Search This Blog

Showing posts with label skripsi ilmu hukum. Show all posts
Showing posts with label skripsi ilmu hukum. Show all posts
SKRIPSI TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BANK INDONESIA TERHADAP PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008

SKRIPSI TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BANK INDONESIA TERHADAP PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008

(KODE : ILMU-HKM-0064) : SKRIPSI TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BANK INDONESIA TERHADAP PERBANKAN SYARIAH MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 21 TAHUN 2008




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Keberadaan sistem perbankan syariah dalam sistem perbankan di Indonesia kini telah mendapatkan payung hukum tertinggi yang akan melindungi kiprah dan sepak terjang industri perbankan syariah di tanah air. Hal ini dengan diloloskannya Rancangan Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi undang-undang yakni Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang disahkan pada tanggal 16 Juli 2008.
Sebelumnya pengaturan mengenai perbankan syariah dituangkan dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998. Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional perbankan syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha bank syariah berkembang cukup pesat.
Pengawasan terhadap kegiatan usaha bank baik bank konvensional maupun bank syariah dilakukan oleh Bank Indonesia. Hal ini didasarkan pada Pasal 29 ayat 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang berbunyi : "Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia". Berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan itu Bank Indonesia mempunyai tugas yang didasarkan pada pasal 8 Undang-undang No. 3 Tahun 2004 perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang berbunyi : "Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut : a) menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, b) mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, c) mengatur dan mengawasi bank". Dalam pasal 50 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah disebutkan bahwa "Pembinaan dan pengawasan bank syariah dan UUS dilakukan oleh Bank Indonesia".
Pada prinsipnya, pengaturan penyatuan sistem tata perbankan bagi sebuah negara dilakukan oleh bank sentral, di Indonesia dalam hal ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pengawasan jasa sistem pembayaran agar masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat, tepat, dan aman. Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan langsung (on-site supervision) dan pengawasan tidak langsung (off-site supervision) terhadap bank-bank syariah di Indonesia, baik bank umum syariah maupun bank konvensional yang buka cabang khusus syariah atau dikenal dengan Unit Usaha Syariah.
Secara umum, peranan bank sentral sangat penting dan strategis dalam upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat dan efisien. Perlu diwujudkannya sistem perbankan yang sehat itu, karena dunia perbankan adalah salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi suatu negara. Sedangkan secara khusus, bank sentral mempunyai peranan yang penting dalam mencegah timbulnya risiko-risiko kerugian yang diderita oleh bank itu sendiri, masyarakat penyimpan dana, dan merugikan serta membahayakan kehidupan perekonomian. Bank Indonesia yang memegang otoritas pembinaan dan pengawasan bank dibekali dengan kewenangan yang berkaitan dengan perizinan, mengeluarkan ketentuan-ketentuan yang memberi landasan kerja yang sehat bagi bank serta mengawasi dan memberikan pembinaan kepada bank dalam menjalankan segala usaha bank tersebut dengan tujuan mendorong terwujudnya sistem perbankan yang sehat.
Kegiatan pengawasan bank tersebut sebagai pelaksanaan monetary supervision dimaksudkan untuk memonitor dan mengetahui lembaga keuangan bank dalam hal ini mematuhi ketentuan aturan yang ditentukan oleh Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter dan menjalankan usaha perbankannya.
Bank sentral sebagai pembinaan dan pengawasan bank mengarahkan lembaga keuangan bank yang ada agar dalam kegiatan usahanya selalu berhati-hati sehingga bank tersebut terhindar dari praktek perbankan yang tidak sehat.
Pada hakikatnya pengaturan dan pengawasan bank dimaksudkan untuk meningkatkan keyakinan dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan bank, bahwa bank-bank dari finansial tergolong sehat, bahwa bank dikelola dengan baik dan profesional, serta di dalam bank tidak terkandung segi-segi yang merupakan ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya di bank.
Dengan perkataan lain, tujuan umum dari pengaturan dan pengawasan bank adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, yang memenuhi tiga aspek, yaitu perbankan yang dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik, berkembang secara wajar, dalam arti di satu pihak memerhatikan faktor risiko seperti kemampuan, baik dari sistem, finansial, maupun sumber daya manusia.
Bank perlu dibina dan diawasi mengingat fungsi bank adalah mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat di samping penyediaan pemberian jasa-jasa keuangan lainnya. Bank syariah dalam melaksanakan tugas dan kegiatannya wajib berpedoman pada prinsip-prinsip perbankan syariah yang sehat dan mematuhi ketentuan yang berlaku. Dalam hubungannya dengan prinsip tersebut, bank perlu memahami fungsinya sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dan karenanya bank harus menghindari praktek-praktek dan kegiatan yang diperkirakan akan atau dapat membahayakan kelangsungan hidup bank atau kepentingan masyarakat.
Bank sebagai penghimpun dan penyalur dana publik harus memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi di mata masyarakat dan dunia usaha. Reputasi ini merupakan keniscayaan, dan untuk mendapatkannya bukanlah perkara yang mudah. la harus diusahakan dengan kerja keras dan dengan disiplin yang tidak mengenal lelah. Namun, ketika kepercayaan telah diraih, maka usaha untuk mempertahankannya juga bukan pekerjaan mudah. Bisa saja suatu kasus kecil dapat menciderai tingkat kepercayaan itu dan pada gilirannya akan berubah menjadi malapetaka.
Oleh karena itu, setiap pelaku perbankan diharapkan tetap menjaga kepercayaan masyarakat tersebut. Kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan akan terjaga apabila sektor perbankan itu sendiri diselenggarakan dan dikelola dengan prinsip kehati-hatian sehingga selalu terpelihara kondisi kesehatannya.
Karena itu, industri perbankan pada hakikatnya adalah industri yang paling banyak diatur dan diawasi (highly regulated and supervised industry). Hal ini tentu saja dapat diterima karena dana yang dihimpun dari masyarakat dan dikembangkan lewat berbagai bentuk pembiayaan dan investasi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada si empunya dalam bentuk return yang positif. Jika hal itu tidak dilakukan maka korbannya bukan hanya mereka yang dananya akan menjadi hilang, melainkan juga bencana ekonomi akan menimpa dan menghancurkan negara yang mengalami krisis perbankan ini. Malapetaka inilah yang sesungguhnya terjadi di negara kita. Pada awalnya, krisis itu berasal dari sektor perbankan dan belasan bank yang akhirnya dilikuidasi sebagai korbannya. Lama-kelamaan krisis itu membesar dan meluas ke berbagai sektor dan berubah menjadi krisis ekonomi yang bersifat multidimensional dengan skala yang jauh lebih masif. Krisis itu nyaris meluluhlantakkan negeri Indonesia bahkan mengubah petanya sekaligus.
Di samping pentingnya menjaga tingkat kepercayaan yang tinggi di mata masyarakat, perlu adanya transparansi akan produk-produk syariah agar bank syariah tidak mendapat predikat bank syariah yang tidak benar-benar syariah. Bank syariah harus bisa menjelaskan secara rinci produk-produk yang ditawarkannya dengan menjelaskan dasar kehalalannya dan bagaimana bank mengelola produk-produk syariahnya.
Hal ini membawa kita pada satu kenyataan akan pentingnya pengaturan (regulation) dan pengawasan (supervision) bagi lembaga keuangan syariah. Bank Indonesia sebagai bank sentral mempunyai peran dalam menentukan dan memberikan arah perkembangan perbankan serta dapat melindungi masyarakat, maka Bank Indonesia mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan perbankan.
Sebagai pengawas dan pembina bank, Bank Indonesia bertindak sebagai seorang bapak kepada anaknya. Bila seorang anak keliru dalam melakukan suatu tindakan maka seorang bapak yang baik akan berusaha memberitahukan kepada anaknya perihal kekeliruannya itu bahkan lebih dari itu bapak tersebut akan mengusahakan supaya anaknya tidak keliru dalam mengambil suatu tindakan. Demikian juga halnya Bank Indonesia dalam menjalankan tugas pengawasan perbankan syariah di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka perlu dirumuskan apa yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut :
1. Apa objek tinjauan Bank Indonesia dalam melaksanakan pengawasan pada bank syariah ?
2. Bagaimana kewenangan Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas pengawasan ?
3. Bagaimana peranan Bank Indonesia dalam mengatur tingkat kesehatan bank syariah ?
4. Apa akibat hukum yang diberikan Bank Indonesia terhadap bank syariah yang melanggar prinsip syariah ?

C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dalam pembahasan skripsi ini yang berjudul "Tanggung Jawab Pengawasan Bank Indonesia Terhadap Perbankan Syariah Menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008 (Studi : Kantor Bank Indonesia X)" adalah untuk membahas hal-hal yang sesuai dengan permasalahan yang diajukan antara lain :
1. Untuk mengetahui objek tinjauan Bank Indonesia dalam melaksanakan pengawasan pada bank syariah.
2. Untuk mengetahui kewenangan Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas pengawasan.
3. Untuk mengetahui peranan Bank Indonesia dalam mengatur tingkat kesehatan bank syariah.
4. Untuk mengetahui akibat hukum yang diberikan Bank Indonesia terhadap bank syariah yang melanggar prinsip syariah.
Selain tujuan yang diperoleh dari penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan akan memberikan kontribusi pemikiran serta menimbulkan pemahaman mengenai tanggung jawab Bank Indonesia dalam mengawasi perbankan syariah sesuai dengan prinsip syariah.
2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang mendalam bagi Bank Indonesia dalam mengawasi perbankan syariah dan bagi bank-bank syariah agar dapat menjalankan kegiatan operasionalnya sesuai dengan prinsip syariah.

D. Metode Penelitian
Untuk mencari dan menemukan suatu kebenaran secara ilmiah dan untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam melengkapi bahan-bahan bagi penulisan skripsi ini maka penulis memberanikan diri untuk mengadakan penelitian dengan metode sebagai berikut :
1. Penelitian kepustakaan (Library Research)
Pada metode penelitian kepustakaan (Library Research) ini, penulis mengumpulkan, membaca, dan mempelajari serta menganalisa secara sistematis sumber bacaan yang meliputi buku-buku, majalah, surat kabar, karangan ilmiah, peraturan perundang-undangan, dan sumber kepustakaan lainnya yang mempunyai relevansi dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
2. Penelitian lapangan (Field Research)
Pada metode ini agar dapat memperoleh data yang lebih akurat, maka penulis melakukan penelitian lapangan dengan mengambil lokasi penelitian pada Kantor Bank Indonesia X, dalam hal ini penulis melakukan penelitian hukum empiris yang dilakukan dengan teknik wawancara (interview), yaitu dengan mengadakan serangkaian tanya jawab secara langsung kepada Pengawas Bank Muda Kantor Bank Indonesia X. Pertanyaan yang diajukan adalah mengenai tanggung jawab pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan syariah menurut Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Berdasarkan kedua teknik penelitian dan pengumpulan data ini penulis kemudian mengolah data-data dan bahan-bahan dan selanjutnya disajikan sesuai dengan pembahasan skripsi ini.

E. Sistematika Penulisan
Pada dasarnya sistematika adalah gambaran-gambaran umum dari keseluruhan isi penulisan ini, sehingga mudah dicari hubungan antara satu pembahasan dengan pembahasan yang lain (teratur menurut sistem, sistem adalah suatu cara/metode yang disusun secara teratur)
Skripsi ini terdiri dari lima bab, dimana masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-bab yang disesuaikan dengan kebutuhan jangkauan penulisan dan pembahasan bab yang dimaksudkan.
Berikut ini garis besar/sistematika dari penulisan ini, yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan segala hal yang umum dalam sebuah karya ilmiah yang berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG BANK INDONESIA SEBAGAI BANK SENTRAL
Dalam bab ini diuraikan tinjauan umum tentang Bank Indonesia sebagai bank sentral, yaitu sejarah Bank Indonesia menjadi bank sentral, tujuan dan tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral, kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral.
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PERBANKAN SYARIAH
Dalam bab ini diuraikan tinjauan umum tentang perbankan syariah, yaitu latar belakang berdirinya bank syariah, pengertian bank syariah, persyaratan pendirian bank syariah, jenis dan kegiatan usaha pada bank syariah, perbedaan dan persamaan antara bank syariah dan bank konvensional.
BAB IV : TANGGUNG JAWAB PENGAWASAN BANK INDONESIA TERHADAP PERBANKAN SYARIAH PADA KANTOR BANK INDONESIA X
Dalam bab ini dibahas secara mendalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan judul karya ilmiah yang diajukan. Dalam bab ini diuraikan tentang riwayat singkat Kantor Bank Indonesia X, objek tinjauan pengawasan bank syariah, kewenangan dalam pelaksanaan tugas pengawasan, pengaturan tingkat kesehatan bank syariah, akibat hukum pelanggaran prinsip syariah.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan dari hal-hal yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, juga mencoba memberikan saran-saran yang berguna sebagai pedoman bagi bank Indonesia dalam melaksanakan pengawasan terhadap perbankan syariah.
SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PENYELENGGARAAN KEGIATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM YANG BERPOTENSI TINDAK PIDANA

SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PENYELENGGARAAN KEGIATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM YANG BERPOTENSI TINDAK PIDANA

(KODE : ILMU-HKM-0063) : SKRIPSI KAJIAN YURIDIS PENYELENGGARAAN KEGIATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM YANG BERPOTENSI TINDAK PIDANA




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Presiden Republik Indonesia pada pertengahan tahun 1998 telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 18 Tahun 1998 tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian (selanjutnya disebut Inpres No 18 Tahun 1998). Melalui Inpres No 18 Tahun 1998, Presiden Republik Indonesia memerintahkan kepada Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah untuk mempermudah perijinan pendirian koperasi. Dikeluarkannya Inpres No 18 Tahun 1998 berdampak pada banyaknya jumlah koperasi yang berdiri di Indonesia. Inpres No 18 Tahun 1998 memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batasan wilayah kerja, koperasi menjadi lebih mandiri dan bebas melakukan aktivitas usahanya tanpa ada campur tangan pemerintah (Muhammad Firdaus dan Agus Edhi S, 2002 : 109).
Kebijakan tersebut tidak terlepas dari keinginan pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan perekonomian rakyat melalui koperasi. Didalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut Undang-Undang No 25 Tahun 1992) dinyatakan bahwa koperasi diselenggarakan berdasarkan atas asas kekeluargaan. Koperasi sebagai badan perusahaan yang berdasar atas asas kekeluargaan dianggap sebagai soko guru perekonomian nasional yang sesuai dengan sendi-sendi perekonomian Indonesia yang tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD Tahun 1945).
Pasal 44 Undang-Undang No 25 Tahun 1992 menyatakan bahwa "Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk anggota dan calon anggota koperasi yang bersangkutan, koperasi lain dan atau anggotanya". Berdasar ketentuan Pasal 44, jati diri sebuah koperasi adalah "dari anggota, oleh anggota, untuk anggota". Hal tersebut sejalan dengan tujuan koperasi. Adapun tujuan koperasi yaitu memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Menurut Halomoan Tamba, dari perspektif sejarah koperasi Indonesia, dapat ditarik suatu benang merah bahwa koperasi Indonesia lahir dan tumbuh dari "proses simpan pinjam". Artinya, koperasi yang ada saat ini diawali dari adanya kegiatan simpan pinjam. Koperasi Simpan Pinjam merupakan embrio berkembang-mekarnya suatu koperasi (http://www.smecda.com/deputi7/file _Infokop/Edisi%2022/revitalisasi.htm).
Koperasi Simpan Pinjam merupakan salah satu jenis koperasi yang peraturannya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (selanjutnya disebut PP No 9 Tahun 1995) dan Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor : 351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi (selanjutnya disebut Kepmen No : 351/Kep/M/XII/1998).
Kemudahan dalam perijinan pendirian koperasi telah mendorong semakin banyaknya berdiri koperasi, salah satunya adalah Koperasi Simpan Pinjam. Saat ini banyak kita jumpai Koperasi Simpan Pinjam yang bermunculan bak jamur di musim hujan. Menurut Sriyadi, Kepala Dinas Pelayanan Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Jawa Tengah, pada akhir 2006, ada 11.235 unit koperasi yang aktif menjalankan aktivitasnya. Dari unit koperasi yang aktif sebanyak 82% atau sekitar 7.200 koperasi merupakan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dengan anggota mencapai 87% dari jumlah anggota seluruh koperasi di Jawa Tengah (http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2007/06/04/brk.20070604-101190.id.html).
Banyaknya Koperasi Simpan Pinjam yang ada saat ini bukan jaminan terwujudnya perekonomian nasional yang mapan. Bahkan Koperasi Simpan Pinjam yang ada saat ini justru dinilai telah jauh meninggalkan prinsip serta tujuan utama koperasi. Dari sekitar 16.000 koperasi yang tercatat di Dinas Pelayanan Koperasi dan UMKM Jawa Tengah, sebanyak 4.765 koperasi hanya tinggal papan nama karena tidak ada lagi aktivitasnya. Banyaknya koperasi yang tinggal papan nama karena koperasi tersebut didirikan hanya untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah. Padahal untuk mendapatkan fasilitas itu tidak mudah karena syaratnya antara lain koperasi itu sehat dan usianya lebih dari dua tahun (http://www.tempointeractive.com/hg/nasional/2007/06/04/brk.20070604101190.id.html).
Seiring berjalannya waktu, jati diri koperasi sebagai badan usaha "dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota" dinilai semakin pudar. Koperasi Simpan Pinjam yang ada lebih berorientasi pada keuntungan atau laba yang tinggi, bukan pada kemakmuran anggotanya. Semakin banyak Koperasi Simpan Pinjam yang berdiri, semakin ketat pula persaingan antar sesama Koperasi Simpan Pinjam. Mereka saling berinovasi dan berlomba-lomba menawarkan berbagai bentuk investasi simpanan untuk mencari calon-calon anggota.
Ketentuan "calon anggota" dalam Pasal 18 ayat (2) PP No 9 Tahun 1995 ternyata telah dimanfaatkan oleh Koperasi Simpan Pinjam. Koperasi Simpan Pinjam memanfaatkan ketentuan "calon anggota" untuk merekrut masyarakat dengan harapan mereka mau berinvestasi di Koperasi Simpan Pinjamnya sehingga semakin banyak masyarakat yang direkrut semakin banyak pula keuntungan yang didapat. Meskipun ketentuan tentang calon anggota telah diatur secara jelas, bahwa dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah melunasi simpanan pokok harus menjadi anggota. Namun kenyataanya setelah waktu yang ditentukan berakhir calon-calon anggota tersebut statusnya tidak berubah menjadi anggota.
Kegiatan usaha Koperasi Simpan Pinjam telah diatur dalam Pasal 19 ayat (1) PP No 9 Tahun 1995 yang menyebutkan bahwa : "Kegiatan Usaha Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam adalah : a. menghimpun simpanan koperasi berjangka dan tabungan koperasi dari anggota dan calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya; b. memberikan pinjaman kepada anggota, calon anggotanya, koperasi lain dan atau anggotanya". Berdasarkan Kepmen No : 351/Kep/M/XII/1998, dalam melaksanakan kegiatan usaha penghimpunan dana, ada 2 (dua) bentuk simpanan yang diperbolehkan, yaitu tabungan koperasi dan simpanan berjangka. Untuk melayani kebutuhan penyimpanan, koperasi dapat menciptakan berbagai jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka. Pemberian nama dan ketentuan mengenai jenis-jenis tabungan koperasi dan simpanan berjangka merupakan wewenang pengurus koperasi.
Namun dalam prakteknya, seringkali Koperasi Simpan Pinjam melakukan penghimpunan dana dari masyarakat yang jelas-jelas bukan anggota koperasi dalam bentuk deposito berjangka dengan memberikan bunga kepada nasabahnya di atas bunga bank. Dengan menempatkan sejumlah uangnya pada koperasi, para calon nasabah diberikan harapan nantinya akan mendapatkan pengembalian yang tinggi, tanpa harus bekerja keras keuntungan pun bisa didapat. Tawaran semacam ini sangat menggiurkan, karena orang akan lebih cenderung bersikap pragmatis untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Dorongan kuat akan memperoleh keuntungan tinggi mampu membuat orang tanpa perlu lagi mempertimbangkan secara masak terhadap rasionalitas usaha maupun kemungkinan resikonya. Sehingga banyak masyarakat yang kemudian tertarik dan menginvestasikan uangnya (http://yy2n.wordpress.com/tinjauan-hukum-terhadap-perlindungan-dana-nasabah-dalam-koperasi-simpan-pinjam).
Seperti kasus yang dilakukan oleh Koperasi Simpan Pinjam Manunggal Utama Karya yang ada di Solo. Kasus tersebut berkedok penawaran deposito berjangka. Para nasabah mengaku tergiur iming-iming bunga tinggi, sehingga membeli sertifikat deposito berjangka dengan nilai 10 juta rupiah per sertifikat. Karena tergiur keuntungan yang besar, sejumlah nasabah terbujuk untuk membeli belasan sertifikat tersebut. Namun hingga batas waktu yang dijanjikan bunga dan pengembalian uang deposito ternyata tidak juga dibayarkan oleh pihak koperasi (http://euro2008.tempointeraktive.com/hg/nusa/2007/11/05/brk/20071105-110756.id.html).
Contoh kasus lainnya yaitu, kasus yang dilakukan oleh Wijaya Bank, Kendati namanya Memakai kata "bank", Wijaya Bank (WB) bukanlah bank, tetapi murni usaha Koperasi Simpan Pinjam. Dahlan Sutalaksana selaku Direktur Muda Bank Indonesia telah melakukan pengecekan dan hasilnya dinyatakan bahwa nama WB tidak tercantum dalam daftar nama bank-bank yang diberi izin operasi oleh Departemen Keuangan. Hasil pengecekan tersebut dilaporkan kepada polisi dan segera ditindaklanjuti oleh polisi. Dari hasil pemeriksaan tersebut diketahui bahwa Wijaya Bank memiliki izin sebagai Koperasi Usaha Simpan Pinjam dari Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Koperasi DKI Jakarta per 1 Juni 1992. Dalam izin hanya dicantumkan nama Koperasi Simpan Pinjam Wijaya, tanpa sebutan "bank" dibelakangnya. Semula, koperasi itu hanya memiliki izin usaha sebagai Koperasi Simpan Pinjam dari anggotanya. Namun, dengan bantuan oknum di kantor koperasi, izin usahanya diubah menjadi menerima deposito berjangka, sertifikat deposito, valuta asing, juga izin mengeluarkan kartu kredit (http://majalah.tempointeraktive.com/id/cetak/1992/09/12/KRI/mbm.1992091 2.KRI10378.id.html).
Perizinan bagi setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk diawasi. Hal ini mengingat dalam kegiatan itu terkait perlindungan dana masyarakat yang disimpan. Terkait dengan kasus Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana dari masyarakat di luar anggotanya, hal tersebut mengindikasikan adanya pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 44 Undang-Undang No 25 Tahun 1992 juncto Pasal 18 ayat (1) PP No 9 Tahun 1995. Ditinjau dari Undang-Undang Perbankan, Koperasi Simpan Pinjam yang menghimpun dana masyarakat diluar anggota juga diindikasikan melanggar ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
Pasal 21 Undang-Undang No 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa salah satu bentuk hukum suatu bank yaitu koperasi. Berdasar ketentuan tersebut, secara normatif jika suatu koperasi ingin menghimpun dana dari masyarakat, maka koperasi tersebut harus mendapat izin sebagai bank dari Bank Indonesia. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa :
Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Menteri, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
Pihak yang menghimpun dana masyarakat tanpa izin Bank Indonesia sering disebut sebagai "Bank gelap". Ancaman sanksi pidana terhadap tindak pidana sebagaimana diatur Pasal 16 ayat (1) tersebut diatur dalam Pasal 46 ayat (1) yang berbunyi :
Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
Selanjutnya Pasal 46 ayat (2) menyebutkan bahwa :
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi, maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
Terkait dengan penyimpanan dana nasabah di Koperasi Simpan Pinjam, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perlindungan bagi nasabah yang menyimpan dananya di Koperasi Simpan Pinjam. Dengan tidak adanya perlindungan bagi nasabah penyimpan dana, maka dalam kegiatan Koperasi Simpan Pinjam rawan terjadi tindak pidana. Tindak pidana yang biasa terjadi dalam kegiatan Koperasi Simpan Pinjam yaitu penipuan dan/atau penggelapan atas dana nasabah yang disimpan oleh pengurus Koperasi Simpan Pinjam.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dan menyusunnya dalam sebuah skripsi yang berjudul : KAJIAN YURIDIS PENYELENGGARAAN KEGIATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM YANG BERPOTENSI TINDAK PIDANA.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam ?
2. Tindak pidana apa saja yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam ?

C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai. Tujuan penelitian juga harus jelas sehingga dapat memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui pengaturan penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam dalam peraturan perundang-undangan;
b. Untuk mengetahui Tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
2. Tujuan Subyektif
a. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam program studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas X;
b. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis dalam mengkaji masalah di bidang hukum pidana dan hukum perdata khususnya mengenai tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam;
c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori ilmu hukum yang telah penulis peroleh.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat penulis ambil dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum pidana dan hukum perdata pada khususnya;
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam kepustakaan tentang tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam;
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan bagi penelitian-penelitian sejenis.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti;
b. Menjadi sarana bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penalaran, membentuk pola pikir ilmiah.

E. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Istilah "metodologi" berasal dari kata "metode" yang berarti "jalan ke". Terhadap pengertian metodologi, biasanya diberikan arti-arti sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2006 : 5-6) :
1. logika dari penelitian ilmiah;
2. studi terhadap prosedur dan teknik penelitian;
3. suatu sistim dari prosedur dan teknik penelitian.
Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Adapun maksud dari penelitian hukum normatif itu adalah penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama, atau didalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 2006 : 10).
3. Pendekatan Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, ada beberapa pendekatan dalam penelitian hukum. Pendekatan-pendekatan itu antara lain pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 93).
Dalam penulisan ini, penulis cenderung menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan historis (historical approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Sedangkan pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
4. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah data sekunder, yaitu data pustaka yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan sebagainya yang berkaitan dengan pokok bahasan yang dikaji oleh penulis.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah sumber data sekunder. Dimana data sekunder tersebut mencakup (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007 : 13) :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang No 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
3) Undang-Undang No 7 Tahun 1992 juncto Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
4) Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi;
5) Keputusan Menteri Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nom or : 351/Kep/M/XII/1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi;
6) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
b. Bahan hukum Sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan penelitian hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005 : 141). Bahan penelitian hukum yang digunakan buku-buku yang terkait dengan materi/bahasan yang penulis gunakan yaitu buku yang membahas mengenai penyelenggaraan Koperasi khususnya Koperasi Simpan Pinjam dan Potensi tindak pidana yang terjadi dalam kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah studi dokumen atau bahan pustaka Studi dokumen atau bahan pustaka ini penulis lakukan dengan usaha-usaha pengumpulan data terkait penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam, dengan cara mengunjungi perpustakaan-perpustakaan, membaca, mengkaji dan mempelajari buku-buku, literatur, artikel majalah dan koran, karangan ilmiah, makalah dan sebagainya yang berkaitan erat dengan pokok permasalahan dalam penelitian yaitu terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
6. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis isi (content analysis), yaitu suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya analisis ini mencakup prosedur-prosedur khusus untuk pemrosesan data ilmiah (bahan hukum).
Mengutip dari Albert Widjaja dalam bukunya Noeng Muhadjir, tentang content analysis, dalam menganalisa harus berlandaskan aturan yang dirumuskan secara eksplisit (Noeng Muhadjir, 2000 : 68). Berdasarkan pendapat tersebut, dalam hal ini penulis berusaha mendeskripsikan isi yang terdapat dalam suatu peraturan, mengidentifikasinya, dan mengkompilasi data-data terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam yang diperoleh penulis, kemudian mengurutkannya berdasarkan isu hukum terkait dan mengkorelasikannya dengan alur pemikiran sehingga dapat diketemukan suatu benang merah yang mengarah kepada pembahasan dan menghasilkan kesimpulan. Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan tersebut kemudian ditemukan suatu celah yang dapat dimanfaatkan guna memberikan saran/masukan.

F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum serta untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini, maka penulis menyajikan sistematika penulisan hukum ini yang terdiri dari 4 (empat) Bab. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelititan, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis memberikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang Perkoperasian di Indonesia dan tinjauan tentang Tindak Pidana. Selain itu, untuk memudahkan pemahaman alur berfikir, maka dalam bab ini juga disertai dengan kerangka berfikir.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis mengungkapkan dan membahas hasil penelitian dari sumber data sekunder. Untuk mempermudah dalam mengungkapkan dan membahas hasil penelitian, maka penulis membaginya menjadi 2 (dua) tahap :
a. Penulis mendiskripsikan hasil temuan data yang diperoleh penulis sehubungan dengan peraturan perundang-undangan mengatur mengenai penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam;
b. Penulis melakukan kajian terhadap temuan-temuan data tersebut untuk menjawab rumusan masalah kedua mengenai Tindak pidana yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan kegiatan Koperasi Simpan Pinjam.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini penulis memberikan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan serta memberikan saran-saran terhadap beberapa kekurangan yang menurut penulis perlu diperbaiki dan yang penulis temukan selama penelitian.
SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL

(KODE : ILMU-HKM-0062) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Menurut J.G. Starke, hukum internasional adalah suatu sistem yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara. Dengan merujuk pada praktik internasional yang berlaku dan hukum positif, pada umumnya pakar hukum berpendapat bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara dan oleh karena itu individu tidak dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional.
Sebaliknya ada juga yang berpendapat lain, terutama Prof. Georges Scelle, pakar hukum ternama dari Prancis, bahwa hanya individu yang merupakan subjek hukum internasional. Para pendukung doktrin ini berpandangan bahwa bukankah tujuan akhir dari pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu para individu mendapatkan perlindungan internasional. Sebagai contoh, suatu konvensi internasional yang ditandatangani oleh sejumlah negara yang berisikan ketentuan bahwa pelayaran atas suatu sungai internasional adalah bebas, tidak lain berarti pemberian kebebasan kepada individu-individu agar dapat menggunakan sungai tersebut untuk keperluan usaha mereka. Aliran ini tampak benar pada isu hak asasi manusia, hak yang melekat pada individu, namun langsung diatur dalam hukum internasional.
Pada masa sekitar abad ke-18 dan 19, timbul kesadaran akan hak-hak asasi manusia yang salah satu di antaranya adalah hak untuk hidup. Perjuangan untuk melindungi hak-hak asasi manusia mencapai puncak pada abad ke-20. Deklarasi-deklarasi dan konvensi internasional serta seruan-seruan tentang hak-hak asasi manusia mulai bermunculan baik yang diprakarsai oleh lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan organ-organnya maupun oleh negara-negara secara kolektif dan individual.
Pada umumnya, sepanjang negara menjalankan kewajibannya berdasarkan hukum nasional, bagaimana melakukannya tidak menjadi perhatian hukum internasional. Namun, dalam beberapa hal negara-negara bersepakat untuk menjalankan kewajiban mereka dengan cara tertentu. Inilah yang acapkali menjadi persoalan dalam bidang hak asasi manusia.
Seperti dalam hukum pidana, setiap negara berhak untuk menentukan berat atau besarnya ancaman hukuman terhadap suatu tindak atau peristiwa pidana. Namun, hukuman itu memiliki berbagai gradasi. Pada umumnya, telah diakui bahwa hukuman mati adalah merupakan jenis hukuman yang paling berat jika dibandingkan dengan jenis-jenis hukuman lainnya yang dikenal di dalam berbagai sistem hukum pidana negara-negara di dunia sebab hukuman mati merupakan pencabutan nyawa yang dengan sengaja dilakukan terhadap si terhukum untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu, sebagian kalangan berpendapat bahwa hukuman mati merupakan suatu bentuk pengikaran terhadap hak untuk hidup, sehingga dipandang tidak sesuai lagi dengan hak-hak asasi manusia.
Sebagai tambahan, hukuman mati adalah hukuman yang bersifat irreversible (tidak dapat diubah). Sudah menjadi pengetahuan di kalangan para ahli hukum bahwa Criminal Justice System is not infallible (Sistem peradilan pidana tidaklah sempurna). Peradilan pidana dapat saja keliru dalam menghukum orang-orang yang tidak bersalah. Polisi, jaksa penuntut umum, maupun hakim adalah juga manusia yang bisa saja keliru ketika menjalankan tugasnya. Berkaitan dengan hukuman mati maka kekeliruan tersebut dapat berakibat fatal. Orang yang telah dieksekusi mati tidak dapat dihidupkan lagi walaupun di kemudian hari diketahui bahwa yang bersangkutan tidak bersalah. Negara bisa mengganti uang denda, mengembalikan hak milik yang telah dirampas, atau mengkompensasi orang yang ternyata tidak bersalah tetapi dijatuhi hukuman penjara, tetapi tidak bisa mengembalikan seseorang dari kematian akibat hukuman mati yang telah dijatuhkan.
Ketidaksempurnaan sistem peradilan pidana merupakan suatu keniscayaan karena ia merupakan "hasil karya manusia". Bahkan di negara maju sekalipun seperti Amerika, kegagalan sistem pidana, untuk tidak menghukum orang yang tidak bersalah, cukup sering terjadi. Sejak tahun 1973, lebih dari 120 orang di Amerika yang sedang menunggu eksekusi hukuman mati dibebaskan karena ditemukan bukti bahwa ternyata mereka sama sekali tidak bersalah.
Munculnya norma-norma internasional menyebutkan tentang pembatasan dan penghapusan hukuman mati merupakan suatu fenomena pasca Perang Dunia II. Sebagai suatu cita-cita dari negara beradab, penghapusan mulai dipropagandakan saat perumuskan isi Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948, walaupun hanya berbentuk arti tersirat yang terkandung dalam pengakuan "right to life" (hak untuk hidup).
Arus yang menghimbau penghapusan hukuman mati sedang berkembang dalam masyarakat internasional. Penghapusan hukuman mati dilihat sebagai suatu elemen yang penting dalam perkembangan demokrasi di negara-negara yang ingin memutuskan hubungan dengan masa lalu yang dipenui dengan teror, ketidakadilan dan penindasan. Tren penghapusan ini terlihat dari berbagai produk hukum internasional yang dibentuk guna mendorong penghapusan hukuman mati. Selain UDHR, instrumen hukum hak asasi manusia lain yang paling mendasar adalah International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) dan Second Optional Protocol-nya serta beberapa konvensi regional lainnya. Pada tahun 2007, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mengeluarkan Resolusi "Moratorium on the Use of the Death Penalty" yang menghimbau penghapusan hukuman mati.
Dewasa ini jumlah negara yang termasuk dalam kategori abolisionis terhadap hukuman mati sudah mencapai angka 129 dengan perincian 88 negara yang abolisionis untuk semua kejahatan (abolitionist for all crimes), 11 negara untuk kejahatan biasa (abolisionist for ordinary crimes only), dan 30 negara yang melakukan penangguhan hukuman mati (abolitionist in practice). Apabila dibandingkan dengan jumlah negara retensionis yang berjumlah 68 negara, maka statistik ini seperti menunjukkan adanya kecenderungan peradaban dunia untuk menghargai hak untuk hidup di atas hak-hak lain.
Selain itu, tekanan dari negara abolisionis juga bermunculan. Negara retensionis dituntut untuk setidaknya menerapkan Safeguards (upaya-upaya perlindungan) dalam peradilan dan penerapan hukuman mati. Pembuat hukum internasional juga mendesak agar pembatasan terhadap hukuman mati dengan berbagai upaya misalnya mengecualikan anak-anak di bawah umur, wanita hamil, dan orang tua dari ruang lingkup hukuman mati dan membatasinya dengan mengurangi daftar kejahatan-kejahatan serius yang diancam hukuman mati.
Masalah hukuman mati juga menjadi bahan pemikiran negara-negara di dalam penyusunan undang-undang dan perjanjian ekstradisi. Suatu negara bisa menolak untuk mengekstradisi seorang pelaku kejahatan kembali ke negara asalnya apabila setelah diekstradisi, orang tersebut akan dijatuhi hukuman mati, seperti yang terjadi pada kasus-kasus ekstradisi di Eropa dan Amerika.
Persoalan-persoalan yang muncul dari atmosfir dilematis negara-negara dalam penerapan hukuman mati dalam sistem hukumnya sendiri maupun sistem hukum negara lain dengan dikaitkan ke isu perlindungan hak asasi manusia yang dipelopori masyarakat internasional serta kedudukan instrumen hukum internasional dalam arus penghapusan hukuman mati inilah yang menjadi pokok utama pembahasan penulis dalam skripsi yang diberi judul : "TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas serta sesuai dengan judul skripsi ini, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini, antara lain :
1. Bagaimana peranan PBB dalam perkembangan penerapan dan penghapusan hukuman mati di dunia ?
2. Bagaimana penerapan dan penghapusan hukuman mati di dunia dalam kaitan dengan instrumen hukum internasional yang mengaturnya ?
3. Bagaimana upaya perlindungan hak asasi manusia secara internasional dalam penerapan hukuman mati oleh suatu negara ?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian serta penulisan skripsi ini antara lain adalah :
1. Untuk mengetahui peranan PBB dalam perkembangan penerapan dan penghapusan hukuman mati di dunia.
2. Untuk mengetahui status penerapan dan penghapusan hukuman mati di dunia dalam kaitan dengan instrument hukum internasional yang mengaturnya.
3. Untuk mengetahui upaya perlindungan hak asasi manusia secara internasional dalam penerapan hukuman mati oleh suatu negara.
Selain tujuan daripada penulisan skripsi, perlu pula diketahui bersama bahwa manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan yang cukup berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan secara umum, dan ilmu hukum pada khususnya, dan lebih khususnya lagi adalah di bidang hukum internasional. Selain itu, skripsi ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat hukum nasional di negara-negara dalam kaitan dengan penerapan dan penghapusan hukuman mati.
2. Secara praktis
Melalui penulisan skripsi ini, diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman yang lebih mendalam bagi pemegang kuasa di dunia serta aparat-aparat hukum yang terkait mengenai isu hukuman mati dan hak asasi manusia saat berhadapan dengan hukum internasional.

D. Sistematika Pembahasan
Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam 5 (lima) bab yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I : PENDAHULUAN
Terdiri dari pendahuluan yang meliputi latar belakang pemilihan judul, dimana penulis melihat adanya hubungan yang sangat menarik antara hukum internasional dan isu perlindungan hak asasi manusia dalam penerapan dan penghapusan hukuman mati dalam sistem hukum nasional, diikuti dengan perumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan yang terakhir yaitu sistematika pembahasan.
Bab II : PERANAN PBB DALAM PERKEMBANGAN PENERAPAN DAN PENGHAPUSAN HUKUMAN MATI DI DUNIA
Bab ini menjelaskan tentang hak asasi manusia serta posisinya dalam hukum internasional. Selain itu, bab ini juga menjelaskan peranan PBB sebagai organisasi internasional yang memiliki tujuan melindungi hak asasi manusia, serta menjelaskan berbagai upaya penting PBB dalam mendorong penghapusan maupun perlindungan hak asasi manusia dalam penerapan hukuman mati selama ini dan meninjau bagaimana efek upaya-upaya tersebut terhadap negara-negara.
Bab III : PENERAPAN DAN PENGHAPUSAN HUKUMAN MATI DI DUNIA DALAM KAITAN DENGAN INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL YANG MENGATURNYA
Bab ini menjelaskan tentang bagaimana sikap masyarakat internasional terhadap hukuman mati, yang tercermin dari penerapan dan penghapusan hukuman mati. Selain itu, bab ini juga menjelaskan tentang berbagai instrumen hukum internasional yang mengatur tentang hukuman mati, yang terbagi dalam dua kategori, yaitu hak untuk hidup dan larangan terhadap hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Lebih lanjut, bab ini akan menjelaskan pengaruh instrumen-instrumen hukum internasional tersebut terhadap penghapusan hukuman mati.
Bab IV : UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SECARA INTERNASIONAL DALAM PENERAPAN HUKUMAN MATI OLEH SUATU NEGARA
Bab ini menjelaskan perlindungan dari hukum internasional terhadap orang yang dijatuhi hukuman mati dalam negara-negara yang belum menghapus hukuman mati. Bab ini menguraikan berbagai perlindungan baik secara mated hukum maupun secara formil dalam proses peradilan yang kompeten. Selanjutnya, bab ini menjelaskan tentang upaya perlindungan dad negara abolisionis lain terhadap pelaku kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati, dengan menolak permintaan ekstradisi dari negara yang belum menghapus hukuman mati. Terakhir, bab ini menjelaskan tentang bagaimana penerapan hukuman mati pada masa perang.
Bab V : PENUTUP
Bab ini adalah bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran. Kesimpulan akan mencakup isi dari semua pembahasan ada bab-bab sebelumnya. Sedangkan saran mencakup gagasan dan usulan dari Penulis terhadap permasalahan yang dibahas pada skripsi ini berdasarkan fakta-fakta yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.
SKRIPSI IMPLEMENTASI HAK-HAK TERSANGKA SEBAGAI PERWUJUDAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT PENYIDIKAN

SKRIPSI IMPLEMENTASI HAK-HAK TERSANGKA SEBAGAI PERWUJUDAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT PENYIDIKAN

(KODE : ILMU-HKM-0061) : SKRIPSI IMPLEMENTASI HAK-HAK TERSANGKA SEBAGAI PERWUJUDAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT PENYIDIKAN




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, demikian penegasaan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Dari penegasan diatas dapat dipahami dan dimengerti bahwa Indonesia menerima hukum sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan, serta kesejahteraan, yang dalam pelaksanaannya hukum mengikat tindakan bagi penyelenggara negara maupun warga negaranya yang tentunya mengenai kewajiban dan hak-haknya sebagai subjek hukum. Negara harus menjunjung tinggi hukum. Hukum harus menjadi acuan dasar untuk menciptakan masyarakat yang menghormati dan menghargai hak dan kewajibannya masing-masing sehingga nantinya setiap orang akan merasa dilindungi hak-haknya oleh produk hukum itu sendiri. Hukum hanya dapat berjalan dan dipatuhi apabila produk hukum itu diterima secara ikhlas oleh masyarakatnya.
Hukum juga merupakan suatu norma yang disebut norma hukum, dimana hukum mengikatkan diri dengan masyarakat sebagai suatu tempat bekerjanya hukum tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai idiologi oleh suatu negara adalah hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara, dan hukum akan memberikan timbal-balik dengan cara memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan anggota masyarakat serta memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Indonesia adalah negara hukum yang memiliki beberapa macam hukum yang mengatur mengenai setiap warga negaranya antara lain hukum pidana dan hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki kaitan yang sangat erat, karena hukum acara pidana adalah bagian dari pengertian hukum pidana. Hukum acara pidana adalah hukum pidana formal dimana lebih memfokuskan pada ketentuan mengenai bagaimana negara melalui alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Hukum pidana lebih memfokuskan pada peraturan hukum yang menunjukkan perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana.
Hukum dibuat dengan tujuan yang mulia, yaitu untuk memberikan pelayanan serta pengayoman bagi masyarakat agar tercipta suasana aman, tertib, adil, dan sejahtera. Namun dalam masyarakat penyimpangan-penyimpangan atas hukum tetaplah terjadi. Terhadap penyimpangan-penyimpangan atas hukum atau melakukan tindak pidana ini tentunya haruslah ditindak lanjuti dengan tindakan-tindakan hukum yang tegas dan melalui prosedur hukum yang benar sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Efektifitas KUHAP dalam rangka pelaksanaan penegakan hukum oleh jajaran instansi penegak hukum akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kelengkapan dan kejelasan sarana hukum maupun perundang-undangan yang ada, kualitas personal dan kualitas teknis profesional aparat penegak hukum, dukungan sarana dan fasilitas serta kesadaran hukum masyarakat, kekurangan atau kelemahan pada salah satu atau beberapa faktor ini akan menimbulkan berbagai permasalahan dalam pelaksanaan penegakan hukum (Law Enforcement).
Sarana hukum yang dipakai sebagai landasan Hukum Acara Pidana adalah KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, Lembaran Negara Tahun 1981 No. 76) yang sebelumnya diatur dalam HIR (Het Herzeine Inlandsch Reglement, Stb. 1941 No. 44). HIR dalam banyak hal telah tidak mampu lagi menampung aspirasi dan kebutuhan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
Suatu tambahan dalam KUHAP yang tidak ada dalam HIR adalah ketentuan tentang penyelidikan. Penyelidikan ini merupakan suatu bagian kegiatan sebelum dilakukan penyidikan. Jadi suatu wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada polisi untuk melakukan usaha kegiatan mencari dan menemukan suatu kejahatan, yang kemudian dilanjutkan dengan penyidikan.
Proses penyidikan dilakukan atas diri tersangka yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana yang terjadi. Adapun yang dimaksud tersangka menurut Pasal 1 butir 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Penyidik sebagai salah satu alat negara yang diserahi tugas dan tanggung jawab untuk menegakkan hukum dalam melaksanakan tugasnya harus selalu berpedoman pada peraturan yang berlaku, menjunjung tinggi norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan dan kesusilaan. Setiap tindakan yang dilakukan dalam proses penyidikan membutuhkan kecermatan secara sungguh-sungguh karena jika sampai terjadi kekeliruan dapat berakibat fatal, karena penyidikan merupakan kunci utama dari proses penyidikan yang akan mengungkap suatu tindak pidana yang terjadi, dan akan menentukan dapat atau tidaknya perkara tersebut dibawa pada tahap pemeriksaan lebih lanjut.
Di dalam KUHAP ditegaskan bahwa seseorang yang diduga atau disangka telah terlibat dalam suatu tindak pidana tetap mempunyai hak-hak yang harus dijunjung tinggi. Hak-hak tersebut antara lain dapat meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna mengetahui apakah tindak pidana yang dilakukan terbukti serta mengetahui apakah orang yang didakwa dapat dipersalahkan atau tidak.
Untuk mengetahui apakah seseorang yang disangka melakukan tindak pidana bersalah atau tidak bukanlah suatu hal yang mudah. Hal tersebut harus dibuktikan dengan alat-alat bukti yang cukup, serta harus dibuktikan melalui proses persidangan di Pengadilan. Dalam upaya membuktikan bahwa seseorang tersebut disangka telah melakukan tindak pidana, aparat penegak hukum harus memperhatikan asas Praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang tercantum dalam Pasal 8 UU No 4 Tahun 2004 tentang pokok pokok kekuasaan kehakiman yang berbunyi :
"setiap orang yang disangka , ditangkap, dituntut, dan atau dihadapkan dimuka persidangan wajib dianggap tidak bersalah sebelum diadakan putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap".
Berdasarkan asas praduga tidak bersalah, maka jelas dan wajar bahwa tersangka dalam proses penyidikan wajib dihargai hak-haknya. Hal ini tidak lain untuk menetapkan tersangka dalam kedudukan yang semestinya, sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Didalam hukum Acara Pidana, selain asas Praduga tidak bersalah juga dikenal berbagai asas hukum yang lainnya yang tidak kalah penting antara lain; perlakukan yang sama dimuka hukum; harus adanya perintah tertulis dari pejabat yang berwenang; adanya ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut terhadap tersangka atau terdakwa; asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan,bebas, jujur, dan tidak memihak; asas memperoleh bantuan hukum yang seluas-luasnya; asas pemeriksaan dimuka hukum; asas pengawasan terhadap tuntutan.
Asas-asas yang tercantum didalam Hukum Acara Pidana ini dimaksudkan agar tersangka ataupun terdakwa merasa di"manusiakan" dan merasa memiliki perlindungan hukum dengan demikian hak-hak yang dimiliki oleh tersangka ataupun terdakwa terjamin.
Upaya penegakan hukum pada tahap-tahap pemeriksaan perkara pidana, yang dalam hal ini adalah ditingkat penyidikan, diselaraskan dengan hak yang telah ada pada tersangka sejak dilahirkan sesuai dengan jiwa Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981) sepanjang hak tersebut disesuaikan dengan upaya penegakan hukum objektif sebagai reaksi atas perbuatan pidana.
Bahwasanya semua warga negara mempunyai hak yang sama dimuka hukum dan pemerintahan, hal tersebut merupakan norma hukum yang melindungi hak tersangka. Penguasa dan penegak hukum haruslah melaksanakan dan merealisasikan asas tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain dari pada itu dalam hal tesangka disangka melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana mati atau pidana penjara lima tahun atau lebih wajib didampingi oleh penasehat hukum (Pasal 56 ayat (1) KUHAP). Jika asas tersebut tidak dilaksanakan berarti terjadi pengingkaran terhadap prinsip fundamental negara hukum.
Dengan landasan pemikiran diatas, maka penulis ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan atau implementasi hak-hak tersangka serta hambatan-hambatan apa yang ada dalam pelaksanaan hak-hak tersangka tersebut, sehingga penulis memberikan Judul pada penulisan hukum ini Adalah : IMPLEMENTASI HAK-HAK TERSANGKA SEBAGAI PERWUJUDAN ASAS PRADUGA TIDAK BERSALAH DALAM PROSES PEMERIKSAAN DI TINGKAT PENYIDIKAN (STUDI KASUS DI POLTABES X).

B. PERUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah dalam penelitian dimaksudkan untuk memudahkan penulis dalam membatasi masalah yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, searah dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah implementasi hak-hak tersangka sebagai perwujudan asas praduga tidak bersalah dalam proses pemeriksaan di tingkat penyidikan.
b. Hambatan-hambatan apakah yang muncul dalam implementasi hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan di tingkat penyidikan.

C. TUJUAN PENELITIAN
Dalam pelaksanaan suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas hendak dicapai. Tujuan Penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin di capai oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui bagaimanakah implementasi hak-hak tersangka sebagai perwujudan asas praduga tidak bersalah dalam tingkat penyidikan.
b. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang muncul dalam implementasi hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan ditingkat penyidikan.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan analitis penulis, khususnya dalam bidang hukum acara pidana.
b. Untuk mengetahui kesesuaian antara teori yang diperoleh dengan kenyataan yang ada dalam praktek kehidupan bermasyarakat.
c. Untuk memenuhi tugas akhir sebagai syarat memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Unversitas X.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta mengenai pelaksanaan atau implementasi hak-hak tersangka pada khususnya.
b. Memberikan penjelasan yang lebih nyata mengenai implementasi hak-hak tersangka sebagai perwujudan asas praduga tidak bersalah dalam proses penyidikan guna menambah literatur dan bahan-bahan informasi ilmiah.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengembangkan kemampuan penulis dalam mengkritisi persoalan-persoalan hukum.
b. Memberikan masukan pada penegak hukum khususnya di Kepolisian Kota Besar X.

E. METODE PENELITIAN
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Berdasarkan pada masalah yang diajukan, maka penulis didalam penulisan hukum ini menggunakan jenis penelitian yang bersifat empiris.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang digunakan bersifat deskriptif. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksud dari penelitian ini adalah memberikan gambaran secara sistematis hal-hal faktual yang terjadi secara akurat mengenai implemantasi hak-hak tersangka dalam proses pemeriksaan ditingkat penyidikan.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penulisan hukum ini adalah dengan menggunakan penelitian kualitatif sesuai dengan sifat data yang ada.
4. Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah :
a) Data primer
Data primer adalah data yang berupa fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung dari sumber data untuk tujuan penelitian sehingga diharapkan penulis dapat memperoleh hasil yang sebenarnya dari objek yang diteliti.
b) Data sekunder
Data sekunder adalah keterangan-keterangan atau pengetahuan-pengetahuan yang secara tidak langsung diperoleh, data ini dapat diperoleh melalui studi pustaka, bahan-bahan dokumen tulisan ilmiah, dan sumber sumber tertulis lainnya.
5. Sumber Data
Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang dapat memberikan informasi secara langsung mengenai segala hal yang berkaitan dengan objek penelitian, dalam hal ini yang menjadi sumber data primer akan diperoleh penulis dari petugas penyidik di POLTABES X yang ditunjuk sebagai pihak yang terkait langsung.
b) Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, makalah ilmiah, hasil penelitian serta buku-buku ilmiah.
6. Teknik Pengumpulan Data
a) Teknik Pengumpulan Data Primer
1) Metode Interview/Wawancara
Wawancara menurut Sutrisno Hadi adalah suatu tanya jawab lisan, dalam mana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengar dengan telinga sendiri (Soetrisno Hadi, 1991 : 192). Wawancara ini dilaksanakan secara bebas, mengenai pokok persoalan yang telah ditentukan yang berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan oleh penulis. Adapun wawancara tersebut penulis lakukan dengan bertindak sebagai responden adalah aparat penyidik POLTABES X.
2) Metode Observasi
Penulis dalam memperoleh data dengan jalan mengamati atau memperhatikan suatu hal yang berhubungan dengan objek yang diteliti yaitu dengan mengadakan pengamatan terhadap tugas dan tata kerja penyidik di POLTABES X.
b) Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Untuk mendapatkan data sekunder, penulis melakukan studi pustaka, hal ini dilakukan dengan identifikasi buku, peraturan perundang-undangan, surat kabar, serta artikel yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Menurut Soerjono Soekanto, studi kepustakaan adalah studi dokumen yang merupakan suatu alat pengumpul data yang dilakukan atas data tertulis dengan mempergunakan "content analys" atau yang biasa disebut dengan analisis muatan. Dalam hal ini peneliti membaca, mempelajari dan mengkaji dari buku-buku, dokumen-dokumen, dan bahan tulisannya seperti yang disebut diatas yang ada hubungannya dengan penelitian (Soejono Seokanto 1984 : 21).

F. TEKNIK ANALISIS DATA
Teknik analisis data adalah tahap yang penting dalam menentukan suatu penelitian. Analisis data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh kemudian diolah kedalam pokok permasalahan yang diajukan terhadap penelitian yang bersifat deskriptif.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis kualitatif data model interaktif. Dalam model interaktif ini komponen reduksi data dan penyajian data dilakukan bersama dengan pengumpulan setelah data terkumpul. Tiga komponen tersebut akan berinteraksi untuk mendapatkan kesimpulan dan bila kesimpulan yang didapat dirasa kurang, maka perlu adanya verivikasi dan penelitian kembali dengan mengumpulkan data lapangan. (HB. Sutopo,2000 : 8).
Kegiatan komponen ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
1) Reduksi Data
Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan data. Proses ini berlangsung sampai akhir laporan penelitian. Resuksi data ini merupakan bagian analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat terlaksana.
2) Penyajian Data
Merupakan suatu rakitan organisasi informal yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan.
3) Penarikan Kesimpulan
Dalam hal ini penulis pengumpulan data penelitian, pengumpulan data ini dimulai dari mengerti mengenai hal-hal apa saja yang ditemui dan melakukan pencatatan peraturan, pola pola, penyertaan-penyertaan, konfigurasi yang memungkinkan arahan sebab akibat dan proporsi-proporsi kesimpulan yang perlu diverifikasi yang berupa suatu pengulangan dengan gerak cepat sebagai pikiran kedua yang timbul melintas dalam benak peneliti.

G. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM
Penulisan hukum ini terbagi dalam empat bab yang setiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil pemelitian. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab pertama, penulis ingin menguraikan mengenai tinjauan tentang implementasi hak tersangka, yang meliputi pengertian tersangka, hak-hak tersangka, bantuan hukum. Dalam bab yang kedua menguraikan mengenai tinjauan tentang asas Praduga Tidak Bersalah. Dalam bab Ketiga menguraikan mengenai tinjauan tentang Penyelidikan dan Penyidikan yang meliputi pengertian, sistem pemeriksaan dalam Proses Penyidikan, tugas dan wewenang peyelidik dan penyidik dan Tindakan-tindakan penyidik.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini berisi hasil penelitian dan pembahasannya, yang meliputi : implementasi hak-hak tersangka sebagai perwujudan asas praduga tidak bersalah dalam proses pemeriksaan ditingkat penyidikan, deskripsi kasus, hambatan-hambatan yang muncul dalam implementasi hak-hak tersangka dalam proses penyidikan.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini terbagi dalam dua bagian, yaitu kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TENTANG ABORSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TENTANG ABORSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

(KODE : ILMU-HKM-0060) : SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TENTANG ABORSI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan yang maha Esa yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan kepada setiap manusia merupakan Hak Asasi Manusia yang hanya boleh dicabut oleh Pemberi kehidupan tersebut. Berbicara mengenai aborsi tentunya kita berbicara tentang kehidupan manusia karena aborsi erat kaitanya dengan wanita dan janin yang ada dalam kandungan wanita.
Pengguguran kandungan (aborsi) selalu menjadi perbincangan, baik dalam forum resmi maupun tidak resmi yang menyangkut bidang kedokteran, hukum maupun disiplin ilmu lain. Aborsi merupakan fenomena sosial yang semakin hari semakin memprihatinkan. Keprihatinan itu bukan tanpa alasan, karena sejauh ini perilaku pengguguran kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku mapun pada masyarakat luas. Hal ini disebabkan karena aborsi menyangkut norma moral serta hukum suatu kehidupan bangsa.
Aborsi telah dikenal sejak lama, Aborsi memiliki sejarah panjang dan telah dilakukan oleh berbagai metode termasuk natural atau herbal, penggunaan alat-alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya. Jaman Kontemporer memanfaatkan obat-obatan dan prosedur operasi teknologi tinggi dalam melakukan aborsi. Legalitas, normalitas, budaya dan pandangan mengenai aborsi secara substansial berbeda di seluruh negara. Di banyak negara di dunia isu aborsi adalah permasalahan menonjol dan memecah belah publik atas kontroversi etika dan hukum. Aborsi dan masalah-masalah yang berhubungan dengan aborsi menjadi topik menonjol dalam politik nasional di banyak negara seringkali melibatkan gerakan menentang aborsi pro-kehidupan dan pro-pilihan atas aborsi di seluruh dunia.
Membahas persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa ini sudah menjadi hal yang aktual dan peristiwanya dapat terjadi dimana-mana dan bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan, baik itu dilakukan secara legal ataupun dilakukan secara ilegal. Dalam memandang bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini, persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupakan aborsi provokatus medikalis. Sedangkan aborsi yang digeneralisasi menjadi suatu tindak pidana lebih dikenal sebagai abortusi provokatus criminalis.
Aborsi itu sendiri dapat terjadi baik akibat perbuatan manusia atau (abortuis provokatus) maupun karena sebab-sebab alamiah, yakni terjadi dengan sendirinya, dalam arti bukan karena perbuatan manusia (aborsi spontanus). Aborsi yang terjadi karena perbuatan manusia dapat terjadi baik karena didorong oleh alasan medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu penyakit dan untuk menyelamatkan nyawa wanita tersebut maka kandungannya harus digugurkan (aborsi provokatus therapeutics atau bisa disebut aborsi therapeuticus). Di samping itu karena alasan-alasan lain yang tidak dibenarkan oleh hukum (abortusprovokatus criminalis atau disebut aborsi criminalis).
Penguguran kandungan itu sendiri ada 3 macam :
1. ME (menstrual Extraction) : Dilakukan 6 minggu dari menstruasi terakhir dengan penyedotan. Tindakan pengguguran kandungan ini sangat sederhana dan secara psikologis juga tidak terlalu berat karena masih dalam gumpalan darah.
2. Diatas 12 minggu, masih dianggap normal dan termasuk tindakan pengguguran kandungan yang sederhana.
3. Aborsi (pengguguran Kandungan) diatas 18 minggu, tidak dilakukan di klinik tetapi di rumah sakit.
Masalah pengguguran kandungan (aborsi) pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan kaitannya denagn nilai-nilai serta norma-norma agama yang berkembang dalam masyarakat Indonesia, terkait dengan Hukum pidana positif di Indonesia pengaturan masalah pengguguran kandungan tersebut terdapat pada Pasal 346, 347, 348, 349 dan 350 KUHP. Menurut ketentuan yang tercantum dalam Pasal 346, 347, dan 348 KUHP tersebut, abortus criminalis meliputi perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
1. Menggugurkan kandungan (Afdrijing van de vrucht atau vrucht afdrijiving)
2. Membunuh kandungan (de dood van de vrucht veroorken atau vrucht doden)
Dalam pelaksanaan aborsi, banyak cara yang digunakan baik itu yang sesuai dengan protokol medis maupun cara-cara tradisional, yang dilakukan oleh dokter, bidan maupun pihak-pihak yang sebenarnya tidak ahli dalam melakukannya yang mencari keuntungan semata. Padahal seharusnya, aborsi hanya boleh dilakukan untuk tindakan medis dengan maksud menyelamatkan nyawa ibu, contohnya keracunan kehamilan atau pre-eklampsia. Tiap tahunnya, berjuta-juta perempuan Indonesia mengalami kehamilan yang tidak direncanakan, dan sebagian darinya memilih untuk mengakhiri kehamilan mereka dengan aborsi walaupun telah dengan tegas dalam undang-undang bahwa aborsi adalah tindakan legal kecuali karena adanya indikasi kedaruratan medis. Pada saat ini banyak tenaga medis yang terlibat secara langsung dalam tidakan aborsi. Ada yang terlibat dengan perasaan ragu-ragu dan tetap membatasi pada kasus-kasus sulit yang menyudutkan mereka untuk mendukung pengguguran, namum ada pula yang melakukanya tanpa perasaan bersalah. Menghadapi situasi seperti ini, tenaga medis tetap harus berusaha menyadari tugasnya untuk membela kehidupan. Wanita yang mengalami kesulitan itu perlu dibantu dengan melihat jalan keluar lain yang bukan pengguguran langsung. Tenaga medis hanya berani menolak pengguguran langsung dengan indikasi sosial-ekonomi. Kesulitan sosial-ekonomi semestinya diperhatikan secara sosial-ekonomi, bukan dengan pengguguran secara langsung.
Selama puluhan tahun aborsi, telah menjadi permasalahan bagi perempuan karena menyangkut berbagai aspek kehidupan baik itu moral, hukum, politik, dan agama. Kemungkinan terbesar timbulnya permasalahan tersebut berakar dari konflik keyakinan bahwa fetus memiliki hak untuk hidup dan para perempuan memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri, dalam hal ini melakukan pengguguran kandungan. Perkembangan konflik yang tidak kunjung mendapatkan titik temu mengakibatkan munculnya penganut paham pro-life yang berupaya mempertahankan kehidupan dan pro-choice yang mendukung supaya perempuan mempunyai pilihan untuk menentukan sikap atas tubuhnya dalam hal ini aborsi. Mencuatnya permasalahan aborsi di Indonesia, agaknya perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak yang memberikan alternatif solusi yang tepat.
Pertentangan moral dan agama merupakan masalah terbesar yang sampai sekarang masih mempersulit adanya kesepakatan tentang kebijakan penanggulangan masalah aborsi. Oleh karena itu, aborsi yang ilegal dan tidak sesuai dengan cara-cara medis masih tetap berjalan dan tetap merupakan masalah besar yang masih, mengancam. Adanya pertentangan baik secara moral dan kemasyarakatan dengan secara agama dan hukum membuat aborsi menjadi suatu permasalahan yang mengandung kontoroversi. Dari sisi moral dan kemasyarakatan, sulit untuk membiarkan seorang ibu yang harus merawat kehamilan yang tidak diinginkan terutama karena hasil perkosaan, hasil hubungan seks komersial (dengan pekerja seks komersial) maupun ibu yang mengetahui bahwa janin yang dikandungnya mempunyai cacat fisik yang berat. Di samping itu, banyak perempuan merasa mempunyai hak atas mengontrol tubuhnya sendiri. Di sisi lain, dari segi ajaran agama, agama manapun tidak akan memperbolehkan manusia melakukan tindakan penghentian kehamilan dengan alasan apapun.
Dari segi hukum positif yang berlaku di Indonesia, masih ada perdebatan dan pertentangan dari yang pro dan yang kontra soal persepsi atau pemahaman mengenai undang-undang yang ada sampai saat ini. Baik dari UU kesehatan, UU praktik kedokteran, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), UU penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan UU hak asasi manusia (HAM). Keadaan seperti di atas inilah dengan begitu banyak permasalahan yang kompleks yang membuat banyak timbul praktik aborsi gelap, yang dilakukan baik oleh tenaga medis formal maupun tenaga medis informal. Baik yang sesuai dengan standar operasional medis maupun yang tidak. Sebelum keluarnya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan ketentuan mengenai aborsi diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1992. Dimana dalam ketentuan UU kesehatan memuat tentang aborsi yang dilakukan atas indikasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan bayi lahir cacat sehinga sulit hidup diluar kandungan.
Sebelum terjadinya revisi undang-undang kesehatan masih banyak perdebatan mengenai aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan. Hal itu dikarenakan tidak terdapat pasal yang secara jelas mengatur mengenai aborsi terhadap korban perkosaan. Selama ini banyak pandangan yang menafsirkan bahwa aborsi terhadap korban perkosaan disamakan dengan indikasi medis sehingga dapat dilakukan karena gangguan psikis terhadap ibu juga dapat mengancam nyawa sang ibu. Namum dipihak lain ada juga yang memandang bahwa aborsi terhadap korban perkosaan adalah aborsi kriminalis karena memang tidak menbahayakan nyawa sang ibu dan dalam Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 tidak termuat secara jelas didalam pasalnya. Dengan keluarnya revisi undang-undang kesehatan maka mengenai legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan telah termut dengan jelas di dalam Pasal 75 ayat 2 UU No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adapun Ketentuan yang berkaitan degan soal aborsi dan penyebabnya dapat dilihat pada KUHP Bab XIX Pasal 229,346 s/d 349 yang memuat jelas larangan dilakukannya aborsi sedangkan dalam ketentuan Undang-Undang kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur ketentuan aborsi dalam Pasal 76,77,78. Terdapat perbedaan antara KUHP dengan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam mengatur masalah aborsi. KUHP dengan tegas melarang aborsi dengan alasan apapun, sedangkan UU Kesehatan memperbolehkan aborsi atas indikasi kedaruratan medis maupun karena adanya perkosaan. Akan tetapi ketentuan aborsi dalam UU No. 36 Tahun 2009 tetap ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, misalnya kondisi kehamilan maksimal 6 minggu setelah hari pertama haid terakhir. Selain itu berdasarkan Undang-undang Kesehatan No.36 Tahun 2009, tindakan medis (aborsi), sebagai upaya untuk menyelamatkan ibu hamil dan atau janinnya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta pertimbangan tim ahli. Hal tersebut menunjukan bahwa aborsi yang dilakukan bersifat legal atau dapat dibenarkan dan dilindungi secara hukum. Namun keadaan ini bertentangan dengan Undang-undang Hak Asasi Manusia Pasal 53 mengenai hak hidup anak dari mulai janin sampai dilahirkan. Dalam hal ini dapat dilihat masih banyak perdebatan mengenai legal atau tidaknya aborsi dimata hukum dan masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita lihat bahwa masih terdapat banyak pertentangan mengenai permasalahan aborsi ini, hal ini dapat dilihat dari adanya pihak-pihak yang mendukung dilakukanya legalisasi aborsi karena berkaitan dengan kebebasan wanita terhadap tubuhnya dan hak reproduksinya dan dilain pihak ada pandangan yang kontra terhadap aborsi kareana setiap janin dalam kandungan mempunyai hak untuk hidup dan tumbuh sebagi manusia nantinya. Selain itu dari uraian diatas terdapat suatu celah yang sebenarnya melegalkan aborsi hal ini dapat dilihat dari berlakunya hukum positif yang memuat dapat dilakukannya aborsi berdasarkan ketentuan, terutama yang termuat dalam Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009. Untuk itu penulis akan mengangkat permasalahan bagaimana tinjauan aborsi bila dikaitkan dengan Undang-undang kesehatan. Yang berjudul "Tinjauan Yuridis Tentang Aborsi ditinjau Dari Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut
1. Bagaimanakah tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak asasi manusia dan hak janin untuk hidup ?
2. Bagaimanakah tinjauan yuridis aborsi berdasarkan undang-undang kesehatan dan legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan ?
3. Bagaimanakah pendapat umum masyarakat tentang aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan dan legalisasi terhadap aborsi ?

C . Tujuan dan Manfaat penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana tinjaun tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak asasi manusia dan hak janin untuk hidup dan dilindungi.
2. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan tentang aborsi provokatus medicalis dan aborsi provokatus criminalis ditinjau dari undang-undang kesehatan dan bagaimana tinjauan tentang legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan dan pandangan agama.
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan masyarakat terhadap aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan dan pandangan masyarakat tentang legalisasi aborsi.
Manfaat yang dapat diperoleh dan diketahui dari penulisan skiripsi ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
Pembahasan terhadap masalah yang akan dibahas dalam skiripsi ini tentu akan menambah pemahaman dan pandangan masyarakat tentang aborsi dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia.
2. Manfaat praktis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk :
a. Sebagai pedoman dan masukan bagi pemerintah, peradilan dan praktisi hukum dalam menentukan kebijakan dan langkah-langkah bagaimana pandangan masyarakat tentang aborsi untuk memutus dan menyelesaikan perkara-perkara yang sedang dihadapi.
b. Sebagai informasi bagi masyarakat terhadap pelarangan tindakan aborsi kriminalis kecuali aborsi criminalis yang dilakukan oleh korban perkosaan.
c. Sebagai bahan kajian bagi akademisi untuk menambah wawasan ilmu terutama di bidang hukum pidana.

D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skiripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan penulisan skiripsi ini. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca unutk memahami dan mengerti isi dari skiripsi ini. Keseluruhan skipsi ini meliputi 5 (lima) bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan latar belakang, permasalaahn, tujuan dan manfaat penulisan, tinjaun kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : ABORSI DITINJAU DARI HAK ASASI MANUSIA DAN HAK JANIN UNTUK HIDUP
Dalam bab ini akan diuraikan tentang bagaimana tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak asasi manusia terutama hak wanita atas tubuhnya dan hak reproduksi wanita dan juga bagaimana tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan hak janin untuk hidup.
BAB III : TINJAUAN YURIDIS ABORSI BERDASARKAN UNDANG UNDANG KESEHATAN No. 36 TAHUN 2009 DAN LEGALISASI ABORSI TERHADAP KORBAN PERKOSAAN
Dalam bab ini akan diuraikan bagaimana tinjauan tentang aborsi bila dikaitkan dengan undang-undang kesehatan dan legalisasi aborsi terhadap korban perkosaan.
BAB IV : PANDANGAN MASYARAKAT TERHADAP KORBAN PERKOSAAN
Dalam bab ini akan diuraikan bagaimana pandangan masyarakat terhadap aborsi yang dilakukan oleh korban perkosaan dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap legalisasi aborsi di Indonesia.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian terakhir yang memuat kesimpulan dan saran setiap permasalahan.
SKRIPSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

SKRIPSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

(KODE ILMU-HKM-0059) : SKRIPSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Praktik pencucian uang bukan hal asing lagi di dunia internasional, bahkan dunia telah sepakat untuk mencegah dan memberantasnya dengan cara mengadakan kerjasama internasional dalam berbagai forum. Indonesia mengikuti perkembangan pencucian uang tersebut dengan bergabung dalam badan-badan atau organisasi internasional. Undang-undang Anti Pencucian Uang Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang telah diundangkan pada tanggal 17 April 2002 melalui Lembaran Negara No. 30 tahun 2002. Sebelumnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui revisi rancangan undang-undang anti pencucian uang pada tanggal 25 Maret 2002, satu tahun setelah diajukan pertama kali ke DPR pada bulan Juni 2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 tahun 2003 dengan adanya undang-undang tersebut yang pada intinya membuat pencucian uang sebagai suatu tindak terpisah dan tersendiri.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 masih mengandung beberapa kelemahan (loopholes) yang cukup mendasar, antara lain: pertama, kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, adanya duplikasi penyebutan unsur-unsur, dan banyaknya unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian. Kedua, kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya. Ketiga, masih terbatasnya pihak pelapor (reporting parties) yang hams menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis pelaporannya. Keempat, perlunya pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (know your customer principle) oleh seluruh pihak pelapor. Kelima, terbatasnya instrumen formal untuk melakukan deteksi dan penyitaan aset hasil kejahatan. Keenam, terbatasnya pihak yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang. Ketujuh, keterbatasan kewenangan dari PPATK.
Beberapa kelemahan dan kendala legislasi tersebut akan menjadi sorotan dan perhatian dari komunitas internasional, yaitu FATF, APG, IMF, dan world bank dalam mengevaluasi kepatuhan terhadap Indonesia terhadap standar internasional yang disepakati bersama, yaitu 40+9 FATF recommendations Apabila hasil evaluasi yang dilakukan oleh komunitas internasional tersebut bernilai negatif, akan merusak reputasi Indonesia di mata internasional sehingga tidak tertutup kemungkinan Indonesia kembali dianggap sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Sehubungan dengan hal-hal-hal tersebut di atas dan mengingat pentingnya Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai landasan hukum dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia serta guna menghindari adanya penilaian negatif komunitas internasional yang tentunya akan berdampak bumk terhadap stabilitas dan integritas sistem keuangan dan sistem perekonomian, maka disarankan untuk segera melakukan perubahan dan penyempurnaan atas beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 dengan mengikuti standar internasional yang telah berubah sebagaimana tercermin dalam "revised 40+9 FATF recommendations" serta ketentuan anti money laundering regime yang berlaku secara internasional (international best practice).
Seorang pelaku kejahatan kemungkinan dapat melarikan diri ke luar negeri begitu juga dengan pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang dengan berharap bahwa ia tidak dapat diadili oleh negara asalnya. Tidak semudah itu seseorang pelaku lari dengan mudah, karena suatu negara kemungkinan telah membuat perjanjian ekstradisi terlebih dahulu. Praktek negara-negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak semata-mata tergantung pada adanya perjanjian tersebut. Hubungan baik dan bersahabat antara dua negara dapat lebih memudahkan dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan pada kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan kepada seorang atau beberapa orang penjahat pelarian bukan pula karena didorong oleh kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi.
Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi permusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian. Di samping itu pula praktek-praktek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan. Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih jauh lebih sederhana jika dibandingkan dengan masyarakat sekarang ini. Kemajuan-kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi ini.
Ekstradisi ternyata merupakan sarana untuk dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan oleh negara locus delicti atau negara yang memiliki yurisdiksi atas kejahatannya itu. Dengan demikian sekaligus rasa keadilan dari si korban atau anggota masyarakat dapat dipulihkan. Para pelaku kejahatan yang mempunyai niat untuk melarikan diri ke negara lain mungkin akan berpikir dua kali di dalam melaksanakan niatnya itu, sebab dia akan merasa dibayang-bayangi oleh ekstradisi.
Berdasarkan hal itu tentunya kejahatan pencucian uang menjadi persoalan yang rumit dalam perjanjian ekstradisi, memang setiap negara dalam perjanjian ekstradisi telah menetapkan kerjasama dalam beberapa tindak pidana yang telah diatur dalam isi perjanjian tersebut. Kerumitan dalam proses pembuktian pencucian uang ini ditambah dengan pelaku kejahatan yang melarikan diri menyebabkan sulitnya mengungkapnya baik masih tahap penyelidikan maupun penyidikan. Supaya orang-orang semacam ini tidak terlepas dari tanggung jawabnya atas kejahatan yang dilakukannya, maka diperlukan kerja sama untuk mencegah dan memberantasnya. Sebab pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang hanya dilakukan oleh negara-negara secara sendiri-sendiri, dalam hal-hal tertentu tidak bisa dipertahankan lagi terlebih pada masa abad teknologi sekarang ini.
Oleh karena negara-negara yang memiliki yurisdiksi terhadap si pelaku kejahatan tidak bisa menangkap secara langsung di wilayah negara tempat si pelaku kejahatan itu berada, negara-negara tersebut dapat menempuh secara legal untuk dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan itu. Apabila suatu negara melindungi pelaku kejahatan pencucian uang yang memang sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi, secara tidak langsung menjadikan wilayahnya sebagai gudang tempat penampungan para pelaku kejahatan tersebut.
Dalam pergaulan internasional maupun nasional, dimana tersangkut kepentingan umum atau negara pada satu pihak dan kepentingan individu pada lain pihak, masalahnya adalah mencari keseimbangan antara keduanya itu. Pokok persoalannya adalah bagaimana mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang dengan segala akibatnya demi ketenteraman dan ketertiban umat manusia, tetapi harus tetap menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak azasi manusia.
Perjanjian ekstradisi telah ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dan Singapura tanggal 27 April 2007. Suatu prestasi diplomasi yang cukup baik dilihat dari kacamata betapa lama harus menunggu untuk menandatangani perjanjian ekstradisi tersebut. Ini karena keengganan Pemerintah Singapura menandatanganinya, dengan berbagai alasan.
Salah satu sebabnya adalah sistem hukum yang berbeda dan penegakan hukum di Indonesia yang belum memadai dan tidak konsisten. Menyusul prestasi diplomasi ini meski pelaksanaannya konon baru tahun depan pemerintah Indonesia, khususnya lembaga-lembaga penegak hukum, perlu segera membenahi sistem hukum, dan perlu konsistensi penegakan hukum. Jangan sampai orang-orang, baik tersangka atau terpidana yang buron dan diserahkan kepada pemerintah Indonesia, ternyata lolos dari tuntutan hukum, entah karena kurang bukti, suap, ketidakprofesionalan, dana kurang atau keengganan para penegak hukum dan birokrasi menegakkan hukum dalam memberantas korupsi.
Terganjalnya ekstradisi Hendra Rahardja oleh pemerintah Australia adalah karena alasan diskriminasi terhadap etnis China di Indonesia, peraturan-peraturan hukum yang diskriminatif dan peristiwa Mei 1998. Hal-hal seperti inilah yang harus diantisipasi. Belum lagi kepentingan nasional Indonesia harus ditonjolkan selain mengektradisi para buronan (fugitives) juga adalah kepentingan mengembalikan aset negara yang dibawa raib para tersangka, terpidana, baik eks debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) maupun tindak pidana korupsi lainnya. Tanpa pengembalian aset negara ini perjanjian ekstradisi kedua negara tidak banyak manfaatnya dan hanya merupakan macan kertas saja.
Dalam konteks APBN yang defisit dan negara memerlukan dana untuk pembangunan, pengembalian aset negara dan uang negara ini sangat penting. Semua ini harus tercermin dalam mutual legal assistance antara kedua negara. Persoalannya sekarang, adakah niat tersebut di kalangan penegak hukum dan birokrasi? Bagaimana dengan fakta pentransferan uang Tommy Suharto di Bank Paribas, London, ke rekening Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia? Bagaimana dengan konsistensi penegakan hukum di dalam negeri yang dikenal dengan "tebang pilih?".
Bilamana orang- orang yang diekstradisi sebagian besar lolos dari tuntutan hukum, maka Pemerintah Singapura akan kecewa dan akan meninjau kembali manfaat perjanjian tersebut. Jadi yang paling utama dan penting pascapenandatanganan perjanjian ekstradisi itu adalah pembenahan ke dalam, khususnya pembenahan penegakan hukum, konsistensi penegakan hukum, pembenahan sistem hukum yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia.13
Persoalan-persoalan seperti inilah yang masih mengganjal pemerintah Indonesia. Memang penting menarik aset negara dan uang negara yang raib di luar negeri, tetapi aset negara dan uang negara di dalam negeri juga masih banyak yang perlu dicari. Seperti, misalnya, keberhasilan Kejaksaan Agung mendapatkan aset Edi Tanzil berupa berhektare-hektare tanah di dalam negeri.

B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pencucian uang dalam hukum positif di Indonesia?
2. Bagaimana urgensi perjanjian ekstradisi dalam penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang yang
melarikan diri ke luar negeri?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan yang diinginkan dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang merupakan hukum positif dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.
2. Untuk mengetahui urgensi perjanjian ekstradisi dalam penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencucian uang.
Sedangkan manfaat dari penulisan ini ialah:
1. Secara Teoritis
a) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan mengetahui bentuk-bentuk hubungan perjanjian ekstradisi sebagai upaya penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang pada khususnya.
b) Menambah informasi pengetahuan yang lebih konkret bagi usaha perkembangan hukum pidana, terutama sebagai upaya memperkecil tindak pidana pencucian uang.
2. Secara Praktis
Dapat memberi masukan kepada lembaga-lembaga yang terkait dalam pengambilan kebijakan terhadap tindak pidana pencucian uang baik eksekutif, yudikatif dan legislatif agar dapat diperoleh solusi dalam penegakan hukum pidana khususnya dengan meningkatkan perjanjian ekstradisi kepada negara-negara lain.

D. Keaslian Penulisan
Sepanjang informasi yang diperoleh dari penelusuran literatur dan bahan-bahan kepustakan lainnya, belum terdapat judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini.
Judul-judul yang ada tentang tindak pidana pencucian uang tidak ada yang menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi ini yaitu tentang Perjanjian Ekstradisi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang. Oleh sebab itu judul pada skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan judul yang sama maka akan dipertanggungjawabkan sepenuhnya.

E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
2. Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder yang dimaksud penulis adalah sebagai berikut.
1) Bahan hukum primer, antara lain:
a. norma atau kaedah dasar
b. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang
c. peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan ekstradisi
2) Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang dan buku yang berkaitan dengan ekstradisi. Dan juga berupa artikel, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan dan sebagainya.
3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah, jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini metode yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode library research (penelitian kepustakaan), yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku, majalah, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.
4. Analisis Data
Analisis data yakni dengan analisis secara kualitatif. Data sekunder yang diperoleh dianalisis secara kualitatif untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang terdiri dari pengertian tindak pidana pencucian uang; objek pencucian uang; pengertian ekstradisi; unsur-unsur ekstradisi, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
Dalam bab ini dibahas mengenai perumusan tindak pidana pencucian menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, perbuatan pidana lain yang termasuk dalam tindak pidana pencucian uang dan juga proses pencucian uang tersebut.
BAB III URGENSI PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG YANG MELARIKAN DIRIKE LUAR NEGERI
Dalam bab ini dibahas mengenai adanya hambatan-hambatan yang dihadapi dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang, perjanjian ekstradisi sebagai upaya kerjasama dengan negara lain dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang yang melarikan diri ke luar negeri.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini penulis menyampaikan pendapat berupa kesimpulan dari seluruh skripsi ini yang merupakan rangkuman dari pembahasan dan juga penulis menyampaikan berupa saran-saran dari permasalahan skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA