Search This Blog

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TENTANG ABORSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TENTANG ABORSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

(KODE : ILMU-HKM-0060) : SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TENTANG ABORSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang maha Esa yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia merupakan Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dicabut oleh Pemberi kehidupan tersebut. Berbicara mengenai aborsi tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi erat kaitanya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita.
Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karena sejauh ini perilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku mapun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena aborsi menyangkut norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa.
Aborsi telah dikenal sejak lama, Aborsi memiliki sejarah panjang dan telah dilakukan oleh berbagai metode termasuk natural atau herbal, penggunaan alat-alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya. Jaman Kontemporer memanfaatkan obat-obatan dan prosedur operasi teknologi tinggi dalam melakukan aborsi. Legalitas, normalitas, budaya dan pandangan mengenai aborsi secara substansial berbeda di seluruh negara. Di banyak negara di dunia isu aborsi adalah permasalahan menonjol dan memecah belah publik atas kontroversi etika dan hukum. Aborsi dan masalah-masalah yang berhubungan dengan aborsi menjadi topik menonjol dalam politik nasional di banyak negara seringkali melibatkan gerakan menentang aborsi pro-kehidupan dan pro-pilihan atas aborsi di seluruh dunia.
Membahas persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan, baik itu dilakukan secara legal ataupun dilakukan secara ilegal. Dalam memandang bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan aborsi provokatus medikalis. Sedangkan aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu tindak pidana lebih dikenal sebagai abortusi provokatus criminalis.
Aborsi itu sendiri dapat terjadi baik akibat perbuatan manusia atau (abortuis provokatus) maupun karena sebab-sebab alamiah, yakni terjadi dengan sendirinya, dalam arti bukan karena perbuatan manusia (aborsi spontanus). Aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia dapat terjadi baik karena didorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu penyakit dan untuk menyelamatkan nyawa wanita tersebut maka kandungannya harus digugurkan (aborsi provokatus therapeutics atau bisa disebut aborsi therapeuticus). Di samping itu karena alasan-alasan lain yang tidak dibenarkan oleh hukum (abortusprovokatus criminalis atau disebut aborsi criminalis).
Penguguran kandungan itu sendiri ada 3 macam :
1. ME (menstrual Extraction) : Dilakukan 6 minggu dari menstruasi terakhir dengan penyedotan. Tindakan pengguguran kandungan ini sangat sederhana dan secara psikologis juga tidak terlalu berat karena masih dalam gumpalan darah.
2. Diatas 12 minggu, masih dianggap normal dan termasuk tindakan pengguguran kandungan yang sederhana.
3. Aborsi (pengguguran Kandungan) diatas 18 minggu, tidak dilakukan di klinik tetapi di rumah sakit.
Masalah pengguguran kandungan (aborsi) pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan kaitannya denagn nilai-nilai serta norma-norma agama yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, terkait dengan Hukum pidana positif di Indonesia pengaturan masalah pengguguran kandungan tersebut terdapat pada Pasal 346, 347, 348, 349 dan 350 KUHP. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 346, 347, dan 348 KUHP tersebut, abortus criminalis meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
1. Menggugurkan kandungan (Afdrijing van de vrucht atau vrucht afdrijiving)
2. Membunuh kandungan (de dood van de vrucht veroorken atau vrucht doden)
Dalam pelaksanaan aborsi, banyak cara yang digunakan baik itu yang sesuai dengan protokol medis maupun cara-cara tradisional, yang dilakukan oleh dokter, bidan maupun pihak-pihak yang sebenarnya tidak ahli dalam melakukannya yang mencari keuntungan semata. Padahal seharusnya, aborsi hanya boleh dilakukan untuk tindakan medis dengan maksud menyelamatkan nyawa ibu, contohnya keracunan kehamilan atau pre-eklampsia. Tiap tahunnya, berjuta-juta perempuan Indonesia mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, dan sebagian darinya memilih untuk mengakhiri kehamilan mereka dengan aborsi walaupun telah dengan tegas dalam undang-undang bahwa aborsi adalah tindakan legal kecuali karena adanya indikasi kedaruratan medis. Pada saat ini banyak tenaga medis yang terlibat secara langsung dalam tidakan aborsi. Ada yang terlibat dengan perasaan ragu-ragu dan tetap membatasi pada kasus-kasus sulit yang menyudutkan mereka untuk mendukung pengguguran, namum ada pula yang melakukanya tanpa perasaan bersalah. Menghadapi situasi seperti ini, tenaga medis tetap harus berusaha menyadari tugasnya untuk membela kehidupan. Wanita yang mengalami kesulitan itu perlu dibantu dengan melihat jalan keluar lain yang bukan pengguguran langsung. Tenaga medis hanya berani menolak pengguguran langsung dengan indikasi sosial-ekonomi. Kesulitan sosial-ekonomi semestinya diperhatikan secara sosial-ekonomi, bukan dengan pengguguran secara langsung.
Selama puluhan tahun aborsi, telah menjadi permasalahan bagi perempuan karena menyangkut berbagai aspek kehidupan baik itu moral, hukum, politik, dan agama. Kemungkinan terbesar timbulnya permasalahan tersebut berakar dari konflik keyakinan bahwa fetus memiliki hak untuk hidup dan para perempuan memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dalam hal ini melakukan pengguguran kandungan. Perkembangan konflik yang tidak kunjung mendapatkan titik temu mengakibatkan munculnya penganut paham pro-life yang berupaya mempertahankan kehidupan dan pro-choice yang mendukung supaya perempuan mempunyai pilihan untuk menentukan sikap atas tubuhnya dalam hal ini aborsi. Mencuatnya permasalahan aborsi di Indonesia, agaknya perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang memberikan alternatif solusi yang tepat.
Pertentangan moral dan agama merupakan masalah terbesar yang sampai sekarang masih mempersulit adanya kesepakatan tentang kebijakan penanggulangan masalah aborsi. Oleh karena itu, aborsi yang ilegal dan tidak sesuai dengan cara-cara medis masih tetap berjalan dan tetap merupakan masalah besar yang masih, mengancam. Adanya pertentangan baik secara moral dan kemasyarakatan dengan secara agama dan hukum membuat aborsi menjadi suatu permasalahan yang mengandung kontoroversi. Dari sisi moral dan kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil perkosaan, hasil hubungan seks komersial (dengan pekerja seks komersial) maupun ibu yang mengetahui bahwa janin yang dikandungnya mempunyai cacat fisik yang berat. Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya sendiri. Di sisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan memperbolehkan manusia melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan alasan apapun.
Dari segi hukum positif yang berlaku di Indonesia, masih ada perdebatan dan pertentangan dari yang pro dan yang kontra soal persepsi atau pemahaman mengenai undang-undang yang ada sampai saat ini. Baik dari UU kesehatan, UU praktik kedokteran, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan UU hak asasi manusia (HAM). Keadaan seperti di atas inilah dengan begitu banyak permasalahan yang kompleks yang membuat banyak timbul praktik aborsi gelap, yang dilakukan baik oleh tenaga medis formal maupun tenaga medis informal. Baik yang sesuai dengan standar operasional medis maupun yang tidak. Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan ketentuan mengenai aborsi diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992. Dimana dalam ketentuan UU kesehatan memuat tentang aborsi yang dilakukan atas indikasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan bayi lahir cacat sehinga sulit hidup diluar kandungan.
Sebelum terjadinya revisi undang-undang kesehatan masih banyak perdebatan mengenai aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan. Hal itu dikarenakan tidak terdapat pasal yang secara jelas mengatur mengenai aborsi terhadap korban perkosaan. Selama ini banyak pandangan yang menafsirkan bahwa aborsi terhadap korban perkosaan disamakan dengan indikasi medis sehingga dapat dilakukan karena gangguan psikis terhadap ibu juga dapat mengancam nyawa sang ibu. Namum dipihak lain ada juga yang memandang bahwa aborsi terhadap korban perkosaan adalah aborsi kriminalis karena memang tidak menbahayakan nyawa sang ibu dan dalam Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tidak termuat secara jelas didalam pasalnya. Dengan keluarnya revisi undang-undang kesehatan maka mengenai legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan telah termut dengan jelas di dalam Pasal 75 ayat 2 UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adapun Ketentuan yang berkaitan degan soal aborsi dan penyebabnya dapat dilihat pada KUHP Bab XIX Pasal 229,346 s/d 349 yang memuat jelas larangan dilakukannya aborsi sedangkan dalam ketentuan Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur ketentuan aborsi dalam Pasal 76,77,78. Terdapat perbedaan antara KUHP dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam mengatur masalah aborsi. KUHP dengan tegas melarang aborsi dengan alasan apapun, sedangkan UU Kesehatan memperbolehkan aborsi atas indikasi kedaruratan medis maupun karena adanya perkosaan. Akan tetapi ketentuan aborsi dalam UU No. 36 Tahun 2009 tetap ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, misalnya kondisi kehamilan maksimal 6 minggu setelah hari pertama haid terakhir. Selain itu berdasarkan Undang-undang Kesehatan No.36 Tahun 2009, tindakan medis (aborsi), sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli. Hal tersebut menunjukan bahwa aborsi yang dilakukan bersifat legal atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum. Namun keadaan ini bertentangan dengan Undang-undang Hak Asasi Manusia Pasal 53 mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai dilahirkan. Dalam hal ini dapat dilihat masih banyak perdebatan mengenai legal atau tidaknya aborsi dimata hukum dan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita lihat bahwa masih terdapat banyak pertentangan mengenai permasalahan aborsi ini, hal ini dapat dilihat dari adanya pihak-pihak yang mendukung dilakukanya legalisasi aborsi karena berkaitan dengan kebebasan wanita terhadap tubuhnya dan hak reproduksinya dan dilain pihak ada pandangan yang kontra terhadap aborsi kareana setiap janin dalam kandungan mempunyai hak untuk hidup dan tumbuh sebagi manusia nantinya. Selain itu dari uraian diatas terdapat suatu celah yang sebenarnya melegalkan aborsi hal ini dapat dilihat dari berlakunya hukum positif yang memuat dapat dilakukannya aborsi berdasarkan ketentuan, terutama yang termuat dalam Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Untuk itu penulis akan mengangkat permasalahan bagaimana tinjauan aborsi bila dikaitkan dengan Undang-undang kesehatan. Yang berjudul "Tinjauan Yuridis Tentang Aborsi ditinjau Dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut
1. Bagaimanakah tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak asasi manusia dan hak janin untuk hidup ?
2. Bagaimanakah tinjauan yuridis aborsi berdasarkan undang-undang kesehatan dan legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan ?
3. Bagaimanakah pendapat umum masyarakat tentang aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan dan legalisasi terhadap aborsi ?

C . Tujuan dan Manfaat penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana tinjaun tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak asasi manusia dan hak janin untuk hidup dan dilindungi.
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan tentang aborsi provokatus medicalis dan aborsi provokatus criminalis ditinjau dari undang-undang kesehatan dan bagaimana tinjauan tentang legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan dan pandangan agama.
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat terhadap aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan dan pandangan masyarakat tentang legalisasi aborsi.
Manfaat yang dapat diperoleh dan diketahui dari penulisan skiripsi ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Pembahasan terhadap masalah yang akan dibahas dalam skiripsi ini tentu akan menambah pemahaman dan pandangan masyarakat tentang aborsi dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.
2. Manfaat praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk :
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah, peradilan dan praktisi hukum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah bagaimana pandangan masyarakat tentang aborsi untuk memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang sedang dihadapi.
b. Sebagai informasi bagi masyarakat terhadap pelarangan tindakan aborsi kriminalis kecuali aborsi criminalis yang dilakukan oleh korban perkosaan.
c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu terutama di bidang hukum pidana.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skiripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan penulisan skiripsi ini. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca unutk memahami dan mengerti isi dari skiripsi ini. Keseluruhan skipsi ini meliputi 5 (lima) bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan latar belakang, permasalaahn, tujuan dan manfaat penulisan, tinjaun kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : ABORSI DITINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA DAN HAK JANIN UNTUK HIDUP
Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak asasi manusia terutama hak wanita atas tubuhnya dan hak reproduksi wanita dan juga bagaimana tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak janin untuk hidup.
BAB III : TINJAUAN YURIDIS ABORSI BERDASARKAN UNDANG UNDANG KESEHATAN No. 36 TAHUN 2009 DAN LEGALISASI ABORSI TERHADAP KORBAN PERKOSAAN
Dalam bab ini akan diuraikan bagaimana tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan undang-undang kesehatan dan legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan.
BAB IV : PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP KORBAN PERKOSAAN
Dalam bab ini akan diuraikan bagaimana pandangan masyarakat terhadap aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap legalisasi aborsi di Indonesia.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran setiap permasalahan.
SKRIPSI PROSPEK PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN X

SKRIPSI PROSPEK PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN X

(KODE : EKONPEMB-0006) : SKRIPSI PROSPEK PEMBANGUNAN SEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara pertanian yang artinya pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian Indonesia. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya penduduk atau tenaga kerja yang hidup atau bekerja dan bergantung pada sektor pertanian atau dari produk nasional yang berasal dari pertanian ini memberi arti bahwa di masa yang akan datang sektor ini masih perlu terus dikembangkan. Sektor ini telah menyumbang penerimaan devisa 26,45% dan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) sebesar 24,69% pada tahun 2005. Sektor pertanian juga merupakan faktor penting khususnya bagi sektor industri sebagai penyedia bahan baku.
Sekarang ini sektor pertanian tidak dipandang sebagai sektor yang pasif yang mengikuti sektor industri, tetapi sebaliknya. Pembangunan pertanian didorong dari segi penawaran dan dari segi fungsi produksi melalui penelitian-penelitian, pengembangan, teknologi pertanian yang terus-menerus, pembangunan prasarana sosial dan ekonomi di pedesaan dan investasi oleh negara dalam jumlah besar. Pertanian kini dianggap sektor pemimpin (leading sektor) yang diharapkan mendorong perkembangan sektor-sektor lainnya.
Keberhasilan suatu pembangunan pertanian diperlukan beberapa syarat atau pra-kondisi yang untuk tiap-tiap daerah berbeda-beda. Pra-kondisi itu meliputi bidang-bidang teknis, ekonomis, sosial budaya dan Iain-lain. Di Jepang pra kondisi itu, sebagian besar berasal dari sektor pertanian sendiri berupa dana-dana yang digunakan untuk mengembangkan sektor industri. A.T. Mosher dalam bukunya Getting Agr culture Moving (1965)-yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia-telah menganalisa syarat-syarat pembangunan pertanian di banyak negara dan menggolong-golongkannya menjadi syarat mutlak dan syarat pelancar. Menurut Mosher ada lima syarat yang mutlak harus ada dalam mendukung pembangunan pertanian. Apabila salah satu syarat tersebut tidak ada, maka terhentilah pembangunan pertanian; pertanian dapat berjalan terus tetapi statis. Syarat-syarat mutlak itu menurut Mosher adalah :
1. Adanya pasar untuk hasil-hasil usaha pertanian.
2. Teknologi yang senantiasa berkembang.
3. Tersedianya bahan-bahan dan alat-alat produksi secara lokal.
4. Adanya perangsang produksi bagi petani.
5. Tersedianya pengangkutan yang lancar dan berkelanjutan.
Disamping syarat-syarat mutlak itu Mosher juga menjelaskan syarat-syarat pelancar yang dapat mendorong pembangunan pertanian, yaitu :
1. Pembangunan pendidikan.
2. Kredit produksi.
3. Kegiatan gotong royong petani.
4. Perbaikan dan perluasan tanah pertanian.
5. Perencanaan nasional pembangunan pertanian.
Saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997, yang dampaknya terlihat pada tahun 1998 dimana secara langsung mempengaruhi struktur perekonomian Indonesia. Hampir semua sektor cenderung menurun kecuali sektor pertanian yang tumbuh sebesar 2,48 persen sehingga sektor pertanian menjadi salah satu tumpuan yang positif untuk perbaikan ekonomi.
Sumatera Utara sebagai salah satu propinsi di Indonesia dimana sektor pertanian merupakan penyumbang nilai tambah yang potensial bagi PDRB Sumatera Utara. Dan jika berbicara mengenai kesempatan kerja, maka sebagian besar penduduk Sumatera Utara bekerja pada sektor pertanian sebesar 66,88 %, pada sektor industri sebesar 4,77 %, pada sektor perdagangan sebesar 8,57 % dan sektor Iain-lain sebesar 7,93 %. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor utama dalam perekonomian Sumatera Utara.
Melihat pentingnya sektor pertanian dalam pertumbuhan ekonomi, tiap-tiap daerah meningkatkan pembangunan di sektor ini seperti di daerah Kabupaten X. Sektor ini merupakan penyumbang terbesar terhadap PDRB Kabupaten X hingga saat ini. Peranan sektor ini terhadap PDRB X dalam harga berlaku tercatat sebesar 67,57% pada tahun 2000 dan 59,58% pada tahun 2006, sedangkan dalam harga konstan tahun 2000 ialah 65,40% dan 59,53% pada tahun 2006. Hal tersebut dapat dipahami karena Kabupaten X adalah daerah pertanian dataran tinggi. Adapun jenis tanaman yang dibudidayakan di Kabupaten X ialah jenis tanaman umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman padi.
Dari jenis tanaman umbi-umbian, tanaman jagung adalah tanaman yang paling dominan dimana pada tahun 2006 produksi jagung sebesar 171.016 ton dengan luas panen sebesar 50.182 Ha. Hal ini menjadikan Kabupaten X sebagai penghasil jagung terbesar kedua setelah Kabupaten Simalungun yaitu 204.196 ton dengan luas panen 59.604 Ha. Jenis tanaman ini adalah jenis tanaman terluas dalam tanaman
umbi-umbian di X. Kabupaten X juga cukup terkenal sebagai penghasil sayur-sayuran di Provinsi Sumatera Utara bahkan termasuk dalam komoditi ekspor sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang. Jenis sayur-sayuran yang dihasilkan dari Kabupaten X ialah bawang, kentang, sawi, kubis, wortel, tomat, dan buncis . Jenis tanaman lainnya yang juga cukup banyak dihasilkan petani di Kabupaten X adalah tanaman buah-buahan seperti jeruk, alpukat, mangga, sawo, durian, pepaya, dan nenas.
Sebagai gambaran dari keberhasilan pembangunan pertanian yakni, volume dan nilai ekspor hasil pertanian terus meningkat. Berdasarkan keunggulan kompetitif dalam perdagangan internasional, produk hasil pertanian merupakan andalan negara Indonesia dan bahkan Sumatera Utara mengingat corak kehidupannya masih bersifat agrikultur. Hal ini menjadi keunggulan bagi Kabupaten X yang memiliki potensi khususnya komoditi tanaman muda atau sayur-sayuran. Nilai FOB ekspor hasil pertanian Sumatera Utara mengalami pertumbuhan 14,38% pada tahun 2003, 49,88% tahun 2004, dan tahun 2005 sebesar 18,73%. Realisasi ekspor Kabuapen X pada umumnya meningkat setiap tahunnya, namun ada beberapa komoditi yang tidak lagi diekspor yang dulunya masih termasuk komoditi yang memiliki prospek. Hal ini menjadi tugas berat bagi pemerintah untuk membenahi kembali yang pernah dicapai. Ketika diambil kebijaksanaan untuk mengekspor hasil pertanian bukan berarti mengabaikan permintaan dalam negeri namun dilakukan peningkatan jumlah produksi dan yang terpenting adalah daya saing produk agar dapat menghadapi era glogalisasi dan liberalisme perdagangan. Kualitas produk tentu harus tetap dijaga dan ditingkatkan.
Seperti yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, Kabupaten X termasuk dalam Kawasan Agribisnis Holtikultura Sumatera (KAHS). Secara regional dalam Kawasan Agribisnis Holtikultura Sumatera (KAHS) masih sulit diciptakan keseimbangan keseimbangan antara produksi atau penawaran yang dihasilkan di sentra-sentra produksi dengan permintaaan di pusat-pusat konsumsi sehingga harga produk holtikultura cenderung sangat fluktuatif. Salah satu kebijakan yang dianggap relevan dalam merespon berbagai perubahan tersebut adalah pengembangan agribisnis dengan pendekatan kawasan.
Pemerintah juga mempunyai peranan dalam upaya pembangunan pertanian baik dalam kebijaksanaan pertanian, perencanaan pertanian dan pembangunan pertanian. Beberapa program pemerintah dalam membantu peningkatan produksi petani yang telah berjalan seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), Kredit Usaha Rakyat (KUR), Koperasi, khususnya dalam Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) yang dicanangkan pemerintah dalam membantu para petani agar dapat lebih mandiri telah berjalan dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah memberi dampak yang besar terhadap kesejahteraan para petani dan menjadikan posisi tawar petani lebih baik. Sekarang ini sejauh mana program-program pemerintah tersebut dapat teroptimalisasi khususnya dalam menghadapi ksisis global yang terjadi pada saat ini. Hal ini tidak lepas dari peran para petani sendiri yang tergabung dalam organisasi-organisasi tersebut.
Pembiayaan sektor pertanian dan pengairan selalu menempati "tiga besar" dalam alokasi anggaran pembangunan selama PJP-I dan PJP-II. Anggaran pembangunan ditujukan untuk membiayai program dan proyek pembangunan sektor pertanian.
Adanya program proyek pembangunan sektor pertanian memperluas kesempatan kerja non petani seperti pembangunan jalan, bangunan-bangunan irigasi serta penyuluhan-penyuluhan dan organisasi-organisasi petani yang memperkenalkan penemuan baru. Maka pengeluaran pemerintah tersebut merupakan investasi yang betujuan untuk kekuatan dan ketahanan ekonomi di sektor pertanian pada masa yang akan datang.
Dalam pembangunan pertanian, berbagai usaha pengembangan produktivitas dilakukan, dimana usaha pokok mutlak dilakukan dengan intensifikasi pertanian melalui pengadaan sarana produksi yang optimal. Sarana produksi ini mencakup bibit/benih, pupuk dan pestisida. Semua sarana produksi ini memiliki peranan penting dan sangat mempengaruhi dalam proses produksi. Pemerintah harus mampu membantu petani dalam menyediakan dan menyalurkan sarana tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul "Prospek Pembangunan Sektor Pertanian di Kabupaten X".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah prospek pembangunan sektor pertanian Kabupaten X dalam
mencapai pembangunan ekonomi Kabupaten X.
2. Apakah ada pengaruh pembangunan sektor pertanian Kabupaten X
terhadap perekonomian masyarakat Kabupaten X.
3. Bagaimana pengaruh kebijakan sektor pertanian terhadap posisi tawar petani di Kabupaten X.

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui seberapa besar prospek pembangunan sektor pertanian Kabupaten X dalam mencapai pembangunan ekonomi Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh pembangunan sektor pertanian Kabupaten X terhadap tingkat kesejahteraan masyarakakat Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui pengaruh kebijakan pemerintah terhadap posisi tawar petani di Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
2. Sebagai tambahan wawasan ilmiah dan ilmu pengetahuan penulis dalam disiplin ilmu yang penulis tekuni.
3. Sebagai masukan atau bahan kajian bagi kalangan akademis dan peneliti yang tertarik membahas topik yang sama.
SKRIPSI DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH KABUPATEN X TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

SKRIPSI DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH KABUPATEN X TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

(KODE : EKONPEMB-0005) : SKRIPSI DAMPAK PEMEKARAN WILAYAH KABUPATEN X TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sejarah perekonomian mencatat desentralisasi telah muncul ke permukaan sebagai paradigma bam dalam kebijakan dan administrasi pembangunan sejak dasawarsa 1970-an. Ide desentralisasi ini tidak hanya didorong untuk mengurangi kekuasaan sentralitas pusat, namun juga oleh adanya tuntutan dari daerah-daerah yang mempunyai variasi sifat, potensi, identitas, dan kelokalan yang berbeda-beda untuk memperoleh kewenangan yang lebih besar. Makna desentralisasi kekuasaan ini tidak hanya berkisar pada adanya kewenangan untuk melakukan pemerintahannya sendiri namun telah bergeser kepada dorongan untuk memperoleh perlakuan yang lebih adil dan baik dari Pemerintahan Pusat. Kenyataannya, di masa Orde Baru, pemerintah menerapkan sistem sentralisasi pemerintahan. Sehingga surplus produksi daerah yang kaya dan sumber alam ditarik dan dibagi-bagi untuk kepentingan pusat bukan diinvestasikan untuk pembangunan daerah tersebut. Daerah pusat menikmati kekayaan daerah sementara daerah sangat lamban berkembang. Akibatnya, terjadi ketimpangan pembangunan antara daerah dan pusat.
Setelah tahun 1998 dan keluarnya Undang-undang Otonomi daerah, beberapa daerah ingin memisahkan diri dari pemerintahan Republik Indonesia seperti Aceh, Papua, Riau, dan Timor Timur. Selain itu muncul banyak aspirasi dan tuntutan daerah yang ingin membentuk provinsi atau kabupaten baru. Dalam upaya pembentukan provinsi dan kabupaten baru, terjadi tarik-menarik antara kelompok yang pro dan yang kontra. Akibatnya, rencana pemekaran wilayah, berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah, meningkatkan suhu politik lokal seperti yang terjadi di beberapa daerah. Suhu politik lokal yang memanas di berbagai tempat tercermin pada mencuatnya saling ancam diantara kelompok-kelompok itu, baik pihak yang pro dan yang kontra terhadap pembentukan provinsi dan kabupaten baru, pemblokiran tempat-tempat strategis, mobilisasi massa atau penggalangan sentimen-sentimen kesukuan sampai ancaman pembunuhan (Pradjarta, 2004).
Gagasan otonomi daerah memiliki kaitan sangat erat dengan demokratisasi kehidupan politik dan pemerintahan di tingkat lokal. Pada dasarnya, agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang luas dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sebagai suatu sistem negara kesatuan. Wilayah negara yang terbagi ke provinsi, dan provinsi terbagi dalam kabupaten/kota, yang kemudian dibagi wilayah kecamatan adalah satu totalitas.
Selanjutnya, pemekaran wilayah pun direalisasikan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah oleh Presiden Republik Indonesia. Sejak saat itu pula keinginan masyarakat di daerah untuk melakukan pemekaran meningkat tajam. Dimana sejak tahun 1999 hingga Desember 2009 telah terbentuk sebanyak 215 daerah otonom baru yang terdiri dari 7 provinsi, 173 kabupaten dan 35 kota. Dengan demikian, total daerah otonom di Indonesia adalah 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota. Data pemekaran tersebut diklasifikasikan pada 3 (tiga) fase yaitu :
- Fase berlakunya Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, dimekarkan 11 (sebelas) kabupaten/kota (masa 1974-1998).
- Fase berlakunya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 (1999-2003), telah dibentuk 149 (seratus empat puluh sembilan) daerah otonom baru, terdiri dari 7 (tujuh) provinsi baru, dan 142 kabupaten/kota baru.
- Fase berlakunya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, telah dibentuk 53 (lima puluh tiga) kabupaten/kota baru (hingga akhir desember 2009)
(sumber : org/wiki/pem.daerah di Indonesia).
Upaya pemekaran wilayah dipandang sebagai sebuah terobosan untuk mempercepat pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kemudahan memperoleh pelayanan publik bagi masyarakat. Pemekaran wilayah juga merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperpendek rentang kendali pemerintah sehingga meningkatkan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pengelolaan pembangunan.
Bangsa Indonesia melakukan reformasi tata pemerintahan semenjak diberlakukannya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Sejak saat itu berbagai pemikiran inovatif dan uji coba terus dilakukan sebagai upaya untuk menyempurnakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam rangka peningkatan pelayanan publik dan penanggulangan kemiskinan secara efektif. Pemekaran wilayah merupakan implikasi berlakunya paket Undang-undang otonomi tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.
Salah satu implikasi dari perubahan paradigma penyelenggaraan pembangunan tersebut, daerah yang merasa diperlakukan kurang "adil" yang tercermin dari distribusi pendapatan dan tingkat pengembalian kekayaan yang dimiliki ke wilayah daerahnya, berusaha untuk mengembangkan daerah baru dan memisahkan diri dari induknya. Sudah barang tentu, implikasi dari terjadinya pemekaran daerah tersebut dirasakan dalam semua dimensi kehidupan penyelenggaraan pembangunan, karena potensi yang dimiliki oleh kedua daerah hasil pemekaran tersebut tidak homogen. Adakalanya, pemekaran wilayah menyebabkan kegiatan pembangunan didaerah lama menurun drastis kegiatan ekonominya, karena sebagian besar potensi daerah kebetulan berada pada daerah pemekaran baru (www.geocities.com).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, ada tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam rencana dan usulan pemekaran wilayah yakni syarat administratif, teknis dan kewilayahan. Secara administratif antara lain adalah persetujuan dari DPRD, Bupati/Walikota dan Gubernur serta Rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Sementara syarat teknis antara lain ialah kemampuan ekonomi, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, dan keamanan. Sedangkan persyaratan kewilayahan antara lain ialah minimal 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kabupaten/kota, dan minimal 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, serta didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan.
Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jika kesejahteraan masyarakat merupakan sasaran utama pembangunan daerah maka tekanan utama pembangunan akan lebih banyak diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bentuk pengembangan pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat, dan peningkatan penerapan teknologi tepat guna. Disamping itu, perhatian juga lebih diarahkan untuk meningkatkan kegiatan produksi masyarakat setempat dalam bentuk pengembangan kegiatan pertanian yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, serta kegiatan ekonomi kerakyatan lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut berbagai strategi dan kebijakan dilaksanakan (www.geocities.com).
Dengan bergulirnya reformasi politik sebagai dampak dari krisis moneter yang muncul pada pertengahan tahun 1997, tuntutan terhadap pemekaran di lingkungan propinsi Sumatera Utara juga demikian marak sebagaimana propinsi-propinsi lain di Indonesia. Tuntutan-tuntutan pemekaran yang dilakukan masyarakat ternyata membuahkan pemekaran yang relatif pesat. Sampai dengan tahun 2009, proses pemekaran wilayah kabupaten di Sumatera utara telah membuahkan peningkatan jumlah kabupaten dan kota menjadi 33 buah yang terdiri dari 26 kabupaten dan 7 kota. Salah satu daerah yang menuntut pelaksanaan pemekaran wilayah adalah kabupaten Samosir yang dimekarkan dari kabupaten Toba Samosir bersamaan dengan kabupaten X yang dimekarkan dari kabupaten Deli Serdang. Selanjutnya, Kabupaten X, diatur sesuai dengan Undang-undang RI nomor 36 tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri. Proses lahirnya undang-undang tentang pembentukan X sebagai kabupaten pemekaran merujuk pada usulan yang disampaikan melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 18/K/2002 tanggal 21 Agustus 2002 tentang Persetujuan Pemekaran Kabupaten Deli Serdang. Kemudian Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 26/K/DPRD/2003 tanggal 10 Maret 2003 tentang Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Deli Serdang Atas Usul Rencana Pemekaran Kabupaten Deli Serdang menjadi dua kabupaten Kabupaten Deli Serdang (Induk), dan Kabupaten X. Kabupaten yang luasnya mencapai 1.900,22 kilometer persegi ini, terdiri atas 243 desa/kelurahan yang berada dalam 17 kecamatan. Dengan pemekaran ini, pemerintah kabupaten X harus menyesuaikan diri dan berlatih untuk mandiri dalam mengatur dan mengelola daerahnya sendiri dan untuk memajukan kesejahteraan masyarakatnya (www.bappeda.sumutprov.go.id).
Kesejahteraan masyarakat pada dasarnya adalah buah dari pelayanan publik yang dilakukan pemerintah. Dengan pelayanan publik yang baik maka kesejahteraan masyarakat juga berpeluang besar untuk membaik. Kesejahteraan masyarakat sendiri dapat dilihat dari berbagai indikator. Salah satu indikator yang dapat dipakai adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang dikembangkan sejak tahun 1990 oleh UNDP yang meliputi :
1. Tingkat harapan hidup
2. Tingkat melek huruf masyarakat, dan
3. Tingkat pendapatan riil perkapita masyarakat berdasarkan daya beli masing-masing negara (www.mpra.ub.uni-muenchen.de).
Pada tahun 2007, IPM kabupaten X berkisar antara 71,9 , tahun 2008 berkisar 72,59 dan pada tahun 2009 menjadi 72,9. Dengan demikian dapat dilihat bahwa IPM kabupaten X mengalami peningkatan sebesar 0,69 dan 0,31 sejak terpisah dari kabupaten induk. Meningkatnya IPM tersebut akibat dari meningkatnya seluruh komponen pembentuk IPM seperti tingkat harapan hidup, melek huruf, rata-rata lama sekolah dan pendapatan riil perkapita. Kondisi masing-masing indikator IPM kabupaten X pada tahun 2009 adalah harapan hidup 68,89 tahun, melek huruf 97,44%, rata-rata lama sekolah 8,63 tahun, dan daya beli 626,30 ribu (BPS Kabupaten X).
Pelaksanaan pemekaran wilayah telah berjalan beberapa tahun dan diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup rakyat sehingga tercapai kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Lantas apakah pemekaran wilayah ini membawa perbaikan kesejahteraan rakyat khususnya di wilayah kabupaten X ? Untuk itu penulis tertarik untuk mengambil judul "Dampak Pemekaran Wilayah Kabupaten X Terhadap Kesejahteraan Masyarakat".

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan dalam latar belakang diatas, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil sebagai kajian dalam penelitian yang akan dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah penulisan skripsi ini. Selain itu, rumusan masalah ini diperlukan sebagai cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan skripsi. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah "Apakah terdapat perbedaan pada kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah adanya pemekaran wilayah khususnya di Kabupaten X ? "

1.3 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian yang kebenarannya harus diuji secara empiris. Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut "Terdapat perbedaan yang nyata pada kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah adanya pemekaran wilayah di Kabupaten X."

1.4 Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya perbedaan nyata pada kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah pemekaran wilayah. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan atau kajian untuk melakukan penelitian selanjutnya dan sebagai bahan perbandingan bagi pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang.
2. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahsiswa/i Fakultas Ekonomi Universitas X, khususnya mahasiswa/i Departemen Ekonomi Pembangunan.
3. Sebagai tambahan wawasan dan ilmu pengetahuan penulis, serta sebagai salah satu syarat bagi penulis dalam menyelesaikan perkuliahan.
SKRIPSI ANALISIS PENGARUH TENAGA KERJA DAN KREDIT USAHA TERHADAP PDRB SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR KOTA X

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH TENAGA KERJA DAN KREDIT USAHA TERHADAP PDRB SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR KOTA X

(KODE : EKONPEMB-0004) : SKRIPSI ANALISIS PENGARUH TENAGA KERJA DAN KREDIT USAHA TERHADAP PDRB SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR KOTA X



BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sektor industri merupakan komponen utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor ini tidak saja berpotensi mampu memberikan kontribusi ekonomi yang besar melalui nilai tambah, lapangan kerja dan devisa, tetapi juga mampu memberikan kontribusi yang besar dalam transformasi struktural bangsa ke arah modernisasi kehidupan masyarakat yang menunjang pembentukan daya saing nasional. Selama dua dasawarsa sebelum krisis ekonomi, peran sektor industri terhadap perekonomian nasional hampir mencapai 25%.
Sejak pertengahan tahun 1980-an peranan sektor industri manufaktur mulai meningkat, menyamai peranan sektor migas dan pertanian. Perkembangan yang menakjubkan tidak hanya terjadi di dalam negeri, tetapi juga dalam perdagangan internasional. Pada tahun 1996, nilai ekspor non migas mencapai 76,44% dari seluruh nilai ekspor Indonesia. Sekitar 61,14% diantaranya berasal dari ekspor barang industri. Kemajuan ekonomi yang diraih Indonesia pada saat itu, menyebabkan Bank Dunia memasukkan Indonesia sebagai salah satu Negara Ajaib di Asia Timur (The East Asian Miracle).
Sumbangan sektor industri terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional di tahun 1996 adalah sebesar 22,1%, sedangkan pada tahun 2004 sebesar 24,6% dan pada tahun 2003 sebesar 25,0%. Cabang industri yang memberikan sumbangan terbesar terhadap PDB pada tahun 2004 adalah industri makanan, minuman dan tembakau, meskipun tahun 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelum 2003, yaitu sebesar 6,9%. Kontribusi terbesar lainnya adalah industri alat angkut, mesin dan peralatan sebesar 5,5%, produk industri pupuk, kimia serta barang dari karet sebesar 4,2%.
Profil sektor industri Indonesia secara garis besar berdasarkan Sensus Ekonomi 2006 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Industri Kecil dan Rumah Tangga (IKRT) memiliki peranan yang cukup besar dalam industri manufaktur dilihat dari sisi jumlah unit usaha dan daya serap tenaga kerja, namun lemah dalam menyumbang nilai output. Pada tahun 2006, dari total unit usaha manufaktur di Indonesia sebanyak 3,2 juta, ternyata 99,3% merupakan unit usaha IKRT. IKRT, dengan jumlah tenaga kerja kurang dari 20 orang, mampu menyediakan kesempatan kerja sebesar 60,3% dari total kesempatan kerja. Kendati demikian, sumbangan nilai output IKRT terhadap industri manufaktur hanya sebesar 10,3%. Pola ini sedikit meningkat dari tahun ke tahunnya (2002-2006). Banyaknya jumlah orang yang bekerja pada IKRT memperlihatkan betapa pentingnya peranan IKRT dalam membantu memecahkan masalah pengangguran dan pemerataan distribusi pendapatan.
Di sisi lain, Industri Besar dan Menengah (IBM) memberikan kontribusi yang dominan dari sisi nilai output. Pada tahun 2002, IBM menyumbang 91,6% dari keseluruhan nilai output, menyerap sekitar 39,9% dari total kesempatan kerja, namun dari sisi unit usaha hanya menyumbang 0,8% dari total unit usaha yang ada. Pada tahun 2006, IBM menyumbang 89,7% dari keseluruhan nilai output, menyediakan lapangan pekerjaan sekitar 39,7% dari total kesempatan kerja, namun hanya menyumbang 0,7% dari total unit usaha yang ada. Sumber daya manusia (tenaga kerja) tentu sangat diperlukan dalam beroperasinya industri dan akan lebih efektif dengan spesialisasi kerja. Alokasi tenaga kerja yang efektif adalah permulaan pertumbuhan ekonomi, dengan kata lain alokasi tenaga kerja yang efektif merupakan syarat perlu (necessary condition) bagi pertumbuhan ekonomi (Adam Smith dalam Subri, 2003). Seperti diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi tahun tertentu dapat diperoleh dari pengurangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun tertentu dengan PDRB tahun sebelumnya kemudian dibagi PDRB tahun sebelumnya, dengan demikian pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan PDRB.
Dalam memajukan sektor industri perlu diberikan kredit bagi pengusaha. Kredit usaha industri merupakan fasilitas pinjaman yang diberikan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang untuk membiayai penyediaan capital goods seperti pendirian pabrik, pembelian mesin, perluasan usaha, atau keperluan rehabilitasi dan untuk membiayai operasional (Simorangkir, 2004). Untuk mengoptimalkan pemberian kredit usaha industri oleh bank-bank umum, Bank Indonesia bersama dengan perbankan selama ini telah menempuh tiga strategi dasar sebagai berikut : Pertama, penerapan batas minimum pemberian kredit sebesar 20% dari keseluruhan kredit bagi semua bank. Kedua, mengembangkan kelembagaan dengan memperluas jaringan perbankan, mendorong kerja sama antar bank dalam penyaluran kredit usaha dan mengembangkan lembaga-lembaga keuangan yang sesuai dengan kebutuhan penduduk berpenghasilan rendah, seperti pendirian Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Ketiga, pemberian bantuan teknis melalui Proyek Pengembangan Usaha Kecil dan Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (Kuncoro, 2008).
Kota X merupakan wilayah perkotaan sehingga tidak sesuai dikembangkan untuk kegiatan pertanian. Wilayah perkotaan cenderung sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan, dan jasa. Salah satu alasan berkembangnya sektor industri di Kota X adalah karena secara geografis terletak di tengah-tengah Kabupaten Simalungun, dimana kabupaten ini unggul pada beberapa jenis komoditas pertanian sehingga dapat berfungsi sebagai penyedia input (hinterland) bagi industri Kota X. Pada periode 1983-1995 PDRB sektor industri Kota X terus meningkat, namun di tahun 1996 mengalami penurunan sebesar 4,43%. Pada tahun 1999 meningkat kembali sebesar 2,80% yang menunjukkan mulai bangkitnya sektor industri paska krisis ekonomi.
Hasil industri andalan Kota X adalah rokok putih filter dan nonfilter serta tepung tapioka. Pada tahun 2000, dengan tenaga kerja sebanyak 2.700 orang, NV Sumatra Tobacco Trading Company (STTC), produsen rokok yang berdiri sejak 1952, menghasilkan 11,06 milyar batang rokok putih filter dan 75 juta batang rokok putih nonfilter. Dari seluruh hasil produksi rokok filter tersebut, 88,14% dijual ke luar negeri terutama ke Malaysia, negara-negara Timur Tengah dan Asia Timur, dengan nilai ekspor mencapai Rp 345 juta. Sisanya sebesar 11,86% rokok putih filter dan seluruh hasil produksi rokok putih nonfilter dijual di dalam negeri dengan nilai penjualan mencapai Rp 83 milyar. Sementara itu, Taiwan menjadi negara tujuan penjualan tepung tapioka yang diproduksi kota ini. Tahun 2000, volume ekspor tepung tapioka mencapai 3,8 ton dan tepung Modified Starch mencapai 2,7 ton. Keseluruhan nilai penjualan ekspor kedua jenis komoditas ini mencapai Rp 12,9 milyar. Industri lain yang juga memberi kontribusi terhadap perekonomian kota X diantaranya adalah industri makanan, tekstil, perabot, percetakan, dan, kimia.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Analisis Pengaruh Tenaga Kerja dan Kredit Usaha Terhadap PDRB Sektor Industri Manufaktur Kota X".

1.2 Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh tenaga kerja sektor industri manufaktur terhadap PDRB sektor industri Kota X ?
2. Bagaimana pengaruh kredit usaha industri manufaktur tahun sebelumnya terhadap PDRB sektor industri Kota X ?

1.3 Hipotesis
1. Tenaga kerja sektor industri manufaktur mempunyai pengaruh yang positif terhadap PDRB sektor industri Kota X.
2. Kredit usaha industri manufaktur tahun sebelumnya mempunyai pengaruh yang positif terhadap PDRB sektor industri Kota X.

1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh tenaga kerja sektor industri manufaktur terhadap PDRB sektor industri Kota X.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh kredit usaha industri manufaktur tahun sebelumnya terhadap PDRB sektor industri Kota X.

1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai tambahan wawasan ilmiah dan ilmu pengetahuan yang dalam disiplin ilmu yang penulis tekuni.
2. Menambah dan melengkapi hasil-hasil penelitian yang telah ada, khususnya mengenai sektor industri.
3. Sebagai tambahan referensi dan informasi bagi peneliti lain yang mengambil topik yang sama di masa mendatang.
SKRIPSI ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS DI KABUPATEN X

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS DI KABUPATEN X

(KODE : EKONPEMB-0003) : SKRIPSI ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN USAHA AGRIBISNIS DI KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Sejarah menunjukkan bahwa sektor pertanian di Indonesia telah memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Beberapa peran penting sektor pertanian antara lain adalah sebagai sumber devisa Negara, sebagai penyediaan lapangan kerja yang ekstensif, penyediaan bahan baku industri, dan dalam penyediaan pangan penduduk Indonesia yang jumlahnya 212 juta jiwa (BPS, 2002). Perubahan lingkungan strategis seperti globalisasi ekonomi, otonomi daerah, dan tuntutan masyarakat dunia akan produk hortikultura yang aman dikonsumsi serta kelestarian lingkungan menuntut adanya perubahan kebijakan pengembangan agribisnis yang berdaya saing.
Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan semakin terintegrasinya berbagai aspek perekonomian suatu negara dengan perekonomian dunia. Dalam konteks pasar komoditas globalisasi mendorong terintegrasinya pasar komoditas baik antar wilayah maupun antar negara serta meningkatnya persaingan antar pelaku usaha agribisnis. Sementara itu, kebijakan desentralisasi tersebut diperkirakan akan mendorong setiap daerah, baik provinsi maupun kabupaten, untuk memproduksi berbagai komoditas pertanian dalam kerangka swasembada ditingkat daerah, atau paling tidak mengurangi ketergantungan terhadap daerah lain. Kebijakan semacam ini bisa menjadi tidak menguntungkan baik ditinjau dari penggunaan sumber daya domestik maupun perdagangan antar wilayah.
Ditinjau dari aspek permintaan, prospek permintaan domestik terus meningkat baik dalam bentuk konsumsi segar maupun olahan, sebagai akibat dari peningkatan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat, serta berkembangnya pusat kota, industri dan pariwisata. Sementara itu, Globalisasi ekonomi telah mendorong kondisi perekonomian menjadi semakin komplek dan kompetitif sehingga menuntut tingkat efisiensi usaha yang tinggi, yang mengharuskan orientasi pembangunan pertanian dirubah dari orientasi produksi kearah orientasi peningkatan pendapatan petani. Guna mendukung perubahan orientasi pembangunan pertanian ini pendekatan pembangunan pertanian tidak lagi melalui pendekatan usaha tani melainkan melalui pengembangan agribisnis (Yasin dkk, 2002).
Pengertian agribisnis dalam arti sempit adalah perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Sedangkan menurut Rahim dkk (2007), Pengertian agribisnis mengacu kepada semua aktivitas mulai dari pengadaan, prosesing, penyaluran sampai pada pemasaran produk yang dihasilkan oleh suatu usaha tani atau agroindustri yang saling terkait satu sama lain. Dengan demikian agribisnis dapat dipandang sebagai suatu sistim pertanian yang memiliki beberapa komponen sub sistim yaitu, sub sistim usaha tani/yang memproduksi bahan baku; sub sistim pengolahan hasil pertanian, dan sub sistim pemasaran hasil pertanian.
Bagi Indonesia pengembangan usaha agribisnis cukup prospektif karena memiliki kondisi yang menguntungkan antara lain; berada di daerah tropis yang subur, keadaan sarana prasarana cukup mendukung serta adanya kemauan politik pemerintah untuk menampilkan sektor agribisnis sebagai prioritas dalam pembangunan. Tujuan pembangunan agribisnis adalah untuk meningkatkan daya saing komoditi pertanian, menumbuhkan usaha kecil menengah dan koperasi serta mengembangkan kemitraan usaha. Dengan visi mewujudkan kemampuan berkompetisi merespon dinamika perubahan pasar dan pesaing, serta mampu ikut meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Indonesia dikenal sebagai Negara yang kaya akan keragaman sumber daya alamnya, termasuk hasil buah-buahan, sayuran dan bunga (Hortikultura) serta produk pertanian tropis lainnya, namun kenyataannya sejauh ini pemasok devisa utama masih berasal dari perkebunan dan perikanan. Bertambah cepatnya pertumbuhan sub sektor perikanan, perkebunan dan peternakan disebabkan karena perilaku petani maupun pengusaha lebih berfikir maju, yang ditandai oleh; cepatnya mengadopsi inovasi baru, berani menanggung resiko dan mau mencoba hal-hal baru (Soekartawi, 1994).
Provinsi Y merupakan salah satu basis sektor pertanian di Indonesia. Sektor pertanian di Y tersohor karena luas pertaniannya, hingga kini, pertanian tetap menjadi primadona perekonomian provinsi. Komoditas tersebut telah diekspor ke berbagai negara dan memberikan sumbangan devisa yang sangat besar bagi Indonesia. Selain komoditas pertanian, perkebunan, juga dikenal sebagai penghasil komoditas holtikultura (sayur- mayur dan buah-buahan);
Kabupaten X adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Y, di dataran tinggi X ini bisa ditemukan indahnya nuansa alam pegunungan dengan udara yang sejuk dan berciri khas daerah buah dan sayur yang berkontribusi terbesar terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten X. Hal ini didukung oleh tidak sedikitnya kekayaan alam yang tersedia sehingga menarik peluang pasar untuk menanamkan modal. Hal ini kemudian berimbas dengan mulai menjamurnya perusahaan atau industri. Hingga tahun 2003 tercatat sebanyak 3.225 perusahaan yang mempekerjakan sebanyak 6.518 tenaga kerja dengan total investasi sebesar Rp 15.271.000.000.
Pembangunan pertanian merupakan pembangunan strategis di Kabupaten X. Hal ini dapat diamati dari jumlah penduduk yang bermata pencarian di sektor pertanian 245.958 jiwa atau 70% dari 351.368 jiwa jumlah penduduk Kabupaten X pada tahun 2007 yang tersebar di 17 kecamatan, yang secara relatif berkontribusi terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten X sebesar 60,55% atau sebesar Rp 2.230.136.590.000 pada tahun 2005, Sedangkan pada tahun 2007 persenannya mengalami penurunan yaitu 59,80%, tetapi nilai kontribusinya terhadap PDRB Kabupaten X meningkat menjadi Rp 2.681.189.580.000. Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan sektor- sektor lainnya, seperti sektor pertambangan/penggalian sebesar 0,29% pada tahun 2005 menjadi 0,32% pada tahun 2009 dan juga terjadinya perubahan atau pemakaian lahan pertanian sebagai tempat bangunan- bangunan industri, perumahan, hotel dan lain sebagainya. Peningkatan kontribusi sektor pertanian yang terdiri atas sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) X menunjukkan bahwa sektor ini memegang peranan penting dalam tatanan perekonomian Kabupaten X.
Hal ini juga ditunjukkan oleh peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten X dari sektor pertanian antara 2005 dan 2007 sebesar 20,23%, dimana peningkatan dan pertumbuhan sektor pertanian relatif lebih tinggi dibanding dengan sektor lain. Artinya pada kondisi ekonomi yang cukup buruk tersebut sektor pertanian mampu bertahan dan bahkan menjadi penyelamat perekonomian Kabupaten X.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul "Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Usaha Agribisnis di Kabupaten X".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang, maka perumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Berapa besar pengaruh luas lahan sektor pertanian terhadap pengembangan usaha agribisnis di Kabupaten X.
2. Berapa besar pengaruh jumlah tenaga kerja dalam sektor pertanian terhadap pengembangan usaha agribisnis di Kabupaten X.
3. Berapa besar pengaruh investasi sektor pertanian terhadap pengembangan usaha agribisnis di Kabupaten X.

1.3. Hipotesa
Hipotesa penelitian adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris. Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesanya adalah sebagai berikut :
1. Luas lahan sektor pertanian berpengaruh positif terhadap pengembangan usaha agribisnis di Kabupaten X.
2. Jumlah tenaga kerja dalam sektor pertanian berpengaruh positif terhadap pengembangan usaha agribisnis di Kabupaten X.
3. Investasi sektor pertanian berpengaruh positif terhadap pengembangan usaha agribisnis di Kabupaten X.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh luas lahan sektor pertanian terhadap pengembangan usaha agribisnis di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh jumlah tenaga kerja dalam sektor pertanian terhadap pengembangan usaha agribisnis di Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh investasi sektor pertanian terhadap pengembangan usaha agribisnis di Kabupaten X.
2. Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi kalangan akademis, peneliti dan mahasiswa fakultas ekonomi terutama Ekonomi Pembangunan yang akan melakukan penelitian selanjutnya.
2. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis yang penulis tekuni.
3. Sebagai tambahan, pelengkap sekaligus pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada.
SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR EKONOMI MAKRO YANG MEMPENGARUHI INVESTASI SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR EKONOMI MAKRO YANG MEMPENGARUHI INVESTASI SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA

(KODE : EKONPEMB-0002) : SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR EKONOMI MAKRO YANG MEMPENGARUHI INVESTASI SEKTOR TRANSPORTASI DI INDONESIA




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Pengangkutan atau transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam mendukung segala aspek kehidupan dan penghidupan, baik dibidang ekonomi, sosial-budaya, politik, maupun pertahanan dan keamanan negara. Sistem pengangkutan harus ditata dan terus menerus disempurnakan untuk menjamin mobilitas orang maupun barang dalam rangka menjamin kesejahteraan masyarakat. Pengangkutan menyandang peranan sebagai penunjang dan pemacu bila angkutan dipandang dari sisi melayani dan meningkatkan pembangunan. Selain itu, transportasi terkait pula dengan produktivitas. Kemajuan transportasi akan membawa peningkatan mobilitas manusia, mobilitas faktor-faktor produksi, dan mobilitas hasil olahan yang dipasarkan. Makin tinggi mobilitas berarti lebih cepat dalam gerakan dan peralatan yang terefleksi dalam kelancaran distribusi serta lebih singkat waktu yang diperlukan untuk mengolah bahan dan memindahkannya dari tempat dimana barang tersebut kurang bermafaat ke lokasi dimana manfaatnya lebih besar. Makin tinggi mobilitas dengan demikian berarti lebih produktif (Nasution, 2003).
Dalam perkembangannya, sektor transportasi di Indonesia mengalami perkembangan yang semakin pesat yang dapat dilihat dari banyaknya kendaraan bermotor yang ada. Pada tahun 1985, jumlah kendaraan bermotor rakitan dalam negeri sebesar 400.278 unit dan pada tahun 2000 berkembang menjadi 1.275.102 unit. Untuk panjang jalan juga mengalami kenaikan. Hal ini dibarengi oleh jumlah investasi yang diperuntukkan untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana transportasi tersebut. Investasi merupakan kegiatan untuk mentransformasikan sumber daya potensial menjadi kekuatan ekonomi riil. Sumber daya alam yang ada di masing-masing daerah diolah dan dimamfaatkan untuk meningkatkan kemakmuran seluruh rakyat secara adil dan merata. Namun dalam memanfaatkan sumberdaya alam perlu memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan. Peranan investasi di indonesia cedung meningkat sejalan dengan banyaknya dana yang di butuhkan untuk melanjutkan pembangunan nasional. Investasi merupakan suatu faktor yang kursial bagi kelangsungan proses pembangunan ekonomi, atau pertumbuhan ekonomi jangka panjang pembangunan ekonomi melibatkan kegiatan-kegiatan produksi di semua sektor ekonomi. Jadi dari uraian di atas, pokok permasalahan yang menjadi pembahasan utama adalah iklim investasi yang sangat kompleks, yang implikasinya adalah bahwa kebijakan investasi tidak bisa berdiri sendiri (Firmansyah, 2008).
Perkembangan investasi pada sektor transportasi di Indonesia mengalami fluktuasi jumlah. Pada tahun 1985, investasi dalam negeri sektor tranportasi senilai Rp. 114,341 miliar akan tetapi mengalami penurunan pada tahun berikutnya menjadi Rp. 103,081 miliar. Begitu pula pada tahun 2006 yaitu sebesar Rp. 1.1930,3 miliar dan mengalami penurunan menjadi Rp. 1.231,2 miliar pada tahun 2007.
Terjadinya fluktuasi pada jumlah investasi dalam negeri sektor transportasi ini juga dibarengi dengan keadaan makro ekonomi di Indonesia yang juga berfluktuasi dari tahun ke tahunnya. Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah satu wacana yang menonjol adalah mengenai pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi penting dalam konteks perekonomian suatu negara karena dapat dijadikan salah satu ukuran dari pembangunan atau pencapaian perekonomian negara tersebut. Wijono (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator kemajuan pembangunan suatu Negara (Isa Salim, 2006).
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sama halnya dengan keadaan investasi, juga mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1985 sebesar 2.5% dan mengalami kenaikan pada tahun berikutnya menjadi 5,9%. Hal ini juga berbarengan dengan keadaan investasi sektor transportasi.
Sedangkan tingkat inflasi yang terjadi pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat suku bunga dan keadaan ekonomi secara makro yang akan mengakibatkan perubahan pada jumlah investasi yang akan dilakukan oleh penanam modal. Tingkat inflasi yang sangat mengkhawatirkan akan memberikan dampak kepada penanaman modal dalam negeri dimana dengan terjadinya inflasi atau kenaikan harga barang-barang yang secara terus menerus akan mengakibatkna terjadinya perubahan kemampuan masyarakat dalam membeli barang-barang produksi yang kemungkinan menjadi penurunan dan mengurangi gairah produsen dalam manciptakan atau memproduksi barang dan jasa.
Semakin tinggi perubahan tingkat harga maka akan semakin tinggi pula opportunity cost untuk memegang aset finansial. Artinya masyarakat akan merasa lebih beruntung jika memegang aset dalam bentuk rill dibandingkan dengan asset financial jika tingkat harga tetap tinggi. Jika aset finansial luar negeri dimasukan sebagai salah satu pilihan asset, maka perbedaan tingkat inflasi dapat menyebabkan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing akan melemah yang pada gilirannya akan menghilangkan daya saing komoditas Indonesia (Susanti, 2000). Hal ini bila dilihat oleh para investor, maka akan mengurangi gairah investor dalam menanamkan modalnya dan lebih memilih untuk menyimpan dananya di bank karna dampak inflasi juga akan mengakibatkan nilai suku bunga simpanan manjadi meningkat guna mengurangi jumlah uang beredar.
Selain pertumbuhan ekonomi dan inflasi, diperlukan partisipasi atau dukungan pemerintah dalam menyediakan prasarana yang akan mendukung perkembangan perekonomian yaitu salah satunya dengan keadaan infrastruktur yang baik dan memadai. Tidak dapat dipungkiri bahwa infrastruktur merupakan salah satu faktor penentu pembangunan ekonomi, yang sebenarnya sama pentingnya dengan faktor-faktor produksi umum lainnya yakni modal dan tenaga kerja. Sayangnya, untuk satu faktor ini, selama ini, terutama sejak krisis ekonomi 1997/98, kurang sekali perhatian pemerintah dalam penyediaan infrastruktur, khususnya di wilayah di luar Jawa, atau Indonesia Kawasan Timur. Hal ini karena setelah krisis pemerintah harus fokus pada hal-hal yang lebih mendesak seperti menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan ekonomi secara keseluruhan, mencegah pelarian modal, menanggulangi hutang luar negeri serta menstabilkan kembali kondisi politik dan sosial. Akibatnya, kondisi infrastruktur terpuruk di mana-mana. Terutama untuk infrastruktur jalan yang merupakan salah satu faktor yang akan memperlancar perekonomian yang akan meningkatkan kemajuan suatu daerah karena akan mempermudah dalam menghasilkan barang maupun kegiatan distribusinya. Hal ini akan meningkatkan pendapatan sehingga akan menarik para investor untuk menanamkan modal sehingga sangat dibutuhkan keadaan jalan yang baik.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk menganalisa lebih lanjut mengenai sejauh mana variabel-variabel tersebut mempengaruhi investasi sektor transportasi, maka penulis memilih judul : "Analisis Faktor-Faktor Ekonomi Makro Yang Mempengaruhi Investasi Sektor Transportasi Di Indonesia".

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah produk domestik bruto (PDB) berpengaruh terhadap investasi sektor transportasi di Indonesia ?
2. Apakah tingkat inflasi berpengaruh tehadap investasi sektor transportasi di Indonesia ?
3. Apakah infrastruktur jalan terhadap investasi sektor transportasi di Indonesia ?

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui produk domestik bruto (PDB) terhadap investasi sektor transportasi di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaruh tingkat inflasi terhadap investasi sektor transportasi di Indonesia.
3. Untuk mengetahui pengaruh infrastruktur jalan terhadap investasi sektor transportasi di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan studi atau tambahan terhadap penelitian yang sudah ada sebelumnya.
2. Sebagai bahan tambahan dan informasi bagi masyarakat dan mahasiswa yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bahan studi atau tambahan ilmu khususnya bagi mahasiswa/i Departemen Ekonomi Pembangunan.
TUKAR LINK

TUKAR LINK

TUKERAN LINK YUK !

Buat sahabat-sahabat sesama blogger/web master, kami terbuka bagi yang mau tukeran link untuk sama-sama meningkatkan page rank blog/website kita.
Penawaran ini tidak terbatas hanya untuk blog/website yang udah punya page rank tinggi, melainkan untuk semua (kecuali blog/website dengan konten yang mengandung unsur pornografi dan SARA).

Caranya :
  1. Pasang url kami (http://gudangmakalah.blogspot.com) di blogroll anda (harap dipasang di blogroll, bukan didalam postingan). 
  2. Konfirmasi melalui email ke bookphace@yahoo.co.id, sebutkan url/nama blog/website anda.
  3. Setelah kami cek, maksimal 1 hari kerja, kami akan memasang url blog/website anda di blogroll kami, selanjutnya kami akan mengkonfirmasi lewat email.
SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA CITRA RAGA DENGAN PERILAKU MAKAN PADA REMAJA PUTRI

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA CITRA RAGA DENGAN PERILAKU MAKAN PADA REMAJA PUTRI

(KODE : PSIKOLOG-0012) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA CITRA RAGA DENGAN PERILAKU MAKAN PADA REMAJA PUTRI




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Masalah kesehatan adalah masalah yang sangat penting dan selalu menjadi topik pembicaraan yang tak henti-henti. Kesehatan menjadi hal yang paling penting dalam mendukung kehidupan organisme. Masalah kesehatan sering diremehkan orang demi kesenangan sementara, apalagi pada remaja. Perubahan yang berjalan sangat cepat pada bentuk tubuh menyebabkan remaja pada kondisi emosional yang kurang stabil, sehingga remaja cenderung melakukan perbuatan tanpa perhitungan, termasuk perilaku yang tidak sehat karena keinginan individu agar diterima oleh teman-temannya.
Bloom (dalam Smet, 1993) menambahkan kecenderungan remaja meremehkan masalah kesehatan karena remaja berpikir dengan fleksibilitas dan vitalitas yang tinggi pada dirinya, bahwa problema kesehatan yang dimilikinya hanya sedikit dan tidak beresiko. Keadaan ini membuat remaja memiliki resiko yang tinggi terhadap berbagai jenis penyakit akibat perilaku yang tidak sehat. Salah satu perilaku yang tidak sehat adalah perilaku makan. Mengapa persoalan hidup sampai merambat pada perilaku makan? Hal tersebut dikarenakan makanan sangat penting untuk tumbuh kembang manusia, apalagi remaja. Remaja dengan segala beban masa depan yang harus diraihnya sangat memerlukan gizi yang seimbang sebagai penunjang untuk meraih masa depannya (Safitri, 2007). Selanjutnya Safitri (2007) menambahkan perilaku makan yang buruk dapat menimbulkan masalah kesehatan salah satunya gangguan makan yang serius seperti bulimia dan anorexia.
Gochman (dalam Witari, 1997) mengatakan bahwa hal yang sering terlihat pada remaja adalah kurang dipedulikannya jam makan, bahkan sarapan pagi sering ditinggalkan, sehingga banyak remaja yang menderita maag. Manfaat dari kegiatan makan kurang disadari oleh remaja, seperti kebiasaan makan apapun asal kenyang, ataupun makan sekedar untuk bersosialisasi, demi kesenangan, dan supaya tidak kehilangan status. Unsur-unsur gizi pada makanan yang dikonsumsi kurang diperhatikan, sebab saat memilih makanan remaja lebih mementingkan nilai kesenangan. Tidak jarang makanan yang dipilih oleh remaja sebagai upaya agar mereka tidak kehilangan status dihadapan teman-temannya, sehingga makanan yang dipilih adalah juga makanan yang dipilih oleh teman-temannya, meskipun makanan tersebut tidak memenuhi unsur-unsur gizi yang dibutuhkan tubuh. Sebagai contoh, remaja pada masa sekarang sering beraktivitas di pusat-pusat perbelanjaan, mall yang menyediakan tempat-tempat makan berupa makanan fast food yaitu berbagai produk olahan siap saji seperti burger, ice cream, fried chicken, pizza dan minuman soft drink yang berkarbonasi dan kadar gula tinggi yang sangat intensif dipasarkan. Remaja merupakan sasaran utama karena jumlahnya yang relatif besar dan jenis makanan ini sangat mengundang selera, praktis, dan juga penyajiannya cepat serta menaikkan gengsi.
Kebiasaan makan ini ternyata menimbulkan masalah baru karena makanan siap saji umumnya mengandung lemak, karbohidrat, dan garam yang cukup tinggi tetapi sedikit kandungan vitamin larut air dan serat. Bila konsumsi makanan jenis ini berlebih akan menimbulkan masalah gizi lebih yang merupakan faktor risiko beberapa penyakit degeneratif yang saat ini menempati urutan pertama penyebab kematian seperti hipertensi, diabetes melitus, dan hiperkolesterol.
Irama kehidupan masyarakat saat ini umumnya memiliki aktivitas yang padat. Seorang yang aktif mungkin akan meninggalkan rumahnya pagi-pagi dan tetap berada di luar rumah sampai waktu makan malam tiba, keadaan seperti ini membuktikan bahwa sulit untuk mempunyai waktu bersama-sama dengan keluarga dengan menu yang lengkap. Kondisi demikian menyebabkan mereka sering mengonsumsi makanan selingan atau makanan siap saji sebagai pengganti makanan lengkap pada saat waktu makan tiba.
Uraian di atas dapat memberikan gambaran bahwa perilaku makan yang salah dapat menimbulkan beberapa gangguan penyakit. Pada masa remaja, gangguan akibat perilaku makan yang salah meningkat. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku makan pada remaja harus diperhatikan. Salah satunya adalah peran media massa. Menurut penelitian yang dimuat Journal of Nutrition Education (www.infosehat.com, 2007), anak remaja umumnya menonton lebih dari 100.000 iklan makanan di televisi. Jenis makanan tersebut adalah yang mengandung lemak dan gula tinggi, serta minuman yang terlalu banyak soda sehingga individu kurang mendapatkan kalsium yang bermanfaat bagi pertumbuhan mereka.
Anonim (www.tabloidnova.com, 2007) mengatakan gangguan perilaku makan sendiri sebetulnya tak hanya berhubungan dengan makanan, bentuk tubuh maupun berat badan semata. Gangguan perilaku makan ternyata juga mencakup persoalan identitas dan konsep diri yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor adalah adanya pandangan dan gambaran yang baik yang berhubungan dengan penerimaan diri terhadap keadaan fisik yang disebut citra raga. Lebih lanjut Anonim (www.yayasanpermatahatikita.com, 2007) menyatakan bahwa tanda-tanda dari gangguan pada pola makan dinyatakan sebagai berbagai macam variasi masalah yang serius dengan fisik dan emosional, yang berhubungan dengan makanan, berat badan, dan citra tubuh.
Hardy dan Hayes (1988) menjelaskan citra raga merupakan sebagian dari konsep diri yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik. Konsep diri adalah evaluasi individu mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Aspek utama dalam konsep diri adalah citra raga yaitu suatu kesadaran individu dan penerimaan terhadap physical self. Citra raga dikembangkan selama hidup melalui pola interaksi dengan orang lain. Perkembangan citra raga tergantung pada hubungan sosial dan merupakan proses yang panjang dan sering kali tidak menyenangkan, karena citra raga yang selalu diproyeksikan tidak selalu positif.
Menurut Mappiare (1982) citra raga pada umumnya berhubungan dengan remaja wanita daripada remaja pria, remaja wanita cenderung untuk memperhatikan penampilan fisik. Remaja putri menyadari bahwa salah satu penampilan fisik yang menarik adalah dengan memiliki bentuk tubuh dan berat bada ideal. Jackson dkk (dalam Asri dan Setiasih, 2004) mengemukakan bahwa wanita cenderung memperhatikan penampilan fisik secara keseluruhan. Hal ini dilakukan dengan tujuan selain dari segi kesehatan juga agar dapat menarik perhatian lawan jenis yang akan dipilihnya sebagai pasangan hidup, sesuai dengan salah satu tugas perkembangan remaja yaitu memilih teman hidup untuk membina keluarga (Havigurst dalam Mappiare, 1983). Body image kurus itu indah dan cantik merupakan salah satu penyebab gangguan makan. Seperti kita ketahui, para model dan artis yang ditampilkan oleh media massa berbadan langsing cenderung kurus, dan mode pakaian masa kini sebagian besar diperagakan oleh para model yang sangat kurus. Pakaian yang sedang menjadi mode pun seakan-akan baru tampak bagus kalau dikenakan oleh orang yang kurus. Hal ini yang membuat remaja tergiur untuk berpenampilan seperti mereka. Remaja berusaha untuk berpenampilan seperti bintang idolanya. Padahal kenyataannya, tubuh kurus para model ini tidak realistis bagi sebagian besar remaja putri. Pada usia remaja, perubahan bentuk tubuh pada remaja putri seperti pertumbuhan pinggul dan payudara merupakan hal yang alami, walaupun membuat kita tidak lagi berpenampilan seperti para model di televisi yang bertubuh rata seperti papan.
Harapannya pada masa remaja gizi yang cukup masih diperlukan untuk pertumbuhan. Pada masa ini, para remaja perempuan terjadi perubahan-perubahan biologis dengan mengalami haid, sehingga dibutuhkan kecukupan hemoglobin agar tidak terjadi anemia gizi, sebagai akibat kekurangan zat besi. Tapi kenyataannya sering terjadi remaja perempuan melakukan diet yang agak ketat, sehingga kekurangan gizi (Anonim, www.keluargasehat.com). Remaja putri yang melakukan diet dengan mengesampingkan unsur-unsur gizi dalam menu makanannya sehari-hari karena remaja tersebut memandang tubuhnya terlalu gemuk padahal berat badan remaja tersebut masih tergolong normal. Ini yang disebut citra raga negatif. Hal ini menunjukkan bahwa sehat tidaknya perilaku makan pada remaja putri juga ditentukan oleh citra raga yang dimiliki. Sebaliknya, remaja yang memiliki citra raga yang positif akan merasa bahwa tubuh dan penampilannya cantik dan menarik. Walaupun kenyataannya tubuh dan penampilannya kurang menarik, tetapi individu tersebut dapat menerima keadaan fisik yang sesungguhnya, karena untuk diterima dan memperoleh pengakuan dari teman-temannya tidak harus mempunyai tubuh dan penampilan yang menarik.
Pratt (dalam Witari, 1997) mengatakan bahwa gambaran fisik pada remaja mempengaruhi perilaku makannya sehari-hari. Witari (1997) menambahkan remaja yang memiliki citra diri positif akan memiliki harga diri yang tinggi, merasa mampu dan berpikir dengan penuh percaya diri. Dengan demikian remaja tersebut memiliki kemampuan untuk memilih perilaku yang tepat untuk dirinya. Sebaliknya, remaja yang memiliki citra raga yang negatif akan memiliki harga diri yang rendah, merasa tidak seimbang, menganggap dirinya tidak mampu melaksanakan tugas, sehingga remaja tersebut tidak memiliki kemampuan untuk memilih perilaku yang tepat bagi dirinya. Contohnya, remaja yang memiliki citra raga yang positif akan merasa bahwa tubuh dan penampilannya cantik, sehat, dan menarik. Perasaan yang menyenangkan ini muncul karena remaja memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Walaupun pada kenyataannya tubuh dan penampilannya kurang menarik, tetapi individu tersebut tidak diliputi perasaan depresi, gagal atau kebencian pada diri sendiri karena tubuh dan penampilannya yang menarik bukan merupakan satu-satunya syarat agar mereka memperoleh pengakuan dari lingkungan dan teman sebayanya. Sikap ini mempengaruhi remaja dalam perilaku makannya. Perilaku makan benar-benar dipandang sebagai aktivitas untuk mempertahankan hidup sehingga jumlah kalori dan nilai gizi pada makanan yang dikonsumsinya akan diperhatikannya. Sebaliknya remaja yang memiliki citra raga yang negatif, merasa tidak puas dengan tubuh dan penampilan dirinya sendiri, individu merasa bahwa tubuhnya jelek, gendut, dan tidak menarik. Gejala-gejala tentang citra raga yang kurang baik ini meliputi perasaan depresi, gagal atau kebencian pada diri sendiri. Gejala-gejala ini biasanya muncul akibat rasa bersalah yang dihubungkan dengan makanan. Makanan dianggap sebagai musuh dan makan semata-mata hanya kegiatan yang dikaitkan dengan konflik dan bukan sebagai aktivitas untuk mempertahankan hidup. Dampaknya, muncul gangguan perilaku makan pada remaja. Remaja yang memiliki citra raga yang negatif ini akan selalu menghitung jumlah kalori yang masuk, tidak puas terhadap berat badannya, dan menyiksa tubuhnya dengan gizi yang minimum sebagai ungkapan keinginan paling dalam seorang remaja untuk memperoleh pengakuan dari lingkungan atas penampilannya.
Dari uraian di atas, perumusan masalahnya adalah : "Apakah ada hubungan antara citra raga dengan perilaku makan pada remaja putri?". Mengacu pada pertanyaan di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : Hubungan antara Citra Raga dengan Perilaku Makan pada Remaja Putri.

B. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan antara citra raga dengan perilaku makan pada remaja putri.
2. Untuk mengetahui peran citra raga terhadap perilaku makan pada remaja putri.
3. Untuk mengetahui tingkat citra raga dan tingkat perilaku makan pada remaja putri

C. Manfaat Penelitian
1. Subjek penelitian
Agar dapat dijadikan bahan informasi kaitannya dengan citra raga dengan perilaku makan pada remaja putri, sehingga dapat memandang secara positif terhadap citra raga yang pada akhirnya dapat membantu remaja putri dalam pembentukan perilaku makan yang positif.
2. Orang tua
Agar memberikan informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan citra raga sehingga dapat memberikan perhatian dan dukungannya terhadap anak dalam membentuk suatu perilaku makan yang positif.
3. Peneliti selanjutnya
Bagi peneliti lain memberikan informasi sehingga dapat menambah wawasan keilmuan tentang citra raga hubungannya dengan perilaku makan pada remaja putri sebagai bagian dari ilmu psikologi sosial, serta wacana-wacana keilmuan dalam melakukan penelitian-penelitian selanjutnya dengan menambah variabel-variabel yang terkait dengan citra raga dan perilaku makan pada remaja putri.
SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DAN PERILAKU DIET PADA REMAJA

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DAN PERILAKU DIET PADA REMAJA

(KODE : PSIKOLOG-0011) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA BODY IMAGE DAN PERILAKU DIET PADA REMAJA




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Body image bagi remaja merupakan suatu hal yang penting, karena pada masa remaja seseorang banyak mengalami perubahan, baik secara fisik maupun psikis. Perubahan yang pesat ini menimbulkan respon tersendiri bagi remaja berupa tingkah laku yang sangat memperhatikan perubahan bentuk tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Conger dan Peterson (dalam Sarafino, 1998) yang mengatakan bahwa pada masa remaja, para remaja biasanya mulai bersibuk diri dengan penampilan fisik mereka dan ingin mengubah penampilan mereka. Keinginan ini disebabkan karena remaja sering merasa tidak puas terhadap penampilan dirinya. Bagaimana perasaan seseorang mengenai penampilan fisik inilah yang disebut dengan body image (Valencia, 2008). Body image dapat juga didefinisikan sebagai derajat kepuasan individu terhadap dirinya secara fisik yang mencakup ukuran, bentuk, dan penampilan umum (Cash dan Deagle dalam Jones, 2002). Peneliti akan menggunakan istilah gambaran tubuh untuk menjelaskan body image pada penelitian ini.
Santrock (2003) mengatakan bahwa perhatian terhadap gambaran tubuh seseorang sangat kuat terjadi pada remaja yang berusia 12 hingga 18 tahun, baik pada remaja perempuan maupun remaja laki-laki. Para remaja melakukan berbagai usaha agar mendapatkan gambaran tubuh yang ideal sehingga terlihat menarik seperti, berpakaian yang sesuai dengan bentuk tubuh atau menggunakan alat-alat kecantikan, namun usaha tersebut belum sepenuhnya dapat memuaskan penampilan mereka. Hal ini sejalan dengan pendapat Dion (dalam Hurlock, 1999) yang menyatakan bahwa meskipun pakaian dan alat-alat kecantikan dapat digunakan untuk menyembunyikan bentuk-bentuk fisik yang tidak disukai remaja dan untuk menonjolkan bentuk fisik yang dianggap menarik, tetapi hal tersebut belum cukup untuk menjamin adanya perasaan puas terhadap tubuhnya.
Ketidakpuasan terhadap tubuh lebih banyak dialami oleh remaja perempuan dari pada remaja laki-laki. Pada umumnya, remaja perempuan lebih kurang puas dengan keadaan tubuhnya dan memiliki lebih banyak gambaran tubuh yang negatif, dibandingkan dengan remaja laki-laki selama masa pubertas. Hal tersebut dikarenakan pada saat mulai memasuki masa remaja, seorang perempuan akan mengalami peningkatan lemak tubuh yang membuat tubuhnya semakin jauh dari bentuk tubuh yang ideal, sedangkan remaja laki-laki menjadi lebih puas karena massa otot yang meningkat. (Brooks-Gunn & Paikoff dalam Santrock, 2003). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Winzeler (2005) yang menyatakan bahwa remaja laki-laki lebih bangga dengan tubuhnya dan lebih puas dengan berat badannya sebesar 73% dari pada remaja perempuan yang hanya sebesar 47%. Berdasarkan pemaparan diatas, menunjukkan adanya perbedaan tingkat ketidakpuasaan terhadap gambaran tubuh pada remaja laki-laki dan perempuan. Ketidakpuasan ini yang pada akhirnya membuat remaja menjadi tidak percaya diri dan menganggap penampilannya sebagai sesuatu yang menakutkan.
Hasil penelitian Pope, Philips, dan Olivardia (2000) menunjukkan bahwa perempuan lebih memperhatikan penampilan fisik dibandingkan laki-laki.
Penjelasan ini bukan berarti penampilan fisik yang menarik hanya pada perempuan saja tetapi laki-laki pun terkadang memperhatikan penampilan mereka. Ketidakpuasan terhadap gambaran tubuh pada remaja perempuan umumnya mencerminkan keinginan untuk menjadi lebih langsing (Davison, Markey, & Birch dalam Markey, 2005). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan majalah perempuan Glamour, diperoleh hasil bahwa dari 4000 remaja perempuan, hanya 19% saja yang merasa puas akan tubuhnya, dan sisanya 81% merasa tidak puas dan cenderung melakukan diet. Berikut penulis mencantumkan sebuah artikel yang diambil dari sebuah media cetak.
"Gue mau banget punya badan langsing. Soalnya temen-temen gue men-support untuk mempunyai badan yang langsing. Gue juga mengonsumsi suplemen untuk memperlancar gue mendapatkan tubuh yang indah, yah, meskipun ada efek sampingnya, tapi ya gak apa-apalah. Hehe." (Putri, Kompas 10 Juli 2009).
Pada remaja laki-laki ketidakpuasan terhadap tubuhnya juga timbul karena keinginan untuk menjadi lebih besar, lebih tinggi, dan berotot (Evans, 2008). Hal ini disebabkan karena adanya figur ideal yang menjadi panutan yang dapat diperoleh dari faktor luar seperti media. Media dapat mempengaruhi gambaran ideal akan sosok tubuh seseorang, baik itu laki-laki maupun perempuan. Semakin sering melihat sosok tubuh sempurna, maka semakin besar obsesi untuk bisa seperti model dalam majalah (Harmatz, Gronendyke & Thomas, dalam Mills & D'Alfonso 2007). Berdasarkan pemaparan diatas, menunjukkan bahwa media yang muncul dimana-mana memberikan gambaran ideal mengenai figur perempuan dan laki-laki yang dapat mempengaruhi gambaran tubuh seseorang.
Berscheid (Papalia & Olds, 2008) menyatakan bahwa remaja yang memiliki persepsi positif terhadap gambaran tubuh lebih mampu menghargai dirinya. Individu tersebut cenderung menilai dirinya sebagai orang dengan kepribadian cerdas, asertif, dan menyenangkan. Perubahan fisik karena pubertas dapat membuat kaum remaja diliputi perasaan tidak pasti dan takut yang menyebabkan mereka cenderung berpikir negatif. Dacey dan Kenny (2004) mengemukakan bahwa persepsi negatif remaja terhadap gambaran tubuh akan menghambat perkembangan kemampuan interpersonal dan kemampuan membangun hubungan yang positif dengan remaja lain. Para remaja seringkali rentan terhadap perasaan negatif ketika mereka merasa bahwa mereka ditolak oleh teman sebaya. Bagi remaja yang bentuk tubuhnya tidak ideal, sering menolak kenyataan perubahan fisiknya sehingga mereka tampak mengasingkan diri karena merasa minder dan bagi remaja yang menerima perubahan fisik yang terjadi pada dirinya, menganggap hal tersebut merupakan suatu hal yang wajar karena memang akan dialami oleh semua orang yang melalui masa pubertas. Rasa minder itu timbul karena remaja menyadari bahwa daya tarik fisik berperan penting dalam hubungan sosial. Remaja menyadari bahwa mereka yang menarik biasanya mendapat perlakuan lebih baik dari pada mereka yang kurang menarik (Hurlock, 1999).
Pada usia remaja banyak dari mereka yang berusaha mengubah penampilannya sehingga terlihat menarik. Kepedulian terhadap penampilan dan gambaran tubuh yang ideal dapat mengarah kepada upaya obsesif seperti mengontrol berat badan (Davison & Birch dalam Papalia, 2008). Pola ini menjadi lebih umum diantara anak perempuan ketimbang anak laki-laki. Pada umumnya remaja melakukan diet, berolahraga, melakukan perawatan tubuh, mengkonsumsi obat pelangsing dan lain-lain untuk mendapatkan berat badan yang ideal (Dacey & Kenny, 2001). Konsep tubuh yang ideal pada perempuan adalah tubuh langsing (Sanggarwaty, 2003), sedangkan pada laki-laki adalah tubuh berisi, berotot, berdada bidang, serta biseps yang menonjol (McCabe, 2004). Orang dengan tubuh kurang ideal selalu dipersepsikan malas dan mudah puas dengan dirinya, dan banyak dari mereka yang berharap agar berat badannya turun dengan sendirinya (Brownell dalam Sarafino, 1998). Begitu sadar berat badannya bertambah, biasanya orang akan mencoba membatasi makanannya (Gunawan, 2004). Hal ini mengakibatkan banyak dari remaja yang mengontrol berat badan dengan melakukan diet dan berolahraga untuk membentuk tubuh yang ideal. Sejauh ini remaja lebih menyukai diet untuk menurunkan berat badan.
Diet didefmisikan sebagai kegiatan membatasi dan mengontrol makanan yang akan dimakan dengan tujuan untuk mengurangi dan mempertahankan berat badan (Hawks, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Vereecken dan Maes (dalam Papalia 2008), pada usia 15 tahun, lebih dari setengah remaja perempuan di enam belas negara melakukan diet atau berpikir mereka harus melakukan hal tersebut. Pada umumnya, perempuan memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah 25-30% pada perempuan dan 18-23% pada laki-laki. Perempuan dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan laki-laki dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap mengalami kelebihan berat badan (Maulana, 2008).
Kim dan Lennon (2006) mengatakan bahwa, diet mencakup pola-pola perilaku yang bervariasi, dari pemilihan makanan yang baik untuk kesehatan sampai pembatasan yang sangat ketat akan konsumsi kalori. Menurut Ilyas (Kompas, 2009) diet yang sebenarnya adalah cara mengombinasikan makanan dan minuman yang kita konsumsi setiap hari, yaitu kombinasi antara 60-70% karbohidrat, 10-15% protein, dan 20-25% lemak. Jadi, diet itu bukan berarti harus menahan lapar sepanjang hari. Perilaku tidak sehat yang dapat diasosiasikan dengan diet misalnya puasa, tidak makan dengan sengaja, penggunaan pil-pil diet, penahan nafsu makan atau laxative, muntah dengan disengaja, dan binge eating (French, Perry, Leon & Fulkerson, 1995).
Diet yang dilakukan oleh remaja bukanlah hal yang dapat disepelekan. Saat remaja adalah saat ketika tubuh seseorang sedang berkembang pesat dan sudah seharusnya mendapatkan komponen nutrisi penting yang dibutuhkan untuk berkembang. Kebiasaan diet pada remaja dapat membatasi masukan nutrisi yang mereka butuhkan agar tubuh dapat tumbuh. Selain itu, diet pada remaja juga dapat menjadi sebuah titik awal berkembangnya gangguan pola makan. Beberapa penelitian lain juga mengatakan bahwa seorang remaja yang berdiet kemudian menghentikan dietnya dapat menjadi over eater (perilaku makan berlebihan) pada tahun-tahun berikutnya (Hill, Oliver & Rogers dalam Elga, 2007). Hal ini menjadi sebuah bukti bahwa perilaku diet dapat membawa dampak yang buruk bagi kesehatan remaja yang melakukannya.
Saat ini, diet merupakan salah satu cara cara yang paling populer untuk menurunkan berat badan karena diet dapat dilakukan oleh hampir semua orang, tidak mahal, diterima secara sosial, dan tidak menimbulkan efek samping yang langsung terasa (Hill, dkk. dalam Elga, 2007). Ogden (2002) menyatakan hal sebaliknya, bahwa orang-orang yang mempunyai keinginan untuk mengubah bentuk tubuhnya tidak selalu melakukan diet. Beberapa orang memilih untuk mengenakan baju-baju yang membuat mereka terlihat kurus atau melakukanjalan pintas melalui operasi. Hal ini menunjukkan bahwa ternyata seseorang yang memiliki rasa tidak puas terhadap bentuk tubuhnya belum tentu melakukan diet, melainkan mereka dapat memilih cara-cara lain untuk memperbaiki penampilannya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perhatian terhadap gambaran tubuh sangat kuat terjadi pada masa remaja, baik pada remaja laki-laki maupun perempuan. Para remaja melakukan melakukan berbagai usaha agar mendapatkan gambaran tubuh yang ideal sehingga terlihat menarik. Salah satu usaha tersebut adalah dengan melakukan diet. Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah bahwa peneliti ingin melihat hubungan antara gambaran tubuh dan perilaku diet pada remaja.

B. Perumusan Masalah
Rumusan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah : Apakah terdapat hubungan antara gambaran tubuh dan perilaku diet pada remaja?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara gambaran tubuh dan perilaku diet pada remaja.

D. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis maupun manfaat secara praktis :
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan agar dapat menambah khasanah ilmu Psikologi, khususnya dalam bidang Psikologi Perkembangan mengenai hubungan antara gambaran tubuh dan perilaku diet pada remaja.
2. Manfaat praktis
a. Bagi para remaja agar tetap menghargai tubuh yang dimiliki dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
b. Bagi para orang tua yang memiliki anak remaja agar memperhatikan perkembangan anak, memberikan dukungan, dan mendidik anak untuk menghargai tubuh yang dimiliki.
c. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi, khususnya penelitian yang berhubungan dengan gambaran tubuh dan perilaku diet pada remaja.

E. Sistematika Penelitian
Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Bab I berisi tentang penjelasan latar belakang masalah, identifikasi permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab II berisi tentang teori yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang terdapat dalam penelitian ini adalah teori tentang gambaran tubuh, perilaku diet, dan remaja. Bab ini juga mengemukakan hipotesis sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan hubungan antara gambaran tubuh dan perilaku diet pada remaja.
BAB III : Metode Penelitian
Bab III berisi uraian yang menjelaskan tentang identifikasi variabel penelitian, defmisi operasional, populasi dan metode pengambilan sampel, instrumen/alat ukur yang digunakan, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian dan metode analisis data untuk melakukan pengujian hipotesis yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian.
BAB IV : Analisa dan Interpretasi Data
Bab IV berisi uraian gambaran subjek penelitian, hasil penelitian, dan deskripsi data penelitian.
BAB V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab V berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, serta saran metodologis dan praktis.
SKRIPSI GAMBARAN MAKNA HIDUP PADA PELAKU PERCOBAAN BUNUH DIRI

SKRIPSI GAMBARAN MAKNA HIDUP PADA PELAKU PERCOBAAN BUNUH DIRI

(KODE : PSIKOLOG-0010) : SKRIPSI GAMBARAN MAKNA HIDUP PADA PELAKU PERCOBAAN BUNUH DIRI




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk spiritual yang memiliki makna intrinsik yang harus ditemukan dalam kehidupannya. Motivasi dasar manusia bukanlah untuk mencari kesenangan, kekuasaan, ataupun materi melainkan untuk menemukan makna. Kesenangan yang merupakan salah satu komponen dari kebahagiaan merupakan produk dari telah ditemukannya makna sedangkan kekuasaan dan materi berkontribusi dalam kesejahteraan manusia yang nantinya akan digunakan di jalan yang bermakna. Semua orang termotivasi oleh keinginannya untuk bermakna dan memiliki kebebasan untuk menemukan makna (Fabry, 1980).
Jika kehidupan manusia itu berisikan pengalaman hidup yang penuh makna, maka keputusasaan terjadi saat makna itu habis. Seseorang hidup selama dia merasakan bahwa hidupnya memiliki makna dan nilai, selama dia memiliki sesuatu dalam hidup. la akan terus hidup selama ia memiliki harapan untuk dapat memenuhi makna dan nilai. Saat makna, nilai, dan harapan tersebut menghilang dari kehidupan seseorang, maka orang tersebut berhenti hidup (Jourard dalam Pianalto, 2004).
Keinginan yang paling fundamental pada manusia adalah keinginan untuk memperoleh makna bagi keberadaannya Jika keinginan kepada makna tidak terpenuhi maka individu akan merasa tidak bermakna (meaningless) dan putus asa bahkan memikirkan tentang bunuh diri. Mereka merasakan kehampaan dengan tidak melihat adanya suatu tujuan dalam hidup mereka. Perasaan tidak bermakna dan kekosongan ini dapat membuat orang menjadi depresi (Frankl, 1980) dan depresi berkaitan erat dengan tindakan bunuh diri (Barlow & Durand, 2005).
Pilihan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri digunakan sebagai respon terhadap krisis dan dilakukan oleh orang dari berbagai golongan dengan jenis masalah sosial, mental, emosional, dan fisikal yang berbeda. Orang dengan latar belakang umur, jenis kelamin, agama, kelas sosial dan ekonomi yang berbeda dapat saja melakukan bunuh diri (Hoff, 1989).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 di Amerika Serikat, bunuh diri merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga untuk remaja (NAHIC, 2006) dan berada di urutan ke-4 penyebab kematian utama pada dewasa (Kochaneck dalam Corr, Nabe, & Corr 2003), dengan persentase pria 4 hingga 5 kali lebih banyak melakukan bunuh diri (commit suicide) dibandingkan wanita (APA, 2003), namun wanita 3 kali lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri (suicide attempt) dibandingkan pria (NAHIC, 2006).
Sebuah surat kabar kota Medan menuliskan bahwa :
"tahun ini fenomena bunuh diri memang meningkat dibandingkan tahun-tahun lalu. Penyebabnya multifaktor, tidak hanya masalah ekonomi. Selain itu, pelakunya bukan hanya dari kalangan bawah saja, tapi juga dari kalangan orang-orang yang sebenarnya selalu bertindak memakai logika berpikir. Pelaku bunuh diri telah merambah pada lintas profesi".(Hasibuan, 2007)
Contoh yang terjadi di kota Medan pada tahun 2007 ini adalah kasus Iptu Oloan Hutasoit seorang perwira Poltabes Medan yang tewas bunuh diri akibat stres melihat bekas pacarnya telah memiliki suami, dan kasus ibu rumah tangga yang mencoba bunuh diri saat mengetahui anaknya tidak lulus masuk Polri. ("Saatnya", 2007).
Orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, beresiko mengulangi lagi tindakannya di masa depan, sehingga orang yang pernah mencoba bunuh diri harus diperhatikan secara serius sebagai orang yang berpotensi melakukan tindakan bunuh diri (Bachman, 2004).
Bunuh diri merupakan suatu tindakan individu yang menyebabkan kematiannya, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah bunuh diri, orang yang melakukan tindakan tersebut haruslah memiliki intensi untuk mengakhiri hidupnya. Intensi pelaku bunuh diri bermacam-macam, ada yang mencoba untuk balas dendam, mendapatkan perhatian, mengakhiri penderitaan, atau mungkin kombinasi dari satu atau lebih intensi tersebut (Corr, 2003).
Rollin (dalam Corr, 2003) memandang bunuh diri sebagai bentuk legitimasi dari "pembebasan diri". Posisi ini berdasarkan pernyataan bahwa otonomi dan self determination individu haruslah memasukkan hak untuk mengakhiri hidup. Hal ini menyatakan bahwa bunuh diri berada pada lahan otonomi individu. (Corr, 2003).
Orang yang suicidal biasanya bergulat pada dua keinginan yang tidak sejalan, keinginan untuk hidup dan pada saat yang sama adalah keinginan untuk mati. Secara simultan ia mempertimbangkan keuntungan diantara dua hal tersebut (Hoff, 1989).
Ada berbagai penyebab atau alasan yang menggerakkan sesorang untuk melakukan aksi bunuh diri. Motif yang melatarbelakangi antara lain : depresi, ketiadaan harapan, malu, bersalah, kehilangan (Maris, berman, Silverman,2000), takut, cemas, kesepian, tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis, perpisahan, hancurnya suatu hubungan (Shneidman, 1996), kehilangan orang yang dicintai melalui kematian atau perceraian, penyakit serius, masalah pekerjaan (Comer dalam Gardner, 2002) , kegagalan, dan penolakan dari orang yang dicintai (Conwell et al.,2002). Dalam bunuh diri, motif bisa berupa interpersonal seperti untuk mengakibatkan perubahan dalam kehidupan orang lain, ataupun motif intrapsychic seperti lari dari kondisi yang menyakitkan atau menghentikan rasa sakit (Farberow dalam Maris, Berman, Silverman, 2000).
Perasaan dan pemikiran bunuh diri muncul jika ada ancaman terhadap rasa aman yang diakibatkan oleh hilangnya hubungan yang dianggap penting ataupun lukanya harga diri yang diakibatkan oleh ketidakmampuan, pekerjaan dan kesehatan. Individu akan dibanjiri oleh perasaan kesendirian dan tak berharga yang mana ia tidak mampu untuk memperbaikinya. Jika hal ini terus berlanjut maka individu akan merasa terasing, tidak berdaya dan putus asa dan bunuh diri menawarkan kelegaan dari derita yang dialaminya. Individu yang suicidal merasa bahwa dirinyalah penyebab penderitannya, sehingga ia melakukan bunuh diri sebagai hukuman atas kesalahannya (Gill, 1982).
Seperti yang tergambar berikut ini :
"Aduh, sakitnya hidup ini. Awak lagi berjuang karena ini.. Kok berat kali la kena sama awak. Penyakit ginjal kan masih muda..gitu. trus kalo saya penyakitan apa lagi yang bisa saya perbuat. Lebih bagus la begini saya..begitu dulu.untuk apa saya hidup kalo gak ada nilai tambahnya kan.Kalo jadi beban sama anak-anak kan lebih bagus awak.". (komunikasi personal, 1 April, 2008 ).
"Udah.ya mungkin..karena begitu beratnya beban itu. Ya namanya orang yang biasanya kerja gak kerja. Biasanya bisa makan gak makan. Di situ..la mungkin kan. kerja..ya kerja kan gak lagi. Hanya..ngabsen aja. Awak coba gitu..rupanya gak tahanjuga. Baleek lagi. Balek la saya jam-jam satu gitu kan. Udah itu. Udah gak tahan. Di rumah la saya 3 hari kan. 3 hari di rumah. Siang-siang. Hari-hari jumat..udah mulai..apa..gak..gak ada lagi pengharapan ini. Ya..kuminum la. Yang..gak terduga." (komunikasi personal, 1 April, 2008)
"Ngomong-ngomong pun..kadang..kan udah dibilang orang disana "kelen mo ngomong ato mo kerja di kantor ini" kan begitu. malu la. Malu. Ya paling ke bagian lain cuma setengah jam. Trus sisanya kan.Jiap hari aku datang kesitu kan..malu. ngapain kau disini? Gak ada kerja rupanya sana? Kan gitu..Kalo sehat awak.tempat orang awak gak sehat kan malu. Bawa penyakit aja pun ke sini kau. Dalam hati nya pasti demikian. ya walaupun gak dibilang kan ke 'gitu nya..apa orang. Kan malu kita ama.. kalo gak ada kerja. " (komunikasi personal, 17 April 2008)
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa orang yang ingin mengakhiri hidupnya merasa malu, kehilangan, merasa menjadi beban bagi orang lain dan kekhawatiran mengecewakan teman atau keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Nock (2006) tentang apa yang dirasakan oleh orang yang bunuh diri. Selain itu ia juga menambahkan tentang adanya perasaan marah, malu, bersalah tentang sesuatu, mencoba untuk keluar dari perasaan penolakan, sakit, atau kehilangan. Yang lainnya merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, dan dijadikan korban.
Terdapat tiga elemen dalam merefleksikan kekompleksitasan dari perilaku bunuh diri yaitu halplessness fditakdirkan sakit atau tidak beruntungj, helplessness (tak berdaya), dan hopelessness (putus asa) (Corr, 2003). Horney (dalam Hock, 1981) mengemukakan 4 faktor utama dalam perilaku bunuh diri, yaitu perasaan hopelessness, penderitaan, alienation, dan pencarian kejayaan. Menurut Horney, bunuh diri merupakan usaha individu untuk mengatasi perasaan ketidakcukupan ini. Hal ini dikuatkan oleh Shneidman (1996) yang mengatakan bahwa bunuh diri muncul dari rasa sakit psikologis yang tak tertahankan. Rasa sakit psikologis ini muncul dari frustasi akan kebutuhan psikologis tertentu yang berbeda-beda pada setiap orang, individu tersebut ingin lari dari rasa sakit itu dan ia memiliki persepsi yang sempit bahwa kematian adalah solusi satu-satunya dari masalah yang dialaminya. Orang yang bunuh diri merasakan bahwa tidak ada lagi yang dapat dilakukannya selain melakukan bunuh diri (hopelessness) dan tidak ada yang dapt menolongnya mengatasi rasa sakit yang dideritanya (helplessness).
Berbagai emosi dan perasaan orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya terlihat pula dari pembicaraan dengan seorang narapidana wanita berusia 27 tahun yang pernah mencoba untuk bunuh diri di dalam penjara dengan meloncat ke dalam sumur :
"kayak udah putus harapan, udah buat kecewa, buat main keluarga gara-gara ini (masuk penjara). Rasanya udah gak ada gunanya lagi hidup. kalau dulu kan ada anak, sekarang gak bisa ketemu. Gak ada yang mau bawa kesini, pemikiranku kan, orang yang lebih jahat dari aku aja masih ada keluarganya yang man ngunjungin.. aku jadi mikir mungkin kalo aku mati aja enak kali ya.. selesai semuanya.. " (Komunikasi Personal, 2 November 2007)
Orang yang bunuh diri merasakan penderitaan yang tak tertahankan dalam hidupnya (Schneidman, 1996). Perasaan tidak menyenangkan ini timbul dari kesulitan-kesulitan yang dialami oleh seseorang dan reaksinya atas kesulitan tersebut. Penderitaan dapat timbul dari rasa sakit (pain), bersalah (guilt), dan maut (death). Setiap orang pasti pernah mengalami penderitaan dalam hidupnya, dan siapapun yang merasa belum pernah mengalaminya pasti suatu saat akan mengalaminyajuga karena penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia (bastaman, 1996). Namun selama manusia masih bernafas ia pasti percaya akan makna. Bahkan orang yang melakukan bunuh diri percaya akan makna, jika tidak dalam melanjutkan hidup, maka dalam kematian. Jika dia tidak lagi mempercayai suatu makna sama sekali maka ia tidak dapat menggerakkan jarinya untuk melakukan bunuh diri (Frankl, 1966). Nilai dan makna hidup dapat dikaitkan dengan keinginan untuk mati (Camus dalam Cutter, 2004).
Nilai hidup memiliki dua bentuk, yaitu paralel dan piramidal. Individu yang berorientasi nilai paralel memiliki beberapa nilai yang bermakna dalam hidupnya sedangkan individu dengan orientasi nilai piramidal hanya memiliki satu nilai yang berharga dalam hidup dan satu tujuan untuk dikejar, sehingga pada saat makna tersebut hilang maka ia kehilangan pijakannya (Kratotchvil dalam Frankl,....). Keputusasaan dapat terjadi saat nilai utama dari sistem nilai piramidal tersebut hancur. Frankl (...) menggolongkan orang tersebut dalam kelompok orang yang putus asa (people in despair). Selain itu, ia juga menyebutkan tentang kelompok lain yang belum menemukan makna dan tersangkut dalam pencariannya akan makna. Kelompok ini disebut dengan "orang yang berada dalam keraguan" (people in doubt). Pada saat pencarian makna berakhir pada frustasi eksistensial individu akan mengalami ketidakbermaknaan (meaninglessness) dan kehampaan (emptiness) seperti yang dirasakan pada orang-orang yang mencoba bunuh diri diatas.
Nilai hidup seorang individu ditentukan melalui proses evaluasi diri yang dilakukan oleh individu tersebut untuk memutuskan layak atau tidak ia meneruskan eksistensi dirinya. Makna dari kehidupan dapat diperoleh dari self assessment ataupun penilaian dari orang lain. Manusia menetapkan nilai dari eksistensinya, dan saat nilai-nilai tersebut muncul, hidup menjadi berharga untuk diteruskan. Jika manusia tidak dapat menemukan suatu nilai dalam kehidupannya, maka ia akan merasa bahwa hidup tidak memiliki arti dan akan berakibat pada pilihan untuk mengakhiri hidupnya. Untuk dapat memahami mengapa korban memilih kematian, nilai dari hidup dan makna kematian bagi dirinya haruslah diketahui. Kurangnya dukungan eksternal juga akan meningkatkan nilai negatif yang dapat memfasilitasi keinginan untuk mati (Cutter, 2004).
Keinginan untuk mati yang diakibatkan oleh perasaan meaningless ini dapat diubah menjadi sesuatu yang bermakna jika pelaku mendapatkan dukungan eksternal untuk mengambil sikap positif terhadap keadaan dirinya dan memperoleh pandangan baru terhadap diri sendiri dan situasi hidupnya, kemudian menentukan sikap baru untuk mengembangkan keyakinan dirinya (Lukas dalam Bastaman, 1996). Seperti yang dialami oleh tahanan wanita tadi :
"iya, udah siap itu dimarahi sama teman-teman yang nolong. ‘Bodoh kali kau, kalau keluar dari sini kan masih bisa ketemu anakmu'. Selain itu kakak rohani juga udah nasihatin. Lagian setelah dijalanin, hidup disini gak terlalu buruk kok, biasa aja. Nanti kalau keluar dari sini mau jadi orang berguna. Untuk keluarga, untuk anak. Jadi ada harapan lagi." (Komunikasi Personal, 2 November 2007)
Hal ini disebabkan manusia adalah makhluk istimewa yang mampu menentukan perkembangan dirinya dan bertanggungjawab menentukan yang terbaik bagi dirinya (self determining being). Manusia memiliki hasrat untuk menemukan makna dalam hidupnya. Makna hidup terdapat dalam kehidupan itu sendiri dan setiap orang (seharusnya) mampu menemukannya, walaupun dalam kenyataannya tidak selalu mudah ditemukan karena Makna hidup biasanya tersirat dan tersembunyi dalam kehidupan (Bastaman, 2007).
Apabila makna tersebut berhasil ditemukan, manusia akan mampu mengubah hidupnya dari hidup tanpa makna menjadi hidup bermakna dan terhindar dari rasa keputusasaan. Selain itu orang yang hidupnya bermakna akan menjalani kehidupan dengan semangat, mempunyai tujuan hidup yang jelas, merasakan kemajuan yang telah dicapainya, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, menyadari bahwa sesungguhnya makna hidup dapat ditemukan dalam berbagai keadaan, tabah dalam menghadapi suatu peristiwa tragis, benar-benar menghargai hidup dan kehidupan serta iguimampu mencintai dan menerima cinta kasih dari orang lain (Bastaman, 1996).
Kebahagiaan merupakan akibat sampingan dari keberhasilan seseorang memenuhi keinginannya untuk hidup bermakna (the will to meaning). Mereka yang berhasil memenuhinya akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful life), dan ganjaran dari hidup yang bermakna adalah kebahagiaan (happiness). Di lain pihak, mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak bermakna (Frankl, ...)
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa individu yang pernah mencoba untuk bunuh diri merasakan suatu kehampaan dalam hidupnya. Perasaan tidak bermakna ini akan menimbulkan berbagai emosi-emosi seperti kesendirian, tidak diinginkan, putus asa, depresi, hopelessness, dan emosi negatif lainnya. Apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, individu akan mengalami suatu penghayatan hidup yang tak bermakna. Namun manusia merupakan self determining being, makhluk yang mampu memilih dan menentukan jalan hidupnya. Manusia merupakan makhluk istimewa yang memiliki potensi untuk mencari dan menemukan makna hidup yang penting bagi dirinya. Akan tetapi, sumber dimana kita bisa memperoleh makna merupakan sumber yang sama untuk mengarahkan kita pada perasaan tidak bermakna. Seseorang mungkin saja menemukan atau tidak menemukan makna dalam hidupnya, ataupun menemukan makna hidup namun kehilangannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran makna hidup pada individu yang pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, peneliti mengidentifikasikan pertanyaan yang ingin dijawab dalam pertanyaan ini, yaitu : bagaimana gambaran makna hidup pada pelaku percobaan bunuh diri.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran makna hidup dari pelaku percobaan bunuh diri.

D Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis yang berhubungan dengan penanganan kasus bunuh diri.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian lanjutan yang berhubungan dengan makna hidup dan kasus bunuh diri.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi pembaca untuk mengetahui makna hidup seseorang yang pernah mencoba bunuh diri.
b. Sebagai bahan referensi atau informasi tambahan bagi para praktisi psikologi dalam memahami dan membantu klien, serta penggunaan logoterapi pada klien yang pernah berusaha untuk bunuh diri.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman pada suicide survivor (keluarga, kerabat dekat dari orang yang berhasil melakukan bunuh diri) mengenai makna hidup pelaku sebelum bunuh diri sehingga dapat mengurangi kebingungan, kemarahan, ataupun rasa bersalah yang dialami.
d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi pembaca yang pernah mencoba bunuh diri atau memiliki pemikiran untuk bunuh diri tentang makna hidup, ketidakbermaknaan, dan merubah penghayatan untuk hidup penuh makna

E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai makna hidup, bunuh diri dan kaitan diantara keduanya.
Bab III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, partisipan, metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data.
Bab IV : Analisa Data
Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisa data dan interpretasi data yang diperoleh. Yang terdiri dari data diri partisipan, observasi, latar belakang, data wawancara dan rangkuman yang akan dibahas per partisipan. Serta analisis antar partisipan.
Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai makna hidup pada pelaku percobaan bunuh diri. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan. Diskusi berisikan data-data atau temuan yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.