Search This Blog

Showing posts with label skripsi ilmu hukum. Show all posts
Showing posts with label skripsi ilmu hukum. Show all posts
SKRIPSI PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DI DINAS TENAGA KERJA

SKRIPSI PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DI DINAS TENAGA KERJA

(KODE : ILMU-HKM-0068) : SKRIPSI PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DI DINAS TENAGA KERJA




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Penjelasan umum Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pembangunan Ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera adil, makmur dan merata baik material maupun spiritual.
Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang semakin meningkat sedangkan jumlah lapangan pekerjaan semakin menurun maka untuk mewujudkan hal tersebut di atas perlu ditingkatkan pembangunan baik di bidang pertanian, peternakan, perikanan, perdagangan, industri dan lain sebagainya.
Negara Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang sebagaimana lazimnya telah menggiatkan pembangunan di segala bidang dan yang paling menonjol adalah pembangunan di bidang industri. Seiring dengan era globalisasi dan pesatnya pembangunan di segala bidang khususnya di bidang industri maka masalah ketenagakerjaan akan menjadi hal sangat kompleks. Misalnya upah, Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, jamsostek dan aspek lainnya berikut pelanggaran-pelanggaran yang terjadi yang pada akhirnya dapat mengakibatkan PHK akan semakin meningkat.
Selain hal tersebut di atas juga terdapat faktor kepentingan yaitu kepentingan pengusaha dan kepentingan pekerja. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya ketidakserasian kedua kepentingan tersebut maka perlu adanya suatu Perjanjian Kerja atau Peraturan Perusahaan, dan Perjanjian Kerja Bersama untuk menyatukan kepentingan kedua belah pihak tersebut agar dapat bersatu sehingga dapat dihindarkan terjadinya PHK.
Penyelesaian kasus Perselisihan Hubungan Industrial dan PHK memerlukan tata cara menurut perundang-undangan yang berlaku agar dapat menciptakan suasana kemantapan, ketertiban, sehingga terwujudlah penyelesaian yang efektif, efesien, murah, dan adil dengan dilandasi musyawarah mufakat antara para pihak yang berselisih. Dengan demikian, permasalahan ketenagakerjaan dapat diselesaikan dengan baik.
Sebagaimana proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial, numun dalam kenyataanya masih banyak para pelaku proses produksi yaitu unsur pekerja serta pengusaha dan juga pemerintah, belum memahami secara lebih komprehensif.
Hal tersebut bisa dimaklumi karena dalam sistem proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial saat ini dikenal beberapa lembaga baru yang bisa dilibatkan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Secara garis besar proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dibagi dalam dua tahap yaitu tahap penyelesain di luar pengadilan dan tahap penyelesaian di dalam pengadilan.
Proses penyelesaian PHK di luar pengadilan diawali dengan penyelesaian para pihak, yaitu penyelesain secara bipartit antara para pihak di tingkat perusahan. Jika cara ini tidak membuahkan hasil maka salah satu pihak atau kedua belah pihak bisa meminta bantuan jasa konsiliator. Dalam hal ini apabila para pihak tidak memilih konsiliator selama tujuh hari kerja yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan di Kabupaten atau Kota, maka perselisihan mereka dapat ditangani oleh mediator dalam proses mediasi. Selanjutnya apabila di tingkat mediasi juga tidak tercapai kesepakatan, maka para pihak yang berpekara dapat mengajukan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Setempat. (Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah, 2007 : 2).
Keuntungan penyelesaian secara mediasi adalah dapat membantu proses negoisasi bila para pihak mencapai kebuntuan, biaya murah, mengurangi rasa permusuhan dan bersifat pribadi. Penyelesaian perselisihan dengan mediasi merupakan bentuk intervensi yang lebih kuat, yaitu mediator diperbolehkan menawarkan usulan penyelesaian kepada pihak-pihak yang berselisih. Kelemahan masalah mediasi seringkali terjadi praktek penundaan karena sering terjadi ketidakhadiran para pihak yang berselisih baik pihak pengusaha maupun pihak pekerja atau buruh, dan kesulitan dalam pelaksanaan hasil penyelesaian.
Perselisihan hubungan industrial yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah :
1. Perselisihan Hak yaitu perselisihan yang timbul karena tidak terpenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan perundang-undangan, Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
2. Perselisihan kepentingan yaitu perselisihan dalam hubungan kerja yang timbul karena tidak adanya keserasian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.
3. Perselisihan PHK, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
4. Perselisihan antara Serikat Pekerja atau Serikat Buruh, yaitu perselisihan antara Serikat Pekerja atau Serikat Buruh yang satu dengan Serikat Pekerja atau Serikat Buruh yang lain dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerjaan.
Alasan penulis memilih tempat penelitian di Dinas Tenaga Kerja Kota X karena di Dinas Tenaga Kerja X sudah ada penyelesain PHK dengan proses Mediasi yang dilakukan oleh Mediator Dinas tersebut. Salah satu contoh kasus yang selesai dengan proses mediasi adalah, Label Factory Outlet, di Jalan Slamet Riyadi No. 319 X. Mediasi biasanya dikaitkan dengan proses mediasi menciptakan perdamaian oleh karena itu, dalam bidang hubungan industrial, metode penyelesaian perselisihan ini merupakan metode yang paling sering dan paling intensif digunakan dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
Berdasarkan uraian tersebut maka timbul gagasan penulis untuk menulis skripsi tentang "PELAKSANAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN PHK DI DINAS TENAGA KERJA KOTA X"

B. Rumusan Masalah
Skripsi ini hanya membatasi pada permasalahan yang menyangkut proses penyelesaian PHK pada tingkat mediasi yang ditangani oleh mediator hubungan industrial Dinas Tenaga Kerja Kota X. Adapun beberapa permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana mekanisme mediasi dalam menyelesaikan masalah PHK di Dinas Tenaga Kerja Kota X?
2. Apa saja subtansi dari perjanjian bersama di Dinas Tenaga Kerja Kota X yang tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak?
3. Bagaimana pelaksanaan Perjanjian Bersama di Dinas Tenaga Kerja Kota X yang tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak?

C. Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia mempunyai tujuan yang ingin dicapai, demikian pula dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Tujuan Objektif
a. Mengetahui mekanisme mediasi dalam menyelesaikan masalah PHK di Dinas Tenaga Kerja Kota X.
b. Mengetahui subtansi dari perjanjian bersama di Dinas Tenaga Kerja Kota X yang tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.
c. Mengetahui pelaksanaan Perjanjian Bersama di Dinas Tenaga Kerja Kota X yang tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan bagi penulis dalam penelitian hukum khususnya dalam bidang ketenagakerjaan.
b. Untuk memperoleh data-data yang akan penulis pergunakan dalam penyusunan penelitian hukum ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu hukum.
c. Sebagai referensi bagi pembaca tentang mekanisme mediasi dalam menyelesaikan masalah perselisihan PHK.

D. Manfaat Penelitian
Nilai dalam penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang diperoleh dari penelitian tersebut, adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk menambah khasanah materi Ilmu Hukum pada umumnya, Hukum Ketenagakerjaan pada khususnya.
b. Untuk melengkapi materi yang didapat dari perkuliahan dengan kenyataan yang didapat pada praktek yang sesungguhnya.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis serta pengembangan ilmu pengetahuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan serta tambahan ilmu pengetahuan mengenai cara-cara mediator di Dinas Tenaga Kerja Kota X dalam menyelesaikan masalah Perselisihan PHK.

E. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika adalah gambaran singkat secara menyeluruh dari suatu karya ilmiah yang dalam hal ini adalah Skripsi. Adapun sistematika ini bertujuan untuk membantu para pembaca agar dapat dengan mudah memahami dan menelaah uraian-uraian yang disajikan karena secara keseluruhan skripsi ini dibagi dalam empat bab yaitu sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang alasan pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penulisan (teoritis dan praktis), serta sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Diuraian mengenai landasan teori untuk mendasari penganalisaan masalah. Pembahasan pada Bab ini meliputi :
A. Tinjauan umum tentang Pengertian-pengertian di bidang ketenagakerjaan
Yang mencakup pengertian tenaga kerja, pekerja/buruh, pengusaha, perusahaan, serikat pekerja atau serikat buruh, Lembaga Kerja Sama bipartit dan Lembaga Kerja Sama Tripartit.
B. Tinjauan tentang Perselisihan Hubungan Industrial
Yang mencakup pengertian PHI, macam-macam perselisihan Hubungan Industrial, langkah-langkah Pejabat Struktural dalam melakukan penawaran penyelesaian, prinsip-prinsip penyelesaian Perselisian Hubungan Industrial.
C. Tinjauan tentang Mediasi Hubungan Industrial
Diuraikan tentang pengertian mediasi, tujuan mediasi, syarat-syarat mediasi, waktu yang tepat untuk melakukan mediasi, mediasi yang dilakukan oleh perorangan dan dewan, hasil mediasi.
D. Tinjauan tentang mediator Hubungan Industrial
Di uraikan tentang pengertian mediator, syarat-syarat mediator, peran utama mediator, fungsi mediator, persiapan mediation sebelum melakukan penyelesaian perselisihan, jenis pertemuan yang diselenggarakan mediator, penyelesaian mediasi oleh mediator.
E. Tinjauan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Diuraikan pengertian PHK, macam-macam PHK, faktor-faktor, akibat terjadinya PHK, serta beberapa ketentuan teknis dalam PHK.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisikan pembahasan antara lain bagaimana mekanisme mediasi dalam menyelesaikan perselisihan PHK, menjelaskan isi anjuran mediasi yang tidak tercapai kesepakatan dan pelaksanan Perjanjian Bersama yang tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini merupakan bab penutup, yang berisikan kesimpulan-kesimpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian yang diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
SKRIPSI PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KASUS ILLEGAL LOGGING DALAM RANGKA MELESTARIKAN FUNGSI LINGKUNGAN

SKRIPSI PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KASUS ILLEGAL LOGGING DALAM RANGKA MELESTARIKAN FUNGSI LINGKUNGAN

(KODE : ILMU-HKM-0067) : SKRIPSI PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KASUS ILLEGAL LOGGING DALAM RANGKA MELESTARIKAN FUNGSI LINGKUNGAN




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Jutaan tahun yang lalu manusia hidup tanpa perlu khawatir akan terjadinya gangguan atau bahaya oleh pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dipermasalahkan sekarang, karena manusia percaya dan yakin pada kemampuan sistem alam untuk menanggulanginya secara alamiah.
manusia mempunyai daya penyesuaian diri atas perubahan yang terjadi pada lingkungan pada setiap waktu, tempat, dan keadaan tertentu secara evolusi atas dasar terapan ilmu dan teknologi ciptaannya sendiri.
Penyesuaian diri manusia terhadap perubahan-perubahan alam sekitarnya terlihat, antara lain melalui proses budaya yang lama, misalnya kemampuan manusia dalam menciptakan tekhnologi untuk melindungi dirinya sendiri dari pengaruh alam yang buruk.
Negara Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah,letak yang strategis dan sumber daya manusia yang banyak. Namun kekayaan alam yang dimiliki tidak akan ada artinya jika kita kurang mampu mengelola dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Sehingga banyak masyarakat Indonesia yang tidak bisa menikmati kekayaan yang dimiliki. Padahal sudah jelas diatur dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang terdapat pada pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : " Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kemakmuran tersebut haruslah dapat dinikmati baik oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang. Pembangunan tidak hanya mengejar kemakmuran lahiriah atau kepuasan kebatiniah saja akan tetapi keseimbangan antara keduanya. Oleh karena l penggunaan sumber daya alam harus seimbang dengan keselarasan dan keserasian lingkungan hidup agar generasi mendatang dapat menikmatinya.
Disisi lain, pembangunan industri-industri tidak dapat dihindarkan guna meningkatkan produksi dan menambah lapangan kerja. Namun industri dapat pula mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup. Selain itu, sebagai akibat dari tekanan kepadatan penduduk yang disertai dengan masalah kemiskinan telah mendorong penduduk di beberapa bagian dari wilayah Negara, terutama pulau Jawa untuk menggunakan daerah hutan yang seharusnya dilindungi untuk kegiatan pertanian atau untuk kegiatan lainnya.
Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 huruf b Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kehutanan, bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa hutan adalah penyangga bagi kehidupan manusia yang didalamnya terdiri dari berbagai komponen-komponen sumber daya alam terutama yang bisa dimanfaatkan manusia untuk mengoptimalkan aneka fungsi hutan dalam mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari.
Salah satu masalah yang sangat krusial dalam bidang lingkungan hidup pada sektor kehutanan ini adalah masalah penebangan liar atau yang dikenal dengan istilah illegal logging. Penebangan liar merupakan bentuk tindak kejahatan yang sampai sekarang masih banyak terjadi. Tidak adanya peraturan dan definisi khusus menegenai illegal logging merupakan salah satu faktor penyebab penebangan liar sulit diberantas di Indonesia meskipun dampak dari penebangan liar sudah terasa nyata.
Tindak pidana illegal logging disini menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Kehutanan adalah "perbuatan merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan, melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan, mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, merambah kawasan hutan, membakar hutan, menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin pejabat berwenang, menerima atau membeli atau menjual atau menerima tukar atau menerima titipan/menyimpan hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan serta melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin".
Illegal logging menurut penjelasan Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 adalah perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.
Kegiatan illegal logging yang makin marak tersebut menimbulkan kekhawatiran akan semakin parahnya kerusakan hutan di Indonesia dan besarnya kerugian yang ditanggung oleh negara.Untuk itu, Pemerintah melalui Departemen Kehutanan melakukan berbagai upaya nyata untuk menanggulangi sekaligus memberantas tindak pidana tersebut. Dalam pelaksanaanya di daerah diteruskan kepada Dinas Kehutanan sebagai instansi yang berwenang untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam bidang kehutanan serta melakukan aksi yang nyata dalam penanggulangan tindak pidana illegal logging (pencurian kayu) tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis bermaksud mengkaji lebih lanjut tentang pelaksanaan penanggulangan illegal logging dan dampaknya terhadap pelestarian lingkungan dalam bentuk penulisan hukum dengan judul : "PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KASUS ILLEGAL LOGGING DALAM RANGKA MELESTARIKAN FUNGSI LINGKUNGAN DI KABUPATEN X"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dan agar pembahasan lebih terarah serta mendalam supaya sesuai dengan tujuannya, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan penanggulangan kasus illegal logging dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan di Kabupaten X ?
2. Bagaimanakah hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan penanggulangan kasus illegal logging terhadap pelestarian fungsi lingkungan di Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Agar suatu penelitian terarah dan mengenai sasaran maka harus mempunyai tujuan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan objektif
a. Untuk mengetahui pelaksanaan penaggulangan kasus illegal logging dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan di Kabupaten X.
b. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan penanggulangan kasus illegal logging terhadap pelestarian fungsi lingkungan di Kabupaten X.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan untuk menyusun penulisan hukum dan sebagai persyaratan dalam mencapai derajat kesarjanaan.
b. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah diperoleh, khususnya hukum lingkungan agar dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan khasanah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan khususnya Hukum Administrasi Negara.
b. Memberikan gambaran nyata tentang pelaksanaan penaggulangan kasus illegal logging dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan di Kabupaten X.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, pembentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemamuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Memberikan masukan dan tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini dan berguna bagi pihak yang berminat pada masalah yang sama.

E. Sistematika Penulisan Hukum
Dalam penelitian ini digunakan sistematika penulisan hukum untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai materi pembahasan dalam penulisan hukum, sehingga akan memudahkan pembaca mengetahui isi dan maksud penulisan hukum ini secara jelas. Adapun susunan sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan latar belakang masalah yaitu tentang berbagai masalah lingkungan yang dihadapi umat manusia pada saat ini serta maraknya kegiatan illegal logging atau pencurian kayu yang telah menyebabkan kerusakan hutan khususnya di Kabupaten X. Perumusan masalah yang akan diteliti yaitu pelaksanaan penanggulangan kasus illegal logging dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan di Kabupaten X, kendala-kendala yang muncul serta langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk memecahkan kendala tersebut. Tujuan dalam penelitian ini dibedakan menjadi tujuan subyektif dan tujuan obyektif. Adapun manfaat penelitian dibedakan menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yang mencakup tentang jenis penelitian, sifat penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, serta sub bab sistematika penulisan hukum yang menguraikan secara garis besar saja atau gambaran menyeluruh tentang hal-hal yang akan dibahas dalam penulisan hukum ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab tinjauan pustaka, berisi kajian-kajian teori yang berhubungan dengan masalah dan unsur-unsur pembahasannya. Dalam bab ini ada tiga sub bab yang akan dibahas yaitu sub bab kesatu membahas mengenai tinjauan umum tentang tindak pidana illegal logging dengan sub anak bab pengertian tindak pidana illegal logging,dasar hukum pengaturan tindak pidana illegal logging, sub bab kedua membahas tinjauan umum tentang hutan (kehutanan) dengan sub anak bab pengertian umum tentang kehutanan, jenis-jenis hutan di Indonesia, manfaat hutan dan sub bab ketiga yaitu tentang tinjauan umum tentang lingkungan hidup, dengan sub anak bab pengertian lingkungan hidup, hak, kewajiban dan peran serta masyarakat, masalah lingkungan di Indonesia.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten X, pelaksanaan penaggulangan kasus illegal logging dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan di Kabupaten X serta kendala-kendala dan penyelesaian yang dilakukan untuk menanggulangi permasalahan yang terjadi.
BAB IV : PENUTUP
Sebagai penutup dari penulisan hukum ini, maka akan dikemukakan adanya beberapa kesimpulan dan saran bagi para pihak yang terkait agar menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan sehingga bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
SKRIPSI PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN OLEH KANTOR PERTANAHAN

SKRIPSI PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN OLEH KANTOR PERTANAHAN

(KODE : ILMU-HKM-0066) : SKRIPSI PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN OLEH KANTOR PERTANAHAN




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Sejarah perkembangan dan kehancurannya ditentukan pula oleh tanah, masalah tanah dapat menimbulkan persengketaan dan peperangan dahsyat karena manusia-manusia atau suatu bangsa ingin menguasai tanah orang atau bangsa lain karena sumber-sumber alam yang terkandung di dalamnya (G. Kartasapoetra dkk, 1990 : 1).
Berkaitan dengan kenyataan bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang langka yang bersifat tetap serta digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia akan perumahan, pertanian, perkebunan maupun kegiatan industri yang mengharuskan tersedianya tanah, sebagai negara berkembang, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang banyak, juga mengalami masalah pertanahan yang biasanya menimbulkan konflik antara pemegang hak dengan orang lain. Konflik tersebut biasanya mengenai ganti rugi tanah yang akan digunakan untuk pembangunan, sengketa kepemilikan tanah dan masih banyak masalah-masalah yang kompleks.
Selama ini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menangani masalah pertanahan masih bersifat pasif/menunggu keinginan para pihak yang bersengketa, sehingga terkesan kurang peduli terhadap kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi permasalahan pertanahan yang semakin kompleks dan untuk meminimalkan timbulnya konflik pertanahan dalam masyarakat, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk ke depannya dituntut lebih proaktif dalam penyelesaian konflik pertanahan sesuai dengan Sebelas Agenda BPN RI khususnya Agenda ke-5 "Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis" serta TAP MPR RI No : IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pasal 4 : "d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia" dan Pasal 5 : "d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana Pasal 4 Ketetapan ini", dengan harapan "kata-kata konflik pertanahan tidak akan terdengar lagi", sehingga masyarakat merasa lebih tenang terhadap kepemilikan hak atas tanahnya (http : //bpn-solo.com/files/bukuPPANISI.pdf).
Dalam melakukan tindakan penyelesaian sengketa/konflik pertanahan yang ada, Badan Pertanahan Nasional pun juga dituntut untuk tetap mengedepankan keadilan, sehingga diharapkan dalam mengambil suatu keputusan, tidak merugikan para pihak, bahkan mampu mewujudkan suatu penyelesaian secara damai diantara para pihak yang bersengketa, mengingat selama ini sengketa pertanahan cenderung diselesaikan melalui lembaga peradilan yang lebih bersifat win-lose solution.
Di Kota X, dari berbagai titik konflik pertanahan yang telah teridentifikasi oleh Kantor Pertanahan Kota X, salah satunya terletak di Kampung X. Di wilayah tersebut, konflik terjadi antara 15 orang pemegang sertifikat hak atas tanah dengan 54 orang okupusan terhadap lahan seluas + 3093 m2 yang terletak di Kampung X Rt 8, Rw 24, Kelurahan X, yang merupakan hak milik dari 15 orang pemegang sertifikat hak atas tanah.
Untuk melaksanakan Sebelas Agenda BPN RI, khususnya Agenda ke-5 serta amanat dari TAP MPR RI No : IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tersebut dengan tetap mengedepankan keadilan, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan Kota X sebagaimana Tugas Pokok dan Fungsinya dalam menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan, salah satunya ditempuh melalui jalur mediasi penyelesaian konflik beserta administrasinya.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI X OLEH KANTOR PERTANAHAN KOTA X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah penyelesaian sengketa pertanahan di X oleh Kantor Pertanahan Kota X sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota X ?
2. Apakah hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota X dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui apakah penyelesaian sengketa pertanahan di X oleh Kantor Pertanahan Kota X sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota X.
b. Untuk mengetahui apakah hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota X dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di X.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum, khususnya hukum agraria, terutama mengenai penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota X.
b. Sebagai strategi pemberdayaan mahasiswa melalui pengayaan wawasan dan peningkatan kompetensi dalam rangka peningkatan kualitas lulusan yang memiliki daya saing dan berkemampuan untuk tumbuh menjadi wirausaha mandiri.
c. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum agraria pada khususnya, terutama mengenai penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota X.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Untuk dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang membutuhkan pokok bahasan yang dikaji, dengan disertai pertanggungjawaban secara ilmiah.

E. Sistematika
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam penyusunan penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, hasil penelitian dan pembahasan, serta simpulan dan saran ditambah dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Dalam bab I, diuraikan mengenai gambaran awal penelitian ini, yang meliputi latar belakang penyelesaian sengketa pertanahan di X oleh Kantor Pertanahan Kota X, kemudian mengenai perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian yang dipergunakan dalam melakukan penelitian.
Dalam bab II, diuraikan mengenai landasan teori berdasarkan literatur-literatur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hal tersebut meliputi : tinjauan umum tentang sengketa pertanahan, tinjauan umum tentang mediasi, tinjauan umum tentang peraturan perundang-undangan mengenai pemberian hak milik dan pendaftarannya, serta tinjauan umum tentang Kantor Pertanahan. Hal tersebut ditujukan agar pembaca dapat memahami tentang permasalahan yang penulis teliti.
Dalam bab III, diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan. Dalam pembahasan dapat dianalisa bahwa penyelesaian sengketa pertanahan di X oleh Kantor Pertanahan Kota X sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota X. Dalam hal ini, berlandaskan Pasal 2 dan Pasal 3 huruf n Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Jo. Pasal 54 huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, dan juga berlandaskan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 serta Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota X Nomor 570/724/2005. Dari hasil penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota X, dapat dijadikan dasar pemberian Hak Milik kepada okupusan tanah di X dengan ditindak lanjuti terlebih dahulu dalam bentuk pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah, selanjutnya dilakukan pendaftaran tanah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Dalam bab IV, diuraikan mengenai simpulan dan saran. Adapun kesimpulannya, yaitu bahwa penyelesaian sengketa sengketa pertanahan di X oleh Kantor Pertanahan Kota X sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota X, dan hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota X dapat dijadikan dasar pemberian Hak Milik kepada okupusan tanah di X.
SKRIPSI PERAN MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

SKRIPSI PERAN MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

(KODE : ILMU-HKM-0065) : SKRIPSI PERAN MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sedang berkembang, sedang giat melaksanakan pembangunan, bangkit dari keterpurukannya akibat krisis multi dimensi yang menghantam bangsa Indonesia. Pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia bertujuan untuk melakukan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan pembangunan nasional tersebut dalam GBHN telah digariskan adalah sebagai berikut : Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila didalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana peri kehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Pembangunan di sektor perekonomian dilaksanakan berdasarkan jiwa dari pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 sebagai berikut :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Berdasarkan pasal 33 UUD 1945 tersebut dikembangkan suatu sistem perekonomian yang kemudian dikenal dengan istilah demokrasi ekonomi, dimana dalam demokrasi ekonomi ini tidak dikenal adanya penguasaan perekonomian oleh negara sepenuhnya ataupun sebaliknya rakyat mempunyai kebebasan untuk mengusahakan seluruh cabang-cabang produksi yang ada di Indonesia.
Disini pelaku ekonomi berdasarkan demokrasi ekonomi terdiri dari tiga unsur yaitu negara, koperasi dan swsata. Negara menjalankan fungsi perekonomian melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan bentuk usaha yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak dapat diusahakan serta dikelola oleh orang perorangan atau badan swasta. Masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan pembangunan. Sedangkan pemerintah berkewajiban memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha. Sebaliknya dunia usaha perlu memberikan tangapan terhadap pengarahan dan bimbingan serta penciptaan iklim tersebut dengan kegiatan yang nyata.
Peran serta masyarakat dalam pembangunan perekonomian berbentuk koperasi dan usaha-usaha swasta. Jika kita perhatikan, usaha-usaha yang dilakukan swasta lebih berkembang dan memberikan konstribusi yang besar bagi pembangunan perekonomian. Usaha swasta berkembang sejalan dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat yang semakin banyak jenis dan ragamnya. Perusahaan swasta lebih mudah berkembang dari pada perusahaan negara dan koperasi, karena dapat dikelola dan dimiliki perorangan. Suatu perusahaan swasta pada dasarnya terdapat dua unsur di dalamnya yaitu pengusaha sebagai pemilik usaha dan pekerja yang melakukan pekerjaan atas perintah pengusaha. Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja terjalin setelah diadakan perjanjian kerja yaitu : "Suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah" (Imam Soepomo, 1994 : 1).
Dalam usaha memberikan pengarahan, bimbingan terhadap dunia usaha serta penciptaan iklim yang sehat bagi perkembangan usaha, maka peran aktif pemerintah tercermin dari usaha-usaha pemerintah mengarahkan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha sehingga terjalin Hubungan Industrial yang menempatkan pekerja sebagai partner kerja dan duduk sejajar dengan pengusaha di dalam proses barang dan jasa. Seperti dikemukakan Sendjun H. Manulang (1995 : 147) : "Bahwa antara pekerja dan pengusaha/pimpinan perusahaan wajib bekerja sama serta membantu dalam kelancaran usaha dalam meningkatkan dan menaikkan produksi".
Untuk mewujudkan Hubungan Industrial secara riil diperlukan suatu sikap sosial yang mencerminkan persatuan dan kesatuan, sikap kegotongroyongan, harga menghargai, tenggang rasa, keterbukaan, bantu membantu serta mampu mengendalikan diri.
Selain daripada sikap sosial diperlukan sikap mental di mana pelaku Hubungan Indusrial dituntut untuk saling menghormati dan saling mengerti kedudukannya serta peranannya dan memahami hak dan kewajiban di dalam keseluruhan proses produksi. Sikap sosial serta sikap mental tersebut diharapkan akan menciptakan suasana dan lingkungan kerja yang menggairahkan yang mampu menstabilkan jalannya roda perusahaan sehingga pada akhirnya akan memberikan sumbangan yang berarti bagi pembangunan nasional.
Dalam Hubungan Industrial tidak ada tempat bagi tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan dalam konteks hubungan kerja dan selalu dengan adanya pemerasan atau yang kuat akan memakan yang lemah. Akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya, ternyata masih sering terjadi pergesekan nilai-nilai Hubungan Industrial yang memungkinkan menjadi sebab timbulnya pertentangan di dalam pelaksanaan hubungan kerja. Suatu pertentangan antara pengusaha dan pekerja adalah sesuatu yang wajar mengingat latar belakang kepentingan yang berbeda-beda. Di satu pihak pengusaha akan selalu membuat pertimbangan-pertimbangan rasional demi efisiensi produksi. Sedangkan di pihak pekerja mempunyai kepentingan mensejahterakan kehidupan diri dan keluarga. Pertentangan tersebut secara alamiah dapat muncul suatu ketika. Pertentangan antara pengusaha dan pekerja dapat dikatakan wajar apabila pertentangan tersebut masih berada dalam batas toleransi kedua belah pihak yang berselisih. Lain halnya apabila tejadi kemacetan komunikasi dalam penyelesaian pertentangan. Dampak yang akan timbul akibat tidak lancarnya komunikasi tersebut adalah meruncingnya pertentangan antara pihak pengusaha dan pihak pekerja.
Pertentangan antara pengusaha dan pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja disebut dengan perselisihan hubungan industrial. Perselisihan yang terjadi dapat bersifat perorangan serta dapat pula bersifat kolektif yang melibatkan banyak pekerja. Perselisihan dapat dibedakan menjadi perselisihan mengenai hak (recht geschilin) dan perselisihan mengenai kepentingan (belangen geschilen). (Zainal Asikin, 1994 : 166).
Menurut Undang-Undang No 2 tahun 2004, pengertian perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
Akibat perselisihan hubungan industrial akan menimbulkan banyak kerugian. Pihak perusahaan akan mengalami kerugian, karena dampak perselisihan hubungan industrial akan menyebabkan produksi tidak stabil sebagai akibat hilangnya jam kerja serta suasana kerja yang tidak menguntungkan. Pihak pekerja juga akan mengalami kerugian karena hilangnya jam kerja berkaitan dengan penurunan upah yang seharusnya mereka terima, bahkan jika pada akhirnya perselisihan semakin memuncak dan tidak terselesaikan, tidak tertutup kemungkinan perusahaan tersebut kemudian gulung tikar dan terpaksa menjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap seluruh buruh.
Pemutusan hubungan kerja menurut Pasal 1 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa : "Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam proses pemutusan hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik swasta maupun pemerintah maupun badan usaha lain yang mempekerjakan orang dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Kondisi keuangan perusahaan yang kurang baik, pekerja yang sering tidak masuk, tidak mentaati peraturan perusahaan, melakukan tindakan kriminal, menciptakan suasna yang tidak harmonis dalam perusahaan serta hubungan yang tidak harmonis antara pekerja dengan pengusaha dapat mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Proses pemutusan hubungan kerja dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengankewajiban pengusaha untuk memberikan hak-hak pegawai berupa membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima
Berdasarkan kenyataan tersebut maka pemutusan hubungan kerja perlu diupayakan penyelesaiannya secara baik dan memenuhi rasa keadilan pihak-pihak yang bersengketa. Perlu dihindari dan dicegah terjadinya pertarungan bebas (free fight liberalism) yang biasanya dilakukan dengan mogok (strike), memperlambat pekerjaan (slow down) dan usaha penutupan perusahaan untuk menekan pihak pekerja (lock out). Karena bentuk pertarungan bebas bukan pemecahan yang baik, bahkan cenderung mengarah pada tindakan yang akan memperkeruh suasana sehinggga dapat merugikan banyak pihak.
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam Pasal 8 Undang-undang No 2 tahun 2004 menyebutkan : "penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota".
Menurut Undang-undang Pasal 1 No 2 tahun 2004 menyebutkan : "Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator merupakan pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan".
Pemilihan lokasi di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Kabupaten X dipilih dengan pertimbangan :
1. Belum pernah dilakukan penelitian tentang topik ini
2. Di X banyak terdapat industri besar dan menengah yang sangat potensial terjadi perselisihan hubungan industrial, khususnya perselisihan pemutusan hubungan kerja dan pernah dilakukan penyelesaian ini melalui mediasi dengan melibatkan mediator
Berdasarkan pertimbangan diatas mendorong penulis untuk mengadakan penelitian mengenai : Peran Mediator Dalam Menyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Di Kabupaten X.

B. Pembatasan Masalah
Mengingat kemampuan penyusun dan agar terhindar dari kesimpangsiuran dan supaya skripsi lebih terarah serta sekaligus untuk menghindari kemungkinan pembahasan yang menyimpang dari pokok permasalahan yang hendak diteliti, maka perlu adanya suatu pembatasan masalah.
Adapun permasalahan yang hendak diteliti dalam skripsi ini terbatas pada peran mediator yang telah mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial untuk periode setelah berlakunya Undang -undang No 2 Tahun 2004 Di Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Kabupaten X.

C. Perumusan Masalah
Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peran mediator dalam memfasilitasi perselisihan tentang pemutusan hubungan kerja di Kabupaten X ?
2. Bagaimana tugas dan fungsi mediator dalam memfasilitasi perselisihan hubungan industrial di Kabupaten X?

D. Tujuan Penelitian
Adanya penelitian tentunya mempunyai maksud dan tujuan berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka peneliti mempunyai tujuan :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui peran mediator dalam memfasilitasi perselisihan tentang pemutusan hubungan kerja di Kabupaten X
b. Untuk mengetahui tugas dan fungsi mediator dalam memfasilitasi perselisihan hubungan industrial di Kabupaten X.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk meningkatkan dan menambah pengetahuan penulis mengenai cara-cara penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan teori-teori hukum lain yang didapat selama kuliah
b. Sebagai sarana menambah pengetahuan di bidang pengembangan kemampuan penelitian bagi penulis dan dapatlah memberikan sumbangan pengetahuan dan khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Diharapkan dalam penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dalam dunia ilmu hukum pada umumnya dan khususnya Hukum Ketenagakerjaan.
b. Untuk mengembangkan Ilmu Hukum Administrasi Negara khususnya yang menyangkut hukum ketenagakerjaan dan hasil penelitian ini dapat memperkaya wawasan kita.
2. Manfaat Praktis
a. Dalam penelitian ini diharapkan bermanfaat sekaligus sebagai referensi pada pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan penyelesaian pemutusan hubungan kerja.
b. Dalam penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penyelesaian pemutusan hubungan kerja.

F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini akan diuraikan tentang sistematika penulisan sebagai gambaran tentang penulisan ilmiah ini secara keseluruhan, artinya pada sub bab ini akan diuraikan secara sistematis keseluruhan isi yang terkandung dalam skripsi ini.
Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan titik tolak dari penulisan skripsi dimana dipaparkan tema dan permasalahan, pada bab ini terdiri dari sub pokok yaitu latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini dikemukakan teori-teori yang mendasari masalah yang akan dibahas.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang analisis data yang terdiri dari jawaban dari permasalahan yang diungkapkan pada bab-bab sebelumnya, serta pembahasan sesuai dengan kajian teori maupun dalam praktek pelaksanaan.
BAB V PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran.
SKRIPSI TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BANK INDONESIA TERHADAP PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008

SKRIPSI TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BANK INDONESIA TERHADAP PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008

(KODE : ILMU-HKM-0064) : SKRIPSI TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BANK INDONESIA TERHADAP PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Keberadaan sistem perbankan syariah dalam sistem perbankan di Indonesia kini telah mendapatkan payung hukum tertinggi yang akan melindungi kiprah dan sepak terjang industri perbankan syariah di tanah air. Hal ini dengan diloloskannya Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi undang-undang yakni Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang disahkan pada tanggal 16 Juli 2008.
Sebelumnya pengaturan mengenai perbankan syariah dituangkan dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998. Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional perbankan syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha bank syariah berkembang cukup pesat.
Pengawasan terhadap kegiatan usaha bank baik bank konvensional maupun bank syariah dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang berbunyi : "Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia". Berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan itu Bank Indonesia mempunyai tugas yang didasarkan pada pasal 8 Undang-undang No. 3 Tahun 2004 perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang berbunyi : "Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut : a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, c) mengatur dan mengawasi bank". Dalam pasal 50 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah disebutkan bahwa "Pembinaan dan pengawasan bank syariah dan UUS dilakukan oleh Bank Indonesia".
Pada prinsipnya, pengaturan penyatuan sistem tata perbankan bagi sebuah negara dilakukan oleh bank sentral, di Indonesia dalam hal ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pengawasan jasa sistem pembayaran agar masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat, dan aman. Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision) terhadap bank-bank syariah di Indonesia, baik bank umum syariah maupun bank konvensional yang buka cabang khusus syariah atau dikenal dengan Unit Usaha Syariah.
Secara umum, peranan bank sentral sangat penting dan strategis dalam upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efisien. Perlu diwujudkannya sistem perbankan yang sehat itu, karena dunia perbankan adalah salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Sedangkan secara khusus, bank sentral mempunyai peranan yang penting dalam mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian yang diderita oleh bank itu sendiri, masyarakat penyimpan dana, dan merugikan serta membahayakan kehidupan perekonomian. Bank Indonesia yang memegang otoritas pembinaan dan pengawasan bank dibekali dengan kewenangan yang berkaitan dengan perizinan, mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang memberi landasan kerja yang sehat bagi bank serta mengawasi dan memberikan pembinaan kepada bank dalam menjalankan segala usaha bank tersebut dengan tujuan mendorong terwujudnya sistem perbankan yang sehat.
Kegiatan pengawasan bank tersebut sebagai pelaksanaan monetary supervision dimaksudkan untuk memonitor dan mengetahui lembaga keuangan bank dalam hal ini mematuhi ketentuan aturan yang ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dan menjalankan usaha perbankannya.
Bank sentral sebagai pembinaan dan pengawasan bank mengarahkan lembaga keuangan bank yang ada agar dalam kegiatan usahanya selalu berhati-hati sehingga bank tersebut terhindar dari praktek perbankan yang tidak sehat.
Pada hakikatnya pengaturan dan pengawasan bank dimaksudkan untuk meningkatkan keyakinan dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan bank, bahwa bank-bank dari finansial tergolong sehat, bahwa bank dikelola dengan baik dan profesional, serta di dalam bank tidak terkandung segi-segi yang merupakan ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya di bank.
Dengan perkataan lain, tujuan umum dari pengaturan dan pengawasan bank adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi tiga aspek, yaitu perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar, dalam arti di satu pihak memerhatikan faktor risiko seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia.
Bank perlu dibina dan diawasi mengingat fungsi bank adalah mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat di samping penyediaan pemberian jasa-jasa keuangan lainnya. Bank syariah dalam melaksanakan tugas dan kegiatannya wajib berpedoman pada prinsip-prinsip perbankan syariah yang sehat dan mematuhi ketentuan yang berlaku. Dalam hubungannya dengan prinsip tersebut, bank perlu memahami fungsinya sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dan karenanya bank harus menghindari praktek-praktek dan kegiatan yang diperkirakan akan atau dapat membahayakan kelangsungan hidup bank atau kepentingan masyarakat.
Bank sebagai penghimpun dan penyalur dana publik harus memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi di mata masyarakat dan dunia usaha. Reputasi ini merupakan keniscayaan, dan untuk mendapatkannya bukanlah perkara yang mudah. la harus diusahakan dengan kerja keras dan dengan disiplin yang tidak mengenal lelah. Namun, ketika kepercayaan telah diraih, maka usaha untuk mempertahankannya juga bukan pekerjaan mudah. Bisa saja suatu kasus kecil dapat menciderai tingkat kepercayaan itu dan pada gilirannya akan berubah menjadi malapetaka.
Oleh karena itu, setiap pelaku perbankan diharapkan tetap menjaga kepercayaan masyarakat tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan akan terjaga apabila sektor perbankan itu sendiri diselenggarakan dan dikelola dengan prinsip kehati-hatian sehingga selalu terpelihara kondisi kesehatannya.
Karena itu, industri perbankan pada hakikatnya adalah industri yang paling banyak diatur dan diawasi (highly regulated and supervised industry). Hal ini tentu saja dapat diterima karena dana yang dihimpun dari masyarakat dan dikembangkan lewat berbagai bentuk pembiayaan dan investasi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada si empunya dalam bentuk return yang positif. Jika hal itu tidak dilakukan maka korbannya bukan hanya mereka yang dananya akan menjadi hilang, melainkan juga bencana ekonomi akan menimpa dan menghancurkan negara yang mengalami krisis perbankan ini. Malapetaka inilah yang sesungguhnya terjadi di negara kita. Pada awalnya, krisis itu berasal dari sektor perbankan dan belasan bank yang akhirnya dilikuidasi sebagai korbannya. Lama-kelamaan krisis itu membesar dan meluas ke berbagai sektor dan berubah menjadi krisis ekonomi yang bersifat multidimensional dengan skala yang jauh lebih masif. Krisis itu nyaris meluluhlantakkan negeri Indonesia bahkan mengubah petanya sekaligus.
Di samping pentingnya menjaga tingkat kepercayaan yang tinggi di mata masyarakat, perlu adanya transparansi akan produk-produk syariah agar bank syariah tidak mendapat predikat bank syariah yang tidak benar-benar syariah. Bank syariah harus bisa menjelaskan secara rinci produk-produk yang ditawarkannya dengan menjelaskan dasar kehalalannya dan bagaimana bank mengelola produk-produk syariahnya.
Hal ini membawa kita pada satu kenyataan akan pentingnya pengaturan (regulation) dan pengawasan (supervision) bagi lembaga keuangan syariah. Bank Indonesia sebagai bank sentral mempunyai peran dalam menentukan dan memberikan arah perkembangan perbankan serta dapat melindungi masyarakat, maka Bank Indonesia mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan perbankan.
Sebagai pengawas dan pembina bank, Bank Indonesia bertindak sebagai seorang bapak kepada anaknya. Bila seorang anak keliru dalam melakukan suatu tindakan maka seorang bapak yang baik akan berusaha memberitahukan kepada anaknya perihal kekeliruannya itu bahkan lebih dari itu bapak tersebut akan mengusahakan supaya anaknya tidak keliru dalam mengambil suatu tindakan. Demikian juga halnya Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pengawasan perbankan syariah di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perlu dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut :
1. Apa objek tinjauan Bank Indonesia dalam melaksanakan pengawasan pada bank syariah ?
2. Bagaimana kewenangan Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas pengawasan ?
3. Bagaimana peranan Bank Indonesia dalam mengatur tingkat kesehatan bank syariah ?
4. Apa akibat hukum yang diberikan Bank Indonesia terhadap bank syariah yang melanggar prinsip syariah ?

C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dalam pembahasan skripsi ini yang berjudul "Tanggung Jawab Pengawasan Bank Indonesia Terhadap Perbankan Syariah Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008 (Studi : Kantor Bank Indonesia X)" adalah untuk membahas hal-hal yang sesuai dengan permasalahan yang diajukan antara lain :
1. Untuk mengetahui objek tinjauan Bank Indonesia dalam melaksanakan pengawasan pada bank syariah.
2. Untuk mengetahui kewenangan Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas pengawasan.
3. Untuk mengetahui peranan Bank Indonesia dalam mengatur tingkat kesehatan bank syariah.
4. Untuk mengetahui akibat hukum yang diberikan Bank Indonesia terhadap bank syariah yang melanggar prinsip syariah.
Selain tujuan yang diperoleh dari penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan akan memberikan kontribusi pemikiran serta menimbulkan pemahaman mengenai tanggung jawab Bank Indonesia dalam mengawasi perbankan syariah sesuai dengan prinsip syariah.
2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang mendalam bagi Bank Indonesia dalam mengawasi perbankan syariah dan bagi bank-bank syariah agar dapat menjalankan kegiatan operasionalnya sesuai dengan prinsip syariah.

D. Metode Penelitian
Untuk mencari dan menemukan suatu kebenaran secara ilmiah dan untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam melengkapi bahan-bahan bagi penulisan skripsi ini maka penulis memberanikan diri untuk mengadakan penelitian dengan metode sebagai berikut :
1. Penelitian kepustakaan (Library Research)
Pada metode penelitian kepustakaan (Library Research) ini, penulis mengumpulkan, membaca, dan mempelajari serta menganalisa secara sistematis sumber bacaan yang meliputi buku-buku, majalah, surat kabar, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan, dan sumber kepustakaan lainnya yang mempunyai relevansi dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
2. Penelitian lapangan (Field Research)
Pada metode ini agar dapat memperoleh data yang lebih akurat, maka penulis melakukan penelitian lapangan dengan mengambil lokasi penelitian pada Kantor Bank Indonesia X, dalam hal ini penulis melakukan penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan teknik wawancara (interview), yaitu dengan mengadakan serangkaian tanya jawab secara langsung kepada Pengawas Bank Muda Kantor Bank Indonesia X. Pertanyaan yang diajukan adalah mengenai tanggung jawab pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan syariah menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Berdasarkan kedua teknik penelitian dan pengumpulan data ini penulis kemudian mengolah data-data dan bahan-bahan dan selanjutnya disajikan sesuai dengan pembahasan skripsi ini.

E. Sistematika Penulisan
Pada dasarnya sistematika adalah gambaran-gambaran umum dari keseluruhan isi penulisan ini, sehingga mudah dicari hubungan antara satu pembahasan dengan pembahasan yang lain (teratur menurut sistem, sistem adalah suatu cara/metode yang disusun secara teratur)
Skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-bab yang disesuaikan dengan kebutuhan jangkauan penulisan dan pembahasan bab yang dimaksudkan.
Berikut ini garis besar/sistematika dari penulisan ini, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan segala hal yang umum dalam sebuah karya ilmiah yang berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL
Dalam bab ini diuraikan tinjauan umum tentang Bank Indonesia sebagai bank sentral, yaitu sejarah Bank Indonesia menjadi bank sentral, tujuan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral.
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH
Dalam bab ini diuraikan tinjauan umum tentang perbankan syariah, yaitu latar belakang berdirinya bank syariah, pengertian bank syariah, persyaratan pendirian bank syariah, jenis dan kegiatan usaha pada bank syariah, perbedaan dan persamaan antara bank syariah dan bank konvensional.
BAB IV : TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BANK INDONESIA TERHADAP PERBANKAN SYARIAH PADA KANTOR BANK INDONESIA X
Dalam bab ini dibahas secara mendalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan judul karya ilmiah yang diajukan. Dalam bab ini diuraikan tentang riwayat singkat Kantor Bank Indonesia X, objek tinjauan pengawasan bank syariah, kewenangan dalam pelaksanaan tugas pengawasan, pengaturan tingkat kesehatan bank syariah, akibat hukum pelanggaran prinsip syariah.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan dari hal-hal yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, juga mencoba memberikan saran-saran yang berguna sebagai pedoman bagi bank Indonesia dalam melaksanakan pengawasan terhadap perbankan syariah.
SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PENYELENGGARAAN KEGIATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM YANG BERPOTENSI TINDAK PIDANA

SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PENYELENGGARAAN KEGIATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM YANG BERPOTENSI TINDAK PIDANA

(KODE : ILMU-HKM-0063) : SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PENYELENGGARAAN KEGIATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM YANG BERPOTENSI TINDAK PIDANA




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Presiden Republik Indonesia pada pertengahan tahun 1998 telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian (selanjutnya disebut Inpres No 18 Tahun 1998). Melalui Inpres No 18 Tahun 1998, Presiden Republik Indonesia memerintahkan kepada Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah untuk mempermudah perijinan pendirian koperasi. Dikeluarkannya Inpres No 18 Tahun 1998 berdampak pada banyaknya jumlah koperasi yang berdiri di Indonesia. Inpres No 18 Tahun 1998 memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batasan wilayah kerja, koperasi menjadi lebih mandiri dan bebas melakukan aktivitas usahanya tanpa ada campur tangan pemerintah (Muhammad Firdaus dan Agus Edhi S, 2002 : 109).
Kebijakan tersebut tidak terlepas dari keinginan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian rakyat melalui koperasi. Didalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut Undang-Undang No 25 Tahun 1992) dinyatakan bahwa koperasi diselenggarakan berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi sebagai badan perusahaan yang berdasar atas asas kekeluargaan dianggap sebagai soko guru perekonomian nasional yang sesuai dengan sendi-sendi perekonomian Indonesia yang tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945).
Pasal 44 Undang-Undang No 25 Tahun 1992 menyatakan bahwa "Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk anggota dan calon anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi lain dan atau anggotanya". Berdasar ketentuan Pasal 44, jati diri sebuah koperasi adalah "dari anggota, oleh anggota, untuk anggota". Hal tersebut sejalan dengan tujuan koperasi. Adapun tujuan koperasi yaitu memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Menurut Halomoan Tamba, dari perspektif sejarah koperasi Indonesia, dapat ditarik suatu benang merah bahwa koperasi Indonesia lahir dan tumbuh dari "proses simpan pinjam". Artinya, koperasi yang ada saat ini diawali dari adanya kegiatan simpan pinjam. Koperasi Simpan Pinjam merupakan embrio berkembang-mekarnya suatu koperasi (http://www.smecda.com/deputi7/file _Infokop/Edisi%2022/revitalisasi.htm).
Koperasi Simpan Pinjam merupakan salah satu jenis koperasi yang peraturannya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (selanjutnya disebut PP No 9 Tahun 1995) dan Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (selanjutnya disebut Kepmen No : 351/Kep/M/XII/1998).
Kemudahan dalam perijinan pendirian koperasi telah mendorong semakin banyaknya berdiri koperasi, salah satunya adalah Koperasi Simpan Pinjam. Saat ini banyak kita jumpai Koperasi Simpan Pinjam yang bermunculan bak jamur di musim hujan. Menurut Sriyadi, Kepala Dinas Pelayanan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Jawa Tengah, pada akhir 2006, ada 11.235 unit koperasi yang aktif menjalankan aktivitasnya. Dari unit koperasi yang aktif sebanyak 82% atau sekitar 7.200 koperasi merupakan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dengan anggota mencapai 87% dari jumlah anggota seluruh koperasi di Jawa Tengah (http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2007/06/04/brk.20070604-101190.id.html).
Banyaknya Koperasi Simpan Pinjam yang ada saat ini bukan jaminan terwujudnya perekonomian nasional yang mapan. Bahkan Koperasi Simpan Pinjam yang ada saat ini justru dinilai telah jauh meninggalkan prinsip serta tujuan utama koperasi. Dari sekitar 16.000 koperasi yang tercatat di Dinas Pelayanan Koperasi dan UMKM Jawa Tengah, sebanyak 4.765 koperasi hanya tinggal papan nama karena tidak ada lagi aktivitasnya. Banyaknya koperasi yang tinggal papan nama karena koperasi tersebut didirikan hanya untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Padahal untuk mendapatkan fasilitas itu tidak mudah karena syaratnya antara lain koperasi itu sehat dan usianya lebih dari dua tahun (http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2007/06/04/brk.20070604101190.id.html).
Seiring berjalannya waktu, jati diri koperasi sebagai badan usaha "dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota" dinilai semakin pudar. Koperasi Simpan Pinjam yang ada lebih berorientasi pada keuntungan atau laba yang tinggi, bukan pada kemakmuran anggotanya. Semakin banyak Koperasi Simpan Pinjam yang berdiri, semakin ketat pula persaingan antar sesama Koperasi Simpan Pinjam. Mereka saling berinovasi dan berlomba-lomba menawarkan berbagai bentuk investasi simpanan untuk mencari calon-calon anggota.
Ketentuan "calon anggota" dalam Pasal 18 ayat (2) PP No 9 Tahun 1995 ternyata telah dimanfaatkan oleh Koperasi Simpan Pinjam. Koperasi Simpan Pinjam memanfaatkan ketentuan "calon anggota" untuk merekrut masyarakat dengan harapan mereka mau berinvestasi di Koperasi Simpan Pinjamnya sehingga semakin banyak masyarakat yang direkrut semakin banyak pula keuntungan yang didapat. Meskipun ketentuan tentang calon anggota telah diatur secara jelas, bahwa dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota. Namun kenyataanya setelah waktu yang ditentukan berakhir calon-calon anggota tersebut statusnya tidak berubah menjadi anggota.
Kegiatan usaha Koperasi Simpan Pinjam telah diatur dalam Pasal 19 ayat (1) PP No 9 Tahun 1995 yang menyebutkan bahwa : "Kegiatan Usaha Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam adalah : a. menghimpun simpanan koperasi berjangka dan tabungan koperasi dari anggota dan calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya; b. memberikan pinjaman kepada anggota, calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya". Berdasarkan Kepmen No : 351/Kep/M/XII/1998, dalam melaksanakan kegiatan usaha penghimpunan dana, ada 2 (dua) bentuk simpanan yang diperbolehkan, yaitu tabungan koperasi dan simpanan berjangka. Untuk melayani kebutuhan penyimpanan, koperasi dapat menciptakan berbagai jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka. Pemberian nama dan ketentuan mengenai jenis-jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka merupakan wewenang pengurus koperasi.
Namun dalam prakteknya, seringkali Koperasi Simpan Pinjam melakukan penghimpunan dana dari masyarakat yang jelas-jelas bukan anggota koperasi dalam bentuk deposito berjangka dengan memberikan bunga kepada nasabahnya di atas bunga bank. Dengan menempatkan sejumlah uangnya pada koperasi, para calon nasabah diberikan harapan nantinya akan mendapatkan pengembalian yang tinggi, tanpa harus bekerja keras keuntungan pun bisa didapat. Tawaran semacam ini sangat menggiurkan, karena orang akan lebih cenderung bersikap pragmatis untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Dorongan kuat akan memperoleh keuntungan tinggi mampu membuat orang tanpa perlu lagi mempertimbangkan secara masak terhadap rasionalitas usaha maupun kemungkinan resikonya. Sehingga banyak masyarakat yang kemudian tertarik dan menginvestasikan uangnya (http://yy2n.wordpress.com/tinjauan-hukum-terhadap-perlindungan-dana-nasabah-dalam-koperasi-simpan-pinjam).
Seperti kasus yang dilakukan oleh Koperasi Simpan Pinjam Manunggal Utama Karya yang ada di Solo. Kasus tersebut berkedok penawaran deposito berjangka. Para nasabah mengaku tergiur iming-iming bunga tinggi, sehingga membeli sertifikat deposito berjangka dengan nilai 10 juta rupiah per sertifikat. Karena tergiur keuntungan yang besar, sejumlah nasabah terbujuk untuk membeli belasan sertifikat tersebut. Namun hingga batas waktu yang dijanjikan bunga dan pengembalian uang deposito ternyata tidak juga dibayarkan oleh pihak koperasi (http://euro2008.tempointeraktive.com/hg/nusa/2007/11/05/brk/20071105-110756.id.html).
Contoh kasus lainnya yaitu, kasus yang dilakukan oleh Wijaya Bank, Kendati namanya Memakai kata "bank", Wijaya Bank (WB) bukanlah bank, tetapi murni usaha Koperasi Simpan Pinjam. Dahlan Sutalaksana selaku Direktur Muda Bank Indonesia telah melakukan pengecekan dan hasilnya dinyatakan bahwa nama WB tidak tercantum dalam daftar nama bank-bank yang diberi izin operasi oleh Departemen Keuangan. Hasil pengecekan tersebut dilaporkan kepada polisi dan segera ditindaklanjuti oleh polisi. Dari hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa Wijaya Bank memiliki izin sebagai Koperasi Usaha Simpan Pinjam dari Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Koperasi DKI Jakarta per 1 Juni 1992. Dalam izin hanya dicantumkan nama Koperasi Simpan Pinjam Wijaya, tanpa sebutan "bank" dibelakangnya. Semula, koperasi itu hanya memiliki izin usaha sebagai Koperasi Simpan Pinjam dari anggotanya. Namun, dengan bantuan oknum di kantor koperasi, izin usahanya diubah menjadi menerima deposito berjangka, sertifikat deposito, valuta asing, juga izin mengeluarkan kartu kredit (http://majalah.tempointeraktive.com/id/cetak/1992/09/12/KRI/mbm.1992091 2.KRI10378.id.html).
Perizinan bagi setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diawasi. Hal ini mengingat dalam kegiatan itu terkait perlindungan dana masyarakat yang disimpan. Terkait dengan kasus Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana dari masyarakat di luar anggotanya, hal tersebut mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 44 Undang-Undang No 25 Tahun 1992 juncto Pasal 18 ayat (1) PP No 9 Tahun 1995. Ditinjau dari Undang-Undang Perbankan, Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana masyarakat diluar anggota juga diindikasikan melanggar ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Pasal 21 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa salah satu bentuk hukum suatu bank yaitu koperasi. Berdasar ketentuan tersebut, secara normatif jika suatu koperasi ingin menghimpun dana dari masyarakat, maka koperasi tersebut harus mendapat izin sebagai bank dari Bank Indonesia. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa :
Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Menteri, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pihak yang menghimpun dana masyarakat tanpa izin Bank Indonesia sering disebut sebagai "Bank gelap". Ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 16 ayat (1) tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat (1) yang berbunyi :
Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Selanjutnya Pasal 46 ayat (2) menyebutkan bahwa :
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Terkait dengan penyimpanan dana nasabah di Koperasi Simpan Pinjam, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan bagi nasabah yang menyimpan dananya di Koperasi Simpan Pinjam. Dengan tidak adanya perlindungan bagi nasabah penyimpan dana, maka dalam kegiatan Koperasi Simpan Pinjam rawan terjadi tindak pidana. Tindak pidana yang biasa terjadi dalam kegiatan Koperasi Simpan Pinjam yaitu penipuan dan/atau penggelapan atas dana nasabah yang disimpan oleh pengurus Koperasi Simpan Pinjam.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan menyusunnya dalam sebuah skripsi yang berjudul : KAJIAN YURIDIS PENYELENGGARAAN KEGIATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM YANG BERPOTENSI TINDAK PIDANA.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam ?
2. Tindak pidana apa saja yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam ?

C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tujuan penelitian juga harus jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam dalam peraturan perundang-undangan;
b. Untuk mengetahui Tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
2. Tujuan Subyektif
a. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam program studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas X;
b. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis dalam mengkaji masalah di bidang hukum pidana dan hukum perdata khususnya mengenai tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam;
c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori ilmu hukum yang telah penulis peroleh.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat penulis ambil dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum pidana dan hukum perdata pada khususnya;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam kepustakaan tentang tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam;
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan bagi penelitian-penelitian sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti;
b. Menjadi sarana bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah.

E. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Istilah "metodologi" berasal dari kata "metode" yang berarti "jalan ke". Terhadap pengertian metodologi, biasanya diberikan arti-arti sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2006 : 5-6) :
1. logika dari penelitian ilmiah;
2. studi terhadap prosedur dan teknik penelitian;
3. suatu sistim dari prosedur dan teknik penelitian.
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Adapun maksud dari penelitian hukum normatif itu adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2006 : 10).
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, ada beberapa pendekatan dalam penelitian hukum. Pendekatan-pendekatan itu antara lain pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 93).
Dalam penulisan ini, penulis cenderung menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Sedangkan pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder, yaitu data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan sebagainya yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji oleh penulis.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah sumber data sekunder. Dimana data sekunder tersebut mencakup (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007 : 13) :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
3) Undang-Undang No 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
4) Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi;
5) Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nom or : 351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi;
6) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan penelitian hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 141). Bahan penelitian hukum yang digunakan buku-buku yang terkait dengan materi/bahasan yang penulis gunakan yaitu buku yang membahas mengenai penyelenggaraan Koperasi khususnya Koperasi Simpan Pinjam dan Potensi tindak pidana yang terjadi dalam kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka Studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan data terkait penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam, dengan cara mengunjungi perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, literatur, artikel majalah dan koran, karangan ilmiah, makalah dan sebagainya yang berkaitan erat dengan pokok permasalahan dalam penelitian yaitu terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
6. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis isi (content analysis), yaitu suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya analisis ini mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemrosesan data ilmiah (bahan hukum).
Mengutip dari Albert Widjaja dalam bukunya Noeng Muhadjir, tentang content analysis, dalam menganalisa harus berlandaskan aturan yang dirumuskan secara eksplisit (Noeng Muhadjir, 2000 : 68). Berdasarkan pendapat tersebut, dalam hal ini penulis berusaha mendeskripsikan isi yang terdapat dalam suatu peraturan, mengidentifikasinya, dan mengkompilasi data-data terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam yang diperoleh penulis, kemudian mengurutkannya berdasarkan isu hukum terkait dan mengkorelasikannya dengan alur pemikiran sehingga dapat diketemukan suatu benang merah yang mengarah kepada pembahasan dan menghasilkan kesimpulan. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan tersebut kemudian ditemukan suatu celah yang dapat dimanfaatkan guna memberikan saran/masukan.

F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini yang terdiri dari 4 (empat) Bab. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelititan, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis memberikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang Perkoperasian di Indonesia dan tinjauan tentang Tindak Pidana. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka dalam bab ini juga disertai dengan kerangka berfikir.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis mengungkapkan dan membahas hasil penelitian dari sumber data sekunder. Untuk mempermudah dalam mengungkapkan dan membahas hasil penelitian, maka penulis membaginya menjadi 2 (dua) tahap :
a. Penulis mendiskripsikan hasil temuan data yang diperoleh penulis sehubungan dengan peraturan perundang-undangan mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam;
b. Penulis melakukan kajian terhadap temuan-temuan data tersebut untuk menjawab rumusan masalah kedua mengenai Tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini penulis memberikan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan serta memberikan saran-saran terhadap beberapa kekurangan yang menurut penulis perlu diperbaiki dan yang penulis temukan selama penelitian.