang menjadi sebuah kota yang besar, bukan disebabkan oleh kegiatan perdagangan, tetapi justeru dipicu oleh pengaruh bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya.
Berbeda dengan kota-kota di Indonesia yang lainnya, yang pada umumnya timbul sebuah kota pra-sejarah bermula disebabkan oleh pusat-pusat istana, seperti: Gianyar dan Klungkung di Bali, Yogya dan Solo di Jawa Tengah; atau pusat keagamaan, seperti: kota Gede dekat Yogyakarta; dan pelabuhan, seperti: Banten, Demak, Gresik, dan Ujung Pandang (Koentjaraningrat, 1982: 251)). Kota X merupakan kota bentukkan baru, yang bermula sebagai pusat administarai yang timbul berkat pengaruh kolonial Belanda guna penyaluran investasi ke daerah ini. Proses perkotaan di sini disebabkan oleh perkembangan di bidang demografi, pertambahan penduduk yang besar dengan mendatangkan para migran untuk pengelolaan perkebunan (Nas, 1979: 97-98).
Pada saat ini perluasan kota X sudah sampai pada daerah-daerah di sekitarnya. X sedang menuju menjadi sebuah kota metropolitan yang terletak di wilayah bagian Barat Indonesia dan dikenal sebagai daerah MMA (Sirojuzilam, 2005). Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota X dipercepat lagi oleh pengaruh kemajuan teknologi, yakni: transportasi, telekomunikasi, dan travel/tourism. X kini bukan hanya perkampungan kecil dan bekas pusat perkebunan, tetapi juga telah menjadi kota industri dan perdagangan yang bertaraf internasional. X merupakan salah satu dari lima kota di Indonesia yang berprioritas menuju kota metropolitan, selain Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang (Wahid, dkk., 2005: 7-8). Kendatipun perkembangan kota X telah dipicu bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya, namun pertumbuhan dan perkembangannya yang demikian pesat, tidaklah terlepas dari proses sejarah dan peristiwa kultural kehidupan masyarakatnya sendiri. “Orang tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat juga turut mempengaruhi dan menentukan perkembangan kota-kota” (Menno, 1992: 13)
Proses sejarah dan peristiwa kultural diantaranya, yang dapat diduga menjadi salah satu faktor pendorong lajunya pertumbuhan dan perkembangan di kota X, tidaklah luput dari upaya kreativitas warga masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di X. Kedatangan mereka ke tanah Deli—khususnya di X dengan jumlah yang relatif cukup besar—adalah upaya Jacob Nienhuys. Pada mulanya mereka didatangkan untuk menjadi kuli di perkebunan yang ada di sekitarnya. Gelombang pertama di datangkan dari Singapura, sebanyak 300 orang menurut catatan yang terdaftar dibagian arsip kedatangan di pelabuhan Belawan, kemudian menyusul sebanyak 100 orang lagi. Sebagian besar orang-orang Tionghoa yang didatangkan ke daerah ini berasal dari Penang, yang dahulunya adalah orang Tionghoa yang berasal dari suku Teo Chiu (dari propinsi Kwantung, Cina Selatan). Mereka dikumpulkan oleh broker-broker (Keh tau), dan sekaligus merupakan kepala gerombolan Kongsi Toh Pe Kong yang ada di sana (Sinar, 1994:58). Ada pula yang langsung didatangkan dari daratan Cina bagian Selatan yaitu dari Propinsi Fukien dan Kwantung. Jumlah mereka, pada tahun 1874, sudah mencapai 4.476 orang, dan dalam tahun 1890 meningkat menjadi 53.806 orang. Selanjutnya pada tahun 1900 jumlah mereka sudah sebanyak 58.516 orang. Namun dalam proses perkembangan selanjutnya, kedatangan orang-orang Tionghoa ini tidak hanya sebagai kuli saja, tetapi ada juga yang melakukan aktivitas untuk perniagaan. Menurut sensus pada tahun 1920, migran Tionghoa jumlahnya sudah mencapai 121.716 orang, yang terdiri dari 92.985 orang pria dan hanya 18.731 orang saja yang wanita (Vleming Jr, 1989:185).
Dapat diperkirakan tidak sedikit diantara warga penduduk asli pribumi lainnya di kota X, yang kebutuhan hidupnya juga sangat bergantung pada kesuksesan bisnis orang Tionghoa ini. Warga penduduk asli pribumi ada yang menjadi pekerja sebagai karyawan/karyawati di pabrik-pabrik milik pengusaha Tionghoa, bahkan ada pula yang menjadi pekerja sebagai pelayan di pertokoan maupun sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah keluarga orang-orang Tionghoa. Secara tidak disadari keberhasilan masyarakat Tionghoa di kota X dalam merespons pembangunan telah menimbulkan sebuah rangkaian rantai pekerjaan baru bagi penduduk X yang lainnya. Keberadaan dan keberhasilan mereka di kota X tidaklah sedikit membuat motivasi yang kuat terhadap masyarakat non-Tionghoa yang lainnya, sehingga tanpa disadari sudah menjadi suatu masyarakat yang kreatif (a creative society) dalam membangun kota X itu sendiri.
Namun di sisi lain dengan adanya “dominasi-ekonomi” orang-orang Tionghoa terhadap jaringan-jaringan perdagangan di kota X, yang telah memberikan keuntungan yang besar bagi mereka, dan sulit untuk diterobos, ternyata hal ini memberikan kesan yang bersifat ekslusif. Kenyataan semacam itu, menjadi pemicu pula terhadap peristiwa-peristiwa rasialis yang cukup serius. Terbukti dengan adanya sejumlah tindakan-tindakan kekerasan, bentrokan-bentrokan fisik, serta serangkaian tindakan ekstrim lainnya. Peristiwa ini tidak hanya pernah terjadi di kota X saja tetapi hampir semua kota di Indonesia. Sebagai contoh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai berikut (Husodo: 1985, hal.42):
* Kegiatan anti Tionghoa pada tahun 1911, pada masa sekitar berdirinya Sarekat Dagang Islam untuk menandingi penguasaan ekonomi oleh orang-orang Tionghoa.
* Pada masa-masa revolusi kemerdekaan, telah timbul di beberapa tempat, akibat adanya kesan bahwa di antara golongan non-pribumi Tionghoa telah ikut membantu penjajahan Belanda.
* 10 Mei 1963 di Jawa Barat, serangkaian peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dibeberapa kota mulai dari kota Cirebon, menjalar ke kota-kota lain di Jawa Barat, Jawa Timur dan berakhir di Yogya pada tanggal 21-22 Mei 1963.
* Peristiwa Aceh tahun 1966.
* 5 Agustus 1973 di Bandung.7
* November 1980 di Solo-Semarang dan sekitarnya yang bermula di Solo dan seminggu kemudian nyaris menjalar ke kota-kota di Jawa Timur.
* Peristiwa di Tanjung Periok pada tahun 1984.
* Puncaknya, pada tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
Penyebab kerusuhan yang terjadi sebagian besar adalah berkisar pada masalah ekonomi. Golongan pribumi merasa pemerataan kegiatan usaha di bidang ekonomi belum diperolehnya. Sedangkan golongan orang-orang Tionghoa dianggap telah menguasai perekonomian. Oleh karena itu golongan pribumi (non-Tionghoa) menganggap, kehidupan orang-orang Tionghoa bisa menjadi lebih kaya dari pada golongan pribumi. Kecemburuan sosial tersebut dijadikan alasan kemarahan kaum pribumi terhadap golongan non-pribumi keturunan Tionghoa ini. Sasaran-sasaran dari kemarahan kaum pribumi adalah pusat-pusat perdagangan dan pertokoan, yang sebagian besar dikuasai oleh golongan masyarakat Tionghoa, ataupun tempat-tempat tinggal yang sejak dari dahulu sudah merupakan tempat-tempat bermukimnya orang-orang Tionghoa secara eksklusif (Husodo: 1985, hal. 43).
Menurut hasil penelitian yang di lakukan oleh Haida Jasin dan Alan W. Smith pada tahun 1976, di X, dijelaskan bahwa: orang-orang Tionghoa yang jumlahnya hanya 8% dari jumlah penduduk di kota X, namun mereka dapat menguasai 58% sektor perekonomian daerah ini. Sedangkan penduduk pribumi yang jumlahnya mencapai 84% dari jumlah penduduk di kota X, hanya 40% saja yang dapat bergerak di sektor ekonomi (Jasin, 1978: 165-173). Demikian pula pendapat Usman Pelly; di kota X masyarakat Tionghoa merupakan kelompok yang penting dan berarti, terutama karena dapat menguasai kehidupan disektor ekonomi, baik perdagangan maupun industri tingkat menengah dan atas (Pelly, 1983:6). Pemukiman etnis Tionghoa pada umumnya berada di kawasan elite strategis dan bergengsi (Bergerak, 1994: 4)

1.2. Perumusan Masalah.
Pengalaman kultural dan struktural yang dimiliki masyarakat Tionghoa di X merupakan sumber pembelajaran bagi mereka, yang telah membentuk pandangan teleologis dalam hidupnya. Pandangan teleologis itu sendiri merupakan daya pendorong ataupun faktor penyebab untuk bertindak hidup dengan berprinsip hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Yang menjadi masalah dan hal yang perlu diungkapkan dalam penelitian ini adalah, apa dan bagaimana pandangan teleologis atau futurologis mereka itu dalam menghadapi kehidupan ini ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini berupaya mengkaji pandangan teleologis yang dimiliki masyarakat Tionghoa X dalam rangka merespons fenomena kehidupan yang mungkin ada dan terjadi di kota X. Peristiwa-peristiwa apa atau perobahan-perobahan apa yang bakal ada dan terjadi di kota X. Bagaimana mereka membuat prediksi, bereaksi, membuat strategi, berprinsip dan sekaligus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dan bakal terjadi tersebut. Secara rinci ada tiga hal yang ingin dikaji dalam penelitian ini:
1. Kemungkinan-kemungkinan apa, yang ada dan bakal terjadi dalam kehidupan di kota X
2. Bidang usaha apa kiranya, yang dianggap mempunyai peluang keberhasilan/keuntungan yang cukup besar nantinya.
3. Persiapan-persiapan yang bagaimana harus dilakukan untuk menghadapi hal tersebut.
Ke-piawai-an semacam itu sungguh suatu pelajaran yang tak terhingga nilainya. Mana kala potensi pengalaman hidup berbudaya semacam itu dapat terungkap dan terbukti dalam penelitian ini, dapatlah dipetik untuk dijadikan pelajaran bagi masyarakat yang lainnya. Dengan kata lain, belajar dari pengalaman budaya orang lain dalam merespons kehidupan yang berupa pandangan teleologis, tidaklah mengurangi nilai dan makna kehidupan itu sendiri. Bahkan dapat dijadikan sebagai alat untuk mengkoreksi, introspeksi, dan mengevaluasi diri terhadap kekurangan-kekurangan maupun kelemahan-kelemahan yang kita miliki selama ini. Nilai-nilai budaya yang tidak lagi relevan dalam membuat pandangan teleologis atau memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang ada dan yang bakal terjadi, seperti perobahan-perobahan, peristiwa-peristiwa yang mungkin timbul, sebaiknya diperbaiki. Pada gilirannya nanti, selain dapat memperkaya khazanah nilai-nilai budaya yang selama ini sudah kita dimiliki, juga dapat memperkecil kesenjangan-kesenjangan sosial yang sering kali, justeru menimbulkan kecemburuan sosial di antara sesama warga di dalam masyarakat.
Tesis Evaluasi Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai Di Kelurahan X Kecamatan X Kota X

Tesis Evaluasi Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai Di Kelurahan X Kecamatan X Kota X

(Kode STUDPEMBX0015) : Tesis Evaluasi Pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai Di Kelurahan X Kecamatan X Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pada 1 Oktober 2005, pemerintah menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam rangka mengurangi beban subsidi. Tingkat kenaikan harga BBM kali ini tergolong tinggi dibanding kenaikan-kenaikan harga sebelumnya, yaitu bensin: 87,5%, solar: 104,8%, dan minyak tanah: 185,7%.
Keputusan ini diambil dengan latar belakang: 1) peningkatan harga BBM yang sangat tinggi di pasar dunia sehingga berakibat pada makin besarnya penyediaan dana subsidi yang dengan sendirinya makin membebani anggaran belanja negara; 2) pemberian subsidi selama ini cenderung lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat menengah ke atas; dan 3) perbedaan harga yang besar antara dalam dan luar negeri memicu terjadinya penyelundupan BBM ke luar negeri.
Kenaikan harga BBM menambah beban hidup masyarakat. Mereka tidak hanya menghadapi kenaikan harga BBM, tetapi juga kenaikan berantai berbagai harga barang dan jasa kebutuhan sehari-hari. Berbagai kenaikan tersebut menyebabkan penurunan daya beli masyarakat, terlebih rumah tangga miskin. Untuk mengurangi beban tersebut, pada 10 September 2005 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Miskin. Melalui program yang kemudian dikenal sebagai “Bantuan Langsung Tunai” (BLT) ini pemerintah menyediakan dana bantuan bagi sekitar 15,5 juta rumah tangga miskin. Besarnya dana adalah Rp100.000 per keluarga per bulan dan diberikan setiap tiga bulan.
Pada penyaluran tahap pertama yang direalisasikan sejak 1 Oktober 2005 pemerintah menyediakan dana sebesar Rp 4,6 triliun. Penyaluran dana kepada rumah tangga miskin dilakukan oleh PT Pos Indonesia melalui kantor cabangnya di seluruh Indonesia.
Dalam pelaksanaan program ini tidak ditemukan adanya acuan atau pedoman umum yang berisi penjelasan menyeluruh tentang program bagi semua pihak yang berkepentingan. Acuan yang tersedia hanya berupa buku petunjuk parsial seperti petunjuk pendataan rumah tangga miskin dan petunjuk pendistribusian Kartu Kompensasi BBM (KKB) yang persebarannya cenderung terbatas di kalangan internal BPS (Badan Pusat Statistik).
Akibatnya, terdapat perbedaan pemahaman antar pihak terkait tentang pelaksanaan program. Instansi yang berperan dalam pelaksanaan Program BLT adalah Departemen Sosial, BPS, dan PT Pos Indonesia. Pemerintah Daerah (Pemda) pada awalnya tidak dilibatkan secara serius. Namun, dengan perkembangan pelaksanaan program pihak Pemda dan seluruh jajarannya sering diminta membantu proses pencairan dana dalam rangka meredam gejolak sosial.
Di berbagai daerah, kegiatan sosialisasi program secara formal dan menyeluruh bagi pihak terkait di luar lembaga pelaksana nyaris tidak pernah dilakukan. Sosialisasi formal hanya terbatas tentang rencana kegiatan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05) yang dalam praktiknya merupakan pendataan keluarga/rumah tangga miskin. Sosialisasi formal untuk masyarakat luas pun tidak dilakukan. Banyak pihak mengeluhkan kurangnya sosialisasi program. Sebagai contoh, kriteria penerima BLT tidak disosialisasikan secara terbuka, bahkan instansi pemerintah di tingkat Kelurahan dan Kecamatan secara resmi tidak mengetahui besarnya target dan realisasi di daerahnya.
Di Kota X, kurangnya sosialisasi program menyebabkan aparat Kecamatan, Kelurahan dan Kepala Lingkungan kurang dapat membantu menjelaskan program kepada masyarakat yang bertanya atau mengadu.
Adanya kemungkinan bahwa tidak semua prosedur pendataan tersebut diikuti secara benar. Beberapa pelanggaran yang mungkin terjadi yaitu : 1) Petugas BPS tidak melaksanakan verifikasi kasat mata secara menyeluruh, melainkan hanya beberapa keluarga/rumah tangga saja; 2) Petugas Pencacah tidak menghubungi Kepala Lingkungan untuk membuat daftar keluarga/rumah tangga miskin awal dan ada juga pencacah yang meminta orang lain melakukan tugasnya; 3) Pengisian formulir PSE05.RT secara langsung dari rumah ke rumah hanya dilakukan terhadap sebagian kecil rumah tangga; 4) Pertanyaan yang diajukan kepada keluarga/rumah tangga tidak lengkap, kebanyakan hanya dua hingga tiga variabel pertanyaan, seperti pekerjaan, status kepemilikan rumah, dan banyaknya anak yang sekolah.
Secara umum, penerima Bantuan Langsung Tunai adalah keluarga/rumah tangga miskin. Namun, di satu sisi masih banyak berita adanya keluarga/rumah tangga yang sama miskinnya tetapi tidak mendapatkan BLT (undercoverage). Di sisi lain, ditemukan juga beberapa keluarga/rumah tangga mampu yang menerima BLT (leakage).
Tidak ada ketentuan yang mengatur penggunaan dana BLT. Artinya, penerima dapat menggunakan dana untuk keperluan apa pun. Dalam kenyataannya, umumnya penerima menggunakan dana BLT untuk membeli beras dan minyak tanah, membayar listrik dan biaya kontrak rumah, serta melunasi utang. Selain itu, ada juga beberapa penerima yang menggunakan dana untuk biaya kesehatan dan sekolah. Hanya sedikit yang memanfaatkan dana untuk modal usaha.
Setelah pembagian KKB dan pencairan dana, banyak anggota masyarakat mengajukan keberatan karena tidak memperoleh BLT. Padahal mereka telah didata atau selama ini termasuk keluarga/rumah tangga miskin dalam program penanggulangan kemiskinan lainnya. Mereka datang ke Kepala Lingkungan, Kantor Lurah, Kantor Camat, hingga Kantor Walikota/Gedung DPRD. Alhasil, di lapangan proses penyaluran BLT ini menyisakan cerita panjang dan menyesakkan.
Pada masa pencairan BLT, terjadi antrean panjang para penerima BLT di Kantor Pos. Bahkan ada di beberapa daerah terjadi tindak kekerasan seperti warga yang mengamuk dan membakar kantor. Begitu hebohnya kekisruhan penyaluran BLT ini sehingga hal tersebut mengalihkan perhatian dari upaya-upaya peningkatan pelayanan kepada masyarakat miskin yang sebelumnya menjadi fokus dana kompensasi BBM.
Dilihat dari sudut kemanusiaan penyaluran dana kompensasi BBM kepada keluarga miskin merupakan tindakan yang wajar, karena yang paling terkena dampak kenaikan harga BBM adalah kelompok ini. Pemerintah telah memberikan rasa kepedulian kepada keluarga miskin. Daya beli masyarakat secara keseluruhan mengalami penurunan karena harga barang naik sementara pendapatan tidak naik.
Jika harga BBM saja yang naik mungkin tidak begitu dipermasalahkan, namun yang menjadi persoalan adalah kenaikan harga yang juga ikut naik seiring dengan kenaikan harga BBM tersebut, seperti kenaikan harga bahan-bahan kebutuhan pokok dan sebagainya. Keadaan tersebut diperburuk lagi dengan menurunnya tingkat ekonomi masyarakat. Masyarakat harus bersabar karena kenaikan pendapatan yang akan terjadi memerlukan waktu. Tidak tertutup kemungkinan kenaikan pendapatan itu tidak punya arti apabila persentasenya lebih kecil dari persentase kenaikan harga rata-rata.
Pemerintah pada saat itu sedang mengalami kesulitan keuangan. Inilah yang harus dimaklumi masyarakat untuk setuju pada kenaikan harga BBM. Tetapi seberapa parah kesulitan keuangan itu tidak diketahui oleh masyarakat umum karena tidak dibuka oleh pemerintah. Namun dari situasi tersebut masyarakat menduga kesulitan keuangan pemerintah sudah sedemikan parahnya.
Anggaran yang dipakai untuk kegiatan pembangunan fisik sangatlah kecil. Sebagian besar penerimaan negara dipergunakan untuk membiayai lembaga dan aparatur pemerintah dan sebagian lainnya untuk membayar cicilan dan bunga utang luar negeri. Dapat dipahami akan terbatasnya keuangan negara saat itu, hanya saja pemerintah tidak terbuka kepada masyarakat. Kenaikan harga BBM merupakan salah satu cara bagi pemerintah untuk mengurangi beban di dalam anggaran. Namun kenaikan tersebut berdampak pada kenaikan harga-harga lainnya.
Masyarakat sebenarnya tidak mempersoalkan kenaikan harga atas barang apa pun jika hubungan fungsional antara harga dengan pendapatan berjalan seiring. Artinya kenaikan harga barang bersamaan dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Namun yang menjadi persoalan adalah jika fungsi ini tidak berjalan seiring. Harga-harga naik tetapi pendapatan tidak naik, atau kenaikan pendapatan lebih lambat dari kenaikan harga sehingga daya beli masyarakat terus melemah dan tingkat kesejahteraan menjadi turun.
Di samping itu kepincangan pendapatan masyarakat sangatlah tinggi sehingga mengakibatkan terjadinya kesenjangan sosial. Pemerintah kesulitan untuk mengharmoniskan hubungan antara harga dan pendapatan. Keadaan tersebut merupakan produk dari perencanaan serta pelaksanaan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah pada masa sebelumnya. Pemerintah tidak memperhatikan potensi ekonomi yang dimiliki masyarakat dan negara. Perencanaan dan kebijakan ekonomi tidak didasarkan pada potensi ekonomi daerah dan tidak didasarkan pada dorongan multiflier effects tetapi didasarkan pada pertambahan demand dan kemajuan teknologi. Perencanaan dan kebijakan ekonomi lebih berwawasan sentralistik tanpa memperhatikan kepentingan ekonomi daerah yang multiflier effect-nya cukup tinggi.
Berbagai permasalahan yang ditemukan pada saat itu adalah akumulasi dari berbagai permasalahan ekonomi masa lalu, sementara pemerintah tidak mampu mengatasinya secara tepat sehingga membawa perekonomian kepada suatu keadaan stagflasi. Keadaan stagflation sebenarnya sudah terlihat sebagai pertanda perekonomian dalam keadaan lampu kuning. Tingkat pertumbuhan melemah (stagnation) sementara inflasi (inflation) tinggi dan pengangguran terus bertambah.
Selama tiga dekade berbagai upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan melalui penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan sanitasi dan sebagainya. Namun ternyata kemiskinan belum dapat dientaskan, bahkan jumlah penduduk miskin semakin bertambah. Persentase jumlah penduduk miskin di Indonesia lebih parah dibandingkan pada tahun 1980, persentase penduduk miskin tercatat 28,6 % sedangkan tahun XXXX mencapai 29,7 % atau di atas 72 juta yang jumlahnya dua kali lipat dibandingkan dengan penduduk miskin tahun XXXX yaitu 36,56 juta orang.
Patut dipertanyakan kenapa hal tersebut terjadi. Selain faktor naiknya harga BBM yang berperan besar terhadap naiknya jumlah penduduk miskin sampai dua kali lipat untuk tahun XXXX, faktor lain yang mungkin mempengaruhi adalah serangkaian cara dan strategi penanggulangan kemiskinan yang dilakukan, lebih berorientasi material, sehingga keberlanjutannya sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah.
Tidak mungkin menciptakan sumber daya manusia yang baik jika belenggu kemiskinan masyarakat melekat. Ketika rakyat tidak lagi mampu untuk mencukupi kebutuhan minimal akibat pendapat rill tidak cukup maka yang terpikir oleh keluarga adalah memberdayakan mereka bekerja apa saja tanpa pernah berpikir memberdayakan mereka melalui lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal. Keluarga akan membiarkan anak-anak mereka yang usia sekolah menjadi gembel, pengamen atau pengemis di pinggir-pinggir jalan, sementara pemerintah sibuk menghimbau wajib belajar. Akibat buruknya adalah munculnya generasi yang mudah putus asa, generasi yang minder, generasi yang tidak punya wawasan, generasi yang miskin jiwanya dan tidak siap menghadapi tantangan. Dan lebih celaka lagi generasi ini akan menjadi penonton dan penderita ketika setiap jengkal tanah yang mestinya menghidupi mereka dirampas oleh kapitalis yang tidak punya hati nurani.
Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan yang sifatnya kompleks dan multi dimensional. Persoalan kemiskinan bukan hanya berdimensi ekonomi tetapi juga sosial, budaya, politik bahkan juga ideologi. Secara umum kondisi kemiskinan tersebut ditandai oleh kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi dan kebutuhannya. Karena sifat kemiskinan yang multi dimensi tersebut, maka kemiskinan telah menyebabkan akibat yang juga beragam dalam kehidupan nyata, antara lain: (i) secara sosial ekonomi dapat menjadi beban masyarakat, (ii) rendahnya kualitas dan produktivitas masyarakat, (iii) rendahnya partisipasi masyarakat, (iv) menurunnya ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, (v) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (vi) kemungkinan merosotnya mutu generasi yang akan datang. Semua indikasi tersebut merupakan kondisi yang saling terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Harapan untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi masih dimungkinkan, sepanjang pemerintah mampu menciptakan terobosan melalui berbagai kebijakan ekonomi (perbaikan pada sektor bisnis, investasi dan perpajakan) dan kebijakan publik (perbaikan di bidang pelayanan, keamanan dan prasarana).

1.2. Perumusan Masalah
Belajar dari pengalaman di masa lalu, pelaksanaan penyaluran dana kompensasi subsidi BBM selalu menghadapi berbagai permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian dan penelitian terhadap pelaksanaan Program BLT guna mencari jalan keluar dari berbagai kendala dan kelemahan di lapangan.
Disamping itu perlu dianalisis mengenai keberhasikan dari Program BLT tersebut sebagai salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya penaggulangan kemiskinan. Berangkat dari hal tersebut, maka penulis ingin merumuskan masalah yang akan dikaji melalui suatu penelitian dengan melihat persoalan pada: “Bagaimana pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi rumah tangga miskin?” dengan mengambil lokasi penelitian di Kelurahan X Kecamatan X Kota X.

1. 3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran aktual tentang pelaksanaan penyaluran dana BLT sebagai bahan pembelajaran untuk pengambilan kebijakan selanjutnya bagi pemerintah. Selain itu, penelitian ini dapat pula dijadikan dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan cakupan yang lebih komprehensif dan representatif.
Secara spesifik, penelitian ini bertujuan :
1. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme pelaksanaan Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) di Kelurahan X Kecamatan X Kota X.
2. Untuk mengevaluasi Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi rumah tangga miskin.
Tesis Peran Posyandu Dalam Penyebaran Informasi Tentang Keluarga Berencana Dan Kesehatan Reproduksi Di Kecamatan X Kota X

Tesis Peran Posyandu Dalam Penyebaran Informasi Tentang Keluarga Berencana Dan Kesehatan Reproduksi Di Kecamatan X Kota X

(Kode STUDPEMBX0013) : Tesis Peran Posyandu Dalam Penyebaran Informasi Tentang Keluarga Berencana Dan Kesehatan Reproduksi Di Kecamatan X Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Berbicara mengenai peranan pembangunan dan masalah-masalah kesehatan yang mendasar pada pola dan arah strategi pembangunan kesehatan, maka tidak terlepas dari masalah komunikasi, penyebaran informasi dan diterima atau tidaknya suatu gagasan baru tersebut. Gagasan baru dapat tersebar dengan melalui proses difusi inovasi.
Dalam usaha membangun kesehatan maka peranan komunikasi sangat penting. Komponennya yaitu komunikator berperan sebagai gerakan aktivitas informasi, motivasi dan edukasi masyarakat bisa memahami kesehatan. Bahwa kesehatan itu pada dasarnya menyangkut semua kehidupan, baik kehidupan perseorangan, keluarga, kelompok manusia, masyarakat luas maupun bangsa. Dengan kata lain, ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas.
Menurut Roekmono dan Setiady (1985) masyarakat tidak hanya membatasi diri kepada individu yang tidak sakit dan memerlukan pengobatan, melainkan ingin melihat manusia dalam interaksi manusia dengan lingkungan dimana ia hidup. Sekaligus dalam pengertian ini termasuk interaksi manusia dengan beberapa pranata dalam kehidupan kebudayaan. Beberapa contoh diantaranya yang relevan disini adalah pranata sosial budaya, pranata pelayanan kesehatan modern, pranata pengobatan tradisional dan pranata pendidikan.
Juga Hapsara (1986) menjelaskan bahwa orientasi upaya kesehatan yang semula berupa upaya penyembuhan penderita berkembang secara berangsur-angsur ke arah kesatuan upaya peningkatan kesehatan untuk seluruh masyarakat yang mencakup peningkatan (promotive), pencegahan (preventive), penyembuhan (curative) dan pemeliharaan (rehabilitasi) yang menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
Upaya peningkatan kesehatan itu dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial budaya termasuk ekonomi, lingkungan fisik dan biologik yang semuanya bersifat dinamis dan kompleks serta tidak lepas dari pengaruh perkembangan dunia internasional.
Jelaslah bahwa upaya peningkatan kesehatan cukup luas dan kompleks masalahnya sehingga memerlukan usaha yang intensip dan mantap (dalam menangani masalah-masalah kesehatan dan pembangunan kesehatan). Berbagai faktor yang perlu diperhatikan, antara lain faktor lingkungan yang selalu berubah dan berpengaruh pada pola atau arah strategi pembangunan kesehatan nasional.
Masalah-masalah kesehatan semakin bertambah kompleks di Indonesia, misalnya, banyak masalah-masalah dan pembangunan kesehatan dipengaruhi oleh faktor lainnya, sehingga pola atau arah dan pembangunan kesehatan nasional dipengaruhi pula. Dalam mengatasi masalah-masalah kesehatan yang semakin kompleks tersebut Departemen Kesehatan telah membentuk suatu Sistem Kesehatan Nasional (SKN)
Adapun pemikiran dasar Sistem Kesehatan Nasional pada pokoknya meliputi antara lain, tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk dan terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit yang dilakukan secara terpadu dan pemerintah mengusahakan pelayanan kesehatan yang merata dan terjangkau oleh seluruh rakyat. Lebih terperinci lagi pembangunan kesehatan dirumuskan dalam RPJPK dan dijabarkan dalam RP3JPK. RPJPK ini merupakan kemauan (Karsa), dan karsa ini ditetapkan dalam Panca Karsa Husada, yang terdiri dari:
- peningkatan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam kesehatan,
- perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan,
- peningkatan status gizi masyarakat.,
- pengurangan kesakitan dan kematian,
Untuk mencapai kelima karsa tersebut diatas ditetapkan pula upaya pokok, yang disebut Panca Karya Husada dan terdiri dari:
- peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan,
- pengembangan tenaga kesehatan,
- pengendalian, pengadaan dan pengawasan obat, makanan dan bahan berbahaya bagi kesehatan,
- perbaikan gizi dan peningkatan kesehatan lingkungan,
- peningkatan dan pemantapan manjemen hukum.
- pengembangan keluarga sehat sejahtera, dengan makin diterimanya norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Kelima karya ini ditegaskan dalam 15 pokok program. Dalam Sistem Kesehatan Nasional disebutkan bahwa dalam bentuk pokok penyelenggarannya dilakukan melalui upaya kesehatan Puskesmas, peran serta masyarakat dan rujukan upaya kesehatan. Upaya ini telah diterjemahkan dalam bentuk operasionalnya bedasarkan jenis dan tingkat pelayanannya dan melihat wilayah cakupannya. Atas dasar ini, maka didapatkan suatu sistem upaya pelayanan kesehatan. Upaya pelayanan kesehatan merupakan suatu jaringan pelayanan kesehatan yang dimulai dari tingkat yang terbawah, pada setiap rumah tangga, sampai dengan tingkat teratas yang mempunyai kecanggihan profesional. Komponen dan tingkatan sistem pelayanan kesehatan digambarkan oleh Soebagyo Oetomo (1987) dalam suatu hirarki sebagai berikut:

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Dalam peningkatan kemampuan setiap orang atau keluarga untuk dapat menyelesaikan masalah kesehatan sendiri dalam mewujudkan hidup sehat yang diperlukan adalah hierarki profesional dan jaringan pelayanan masyarakat dan keluarga untuk mewujudkan maksud di atas. Dengan menggunakan Puskesmas sebagai penggerak tumbuhnya jaringan pelayanan masyarakat maka diadakan suatu forum yang dapat mendukung usaha pelayanan profesional dan masyarakat. Terutama, dalam mendorong kemampuan masyarakat untuk hidup sehat, maka dihidupkan kembali strategi oleh Departemen Kesehatan yaitu pos pelayanan terpadu (posyandu). Posyandu merupakan usaha untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan upaya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Berkaitan dengan posyandu, Suyono Yahya (1987) menjelaskan bahwa dalam hierarki pelayanan kesehatan posyandu adalah jembatan upaya-upaya pelayanan profesional dan pelayanan non-profesional yang dapat dikembangkan oleh masyarakat dan keluarga.
Demikian juga Sonja P. Roesma (1987) menjelaskan bahwa posyandu merupakan usaha keterpaduan karena program yang berdaya ungkit besar bagi penurunan angka kematian bayi, balita dan ibu, sektor yang berkaitan erat dengan pembangunan kesehatan antara lain kependudukan, pertanian, pendidikan, pelayanan kesehatan profesional dan nonprofesional/masyarakat.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa posyandu merupakan salah satu bentuk operasional pemberian kesehatan pada masyarakat secara langsung. Karena itu, diperlukan suatu pendekatan yang kekuatannya terletak pada pelayanan kesehatan dasar dan kerja sama lintas sektor. Peran serta masyarakat ini diperoleh melalui rekayasa masyarakat, dapat dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan motivasi serta upaya penggerak masyarakat. Hal tersebut dilakukan berbagai cara berdasarkan kondisi dan situasi masyarakat setempat. Dengan demikian, posyandu merupakan forum komunikasi dan pelayanan di masyarakat antara sektor yang memadukan kegiatan pembangunan sektoralnya dengan kegiatan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memecahkan masalahnya alih melalui teknologi.
Sasaran posyandu adalah terutama masyarakat desa dengan tujuan memperkenalkan inovasi kesehatan dan teknologi kesehatan. Oleh karena, masih banyaknya jumlah penduduk yang tinggal dipedesaan, komunikasi dengan masyarakat desa lebih diutamakan karena komunikasi dengan masyarakat desa merupakan bagian dari komunikasi dengan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Untuk melakukan komunikasi dengan masyarakat pedesaan tentang peningkatan kesehatan dan hidup dalam lingkungan sehat ada dua unsur penting yang perlu dicatat. Kedua unsur penting itu dijelaskan oleh Astrid Sosanto (1978) sebagai berikut isi komunikasi yang sering merupakan hal-hal baru (inovasi) bagi penduduk desa, adanya latar belakang sosial budaya yang sering berbeda antara pembuat konsep isi pesan ataupun pembawa pesan (komunikator) dengan penduduk pedesaan.
Kedua faktor di atas masing-masing menunjukkan situasi komunikasi inovasi, yaitu bagaimana suatu inovasi disebarluaskan kepada masyarakat. Dalam meneliti peran posyandu, studi ini mencoba menggambarkan dari segi komunikasi kesehatan dan inovasi kesehatan. Posyandu adalah medium dan organisasi sebagai sumber pesan-pesan kesehatan penting untuk diteliti, terutama untuk melihat peranannya dalam meningkatkan partisipasi masyakarat dalam program kesehatan. Justeru itu, posyandu perlu ditunjang oleh adanya suatu kegiatan komunikasi yang bekerja secara aktif dalam menyebar luaskan pesan-pesan kesehatan dalam masyarakat.
Kegiatan komunikasi pada pokoknya adalah menyebarluaskan dan meningkatkan pemahaman tentang infomasi yang disampaikan itu. Informasi yang disampaikan oleh provider dan kader perlu dipahami oleh pihak penerima atau masyarakat sehingga apa yang dimaksud oleh posyandu, yaitu penyuluhan kesehatan, diterima dan dilaksanakan dengan baik.
Posyandu menetapkan programnya yaitu pembangunan kesehatan masyarakat desa. Dalam melaksanakan pembangunan kesehatan, maka langkah pertama yang ditempuh adalah memberi penjelasan masyarakat tentang berbagai kegiatan posyandu. Dengan penjelasan yang diberikan oleh posyandu maka akan tercipta interaksi antara pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat sebagai penerima pesan-pesan kesehatan. Dengan demikian, peran komunikasi sangat penting untuk berperan dalam menciptakan partisipasi masyarakat. Partisipasi dan komunikasi hanya dapat dicapai apabila sistem nilai, sistem sosial budaya dan struktur sosial masyarakat dimanfaatkan. Justru itu, kegiatan komunikasi dapat dilakukan dengan mengajak para pemuka masyarakat terlebih dahulu. Yang termasuk pemuka masyarakat adalah pemimpin formal dan informal. Pemuka masyarakat sangat efektif, terutama pemimpin informal karena ia mengenal masyarakat dan oleh masyarakat setempat dianggap sebagai tokoh atau pemimpin yang mengetahui banyak masalah-masalah sosial dan kemasyaraktan.
Strategi posyandu adalah memanfaatkan pemuka masyarakat di samping organisasi sosial sebagai saluran komunikasi. Lembaga-lembaga sosial seperti. Lembaga Musyawarah Desa (LMD/Tuha Empat dan Tuha Delapan) Lembaga Masyarakat Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) serta saluran-saluran komunikasi interpersonal telah digunakan sebagai saluran komunikasi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat, terhadan program kesehatan.

1.2. Perumusan Masalah
Seperti diketahui bahwa masalah kesehatan sangat luas ruang lingkupnya dan sangat kompleks. Masalahnya bukan hanya menyangkutkesehatan semata-mata tetapi faktor sosial budaya, ekonomi, pendidikan, sikap dan kepercayaan turut berpengaruh didalamnya. Jika dilihat dari sudut ini, maka masalah kesehatan bukan hanya masalah dokter, dan ahli-ahli kesehatan saja, tetapi masalah kesehatan juga merupakan tanggung jawab para ahli ilmu sosial.
Karena luasnya masalah kesehatan, maka penulis perlu membatasi untuk memberikan kajian yang ini, masalah akan dibatasi tentang Keluarga Berencana dan kesehatan reproduksi. Titik berat kesehatan dalam program kesehatan serta sejauh mana posyandu sebagai sumber atau medium dalam menyalurkan pesan-pesan kesehatan.
Struktur sosial adalah lembaga-lembaga formal dan informal yang ada dalam masyarakat desa seperti birokrasi pemerintahan desa. Norma sistem sosial adalah pedoman tingkah laku yang telah dianut oleh suatu anggota sistem sosial tertentu. Struktur sosial dan norma sistem sosial masyarakat desa pada umumnya bersifat tradisional. Masyarakat tradisional memiliki ciri-ciri antara lain berpendidikan relatif rendah, kehidupan sosial ekonomi lemah, pola hubungan interpersonal sangat kuat, sedikit sekali komunikasi yang dilakukan oleh anggota sistem dengan pihak luar. Dari kondisi ini maka pengenalan terhadan pengobatan modern relatif masih rendah dan pengenaan media massa juga rendah. Sebaliknya pola komunikasi yang banyak digunakan adalah komunikasi interpersonal.
Dengan demikian struktur sosial dan norma sistem sosial masyarakat desa mempunyai pengaruh terhadan tingkah laku orang-orang dewasa serta perubahannya dalam menjawab tantangan komunikasi. Sebaliknya struktur sosial dan norma sistem sosial desa kemungkinan bisa berpengaruh. Dapat merintangi atau sebaliknya dapat pula memudahkan proses difusi inovasi. Demikian juga difusi inovasi bisa pula merubah struktur sosial dan norma sistem sosial suatu masyarakat.
Dengan bertitik tolak atas permasalahan-permasalahan tersebut di atas, penulis mencoba merumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan lembaga-lembaga formal, informal dan anggota sistem sosial (ibu-ibu balita) terhadan proses difusi inovasi kesehatan modern yang dilakukan oleh posyandu terutama mengenai KB dan kesehatan reproduksi?
2. Bagaimana anggota sistem sosial (ibu-ibu balita) mencari informasi tentang pengobatan modern terutama mengenai KB dan kesehatan reproduksi?
3. Bagaimana peranan kader dalam penyebaran inovasi kesehatan modern terutama mengenai KB dan kesehatan reproduksi?

1.3. Ruang Lingkup Kajian
Ruang lingkup penulisan ini adalah komunikasi dengan pengkhususan masalah komunikasi KB dan kesehatan reproduksi terutama peranan komunikasi dalam melaksanakan difusi inovasi kesehatan. Studi-studi difusi inovasi terutama menelaah tentang pesan-pesan yang berupa gagasan baru. Dalam kajian ini fokus utamanya adalah untuk melihat peranan posyandu sebagai penyebar gagasan baru di bidang kesehatan pada masyarakat desa.

1.4. Tujuan Kajian
Tujuan dari kajian ini adalah untuk melihat peran posyandu dalam menyebarluaskan informasi kesehatan. Untuk mengetahui saluran-saluran komunikasi ikut mendukung peran posyandu.

1.5. Manfaat Kajian
Hasil kajian ini diharapkan secara teoritis dapat mendukung pengembangan studi komunikasi, khususnya komunikasi kesehatan. Secara praktis dapat mendukung kebijaksanaan posyandu dalam program kesehatan masyarakat.