Search This Blog

Showing posts with label skripsi kesehatan masyarakat. Show all posts
Showing posts with label skripsi kesehatan masyarakat. Show all posts
SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X

SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X

(KODE KES-MASY-0033) : SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya hams melibatkan berbagai sektor yang terkait. Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang masih didominasi oleh masalah kurang energi protein (KEP), masalah anemia besi, masalah gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), masalah kurang vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar yang perlu ditanggulangi. Disamping masalah tersebut, diduga ada masalah gizi mikro lainnya seperti defisiensi zink yang sampai saat ini belum terungkapkan, karena adanya keterbatasan iptek gizi. Secara umum masalah gizi di Indonesia, terutama KEP masih lebih tinggi dari pada negara ASEAN lainnya (Supariasa,dkk 2002).
Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya nampak kurus. Namun gejala klinis KEP berat secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmic kwashiorkor.
Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan kurang energi dan marasmic kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein.
KEP umumnya diderita oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami marasmus adalah badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit (Aritonang, E, 2000).
Pudjiadi (1990) juga menyatakan bahwa penyakit KEP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak di bawah umur lima tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Sedangkan mortalitas yang tinggi terdapat pada penderita KEP berat, hal tersebut dapat terjadi karena pada umumnya penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Pada penderita KEP berat, tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit kekurangan zat gizi lain, misalnya xeroftalmia, stomatis angularis, dan Iain-lain.
Anak yang mengalami gizi buruk disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut penyebab langsung yaitu tidak mendapat makanan bergizi seimbang pada usia balita dan penyakit infeksi dan penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan lingkungan (Dinkes Propsu, 2006).
Berdasarkan data Depkes RI (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 5 juta anak (27,5%) kurang gizi. 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok adalah: rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%). Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari-hari (Arifin, 2007).
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi X (2009), ditemukan gizi buruk sebanyak 447 balita (0,6%), sementara balita yang gizi kurang sebanyak 6.545 balita (8,9%). Kasus gizi buruk tertinggi di kota X terdapat di Kecamatan X yang mencapai 55 balita dan gizi kurang sebanyak 174 balita. Sementara di daerah X Timur ada 7 balita gizi buruk dan gizi kurang sebanyak 16 balita.
Anak balita gizi buruk umumnya akan di rawat di rumah sakit, karena di rumah sakit terdapat upaya untuk mengobati penyakit penderita (kuratif), disamping upaya-upaya lain seperti promotif, preventif dan rehabilitatif. Dalam melakukan perawatan anak balita gizi buruk, RS X merupakan rumah sakit rujuk tertinggi di wilayah X, baik bagi pengunjung rawat inap maupun rawat jalan. Berdasarkan data RS X tahun 2009, ditemukan sebanyak 34 anak balita gizi buruk yang di rawat inap dan 16 balita gizi buruk rawat jalan pada bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2009.
Anak balita gizi buruk yang menjalani perawatan dari pelayanan kesehatan rumah sakit, status gizi anak balita gizi buruk tersebut setidaknya akan mengalami peningkatan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan dari gizi buruk menjadi gizi kurang atau bahkan bisa berubah menjadi normal. Namun demikian juga tidak menutup kemungkinan adanya penumnan status gizi yang lebih parah lagi dalam kumn waktu beberapa minggu atau bulan karena pada kumn waktu tersebut adanya perubahan status gizi akan dapat dilihat kembali. Perubahan status gizi tersebut disebabkan oleh faktor tertentu seperti komplikasi penyakit dan pemberian makanan.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut: bagaimana perubahan berat badan anak balita gizi buruk tahun 2009 yang dirawat di RS X.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan berat badan anak balita gizi buruk yang dirawat di RS X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui status gizi anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
2. Mengetahui komplikasi penyakit anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
3. Mengetahui jumlah pemberian energi dan protein anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
4. Mengetahui terapi diet dan penyakit anak balita gizi buruk.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi kepada pihak mmah sakit tentang perubahan berat badan anak balita gizi buruk.
2. Untuk memberikan informasi kepada pihak rumah sakit mengenai status gizi anak balita gizi buruk pada awal dan akhir rawat inap.
3. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi semua pihak yang terkait dalam meningkatkan pelayanan terhadap anak balita gizi buruk yang dirawat di RS X.
SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

(KODE KES-MASY-0032) : SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Penyakit diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (3 atau lebih per hari) dan berlangsung kurang dari 14 hari yang disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja dari penderita. Penyakit diare merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada anak balita dengan disertai muntah dan mencret, penyakit diare apabila tidak segera diberi pertolongan pada anak dapat mengakibatkan dehidrasi (Depkes RI, 2002).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak) memperkirakan bahwa setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare. Di Indonesia, setiap tahun 100.000 balita meninggal karena diare (www.esp.or.id).
Berdasarkan data profil Kota X Tahun 2007, jumlah balita yang terkena diare sebanyak 26.888 jiwa sedangkan untuk wilayah Kecamatan X ada 1.434 balita yang terkena diare. Jumlah penderita balita diare di Kecamatan X termasuk urutan ketiga tinggi dari 12 Kecamatan yang ada di Kota X. Berdasarkan data profil Puskesmas X Tahun 2006-2008 bahwa jumlah penderita balita diare meningkat, yaitu sebanyak 1.547 menjadi 2.980 kasus.
Salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat dianggap mengganggu karena kesukaannya hinggap di tempat-tempat yang lembab dan kotor, seperti sampah. Selain hinggap, lalat juga menghisap bahan-bahan kotor dan memuntahkan kembali dari mulutnya ketika hinggap di tempat berbeda. Jika makanan yang dihinggapi lalat akan tercemar oleh mikroorganisme baik bakteri, protozoa, telur/larva cacing atau bahkan virus yang dibawa dan dikeluarkan dari mulut lalat-lalat dan bila dimakan oleh manusia, maka dapat menyebabkan penyakit diare (Andriani, 2007).
Pada pola hidup lalat, tempat yang disenangi lalat adalah tempat yang basah, benda-benda organik, tinja, kotoran binatang. Selain itu, tempat yang disenangi oleh lalat adalah timbunan sampah yang sebagai tempat untuk bersarang dan berkembangbiak.
Sampah merupakan suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia atau benda-benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang (Notoatmodjo, 2007). Volume timbulan sampah yang dihasilkan dari aktivitas manusia dapat meningkat terus sehingga terjadi penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Timbulan sampah dapat memburuk bila pengelolaan di masing-masing daerah masih kurang efektif, efisien, dan berwawasan lingkungan. Keberadaan sampah dapat juga mengganggu kesehatan masyarakat karena sampah merupakan salah satu sumber penularan penyakit. Sampah juga menjadi tempat yang ideal untuk sarang dan tempat berkembangbiaknya vektor penyakit.
Kota X sebagai salah satu kota yang berkembang dengan pesat juga tak luput dari permasalahan penanganan sampah. Timbulan sampah yang terdapat di Kota X merupakan sampah domestik yaitu sampah yang berasal dari pemukiman dengan jumlah 3.408 ton/hari, sampah pasar/pertokoan 438 m3/hari, dan jumlah sampah lain-lain 719 m3.
Penanganan akhir dari sampah Kota X yaitu dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah X yang berdekatan dengan pemukiman penduduk Kelurahan Sumur Batu. TPA X mempunyai luas area 12 ha dengan kapasitas 3408 m3/hari.
Sistem penanganan sampah yang digunakan pada TPA X adalah sistem control landfill yang merupakan pengembangan dari pengeolahan open land dumping. Sistem control landfill sampah memiliki kelemahan, salah satunya menjadi tempat berkembangbiaknya lalat.
Menurut hasil pencatatan pengukuran tingkat kepadatan lalat yang dilakukan oleh Sie Penyehatan Lingkungan Dinkes X tahun 2004 di lingkungan TPA X dan sekitarnya adalah sangat padat.
Pengukuran rata-rata yang dilakukan seperti pada jarak 100 meter dari kantor masuk TPA berjumlah 22,6 ekor/grill, pemukiman RT 04/04 kelurahan Sumur Batu berjumlah 18,6 ekor/grill, dan pemukiman pemulung berjumlah 31,4 ekor/grill.
Jarak lokasi penanganan sampah akhir dengan pemukiman rumah penduduk ± 200 meter sedangkan jarak terbang lalat efektif adalah 450-900 meter sehingga mempermudahkan lalat untuk hinggap dimana saja, terutama di pemukiman penduduk.

1.2 Rumusan Masalah
Salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Kota X terletak berdekatan dengan rumah penduduk di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan X. Dari observasi pendahuluan di rumah penduduk di sekitar lokasi TPA terlihat masih banyak lalat dan beradasarkan data Dinkes Kota X kepadatan lalat pada sekitar lokasi TPA termasuk kategori padat. Disisi lain, Kecamatan X merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kota X dimana kasus diare menjadi masalah karena jumlah kasusnya yang cukup tinggi, yaitu sebanyak 2.890 kasus

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya angka gambaran kepadatan lalat di rumah penduduk balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
2. Diketahuinya gambaran kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
3. Diketahuinya hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
4. Diketahuinya faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA, meliputi: karakteristik balita (status gizi, imunisasi campak, dan pemberian ASI eksklusif), perilaku ibu balita (mencuci tangan dan menutup makanan), dan sumber air (air bersih dan air minum)

1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dalam perencanaan dan penyusunan program lintas sektoral dalam hal pemeliharaan dan pemanfaatan TPA X.
2. Berguna dalam perencanaan dan penyusunan program pemberantasan penyakit diare dan antisipasi terhadap kejadian penyakit diare pada balita sekitar TPA X.
3. Sebagai wahana dalam pengembangan intelektual serta menambah pengalaman penulis

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di TPA X, Kecamatan X Kota X. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni tahun XXXX dengan populasi penelitian adalah balita yang tinggal di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan X Kota X. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional, dimana pengukuran tingkat kepadatan lalat dan penyakit diare diukur secara bersamaan. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan wawancara kepada responden dan pengukuran tingkat kepadatan lalat.
SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0031) : SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dalam GBHN 1993 disebutkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dalam rangka memperbaiki kualitas hidupnya. Pada Repelita VI tercantum bahwa tujuan pokok dari pembangunan kesehatan antara lain pengurangan angka kesakitan, kecacatan dan kematian serta peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, terjangkau dan dapat diterima masyarakat. Salah satu target yang ingin dicapai dengan pembangunan kesehatan adalah penurunan angka kesakitan dan kematian pada kelompok rentan, salah satunya pada kelompok anak-anak di bawah lima tahun. Berdasarkan kajian dan analisis dari beberapa survey yang dilakukan, angka kesakitan diare pada semua golongan umur adalah 280/1000 penduduk dan pada golongan balita adalah 1,5 kali pertahun (Depkes RI. 2000).
Dengan adanya rumusan tersebut, maka lingkungan yang diharapkan pada masa depan adalah lingkungan yang konduksif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan permukiman yang sehat serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa dan agama (Depkes RI, 1999).
Lingkungan yang tidak sehat akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat. Lingkungan juga sangat berperan terhadap tersedianya air bersih yang digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Air bersih yang dipergunakan oleh masyarakat harus memenuhi kualitas air yang diatur dalam Permenkes No. 416 Tahun1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air dan Kepmenkes No. 907 Tahun 2002 Tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2001, diare menduduki peringkat pertama penyebab kematian anak dengan persentase sebesar 35%. Di Indonesia sendiri dapat ditemukan sekitar 60 juta penderita diare setiap tahunnya dimana 70-80% dari penderitanya adalah anak dibawah lima tahun dengan masih tingginya angka kesakitan yang dilaporkan, yaitu 23,35 per 1000 penduduk pada tahun 1998 meningkat menjadi 26,13 per 1000 penduduk pada tahun 1999. (Profil Kesehatan Indonesia, 2004).
Secara proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita yaitu 55%. Berdasarkan kajian dan analisis dari beberapa survey yang dilakukan, angka kesakitan diare pada semua golongan umur pada tahun 2000 adalah 301/1000 atau 3,01%, cenderung meningkat dibanding angka kesakitan diare pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alidan (2002) yang meunjukan bahwa cakupan air bersih dan insiden diare mempunyai hubungan yang sedang r = 0,365 dan berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan pValue < α (0,048) dan berdasarkan hasil penelitian Sutomo (1986) yang mengemukakan bahwa penggunaan air tidak tercemar dan penggunaan fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat dapat mengurangi angka kejadian diare dan kematian diare.
Berdasarakan data Kecamatan X pada tahun XXXX-XXXX mengenai cakupan program kesehatan lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas X sebagai berikut :

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas X kasus diare tahun XXXX pada golongan semua umur sebanyak 2.629 kasus dengan jumlah prevalensi 5,12% dan pada tahun XXXX pada golongan semua umur sebanyak 3.265 kasus dengan jumlah prevalensi sebesar 5,36%.

1.2 Perumusan Masalah
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja (jamban), apabila kedua faktor tersebut tidak sehat atau tidak memenuhi syarat kesehatan, maka dapat menimbulkan kejadian diare. Puskesmas X sebagai institusi yang berperan penting dalam deteksi dini kejadian penyakit dan pencegahan kejadian penyakit diwilayah kerjanya, telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare sesuai peraturan atau sesuai dengan syarat kesehatan, namun kejadian diare yang terjadi pada golongan semua umur sebesar 5,12% pada tahun XXXX dan 5,36% di Puskesmas X tahun XXXX. Karena itu diperlukan suatu identifikasi mengenai hubungan jenis sumber air bersih, kondisi fisik air bersih dan jamban dengan kejadian diare agar upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare dapat berlangsung dengan baik.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan antara jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX ?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
2. Diketahuinya jenis sumber air bersih di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
3. Diketahuinya kondisi fisik air bersih di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
4. Diketahuinya karakteristik responden (umur, pendidikan) di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
5. Diketahuinya perilaku responden tentang kebiasaan mencuci tangan (sebelum dan sesudah makan, setelah BAB) menggunakan sabun di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
6. Diketahuinya perilaku responden tentang mencuci peralatan makan menggunakan sabun di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
7. Diketahuinya jenis jamban di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
8. Diketahuinya hubungan antara jenis sumber air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX
9. Diketahuinya hubungan antara kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX
10. Diketahuinya hubungan antara karakteristik responden (umur, pendidikan) di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
11. Diketahuinya hubungan antara perilaku responden tentang mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dan setelah BAB dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
12. Diketahuinya hubungan antara jenis jamban dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, terutama untuk :
1. Didapatnya informasi tentang jenis sumber air bersih, kondisi fisik air bersih dan kejadian diare sebagai bahan evaluasi bagi Puskesmas dan sebagai bahan intervensi dalam pencegahan diare dan sebagai dasar pengambilan kebijakan pada tahun yang akan datang.
2. Sumber literatur bagi mahasiswa yang membutuhkan dan dapat menambah wacana penelitian dalam bidang kesehatan masyarakat dan tentang jenis dan kondisi air bersih dan kejadian diare.
3. Peneliti dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang di dapat selama pendidikan, menambah pengalaman dalam bidang penelitian dan mengetahui kondisi sanitasi dasar yang merupakan salah satu faktor untuk mencapai derajat kesehatan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah analisa data primer dan analisa data sekunder pada jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih serta kejadian diare. Data primer diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder diperoleh dari data yang ada pada laporan Program Kesehatan Lingkungan dan Laporan Tahunan Diare Puskesmas X dan kejadian diare yang terjadi pada golongan semua umur.
Penelitian ini dilakukan pada bulan November-Desember XXXX dengan desain penelitian Cross Sectional dan analisa yang digunakan adalah analisa Univariat dan analisa Bivariat.
SKRIPSI HUBUNGAN IKLIM (CURAH HUJAN, KELEMBABAN DAN SUHU UDARA) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

SKRIPSI HUBUNGAN IKLIM (CURAH HUJAN, KELEMBABAN DAN SUHU UDARA) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

(KODE KES-MASY-0030) : SKRIPSI HUBUNGAN IKLIM (CURAH HUJAN, KELEMBABAN DAN SUHU UDARA) DENGAN KEJADIAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sebelas tahun terakhir merupakan tahun-tahun terhangat dalam temperatur permukaan global sejak 1850. Tingkat pemanasan rata-rata selama lima puluh tahun terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata seratus tahun terakhir. Temperatur rata-rata global naik sebesar 0,74°C selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan (IPCC, 2007).
Pada dasarnya iklim bumi senantiasa mengalami perubahan. Hanya saja perubahan iklim di masa lampau berlangsung secara alamiah, kini lebih banyak disebabkan karena ulah manusia, sehingga sifat kejadiannya pun menjadi lebih cepat dan drastis. Hal itu kemudian mendorong timbulnya sejumlah penyimpangan-penyimpangan pada proses alam (Depkes, XXXX).
Masalah yang kini dihadapi manusia adalah sejak dimulainya revolusi industri 250 tahun yang lalu, emisi gas rumah kaca (GRK) semakin meningkat dan menebalkan selubung GRK di atmosfer dengan laju peningkatan yang signifikan. Hal tersebut telah mengakibatkan adanya perubahan paling besar pada komposisi atmosfer selama 650.000 tahun. Iklim global akan terus mengalami pemanasan dengan laju yang cepat dalam dekade-dekade yang akan datang kecuali jika ada usaha untuk mengurangi emisi GRK ke atmosfer (IPCC, 2007).
Efek rumah kaca merupakan fenomena dimana atmosfir bumi berfungsi seperti atap kaca pada sebuah rumah kaca. Sinar matahari dapat tembus masuk, namun panasnya tidak dapat keluar dari rumah kaca tersebut. Akibatnya, lama-kelamaan temperatur bumi terus meningkat dan terjadilah pemanasan global. Seperti es yang meleleh karena panas, salju di kutub pun mencair akibat memanasnya suhu bumi dan menimbulkan perubahan-perubahan di alam. Perubahan inilah yang kemudian memberikan dampak yang nyata pada kehidupan kita (Depkes, XXXX).
Dengan meningkatnya emisi dan berkurangnya penyerapan, tingkat gas rumah kaca di atmosfer kini menjadi lebih tinggi daripada yang pernah terjadi di dalam catatan sejarah. Badan dunia yang bertugas memonitor isu ini Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) telah memperkirakan bahwa antara tahun 1750 dan 2005 konsentrasi karbon dioksida di atmosfer meningkat dari sekitar 280 ppm (parts per million) menjadi 379 ppm per tahun dan sejak itu terus meningkat dengan kecepatan 1,9 ppm per tahun. Akibatnya, pada tahun 2100 nanti suhu global dapat naik antara 1,8 hingga 2,9 derajat (IPCC dalam UNDP, 2007).
Perubahan iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi dan akan meningkatkan risiko baik bagi yang muda maupun para lansia karena agen penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya) dan vektor (serangga atau rodensia) bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan ambien lainnya (Sintorini, 2007). Perubahan iklim memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru. Hal itu sudah terjadi di tahun El Niño 1997 ketika nyamuk berpindah ke dataran tinggi di Papua. Suhu lebih tinggi juga menyebabkan beberapa virus bermutasi, yang tampaknya sudah terjadi pada virus penyebab demam berdarah dengue, yang membuat penyakit ini makin sulit diatasi. Tingkat penyebaran virus diperkirakan mengalami peningkatan pada peralihan musim yang ditandai oleh curah hujan dan suhu udara yang tinggi. Kasus demam berdarah dengue di Indonesia juga sudah ditemukan meningkat secara tajam di tahun-tahun La Niña (UNDP, 2007).
Menurut ramalan cuaca dari Pusat Ramalan Iklim (CPC), Badan Nasional Kelautan dan Atmosfer AS (NOAA), curah hujan di Indonesia akan berada di atas rata-rata selama Januari-Maret 2009, sebagai dampak dari fenomena La Nina, yang kini sedang berkembang di Belahan Bumi Utara Khatulistiwa. La Nina merupakan suatu kondisi dimana terjadi penurunan suhu muka laut di kawasan Timur ekuator di Lautan Pasifik. Berdasarkan observasi dan kecenderungan-kecenderungan akhir-akhir ini, kondisi La Nina tampaknya akan terus berkembang di musim Semi 2009 di Belahan Bumi Utara. Salah satu dampak dari La Nina adalah curah hujan di Indonesia dia atas rata-rata.
Sejak berjangkit di Indonesia pada tahun 1968 penyakit DBD cenderung menyebar luas dan meningkat jumlah penderitanya. Keadaan ini erat kaitannya dengan meningkatnya mobilitas penduduk dan kepadatan penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi dan tersebar luasnya virus dengue serta nyamuk penularnya di berbagai wilayah (Ditjen P2M&PL, XXXX).
Demam berdarah dengue adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dengan tanda-tanda tertentu dan disebarkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (vektor primer), Aedes albopictus (vektor sekunder) dan Aedes scutellaris (Indonesia Timur). Data WHO (2000) menunjukkan diperkirakan sebanyak 2,5 sampai 3 milyar penduduk dunia berisiko terinfeksi virus dengue.
Di Asia Tenggara, penyakit DBD telah dikenal selama 40 tahun. Kasus terbanyak dilaporkan dari Thailand, Indonesia, dan Vietnam. Ketiga negara tersebut telah memiliki sistem surveilans yang komprehensif. Setiap dekade, jumlah kasus DBD di Asia Tenggara meningkat dari 50.000 kasus per tahun (1970), 165.000 kasus per tahun (1980), dan 200.000 kasus per tahun (1990) (CDC).
Intergovernmental Panel on Climate Change tahun 1996 menyebutkan insiden DBD di Indonesia dapat meningkat tiga kali lipat pada tahun 2070. Tanpa pengendalian yang efektif Demam Berdarah akan mengganggu perekonomian negara dan bangsa. Kunci pengendalian demam berdarah adalah pengendalian DBD berbasis wilayah, yakni pengendalian kasus dan berbagai faktor risiko secara simultan (Achmadi, 2007).
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam timbul dan penyebaran penyakit DBD, baik lingkungan biologis maupun fisik. Pengaruh iklim misalnya berupa pengaruh hujan, yang dapat menyebabkan kelembaban naik dan menambah jumlah tempat perindukan (Kusumawati, 2007). Menurut Soegijanto S. (2003), faktor lingkungan fisik yang berperan terhadap timbulnya penyakit DBD meliputi kelembaban nisbi, cuaca, kepadatan larva dan nyamuk dewasa, lingkungan di dalam rumah, lingkungan di luar rumah dan ketinggian tempat tinggal. Unsur-unsur tersebut saling berperan dan terkait pada kejadian infeksi virus dengue.
Variabel iklim antara lain fenomena El Niño, kenaikan permukaan air laut dan perubahan vegetasi setiap musim berpengaruh pada berkembangbiaknya populasi nyamuk Aedes aegypti ataupun Aedes albopictus.. Kenaikan permukaan air laut dan perubahan vegetasi setiap musim sangat berpengaruh pada penyerapan dan kelembaban tanah. Kenaikan permukaan air laut di daerah Pasifik sangat terkait dengan perkembangbiakan nyamuk penyebab Demam Berdarah. Perubahan iklim menjadi penyebab penting terjadinya penyakit. (Fuller, 2009).
Lebih jauh lagi, iklim dapat berpengaruh terhadap pola penyakit infeksi karena agen penyakit (virus, bakteri, atau parasit lainnya) dan vektor (serangga atau rodensia) bersifat sensitif terhadap suhu, kelembaban dan kondisi lingkungan ambien lainnya. Cuaca dan iklim berpengaruh terhadap penyakit yang berbeda dengan cara yang berbeda. Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk seperti demam berdarah dengue (DBD), malaria dan demam kuning berhubungan dengan kondisi cuaca yang hangat (Sintorini, 2007). Banyak yang menduga bahwa KLB DBD yang terjadi setiap tahun hampir di seluruh Indonesia terkait erat dengan pola cuaca di Asia Tenggara. Tingkat penyebaran virus diperkirakan mengalami peningkatan pada peralihan musim yang ditandai oleh curah hujan dan suhu udara yang tinggi (Burke dalam Sintorini, 2007).
Daerah Khusus Ibukota Jakarta menempati peringkat pertama sebagai daerah yang rentan perubahan iklim se-Asia Tenggara berdasarkan survei Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA). Wilayah Jakarta sangat rentan terhadap bencana yang terkait perubahan iklim, salah satunya akibat dari tingginya angka kepadatan penduduk. Hampir semua wilayah DKI masuk wilayah paling rentan dengan perubahan iklim. Dari 530 wilayah kota di tujuh negara yang dikaji seperti Indonesia, Thailand, Kamboja, Laos PDR, Vienam, Malaysia dan Philipina, lima wilayah kota administrasi di DKI Jakarta masuk dalam 10 besar kota yang rentan terhadap perubahan iklim. Dari 10 besar tersebut, tiga wilayah kota administrasi di DKI Jakarta menempati tiga urutan tertinggi, yaitu Jakarta Pusat menempati urutan pertama, posisi kedua Jakarta Utara, posisi ketiga Jakarta Barat. Sedangkan X masuk dalam urutan kelima, dan Jakarta Selatan masuk dalam urutan kedelapan. Sementara Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu tidak masuk dalam wilayah rentan perubahan iklim (www.metro.vivanews.com).
Dalam 25 tahun terakhir ada beberapa unsur mengalami perubahan diantaranya suhu udara di wilayah DKI Jakarta mengalami kenaikan rata-rata 0,17°C suhu di daerah Jakarta cenderung lebih tinggi 0,7°C-0,9°C dibandingkan dengan daerah pinggiran (Halim dan Cengkareng), kelembaban juga lebih kecil 3%-7% dari pinggiran (rural), curah hujan akibat aliran konvektif sering terjadi di kota Jakarta sehingga jumlah hari hujannya pun lebih banyak dari pinggiran (rural) yaitu sebesar 1-3 hari, serta arah dan kecepatan angin juga mengalami perubahan. Di Jakarta angin dengan laju angin rata-rata 4 knots sering bertiup, sedangkan kecepatan angin lebih besar dari 6 knots jarang terjadi. Hal ini diakibatkan adanya gedung-gedung tinggi yang menghambat laju kecepatan angin (BMG).
Curah hujan lebat dan banjir dapat memperburuk sistem sanitasi yang belum memadai di banyak wilayah kumuh di berbagai daerah dan kota, sehingga dapat membuat masyarakat rawan terkena penyakit-penyakit yang menular lewat air seperti diare dan kolera. Suhu tinggi dan kelembapan tinggi yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan kelelahan akibat kepanasan terutama di kalangan masyarakat miskin kota dan para lansia. Dan suhu yang lebih tinggi juga memungkinkan nyamuk menyebar ke wilayah-wilayah baru, menimbulkan ancaman malaria dan demam berdarah dengue (UNDP, 2007).
Peningkatan hujan dapat meningkatkan keberadaan vektor penyakit dengan memperluas ukuran habitat larva yang ada dan membuat tempat pemberantasan nyamuk baru. Di tempat dengan iklim tropis basah, musim kemarau dapat menyebabkan arus sungai melambat dan menjadikannya kolam stagnan yang menjadi habitat ideal bagi vektor untuk tempat pemberantasan nyamuk. Sedangkan kelembaban dapat mempengaruhi transmisi vektor serangga. Nyamuk akan lebih mudah mengalami dehidrasi dan pertahanan hidup menurun pada kondisi kering (WHO, 2003).
Selain itu, DBD merupakan penyakit musiman yang biasanya berhubungan dengan cuaca lebih hangat dan lebih lembab. Suhu ekstrim mengancam ketahanan hidup virus penyebab penyakit, tetapi perubahan pada suhu memungkinkan efek bervariasi. Suhu berhubungan dengan perubahan dinamika siklus hidup organisme vektor dan virus yang kemudian mampu meningkatkan transmisi potensial pada kejadian penyakit demam berdarah dengue. Jika suhu rendah dengan adanya sedikit peningkatan suhu akan meningkatkan perkembangan, inkubasi dan replikasi virus. Selain itu, suhu dapat memodifikasi pertumbuhan vektor pembawa penyakit dengan mengubah tingkat gigitan mereka. Sama seperti mempengaruhi dinamika populasi vektor dan mengubah tingkat kontak dengan manusia. Pergantian suhu dapat mengubah musim transmisi. Vektor pembawa penyakit bisa beradaptasi pada perubahan suhu dengan mengubah distribusi geografis (WHO, 2003).
Pada musim pancaroba, kasus DBD sangat meningkat, hal ini disebabkan oleh kelembapan udara yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dalam menggigit. Suhu udara yang lebih tinggi kemungkinan memperpendek masa inkubasi ekstrinsik, yang berarti meningkatkan peranannya dalam penularan virus dengue. Di seluruh dunia diasumsikan setiap tahunnya terdapat 50 sampai 100 juta penderita demam dengue (DD) dan 250 hingga 500.000 penderita DBD. Di samping itu, DBD merupakan penyebab utama perawatan dan kematian anak di Asia (www.menkokesra.go.id).
Demam berdarah dengue sudah empat puluh tahun ada di Indonesia, sejak tahun 1968 dan sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia karena terus mengalami peningkatan, baik dalam jumlah maupun wilayahnya. Letak geografis dan iklim tropis di Indonesia sangat mendukung semakin berkembangnya penyakit ini. Penyakit DBD telah menjadi penyakit endemik di kota-kota besar di Indonesia. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit demam berdarah dengue, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk penularnya sudah tersebar luas di perumahan penduduk maupun fasilitas umum diseluruh Indonesia. Hingga saat ini jumlah kasus DBD dan daerah terjangkit terus meningkat. Setiap tahun terjadi KLB DBD dibeberapa provinsi.
Wabah penyakit demam berdarah dengue (DBD) hingga saat ini masih menjadi ancaman serius bagi masyarakat DKI Jakarta. X masih tercatat sebagai wilayah yang masih berada di "zona merah", dengan jumlah pasien tertinggi. Pada tahun XXXX, di X tercatat 6.869 kasus, merupakan yang tertinggi di antara lima wilayah DKI yang lain. Demikian pula pada tahun 2005, kasus DBD di seluruh wilayah DKI Jakarta pada tahun XXXX lebih tinggi dari 2005, tetapi jumlah kasus tertinggi tetap terjadi di X, yaitu 6.732 kasus. Begitu juga pada tahun 2006-XXXX, jumlah kasus DBD di X terus meningkat dengan angka incidence rate (IR) 363,02 per 100.000 (tahun 2006), 445,13 (2007) dan 420,53 per 100.000 (XXXX). Pada bulan Februari 2009, X menempati urutan kedua dengan 14 kelurahan zona merah, yaitu, Jatinegara, Penggilingan, Pulo Gebang, Ciracas, Duren Sawit, Klender, Pondok Bambu, Pondok Kelapa, Bidara Cina, Rawa Bunga, Cawang, Makasar, Pekayon, dan Kayu Putih (Suku Dinas Kesehatan Masyarakat X, 2009).

1.2 Rumusan Masalah
Dalam 25 tahun terakhir suhu udara di wilayah DKI Jakarta mengalami kenaikan rata-rata 0,17°C, suhu di daerah Jakarta cenderung lebih tinggi 0,7°C-0,9°C dibandingkan dengan daerah pinggiran (Halim dan Cengkareng), kelembaban juga lebih kecil 3%-7% dari pinggiran (rural) dan curah hujan juga sering terjadi di kota Jakarta, sehingga jumlah hari hujannya pun lebih banyak dari pinggiran (rural). Begitu juga dengan rata-rata suhu udara di Kota Administrasi X mengalami peningkatan, 27,4°C (XXXX) menjadi 27,5°C (XXXX), sedangkan rta-rata kelembaban mengalami penurunan 78% (XXXX) menjadi 74,2% (XXXX) dan rata-rata curah hujan terus mengalami fluktuasi pada setiap tahunnya (BMKG, 2005). Angka kejadian kasus DBD di X, juga meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2006-XXXX, jumlah kasus DBD di X terus meningkat dengan angka incidence rate (IR) 363,02 per 100.000 (tahun 2006), 445,13 per 100.000 (2007) dan 420,53 per 100.000 (XXXX). Hal ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan perubahan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) dapat meningkatkan risiko kejadian DBD di X.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian dalam studi ini adalah "Apakah ada hubungan antara kejadian demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara)".

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan kasus demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya distribusi frekuensi iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.
2. Diperolehnya distribusi kejadian kasus demam berdarah dengue di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.
3. Diperolehnya hubungan antara kejadian kasus demam berdarah dengue dengan iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) di Kota Administrasi X Tahun XXXX-XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Penulis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas wawasan serta pengetahuan tentang hubungan kejadian kasus demam berdarah dengue dengan faktor iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara), serta dapat menyajikan suatu studi di bidang kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan lingkungan dengan menggunakan kaidah ilmiah sebagai latihan untuk menerapkan disiplin ilmu yang sudah dipelajari dalam bentuk tulisan ilmiah.
1.5.2 Bagi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Informasi yang diperoleh dari penelitian ini menjadi bahan tambahan ilmu untuk pengembangan kompetensi mahasiswa, khususnya mahasiswa kesehatan lingkungan. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan dan dikembangkan untuk penelitian lebih lanjut mengenai pemberantasan dan pencegahan penyakit demam berdarah dengue.
1.5.3 Bagi Pemerintah Kota Administrasi X
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kejadian penyakit demam berdarah dengue dan faktor-faktor iklim yang mempengaruhinya, sehingga dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pembuatan program-program pencegahan dan pemberantasan DBD yang sesuai dengan keadaan lingkungan pada tahun-tahun yang akan datang.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan curah hujan, kelembaban dan suhu udara dengan kejadian kasus demam berdarah dengue di Kota Administrasi X pada tahun XXXX-XXXX. Desain penelitian ini merupakan studi ekologi menurut waktu. Unit analisis penelitian ini adalah semua penderita demam berdarah dengue dan parameter kualitas udara ambien (curah hujan, kelembaban dan suhu udara). Data yang digunakan dalam penelitian ini terbatas pada data sekunder yaitu data angka tersangka kasus demam berdarah dengue tahun XXXX-XXXX yang berasal dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat X dan data iklim (curah hujan, kelembaban dan suhu udara) tahun XXXX-XXXX yang berasal dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika stasiun Meteorologi X.
SKRIPSI HUBUNGAN GAYA HIDUP DENGAN STATUS KESEHATAN LANSIA BINAAN PUSKESMAS X

SKRIPSI HUBUNGAN GAYA HIDUP DENGAN STATUS KESEHATAN LANSIA BINAAN PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0029) : SKRIPSI HUBUNGAN GAYA HIDUP DENGAN STATUS KESEHATAN LANSIA BINAAN PUSKESMAS X



BAB 1
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pada dekade belakangan ini populasi lanjut usia meningkat di negara-negara sedang berkembang, yang awalnya hanya terjadi di negara maju. Demikian halnya di Indonesia populasi lanjut usia juga mengalami peningkatan (Tanaya, 1997).
Di negara-negara yang sudah maju, jumlah lansia relatif lebih besar dibanding dengan negara-negara berkembang, karena tingkat perekonomian yang lebih baik dan fasilitas pelayanan kesehatan sudah memadai (wordpress.com, XXXX). Salah satu ciri kependudukan abad ke-21 antara lain adalah meningkatnya pertumbuhan penduduk lanjut usia yang sangat cepat. Pada tahun 2000 penduduk lanjut usia diseluruh dunia diperkirakan sebanyak 426 juta atau sekitar 6,8 persen. Jumlah ini akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2025 yaitu menjadi sekitar 828 juta jiwa atau sekitar 9,7 persen dari total seluruh penduduk dunia (Wirakusumah, 2000).
Berdasarkan laporan data demografi penduduk Intemasional yang dikeluarkan oleh Bureau af the Census USA (1993, dikutip oleh Darmojo, 1999) bahwa di Indonesia pada kurun waktu tahun 1990-2025 akan terjadi kenaikan jumlah lanjut usia sebesar 414 %, suatu angka kenaikan tertinggi di seluruh dunia. Adanya peningkatan jumlah lansia, masalah kesehatan yang dihadapi bangsa Indonesia menjadi semakin kompleks, terutama yang berkaitan dengan gejala penuaan (Amiruddin dalam unair.ac.id, 2003).
Sedangkan data dari Menkokesra.go.Id tahun 1998 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Lansia di Indonesia pada tahun 1980 hanya 7,9 juta orang (5,45%) dengan usia harapan hidup 52,2 tahun. Pada tahun 1990 jumlah penduduk lansia sekitar 11,3 juta (6,29%) dengan usia harapan hidup 59,8 tahun. Sedangkan pada tahun 2000, jumlahnya meningkat menjadi 7,18% (14,4 juta orang) dengan usia harapan hidup 64,5 tahun. Pada tahun 2006 angkanya meningkat hingga lebih dua kali lipat menjadi sebesar kurang lebih 19 juta (8,9%) dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta (9,77%) dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%) dengan usia harapan hidup 71,1 tahun.
Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging struktured population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%. Provinsi yang mempunyai jumlah penduduk Lansianya sebanyak 7% adalah di pulau Jawa dan Bali. Peningkatan jumlah penduduk Lansia ini antara lain disebabkan antara lain karena 1) tingkat sosial ekonomi masyarakat yang meningkat, 2) kemajuan di bidang pelayanan kesehatan, dan 3) tingkat pengetahuan masyarakat yang meningkat (Menkokesra.go.id, 1998).
Jumlah lansia terbesar di Indonesia adalah Propinsi Jawa Timur dengan 3.740.000 penduduk, Propinsi Jawa Barat berjumlah 2.850.000 penduduk dan Propinsi Sulawesi Selatan berjumlah 771.500 penduduk. (BPS 1995-2005 dalam Anonim, 2000). Sedangkan di Kota X jumlah Lansia pada tahun 2007 adalah 194.452 jiwa.
Angka mortalitas (kematian) penduduk merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan gambaran mengenai derajat kesehatan penduduk secara umum. Pada tahun 1999 penduduk Kota X yang mati berjumlah 7.266 jiwa, terdiri atas wanita sebesar 562 jiwa dan laki-laki sebesar 704 jiwa. (Status Lingkungan Hidup (SoE) Kota X, Jawa Barat).
Sedangkan menurut data status kesehatan yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota X menggambarkan bahwa dari seluruh puskesmas yang ada di kota X, yaitu sebanyak 31 buah puskesmas, yang status kesehatan pada lansia nya paling rendah pada periode bulan Agustus-Desember 2007 adalah pada puskesmas X. (Tabel 1 terlampir)
Masalah kesehatan lansia sangat bervariasi, selain erat kaitannya dengan degeneratif juga secara progresif tubuh akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi, disamping itu juga sesuai dengan bertambahnya usia muncul masalah-masalah psikologis yang menuntut adanya perubahan secara terus menerus. Di dalam suatu keluarga, lansia merupakan anggota keluarga yang rawan dipandang dari sudut kesehatan karena kepekaan dan kerentanannya yang tinggi terhadap gangguan kesehatan dan ancaman kematian (Dinkes Prop. Jabar, 2000).
Sejalan dengan bertambahnya umur mereka, mereka sudah tidak tidak produktif lagi, kemampuan fisik maupun mental mulai menurun, tidak mampu lagi melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat, memasuki masa pensiun, ditinggal pasangan hidup, stress menghadapi kematian, munculnya berbagai macam penyakit, dan lain-lain. Karena sel-sel mengalami degeneratif maka fungsi dari sistem organ juga mengalami penurunan. Kulit menjadi keriput, rambut putih dan menipis, gigi berlubang dan tanggal, fungsi penglihatan, pendengaran, pengecapan atau pencernaan mulai menurun, osteoporosis, gangguan sistem kardiovaskuler dan lain-lain (wordpress.com, XXXX).
Menurut Bustan (1997), Penyakit atau gangguan yang menonjol pada kelompok lansia adalah:
- Gangguan pembuluh darah (dari hipertensi sampai stroke)
- Gangguan metabolik (Diabetes Mellitus)
- Gangguan persendian (arthritis, encok dan terjatuh)
- Gangguan psikososial (kurang penyesuaian diri dan merasa tidak berfungsi lagi)
Dari hasil studi tentang kondisi sosial ekonomi dan kesehatan lanjut usia (Lansia) yang dilaksanakan Komnas Lansia di 10 propinsi tahun 2006, diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita Lansia adalah penyakit sendi (52,3%), hipertensi (38,8%), anemia (30,7%) dan katarak (23 %). Penyakit-penyakit tersebut merupakan penyebab utama disabilitas pada lansia (kompas, XXXX).
Pada lansia terjadi kemunduran sel-sel lantaran proses penuaan yang dapat berakibat pada kelemahan organ, kemunduran fisik, timbulnya berbagai macam penyakit terutama penyakit degeneratif. Hal ini akan menimbulkan masalah kesehatan, sosial dan membebani perekonomian baik pada lanjut usia maupun pemerintah karena masing-masing penyakit itu perlu dana untuk terapi dan rehabilitasi (kompas.com, XXXX).
Untuk itu, rencana hidup seharusnya sudah dirancang jauh sebelum memasuki masa lanjut usia, paling tidak individu sudah punya bayangan aktivitas apa yang akan dilakukan kelak sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Diharapkan, para lansia melakukan pola hidup sehat yakni dengan mengonsumsi makanan bergizi seimbang, beraktivitas fisik atau olahraga secara teratur dan tidak merokok (kompas.com, XXXX).
Usia lanjut adalah suatu fenomena alamiah akibat proses penuaan. Oleh karena itu fenomena ini bukan lah suatu penyakit, melainkan keadaan yang wajar yang bersifat universal. Proses menua bersifat regresif dan mencakup proses organobiologis, psikologik serta sosiobudaya. Walaupun demikian beberapa hal telah dapat diungkapkan, misalnya menjadi tua untuk sebagian orang ditentukan secara genetik dan dapat dipengaruhi oleh nutrisi, gaya hidup serta lingkungan (wordpress.com, XXXX).
Selain itu kerentanan yang dialami lanjut usia ditunjang oleh gaya hidup masyarakat yang berbeda (mengalami perubahan) dibanding zaman dahulu. Baik saat bekerja hingga aktivitas sehari-hari, dimana masyarakat sekarang terutama para lansia kurang melakukan aktivitas bila dibandingkan orang zaman dahulu. Kemajuan teknologi turut membantu kerentaan tersebut. Dalam hal pola makanan dan kebiasaan beristirahat pun demikian mengalami perubahan. Namun tidak perlu menghindari pada satu jenis makanan tertentu. Sepanjang orang tersebut dalam keadaan sehat atau tidak menderita suatu penyakit. Terpenting adalah selalu menerapkan pola hidup maupun pola makan yang sehat (Hariani dalam balipost.co.id, 2007).
Dari gambaran tersebut diatas, jelas terlihat bahwa sebagian orang lanjut usia banyak mengalami masalah-masalah yang dihadapi seiring bertambahnya usia mereka, terutama dalam masalah kesehatan yang dipengaruhi oleh gaya hidup, yang berpengaruh pada status kesehatan pada lansia itu sendiri, dan belum banyaknya perhatian terhadap permasalahan pada lansia, khususnya masyarakat ilmiah di Fakultas Kesehatan Masyarakat-Universitas X. Oleh karena itu, penulis tertarik meneliti tentang "Hubungan Antara Gaya Hidup Dengan Status Kesehatan Lansia Binaan Puskesmas X, Kota X Tahun XXXX".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan data status kesehatan yang didapat dari Dinas Kesehatan Kota X yang menggambarkan bahwa dari seluruh puskesmas yang ada di kota X, yaitu sebanyak 34 buah puskesmas, yang status kesehatan pada lansia nya paling rendah pada periode bulan Agustus-Desember 2007 adalah pada puskesmas X. Oleh karena itu dipandang perlu untuk mengetahui hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lanjut usia binaan Puskesmas X, Kota X tahun XXXX.

1.3. Pertanyaan Penelitian
- Bagaimana gambaran status kesehatan pada lansia binaan Puskesmas X?
- Bagaimana hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan Lansia binaan Puskesmas X?

1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana hubungan gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X Kota X tahun XXXX.
1.4.2. Tujuan Khusus
- Di peroleh gambaran status kesehatan pada lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara pola makan dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara aktivitas fisik dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara kebiasaan merokok dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.
- Di peroleh hubungan antara kebiasaan istirahat dan status kesehatan lansia binaan Puskesmas X.

1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Aplikatif (Program)
Memberi masukan pada institusi pendidikan, khususnya program promosi kesehatan, tentang hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lanjut usia, sehingga informasi ini dapat digunakan untuk menyusun langkah-langkah strategi dalam mencegah terjadinya penurunan status kesehatan pada Lansia, yang nantinya dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan materi perkuliahan.
1.5.1. Manfaat Teoritis (Pengembangan Ilmu)
Hasil penelitian dapat memperkuat informasi tentang hubungan antara gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) dengan status kesehatan lansia, sehingga faktor-faktor yang berhubungan dengan status kesehatan pada lansia dapat diperhatikan dan apabila faktor-faktor tersebut berdampak buruk, maka dapat diminimalkan dengan metode yang efektif dan efisien.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian
Masalah kesehatan lansia sangat luas dan universal, karena tidak hanya menyangkut masalah degeneratif saja, tetapi juga menyangkut masalah psikologi, sosial ekonomi, dan masih banyak lagi yang dapat mempengaruhi status kesehatannya. Maka dari itu pada penelitian ini penulis hanya akan membahas mengenai gaya hidup (Pola makan, aktivitas fisik, kebiasaan merokok dan kebiasaan istirahat) terhadap status kesehatan pada lansia binaan Puskesmas X tahun XXXX.
SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR IKLIM DAN ANGKA INSIDEN DEMAM BERDARAH DENGUE

SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR IKLIM DAN ANGKA INSIDEN DEMAM BERDARAH DENGUE

(KODE KES-MASY-0028) : SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR IKLIM DAN ANGKA INSIDEN DEMAM BERDARAH DENGUE




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Perubahan iklim merupakan perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun yang telah terukur sejak pertengahan abad ke-19 (Depkes, 2009). Pada dasarnya iklim bumi senantiasa mengalami perubahan, hanya saja perubahan iklim di masa lampau berlangsung secara alamiah. Namun kini perubahan tersebut disebabkan oleh kegiatan manusia (antropogenik), terutama yang berkaitan dengan pemakaian bahan bakar fosil dan alih-guna lahan. Kegiatan manusia yang dimaksud adalah kegiatan yang telah menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, khususnya dalam bentuk karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O). Gas-gas tersebut yang selanjutnya menentukan peningkatan suhu udara, karena sifatnya yang seperti kaca, yaitu dapat meneruskan radiasi gelombang pendek yang tidak bersifat panas, tetapi menahan radiasi gelombang-panjang yang bersifat panas. Akibatnya atmosfer bumi makin memanas dengan laju yang setara dengan laju perubahan konsentrasi GRK (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).
Penularan beberapa penyakit menular sangat dipengaruhi oleh faktor iklim. Parasit dan vektor penyakit sangat peka terhadap faktor iklim, khususnya suhu, curah hujan, kelembaban, permukaan air, dan angin (Depkes, 2009). Begitu juga dalam hal distribusi dan kelimpahan dari organisme vektor dan host intermediate. Penyakit yang tersebar melalui vektor (vector borne disease) seperti malaria dan Demam Berdarah Dengue (DBD) perlu diwaspadai karena penularan penyakit seperti ini akan makin meningkat dengan perubahan iklim. Di banyak negara tropis penyakit ini merupakan penyebab kematian utama (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004).
IPCC (1998) memperkirakan bahwa dengan makin lebarnya jarak suhu di mana vektor dan parasit penyakit dapat hidup telah menyebabkan peningkatan jumlah kasus malaria di Asia hingga 27 persen dan DBD hingga 47 persen. Di Indonesia yang merupakan negara tropis, daerah-daerah baru yang menjadi semakin hangat juga memberi kesempatan penyebaran vektor dan parasitnya.
Penyakit DBD atau dengue hemorrhagic fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya (Depkes, XXXX). Penyakit DBD dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak, serta sering menimbulkan angka insiden luar biasa (KLB) atau wabah.
Penyakit ini terus menyebar luas di negara tropis dan subtropis. Sekitar 2,5 milyar orang (2/5 penduduk dunia) mempunyai resiko untuk terkena infeksi virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan demam berdarah dengue, lebih kurang 500.000 kasus setiap tahun dirawat di rumah sakit dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia (Depkes, XXXX).
Kasus DBD dilaporkan terjadi pada tahun 1953 di Filipina kemudian disusul negara Thailand dan Vietnam. Pada dekade enam puluhan, penyakit ini mulai menyebar ke negara-negara Asia Tenggara antara lain Singapura, Malaysia, Srilanka, dan Indonesia. Pada dekade tujuh puluhan, penyakit ini menyerang kawasan pasifik termasuk kepulauan Polinesia.
DBD merupakan salah satu penyakit infeksi yang sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan di negara kita, khususnya di kota-kota besar. Di Jakarta, DBD menunjukkan sifat endemis dengan jumlah kasus yang meningkat di saat awal dan akhir musim penghujan, serta adanya ledakan kasus setiap sekitar lima tahun yaitu pada tahun 1988, 1993 dan 1998 (Rezeki, 2000).
Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968. Sejak saat itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timor telah terjangkit penyakit DBD. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi angka insiden luar biasa setiap tahun. KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) atau angka angka insiden sebesar 35,19 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) atau angka kematian sebesar 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun pada tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003); 43,35 (tahun 2005) dan 52,48 (tahun 2006) (Depkes, XXXX). Sedangkan angka kematian DBD pada tahun 2005 adalah 1,4%, dan pada tahun 2006 adalah sebesar 1,04%.
Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun XXXX, jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun XXXX sebanyak 158.115 kasus dengan jumlah kematian 1.570 orang (CFR=1.01% dan IR=71,87 per 100.000 penduduk). Sampai akhir tahun XXXX, jumlah kabupaten/kota yang terjangkit DBD adalah 354 kabupaten/kota atau sekitar 76,1% dari seluruh wilayah kabupaten/kota. Tiga puluh ribu kasus DBD tercatat di Indonesia selama bulan Januari sampai April XXXX. Dari 30 ribu kasus tersebut, kasus kematian yang terjadi adalah berkisar antara 1 hingga 1,3 persen selama setahun (Depkes, 2009).
Pola perkembangan DBD di Indonesia pada tahun 2006 kasus cenderung menurun setiap bulannya sampai dengan bulan Oktober namun terjadi sedikit peningkatan pada bulan November dan Desember. Tahun XXXX kasus mulai Januari terus meningkat dengan puncaknya pada bulan Februari dan terus menurun sampai dengan bulan September dan Oktober (Depkes, XXXX).
Berdasarkan data Departemen Kesehatan, pada tahun XXXX tercatat dua propinsi menyatakan angka insiden luar biasa pada penyakit DBD, yaitu Banten dan Jawa Barat. Sementara enam provinsi lainnya, melaporkan peningkatan kasus DBD yang signifikan yaitu Lampung, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur. Status KLB tersebut didasarkan atas peningkatan kasus DBD sepanjang Januari hingga pertengahan Februari di Banten dan Jawa Barat yang meningkat dua kali lipat dibanding tahun 2006.
Dinas Kesehatan Propinsi Banten, pada tahun 2003 melaporkan jumlah kasus DBD terjadi sebanyak 1.088 dengan jumlah kematian sebesar 35 kasus atau CFR 3,22 per 100.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2004 terjadi sebanyak 2.577 kasus dengan jumlah kematian sebesar 58 kasus atau CFR 2,25 per 100.000 penduduk. Selanjutnya pada tahun 2005 terjadi sebanyak 2.045 kasus dengan jumlah kematian sebesar 26 kasus atau CFR 1,27 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2006, kasus DBD terjadi sebanyak 2.517 dengan kasus meninggal dunia sebanyak sembilan orang atau CFR 1,52 per 100.000 penduduk. Sedangkan, pada tahun XXXX korban DBD sebanyak 3.881 kasus, dengan kasus meninggal dunia sebanyak 24 orang. Pada tahun XXXX, tercatat 3.954 warga terX DBD dan 43 orang meninggal atau CFR 1,45 per 100.000 penduduk.
Kabupaten X merupakan wilayah di propinsi Banten yang memiliki jumlah kasus terbesar kedua setelah Kabupaten Tangerang. Kasus DBD yang terjadi pada tahun 2003 adalah sebanyak 252 dengan jumlah kematian sebesar 10 kasus. Sedangkan pada tahun 2004 terjadi sebanyak 578 kasus dengan jumlah kematian sebesar 17 kasus. Selanjutnya pada tahun 2005 terjadi sebanyak 569 kasus dengan jumlah kematian sebesar 6 kasus. Tahun 2006 terjadi sebanyak 517 warga terX DBD. Pada tahun XXXX korban DBD sebanyak 1597 kasus dengan jumlah kematian sebesar 29 kasus atau CFR sebesar 1,8 dan IR sebesar 7,5 per 10.000 penduduk. Dan pada tahun XXXX terjadi sebanyak 525 kasus DBD atau CFR sebesar 1,3 dan IR sebesar 3,3 per 10.000 penduduk (Dinkes Kabupaten X, XXXX).
Kota X yang pada tahun XXXX merupakan Kecamatan X, karena terdapat pemekaran wilayah Kabupaten X menjadi Kabupaten dan Kota X, memiliki kontribusi besar dalam peningkatan jumlah kasus. Tidak hanya Kecamatan X yang tidak lagi termasuk dalam wilayah Kabupaten X tetapi juga enam kecamatan lainnya yaitu Cipocok Jaya, Curug, Kasemen, X, Taktakan dan Walantaka. Oleh karena itu, terjadi penurunan jumlah kasus yang terjadi di Kabupaten X pada tahun XXXX. Selain itu program pemberantasan DBD yang dilaksanakan Dinas Kesehatan Kabupaten X berupa fogging focus untuk memberantas nyamuk Aedes aegypti dewasa sangat efektif. Dan antisipasi warga masyarakat dengan melakukan PSN sebelum musim penghujan datang memberi kontribusi dalam penurunan jumlah kasus DBD sehingga angka insiden DBD pun dapat menurun.
Hasil penelitian Gubler (2001) menyatakan bahwa curah hujan, suhu, dan variasi iklim lain mempengaruhi vektor dan patogen yang ditularkannya. Faktor resiko yang berperan dalam peningkatan, penyebaran, morbiditas serta mortalitas infeksi virus dengue antara lain adalah faktor lingkungan ekosistem yaitu ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim, perubahan iklim global, dan letak geografis (Hasyim, XXXX). Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian lain yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor iklim dengan kasus dan angka insidens DBD selama tahun 1997-2000 terutama untuk suhu udara di DKI Jakarta (Andriani, 2001).
Pada penelitian Yanti (2004) di Kotamadya Jakarta Timur tahun 2000-2004 disimpulkan bahwa kelembaban udara, total curah hujan, jumlah hari hujan, indeks curah hujan mempunyai hubungan yang sedang dengan angka insiden DBD. Sama halnya dengan penelitian Silaban (2005) menyatakan bahwa variasi iklim (jumlah hari hujan, lama penyinaran matahari, dan kelembaban) memiliki hubungan bermakna dengan insiden DBD di Kota Bogor. Namun berbeda dengan penelitian Sungono (2004) di Jakarta Utara tahun 1999-2003 menyatakan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara faktor iklim yaitu suhu, curah hujan, lama hari hujan, lama penyinaran matahari, kecepatan angin, dan kelembaban udara dengan angka insiden DBD.

1.2 Rumusan Masalah
Demam berdarah dengue sebagai penyakit berbasis vektor perlu diwaspadai karena penularan penyakit ini memiliki kemungkinan meningkat dengan perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan pada faktor iklim. Tingginya jumlah kasus DBD di Kabupaten X yang ditandai dengan nilai CFR lebih besar dari satu per 10.000 penduduk. Kemudian jumlah kasus yang menduduki peringkat kedua terbanyak selama beberapa tahun terakhir setelah Kabupaten Tangerang di Propinsi Banten membuat peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin) dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.

1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keadaan faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin) di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
2. Bagaimana distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan orang di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
3. Bagaimana distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan wilayah di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
4. Bagaimana distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan waktu di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
5. Adakah hubungan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.

1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran dan hubungan antara faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin) dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran keadaan faktor iklim di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
2. Mengetahui distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan orang di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
3. Mengetahui distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan wilayah di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
4. Mengetahui distribusi penyakit demam berdarah dengue berdasarkan waktu di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.
5. Mengetahui hubungan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk memberi gambaran tentang masalah dan perkembangan angka insiden demam berdarah dengue pada masyarakat di Kabupaten X tahun XXXX-XXXX dalam kaitannya dengan faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin). Penelitian dilaksanakan di Kabupaten X karena angka insiden demam berdarah dengue selalu muncul setiap tahun dan selalu menelan korban jiwa. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei melalui penelusuran dan analisis data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten X, Dinas Kesehatan Propinsi X serta Balai Besar Badan Meteorologi dan Geofisika Wilayah X.

1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Pemerintah
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten X mengenai penanggulangan angka insiden demam berdarah dengue.
1.6.2 Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai kaitan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue.
1.6.3 Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk melakukan penelitian berikutnya dan menambah wawasan peneliti mengenai hubungan antara faktor iklim dengan angka insiden demam berdarah dengue.