Search This Blog

Showing posts with label skripsi psikologi. Show all posts
Showing posts with label skripsi psikologi. Show all posts
SKRIPSI GAMBARAN MAKNA HIDUP PADA PELAKU PERCOBAAN BUNUH DIRI

SKRIPSI GAMBARAN MAKNA HIDUP PADA PELAKU PERCOBAAN BUNUH DIRI

(KODE : PSIKOLOG-0010) : SKRIPSI GAMBARAN MAKNA HIDUP PADA PELAKU PERCOBAAN BUNUH DIRI




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk spiritual yang memiliki makna intrinsik yang harus ditemukan dalam kehidupannya. Motivasi dasar manusia bukanlah untuk mencari kesenangan, kekuasaan, ataupun materi melainkan untuk menemukan makna. Kesenangan yang merupakan salah satu komponen dari kebahagiaan merupakan produk dari telah ditemukannya makna sedangkan kekuasaan dan materi berkontribusi dalam kesejahteraan manusia yang nantinya akan digunakan di jalan yang bermakna. Semua orang termotivasi oleh keinginannya untuk bermakna dan memiliki kebebasan untuk menemukan makna (Fabry, 1980).
Jika kehidupan manusia itu berisikan pengalaman hidup yang penuh makna, maka keputusasaan terjadi saat makna itu habis. Seseorang hidup selama dia merasakan bahwa hidupnya memiliki makna dan nilai, selama dia memiliki sesuatu dalam hidup. la akan terus hidup selama ia memiliki harapan untuk dapat memenuhi makna dan nilai. Saat makna, nilai, dan harapan tersebut menghilang dari kehidupan seseorang, maka orang tersebut berhenti hidup (Jourard dalam Pianalto, 2004).
Keinginan yang paling fundamental pada manusia adalah keinginan untuk memperoleh makna bagi keberadaannya Jika keinginan kepada makna tidak terpenuhi maka individu akan merasa tidak bermakna (meaningless) dan putus asa bahkan memikirkan tentang bunuh diri. Mereka merasakan kehampaan dengan tidak melihat adanya suatu tujuan dalam hidup mereka. Perasaan tidak bermakna dan kekosongan ini dapat membuat orang menjadi depresi (Frankl, 1980) dan depresi berkaitan erat dengan tindakan bunuh diri (Barlow & Durand, 2005).
Pilihan mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri digunakan sebagai respon terhadap krisis dan dilakukan oleh orang dari berbagai golongan dengan jenis masalah sosial, mental, emosional, dan fisikal yang berbeda. Orang dengan latar belakang umur, jenis kelamin, agama, kelas sosial dan ekonomi yang berbeda dapat saja melakukan bunuh diri (Hoff, 1989).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1999 di Amerika Serikat, bunuh diri merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga untuk remaja (NAHIC, 2006) dan berada di urutan ke-4 penyebab kematian utama pada dewasa (Kochaneck dalam Corr, Nabe, & Corr 2003), dengan persentase pria 4 hingga 5 kali lebih banyak melakukan bunuh diri (commit suicide) dibandingkan wanita (APA, 2003), namun wanita 3 kali lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri (suicide attempt) dibandingkan pria (NAHIC, 2006).
Sebuah surat kabar kota Medan menuliskan bahwa :
"tahun ini fenomena bunuh diri memang meningkat dibandingkan tahun-tahun lalu. Penyebabnya multifaktor, tidak hanya masalah ekonomi. Selain itu, pelakunya bukan hanya dari kalangan bawah saja, tapi juga dari kalangan orang-orang yang sebenarnya selalu bertindak memakai logika berpikir. Pelaku bunuh diri telah merambah pada lintas profesi".(Hasibuan, 2007)
Contoh yang terjadi di kota Medan pada tahun 2007 ini adalah kasus Iptu Oloan Hutasoit seorang perwira Poltabes Medan yang tewas bunuh diri akibat stres melihat bekas pacarnya telah memiliki suami, dan kasus ibu rumah tangga yang mencoba bunuh diri saat mengetahui anaknya tidak lulus masuk Polri. ("Saatnya", 2007).
Orang yang pernah melakukan percobaan bunuh diri, beresiko mengulangi lagi tindakannya di masa depan, sehingga orang yang pernah mencoba bunuh diri harus diperhatikan secara serius sebagai orang yang berpotensi melakukan tindakan bunuh diri (Bachman, 2004).
Bunuh diri merupakan suatu tindakan individu yang menyebabkan kematiannya, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengatakan bahwa tindakan tersebut adalah bunuh diri, orang yang melakukan tindakan tersebut haruslah memiliki intensi untuk mengakhiri hidupnya. Intensi pelaku bunuh diri bermacam-macam, ada yang mencoba untuk balas dendam, mendapatkan perhatian, mengakhiri penderitaan, atau mungkin kombinasi dari satu atau lebih intensi tersebut (Corr, 2003).
Rollin (dalam Corr, 2003) memandang bunuh diri sebagai bentuk legitimasi dari "pembebasan diri". Posisi ini berdasarkan pernyataan bahwa otonomi dan self determination individu haruslah memasukkan hak untuk mengakhiri hidup. Hal ini menyatakan bahwa bunuh diri berada pada lahan otonomi individu. (Corr, 2003).
Orang yang suicidal biasanya bergulat pada dua keinginan yang tidak sejalan, keinginan untuk hidup dan pada saat yang sama adalah keinginan untuk mati. Secara simultan ia mempertimbangkan keuntungan diantara dua hal tersebut (Hoff, 1989).
Ada berbagai penyebab atau alasan yang menggerakkan sesorang untuk melakukan aksi bunuh diri. Motif yang melatarbelakangi antara lain : depresi, ketiadaan harapan, malu, bersalah, kehilangan (Maris, berman, Silverman,2000), takut, cemas, kesepian, tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis, perpisahan, hancurnya suatu hubungan (Shneidman, 1996), kehilangan orang yang dicintai melalui kematian atau perceraian, penyakit serius, masalah pekerjaan (Comer dalam Gardner, 2002) , kegagalan, dan penolakan dari orang yang dicintai (Conwell et al.,2002). Dalam bunuh diri, motif bisa berupa interpersonal seperti untuk mengakibatkan perubahan dalam kehidupan orang lain, ataupun motif intrapsychic seperti lari dari kondisi yang menyakitkan atau menghentikan rasa sakit (Farberow dalam Maris, Berman, Silverman, 2000).
Perasaan dan pemikiran bunuh diri muncul jika ada ancaman terhadap rasa aman yang diakibatkan oleh hilangnya hubungan yang dianggap penting ataupun lukanya harga diri yang diakibatkan oleh ketidakmampuan, pekerjaan dan kesehatan. Individu akan dibanjiri oleh perasaan kesendirian dan tak berharga yang mana ia tidak mampu untuk memperbaikinya. Jika hal ini terus berlanjut maka individu akan merasa terasing, tidak berdaya dan putus asa dan bunuh diri menawarkan kelegaan dari derita yang dialaminya. Individu yang suicidal merasa bahwa dirinyalah penyebab penderitannya, sehingga ia melakukan bunuh diri sebagai hukuman atas kesalahannya (Gill, 1982).
Seperti yang tergambar berikut ini :
"Aduh, sakitnya hidup ini. Awak lagi berjuang karena ini.. Kok berat kali la kena sama awak. Penyakit ginjal kan masih muda..gitu. trus kalo saya penyakitan apa lagi yang bisa saya perbuat. Lebih bagus la begini saya..begitu dulu.untuk apa saya hidup kalo gak ada nilai tambahnya kan.Kalo jadi beban sama anak-anak kan lebih bagus awak.". (komunikasi personal, 1 April, 2008 ).
"Udah.ya mungkin..karena begitu beratnya beban itu. Ya namanya orang yang biasanya kerja gak kerja. Biasanya bisa makan gak makan. Di situ..la mungkin kan. kerja..ya kerja kan gak lagi. Hanya..ngabsen aja. Awak coba gitu..rupanya gak tahanjuga. Baleek lagi. Balek la saya jam-jam satu gitu kan. Udah itu. Udah gak tahan. Di rumah la saya 3 hari kan. 3 hari di rumah. Siang-siang. Hari-hari jumat..udah mulai..apa..gak..gak ada lagi pengharapan ini. Ya..kuminum la. Yang..gak terduga." (komunikasi personal, 1 April, 2008)
"Ngomong-ngomong pun..kadang..kan udah dibilang orang disana "kelen mo ngomong ato mo kerja di kantor ini" kan begitu. malu la. Malu. Ya paling ke bagian lain cuma setengah jam. Trus sisanya kan.Jiap hari aku datang kesitu kan..malu. ngapain kau disini? Gak ada kerja rupanya sana? Kan gitu..Kalo sehat awak.tempat orang awak gak sehat kan malu. Bawa penyakit aja pun ke sini kau. Dalam hati nya pasti demikian. ya walaupun gak dibilang kan ke 'gitu nya..apa orang. Kan malu kita ama.. kalo gak ada kerja. " (komunikasi personal, 17 April 2008)
Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa orang yang ingin mengakhiri hidupnya merasa malu, kehilangan, merasa menjadi beban bagi orang lain dan kekhawatiran mengecewakan teman atau keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Nock (2006) tentang apa yang dirasakan oleh orang yang bunuh diri. Selain itu ia juga menambahkan tentang adanya perasaan marah, malu, bersalah tentang sesuatu, mencoba untuk keluar dari perasaan penolakan, sakit, atau kehilangan. Yang lainnya merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, dan dijadikan korban.
Terdapat tiga elemen dalam merefleksikan kekompleksitasan dari perilaku bunuh diri yaitu halplessness fditakdirkan sakit atau tidak beruntungj, helplessness (tak berdaya), dan hopelessness (putus asa) (Corr, 2003). Horney (dalam Hock, 1981) mengemukakan 4 faktor utama dalam perilaku bunuh diri, yaitu perasaan hopelessness, penderitaan, alienation, dan pencarian kejayaan. Menurut Horney, bunuh diri merupakan usaha individu untuk mengatasi perasaan ketidakcukupan ini. Hal ini dikuatkan oleh Shneidman (1996) yang mengatakan bahwa bunuh diri muncul dari rasa sakit psikologis yang tak tertahankan. Rasa sakit psikologis ini muncul dari frustasi akan kebutuhan psikologis tertentu yang berbeda-beda pada setiap orang, individu tersebut ingin lari dari rasa sakit itu dan ia memiliki persepsi yang sempit bahwa kematian adalah solusi satu-satunya dari masalah yang dialaminya. Orang yang bunuh diri merasakan bahwa tidak ada lagi yang dapat dilakukannya selain melakukan bunuh diri (hopelessness) dan tidak ada yang dapt menolongnya mengatasi rasa sakit yang dideritanya (helplessness).
Berbagai emosi dan perasaan orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya terlihat pula dari pembicaraan dengan seorang narapidana wanita berusia 27 tahun yang pernah mencoba untuk bunuh diri di dalam penjara dengan meloncat ke dalam sumur :
"kayak udah putus harapan, udah buat kecewa, buat main keluarga gara-gara ini (masuk penjara). Rasanya udah gak ada gunanya lagi hidup. kalau dulu kan ada anak, sekarang gak bisa ketemu. Gak ada yang mau bawa kesini, pemikiranku kan, orang yang lebih jahat dari aku aja masih ada keluarganya yang man ngunjungin.. aku jadi mikir mungkin kalo aku mati aja enak kali ya.. selesai semuanya.. " (Komunikasi Personal, 2 November 2007)
Orang yang bunuh diri merasakan penderitaan yang tak tertahankan dalam hidupnya (Schneidman, 1996). Perasaan tidak menyenangkan ini timbul dari kesulitan-kesulitan yang dialami oleh seseorang dan reaksinya atas kesulitan tersebut. Penderitaan dapat timbul dari rasa sakit (pain), bersalah (guilt), dan maut (death). Setiap orang pasti pernah mengalami penderitaan dalam hidupnya, dan siapapun yang merasa belum pernah mengalaminya pasti suatu saat akan mengalaminyajuga karena penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia (bastaman, 1996). Namun selama manusia masih bernafas ia pasti percaya akan makna. Bahkan orang yang melakukan bunuh diri percaya akan makna, jika tidak dalam melanjutkan hidup, maka dalam kematian. Jika dia tidak lagi mempercayai suatu makna sama sekali maka ia tidak dapat menggerakkan jarinya untuk melakukan bunuh diri (Frankl, 1966). Nilai dan makna hidup dapat dikaitkan dengan keinginan untuk mati (Camus dalam Cutter, 2004).
Nilai hidup memiliki dua bentuk, yaitu paralel dan piramidal. Individu yang berorientasi nilai paralel memiliki beberapa nilai yang bermakna dalam hidupnya sedangkan individu dengan orientasi nilai piramidal hanya memiliki satu nilai yang berharga dalam hidup dan satu tujuan untuk dikejar, sehingga pada saat makna tersebut hilang maka ia kehilangan pijakannya (Kratotchvil dalam Frankl,....). Keputusasaan dapat terjadi saat nilai utama dari sistem nilai piramidal tersebut hancur. Frankl (...) menggolongkan orang tersebut dalam kelompok orang yang putus asa (people in despair). Selain itu, ia juga menyebutkan tentang kelompok lain yang belum menemukan makna dan tersangkut dalam pencariannya akan makna. Kelompok ini disebut dengan "orang yang berada dalam keraguan" (people in doubt). Pada saat pencarian makna berakhir pada frustasi eksistensial individu akan mengalami ketidakbermaknaan (meaninglessness) dan kehampaan (emptiness) seperti yang dirasakan pada orang-orang yang mencoba bunuh diri diatas.
Nilai hidup seorang individu ditentukan melalui proses evaluasi diri yang dilakukan oleh individu tersebut untuk memutuskan layak atau tidak ia meneruskan eksistensi dirinya. Makna dari kehidupan dapat diperoleh dari self assessment ataupun penilaian dari orang lain. Manusia menetapkan nilai dari eksistensinya, dan saat nilai-nilai tersebut muncul, hidup menjadi berharga untuk diteruskan. Jika manusia tidak dapat menemukan suatu nilai dalam kehidupannya, maka ia akan merasa bahwa hidup tidak memiliki arti dan akan berakibat pada pilihan untuk mengakhiri hidupnya. Untuk dapat memahami mengapa korban memilih kematian, nilai dari hidup dan makna kematian bagi dirinya haruslah diketahui. Kurangnya dukungan eksternal juga akan meningkatkan nilai negatif yang dapat memfasilitasi keinginan untuk mati (Cutter, 2004).
Keinginan untuk mati yang diakibatkan oleh perasaan meaningless ini dapat diubah menjadi sesuatu yang bermakna jika pelaku mendapatkan dukungan eksternal untuk mengambil sikap positif terhadap keadaan dirinya dan memperoleh pandangan baru terhadap diri sendiri dan situasi hidupnya, kemudian menentukan sikap baru untuk mengembangkan keyakinan dirinya (Lukas dalam Bastaman, 1996). Seperti yang dialami oleh tahanan wanita tadi :
"iya, udah siap itu dimarahi sama teman-teman yang nolong. ‘Bodoh kali kau, kalau keluar dari sini kan masih bisa ketemu anakmu'. Selain itu kakak rohani juga udah nasihatin. Lagian setelah dijalanin, hidup disini gak terlalu buruk kok, biasa aja. Nanti kalau keluar dari sini mau jadi orang berguna. Untuk keluarga, untuk anak. Jadi ada harapan lagi." (Komunikasi Personal, 2 November 2007)
Hal ini disebabkan manusia adalah makhluk istimewa yang mampu menentukan perkembangan dirinya dan bertanggungjawab menentukan yang terbaik bagi dirinya (self determining being). Manusia memiliki hasrat untuk menemukan makna dalam hidupnya. Makna hidup terdapat dalam kehidupan itu sendiri dan setiap orang (seharusnya) mampu menemukannya, walaupun dalam kenyataannya tidak selalu mudah ditemukan karena Makna hidup biasanya tersirat dan tersembunyi dalam kehidupan (Bastaman, 2007).
Apabila makna tersebut berhasil ditemukan, manusia akan mampu mengubah hidupnya dari hidup tanpa makna menjadi hidup bermakna dan terhindar dari rasa keputusasaan. Selain itu orang yang hidupnya bermakna akan menjalani kehidupan dengan semangat, mempunyai tujuan hidup yang jelas, merasakan kemajuan yang telah dicapainya, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, menyadari bahwa sesungguhnya makna hidup dapat ditemukan dalam berbagai keadaan, tabah dalam menghadapi suatu peristiwa tragis, benar-benar menghargai hidup dan kehidupan serta iguimampu mencintai dan menerima cinta kasih dari orang lain (Bastaman, 1996).
Kebahagiaan merupakan akibat sampingan dari keberhasilan seseorang memenuhi keinginannya untuk hidup bermakna (the will to meaning). Mereka yang berhasil memenuhinya akan mengalami hidup yang bermakna (meaningful life), dan ganjaran dari hidup yang bermakna adalah kebahagiaan (happiness). Di lain pihak, mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi ini akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak bermakna (Frankl, ...)
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa individu yang pernah mencoba untuk bunuh diri merasakan suatu kehampaan dalam hidupnya. Perasaan tidak bermakna ini akan menimbulkan berbagai emosi-emosi seperti kesendirian, tidak diinginkan, putus asa, depresi, hopelessness, dan emosi negatif lainnya. Apabila hal tersebut dibiarkan berlarut-larut, individu akan mengalami suatu penghayatan hidup yang tak bermakna. Namun manusia merupakan self determining being, makhluk yang mampu memilih dan menentukan jalan hidupnya. Manusia merupakan makhluk istimewa yang memiliki potensi untuk mencari dan menemukan makna hidup yang penting bagi dirinya. Akan tetapi, sumber dimana kita bisa memperoleh makna merupakan sumber yang sama untuk mengarahkan kita pada perasaan tidak bermakna. Seseorang mungkin saja menemukan atau tidak menemukan makna dalam hidupnya, ataupun menemukan makna hidup namun kehilangannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran makna hidup pada individu yang pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, peneliti mengidentifikasikan pertanyaan yang ingin dijawab dalam pertanyaan ini, yaitu : bagaimana gambaran makna hidup pada pelaku percobaan bunuh diri.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran makna hidup dari pelaku percobaan bunuh diri.

D Manfaat penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi klinis yang berhubungan dengan penanganan kasus bunuh diri.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk penelitian lanjutan yang berhubungan dengan makna hidup dan kasus bunuh diri.
2. Manfaat Praktis
a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi pembaca untuk mengetahui makna hidup seseorang yang pernah mencoba bunuh diri.
b. Sebagai bahan referensi atau informasi tambahan bagi para praktisi psikologi dalam memahami dan membantu klien, serta penggunaan logoterapi pada klien yang pernah berusaha untuk bunuh diri.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman pada suicide survivor (keluarga, kerabat dekat dari orang yang berhasil melakukan bunuh diri) mengenai makna hidup pelaku sebelum bunuh diri sehingga dapat mengurangi kebingungan, kemarahan, ataupun rasa bersalah yang dialami.
d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran bagi pembaca yang pernah mencoba bunuh diri atau memiliki pemikiran untuk bunuh diri tentang makna hidup, ketidakbermaknaan, dan merubah penghayatan untuk hidup penuh makna

E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, identifikasi masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai makna hidup, bunuh diri dan kaitan diantara keduanya.
Bab III : Metodologi Penelitian
Pada bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang berisikan tentang metode penelitian kualitatif, partisipan, metode pengumpulan data, prosedur penelitian, dan metode analisis data.
Bab IV : Analisa Data
Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisa data dan interpretasi data yang diperoleh. Yang terdiri dari data diri partisipan, observasi, latar belakang, data wawancara dan rangkuman yang akan dibahas per partisipan. Serta analisis antar partisipan.
Bab V : Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai makna hidup pada pelaku percobaan bunuh diri. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan. Diskusi berisikan data-data atau temuan yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.
SKRIPSI PERILAKU SEKS REMAJA (STUDY KASUS KEHIDUPAN REMAJA PELAKU FREE SEKS DI SURABAYA)

SKRIPSI PERILAKU SEKS REMAJA (STUDY KASUS KEHIDUPAN REMAJA PELAKU FREE SEKS DI SURABAYA)

(KODE : PSIKOLOG-0009) : SKRIPSI PERILAKU SEKS REMAJA (STUDY KASUS KEHIDUPAN REMAJA PELAKU FREE SEKS DI SURABAYA)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Masa depan bangsa dan negara adalah terletak dipundak dan tanggung jawab remaja. Jika mereka berkembang dengan peningkatan kualitas yang semakin membaik, besar harapan kebaikan dan kebahagiaan kehidupan bangsa dapat diharapkan, namun jika terjadi sebaliknya maka keadaan bangsa jauh dari yang diharapkan, bahkan bisa menjadi kehancuran suatu bangsa.
Masyarakat yang berkembang begitu pesat baik dalam perubahan materi maupun pergeseran nilai-nilai kehidupan ternyata dampaknya bukan saja terhadap orang tua dan dewasa tetapi juga terhadap kaum remaja. Jika orang tua perhatian dan waktunya sangat tersita oleh hasrat keunggulan materi yang merupakan salah satu simbol status sosial, maka pemenuhan tanggung jawabnya terhadap anak-anak remaja menjadi terbengkalai. Keadaan inilah yang merupakan salah satu penyebab mengapa remaja kadangkala berkembang menjadi nakal dan menyusahkan orang tua (dewasa) lainnya dalam masyarakat.
Remaja Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang sangat cepat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah norma-norma, nilai-nilai dan gaya hidup mereka. Remaja yang dahulu terjaga secara kuat oleh sistem keluarga, adat budaya serta nilai-nilai tradisional yang ada, telah mengalami pengikisan yang disebabkan oleh pengaruh globalisasi dan modernisasi.
Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat akibat dari proses modernisasi dan globalisasi telah mengakibatkan perubahan pola kehidupan, etika dan nilai-nilai moral khususnya hubungan perilaku seksual. Berbagai efek samping dari media elektronik seperti film, VCD dan lain-lain atau media cetak seperti buku-buku, majalah dan bacaan lainnya, amat mudah diamati dan bahkan dilihat atau dibaca oleh remaja dan anak. Berbagai obat-obatan, ganja, minuman keras, pornografi beredar demikian mudah dikalangan remaja, bahkan amat mudah pula dilihat dan diketahui oleh anak yang menginjak dewasa.
Dalam masa ini, para remaja juga mengalami beberapa perubahan salah satunya pertumbuhan fisik-biologisnya, kemasakan hormon dalam tubuhnya sangat mempengaruhi kemasakan seksual dengan timbulnya dorongan-dorongan seksual yang semakin hidup dan bergelora. Minat terhadap jenis kelamin lain mulai berkembang dalam arti khusus, sedang pengenalan terhadap diri sendiri ternyata masih sangat kurang.
Rangsangan dari berbagai perubahan dan kemajuan modernisasi serta adanya budaya permisif tidak mungkin dapat dihindari oleh remaja, akibatnya dalam diri mereka mulai timbul perasaan seksual yaitu mulai dapat merasakan atau menerima rangsangan seksual dari lawan jenisnya. Mereka mulai berfantasi tentang seks, timbul rangsangan untuk beronani dan masturbasi serta keinginan untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, sehingga timbul gejala-gejala yang mengakibatkan pergaulan seks bebas, aborsi, hamil diluar nikah serta kasus-kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh remaja.
Kelompok Studi Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (KSKR FK Unair) setahun lalu melakukan penelitian mengenai masalah remaja. Pada praktiknya, tim peneliti merupakan gabungan dosen dari beberapa bidang ilmu yaitu Bagian Biomedik, Obstetri Ginekologi, Andrologi, Mikrobiologi, Ilmu Kesehatan Masyarakat Unair, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Pusat Penelitian Kesehatan Reproduksi, Antropologi Kesehatan FISIP Unair, dan MIPA Unipa.
Mengambil sampel 1.098 remaja usia 18-21 tahun di lima perguruan tinggi di Surabaya, penelitian deskriptif ini dilakukan pada pertengahan tahun 2005-2006. Untuk hasil yang lebih akurat, penelitian ini dibedakan antara mahasiswa (533 orang) dan mahasiswi (565 orang). Sedangkan, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi kesehatan reproduksi pada kelompok risiko rendah (selain pekerja seks komersial), termasuk perilaku seksual pra nikah. "Kami menghubungi para pimpinan lima universitas itu untuk memberi daftar nama mahasiswa yang akan kami teliti atau responden, " ujar dr Sri Musta'ina MKes, dosen Bagian Biomedik FK Unair yang bertindak selaku peneliti juga, Kamis (19/4). Kemudian, mereka diberi penjelasan tentang prosedur dan teknik penelitian. Seminar yang materinya terkait dengan penelitian juga digelar bagi calon responden. Siapa yang mau untuk ikut serta dalam penelitian harus membubuhkan tanda tangan terlebih dulu. "Seminar tersebut kami maksud untuk membuka dan menambah wawasan mereka tentang bahaya penyakit seksual menular. Sebab pengetahuan mereka mengenai hal tersebut masih rendah," imbuh Sri Musta'ina yang lebih akrab dipanggil Ina ini.
Berikutnya, definisi hubungan seksual yang mereka teliti adalah hubungan yang menimbulkan penetrasi antara dua pihak yang melakukannya. Selain aktivitas seksual lainnya seperti ciuman di pipi, bibir, atau dada, berpelukan dan petting (menggesekkan alat kelamin), oral seks, dan anal seks. Hasilnya, sangat mengejutkan. Dari seluruh responden laki-laki, 16,3 persen (87 orang dari 533) sudah pernah melakukan hubungan seks atau intercourse. Mahasiswa yang melakukan oral seks 76 orang (14,3 persen), anal seks 27 orang (5,1 persen). Sedangkan yang memilih petting untuk memuaskan nafsu seksual mereka sebanyak 117 orang (22 persen). Sementara, 37 dari 565 perempuan (6,5 persen) sudah pernah melakukan hubungan seks. Oral seks 31 orang (5,5 persen) dan anal seks 14 orang (2,5 persen). Petting juga diminati, sebanyak 55 orang (9,7 persen) melakukannya. Separo dari mereka juga sering melakukan ciuman di bibir yang memicu terjadinya hubungan seksual, laki-laki 263 orang (49,3 persen) dan perempuan 243 orang (43 persen). Cara melakukan pun bervariasi, terutama pada mahasiswa. "Seluruh mahasiswi melakukan hubungan atau aktivitas seksualnya bersama lawan jenis yang tercatat sebagai kekasihnya sendiri," terang dr Dyan Pramesti, dosen Bagian Biomedik FK Unair yang bertindak selaku peneliti yang ditemui di Ruang Dosen Biomedik FK Unair. Tetapi, kalau mahasiswa, ada yang melakukan dengan sesama jenis (enam orang) atau biseksual (enam orang) yaitu bersama lawan jenis dan sekaligus sesama jenis. Ada 11 orang yang berhubungan seksual dengan PSK, serta dengan sesama jenis (male homosexual) tujuh orang. Penelitian ini juga mengungkapkan mulai usia berapa mereka melakukan hubungan seksual. Ternyata, pada mahasiswa, 35,6 persen atau 31 dari 87 orang melakukannya ketika masih duduk di bangku SMP yaitu usia 13-15 tahun. Lebih sedikit di atasnya, 47,1 persen (41 orang) di usia 16-18 tahun. "Mereka ini rentan terkena infeksi penyakit kelamin. Sayangnya, masih ada saja mahasiswa yang tidak peduli per an penting penggunaan kondom ketika berhubungan seksual, " tegas Dyan. Melalui kuisioner yang disebarkan, ada saja mahasiswa yang tidak tahu mengenai hal ini, yaitu 81 orang (15,4 persen).
Bukan hanya free seks pranikah yang terjadi akibat pergaulan bebas remaja sekarang, kehamilan di luar nikahpun meningkat, konsukuensinya janin-janin tak berdosa banyak digugurkan. Untuk menggugurkan janin ini cukup diberi obat penggugur kandungan, di Surabaya peredaran obat penggugur kandungan ini ternyata harganya sangat murah, berikut sumber berita dari harian Surya yang mengungkap fenomena tentang ini : SURABAYA-Obat yang digunakan untuk menggugurkan kandungan oleh Dina Andini (20) yang kos di Jalan Wonokitri Indah, Surabaya ternyata dibeli dari Ahmad (28). Selama ini Ahmad Simo Gunung Surabaya dikenal sebagai penjual obat. Hal ini diungkapkan Dina di hadapan penyidik Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Surabaya Selatan. Atas pengakuan ini, akhirnya polisi juga menetapkan Ahmad sebagai tersangka kedua kasus ini.
Kasat Reskrim Polres Surabaya Selatan AKP Yimmi Kurniawan mengatakan, untuk mendapatkan obat ini Dina meminta bantuan pria berinisial F, temannya. "Kepada F dia mengaku sedang hamil dan minta dicarikan orang yang bisa memberinya obat penggugur kandungan. F akhirnya mencari dan didapatlah nama Ahmad," terang Yimmi di kantornya, Selasa (3/3). Oleh F, Dina lalu dipertemukan dengan Ahmad. Sedangkan F memilih pergi saat keduanya bertransaksi. Ahmad lalu memberi lima kapsul warna merah. Harga per kapsul Rp 100.000. "Kapsul ini sebenarnya untuk memperlancar datang bulan dan tidak boleh dikonsumsi orang hamil, tapi oleh Ahmad malah diberikan kepada Dina," kata alumni terbaik Akpol 2002 ini. Lima butir kapsul ini lalu dikonsumsi Dina, sehari sekali satu kapsul. Dan di hari kelima, kapsul sudah bereaksi. Janin tujuh bulan yang dikandung Dina akhirnya gugur di kamar mandi kosnya. Kepada penyidik, Ahmad mengaku baru sekali menjual kapsul itu ke orang hamil. Namun hal ini tidak membuat polisi puas. Polisi terus menyelidiki dugaan peredaran kapsul ini untuk praktik aborsi lainnya (surya/uus).
Tidak hanya sebatas itu, remaja sekarang juga mulai menggemari Dunia Malam, hal ini disebabkan oleh pergaulan remaja yang permisif, tidak sedikit remaja Surabaya yang menghabiskan waktu malamnya hanya untuk nongkrong bersama teman-temannya, bahkan ada yang sambil dugem yang akhirnya menjerumus dalam pergaulan bebas, hal ini dapat kita ketahui dari fenomena sebagai berikut : "...bukannya ngelakuin hal bermanfaat, para penghuni malam itu malah terjerumus dalam pergaulan bebas (48,9 persen). Sebanyak 27 persen malah harus rela nilai resiko nilai akedemik jeblok dan rentan sakit (13,5 persen). "Saban keluar malam, kakak kelasku pasti dugem," jelas Rudi (nama samaran) dari SMAN 16. Akibat kebiasaannya itu, Rudi melihat kakak kelasnya mulai terbawa arus pergaulan bebas. "Ada gosip beredar kalau saban selesai dugem, dia selalu ngajak cewek untuk nginap di rumahnya," imbuhnya. Andy Nugraha Priangga juga punya teman sehobi. "Karena udah berusia 17 tahun, temanku merasa udah cukup umur untuk menelusuri dunia malam," kata Andy di UHT. Sayang, teman Andy nggak cukup bekal mental. Akibatnya, jerat negatif kehidupan malam mulai menggerogoti teman Andy. Nggak sekadar kongkow useless, tapi teman Andy tersebut mulai akrab dengan minuman keras. "Aku sih nggak tahu pasti. Tapi banyak kabar beredar kalau dia mulai hobi menegak minuman keras, " ungkapnya.
Sebuah penelitian tugas akhir (skripsi) yang dilakukan oleh seorang mahasiswi UNAIR bernama Rahmawati Agusniar Ditasani dengan judul : "POTRET PERILAKU SEKSUAL REMAJA PEREMPUAN DI PERKOTAAN (Studi Deskriptif Mengenai Pola Perilaku Seksual Remaja Perempuan di Kelurahan Kalirungkut Kecamatan Rungkut Surabaya)". Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan teknik penarikan sampel secara startified karena berdasarkan atas kategori usia (13-21 tahun) pendidikan dan status ekonomi remaja pererempuan itu sendiri.
Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa pola perilaku seksual yang kerap dilakukan remaja perempuan adalah perilaku seksual secara berpasangan. Pasangan dalam hal perilaku seksual adalah pacar, sebagai wujud kasih sayang. Kontrol internal remaja perempuan dalam mengatsi dorongan seksualnya tergolong minim, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hirschi. Kemudian, peran peer group terhadap perilaku seksual remaja perempuan adalah sebagai media sosialisasi dalam upaya memperkaya informasi mengenai seks. Peer Group di sini merupakan tipe normatif yang membentuk nilai pada individu, termasuk mengenai seks.
Penelitian yang hampir sama untuk tugas terakhir juga dilakukan oleh Kurniasari Dian Mentari, dengan judul : "FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU SEKSUAL DI KALANGAN MAHASISWA : Studi Pada Mahasiswa Universitas Airlagga Surabaya". Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Universitas Airlangga yang sedang berpacaran. Besar sampelnya adalah 88 responden yang berasal dari 11 fakultas di Unair. Pengambilan data dilakukan dengan cara pengisian kuesioner oleh responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden (35,2%) tingkat keintimannya tinggi, yaitu minimal telah melakukan meraba daerah sensitif hingga hubungan seksual. Hasil uji Goodman-kruskal tau menunjukkan bahwa ada pengaruh sikap mengenai nilai seksualitas, tingkat pengetahuan, peran keluarga dan tingkat keintiman sebelumnya terhadap tingkat keintiman saat ini. Selain itu, ada pengaruh sikap mengenai sekualitas, tingkat pengetahuan, tingkat keintiman sebelumnya dan terjadinya hubungan seksual sebelumnya terhadap terjadinya hubungan seksual saat ini.
Pada 2008, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) merilis hasil survey yang menyebut bahwa 63 persen remaja usia SMP dan SMA pada 33 provinsi di Indonesia pernah melakukan hubungan seks, bahwa 21 persen di antaranya sudah melakukan aborsi. Angka ini naik dari survey yang sama pada 2006 dimana jumlahnya berkisar 45-44 persen. Menurut Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi BKKBN, M Masri Muadz mengatakan persentasi remaja yang pernah berhubungan seks pra nikah tersebut naik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Berdasar data penelitian pada 2005-2006 di kota-kota besar mulai Jabotabek, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, Ujungpandang, ditemukan sekitar 47 hingga 54 persen remaja mengaku melakukan hubungan seks sebelum nikah. "Perilaku seks bebas remaja saat ini sudah cukup parah. Peranan agama dan keluarga sangat penting mengantisipasi perilaku remaja tersebut," katanya. Ada beberapa faktor yang menurut Masri telah mendorong mereka melakukan hubungan seks pra nikah, di antaranya pengaruh liberalisme dan pergaulan bebas, kemudian lingkungan dan keluarga, serta pengaruh perkembangan media massa.
DKT Indonesia juga mengadakan penelitian yang diadakan di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan. Dengan mengambil sampel remaja berumur 15 tahun sampai 24 tahun, perbandingan pria dan wanita seimbang. 50% dari responden sexually active, 50% tidak sexually aktif. Penelitian ini dengan tujuan agar upaya merubah perilaku seksual remaja tepat sasaran. Hasil penelitian ini memiliki beberapa poin yang sangat menarik.
1. Remaja di Indonesia ingin sekali tahu banyak informasi soal sex, termasuk pencegahan penyakit seksual dll. Tapi sampai sekarang mereka belum menerima. Hanya 5% responden yang mendapat pengetahuan dari orang tahu. Mereka banyak menerima informasi dari teman dan dari blue film.
2. Mereka ingin tahu bagaimana mencegah HIV AIDS, cara menggunakan alat KB, dan bagaimana sebenarnya proses kehamilan terjadi.
Satu lagi yang menarik dari hasil penelitian diatas, 40% diantara responden mengaku pertama kali berhubungan sex di rumah. Sisanya ada yang menjawab di kos dan hotel. Bagaimana keadaan ini bisa terjadi tentu karena kurangnya pengawasan dan perhatian orang tua terhadap sang anak. Karena meski 80% dari remaja ini sadar bahwa perbuatannya tidak sesuai dengan norma atau nilai agama yang dianut dan tak setuju dengan seks pranikah, mereka tetap menjalankan itu. Ada juga hasil menarik khusus untuk remaja Surabaya. Karena di kota ini lingkungannya lebih konservatif, maka 20% dari remaja tersebut mengaku melakukan hubungan seksual pertama kali dengan PSK. Disini terlihat bahwa keingintahuan remaja yang besar soal seks tidak mendapat saluran. Hanya 4% dari orang tua yang mau menjelaskan soal seks kepada anak. Sisanya mendapat informasi dari teman atau blue film. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat blue film sama sekali tidak mengajarkan seks yang benar. Selain itu keingintahuan remaja tentang penyakit menular seksual atau proses kehamilan tidak akan bisa terjawab. AIDS relatif lebih diketahui karena media sudah banyak yang memberikan iklan layanan soal AIDS. PMS lain seperti Gonorhaea, Herpes atau penyakit seksual lainnya malah kurang dipahami.
Fenomena diatas adalah sedikit gambaran dari pergaulan remaja kita yang terjadi sekarang. Maka pendidikan seks dalam hal ini sangat diperlukan, baik formal maupun informal, untuk meredam dampak negatif budaya Barat ini. Ironisnya, pendidikan seks secara formal, hampir tidak dikenal di Indonesia, bahkan dalam institusi pendidikan sekalipun. Akibatnya, pengetahuan tentang seks di dapat dari sumber-sumber lain, baik dari teman, media cetak maupun dari internet, yang sangat mengesampingkan nilai-nilai luhur di balik hubungan seks itu sendiri.
Kondisi ini sangat memprihatinkan, apalagi jika melihat kenyataan bahwa pergaulan remaja sekarang sangatlah bebas, dimana free seks juga sering terjadi pada remaja-remaja yang sedang menjalin masa pacaran, mereka berdalih apa yang mereka lakukan sebagai wujud kasih sayang terhadap sang pacar. Hal ini sangat membuat resah orang tua khususnya dan masyarakat pada umumnya, namun kebanyakan para orang tua dan masyarakat hanya menyalahkan pelaku seks bebas tanpa melihat latar belakang terjadinya perilaku seks bebas tersebut.
Kenyataan ini harus disikapi secara serius baik oleh institusi-institusi negara melalui kebijakan-kebijakan yang mengarah pada pemfilteran budaya-budaya yang masuk dengan bebasnya ke negara kita, serta perlu adanya aturan-aturan yang mengatur media-media yang beredar di masyarakat, baik media elektronik maupun media cetak, dimana peminat media ini bukan hanya orang-orang dewasa saja tetapi anak-anak dan remaja juga sangat tertarik, karena rasa keingintahuan pada masa-masa ini sangat besar terhadap hal-hal baru.
Khususnya peran keluarga, dimana orang tua sebagai pendidik pertama membentuk sikap dan kepribadian seorang anak dalam keluarga dan sosialnya kelak, disini orang tua memiliki andil atau peran yang sangat besar untuk mengarahkan dan memberikan pendidikan baik formal maupun agama sebagai penguat kepada anak-anak mereka, agar kelak terbentuk suatu sikap dan kepribadian yang handal dalam menghadapi tantangan, serta agar anak-anak mereka dapat tumbuh berkembang secara baik memasuki beberapa fase perkembangan sesuai dengan tugas perkembangannya, khususnya fase remaja yang penuh dengan gejolak dan tantangan baik dari dalam diri remaja sendiri maupun dari luar.
Remaja sebetulnya tidak mempunyai tempat yang jelas. Mereka sudah tidak termasuk golongan anak-anak, tetapi belum juga dapat diterima secara penuh untuk masuk ke golongan orang dewasa. Remaja ada diantara anak-anak dan dewasa. Oleh karena itu, remaja sering kali dikenal dengan fase "mencari jati diri" atau fase "topan badai". Dalam masa inilah, remaja perlu adanya perhatian khusus dari orang tua, yang bisa memahami ciri-ciri dan tugas-tugas perkembangan remaja, tanpa menyalahkan remaja yang sudah terlanjur menjadi korban dari budaya permisif ini, tetapi mengarahkan mereka sesuai dengan tugas perkembangan remaja.

B. Fokus penelitian dan Rumusan Masalah
Fokus dalam penelitian ini akan mengarah pada "Bagaimana terjadinya perilaku seks bebas pada remaja", dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kehidupan subyek?
2. Bagaimanakah perilaku seks bebas pada remaja saat ini?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal apa atau yang berhubungan dengan perilaku seks bebas pada remaja, namun secara spesifik tujuan ini adalah :
1. Menjelaskan tentang keadaan kehidupan subyek.
2. Untuk mendeskripsikan perilaku seks bebas pada remaja sekarang.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah manfaat secara teoritis dan secara praktis.
1. Manfaat secara teoritis
Diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan, dan sumbangan teoritis terhadap pengembangan psikologi, khususnya pada psikologi remaja, psikologi keluarga dan psikologi sosial, khususnya yang menyangkut peran utama keluarga dalam memberikan pendidikan dan mengamati perkembangan remaja.
2. Manfaat secara praktis
a. Bagi penelitian adalah dapat mengetahui dan mengungkap apa yang menjadi latar belakang dari terjadinya perilaku seks bebas pada remaja dan dampak-dampak yang ditimbulkan akibat terjadinya perilaku seks bebas pada remaja, sehingga dapat memberikan pemahaman mengenai keterkaitan antara konsep teoritis dalam psikologi dengan realita yang terjadi di masyarakat.
b. Bagi orang tua, semoga hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang positif. Berhubungan dengan upaya untuk memahami permasalahan-permasalahan yang sangat kompleks yang sedang dihadapi oleh remaja sejalan dengan masa perkembangannya, khususnya masalah seks yang harus dikenalkan sejak dini agar remaja tidak terjerumus dengan mencari informasi tentang seks dengan cara yang salah.
c. Bagi seluruh lapisan masyarakat, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat membuka mata dan kesadaran kita untuk bersama-sama membina dan mengarahkan serta menjaga perkembangan kepribadian para remaja, agar dapat membentuk pribadi tunas-tunas penerus bangsa yang baik dan tangguh.
d. Bagi para peneliti yang akan melakukan penelitian dalam bidang yang sama, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan konstribusi positif untuk penelitian yang akan datang.

E. Definisi Konsep
Definisi konsep merupakan batasan pada suatu variabel penelitian sehingga variabel tersebut dapat diamati dan diteliti. Definisi konsep penelitian ini adalah :
1. Perilaku seks adalah segala tingkah laku yang muncul karena adanya dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual dengan lawan jenisnya. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, yang diawali dengan berpegangan tangan, saling memegang, saling merangkul, setelah itu masuk ke ciuman. Awalnya ciuman kering (dry kissing), setelah itu melangkah ke ciuman basah (wet kissing), menciumi leher dan daerah dada (necking), setelah itu saling menggesekkan alat kelamin (petting), mencoba menggesekkan penis ke bibir vagina dan seterusnya hingga intercourse penuh.
2. Perilaku seks bebas adalah segala tingkah laku yang muncul karena adanya dorongan seksual yang diarahkan untuk mendapatkan kenikmatan atau kepuasan seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis dengan bebas, berganti-ganti pasangan dalam hubungan seks, hidup bersama diluar nikah tanpa dilandasi norma agama dan sosial serta tindakan hubungan seks yang terang-terangan tanpa malu.
3. Masa remaja adalah periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa. Batasan usia pada penelitian ini adalah antara usia 12-23 tahun.

F. Sistematika Pembahasan
BAB I : Pendahuluan dalam Bab I ini dijelaskan pokok-pokok yang melatar belakangi penelitian. Kemudian dari latar belakang tersebut difokuskan apa yang dijadikan masalah inti sehingga dapat diketahui rumusan masalah yang ada, dari rumusan masalah kemudian ditentukan apa tujuan dan manfaat dari penelitian yang akan dilakukan. Dalam bab I ini juga dijelaskan tentang maksud definisi konsep yang masih berhubungan dengan judul dan pembahasan yang ada.
BAB II : Pada bab II ini dijelaskan tentang kerangka teoritik yang berisi kajian pustaka dan kajian teoritis, sedangkan kerangka konseptual sebagai acuan dalam pembahasan masalah.
BAB III : Metode penelitian berisi tentang pendekatan dan jenis penelitian yang diambil, penentuan lokasi penelitian yang akan dijadikan tujuan penelitian, bagaimana jenis dan sumber data di dapat, serta bagaimana tehnik-tehnik pengumpulan data, tehnik analisis data dan pemeriksaan keabsahan data yang dilakukan.
BAB IV : Dalam bab ini dijelaskan penyajian data dengan mendeskripsikan bagaimana observasi penelitian serta hasil dari penelitian tersebut. Analisis data menjelaskan tentang penemuan dan menghubungkan hasil temuan tersebut dengan teori yang ada.
BAB V : Bab penutup sebagai akhir dari seluruh bab mencakup kesimpulan serta saran untuk para pembaca dan kebaikan kedepan dari skripsi yang telah ditulis.
SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA BODY DISSATISFACTION DAN PERILAKU DIET PADA REMAJA PUTRI (RELATIONSHIP BETWEEN BODY DISSATISFACTION AND DIETING BEHAVIORS IN ADOLESCENT GIRLS)

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA BODY DISSATISFACTION DAN PERILAKU DIET PADA REMAJA PUTRI (RELATIONSHIP BETWEEN BODY DISSATISFACTION AND DIETING BEHAVIORS IN ADOLESCENT GIRLS)

(KODE : PSIKOLOG-0008) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA BODY DISSATISFACTION DAN PERILAKU DIET PADA REMAJA PUTRI (RELATIONSHIP BETWEEN BODY DISSATISFACTION AND DIETING BEHAVIORS IN ADOLESCENT GIRLS)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Saat ini, pada umumnya masyarakat masih memiliki standar bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang langsing. Standar tersebut dimiliki oleh wanita maupun pria. Menurut Atwater dan Duffy (1999), cover majalah, iklan-iklan televisi, dan film berperan penting dalam pembentukan standar kecantikan dalam suatu masyarakat. Wanita yang umumnya dianggap cantik adalah wanita dengan kulit putih, badan langsing, dan berambut panjang. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya iklan-iklan yang menampilkan model dengan karakteristik fisik tersebut. Salah satu iklan produk susu pelangsing tubuh bahkan memperlihatkan seorang pria yang terlihat enggan saat dimintai saran oleh pacarnya yang sedang memilih-milih baju karena tubuh sang pacar tidak langsing. Pria tersebut malah asyik memasangkan tubuh model wanita yang lebih langsing di majalah dengan kepala pacarnya. Dalam satu iklan ini saja sudah terlihat bahwa wanita dengan tubuh yang kurus cenderung lebih diminati oleh lawan jenisnya.
Iklan-iklan produk kecantikan yang lainpun, seperti shampo atau produk pemutih kulit juga hampir selalu menggunakan model yang berbadan langsing walaupun sebenarnya produk mereka bukanlah produk pelangsing. Dari iklan-iklan dan media massa yang terbit di Indonesia dapat dilihat bahwa model iklan dengan tubuh yang langsing lebih menjual dan diminati oleh pasar karena bentuk tubuh langsing dianggap cantik dan ideal.
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa media-media informasi cenderung mendefinisikan kecantikan dengan sangat sempit bahwa untuk tampil cantik, wanita paling tidak harus bertubuh langsing. Adanya anggapan semacam itu tentu dapat mendorong wanita untuk tampil langsing karena pada dasarnya wanita selalu ingin tampil cantik dan menarik. Selain untuk kepercayaan diri, tubuh langsing bagi seorang wanita dapat dianggap sebagai salah satu daya tarik untuk memikat lawan jenisnya.
Anggapan mengenai bentuk tubuh menarik yang diciptakan oleh media tersebut dapat mempengaruhi terbentuknya body ideal pada remaja. Body ideal ini bukan selalu berat badan ideal yang disarankan untuk menjaga kesehatan (Body Mass Index atau BMI). Seperti yang telah disebutkan di atas, media massa di Indonesia saat ini cukup banyak membombardir masyarakat dengan pesan bahwa salah satu syarat bagi seorang wanita untuk dianggap cantik adalah memiliki tubuh yang langsing. Dengan demikian, memiliki tubuh yang langsing dapat menjadi body ideal pada remaja, khususnya remaja putri.
Secara teoritis, wanita yang menginternalisasi bentuk tubuh ideal menurut masyarakat ke dalam dirinya akan lebih mudah untuk memiliki body dissatisfaction apabila standar ideal ini tidak terpenuhi (McCarthy, 1990; dalam Bearman, Martinez, & Stice, 2006). Body dissatisfaction sendiri merupakan perasaan tidak puas yang bersifat subjektif yang dimiliki seseorang terhadap penampilan fisiknya (Littleton & Ollendick, 2003; dalam Skemp-Arlt, Rees, Mikat, & Seebach, 2006). Istilah body dissatisfaction berada di bawah istilah citra tubuh. Thompson et al. (1998) mengemukakan empat komponen dalam citra tubuh yang dapat mengalami gangguan yaitu komponen afektif, kognitif, perilaku, maupun perseptual. Gangguan citra tubuh yang terjadi pada komponen perseptual akan mengakibatkan distorsi citra tubuh, sedangkan gangguan pada komponen lain akan mengakibatkan body dissatisfaction (Monteath & McCabe, 1997; Thompson et al., 1998).
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebagian remaja putri ternyata memiliki body dissatisfaction (Thompson, Heinberg, Altabe, & Tantleff-Dunn, 1998; dalam Stice & Whitenton, 2002). Hal tersebut dikarenakan pada saat mulai memasuki masa remaja, seorang wanita akan mengalami peningkatan jaringan lemak yang membuat tubuhnya menjadi semakin jauh dari badan kurus yang ideal (Graber, Brooks-Gunn, Paikoff, & Warren, 1994; Tobin-Richards, Boxer, Kavrell, & Petersen, 1984; dalam Stice & Whitenton, 2002). Persepsi mengenai tubuh yang negatif ini dapat mengakibatkan adanya usaha-usaha obsesif terhadap kontrol berat badan pada remaja (Davison & Birch, 2001; Schreiber et al., 1996; Vereecken & Maes, 2000; dalam Papalia, 2007).
Salah satu usaha yang sering dilakukan oleh masyarakat umum untuk menurunkan berat badan adalah diet. Dalam jurnal Eating in the Adult World : The Rise of Dieting in Childhood and Adolescence (Hill, Oliver, & Rogers, 1992), diet digambarkan sebagai suatu usaha pengurangan nutrisi yang masuk ke dalam tubuh yang memungkinkan seseorang untuk merampingkan bagian-bagian yang tidak diinginkan pada tubuh mereka, membuat mereka tampak lebih langsing, lebih diinginkan, dan lebih sukses. Diet merupakan salah satu cara yang paling populer untuk menurunkan berat badan karena diet dapat dilakukan oleh hampir semua orang, tidak mahal, diterima secara sosial, dan tidak menimbulkan efek samping yang langsung terasa.
Diet mencakup pola-pola perilaku yang bervariasi, dari pemilihan makanan yang baik untuk kesehatan sampai pembatasan yang sangat ketat akan konsumsi kalori (Kim & Lennon, 2006). Perilaku tidak sehat yang dapat diasosiasikan dengan diet misalnya puasa, tidak makan dengan sengaja, penggunaan pil-pil diet, penahan nafsu makan atau laxative, muntah dengan disengaja, dan binge eating (French & Jeffery, 1994; USDHHS et al., 1989, Serdulla, Collins, et al., 1993; dalam French, Perry, Leon, & Fulkerson, 1995).
Saat ini perilaku diet sudah mulai tampak pada kelompok usia remaja awal. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan terhadap anak- anak usia tujuh sampai 12 tahun (mean 9.7 tahun), 41% anak mengaku bahwa mereka pernah mencoba untuk menurunkan berat badan (Maloney, McGuire, Daniels, & Specker, 1989; dalam Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Penelitian lain menyebutkan bahwa dua per tiga dari remaja putri melakukan diet dan sebagian besar dari mereka memiliki berat badan normal (French, Perry, Leon, & Fulkerson, 1995).
Diet yang dilakukan oleh remaja bukanlah hal yang dapat disepelekan. Saat remaja adalah saat ketika tubuh seseorang sedang berkembang pesat dan sudah seharusnya mendapatkan komponen nutrisi penting yang dibutuhkan untuk berkembang (Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Kebiasaan diet pada remaja dapat membatasi masukan nutrisi yang mereka butuhkan agar tubuh dapat tumbuh. Selain itu, diet pada remaja juga dapat menjadi sebuah titik awal berkembangnya gangguan pola makan (Polivy & Herman, 1985; dalam Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Beberapa penelitian lain juga mengatakan bahwa seorang remaja yang berdiet kemudian menghentikan dietnya dapat menjadi overeater pada tahun-tahun berikutnya (Hill, Rogers, & Blundell, 1989; dalam Hill, Oliver, & Rogers, 1992). Hasil-hasil penelitian di atas menjadi sebuah bukti bahwa perilaku diet dapat membawa dampak yang buruk bagi kesehatan remaja yang melakukannya.
Mengutip Mental Health Weekly Digest edisi Agustus 2006, sebuah penelitian menunjukkan bahwa remaja putri yang merasa tidak puas dengan tubuh mereka memiliki kecenderungan untuk melakukan binge eating, kurang melakukan kegiatan fisik, kurang mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran, mengkonsumsi pil diet, dan memuntahkan dengan paksa makanan yang telah mereka makan. Penulis sendiri mencoba membuat survey kecil pada remaja putri kelas 1 di sebuah SMA di Jakarta Selatan untuk mengetahui bagaimana fenomena diet yang terjadi pada mereka. Ternyata, 7 dari 10 remaja putri yang diwawancarai mengaku pernah melakukan diet. Diet yang mereka lakukan bukanlah diet yang berada dalam pengawasan ahli gizi. Mereka mengaku mengetahui cara diet tersebut dari teman maupun dari tips-tips diet yang mereka dapatkan dari media massa. Beberapa cara menurunkan berat badan yang mereka lakukan antara lain adalah melewatkan makan malam, hanya mengonsumsi apel dan sayur dalam sehari, melewatkan sahur saat puasa dan hanya berbuka puasa dengan apel, menggunakan obat diet dari dokter kecantikan, menggunakan obat penyerap lemak, dan juga tidak mengkonsumsi karbohidrat.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan ahli gizi Tuti Soenardi pada tanggal 24 Mei 2007, saat ini tidak banyak remaja yang mendatangi dokter atau ahli gizi untuk berkonsultasi mengenai cara menurunkan berat badan yang sehat. Mereka cenderung mencoba-coba cara diet populer yang belum tentu baik untuk kesehatan agar berat badan mereka lebih cepat turun. Namun demikian, cara diet populer yang mereka terapkan tersebut belum tentu mengandung asupan nutrisi seimbang yang sangat penting bagi kesehatan mereka. Penelitian juga menunjukkan bahwa alasan untuk berdiet mempengaruhi perilaku diet seseorang. Sebagai contoh, orang-orang yang berdiet semata-mata bertujuan untuk memperbaiki penampilan akan cenderung untuk menempuh cara-cara yang tidak sehat untuk menurunkan berat badan mereka. Sebaliknya, orang yang melakukan diet untuk alasan kesehatan akan melakukan cara yang sehat pula, misalnya mengikuti pola makan yang dianjurkan (Kim & Lennon, 2006).
Seperti yang telah disebutkan di atas, masa puber adalah masa ketika remaja putri menjadi sangat rentan dengan body dissatisfaction. Fuhrmann dan Foresman (1990) menyebutkan bahwa remaja awal pada rentang usia 9 sampai 14 tahun cenderung memiliki kekhawatiran yang akut mengenai bentuk tubuh mereka. Mereka juga cenderung sensitif terhadap kritik dari orang lain maupun dari diri mereka sendiri. Pada usia-usia ini opini subjektif mengenai diri mereka sendiri juga masih sering berubah. Sebagai contoh, apabila sekarang seorang remaja merasa dirinya normal, bisa saja beberapa waktu kemudian ia akan merasa gemuk. Pada masa pertengahan dan akhir remaja (usia 15 sampai 18 tahun), walaupun mereka masih peduli dengan tubuh mereka, opini mengenai diri mereka sendiri sudah lebih stabil dan perasaan self-conscious pada diri mereka berkurang (Fuhrman & Foresman, 1990).
Walaupun banyak penelitian yang dilakukan mendukung adanya hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet, beberapa penelitian mendapatkan hasil yang berbeda. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kim dan Lennon (2006) menunjukkan bahwa sebagian besar wanita memiliki kecenderungan untuk memiliki citra tubuh negatif walaupun mereka tidak memiliki penyimpangan dalam pola makan (Kim & Lennon, 2006). Sebagai tambahan, dalam Ogden (2002) dikatakan bahwa orang-orang yang mempunyai keinginan untuk mengubah bentuk tubuhnya tidak selalu melakukan diet. Beberapa orang memilih untuk mengenakan baju-baju yang membuat mereka terlihat kurus atau melakukan jalan pintas melalui operasi. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ternyata seseorang yang memiliki rasa tidak puas terhadap bentuk tubuhnya belum tentu melakukan diet. Walaupun pada saat ini jalan terpopuler untuk menurunkan berat badan adalah diet, orang yang tidak puas dengan tubuhnya dapat memilih cara-cara lain untuk memperbaiki penampilannya.
Adanya perbedaan hasil penelitian seperti di atas membuat penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet pada remaja putri. Penelitian semacam ini juga penting untuk dilakukan karena masalah diet pada remaja bukanlah hal yang dapat dipandang sebelah mata mengingat perilaku diet dapat menjadi sebuah awal dari terbentuknya kelainan gangguan pola makan seperti bulimia nervosa atau anorexia nervosa.

1.2. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis masalah yang ingin diangkat oleh penulis adalah "apakah terdapat hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet remaja putri?". Secara khusus, peneliti ingin melihat : apakah terdapat hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet sehat dan tidak sehat pada remaja putri usia 11-18 tahun.

1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada-tidaknya hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet remaja putri. Secara khusus, penelitian ini juga ingin melihat apakah terdapat perbedaan pada hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet sehat dan tidak sehat pada remaja putri usia 11-18 tahun.

1.4. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan pembaca tentang topik body dissatisfaction, khususnya hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet pada remaja putri. Selain itu, hasil dari penelitian yang ada nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran orang tua atau significant others akan body dissatisfaction yang dialami remaja putri apabila hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet, khususnya yang mengarah pada perilaku tidak sehat.

1.5. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut :
1. Pendahuluan, membahas tentang latar belakang permasalahan, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
2. Tinjauan Pustaka, menguraikan konsep-konsep dan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengenai perilaku diet, citra tubuh, body dissatisfaction, karakteristik remaja, serta dinamika hubungan antara body dissatisfaction dan perilaku diet pada remaja putri
3. Masalah, Hipotesis, dan Metode Penelitian, akan menguraikan permasalahan dan hipotesis penelitian, subjek penelitian, metode pengambilan sampel, alat ukur yang dipakai, prosedur penelitian, serta metode analisis data yang digunakan dalam penelitian.
4. Analisis Hasil dan Interpretasi Data, akan menjabarkan pengolahan atas data yang telah terkumpul di lapangan, mengevaluasi apakah data yang ada menjawab pertanyaan penelitian, serta membuktikan apakah data yang ada mendukung atau tidak mendukung hipotesis.
5. Kesimpulan, Diskusi, dan Saran, merupakan bagian yang memaparkan kesimpulan dari penelitian, diskusi mengenai hasil penelitian secara lebih mendalam, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah penelitian dan saran-saran metodologis untuk kepentingan penelitian selanjutnya yang mengangkat topik yang sama.
SKRIPSI KETIDAKPUASAN TERHADAP CITRA TUBUH PADA HOMOSEKSUAL LAJANG

SKRIPSI KETIDAKPUASAN TERHADAP CITRA TUBUH PADA HOMOSEKSUAL LAJANG

(KODE PSIKOLOG-0007) : SKRIPSI KETIDAKPUASAN TERHADAP CITRA TUBUH PADA HOMOSEKSUAL LAJANG




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar belakang
Keindahan ataupun penampilan ragawi yang menarik, merupakan salah satu aspek penting dalam membuat kesan pertama dan juga bisa membuat orang lain tertarik pada diri kita. Sekalipun penilaian seperti ini tentulah sangat dangkal dan terkesan tidak melihat 'isi' ataupun hal-hal lain di luar penampilan, tetapi tidak bisa disangkal bahwa orang memang cenderung melihat penampilan fisik ataupun tampilan 'luar' saja.
Menurut pendapat peneliti, kita akan lebih merasa senang jika melihat orang yang memiliki penampilan 'enak dipandang' dan bersih daripada orang yang 'dekil', kotor atau tidak terawat. Salah satu aspek penampilan fisik yang penting dan merupakan hal yang paling 'terlihat' adalah tubuh. Tubuh yang langsing, ramping, kencang bagi wanita ataupun tubuh pria yang berotot, tinggi besar, 'keras' bagi pria merupakan idaman semua orang. Jika dibandingkan dengan tubuh yang 'kerempeng', kurus kering ataupun tubuh gemuk yang buruk, 'malas' dan terlihat tidak lincah, orang lebih ingin memiliki tubuh ideal yang langsing dan kencang, yang menandakan kesehatan dan juga membuat seseorang lebih terlihat percaya diri dan menarik.
Penampilan fisik juga merupakan salah satu aspek yang penting untuk menarik perhatian lawan jenis. Dari segi fisiologis, penelitian pada perilaku hewan yang dilakukan oleh ahli zoologi mengemukakan bahwa binatang jantan maupun betina mengalami perubahan fisiologis yang terjadi tanpa disadari ketika mereka berusaha menarik perhatian satu sama lain. Perilaku yang sama juga terjadi pada manusia, karena terjadi secara tidak disadari dan tidak bisa dijelaskan, perilaku-perilaku ini kemungkinan besar merupakan bawaan (Pease, XXXX).
Menurut Dr.Albert Scheilen dalam artikel 'Quasi-courtship behaviour in psychoterapy', ketika individu memasuki ruangan yang penuh dengan lawan jenis, terjadi beberapa perubahan fisik. Misalnya saja individu akan berjalan lebih tegap, wajah dan mata akan terlihat lebih terang, posisi tubuh tidak akan terlihat malas, secara otomatis perut akan ditahan dan individu akan terlihat lebih muda. Tempat ideal untuk mengobservasi hal ini ialah misalnya saja seperti di pantai dimana wanita dan pria yang berjalan mendekati satu sama lain, jika dilihat dengan cermat maka ketika mereka berdekatan akan terjadi perubahan-perubahan fisik tersebut, dan ketika mereka sudah tidak saling berpandangan perubahan ini akan menghilang dan kembali ke posisi semula. (Pease, XXXX)
Media massa turut memiliki peran dalam 'mengkomunikasikan' bentuk apa yang menarik dan apa yang tidak secara fisik kepada masyarakat. Jika kita lihat televisi, internet ataupun membaca majalah, kita akan melihat bahwa model-model ataupun bintang film yang memiliki tubuh yang dianggap 'ideal' pada masyarakat masa kini, yaitu bagi wanita adalah tubuh yang cenderung kurus dan ramping, sedangkan bagi pria yaitu tubuh yang berotot dengan perut six pack dan otot yang keras. Ketika karakter atau tokoh di televisi memiliki tubuh yang gemuk, mereka cenderung dilihat sebagai obyek humor atau digambarkan sebagai individu yang tidak menarik atau tidak menggairahkan. Individu yang gemuk pada iklan televisi dianggap sebagai imej 'sebelum' pada iklan produk diet atau target dari lelucon ataupun humor. (Thompson, Heinberg, Altabe & Tantleff-Duff, 1999)
Iklan yang memperlihatkan model yang bertubuh gemuk model yang bertubuh tidak 'ideal' tersebut, seperti misalnya iklan suatu produk vitamin yang memperlihatkan dua orang wanita yang berusaha merebut perhatian seorang pria. Wanita pertama bertubuh gemuk sedangkan yang kedua bertubuh langsing, pada akhir cerita diceritakan bahwa wanita pertama harus 'kalah' dan melihat pria tersebut lebih memilih untuk berdansa dengan wanita yang tubuhnya langsing. Menurut pengamatan peneliti, banyak iklan produk untuk wanita seperti misalnya pemutih kulit, pencuci rambut, produk diet, ataupun produk-produk lain dipromosikan dengan model yang memiliki rambut lurus, kulit putih, langsing dan hal ini secara tidak langsung memicu pendapat bahwa tubuh yang benar, baik dan harus dicapai agar seseorang merasa sukses, bahagia dan lengkap adalah wanita yang bertubuh langsing, putih dan berambut lurus. Jika bentuk tubuh yang 'ideal' ini tidak dicapai, pastinya ada sesuatu yang 'salah' pada individu tersebut, media secara tidak langsung menciptakan imej 'ideal' yang sulit atau bahkan tidak mungkin untuk dicapai semua orang.
Peneliti berpikir apa yang terjadi jika tidak semua orang 'lahir' dengan gen yang tidak memungkinkan ia memiliki tubuh ideal tersebut? Kita akan melihat diri sendiri dan cermin serta membandingkan diri dengan orang lain yang menurut kita 'sempurna', Efek dari tekanan budaya dan masyarakat tersebut juga bisa muncul lewat perilaku yang 'langsung' oleh lingkungan sekitar seperti ejekan dari orang lain dan teman, bisa semakin membuat individu merasa gagal dan semakin terpuruk. Citra tubuh atau Body image adalah persepsi seseorang secara subyektif mengenai penampilan fisiknya sendiri memegang peranan yang penting, karena individu cenderung tidak bisa melihat penampilan fisiknya sendiri secara obyektif. Ketidakpuasan citra tubuh ini tidak hanya terjadi pada orang yang memiliki fisik yang buruk, namun hal ini juga bisa terjadi pada orang yang sebetulnya secara obyektif memiliki tubuh yang ideal. Citra tubuh bisa menurun dan memburuk pada orang yang memandang tubuhnya terlalu kurus, gendut, atau tidak 'memuaskan' meskipun secara obyektif jika dilihat oleh orang lain tubuhnya termasuk ideal, sedangkan di sisi lain, orang yang memiliki citra tubuh yang baik dan tingkat kepuasan pada tubuhnya sendiri tinggi meskipun secara obyektif tubuhnya tidak 'ideal', cenderung lebih sehat secara psikologis dan bisa menerima dirinya apa adanya. (Thompson, 1996)
Individu yang memiliki imej tubuh ideal berbeda dari bentuk tubuh mereka yang sebenarnya, misalnya saja pria menginginkan untuk bisa lebih tinggi, memiliki bahu yang lebar ataupun bentuk tubuh yang lebih berotot, sedangkan wanita ingin bisa lebih tinggi ataupun lebih kurus. Pada saat yang bersamaan terdapat perbedaan signifikan, dimana pria dan wanita mempersepsikan bentuk tubuh ideal yang mereka pikir disukai oleh masing-masing jenis kelamin. Misalnya saja wanita berpikir bahwa pria menginginkan wanita yang kurus dan memiliki payudara yang besar, walaupun pada kenyataannya wanita yang betul-betul diinginkan oleh pria ialah bertubuh biasa-biasa saja dan memiliki payudara ukuran sedang (Atwater & Duffy, 1999). Walaupun demikian, terdapat diskrepansi yang kecil pada persepsi pria terhadap tubuh pria yang ideal yang diinginkan oleh wanita dan figur pria yang diinginkan oleh wanita. Sebagai hasilnya, pria lebih bisa menilai berat badan yang sebenarnya, yang ideal, dan ukuran yang mereka pikir diinginkan oleh wanita dibandingkan wanita. (Atwater & Duffy, 1999)
Masalah kekhawatiran pada penampilan fisik ini biasanya merupakan masalah yang dialami oleh sebagian besar wanita, dimana penulis amati bahwa sebagian dari majalah wanita tersebut misalnya saja Cosmopolitan, Harper's Bazaar, ataupun Femina biasanya memuat artikel diet dan olahraga serta menampilkan model-model wanita yang kurus dimana hal ini bisa terus meningkatkan rasa ketidakpuasan wanita terhadap tubuhnya sendiri. Tekanan dari budaya yang dipengaruhi media mengharuskan wanita untuk tampil 'menarik' dan merawat tubuhnya sendiri merupakan hal yang semula dianggap dominan merupakan masalah bagi kaum hawa. Sudah tidak aneh lagi jika kita mengetahui bahwa mayoritas wanita mengalami masalah eating disorder seperti anorexia nervosa, bulimia ataupun binge eating. Perilaku yang tentunya amat destruktif dan bisa mengganggu fungsi individu baik secara psikis maupun fisik ini merupakan salah satu bentuk perwujudan untuk mencapai apa yang ditekankan oleh budaya merupakan hal yang 'ideal' ataupun 'baik'. Terlebih bagi wanita-wanita yang harus sering muncul di muka umum, seperti misalnya seperti mendiang Lady Diana, Lindsay Lohan, Nicole Richie dan Victoria Beckham.
Penekanan pada pentingnya penampilan fisik ini tidak bisa begitu saja diabaikan dan dianggap sebagai masalah bagi wanita saja, pada kaum pria, telah ditemukan bahwa merekapun dalam derajat tertentu memiliki tingkat ketidakpuasan pada tubuhnya sendiri. Walaupun dari segi angka ataupun persen penderita eating disorder masih didominasi oleh wanita, pria ternyata juga mengalami hal ini. Salah satu aspek penting yang ternyata mempengaruhi ketidakpuasan citra tubuh adalah orientasi seks, dimana pria homoseks ataupun disebut juga gay ternyata memiliki ketidakpuasan citra tubuh yang lebih tinggi dan juga kecenderungan mengalami eating disorder dibandingkan pria heteroseks (http://www.msoe.edu/st_life/couns/news/v2_6.shtml). Hal ini tentunya menarik untuk diteliti, karena melihat dari gaya hidup pria gay ataupun heteroseks yang berbeda, tentunya ada faktor-faktor tertentu yang menyebabkan terjadinya perbedaan pada ketidakpuasan citra tubuh ini.
Orientasi seks homoseksual yang sejak dulu sudah menjadi hal yang kontroversial dan menimbulkan debat yang berkepanjangan tidak bisa dihindari menimbulkan stigma di masyarakat bahwa mereka adalah orang-orang yang berdosa, memiliki kelainan jiwa, menjijikan ataupun 'menyimpang' dari norma agama ataupun masyarakat yang sudah mantap. Heteroseksualitas dianggap merupakan salah satu orientasi seks yang paling benar dan 'pasti' serta dillindungi oleh institusi resmi seperti pernikahan dan lebih disetujui daripada orientasi homoseksual. (Greene & Croom, 2000)
Penyebab mengapa seseorang bisa menjadi homoseks sampai sekarang masih diperdebatkan, belum ada studi yang dapat membuktikan secara pasti penyebab mengapa seseorang menjadi homoseks. Faktor biologis seperti misalnya genetik, gangguan prenatal, ataupun kelenjar endokrin dan juga faktor psikologis seperti misalnya pola asuh, lingkungan budaya ataupun peran gender tidak memiliki bukti yang konsisten dan kuat untuk menentukan secara pasti penyebab homoseksualitas. (Hyde, 1990)
Pria gay yang harus 'hidup' dengan stigma masyarakat yang menolak mereka tentunya bisa mengalami perasaan depresi, putus asa dan juga kepercayaan diri yang rendah. Hubungan dengan pria gay lain baik sebagai kekasih ataupun teman tentunya menimbulkan kelegaan karena mereka bisa sama-sama 'membagi' perasaan dan mereka sama-sama mengalami hal yang biasanya dialami oleh kaum minoritas dan terpinggirkan ini, seperti misalnya ejekan, hinaan dan juga perasaan ditolak oleh masyarakat, bahkan oleh keluarga mereka sendiri (Paul, Weinrich, Gonsiorek & Hotvedt, 1982)
Salah satu cara bagi pria gay untuk bisa bertemu dengan gay lain, adalah melalui komunitas homoseks seperti misalnya bar khusus pria gay. Dengan bertemu 'sesama' ini, mereka bisa mengidentifikasikan diri dan juga memantapkan identitas mereka yang sebenarnya tanpa perasaan takut atau ditolak. Bagi sebagian pria gay, perasaan 'feels like home' ini melegakan Selain itu, pria gay yang memiliki jaringan pertemanan yang luas dan ikut serta dalam komunitas khusus gay ini biasanya cenderung memiliki kesehatan psikologis yang lebih baik daripada pria gay yang tidak memiliki jaringan pertemanan dengan komunitas gay (Komblum & Julian, 1989)
Walaupun demikian, ketika bertemu dengan sesama pria homoseks, pria gay akan cenderung 'melihat' perilaku ataupun 'norma' yang ditetapkan dalam dunia komunitas gay. Subkultur gay cenderung menekankan pada penampilan fisik dan tubuh yang indah, berotot, terjaga dan enak dilihat terutama pada pria gay yang usianya masih muda dan berstatus lajang. Jika hal ini dikaitkan dengan perbedaan seksualitas antara pria dan wanita, dimana pria pada awalnya lebih terfokus pada hubungan seks dan baru ketika bertambah dewasa mulai terfokus pada komponen emosi pada suatu hubungan, sedangkan wanita pada awalnya lebih terfokus pada komponen emosi suatu hubungan, baru ia bisa menikmati hubungan seks (Atwater & Duffy, 1999)
Bisa diambil kesimpulan bahwa baik pria heteroseks maupun homoseks cenderung untuk terfokus pada aspek hubungan badan dan hubungan emosi baru berkembang kemudian, sedangkan wanita cenderung untuk terfokus pada hubungan emosi dan kenikmatan dalam hubungan badan baru bisa berkembang kemudian Dalam subkultur yang menekankan 'norma' bahwa penampilan fisik yang menarik tersebut akan lebih 'diterima' dan akan lebih mudah untuk bisa menarik perhatian pasangan, tidaklah heran jika tingkat ketidakpuasan citra tubuh pria gay semakin meninggi, cenderung bisa mengarah pada eating disorder. (http://www.vanderbilt.edu/AnsS/pscyhology/health_psychology/sexual_orientation.htm)
Penelitian mengenai citra tubuh pada pria masih merupakan hal yang jarang dibahas, khususnya untuk pria gay. Keberadaan mereka terutama di Indonesia masih terbatas untuk kalangan tertentu saja dan merupakan hal yang 'tabu' untuk dibahas. Selain itu, Thompson (1996) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tingkat ketidakpuasan pada tubuh atau masalah citra tubuh lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan orang Asia atau Afrika. Oleh karena itu, skripsi studi kualitatif ini akan melihat dan meneliti gambaran ketidakpuasan citra tubuh pada subyek pria gay dari Indonesia, dan juga pria kulit putih oleh subyek pria gay dari Spanyol. Hal ini dikarenakan budaya memegang peranan penting untuk menekankan apa yang dianggap 'ideal' oleh masyarakat dari budaya tertentu yang bisa saja berbeda dari budaya lain. Konstruk citra tubuh yang menekankan konteks budaya merupakan suatu hal yang penting, dimana konsep ini sudah ada sejak individu kecil, dan apa yang dianggap 'ideal' oleh suatu budaya tertentu akan terus dibawa oleh individu sampai ia besar.

1.2 Masalah penelitian
1. Apakah terdapat ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay?
2. Apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay sudah terlihat dari masa remaja?
3. Mengapa terjadi ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay?
4. Faktor-faktor apa yang menyebabkan ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay?
5. Bagaimana cara pria gay untuk bisa memiliki ataupun mempertahankan citra tubuh yang baik?
6. Apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay merupakan fenomena yang universal ataupun hanya pada budaya tertentu saja?

1.3 Tujuan penelitian
1. Mengetahui dan mendapatkan gambaran mengenai ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay.
2. Mengetahui dan mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay.
3. Mengetahui apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay sudah terlihat dari masa remaja.
4. Mengetahui dan mendapatkan gambaran tentang cara pria gay untuk bisa memiliki ataupun mempertahankan citra tubuh yang baik.
5. Mengetahui dan mendapatkan gambaran mengenai apakah ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay merupakan fenomena yang universal ataupun hanya pada budaya tertentu saja
6. Individu gay bisa memiliki citra tubuh yang realistis dan mampu untuk menerima dirinya apa adanya.

1.4 Manfaat penelitian
1. Mendapatkan gambaran deskriptif secara mendalam mengenai ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay.
2. Menambahkan informasi yang aktual dan akurat serta memberikan kontribusi ilmiah secara umum kepada masyarakat dan secara khusus kepada komunitas gay mengenai topik citra tubuh.
3. Menambah khasanah ikhtisar ilmu pengetahuan terutama mengenai orientasi homoseksual dan komunitasnya, yang merupakan salah satu topik yang masih jarang dibahas dan diteliti di Indonesia.
4. Penelitian ini bisa menjadi dasar atau fondasi bagi penelitian-penelitian lain yang ingin menyingkap lebih mendalam mengenai homoseksual ataupun komunitas gay.
5. Memperoleh gambaran mengenai perbedaan ataupun persamaan dan juga perbandingan ketidakpuasan citra tubuh antar budaya atau multi kultur antara budaya Indonesia dan budaya barat oleh Spanyol.
6. Pada terapi atau intervensi psikologis, pengetahuan mengenai ketidakpuasan citra tubuh pada pria gay bisa membantu psikolog atau terapis untuk bisa menangani dan memahami klien mereka dengan lebih baik.
7. Tujuan utama untuk riset multikultural mengenai citra tubuh ialah untuk menentukan insiden ketidakpuasan citra tubuh dan pola makan pada kelompok etnis yang berbeda (Pertanyaan yang timbul ialah mengenai apakah citra tubuh dan eating disorder memiliki etiologi dan juga pola simptom yang berbeda pada kelompok yang berbeda). Selain itu juga untuk memahami dan mendapatkan pengertian mengenai citra tubuh yang ideal pada budaya yang berbeda.
HUBUNGAN KESEPIAN DAN AGRESI PADA REMAJA YANG SEDANG BERPACARAN

HUBUNGAN KESEPIAN DAN AGRESI PADA REMAJA YANG SEDANG BERPACARAN

(Kode PSIKOLOG-0006) : SKRIPSI HUBUNGAN KESEPIAN DAN AGRESI PADA REMAJA YANG SEDANG BERPACARAN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Fenomena kekerasan sangat dekat dengan manusia. Keadaan tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti banyaknya kasus penculikan, pemukulan, pembunuhan, perampokan, dan lain sebagainya. FBI's Crime Clock (Karmen, 2001) menyatakan bahwa kasus kekerasan (violent crime) terjadi di Dunia hampir 21 detik sekali. Bentuk kekerasan yang paling sering dilakukan adalah dengan penyerangan tanpa senjata, namun ada pula beberapa kasus yang menggunakan alat seperti pistol ataupun pisau (Miller, Perlman, dan Brehm, 2007).
Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia. Data menunjukkan bahwa pada umumnya korban kekerasan adalah perempuan dan anak-anak (http://kajianmuslimah.wordpress.com/), dan kekerasan tersebut terus meningkat dari tahun ke tahun. Dua tahun terakhir ini, terdapat peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 100 persen (Kompas, 28 Maret 2009). Tahun 2007, Komnas Perempuan menerima sekitar 26.000 laporan kasus kekerasan terhadap perempuan. Jumlah itu naik lebih dari 100 persen pada tahun 2008 menjadi sekitar 56.000 kasus. Namun menurut berbagai pihak, angka tersebut hanyalah peristiwa kekerasan yang berhasil dilaporkan oleh korban.
Salah satu kasus adalah mengenai kekerasan dalam berpacaran. Menurut http://keluarga.infogue.com/, segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik atau psikologis dalam hubungan pacaran adalah kekerasan dalam berpacaran. Menurut The National Clearinghouse on Family Violence, kekerasan dalam berpacaran (dating violence) adalah:
"..any intentional sexual, physical, or psychological attack on one partner by the other in a dating relationship "
(The National Clearinghouse on Family Violence, 2005:1)
Penelitian dari LKTS dan KP2K mengenai kekerasan dalam pacaran di lima kota besar yakni Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang dan Jogja menghasilkan angka lebih dari 957 kasus kekerasan dalam berpacaran di tahun 2007. Di Jakarta sendiri pada bulan Januari sampai Maret 2008, ada lebih dari 200 laporan kasus kekerasan dalam pacaran. Padahal, Dating Violence Resource Center menyatakan bahwa hanya 10% dari korban melaporkan kasusnya ke pihak otoritas. Dari angka tersebut, 57% telah mengalami kekerasan fisik, 38% kekerasan psikologis, dan 5% kekerasan seksual. Bentuk kekerasan fisik seperti pemukulan sampai penyanderaan, kekerasan psikologis seperti bentakan sampai ancaman, dan kekerasan seksual berbentuk pelecehan seksual sampai perkosaan.
Meningkatnya kasus tersebut diperburuk dengan hukum di Indonesia yang sama sekali belum menyentuh aspek hubungan antar remaja. Perempuan yang sudah menikah lebih aman secara hukum karena dilindungi oleh UU KDRT, berbeda dengan pasangan yang masih berpacaran atau belum menikah yang tidak memiliki dasar hukum. Korban dari kekerasan tersebut mungkin masih mempertahankan hubungannya karena beberapa hal, seperti rasa takut pada sang pelaku, loyalitas terhadap cinta, dan lain sebagainya. Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah psikologi seperti kecemasan berlebihan, depresi, dan rasa bersalah. Hal ini merupakan salah satu masalah yang harus diperhatikan oleh berbagai pihak.
Fenomena kekerasan ini terkait dengan adanya Aggression atau agresi. Baron dan Byrne (2004) menyatakan bahwa agresi merupakan akar dari kekerasan, dan kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi (Krahe, 2005). Bandura (1976) mendefinisikan agresi sebagai berikut:
"..behaviour that result in personal injury and in destruction of property. The injury may be psychological (in the form of devaluation or degradation) as well as physical"
(Bandura, 1976:5)
Dapat disimpulkan bahwa agresi merupakan sebuah tindakan pelaku yang dapat melukai atau menyakiti korban baik secara fisik maupun secara psikologis.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi agresi adalah faktor sosial seperti adanya provokasi dari orang lain, rangsangan dalam berbagai permainan kompetitif, frustasi, kekerasan dalam media seperti dalam video game, dan kekerasan dalam pornografi; faktor kultural; faktor personal seperti tipe kepribadian, narsisme, dan gender; dan faktor situasional seperti temperatur dan alkohol. Semua faktor ini dianggap memiliki pengaruh terhadap tingkat agresi seseorang.
Hasil penelitian dari Zilboorg (1938) menyatakan bahwa individu yang kesepian biasanya berperilaku agresif dan memiliki sikap hostility. Hal tersebut disebabkan karena individu yang kesepian jarang sekali dapat mengontrol kekesalannya sehingga ia akan mengeluarkan rasa bencinya. Pernyataan tersebut didukung oleh adanya penelitian yang dilakukan oleh Diamanat dan Windholz (1981) yang menemukan bahwa skor UCLA Loneliness Scale (Russel et all, 1978) berkorelasi dengan Hostility Guilt Inventory (Buss-Durke, 1957). Loucks (1980) juga menyatakan bahwa individu yang kesepian memiliki skor yang tinggi pada pengukuran anger-hostility, yang merupakan el em en dari agresi.
Penelitian lain menyatakan bahwa pria yang kesepian cenderung akan menunjukkan hostility atau kebencian. Hal ini disebabkan karena individu yang kesepian memiliki kemampuan sosial yang rendah (Jones et al, 1981) dan juga memiliki rasa ketidakpuasan dengan kehidupan pertemanan dan percintaannya (Cutrone, 1982). Oleh karena itu pria yang kesepian akan merasakan kebencian terhadap salah satu sumber frustasi mereka yaitu wanita (Check, Perlman, dan Malamuth, 1985). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya hubungan yang berjalan searah antara kesepian dengan agresi. Semakin individu merasa kesepian, semakin tinggi tingkat agresinya.
Selain adanya keterkaitan langsung antara agresi dengan kesepian yang ditemukan oleh Zilboorg tersebut, terdapat pula variabel yang merupakan penghubung antara kedua variabel tersebut, yaitu frustasi. Individu yang memiliki tingkat kesepian yang tinggi cenderung akan menjadi frustasi (Anderson dan Harvey, dalam Miller, Perlman, dan Brehm, 2007), dan frustasi tersebut merupakan salah satu faktor penting penyebab timbulnya agresi (Berkowitz, 1978). Frustasi juga dapat menyebabkan agresi yang cukup tinggi pada situasi tertentu (Folger dan Baron, dalam Baron, 2004).
Menurut Perlman dan Peplau (1982), terdapat tiga pendekatan yang dapat menjelaskan mengenai kesepian, yaitu pendekatan: Need for Intimacy, Cognitive Processes, dan Social Reinforcement. Archibald, Bartholomew, dan Marx (dalam Baron dan Byrne, 2004) mendefinisikan kesepian dengan pendekatan Cognitive Processes, yaitu sebagai berikut:
"..an individual emotional and cognitive reason to having fewer and less satisfying relationships than he or she desires. "
(Archibald, Bartholomew, dan Marx, dalam Baron dan Byrne, 2004: 304)
Pada penelitian ini, peneliti mengambil pendekatan Cognitive Processes dalam mendefinisikan kesepian, yang menyatakan adanya perbedaan atau kesenjangan antara hubungan sosial dan emosional yang individu inginkan dengan dicapai individu. Dapat dikatakan bahwa kesepian adalah suatu perasaan (emosi) atau pikiran (kognitif) dari seseorang bahwa hubungan sosial dan emosionalnya kurang memuaskan.
Matondang (1991) mengatakan bahwa masalah kesepian biasanya banyak dihadapi oleh wanita dan pria yang lajang. Penelitian yang dilakukan oleh Wheeler, Reis, dan Nezlek (1983) menemukan bahwa tingkat kesepian individu yang memiliki romantic partner lebih sedikit daripada individu yang lajang, bahkan perbedaannya mencapai hingga 85%. Miller, Perlman, dan Brehm (2007) pun memiliki pendapat yang sama, yaitu:
"..a person can have an extensive social network and a very active social life but still feel lonely if he or she does not have a romantic partner. "
(Miller, Perlman, dan Brehm, 2007: 433)
Pernyataan tersebut didukung pula oleh Cutrona (1982) yang menyatakan bahwa individu yang kesepian memiliki rasa ketidakpuasan pada kehidupan pertemanan dan juga hubungan romantis.
Hubungan yang berbanding terbalik antara adanya hubungan romantis dengan kesepian ini disebabkan karena tidak adanya orang lain yang dekat untuk membagi suka dan dukanya setiap saat, sehingga menimbulkan rasa kesendirian dalam menanggapi hidup. Cargen dan Melko (1982) menyatakan bahwa individu lajang biasanya merasa tidak memiliki seseorang untuk berbagi dan berdiskusi mengenai berbagai hal, dan menganggap bahwa kebanyakan orang merasa kesepian.
Jika kita melihat keterkaitan antara hubungan lurus antara agresivitas dan kesepian dengan kasus kekerasan dalam berpacaran, hal ini perlu dipertanyakan. Di satu sisi, individu yang memiliki pacar atau sedang mengalami hubungan romantis, dianggap memiliki tingkat kesepian yang lebih rendah jika dibandingkan dengan individu yang lajang. Namun di sisi lain, adanya kekerasan dalam berpacaran menunjukkan bahwa terdapat pula kecenderungan perilaku agresi pada individu yang sedang berpacaran. Padahal dengan adanya hubungan lurus antara antara kesepian dengan agresi menurut temuan Zilboorg, dan frustasi sebagai salah satu faktor yang memiliki pengaruh terhadap agresi, seharusnya kekerasan dalam berpacaran tidak terjadi terutama dalam jumlah kasus yang cukup banyak. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menjawab pertanyaan apakah terdapat hubungan kesepian dan agresi terutama pada remaja yang sedang berpacaran? Selanjutnya, peneliti berencana melakukan penelitian terhadap individu yang sedang berada pada tahap perkembangan remaja akhir. Masa remaja yaitu sekitar 11-24 tahun (Sarwono, 1992), merupakan masa dimana individu memiliki banyak masalah sehingga menimbulkan kecenderungan untuk berperilaku agresi (Hurlock, 1980). Di lain pihak, menurut Matondang (1991), usia 18-25 tahun adalah usia puncak dimana individu paling menderita kesepian, karena terjadinya kesenjangan yang besar antara keinginan individu untuk membentuk hubungan akrab (intimacy) dan kegagalan dalam menemukan hubungan. Dalam kaitan hubungan antara agresi dengan kesepian, peneliti mengambil perpotongan usia dari kedua penelitian tersebut, yaitu individu yang sedang berada pada tahap perkembangan remaja akhir yaitu berusia 18-24 tahun.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai hubungan kesepian terhadap kecenderungan agresi pada remaja yang sedang berpacaran. Selain itu, peneliti juga akan mencari perbedaan tingkat kesepian dan agresivitas yang dikaitkan dengan identitas pribadi dari subjek.

1.2 Permasalahan
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yaitu: apakah terdapat hubungan kesepian dan agresi pada remaja yang sedang berpacaran?

1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kesepian dan agresi pada remaja yang sedang berpacaran. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kesepian dan agresi memiliki hubungan, namun pada penelitian ini subjek akan lebih spesifik yaitu remaja yang sedang berpacaran.
Selain tujuan tersebut, adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu melihat apakah kesepian merupakan faktor yang cukup penting dalam perilaku agresi, dalam kaitannya pada banyaknya kasus kekerasan dalam berpacaran.

1.4 Manfaat penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat untuk memberikan sumbangan pengetahuan dan memperbanyak penelitian mengenai kesepian dan agresi, dengan kaitannya dengan hubungan romantis, sebagai salah satu topik yang dibahas dalam lingkup ruang Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial.
Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat untuk menambah temuan dari penelitian sebelumnya (Zilboorg, 1938) mengenai adanya hubungan langsung antara kesepian dengan agresi. Penelitian ini berfokus pada hubungan kesepian dan agresi, dengan subjek yang lebih spesifik yaitu remaja yang sedang berpacaran. Ditambah, penelitian sebelumnya mengenai kesepian dan agresi diteliti pada tahun 1938, sehingga penelitian ini mencoba mengkonfirmasi apakah hasil penelitian tersebut tetap berlaku sampai tahun ini.
Selain itu, adanya peneilitian ini membantu korban kekerasan untuk mengatahui bahwa apakah kesepian merupakan salah satu faktor penting dalam agresi. Jika ya, maka korban tersebut dapat membantu menghilangkan faktor tersebut pada dirinya atau pasangannya agar tidak terjadi perilaku agresi.
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan dapat memancing penelitian lain mengenai kesepian atau agresi di Indonesia yang masih sangat terbatas jumlahnya.

1.5 Sistematika Penulisan
Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, permasalahan, tujuan dan masalah penelitian, dan sistematika penulisan laporan ini. Latar belakang penelitian adalah alasan dan dasar mengapa penelitian ini penting untuk dilakukan. Permasalahan adalah pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Tujuan dan manfaat adalah hal-hal yang akan dicapai peneliti jika penelitian ini berhasil dilakukan. Sedangkan sistematika adalah penjelasan mengenai bagian-bagian atau bab-bab dalam laporan ini.
Bab II merupakan tinjauan pustaka yang berisi penjelasan mengenai variabel yang akan diukur, seperti kesepian, agresi, remaja, dan hubungan romantis. Penjelasan tersebut berisi definisi, faktor-faktor yang mempengaruhi, dimensi, dan lain sebagainya. Selain penjelasan mengenai variabel-variabel tersebut, terdapat pula kaitan antar variabel.
Sedangkan Bab III akan menjelaskan permasalahan, hipotesis, dan metode penelitian, seperti karakteristik subjek yang akan diteliti, populasi penelitian, dan validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan. Peneliti berencana akan menggunakan teknik kuantitatif dengan jumlah subjek lebih dari 30 orang, agar dapat dilakukan penghitungan statistik (Guildford dan Frutcher, 1981). Sampel yang akan diteliti adalah remaja berusia 18-24 tahun yang berdomisili di X.
Bab IV akan menjelaskan hasil dari penelitian yang telah dilakukan, dari gambaran data kontrol subjek sampai penghitungan hubungan antara kedua variabel, dan pengaruh antara variabel Kesepian terhadap Agresi serta seberapa banyak pengaruhnya. Selain itu, peneliti juga melihat perbedaan data kontrol dengan hubungannya terhadap variabel. Penyusunan Bab IV ini berguna untuk menjawab pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini.
Terakhir adalah Bab V yang akan berisi simpulan dimana berisi jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini, diskusi yang berisi kekurangan dan berbagai evaluasi lainnya, dan saran yang berisi bagaimana sebaiknya tindak lanjut yang akan dilakukan mengenai penelitian ini.