Search This Blog

Showing posts with label skripsi psikologi. Show all posts
Showing posts with label skripsi psikologi. Show all posts
HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DENGAN KONFORMITAS TERHADAP TEMAN SEBAYA PADA REMAJA MADYA

HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DENGAN KONFORMITAS TERHADAP TEMAN SEBAYA PADA REMAJA MADYA

(Kode PSIKOLOG-0005) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA SIKAP TERHADAP PERILAKU SEKSUAL DENGAN KONFORMITAS TERHADAP TEMAN SEBAYA PADA REMAJA MADYA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa dimana individu mulai tertarik dengan masalah-masalah seksualitas. Pada awalnya, ketertarikan remaja terhadap seksualitas bersifat self-centered, yaitu fokus pada perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya. Kemudian, secara bertahap, remaja mulai tertarik dengan lawan jenis dan mulai melakukan bentuk-bentuk dari perilaku seksual dengan lawan jenisnya tersebut (Rice, 1993). Perilaku seksual merupakan segala bentuk tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk dari perilaku seksual ini bermacam-macam, dari berkencan, bercumbu, dan bersenggama (Sarwono, 2007).
Perilaku seksual yang terjadi pada remaja ini merupakan topik yang menarik untuk diteliti karena di Indonesia sendiri telah diketahui bahwa resiko dari perilaku seksual pada remaja telah semakin mengkhawatirkan. Hal ini terbukti dari hasil survei BKKBN (2008) yang menyebutkan bahwa setiap harinya 100 remaja Indonesia telah melakukan aborsi. Ini berarti setiap tahun ada 36 ribu janin dibunuh. Selain itu, sebuah penelitian menyebutkan bahwa lebih dari 80% anak usia 9 -12 tahun telah mengakses pornografi (Ali, 2007). Oleh karena itu, banyak ahli yang telah meneliti mengenai perilaku seksual pada remaja.
Penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan perilaku seksual remaja tampak pada penelitian Sarwono (2001) kepada siswa-siswi kelas II SLTA di Jakarta dan Banjarmasin. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa di atas 93% remaja pernah berpegangan tangan dengan pacarnya. Jumlah yang pernah berciuman adalah 61.8% untuk remaja laki-laki dan 39.4% untuk remaja perempuan. Remaja yang pernah meraba payudara pasangannya tercatat 2.32% untuk remaja laki-laki dan 6.7% untuk remaja perempuan. Selain itu, terdapat 7.1% remaja laki-laki dan 1.0% remaja perempuan yang pernah memegang alat kelamin pasangannya. Terakhir, diketahui bahwa 2.0% dari remaja laki-laki tersebut sudah berhubungan seksual.
Hasil penelitian serupa mengenai perilaku seksual remaja, juga dikemukakan oleh Damayanti (2007), dalam disertasinya yang berjudul Peran Biopsikososial Terhadap Perilaku Berisiko Tertular HIV pada Remaja SLTA di Jakarta. Penelitian tersebut memperoleh hasil mengenai sebelas jenis perilaku seksual dalam berpacaran yang dilakukan oleh remaja. Perilaku seksual ini diukur secara bertingkat mulai dari mengobrol atau saling mencurahkan isi hati hingga melakukan hubungan seksual. Tabel di bawah ini menggambarkan macam-macam perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Penelitian Sarwono dan Damayanti menunjukkan bahwa perilaku seksual dilakukan remaja bersama pacarnya. Rice (1993) mendefmisikan pacaran atau dating sebagai hubungan antara dua individu lawan jenis disertai adanya kedekatan, kelanggengan, serta melibatkan cinta dan komitmen. Menurut Santrock (2003), melakukan bentuk-bentuk dari perilaku seksual merupakan salah satu fungsi dari berpacaran, yaitu sebagai sarana eksperimen dan penggalian hal-hal seksual.
Kedua hasil penelitian tersebut juga memperlihatkan bahwa remaja di kota besar, terutama Jakarta, telah melakukan jenis-jenis perilaku seksual yang cukup luas, mencakup dari mengobrol hingga hubungan seksual. Hal ini mereka lakukan karena adanya peningkatan sikap permisif terhadap perilaku seksual pada remaja (Dusek, 1996; Steinberg, 2002). Adapun yang dimaksud dengan sikap permisif adalah sikap positif terhadap perilaku seksual yang ditunjukkan dalam gaya berpacaran yang "serba boleh", mulai dari berciuman hingga akhirnya hubungan seksual, dan sikap tersebut disepakati oleh kedua belah pihak atau "mau sama mau" (Damayanti, 2007). Dalam Baron dan Byrne (2003) sikap terhadap perilaku seksual ini dibedakan mulai dari sikap sangat positif dan permisif (erotophilic) hingga sikap sangat negatif dan membatasi (erotophobic).
Pada tahun 1998, penelitian LDFEUI dan NFPCB (dalam Darwisyah, 2005) mengenai sikap remaja terhadap perilaku seksual, terutama hubungan seksual sebelum menikah, dilakukan di empat propinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Lampung). Penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat sikap yang sedikit berbeda dalam memandang hubungan seksual. Sebanyak 2.2% responden setuju bila laki-laki berhubungan seksual sebelum menikah. Angka ini menurun menjadi 1% bila ditanya sikap mereka terhadap perempuan yang berhubungan seksual sebelum menikah. Jika hubungan seksual dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai, maka responden yang setuju menjadi 8.6%. Kemudian, jika mereka berencana untuk menikah, responden yang setuju kembali bertambah menjadi 12.5%. Angka-angka di atas menunjukkan bahwa terdapat beberapa remaja yang menganggap perilaku seksual sebagai hal yang positif. Menurut Sarwono (2007), semakin tinggi sikap positif (permisif) terhadap perilaku seksual pada remaja mengakibatkan semakin besar kecendemngan remaja untuk melakukan hubungan fisik yang lebih jauh dengan lawan jenis. Penelitian Dariyo dan Setiawati (dalam Amiruddin, 2007) juga memperoleh hasil bahwa memang terdapat hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan intensi untuk melakukan hubungan seksual. Ini berarti semakin positif sikap remaja terhadap perilaku seksual maka semakin besar intensinya untuk melakukan perilaku seksual, sedangkan remaja yang memiliki sikap yang negatif terhadap perilaku seksual akan semakin kecil intensinya untuk melakukan perilaku seksual.
Untuk mendapatkan pemahaman mengenai sikap terhadap perilaku seksual, terlebih dahulu diperlukan pemahaman mengenai sikap. Sikap merupakan reaksi evaluatif dalam kesetujuan atau ketidaksetujuan terhadap sesuatu atau seseorang, yang ditunjukkan di dalam kepercayaan, perasaan, dan kecendemngan tingkah laku seseorang (Myers, 1999). Individu dikatakan memiliki sikap ketika ia berespon evaluatif dengan melibatkan aspek kognitif, afektif, atau konatif (Myers, 1999). Oleh karena itu, Winkel (dalam Aswati, 1994) mengatakan bahwa sikap memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia karena dalam menghadapi pemilihan, seseorang mengutamakan sesuatu hal karena dipengaruhi sikapnya.
Kembali pada sikap terhadap perilaku seksual, Dusek (1996) mengatakan bahwa sikap remaja terhadap perilaku seksual, termasuk apa yang pantas dan kapan hal tersebut diharapkan terjadi, dibentuk dari pengaruh sosial. Pengaruh sosial adalah usaha yang dilakukan oleh satu orang atau lebih untuk mengubah sikap, kepercayaan, persepsi, atau tingkah laku orang lain (Baron & Byrne, 2003). Pada remaja, pengaruh sosial yang paling dominan adalah teman karena teman mampu mempengaruhi remaja dalam bersosialisasi dan pencarian identitas diri. Keberadaan teman membantu remaja untuk mengekplorasi minat dan ketidaktentuan dalam hidupnya, sehingga remaja memiliki perasaan sebagai bagian dari kelompok (Erikson; Hartup; Steinberg & Silverberg dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000).
Selain itu, menurut Loetan (dalam Miol, 2005), teman merupakan orang yang paling sering dan mudah untuk ditemui. Biasanya, sesama teman saling melindungi satu sama lain sehingga wajar bila mereka juga saling bercerita mengenai masalah-masalah seksual. Hal ini juga terlihat dalam penelitian Sarwono (2007) yang menunjukkan bahwa persentase remaja untuk bercerita mengenai hal-hal seputar seksual kepada teman cenderung lebih besar dibandingkan kepada guru, orangtua, teman, ahli, rohaniawan, dan media massa. Hasil penelitian Sarwono tersebut didukung pula oleh Synovate Research (dalam Kartika, 2005), yang menemukan bahwa remaja tidak mempunyai pengetahuan khusus serta komprehensif mengenai masalah seksual. Informasi utama mereka terima dari teman. Sebanyak 81% remaja tersebut mengaku lebih nyaman berbicara mengenai masalah seksual dengan kawan-kawannya. Informasi lain, perihal masalah-masalah seksual, mereka peroleh dari film porno sebanyak 35%, untuk sekolah dan orangtua masing-masing sebanyak 19% dan 5%. Salah satu contoh nyata dari perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja karena adanya keterlibatan teman terlihat pada kasus Killa.
"Nyaris semua anggota geng Killa kebetulan sudah pernah merasakan hubungan seksual. Cuma Killa yang belum. Saat masih kelas II SKIP, teman-teman Killa memaksa ia untuk berhubungan seksual dengan pacamya. Kemudian, pacar Killa mengajak ia ke kamar. Dihinggapi perasaan penasaran dan tidak enak dengan teman-temannya, Killa pun menerima tawaran pacamya tersebut. "
(Majalah Hai, XXVI dalam Sarwono, 2007)
Adanya kebutuhan terhadap sumber dari afeksi, simpati, pengertian, dan pengarahan moral; tempat untuk melakukan berbagai eksperimen; dan setting untuk memperoleh otonomi serta kebebasan dari orangtua pada remaja, maka muncullah suatu kelompok peers (kelompok teman sebaya) tertentu (Papalia, Olds, & Feldman, 2007). Peers atau teman sebaya merupakan anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama (Santrock, 2003). Bourne; Coleman dan Hendry; Erikson (dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000) mengatakan bahwa menjadi bagian dari sebuah kelompok teman sebaya merupakan salah satu tugas perkembangan remaja. Berkaitan dengan sikap terhadap perilaku seksual, Billy dan Udry (dalam Rice, 1993) mengatakan bahwa kecenderungan remaja untuk terlibat dengan perilaku seksual akan semakin besar saat teman sebayanya mempunyai sikap yang positif terhadap perilaku seksual. Sikap positif terhadap perilaku seksual dari teman sebaya ini akan ditiru oleh remaja sebagai bentuk dari loyalitas mereka terhadap kelompok teman sebayanya.
Fenomena ketika remaja meniru sikap dan tingkah laku orang lain, dalam hal ini teman sebaya, karena adanya tekanan yang nyata ataupun yang dibayangkan mereka disebut sebagai konformitas (Santrock, 2003). Konformitas merupakan cara bertingkah laku seseorang sesuai dengan hal yang dianggap dapat diterima atau pantas (norma) dalam kelompok mereka atau lingkungan sosial (Baron & Byrne, 2003). Secara umum, Baron dan Byrne (2003) menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang menyebabkan individu melakukan konformitas, yaitu saat ia memiliki keinginan untuk diterima {normative influence) atau karena kelompok menyediakan informasi yang penting untuknya {informational influence). Namun, terkadang individu juga tidak melakukan konformitas karena adanya kebutuhan untuk berbeda dari orang lain {individuation) dan keinginan untuk mempertahankan kontrol terhadap kehidupannya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tinggi rendahnya konformitas remaja terhadap teman sebaya dapat dilihat dari seberapa banyak tingkah laku, sikap, dan kepercayaan yang ditiru remaja dari kelompok teman sebayanya. Semakin tinggi tingkat konformitas seseorang maka akan semakin banyak tingkah laku, sikap, dan kepercayaan orang lain yang diikuti. Sebaliknya, semakin rendah tingkat konformitas seseorang maka semakin sedikit tingkah laku, sikap, dan kepercayaan orang lain yang ditiru olehnya. Atas dasar tersebut, Santor, Messervey, dan Kusumakar (2000) menyatakan bahwa konformitas terhadap teman sebaya dapat memprediksi secara efektif kesulitan remaja dalam masalah psikososial dan tingkah laku yang membahayakan, dalam hal ini adalah sikap terhadap perilaku seksual dalam berpacaran.
Melihat penjelasan-penjelasan di atas, peneliti memperoleh beberapa hal penting. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sarwono (2007) dan Damayanti (2007), diketahui bahwa saat ini perilaku seksual remaja dalam berpacaran telah semakin meluas. Hal ini disebabkan oleh sikap remaja yang semakin positif terhadap perilaku seksual, yang kemudian berpengaruh terhadap meningkatnya intensi untuk melakukan perilaku seksual (Sawono, 2007). Pengaruh sosial, terutama kelompok teman sebaya, turut berperan dalam pembentukan sikap remaja terhadap perilaku seksual tersebut. Dengan adanya pengaruh yang kuat dari teman sebaya, maka akan timbul konformitas pada remaja. Selanjutnya, peneliti berpendapat bahwa sikap remaja terhadap perilaku seksual ini mungkin memiliki hubungan dengan konformitas terhadap teman sebaya.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik dan merasa penting untuk melakukan penelitian yang bertujuan melihat hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya. Pentingnya penelitian ini disebabkan secara internal, remaja memang berada dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba sesuatu hal yang baru, maka tak heran mereka tertarik untuk melakukan bentuk-bentuk perilaku seksual (Sarwono, 2007). Namun, secara eksternal, budaya di Indonesia adalah budaya kolektivis, dimana lingkungan sosial memiliki pengaruh yang kuat (Baron & Byrne, 2003). Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui apakah sikap terhadap perilaku seksual juga berhubungan dengan pengaruh sosial, dalam hal ini konformitas terhadap teman sebaya.
Penelitian ini akan mengambil partisipan remaja yang berusia 15 - 18 tahun. Pemilihan partisipan ini berdasarkan penelitian Sarwono (2007), bahwa pada rentang usia ini remaja sangat membutuhkan teman-temannya. Mereka senang jika banyak teman yang menyukai dirinya. Selain itu, disebutkan pula oleh Sarwono (2007) bahwa ketertarikan remaja di Indonesia terhadap seksualitas mulai muncul pada usia 13 hingga 18 tahun. Dengan pertimbangan tersebut, maka peneliti menggunakan sampel remaja yang berusia 15 - 18 tahun. Menurut Steinberg (2002), rentang usia 15 - 18 tahun merupakan rentang usia pada periode remaja madya. Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Melalui pendekatan ini, peneliti dapat mengetahui data statistik dari hubungan antara kedua variabel tersebut sehingga dapat menggeneralisasikan hasil dari sampel ke dalam populasi (Poerwandari, 2001).

1.2. Masalah Penelitian
Masalah yang ingin diangkat dalam penelitian ini adalah "Apakah terdapat hubungan yang signifikan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai hubungan antara sikap terhadap perilaku seksual dengan konformitas terhadap teman sebaya pada remaja madya.
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberi pengetahuan kepada para orangtua, staff pendidik, pemerhati remaja, dan konselor mengenai kecenderungan sikap remaja terhadap perilaku seksual. Agar ke depannya dapat melakukan intervensi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, sehubungan dengan perilaku seksual remaja. Melalui penelitian ini juga diharapkan remaja, terutama remaja madya, yang memiliki tingkat konformitas yang tinggi dapat memilih kelompok teman sebaya yang baik dan lebih mengembangkan diri ke arah yang positif tanpa harus selalu mengikuti aturan yang berlaku di kelompok teman sebayanya.

1.5. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I Pendahuluan
Pada bab I ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan
Bab II Tinjauan Pustaka
Pada bab II ini dijelaskan mengenai teori sikap terhadap perilaku seksual, konformitas terhadap teman sebaya, dan remaja madya yang akan digunakan untuk menganalisis dan menjawab permasalahan.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab III ini dijelaskan mengenai metode yang digunakan dalam penelitian. Bab ini berisi tentang masalah penelitian, hipotesis, partisipan penelitian, alat pengumpulan data, dan diakhiri prosedur penelitian.
Bab IV Analisis dan Interpretasi Data
Pada bab IV ini dijelaskan mengenai data penelitian dan analisisnya serta interpretasi data yang telah dianalisis.
Bab V Kesimpulan, Diskusi, dan Saran
Pada bab V ini dijelaskan mengenai kesimpulan, diskusi, dan saran dari penelitian yang telah dilaksanakan.
HUBUNGAN ANTARA KECANDUAN INTERNET GAME ONLINE DAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KECANDUAN INTERNET GAME ONLINE DAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA REMAJA

(Kode PSIKOLOG-0004) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA KECANDUAN INTERNET GAME ONLINE DAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA REMAJA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Kehadiran internet bisa dibilang terlambat di Indonesia, namun dapat dibilang sangat cepat perkembangannya. Berdasarkan data dari situs Internet World Stats, pengguna internet di Indonesia telah mencapai angka 25 juta orang pada akhir tahun 2008. Tingkat pertumbuhan penggunaan internet yang terjadi selama 8 tahun mencapai 1.150%. Jauh melebihi data yang diambil pada tahun 2000, dimana jumlahnya hanya 2 juta orang. Besar pertumbuhan penggunaan internet ini jauh lebih besar dari jumlah pertumbuhan penduduk di Indonesia yang tidak lebih dari 3% per tahun. Hal tersebut makin meyakinkan bahwa internet dapat menjadi media baru yang akan dinikmati seluruh masyarakat Indonesia seperti halnya media televisi saat ini (Syaifudin, 2008).
Internet jelas membantu banyak pihak dari berbagai kalangan dan kepentingan. Tidak hanya para praktisi, pelajar, dan masyarakat luas, pemerintahan pun dapat menggunakan fasilitas internet bagi kemudahan pelayanan, dapat menghemat banyak biaya, dan juga dapat meningkatkan kecepatan serta kualitas layanan publik. Selain pemerintah, korporasi swasta, industri perbankan juga memanfaatkan internet dalam segala bisnisnya. Hal ini dapat menjadikan internet sebagai tumpuan bagi masyarakat Indonesia ke depan.
Syaifudin kemudian menambahkan, berkat kemajuan teknologi informasi dan semakin meningkatnya bandwidth internet juga memicu tumbuhnya industri hiburan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh suatu lembaga di Amerika menunjukkan bahwa masyarakat Amerika lebih menyukai internet daripada televisi. Secara garis besar, internet telah memungkinkan konvergensi berbagai media konvensional. Di Indonesia sendiri, model bisnis seperti ini baru berkembang dengan hadirnya TV kabel atau TV langganan, dan cabang industri hiburan lain yang cukup besar nilainya adalah Game. Meningkatnya penggunaan komputer dan internet menjadi kebutuhan sehari-hari, mengakibatkan potensi penggunaan secara berlebihan dan bahkan dapat berubah menjadi ketergantungan (Funk, et al., 2004).
Salah satu bentuk kecanduan yang ditimbulkan oleh penggunaan internet adalah internet game online/internet game atau biasa dikenal juga dengan online game, yaitu permainan yang dimainkan secara online melalui internet. Menurut analisa pasar global, industri internet games telah mencapai US$ 28.5 miliar di tahun 2005 saja, dan diperkirakan akan melampaui industri musik global pada tahun 2010 (BusinessWire, 2005). Internet juga telah membawa genre permainan baru seperti MMORPG. Menurut Syaifudin, di Indonesia sendiri industri game online sangat berkembang pesat di seluruh pelosok tanah air. Media teknologi terbaru ini dirancang untuk interactivity dan untuk komunikasi interpersonal.
Layaknya dunia nyata, orang-orang yang bermain di dalamnya dapat membuat kehidupan virtual dan berlaku seperti masyarakat yang nyata pada umumnya. Mereka dapat hidup, bergerak, bertransaksi, melakukan aktivitas sehari-hari, mendapatkan pekerjaan, mencari pasangan, bahkan membesarkan binatang peliharaan (The Sims 2: Pets, 2006) di 'dunia' virtual atau maya.
Masyarakat Indonesia memiliki kesadaran yang tinggi akan hal seni dan budaya Indonesia yang beragam. Hal ini masih berlaku di sebagian besar wilayah Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Salah satu hasil budaya yang masih banyak dipertahankan sampai saat ini adalah permainan tradisional yang dapat meningkatkan kreatifitas dan juga kerjasama/interaksi antar pemain. Lolly Amalia, Direktur Sistem Informasi, Perangkat Lunak dan Konten, Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) mengatakan, setidaknya ada 30 juta orang Indonesia yang memainkan game online (www.beritanya.com), atau dengan kata lain, 1 dari 8 orang Indonesia adalah pemain game online. Dengan kondisi pasar seperti itu, Indonesia menjadi pasar yang cukup potensial untuk industri permainan interaktif. Berdasarkan cetak biru pengembangan ekonomi kreatif Indonesia, industri permainan interaktif adalah kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan pada media komputer, video, konsol, telepon genggam, dan jaringan internet, yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi. Sedangkan kriteria untuk menentukan sebuah permainan disebut permainan interaktif adalah permainan yang menggunakan aplikasi piranti lunak pada komputer (online maupun stand alone), konsol (Playstation, XBOX, Nitendo dll), telepon genggam, maupun alat ketangkasan lainnya. Menurut detikinet.com, dengan adanya internet sebagai salah satu kebutuhan atau sarana yang memudahkan aktivitas, pola budaya dalam masyarakat Indonesia juga dapat mengalami banyak perubahan. Sangat memungkinkan anak remaja lebih kenal dengan budaya Warcraft dibanding tarian Aceh. Mereka lebih kenal interface dan fitur Friendster dibanding rapat bulanan warga kelurahan.
Saat ini telah banyak warnet yang melengkapi fasilitas online game dalam tiap komputer yang mereka sediakan. Menurut hasil wawancara peneliti dengan pemilik atau penjaga beberapa warnet yang berada di daerah sekitar Jakarta Timur, fasilitas online game lebih banyak menarik pelanggan dibandingkan fasilitas lainnya yang disediakan oleh pihak warnet. Jumlah pelanggan yang memanfaatkan fasilitas untuk browsing, membuka e-mail, atau bahkan memperbarui status dalam situs jaringan sosial atau social network service seperti Facebook, tidak sebanyak pelanggan yang datang dengan tujuan untuk bermain online game. Sebuah studi mengemukakan sebagian besar aktivitas yang dilakukan oleh pelajar perempuan saat memakai internet adalah mengerjakan tugas sekolah (75%), instant messaging (68%), bermain game (68%), dan musik (65%). Sedangkan bagi pelajar laki-laki, sebagian besar aktivitas yang dilakukan adalah bermain game (85%), mengerjakan tugas sekolah (68%), musik (66%), dan instant messaging (63%) (Media Awareness Network, dalam Blais, Craig, Pepler, Connolly, 2007). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yee (dalam Loton, 2007) ditemukan bahwa laki-laki mendapatkan skor tertinggi dalam seluruh faktor achievement, menyempurnakan karakter di dalam permainan, menguasai mekanisme permainan dan berkompetisi dengan pemain lain. Sedangkan perempuan memiliki skor tertinggi pada komponen relationship, membina komunikasi dan kerjasama dengan pemain lain, bahkan di sebagian sub-komponen meningkatkan self-disclosure dan membentuk supportive relationships. Young (1998, dalam Wan & Chiou, 2007) menemukan bahwa online game adalah salah satu aktivitas paling candu dari para pengguna internet.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, internet game banyak diminati oleh remaja dan dewasa. Saat ini, 67% remaja di Amerika Serikat bermain internet game secara online (Rideout, et. al., 2005 dalam Williams, Yee & Caplan, 2008). Karena kurangnya kemampuan untuk mengendalikan antusiasme terhadap sesuatu yang dapat membangunkan minat mereka, seperti internet dan computer games, remaja dinilai lebih rentan melakukan penyimpangan dalam penggunaan internet. Melarikan diri dari kehidupan nyata ke dunia maya seringkali diasosiasikan dengan masalah serius dalam keseharian remaja. Kegemaran bermain internet game di kalangan remaja menimbulkan berbagai tanggapan mengenai pengaruh internet game terhadap perkembangan remaja (Subrahmanyam, Kraut, Greenfield, & Gross, 2000).
Meskipun saat ini perhatian media dan popularitas internet game yang dihubungkan dengan dampak-dampak buruk yang dapat disebabkan telah banyak dibicarakan, tetap saja penelitian mengenai topik tersebut masih sangat minim (Loton, 2007). Penelitian-penelitian yang dilakukan saat ini telah menemukan banyak hubungan antara game online dengan ketergantungan dan perilaku penurunan interaksi sosial (Internet Paradox Study), bermain yang berlebih (Fisher; Griffiths, Hunt, dalam Loton, 2007), penurunan tajam pada social involvement, dan peningkatan kesendirian dan depresi (Subrahmanyam, 2000; Kraut, et al., 1998), serta mengalami high levels of emotional loneliness dan atau kesulitan berinteraksi secara sosial dalam kehidupan nyata (AMA, 2008), dan juga berhubungan dengan kerusakan pada faktor sosial, psikologi, dan kehidupan (Brenner; Egger; Griffiths; Morahn-Martin; Thompson; Scherer; Young, dalam Young, 1997). Saat ini di Amerika Serikat telah dibuka klinik untuk menanggulangi kerusakan serius yang disebabkan oleh penggunaan internet yang berlebihan (Young, 1997).
Berbeda dari penelitian kebanyakan, beberapa peneliti justru mengkhususkan diri meneliti tentang dampak positif internet game. Mereka menemukan bahwa internet games dapat menjadi alat pedagogi yang efektif Selain itu, para pemain mendapatkan keuntungan kognitif, atensi, ingatan, koordinasi tangan dan mata, ketajaman penglihatan, keterampilan spasial, dan bahkan inteligensi (Gibb, Bailey, Lambirth, & Wilson; Green & Bavelier; Reisenhuber; Satyen, dalam Loton, 2007). Beberapa penelitian juga mengemukakan bahwa anak-anak dan remaja menggunakan internet untuk role-play dan dalam suatu proses pembentukkan identitas. Interaksi secara online (termasuk email, chat, gaming, dan multi user domain (MUD)) merupakan 'laboratorium untuk pembentukan identitas' (Turkle, 1995).
Saat melakukan observasi di lapangan, peneliti sendiri telah menyaksikan bagaimana seseorang remaja (memakai seragam SMP) dengan asyiknya bermain internet game online dalam jangka waktu yang lama (sekitar 4 jam). Bahkan salah satu penjaga warnet yang peneliti temui mengatakan bahwa keuntungan yang mereka dapatkan setiap bulannya sebagian besar berasal dari anak-anak dan remaja yang bermain internet game secara online.
Ketergantungan internet game online yang dialami pada masa remaja, dapat mempengaruhi aspek sosial remaja dalam menjalani kehidupan sehari-hari (Orleans & Laney, 1997). Karena banyaknya waktu yang dihabiskan di dunia maya mengakibatkan remaja kurang berinteraksi orang lain dalam dunia nyata. Hal ini tentunya mempengaruhi keterampilan sosial yang dimiliki oleh seorang remaja. Menurut Putallaz & Gottman (1983 dalam Waters & Sroufe, dalam Dodge, Pettit, McClaskey, Brown, & Gottman, 1986) keterampilan sosial merupakan aspek tingkah laku sosial yang penting untuk diperhatikan guna mencegah penyakit fisik atau patologis pada anak dan dewasa. Pada remaja keterampilan sosial dibutuhkan dalam komunikasi sosial (Eisenberg & Harris, 1984). Keterampilan sosial juga memiliki pengaruh terhadap masa selanjutnya selama berlangsungnya kehidupan seseorang.
Merrel & Gimpel (1997) mengatakan bahwa individu dengan keterampilan sosial yang baik mengalami berbagai keberhasilan dan kegagalan selama hidup mereka tetapi mereka dapat mengatasi situasi sosial dan masalah yang mereka hadapi dengan baik, sedangkan bagi mereka yang memiliki keterampilan sosial yang rendah cenderung tidak ramah, harga diri rendah, mudah marah dan mengganggap percakapan biasa sebagai suatu tugas yang sulit.
Fenomena kecanduan internet game online ini diperkirakan sangat mempengaruhi keterampilan sosial yang dimiliki oleh remaja. Penelitian ini merupakan penelitian awal mengenai fenomena meningkatnya penggunaan internet dan juga makin bertambahnya pemain internet games di Indonesia (Internet World Stats, 2008; Kompas.com). Penelitian mengenai intenet game yang dihubungkan dengan perkembangan psikososial di Indonesia pun sepertinya masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, hal tersebut dinilai penting oleh peneliti guna memberikan informasi mengenai perkembangan kecanduan terhadap internet game dengan perkembangan keterampilan sosial masyarakat di Indonesia, khususnya remaja. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna melihat hubungan keterampilan sosial dan kecanduan internet game pada remaja.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dimana data diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada partisipan. Hal ini bertujuan untuk memberikan gambaran umum tentang keterampilan sosial remaja yang kecanduan internet game. Di dalam kuesioner yang disebarkan saat penelitian, peneliti menyertakan alat ukur yang merupakan modifikasi dari alat ukur Internet Addiction Disorder (IAD) untuk membedakan subyek yang mengalami kecanduan dan yang tidak, dan alat ukur Social Skills Inventory (SSI) untuk mengetahui skor keterampilan sosial yang dimiliki oleh tiap partisipan. Peneliti kemudian mengklasifikasikan tingkat kecanduan partisipan menjadi: rendah, sedang, dan tinggi.

1.2. Permasalahan
Peneliti berusaha untuk menemukan jawaban dari masalah yang diangkat dalam penelitian ini yaitu:
"Apakah terdapat hubungan antara kecanduan internet game online dan keterampilan sosial pada remaja?"

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui adanya hubungan antara kecanduan internet game online dan keterampilan sosial pada remaja.
2. Mengetahui keterampilan sosial pada remaja yang kecanduan internet game online.
3. Mengenali pengaruh kecanduan internet game online terhadap domain keterampilan sosial pada remaja.

1.4. Manfaat Penelitian
1. 4.1. Manfaat teoritis
1. Manfaat penelitian ini secara teoritis yaitu memberikan sumbangan pada ilmu psikologi dalam memahami fenomena yang terjadi dihubungkan dengan permainan komputer dengan menggunakan internet dari pandangan ilmu-ilmu psikologi.
1. 4. 2. Manfaat Praktis
1. Data dari hasil penelitian ini adalah sebagai sumber informasi bagi orang tua dan pemerhati pendidikan dalam mendampingi para remaja dalam melewati masa-masa krisis pada perkembangan mereka.
2. Mengembangkan pertanyaan-pertanyaan baru mengenai dampak yang dapat ditimbulkan, sehingga dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya mengenai kecanduan internet game online.

1.5. Sistematika Penulisan
BAB 1 berisi tentang latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sitematika penulisan.
BAB 2 berisi tinjauan pustaka mengenai definisi kecanduan, jenis kecanduan, faktor penyebab kecanduan, penelitian mengenai kecanduan, kriteria kecanduan, definisi internet game online, jenis internet game online, definisi remaja, ciri-ciri remaja dan hubungan remaja dengan keterampilan sosial.
BAB 3 berisi metode penelitian yang memuat permasalahan, sampel penelitian, desain penelitian, metode pengumpulan data, alat penelitian, teknik statistik yang digunakan, dan tahap uji coba alat ukur.
BAB 4 berisi hasil dan pembahasan, yaitu hasil data penelitian kuantitatif secara umum, data hasil pengolahan partisipan pemain internet game online serta pembahasannya.
BAB 5 merupakan bab penutup yang berisi diskusi, kesimpulan, dan saran dari hasil penelitian ini.
GAMBARAN STRES DAN COPING PADA IBU DENGAN ANAK GAY YANG TELAH COMING OUT

GAMBARAN STRES DAN COPING PADA IBU DENGAN ANAK GAY YANG TELAH COMING OUT

(Kode PSIKOLOG-0003) : SKRIPSI GAMBARAN STRES DAN COPING PADA IBU DENGAN ANAK GAY YANG TELAH COMING OUT

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pada umumnya setiap individu menginginkan dan memerlukan hubungan yang kuat dan baik dengan keluarganya. Hanya di dalam keluargalah seseorang mendapatkan penerimaan yang tulus untuk eksistensi dirinya. Setiap anggota keluarga memiliki keistimewaan yang dapat melonggarkan kesabaran sampai pada batasnya. Bahkan sampai pada masa tersulit, keluarga merupakan tempat di mana kita dapat dimaafkan, diterima, dan diberikan awal yang menyenangkan. Keluarga adalah tempat di mana problem-problem harus dicurahkan untuk ditafsirkan, dipecahkan, didiskusikan, dipelajari mengapa problem tersebut muncul dan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya (Pearsall, 1996). Keluarga juga merupakan lembaga paling utama dan yang pertama bertanggung jawab di tengah masyarakat dalam menjamin kesejahteraan sosial dan kondisi kesehatan manusia, karena di tengah keluargalah manusia dilahirkan serta dididik sampai menjadi dewasa (Kartono, 1992).
Sebagai orangtua, ibu memikul tanggungjawab terhadap kehidupan anaknya. Menurut Martin dan Colbert (1997), kehidupan orangtua dan anak terkait selama periode kehidupan. Menjadi seorang ibu merupakan suatu hal yang didambakan oleh para wanita yang telah menikah. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, memiliki anak sebagai pelengkap bagi terbentuknya suatu keluarga yang utuh, masih dianggap sebagai sesuatu yang sangat berarti. Anak dapat memberikan kebahagiaan, membuat orangtua terhindar dari rasa kesepian, dan memberikan berbagai manfaat emosional lainnya. Anak juga dirasakan penting sebagai generasi penerus, pengikat hubungan dengan pasangan, serta jaminan hidup di hari tua (Heriningrum, 1995). Setiap pasangan suami istri tentunya mengharapkan memiliki anak yang sehat dan normal, namun apa yang akan dilakukan keluarga, dalam hal ini khususnya ibu, apabila anak lelakinya mengatakan "Ibu...saya adalah seorang gay" , apa yang akan ibu katakan dan lakukan?
Pengakuan yang dilakukan oleh anak lelaki tersebut di atas dikenal dengan istilah coming out. Coming out merupakan suatu proses bagi gay ketika ia mengakui bahwa ia adalah seorang gay, baik kepada dirinya sendiri maupun kepada orang lain (Miracle, 2003). Coming out ini merupakan tindakan yang sangat sulit bagi kaum gay, karena masih adanya tekanan yang sangat besar dalam masyarakat untuk menjadi 100% heteroseksual dan untuk menghindari semua fantasi seksual dan perasaan kepada seseorang yang berjenis kelamin sama (Rimmel & Weiner, 1995). Hal ini terjadi karena sebagian besar masyarakat Indonesia masih terikat nilai-nilai agama dan budaya. Seksualitas masih dianggap tabu untuk dibicarakan sebab masyarakat menganggap seks sebagai sesuatu yang alamiah. Seks adalah kodrat dan tidak perlu dikomunikasikan, apalagi diajarkan kepada anak-anak. Seksualitas itu sendiri menyangkut hak-hak manusia untuk menentukan pilihan-pilihan atas isu-isu yang intim dan menantang, otonomi, pilihan, dan pengambilan keputusan, termasuk orientasi seksual (Hidayana, 2004).
Dalam masyarakat yang memiliki sikap negatif terhadap gay, maka banyak gay yang segan untuk mengakui kepada teman atau keluarga bahwa ia adalah gay (Wells & Kline, dalam Nevid, Rathus & Rathus, 1995). Dalam lingkungan masyarakat seperti ini, mengakui bahwa dirinya gay dapat membawa resiko yang besar untuk kehilangan pekerjaan, pertemanan dan kehidupan sosial (Padesky, dalam Nevid, Rathus & Rathus, 1995). Seringkali kaum homoseksual mendapatkan ejekan yang ditujukan pada dirinya melalui humor, verbal abuse, ataupun kekerasan fisik (Greene & Herek, 1994). Oleh karena itu, coming out bisa sangat beresiko.
Pada masa remaja atau dewasa muda, hubungan gay dengan keluarganya seringkali mendapat cobaan ketika terjadi proses coming out. Bagi banyak gay, memberitahukan kepada keluarga adalah proses coming out yang paling sulit, karena ditolak oleh orangtua dan saudara kandung merupakan hal yang lebih menyakitkan dibandingkan ejekan-ejekan dari orang yang tidak dikenal atau ucapan yang sangat kasar dari orang yang baru dikenal (Miracle, 2003). Mereka merasa cemas dan sering merasa bersalah bahwa keputusan mereka untuk memberitahu keluarga apabila dirinya adalah seorang gay dapat membuat kecewa dan menimbulkan rasa marah (Greene, 1994).
Dalam banyak keluarga, tindakan ini dapat menyebabkan konflik, ketidaksetujuan dan penolakan sehingga menyebabkan buruknya hubungan kekeluargaan dalam jangka waktu yang lama untuk memunculkan pengertian dari pihak keluarga (Papalia, 2001). Banyak orangtua yang mengusir anak gay dan lesbian mereka dari rumah dan menghentikan dukungan finansial (Warren, dalam Miracle, 2003). Woog (dalam Miracle, 2003) mengatakan bahwa, orangtua juga dapat memberikan reaksi marah atau perasaan bersalah terhadap tindakan apa yang "salah" dalam membesarkan anak mereka tersebut. Biasanya proses membuka diri terhadap keluarga ini terbatas pada ibu dan saudara perempuan (Mays, Chatters, Cochran, & Mackness, dalam Papalia, 2001).
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa orangtua dari anak gay yang melakukan coming out juga merasakan perasaan negatif (dalam hal ini stres) seperti yang dirasakan oleh anak gaynya. Ayah juga mengalami stres, tapi ibu dari anak gay yang melakukan coming out pada keluarganya dapat merupakan orang yang lebih rentan dan paling berpotensi untuk mengalami stres. Hal ini berkaitan dengan peran ibu, dimana ibu biasanya dianggap sebagai figur yang paling penting dalam lingkungan anak (Phoenix dkk., 1991). Dohrenwend (dalam Carter & Goldrick, 1989) juga menyatakan bahwa, wanita, dalam hal ini ibu, cenderung mengalami tingkat perubahan dan ketidak stabilan emosi yang lebih tinggi dalam hidup mereka dibandingkan dengan pria, serta lebih rentan terhadap stres di dalam kehidupannya. Hal ini didukung dengan pendapat Carter & Goldrick (1989), bahwa wanita dalam keluarga lebih responsif terhadap sekelompok orang, dimana ia merasa lebih bertanggung jawab terhadap suami, anak, orangtua, dan mertua. Adanya perasaan yang berlebih ini mengakibatkan wanita merasakan beban yang berlebih pula ketika stres yang tidak diduga terjadi, misalnya adanya penyakit, perceraian atau permasalahan pada anak, sehingga dapat dikatakan bahwa ibu mengalami stres ganda (doubly stressed). Ibu dihadapkan pada stres yang terjadi dan lebih responsif secara emosional terhadap stres tersebut (Gore, dalam Carter & Goldrick, 1989).
Setelah coming out pada anak dan konflik terjadi, terdapat perubahan dalam kehidupan berkeluarga yang dievaluasi sebagai situasi yang penuh tekanan dan tuntutan. Lazarus (1976) mengatakan bahwa apabila suatu keadaan atau situasi yang rumit tersebut pada akhirnya dirasakan sebagai keadaan yang menekan dan mengancam serta mampu melampaui sumber daya yang dimiliki individu untuk mengatasinya, maka situasi ini dinamakan stres.
Stres melibatkan banyak variabel dan proses yang merupakan penilaian individu terhadap hubungan dengan lingkungannya yang dianggap relevan dengan kesejahteraan psikologisnya, atau yang melampaui sumber daya dalam dirinya. Penilaian tersebut mengarahkan individu pada proses coping yang sesuai dengan dirinya (Lazarus & Folkman; dalam Appley & Trumbull, 1986).
Coping merupakan suatu cara yang berorientasi intrapsikis untuk mengelola atau menguasai, menerima, mengurangi dan memperkecil tuntutan lingkungan, tuntutan internal dan konflik-konflik diantaranya (Lazarus & Launier; dalam Taylor, 1999). Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan individu untuk mengatasi stres, antara lain dengan mengontrol respon emosi yang timbul akibat stres tersebut, atau mengubah situasi yang dinilai stressful. Individu berusaha mengatasi stres yang dialaminya melalui proses kognitif dan transaksi tingkah laku dengan lingkungan yang melibatkan penilaian secara terus-menerus (Lazarus & Folkman; dalam Sarafino, 1998). Dari penjelasan sebelumnya, dalam menghadapi berbagai perubahan setelah anak coming out, terjadi stres pada diri ibu. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengambil ibu sebagai fokus utama penelitian untuk mengetahui gambaran mengenai stres dan coping yang dialami ibu dengan anak gay yang sudah coming out.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode kualitatif digunakan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam mengenai gambaran stres dan coping yang dialami ibu dengan anak gay yang sudah coming out. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam dan pedoman wawancara yang digunakan adalah pedoman umum dengan bentuk pertanyaan yang fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan masing-masing subjek. Pedoman umum wawancara merupakan alat pengumpul data yang dibuat peneliti berdasarkan literatur ilmiah mengenai stres dan coping. Melalui wawancara mendalam peneliti akan mendapatkan gambaran stres dan sumber stres pada diri subjek serta seberapa jauh subjek menampilkan strategi coping dalam mengatasi stres tersebut.

1.2. Rumusan Permasalahan
Adapun permasalahan utama yang ingin dijawab dalam penelitian adalah "Bagaimanakah gambaran stres dan coping pada ibu dengan anak gay yang telah coming out?"
Formulasi permasalahan utama tersebut diuraikan dalam beberapa sub permasalahan sebagai berikut:
1. Masalah-masalah apa sajakah yang muncul pada kehidupan ibu ketika anaknya mengakui tentang preferensi seksualnya?
2. Bagaimanakah gambaran stres yang terjadi pada ibu dengan anak gay yang telah coming out?
3. Bagaimanakah gambaran coping pada ibu dengan anak gay yang telah coming out?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran stres, serta proses coping pada ibu dengan anak gay yang telah coming out pada keluarganya.

1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dari penelitian ini pada umumnya dapat menjadi masukan yang berharga bagi masyarakat dan mahasiswa psikologi, khususnya dalam melihat gambaran stres dan coping ibu yang memiliki anak homoseksual yang berbeda dengan ibu yang memiliki anak heteroseksual dalam menjalani kehidupannya. Menjalani stres dan proses coping bagi ibu yang memiliki anak gay dapat merupakan masalah tersendiri karena hal-hal yang harus dihadapi oleh mereka pun dapat berbeda dengan ibu yang memiliki anak heteroseksual.

1.5. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing meliputi beberapa sub bab tersendiri. Berikut adalah gambaran mengenai isi masing-masing bab.
Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, yang dibagi ke manfaat teoritis dan praktis, dan sistematika penulisan.
Bab 2 berisi tinjauan kepustakaan yang terdiri dari teori-teori yang digunakan untuk mendukung penelitian. Teori-teori yang digunakan adalah teori mengenai homoseksual, coming out, teori stres dan coping.
Bab 3 berisi metode penelitian yang digunakan yang terdiri dari pendekatan penelitian, partisipan penelitian, pengumpulan data, prosedur penelitian, serta proses analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab 4 berisi analisis hasil dan interpretasi yang terdiri dari analisis per kasus pada ketiga subjek ibu dengan anak gay yang sudah coming out dan dilanjutkan dengan analisis antar kasus.
Bab 5 berisi kesimpulan mengenai gambaran stres dan coping yang dialami ketiga subjek.
GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PRIA GAY DEWASA MUDA YANG TELAH COMING-OUT

GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PRIA GAY DEWASA MUDA YANG TELAH COMING-OUT

(KODE PSIKOLOG-0002) : SKRIPSI GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA PRIA GAY DEWASA MUDA YANG TELAH COMING-OUT

BAB I
PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.
I.A. Latar Belakang Masalah
Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia, 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin wanita yang menyukai sesama jenisnya akan disebut lesbian, dan kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan menyukai sesama jenisnya akan disebut gay. Di Indonesia, homoseksualitas telah ada sejak dulu, misalnya di Ponorogo, Jawa-Timur, dimana banyak remaja-remaja yang berparas tampan, menjadi pasangan seksual para 'Warok' dan mereka disebut 'Gemblakan' (Sarwono, 2002).
Saat ini, di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sudah banyak terdapat perkumpulan komunitas homoseksual, yang bertujuan untuk memberi dukungan bagi sesama homoseksual, diantaranya seperti Yayasan Pelangi Kasih (YKPN), Arus Pelangi, LPA Karya Bakti, Gay Sumatra (GATRA), Abiasa-Bogor, GAYA PRIAngan-Bandung, Yayasan Gessang-Solo, Viesta-Jogjakarta, GAYa NUSANTARA-Surabaya, GAYA DEWATA-Bali dll. Banyak homoseksual telah menyadari orientasi seksualnya pada saat remaja yang secara tipikal dimulai dengan ketertarikan pada sesama jenis (Nevid, Fichner-Rathus, & Rathus, 1995). Keberadaan kaum homoseksual di tengah-tengah masyarakat dan dalam berinteraksi atau bersosialisasi dengan lingkungan senantiasa dihadapkan pada hukum, norma, nilai-nilai, dan serta stereotip yang berlaku di masyarakat. Situasi tersebut berpotensi menghasilkan reaksi dan perlakuan yang bermacam-macam dari lingkungan di sekelilingnya. Ada yang bersikap biasa dan mampu menerima, ada yang memandang sebelah mata, ada pula yang mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan seperti dikucilkan, disisihkan, dijauhi oleh keluarga, teman, dan lingkungan kerja, serta masyarakat. Gambaran diatas adalah resiko-resiko yang kerap dihadapi oleh kaum homoseksual ketika mereka berada di tengah-tengah masyarakat dan menjalin interaksi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Kaum homoseksual di Indonesia jumlahnya tidak sedikit, mereka ada di sekitar kita namun seringkali kita memang tidak tahu karena umumnya mereka termasuk yang memilih untuk non coming-out karena takut akan ancaman sosial-agama dari masyarakat. Sebagai catatan dari suatu survei dari Yayasan Priangan beberapa tahun yang lalu menyebutkan bahwa ada 21% pelajar SMP dan 35% SMU yang pernah terlibat dalam perilaku homoseksual. Data lain menyebutkan kaum homoseksual di tanah air memiliki sekitar 221 tempat pertemuan di 53 kota kota di Indonesia. Sampai saat ini, tidak ada angka pasti berapa jumlah homo di Indonesia. Tapi, pada tahun 2003 saja, klaim hasil survei Yayasan Pelangi Kasih Nusantara (YPKN) LSM yang bergerak dalam pencegahan penyakit HIV/AIDS di kalangan homoseks menyebut adanya 4000 hingga 5000 orang homo di Jakarta. Sedangkan Gaya Nusantara memperkirakan, 260.000 dari enam juta penduduk Jawa Timur adalah homo. Bahkan Dede Oetomo memperkirakan secara nasional jumlahnya telah mencapai sekitar 1 % dari total penduduk Indonesia. Hal di atas menggambarkan bahwa jumlah kaum homoseksual tidaklah sedikit.
Selain penerimaan dan penilaian dari masyarakat, faktor keluarga memiliki peranan yang besar. Orangtua yang mengetahui anaknya adalah seorang homoseksual seringkali merasa terpukul dan merasa bersalah, tidak jarang orangtua akan menghentikan bantuan finansial, mengusir anak dari rumah, atau mengucilkan anaknya (Walker, 1996; Nevid et. all, 1995). Penjelasan tersebut merupakan gambaran beberapa hambatan dan resiko yang dihadapi kaum homoseksual untuk menyatakan kepada orang lain atau publik tentang orientasi seksual yang dimilikinya. Kesadaran diri dan pengakuan seseorang kepada publik atau orang lain mengenai orientasi seksual yang dimiliki disebut dengan coming out.
Coming out merupakan hal yang sangat penting bagi seorang homoseksual, karena dengan melakukan coming out, seorang homoseksual dapat menerima identitas seksual mereka, yang merupakan bagian dari identitas keseluruhan diri mereka. Identitas personal dalam diri seseorang memiliki implikasi yang penting dalam seseorang memahami diri mereka dan juga dapat meningkatkan harga diri mereka. Hal tersebut menunjang terjadinya penyesuaian psikologis seseorang (Kelly, 2004). Bagi seorang homoseksual, melakukan coming out merupakan proses panjang dan beresiko menyakitkan (Nevid, 1995).
Menurut Greene (2000) isu-isu perkembangan yang dihadapi oleh kaum homoseksual dewasa muda adalah apakah ia akan melakukan coming out, akan menikah, atau akan hidup melajang. Berbagai isu perkembangan seputar kaum homoseksual dewasa muda tentunya menunjukkan adanya tantangan-tantangan khusus pada mereka. Hal itu kemudian juga memberi pengaruh tertentu pada kebahagiaan yang dimiliki. Berdasarkan uraian diatas, berdasarkan banyaknya jumlah gay di Indonesia, peneliti ingin mengupas lebih dalam mengenai kesejahteraan psikologis kaum gay di Indonesia pada umumnya, dengan rentang usia yang berada dalam tahap dewasa muda yang telah coming-out. Telah disampaikan diatas, bahwa kaum gay mendapat resiko yang begitu komplek. Peneliti akan menkhususkan penelitian untuk mengetahui kesejahteraan psikologis gay dewasa muda yang telah coming-out. Mengapa hal itu menjadi penting, karena setelah mengambil keputusan untuk coming-out, gay tersebut akan mulai mendapatkan berbagai penilaian dari masyarakat, termasuk didalamnya penilaian dari orangtua, keluarga dan kerabat. Seperti yang telah peneliti sampaikan sebelumnya, penilaian masyarakat terhadap keberadaan kaum gay sangat beragam, sehingga kaum gay akan beresiko mendapatkan penolakan dari masyarakat. Tentu penolakan dari masyarakat mengenai orientasi seksualnya menjadi tekanan yang cukup berat, apalagi jika penolakan tersebut datang dari orangtua dan keluarga. Penolakan dan tekanan yang dihadapi oleh kaum gay, akan semakin terlihat ketika kaum gay tersebut berada dalam tahap dewasa muda, dimana pada tahap tersebut, setiap individu mempunyai tugas perkembangan sebagai individu dewasa muda. Hal yang paling penting pada usia dewasa muda adalah pemenuhan kebutuhan akan intimacy. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka akan berdampak terhadap individu tersebut yaitu terisolasi dalam lingkungan atau mengalami kesepian. Kebutuhan akan intimacy pada dewasa muda juga berhubungan dengan tugas perkembangan dewasa muda. Individu dewasa muda sudah seharusnya memilih pasangan, menikah dan membangun kehidupan rumah tangga. Untuk memenuhi tugas perkembangan biasanya individu akan menjalin hubungan dengan lawan jenis atau berpacaran untuk menyeleksi dan memilih pasangan hidupnya. Jika individu dewasa muda kebutuhan intimacy-nya tidak terpenuhi, maka individu tersebut akan mengalami kesepian, cemas, dan tidak percaya diri. Hal itu menunjukkan bahwa ada hubungan antara intimacy dan kesejahteraan psikologis individu (psychological well-being). Maka pada kaum gay yang memasuki usia dewasa muda yang telah coming-out (dengan berbagai resiko dan hambatan yang telah diungkapkan sebelumnya) menimbulkan pertanyaan mengenai keadaan kesejahteraan psikologisnya (psychological well-being). Untuk mendapatkan gambaran kesejateraan psikologis pria gay, dalam penelitian ini peneliti menggunakan konsep psychological well-being yang dibuat oleh Ryff. Konsep psychological well-being dari Ryff ini terbagi ke dalam enam dimensi, yaitu: penerimaan diri, hubungan yang positif dengan orang lain, penguasaan lingkungan, otonomi, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi. Penelitian ini akan melihat bagaimana gambaran psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out

I.B. Perumusan Masalah Penelitian
Beberapa permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah gambaran psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out ? Beberapa pertanyaan turunan spesifik sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran enam dimensi psychological well-being pria gay yang telah coming-out?
2. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh pada psychological well-being pria gay dewasa muda yang telah coming out?
3. Bagaimana gambaran coming-out yang dilalui pria gay?

I.C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui gambaran dimensi-dimensi, faktor-faktor yang berpengaruh pada psychological well-being pria gay dewasa muda setelah melalui coming out.

I.D. Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik ditinjau secara praktis maupun teoritis.
Secara teoritis, untuk selanjutnya hasil dari penelitian ini diharapkan dapat:
1. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologis tentang psychological well-being pria dewasa muda yang telah coming-out
2. Memperkaya khasanah penelitian psikologi tentang kaum homoseksual dan kaitannya dengan kesadaran diri serta pengakuannya kepada orang lain mengenai orientasi seksual yang dimilikinya. Mengingat keberadaan kaum homoseksual banyak ditemukan di Indonesia dan masih menjadi pertentangan di masyarakat, tentang bagaimana gaya hidup homoseksual, dan pandangan masyarakat mengenai status identitas homoseksual.
3. Menjadi referensi bagi peneliti dengan bidang kajian serupa.
4. Memberi kontribusi terhadap pengembangan studi psychological well-being pada pria homoseksual.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:
1. Menjadi bahan masukan dan referensi bagi orang heteroseksual untuk memahami sahabat, teman, atau anggota keluarga yang memiliki orientasi homoseksual. Memberi masukan atau inspirasi kepada partisipan untuk menyingkapi kondisi dirinya dengan baik untuk menjalani penyesuaian dirinya dengan cara sehat dan adaptif
2. Bagi kaum homoseksual, pengetahuan ini bertujuan untuk memberi ilmu dan informasi dalam menyikapi persoalan yang dialami mereka secara bijaksana agar tercipta lingkungan yang lebih konstruksif bagi terbinanya jiwa dan mental yang lebih sehat.

I.E. Sistematika Penulisan
Tinjauan Pustaka
Bab ini menjelaskan teori atau studi literatur mengenai permasalahan dalam penelitian ini yang mencakup tentang teori-teori yang digunakan.
Metode Penelitian
Pada Bab ini penulis menjelaskan metode penelitian yang digunakan beserta alasan memilihnya, metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian, pemilihan sampel penelitian yang meliputi karakteristik sampel, serta urutan pelaksanaan prosedur penelitian.
Hasil dan Analisis Hasil Penelitian
Pada bab ini, penulis menganalisis hasil data yang diperoleh dari penelitian.
Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini berisi kesimpulan dan hasil analisis penelitian serta menjelaskan diskusi yang berisi hal-hal menarik, yang ditemukan penulis selama penelitian dilakukan. Terakhir, penulis memberikan saran yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.
ATTACHMENT STYLES PADA GAY DEWASA MUDA

ATTACHMENT STYLES PADA GAY DEWASA MUDA

(Kode PSIKOLOG-0001) : SKRIPSI ATTACHMENT STYLES PADA GAY DEWASA MUDA

BAB I
PENDAHULUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran attachment styles yang dialami oleh gay yang berada pada rentang usia dewasa muda. Oleh karena itu, pada bagian ini akan dijelaskan mengenai latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, dan sistematika penelitian.
I.1. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya jalan hidup setiap manusia berbeda-beda termasuk dalam hal orientasi seksualnya. Secara ekstrim, sebagian besar masyarakat pada umumnya memiliki pola pikir yang dikotomis, seperti hitam-putih, kaya-miskin atau pandai-bodoh. Dalam hal jenis kelamin dan orientasi seksual pun, masyarakat pada umumnya secara jelas dan nyata hanya mengakui jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan orientasi seksualnya hanya terhadap lawan jenis (Emka, 2004). Laki-laki yang menyukai sesama laki-laki, atau dikenal dengan sebutan gay sedangkan perempuan yang juga menyukai sesama perempuan, disebut dengan lesbian, merekalah yang disebut dengan kaum homoseksual (Emka, 2004). Menurut Neale, Davison, & Haaga (1996), ditegaskan bahwa homoseksual adalah hasrat atau aktivitas yang ditujukan terhadap orang yang memiliki jenis kelamin yang sama. Sebutan gay seringkali digunakan untuk menyebut pria yang memiliki kecenderungan menyukai sesama jenis (pria homoseksual) (Nevid, Rathus & Rathus, 1995).
Selama berabad-abad, homoseksualitas selalu dipandang sebagai salah satu dari tindakan kriminal. Pada awal abad ke 20, homoseksualitas semakin dipandang sebagai suatu penyakit. Saat itu para ahli kedokteran mengambil alih kasus homoseksualitas yang dinilai negatif sebagai salah satu dari perilaku sosial menyimpang dari segi hukum dan agama dan homoseksualitas tetap dipandang sebagai suatu kondisi patologis yang harus diinvestigasi, diperhatikan, juga disembuhkan (Susan Moore & Doreen Rosenthal, 2006 dan Kelly, 2001). Selain itu homoseksualitas dianggap sebagai dosa, pelanggaran terhadap ajaran agama dan perintah Tuhan. Pada saat itu, homoseksualitas diklasifikasikan ke dalam gangguan jiwa. Pada tahun 1969 terjadi peristiwa Stonewall yang merupakan awal dari pergerakan pembebasan kaum gay di Amerika Utara untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan hak-hak sipil bagi kaum homoseksual (Susan Moore & Doreen Rosenthal, 2006 dan Kelly, 2001). Kemudian pada tahun 1973, dipengaruhi oleh tekanan politik dari pergerakan kaum gay, American Psychiatric Association (APA) mencabut status homoseksual sebagai gangguan jiwa dari daftar penggolongan dan diagnosis psikopatologi, karena pada kenyataannya kaum homoseksual tetap dapat berfungsi normal di dalam masyarakat dan tidak mengganggu lingkungannya. Sejak itu, homoseksualitas tidak lagi dipandang sebagai suatu penyakit (Susan Moore & Doreen Rosenthal, 2006 dan Kelly, 2001).
Pergerakan kaum gay di luar negeri secara tidak langsung memberi 'angin segar' pada kaum gay di Indonesia untuk mendapat perlakuan yang lebih baik sehingga keberadaan mereka diakui sepenuhnya oleh masyarakat pada umumnya di kota-kota besar di Indonesia, terutama Jakarta (The Jakarta Post, 2007). Disebutkan bahwa sebanyak 5,7 juta jiwa dari seluruh penduduk Indonesia mengaku dirinya adalah seorang homoseksual dan jumlah tersebut belum termasuk yang sampai saat ini masih menyembunyikan orientasi seksualnya (The Jakarta Post, 2007). Disebutkan pula, fenomena perkembangan homoseksualitas ini tidak dapat diredam lagi dan justru semakin berkembang pesat. Hal ini dapat dilihat dari fenomena munculnya beberapa film layar lebar yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Indonesia terutama di kota-kota besar karena dalam ceritanya walaupun sedikit, mengangkat isu homoseksualitas. Film-film tersebut merupakan karya insan perfilman Indonesia, seperti film Arisan, Pesan dari Surga, dan Coklat Stroberi.
Walaupun kaum homoseksual tetap dianggap berbeda karena tertarik dengan sesama jenis (lelaki dengan lelaki dan perempuan dengan perempuan) oleh masyarakat Indonesia, tetapi dengan semakin adanya keterbukaan pandangan masyarakat terhadap hal seksualitas dan homoseksualitas, keberadaan kaum homoseksual di tengah masyarakat tetap ada, semakin menunjukkan identitasnya dan menuntut hak-hak yang sama seperti masyarakat lainnya (Emka, 2004 dan Soffa Ihsan, 2008). Secara perlahan namun pasti pergerakan kaum gay di Indonesia bisa dikatakan sudah meningkat dengan cukup signifikan dan tampil menghiasi wajah sosialita dan memberi warna lain tersendiri dari seksualitas terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung (Emka, 2004 dan Soffa Ihsan, 2008).
Peneliti berasumsi bahwa fenomena homoseksualitas ini tidak hanya menarik untuk diteliti, tetapi sekaligus sebagai salah satu bentuk usaha untuk lebih mengangkat isu homoseksualitas, dalam hal ini gay untuk bisa lebih dikenal dan dihargai sebagai bagian dari masyarakat pada umumnya. Beberapa penelitian tentang homoseksualitas di Indonesia menggunakan fenomena gay sebagai topik utama penelitian mereka dan mengangkat topik-topik seperti proses coming out, self-concept dan hubungan intimasi. Salah satu aspek penting yang berperan dalam perkembangan manusia adalah attachment styles yang dialami. Karena itu, peneliti tertarik untuk melihat gambaran attachment styles pada gay dan bagaimana gambaran hubungan dengan figur attachmentnya.
Bowlby mengemukakan tentang ikatan emosional antara bayi dan significant person/figur attachment. Ikatan emosional antara orang yang mengasuh dan anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak tersebut, terutama dalam menangani emosi anak tersebut dengan orang-orang di luar lingkungan keluarga. Ikatan tersebut dikenal dengan sebutan attachment (Pistole & Arricale, 2003). Attachment adalah kecenderungan makhluk hidup dalam membentuk ikatan afeksi yang kuat dengan orang lain yang dianggap istimewa (Bowlby & Ainsworth, dalam Colin, 1996). Ikatan dengan figur tertentu ini bertahan dalam waktu yang lama, ditandai oleh adanya keinginan untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan figur tersebut, terutama pada saat-saat yang menekan, agar mendapatkan perasaan nyaman dan aman (Bowlby & Ainsworth, dalam Colin, 1996).
Attachment mempunyai berbagai manfaat, yakni menumbuhkan perasaan trust dalam interaksi sosial di masa depan, membantu individu dalam menginterpretasi, memahami, dan mengatasi emosi-emosi negatif selama individu berada dalam situasi yang menekan dan juga menumbuhkan perasaan mampu (Vaughan & Hogg, 2002 ; Blatt, 1996). Menurut Davies (1999), attachment memiliki empat fungsi utama yakni 1) memberikan rasa aman, sehingga ketika individu berada dalam keadaan penuh tekanan, kehadiran figur attachment dapat memulihkan perasaan individu untuk kembali ke perasaan aman; 2) mengatur keadaan perasaan (regulation of affect and arousal), apabila peningkatan arousal tidak diikuti dengan relief (pengurangan rasa takut, cemas atau sakit) maka individu akan menjadi rentan untuk mengalami stres dan kemampuan figur attachment untuk membaca perubahan keadaan individu dapat membantu mengatur arousal dari individu yang bersangkutan; 3) sebagai sarana ekspresi dan komunikasi, attachment yang terjalin antara individu dengan figur attachment-nya dapat berfungsi untuk mengekspresikan diri, berbagi pengalaman dan perasaan yang sedang dialami; 4) sebagai dasar untuk melakukan ekplorasi pada lingkungan sekitar.
Dalam penelitian ini subjek yang akan diteliti yakni gay dewasa muda, dimaksudkan karena pada usia ini pria telah mengalami akil balik, mempunyai kebutuhan afeksi tinggi dan telah mempunyai kesadaran akan orientasi seksualnya (Matlin, 1999). Menurut Erikson (dalam Papalia et.al., 2004), setiap individu akan mengalami delapan krisis dalam kehidupan sosial yang berlangsung di sepanjang kehidupannya. Usia dewasa muda merupakan tahap keenam dari tahapan perkembangan psikososial. Pada saat itu individu diharapkan sudah mencapai tahap yakni intimacy and solidarity vs isolation (Papalia et.al., 2004). Rosenbluth dan Steil (dalam Papalia et.al., 2004), menjelaskan bahwa intimacy adalah pengalaman yang dekat, hangat, serta komunikatif. Apabila seseorang gagal membentuk intimacy dengan orang lain, maka ia akan menuju apa yang dinamakan dengan isolation yaitu terbentuknya hubungan sosial yang hampa (Miller, 1993).
Bowlby menjelaskan bahwa kualitas hubungan pada masa kanak-kanak dengan significant others/figur attachment menghasilkan representasi internal atau working models terhadap diri pribadi dan orang lain yang menyediakan prototipe bagi hubungan sosial selanjutnya (Bowlby, 1978). Pada masa dewasa, attachment styles diklasifikasikan menjadi secure attachment dan insecure attachment (Ainsworth et al., 1978 dalam Dwyer, 2000). Perasaan secure dan insecure yang dimiliki seseorang tergantung dari internal working models of attachment yang dimilikinya ( Bowlby dalam Collins & Feeney, 2004 ). Working models of attachment adalah representasi umum tentang bagaimana orang terdekatnya akan berespon dan memberikan dukungan setiap kali ia membutuhkan mereka dan bahwa dirinya sangat mendapat perhatian dan dukungan. Working models of attachment ini memainkan peran dalam membentuk kognisi, afeksi, dan perilaku seseorang dalam konteks yang berhubungan dengan attachment (Collins & Allard; Collins & Read, dalam Collins & Feeney, 2004).
Working model dibentuk dari pengalaman masa lalu individu dengan figur attachment-nya, apakah figur attachment-nya adalah orang yang sensitif, selalu ada, konsisten, dapat dipercaya dan sebagainya. Pengalaman interaksi awal seseorang akan membentuk dasar kepercayaannya terhadap diri sendiri dan orang lain yang akan mempengaruhi kehidupan psikososialnya dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Attachment styles dapat mempengaruhi kehidupan psikososial individu sepanjang interaksi tersebut relevan dengan masalah interpersonal, seperti interaksi dengan figur attachment/significant others (Pietromonaco & Barrett, 1997 dalam Baron & Byrne, 2000).
Pada orang dewasa, model attachment disebut juga dengan adult attachment styles. Pengertian adult attachment sendiri adalah kecenderungan stabil yang dimiliki individu untuk melaksanakan suatu usaha penting dalam mencari dan mempertahankan kedekatan atau kontak dengan seseorang atau beberapa orang spesifik yang memberikan rasa aman secara fisik maupun psikologis (Sperling & Berman, 1994). Pada orang dewasa, model attachment styles didasari oleh dua dimensi yakni, dimensi anxiety dan avoidance. Pada dimensi pertama, anxiety, perasaan seseorang tentang keberhargaan dirinya (self-worth) berkaitan dengan seberapa tinggi individu merasa khawatir bahwa ia akan ditolak, ditinggalkan, dan tidak dicintai oleh figur attachment/significant others. Adapun dimensi yang kedua, avoidance, berkaitan dengan seberapa jauh individu membatasi intimasi dan ketergantungan pada orang lain (Brennan, Clark & Shaver, Fraley & Waller; Griffin & Bartholomew, dalam Collins & Feeney, 2004). Disimpulkan bahwa kedua dimensi tersebut menjelaskan cara pandang individu terhadap orang lain dan dirinya sendiri. Dalam teori attachment dari Bowlby, dimensi tersebut dikenal dengan istilah working models of self and attachment figures (Colin & Feeney, 2004).
Dalam penelitian ini juga akan dibahas mengenai attachment styles pada gay dewasa muda yang diklasifikasikan ke dalam empat kategori adult attachment styles yakni secure, preoccupied, dismissing-avoidant, dan fearful-avoidant. Individu yang secure percaya bahwa dirinya dicintai dan dihargai oleh orang lain dan mendapat perhatian penuh; menilai figur attachment sebagai responsif, penuh perhatian dan dapat dipercaya; serta merasa nyaman dalam sebuah kedekatan atau keintiman (Collins & Feeney, 2004). Individu yang preoccupied memiliki perasaan tidak berharga dan tidak dicintai. Mereka menginginkan kedekatan dan intimasi dengan orang lain namun kurang yakin bahwa orang lain akan selalu 'ada' untuk dirinya dan berespon terhadap keinginannya, mereka juga memiliki kekhawatiran akan ditolak dan ditinggalkan (Collins & Feeney, 2004 ). Individu yang dismissing-avoidant, cenderung merasa percaya diri dan melihat dirinya sendiri kebal terhadap perasaan negatif. Individu menilai negatif figur attachment yakni sebagai pihak yang secara umum tidak dapat dipercaya serta tidak bertanggung jawab (Erdman & Caffery, 2003). Sedangkan individu yang fearful-avoidant, cenderung merasa tidak percaya pada diri sendiri maupun orang lain, selalu membuat jarak seolah-olah ingin melindungi diri mereka dari ketakutan akan adanya suatu intimasi dan karena mempunyai perasaan akan ditolak yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam intimasi dan menghindari bentuk hubungan yang erat atau intimasi dengan orang lain (Erdman & Caffery, 2003).
Berdasarkan fenomena yang telah disebutkan dia atas, peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran attachment styles yang dialami oleh gay dalam hal ini dikhususkan pada gay yang berada pada tahap dewasa muda. Gay juga mempunyai masa-masa dimana mereka mencapai puncak keinginan untuk hubungan percintaan, afeksi, kematangan fisik dan pikiran (Matlin, 1999). Oleh karena itu, peneliti memfokuskan rentang usia dewasa muda yang akan diteliti yakni yang berada pada usia 20-40 tahun (Papalia et.al, 2004). Untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika attachment yang dialami dengan figur attachment dan gambaran adult attachment styles yang dialami pada masa dewasa ini, untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam mengenai hal tersebut yang dialami oleh gay dewasa muda, maka pendekatan yang dianggap tepat yakni pendekatan kualitatif. Dengan melakukan wawancara mendalam kepada subjek, diharapkan dapat memungkinkan munculnya data-data yang sesungguhnya tidak terbayangkan sebelumnya dan memungkinkan bagi responden untuk memberikan jawaban yang bebas dan bermakna baginya (Patton, dalam Poerwandari, 1998). Gay yang menjadi responden dalam penelitian ini khususnya mereka yang tinggal di X.

I.2. Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka permasalahan yang utama dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana gambaran attachment styles yang dialami gay dewasa muda ?
2. Secara lebih spesifik, bagaimana gambaran hubungan individu gay dengan figur attachment dari masa kanak-kanak hingga dewasa dan apa bentuk adult attachment styles yang dialami gay dewasa muda dan dikaitkan dengan perkembangan psikososialnya?

I.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran attachment styles yang dialami pria gay khususnya yang tinggal di X. Secara lebih spesifik, ingin mengetahui apakah ada perubahan figur attachment yang dimiliki dari masa kanak-kanak hingga dewasa dan bentuk adult attachment styles yang dialami oleh gay dewasa muda yang kemudian dikaitkan dengan perkembangan psikososialnya.

I.4. Signifikansi Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat-manfaat positif bagi kaum gay sendiri maupun bagi masyarakat. Manfaat-manfaat tersebut antara lain :
1. Mengetahui secara lebih spesifik gambaran attachment styles yang dialami oleh gay yang diteliti, sehingga masyarakat umum dapat memahami gay secara objektif saat berinteraksi dengan gay.
2. Menambah wawasan dan masukan bagi keluarga dan masyarakat mengenai kaum gay.
3. Memperdalam pemahaman mengenai kehidupan gay yang memang sampai saat ini masih kurang diteliti secara ilmiah.
4. Menjadi tambahan bahan literatur psikologi yang membahas tentang gay sehingga dapat dijadikan sebagai data eksploratif yang dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya.
5. Memberi inspirasi dan masukan untuk para gay lainnya untuk tidak perlu merasa rendah diri dan malu dengan orientasi seksualnya.

I.5. Isu Etis
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana attachment styles pada subjek yang dalam hal ini yakni gay. Penelitian ini sangat berhubungan dengan kehidupan subjek dan merupakan isu yang cukup sensitif dan kontroversial di kalangan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas subjek dengan menyamarkan/menggunakan inisial pada nama subjek. Selain untuk menjaga kerahasiaan, hal ini juga dilakukan agar subjek merasa aman dan nyaman selama proses pengambilan data berlangsung. Peneliti hanya menggunakan data subjek untuk penyusunan skripsi dan tidak digunakan untuk kepentingan lain.

I.6. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi "Attachment Styles pada Gay Dewasa Muda" ini tersusun dalam sistematika sebagai berikut :
BAGIAN I PENDAHULUAN
Menggambarkan secara garis besar mengenai latar belakang masalah penelitian, tujuan dan signifikansi penelitian, isu etis serta sistematika penulisan dari penelitian.
BAGIAN II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi pembahasan mengenai berbagai teori yang berhubungan serta menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan dengan gay, attachment styles dan dewasa muda .
BAGIAN III METODE PENELITIAN
Berisi penjelasan tentang metode yang digunakan dalam penelitian, metode pengumpulan data, partisipan penelitian, prosedur penelitian, prosedur analisis yang digunakan dan instrumen penelitian dalam melaksanakan penelitian.
BAGIAN IV TEMUAN DAN ANALISIS
Menjelaskan mengenai hasil dari proses analisis dan pemberian makna data yang telah didapatkan dari pelaksanaan wawancara.
BAGIAN V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Membahas ringkasan dari hasil penelitian, kelemahan atau kekurangannya dan beberapa saran perbaikan yang perlu dilaksanakan berdasarkan hasil tersebut.