Search This Blog

Showing posts with label skripsi ekonomi akuntansi. Show all posts
Showing posts with label skripsi ekonomi akuntansi. Show all posts
SKRIPSI HUBUNGAN KANDUNGAN INFORMASI PENDAPATAN BUNGA BERSIH, KOMPONEN ARUS KAS, DAN PENGUNGKAPAN POS-POS LAPORAN KEUANGAN TERHADAP EXPECTED RETURN SAHAM PERBANKAN

SKRIPSI HUBUNGAN KANDUNGAN INFORMASI PENDAPATAN BUNGA BERSIH, KOMPONEN ARUS KAS, DAN PENGUNGKAPAN POS-POS LAPORAN KEUANGAN TERHADAP EXPECTED RETURN SAHAM PERBANKAN

(KODE : EKONAKUN-0074) : SKRIPSI HUBUNGAN KANDUNGAN INFORMASI PENDAPATAN BUNGA BERSIH, KOMPONEN ARUS KAS, DAN PENGUNGKAPAN POS-POS LAPORAN KEUANGAN TERHADAP EXPECTED RETURN SAHAM PERBANKAN




BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Penelitian
Setiap perusahaan tentunya membutuhkan dana untuk dapat mengelola dan mengembangkan usahanya. Salah satu cara untuk memperoleh dana tersebut adalah dengan menghimpun dana masyarakat, yakni dengan cara menerbitkan surat berharga seperti saham. Agar kegiatan penghimpunan dana tersebut lancar, maka dibutuhkanlah suatu wadah perantara atau intermediasi yang dikenal sebagai pasar modal.
Dalam melakukan investasi di pasar modal, khususnya di pasar saham, investor harus memiliki pemahaman dan analisis yang sangat baik karena pasar saham memiliki tingkat ketidakpastian yang tinggi. Situasi ketidakpastian ini mendorong investor yang rasional untuk selalu mempertimbangkan risiko dan expected return setiap sekuritas. Risiko dan expected return tersebut dapat dinilai berdasarkan informasi kualitatif maupun kuantitatif (Kurniawan, 2000).
Pada saat seorang investor melakukan analisis terhadap perusahaan target investasinya, ia dapat menggunakan berbagai sumber informasi baik yang bersifat historis maupun aktual. Pada umumnya, investor menggunakan data-data historis dalam membuat suatu estimasi. Salah satu bentuk data historis adalah laporan keuangan perusahaan. Investor sangat bergantung pada laporan keuangan yang menyediakan data keuangan utama mengenai perusahaan (Jones, 2004). Investor menggunakan informasi-informasi yang terdapat pada komponen laporan keuangan, yaitu Neraca, Laporan Laba Rugi, Laporan Arus Kas, Laporan Perubahan Ekuitas dan Catatan atas Laporan Keuangan.
Laporan keuangan disusun dan disajikan untuk memenuhi kebutuhan sejumlah besar pengguna, oleh karena itu mereka sangat bergantung pada laporan keuangan sebagai sumber utama informasi keuangan. Informasi yang disajikan dalam laporan keuangan bersifat umum, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan informasi dari setiap pengguna. Namun, karena para investor merupakan penanam modal berisiko maka ketentuan laporan keuangan yang memenuhi kebutuhan mereka juga akan memenuhi sebagian besar kebutuhan pengguna lainnya. Investor dan manajer investasi berkepentingan dengan risiko dan hasil dari pengembangan investasinya. Pihak-pihak tersebut membutuhkan informasi yang relevan dalam pengambilan keputusan, akan tetapi akses yang dimiliki oleh mereka sangatlah terbatas. Oleh karena itu, investor dan manajer investasi mempunyai ekspektasi yang sangat tinggi bahwa laporan keuangan perusahaan dapat menyediakan informasi yang mereka butuhkan.
PSAK No 1 menyebutkan bahwa tujuan umum dari laporan keuangan adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas yang berguna bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan keuangan dalam rangka membuat keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang telah dipercayakan kepada mereka. Oleh karena itu, laporan keuangan sebagai sumber informasi utama dari suatu perusahaan memegang peranan penting bagi investor untuk melakukan analisis risiko dan expected return dari sumber daya yang diinvestasikannya.
Pelaporan keuangan merupakan media komunikasi perusahaan dengan pihak eksternal dan diperlukan oleh berbagai pihak untuk mengambil keputusan. Fokus utama dalam pelaporan keuangan adalah penyajian informasi mengenai kinerja perusahaan yaitu dengan cara mengukur laba dan komponennya. Investor, kreditor, dan pengguna lainnya yang tertarik untuk menilai prospek net cash inflow perusahaan, umumnya tertarik pada informasi ini (Anggono, 2002).
Laporan laba rugi mencakup banyak angka laba, yang terdiri dari laba kotor, laba operasi dan laba bersih. Laba kotor dilaporkan lebih awal dari laba operasi, sedangkan laba operasi dilaporkan sebelum laba bersih. Artinya perhitungan angka laba kotor akan menyertakan lebih sedikit komponen pendapatan dan biaya dibandingkan dengan laba operasi; dan perhitungan laba operasi juga menyertakan lebih sedikit komponen pendapatan dan biaya dibandingkan dengan perhitungan laba bersih (Daniati dan Suhairi, 2006). Walaupun demikian, semua angka laba tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai ukuran efisiensi manajer dalam mengelola perusahaan.
Pilihan metode akuntansi banyak ditemukan dalam penyusunan laporan laba rugi. Semakin detail perhitungan suatu angka laba maka akan semakin banyak pilihan metode akuntansi yang akan menyebabkan kualitas laba yang diukur dengan koefisien respon laba menjadi lebih rendah (Scott, 2000).
Febrianto (2005) meneliti tentang perbandingan kualitas kandungan informasi antara laba kotor, laba operasi dan laba bersih dengan mengambil sampel perusahaan non-keuangan dan non-asuransi periode 1993-2002. Ketiga angka laba tersebut diuji secara terpisah dengan mengunakan persamaan regresi sederhana. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa angka laba kotor memiliki kualitas laba yang lebih informatif, lebih operatif dan lebih mampu menggambarkan hubungan antara laba dengan harga saham, dibandingkan dengan laba operasi maupun laba bersih. Selain itu Daniati dan Suhairi (2006) juga berhasil membuktikan bahwa laba kotor memiliki pengaruh yang signifikan terhadap expected return saham. Namun, keterbatasan dalam dua penelitian di atas adalah pengujian laba kotor hanya dilakukan pada industri manufaktur saja, sehingga kemungkinan hasil yang berbeda dapat ditemui pada industri lain yang memiliki karakteristik berbeda dibandingkan industri manufaktur.
Selain laba dan komponennya, indikator kinerja perusahaan dapat dilihat dari arus kas. Sebuah perusahaan yang mampu menghasilkan angka arus kas yang surplus dapat dilihat sebagai salah satu indikator kesuksesan perusahaan. Arus kas merupakan bagian yang penting dalam perusahaan yang ingin beroperasi secara terus-menerus, karena tanpa adanya arus kas, kelangsungan hidup perusahaan akan tersendat-sendat. Dengan demikian, salah satu informasi yang bermanfaat bagi pengambilan keputusan adalah bersumber dari laporan arus kas perusahaan (Diyanti, 2000).
Penelitian yang menguji arus kas dilakukan oleh Triyono dan Jogiyanto (2000) dan hasilnya membuktikan bahwa total arus kas tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan harga saham. Namun demikian, pemisahan total arus kas ke dalam tiga komponen arus kas yaitu arus kas dari kegiatan operasi, investasi dan pendanaan membuktikan adanya hubungan yang signifikan dengan harga saham. Pembedaan komponen arus kas seperti yang disyaratkan dalam PSAK No. 2 ternyata memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap return saham.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa informasi laba dan arus kas dapat dijadikan sebagai indikator kinerja perusahaan. Namun, indikator kinerja perusahaan akan menjadi informasi yang kurang lengkap tanpa disertai oleh informasi dalam pengungkapan pos-pos laporan keuangan. Oleh karena itu, pengungkapan menjadi hal yang sangat penting sebelum investor membuat suatu keputusan investasi. Semakin baik kualitas informasi yang diungkapkan maka akan semakin baik pula kualitas investasi yang dihasilkan (Mohammed dan Yadev, 2004). Jika pengungkapan yang dilakukan tidak sempurna, investor akan menghadapi risiko dalam memprediksi return masa depan atas investasi yang mereka lakukan (Barry & Brown, 1986).
Saat ini, kebutuhan terhadap pengungkapan juga semakin tinggi karena berguna untuk menyediakan penjelasan yang lebih lengkap mengenai posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan. Semua materi harus diungkapkan termasuk infomasi kuantitatif dan kualitatif yang akan sangat membantu para pengguna laporan keuangan (Siegel dan Shim, 1994). Tingkat pengungkapan yang tinggi mengurangi estimasi risiko yang timbul dari estimasi tingkat pengembalian aktiva investor atau distribusi hasil operasi perusahaan (Handa dan Linn, 1993). Tingkat pengungkapan yang tinggi mengurangi tingkat asimetri informasi. Laporan keuangan yang transparan menyebabkan estimasi investor atas risiko yang ada pada perusahaan rendah, sehingga tingkat expected return oleh investor juga rendah Clarkson (1996) dan Coles (1995).
Dari uraian yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa laporan keuangan memiliki peranan yang sangat penting dalam memberikan informasi kepada para pengguna untuk membuat keputusan sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Dengan semakin pentingnya laporan keuangan perusahaan bagi para pengguna, maka laporan tersebut dituntut untuk dapat mencerminkan kondisi dan prospek masa depan perusahaan. Informasi yang disajikan harus transparan dan dipastikan kewajarannya oleh auditor, sehingga para pengguna laporan keuangan tidak merasa dirugikan. Bagi investor, informasi dalam laporan keuangan digunakan untuk menentukan berapa besar tingkat risiko dan expected return sebelum ia membuat keputusan investasi. Semakin pentingnya informasi dalam laporan keuangan, membuat banyak peneliti tertarik untuk menguji kandungan informasi dalam laporan keuangan.
Penelitian ini akan kembali menguji kandungan informasi pada laporan keuangan. Pada umumnya, penelitian-penelitian terdahulu menghubungkan kandungan informasi dari laba kotor dan komponen arus kas terhadap abnormal return. Penelitian-penelitian tersebut mengasumsikan expected return sama dengan actual return periode lalu dan memfokuskan penelitian pada ada tidaknya kandungan 'new information' pada laporan keuangan yang disajikan perusahaan dengan melihat signifikansi koefisien hubungan komponen laporan keuangan dengan selisih antara actual return periode berj alan dengan expected return.
Berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut, penelitian ini akan mengkaji kandungan informasi dari komponen laporan keuangan dengan menganalisis signifikasi koefisien hubungan komponen laporan keuangan tersebut dan expected return. Penelitian ini memandang informasi pada komponen laporan keuangan sebagai faktor yang dapat mempengaruhi expected return investor. Expected return merupakan suatu bagian return yang penting karena pada saat pertama kali akan membuat keputusan investasi, investor akan selalu membuat suatu estimasi berapa return yang diharapkan atas investasi yang akan dilakukan (Jogiyanto, 2003). Penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh kandungan informasi dari laba kotor dan komponen arus kas terhadap expected return saham ini masih sangat terbatas jumahnya.
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menggunakan referensi utama dari penelitian yang telah dilakukan oleh Daniati dan Suhairi (2006) yang menguji kandungan informasi dari komponen arus kas, laba kotor dan size perusahaan terhadap expected return saham. Namun berbeda dengan penelitian Daniati dan Suhairi (2006) yang menggunakan sampel perusahaan industri manufaktur (sub industri tekstil dan otomotif) untuk periode 1999-2004, penelitian ini akan menggunakan sampel perusahaan pada industri perbankan untuk periode 2002 -2006. Penelitian ini juga tidak hanya meneliti pengaruh kandungan informasi pada komponen laporan laba rugi dan laporan arus kas, namun juga mengkaji kandungan informasi pada catatan atas laporan keuangan perusahaan, terhadap expected return.

1.2. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah pendapatan bunga bersih, komponen arus kas dan pengungkapan pos-pos laporan keuangan memiliki hubungan dengan expected return saham perusahaan di industri perbankan? Penelitian dilakukan atas perusahaan di industri perbankan, yang sahamnya terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah menguji hubungan kandungan informasi pada komponen laporan keuangan industri perbankan dan expected return saham perusahaan. Tujuan penelitian secara khusus adalah sebagai berikut:
1. Menguji hubungan kandungan informasi pada pendapatan bunga bersih pada laporan laba rugi perusahaan perbankan dan expected return.
2. Menguji hubungan kandungan informasi pada arus kas kegiatan operasi pada laporan arus kas perusahaan perbankan dan expected return.
3. Menguji hubungan kandungan informasi pada arus kas kegiatan investasi pada laporan arus kas perusahaan perbankan dan expected return.
4. Menguji hubungan kandungan informasi pada arus kas kegiatan pembiayaan pada laporan arus kas perusahaan perbankan dan expected return.
5. Menguji hubungan kandungan informasi pada pengungkapan pos-pos laporan keuangan perusahaan perbankan dan expected return.

1.4. Manfaat Penelitian
Secara akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dan memberikan kontribusi terhadap penelitian akuntansi yang berkaitan dengan elemen-elemen dalam laporan keuangan yang mempengaruhi expected return. Bagi investor, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti tentang kandungan informasi laporan keuangan dan keterkaitannya dengan expected return, sehingga dapat menjadi masukan sebelum melakukan keputusan investasi khususnya pada perusahaan dalam industri perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Bagi perusahaan perbankan, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi gambaran perilaku investor dalam memanfaatkan informasi akuntansi yang disajikan perusahaan. Sedangkan bagi regulator, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi gambaran bagaimana pentingnya standardisasi Pedoman Penyajian dan Pengungkapan Laporan Keuangan Emiten atau Perusahaan Publik Industri Perbankan (P3LKEPP) dalam mempengaruhi perilaku investor.

1.5. Sistematika Penulisan Laporan Penelitian
Penelitian ini akan disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
- BAB I PENDAHULUAN.
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan laporan penelitian.
- BAB II LANDASAN TEORI, STUDI LITERATUR TERDAHULU DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS.
Bab ini menguraikan tinjauan kepustakaan yang berisi berbagai teori dan penelitian terdahulu, serta uraian tentang bagaimana hipotesis dikembangkan dan variabel-variabel apa yang digunakan.
- BAB III METODOLOGI PENELITIAN.
Bab ini membahas secara lebih rinci mengenai metode pengambilan sampel, model penelitian, operasionalisasi variabel dan pengumpulan data dalam penelitian ini.
- BAB IV ANALISA HASIL PENELITIAN.
Bab ini menyajikan pembahasan hasil penelitian. Bab ini juga disertai dengan berbagai hasil tabulasi dan grafik hasil peneltian.
- BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN.
Bab ini mengikhtisarkan hasil penelitian dan implikasi terhadap model penelitian, menjelaskan keterbatasan-keterbatasan selama melakukan penelitian serta saran yang dipandang perlu dan sesuai untuk melakukan penelitian selanjutnya.
SKRIPSI PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI ATAS PELAKSANAAN SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM KETERKAITANNYA DENGAN TINDAKAN TAX EVASION PADA KPP X

SKRIPSI PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI ATAS PELAKSANAAN SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM KETERKAITANNYA DENGAN TINDAKAN TAX EVASION PADA KPP X

(KODE : EKONAKUN-0073) : SKRIPSI PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI ATAS PELAKSANAAN SELF ASSESSMENT SYSTEM DALAM KETERKAITANNYA DENGAN TINDAKAN TAX EVASION PADA KPP X


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Pemerintah memiliki peranan penting dalam kehidupan ekonomi suatu negara. Pemerintah harus melakukan pengendalian terhadap kondisi yang tengah terjadi dan mengevaluasinya kemudian merancang suatu aturan untuk membuat perekonomian menjadi lebih baik. Dalam melaksanakan kegiatannya, negara memerlukan adanya aliran dana untuk menjalankan roda pemerintahan. Dana yang telah diperoleh dari beberapa sektor penerimaan APBN akan digunakan untuk keberlangsungan/pengeluaran negara, baik itu pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. Sektor pendapatan terbesar dalam pos APBN berasal dari penerimaan pajak yang masih potensial untuk terus ditingkatkan penerimaannya. Pajak sendiri berfungsi sebagai alat untuk mengisi kas negara (budgetair) dan sebagai alat pemerintah untuk mengatur rakyatnya melalui kebijakan fiskal yang ditetapkan (regulerend). Menurut Sakli Anggoro, Dirjen Wilayah Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo (Suluttenggo) dan Maluku Utara menyebutkan bahwa pajak masih menjadi urat nadi pembangunan di Indonesia. Sebab, sebanyak 75 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) masih berasal dari penerimaan sektor pajak (radarsulteng.com, 4 Februari 2010). Hal ini menunjukkan dominannya penerimaan APBN dari sektor pajak guna pembiayaan negara. Sehingga, penerimaan pajak yang optimal akan menyebabkan keberlangsungan negara berjalan dengan baik. Pemerintah harus memiliki manajemen yang baik dalam mengelola sumber dana yang telah diperoleh dari sektor pajak agar penggunaanya berjalan efektif dan efisien sehingga tidak terjadi penyalahgunaan.
Upaya untuk mendapatkan penerimaan pajak yang optimal dengan sistem pemungutan pajak secara Self Assessment, tidak hanya mengandalkan pemerintah tapi juga diperlukan sikap bijak dari para wajib pajak, yaitu kesadaran dan kepatuhan diri terhadap pemenuhan kewajiban perpajakan. Dengan begitu pelaksanaan Self Assessment System dapat berjalan dengan baik. Beberapa kasus mengungkapkan kejadian penyelundupan pajak/tax evasion, yaitu Direktorat Jenderal Pajak menemukan dugaan kekurangan pembayaran pajak pada 2007 oleh ketiga perusahaan batu bara Grup Bakrie, yaitu PT Bumi Resources Tbk., PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia. Pemeriksaan bukti permulaan (setara dengan penyelidikan di kepolisian dan KPK) atas Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak tahun itu menunjukkan ada indikasi kesalahan data, sehingga mengakibatkan kekurangan sekitar Rp 2,1 triliun (Tempo, 12 Desember 2009). Kasus penyelundupan pajak tersebut dilakukan dengan melakukan manipulasi data pada Surat Pemberitahuan Pajak yang dilaporkan oleh wajib pajak. Hal serupa terjadi juga pada PT Asian Agri Grup. Dari hasil penyidikan Ditjen Pajak, PT Asian Agri Grup disebutkan telah memanipulasi isi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak selama tiga tahun sejak 2002. Perusahaan ini menggelembungkan biaya, memperbesar kerugian transaksi ekspor dan menciutkan hasil penjualan dengan total Rp 2,6 triliun (BBCInonesia.com, 8 November 2007).
Selain kasus penggelapan pajak yang dilakukan oleh perusahan-perusahaan di atas, Direktorat Jenderal Pajak juga menyidik 46 kasus dugaan penggelapan pajak lainnya pada tahun 2008. Perkiraan kerugian negara akibat penggelapan itu sekitar Rp 325 miliar. Menurut Kepala Subdirektorat Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak Pontas Pane, jumlah kerugian negara digabungkan dengan dugaan penggelapan pajak Asian Agri mencapai Rp 1,625 triliun (pajak.com, 12 Mei 2008).
Badan Pemeriksa Keuangan mencurigai aparat pajak bermain dalam dugaan kasus manipulasi pajak Asian Agri. Ketua BPK Anwar Nasution mempertanyakan lamanya pemeriksaan pajak yang dilakukan Direktorat Jenderal Pajak terhadap Sukanto Tanoto (pajak.com, 23 Januari 2008).
Fenomena ketidakpatuhan lainnya adalah dengan melaporkan sebagian laporan keuangan perusahaan. Kejadian ini terjadi pada PT Tiara Dewata Group (TDG) yang diduga telah menggelapkan pajak hingga lebih dari Rp23 miliar mulai 2005 sampai 2006 dengan modus membuat pembukuan ganda. Teguh Harianto (ahli perhitungan kerugian negara) mengaku pernah melakukan penghitungan pajak untuk tahun 2005 dan 2006 di PT Karya Luhur Permai sebagai wajib pajak (WP). Dari hasil perhitungan tersebut, ditemukan pajak yang belum dibayarkan wajib pajak meliputi pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh). Dari dua pembukuan itu, hanya pembukuan tipe A yang dilaporkan dalam surat pemberitahuan pajak (SPT), sedang pembukuan tipe B tidak dilaporkan. Menurutnya, pembukuan tipe A dan tipe B tersebut tidak sesuai prosedur perpajakan. Mestinya semua pembukuan dilaporkan dalam SPT. Sehingga dengan tidak dilaporkannya omset dalam PPh maka secara otomatis akan mempengaruhi PPN (antaranews.com, 2 Desember 2009).
Beberapa penyelundupan pajak yang telah penulis sebutkan hanya yang terjadi di perusahaan dan itu merupakan kehendak petinggi perusahaan yang secara umum akan mewakili badan yang menaunginya berusaha. Namun ada juga penggelapan pajak yang memang tidak dilakukan secara sengaja oleh badannya tetapi dilakukan oleh pekerja yang mengurusi bagian pajak atau juga yang dilakukan oleh aparat pajak itu sendiri. Berikut adalah beberapa kasus penyelundupan pajak yang tidak dilakukan oleh badan usahanya. Penggelapan pajak tunjangan kesejahteraan bagi para guru di Dikdas dan Dikmenti Jakarta Selatan pada Januari 2009 yang dilakukan oleh lima pejabat di Dinas Pendidikan Jakarta Selatan. Mereka diduga telah menggelapkan uang pajak sebesar Rp 23 Miliar, namun setelah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP), uang hasil korupsi gotong royong itu mencapai Rp 34 miliar. Kasus ini mencuat ketika dinas pajak menagih pajak tunjangan kesra guru ke Dikdas Jaksel. Dinas Jaksel kemudian menunjukkan bukti setoran pajak yang ternyata palsu (detik.com, 29 April 2009). Selain itu juga Direktorat Jenderal Pajak mensinyalir terdapat banyak bendaharawan pemerintah dan bendaharawan perusahaan yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipungutnya dari wajib pajak (WP) ke kas negara (pajak.com, 25 Mei 2009).
Korupsi yang sistematis dan ketidakmampuan sistem pajak dalam mengontrol jumlah alkohol yang dibutuhkan masyarakat di dalam negeri membuat negara kehilangan potensi penerimaan dari pajak atas impor minuman beralkohol senilai Rp 1,538 triliun. Angka ini 24 kali lebih besar dari Rp 62 miliar penerimaan pajak riil atas impor minuman beralkohol tahun 2008. Dalam laporan itu disebutkan, PT Sarinah sebagai agen tunggal pengimpor minuman beralkohol melaporkan bahwa tidak ada pajak atas impor minuman beralkohol untuk kas negara tahun 2007. Pada tahun 2008, penerimaan dari pajak tersebut hanya Rp 62 miliar, padahal penerimaan potensial dari pajak atas impor minuman beralkohol bisa mencapai Rp 1,6 triliun (kompas.com, 20 April 2009).
Sementara itu, fenomena yang terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X umumnya tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di bebarapa wilayah lain di Indonesia seperti masih adanya potensi wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri, adanya wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT atau menyampaikannya dengan tidak benar, tidak menyetorkan pajak yang seharusnya maupun usaha untuk melakukan konspirasi dengan petugas pajak.
Sedangkan menurut penuturan salah seorang petugas pajak di bagian Seksi Pengawasan dan Konsultasi, upaya penggelapan pajak pernah terjadi melalui permohonan penghapusan NPWP dengan alasan wajib pajak telah meninggal maupun pindah alamat. Namun setelah ditelusuri ternyata wajib pajak masih hidup dan ada juga orang yang pindah alamat tersebut ternyata tidak mendaftarkan diri di tempat tinggal yang baru.
Hal utama yang melatarbelakangi adanya tindakan penyelundupan pajak seperti beberapa kejadian di atas adalah kebutuhan dasar manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Merasa telah bersusah payah untuk memperoleh pendapatan tetapi dengan begitu saja dipungut pajak oleh negara, ini membuat wajib pajak berpikir untuk menggelapkan pajak. Beberapa alasan lain yang membuat wajib pajak berusaha menyelundupkan pajak antara lain kondisi lingkungan yang tidak patuh pajak, pelayanan fiskus yang mengecewakan, tarif pajak yang dianggap terlalu tinggi, dan sistem administrasi perpajakan yang buruk (Siti Kurnia Rahayu, 2010:140-142).
Adanya tindakan penyelundupan pajak yang terjadi akan membuat negara mengalami kerugian yang sangat besar. Banyak sektor pengeluaran negara yang tentunya mengalami hambatan akibat tidak tersedianya dana yang siap digunakan.
Penyelundupan pajak harus sesegera mungkin diatasi untuk mencegah makin menjamurnya tindakan Tax Evasion. Salah satunya adalah dengan perbaikan pengelolaan pajak. Pengelolaan pajak yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak harus lebih ditingkatkan untuk menaikkan penerimaan pajak yang belum terserap maksimal karena sistem perpajakan yang belum berlangsung secara optimal. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia yaitu Self Assessment System dan With Holding Tax System. Self Assessment System memberikan kepercayaan sepenuhnya pada wajib pajak (dapat dibantu konsultan pajak) untuk menentukan utang pajaknya sendiri, kemudian melaporkan pembayaran dan penghitungan pajak yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan (Siti Kurnia Rahayu, 2010:102). Pelaksanaan Self Assessment System di Indonesia masih banyak menimbulkan masalah mulai dari pendaftaran NPWP hingga pelaporan SPT. Fenomena yang terjadi yaitu Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen) Pajak tampaknya harus lebih rajin menjelaskan tentang Sunset Policy kepada para Wajib Pajak pribadi maupun badan. Sebab, saat ini masih banyak wajib pajak yang enggan membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memperbaiki data Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) (pajakonline.com, 26 Agustus 2008). Kemudian sulitnya menghitung pajak, merupakan salah satu yang sering dikeluhkan masyarakat bila berhubungan dengan kantor pajak. Bukan hanya wajib pajak (WP) orang pribadi, wajib pajak badan juga mengalami hal yang sama (akuntansiumkm.wordpress.com, 18 February 2010).
Fenomena lain yang memberikan persepsi sulitnya pemenuhan Self Assessment System yaitu tanggapan wajib pajak mengenai pelaporan pajak. Pertama, wajib pajak sendiri harus isi beberapa berkas surat lapor pajak. Yang mungkin bagi pelapor pajak baru membingungkan. Karena pemerintah tidak menyediakan orang yang memadai untuk menjelaskan cara pengisian tersebut, yang paling mudah adalah meminta jasa konsultan pajak. Kedua, harus mengantri untuk menyetorkan pajak. Bank penerima pajak masih terbatas pada bank-bank tertentu, sehingga menimbulkan antrian yang panjang. Ketiga, keterlambatan membayar pajak dikenakan denda tambahan (fb republic of Indonesia, 25 April 2009).
Banyak orang yang malas jika harus berurusan dengan pajak. Selain rumit dan berbelit, sudah menjadi rahasia umum jika masih banyak aparat pajak yang cenderung menekan wajib pajak yang kurang paham atas kewajibannya itu. Salah satu yang kerap menjadi sasaran adalah para wajib pajak dengan usaha bebas seperti pedagang, dokter, notaris, konsultan, pemilik peternakan, petani tembakau, kopi dan banyak lagi (pajakpribadi.com, 13 Maret 2010).
Berdasarkan pengakuan beberapa wajib pajak KPP Pratama X, ditemukan keluhan lain yang bisa dikatakan merupakan pangkal masalah dalam pelaksanaan Self Assessment System, yaitu kurangnya sosialisasi kewajiban perpajakan yang sesuai ketentuan. Masyarakat merasakan bahwa mereka tidak tahu berbuat apa untuk melakukan kewajibannya karena tidak punya pengetahuan yang cukup tentang perpajakan.
Pasca reformasi si stem pemungutan pajak dari Official Assessment menjadi Self Assessment pada tahun 1984, negara menginginkan adanya reformasi di bidang perpajakan. Tujuan dari reformasi perpajakan antara lain: 1) Meningkatkan kualitas pelayanan kepada Wajib Pajak (taxpayer's quality services) sebagai sumber aliran dana untuk mengisi kas Negara. 2) Menekan terjadinya penyelundupan pajak (tax evasion) oleh Wajib Pajak. 3) Meningkatkan kepatuhan bagi Wajib Pajak dalam penyelenggaraan kewajiban perpajakannya. 4) Menerapkan konsep good governance, adanya transparansi, responsibility, keadilan dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak, sekaligus publikasi jelasnya pos penggunaanpengeluaran dana pajak. 5) Meningkatkan penegakan hukum pajak, pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan administrasi pajak, baik kepada fiskus maupun wajib pajak (Siti Kurnia Rahayu, 2009:99). Dari tujuan di atas dapat diketahui bahwa pada awalnya, pemberlakuan self assessment system dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan menekan terjadinya penyelundupan pajak. Namun setelah adanya perubahan sistem pemungutan pajak tersebut, kesempatan wajib pajak dalam upaya menyelundupkan pajak semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh adanya ketentuan yang menyebutkan bahwa dalam self assessment system, wajib pajak harus memenuhi kewajiban perpajakannya dimulai dari pendaftaran NPWP hingga pelaporan SPT dilakukan sendiri oleh wajib pajak. Sehingga usaha wajib pajak dalam melepaskan diri dari jeratan pajak dengan berbagai cara semakin leluasa karena semuanya dilakukan oleh sendiri.
Kemudian, hasil survey dari Tim Peneliti Departemen Riset dan Kajian Strategis Indonesia Corruption Watch (2000) menyebutkan bahwa dari pandangan Dirjen Pajak sendiri, self assessment sebenarnya juga mempunyai beberapa kekurangan seperti: a) Sistem ini ternyata kurang berhasil. Banyak yang tidak jujur dalam melaporkan besarnya penghasilan yang diperoleh, khususnya WP Perseorangan. Karena sangat banyak jumlah pendapatan yang tidak dilaporkan sebagai obyek pajak, b) Ketidaksuksesan sistem ini terlihat juga dari meningkatnya jumlah tunggakan pajak, meskipun WP sebenarnya memiliki kemampuan untuk membayar jumlah pajak tersebut, c) Untuk memaksa WP berlaku jujur, UU Perpajakan perlu memberikan sanksi yang berat kepada pelanggar. Namun sistem self assessment tetap dilaksanakan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai masalah tersebut dengan judul:
"Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi Atas Pelaksanaan Self Assessment System Dalam Keterkaitannya Dengan Tindakan Tax Evasion Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X (Kasus Pada 23 Wajib Pajak Orang Pribadi Penerima SKPKB)".

1.2 Identifikasi dan Rumusan Masalah
1.2.1 Identifikasi Masalah
Berdasarkan fenomena di latar belakang penelitian, maka penulis membuat identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Masyarakat enggan untuk membuat dan memiliki NPWP
2. Wajib pajak kesulitan menghitung pajak
3. Wajib pajak belum terakomodir dalam menyetorkan pajak
4. Wajib pajak kesulitan dalam proses pelaporan SPT
5. Kurangnya sosialisasi perpajakan mengenai kewajiban wajib pajak dalampelaksanaan Self Assessment System
6. Fiskus tidak menjalankan tugasnya dengan baik
7. Wajib pajak tidak menyampaikan SPT dengan benar
8. Bendaharawan perusahaan/pemerintah menggelapkan pajak
9. Konspirasi antara wajib pajak dengan aparat pajak
10. Penerapan Self Assessment System membuat tindakan Tax Evasion terjadi.
1.2.2 Rumusan Masalah
Sesuai dengan identifikasi masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System pada KPP Pratama X.
2. Bagaimana tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.
3. Bagaimana persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System dalam keterkaitannya dengan tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai Self Assessment System dan Tax Evasion dengan mengumpulkan data dan informasi yang kemudian dianalisa untuk memperoleh hasil yang diharapkan.
1.3.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System pada KPP Pratama X.
2. Untuk mengetahui tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.
3. Untuk mengetahui persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System dalam keterkaitannya dengan tindakan Tax Evasion pada KPP Pratama X.

1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Akademis
Adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat bermanfaat secara akademis sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti
Penelitian diharapkan dapat memberi pemahaman teoritis lebih mendalam mengenai Self Assessment System dan Tax Evasion serta mengetahui bagaimana aplikasinya di kehidupan nyata sehingga dapat menjadi tambahan pengetahuan yang bermanfaat.
2. Bagi Instansi
Hasil penelitian dapat memberikan pandangan dan masukan KPP Pratama X mengenai persepsi wajib pajak atas pelaksanaan Self Assessment System dan tindakan Tax Evasion.
3. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang kajian yang sama, yaitu Self Assessment System dan Tax Evasion.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan informasi yang berguna bagi pelaksanaan Self Assessment System dan tentang Tax Evasion sehingga untuk perkembangan selanjutnya menjadi semakin baik.
SKRIPSI PENGARUH SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP DANA ALOKASI UMUM (DAU) PADA PEMERINTAHAN KOTA X

SKRIPSI PENGARUH SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP DANA ALOKASI UMUM (DAU) PADA PEMERINTAHAN KOTA X

(KODE : EKONAKUN-0072) : SKRIPSI PENGARUH SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) TERHADAP DANA ALOKASI UMUM (DAU) PADA PEMERINTAHAN KOTA X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan perubahan kepemimpinan nasional dari Orde Baru menuju Orde Reformasi, pola hubungan pemerintahan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat juga mengalami perubahan. Jika sebelumnya Indonesia menganut sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik yang ternyata hanya menimbulkan ketidakadilan di seluruh daerah, sejak tahun 1999 diubah menjadi desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era otonomi daerah. Ketika otonomi daerah mulai digulirkan, harapan yang muncul adalah menjadi semakin mandiri di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing karena daerah diberikan kebebasan untuk mengelola wilayahnya sendiri. Selain itu daerah juga diberikan sumber-sumber pembiayaan kewenangan yang sebelumnya masih dipegang oleh Pemerintah Pusat di era Orde Baru. Kemandirian daerah tersebut dimanifestasikan lewat Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang besar dan kuat.
Sesuai dengan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, ditetapkan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi terdiri dari:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
2. Dana Perimbangan
3. Pinjaman Daerah
4. Lain-lain Penerimaan yang Sah
Gambaran citra kemandirian daerah dalam berotonomi daerah dapat diketahui melalui seberapa besar kemampuan sumber daya keuangan daerah tersebut agar mampu membangun daerahnya, disamping mampu pula untuk bersaing secara sehat dengan daerah lain dalam mencapai cita-cita otonomi daerah. Untuk mengukur tingkat kemandirian daerah dapat dilakukan degan membandingkan realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Anggaran Pendapatan dan Belanj a Daerah (APBD).
Pendapatan Asli Daerah terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD, dan Lain-lain PAD yang Sah. Dana Perimbangan itu sendiri terdiri dari Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dalam upaya meningkatkan PAD, dibutuhkan suatu struktur industri yang mantap beserta objek pajak dan retribusi yang taat. Sementara Dana Alokasi Umum (DAU) dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat sebaliknya hanya bersifat suplemen bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah.

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Menurut data tabel 1.1 diatas terlihat bahwa Pajak Daerah selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 mengalami peningkatan, namun pada tahun 2006 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada pos Retribusi Daerah tahun 2001 dan 2002 mengalami peningkatan namun menurun pada tahun 2003, kemudian meningkat lagi pada tahun 2004 dan 2005, setelah itu menurun lagi pada tahun 2006. Pada pos Bagian Laba BUMD dari tahun 2001 hingga 2002 mengalami peningkatan namun menurun pada tahun 2003, kemudian meningkat lagi di tahun-tahun berikutnya terutama pada tahun 2006 mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Sementara pada pos PAD Lain-lain yang Sah meningkat hingga tahun 2003 kemudian pada tahun 2004 dan 2005 terus mengalami penurunan, lalu pada tahun 2006 meningkat lagi. Sedangkan untuk PAD sendiri secara total di tahun 2004 terjadi penurunan yang mencapai 20,82% namun pada tahun 2005 dan 2006 kembali mengalami peningkatan sebesar 21,73% dan 7,77%.
Tabel 1.3 menunjukkan bahwa DAU yang berasal dari pemerintah pusat setiap tahunnya menunjukkan peningkatan, walaupun pada tahun 2003-2004 tidak mengalami perubahan atau dengan kata lain nilainya tetap. Tentunya hal ini tidak diinginkan sebab DAU dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat lainnya sebaiknya hanya bersifat suplemen bagi Pemerintah Daerah X. Oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Untuk mengurangi ketergantungan aliran dana yang diperoleh dari pemerintah pusat maka daerah harus mampu menggali sumber-sumber potensial yang berasal dari daerahnya sendiri melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ironisnya terjadi ketidakstabilan laju pertumbuhan Sumber-Sumber Pendapatan Asli Daerah pada Pemerintahan Kota X. Hal ini tentunya tidak diinginkan mengingat salah satu ukuran kemandirian suatu daerah di daerah otonomi adalah ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengetahui seberapa besar pengaruh sumber Penerimaan Asli Daerah (PAD) terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) sehingga penulis membahasnya dalam skripsi yang berjudul: "Pengaruh Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Dana Alokasi Umum (DAU) Pada Pemerintahan Kota X"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis merumuskan masalah adalah:
1. Apakah Pajak Daerah berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
2. Apakah Retribusi Daerah berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
3. Apakah Bagian Laba BUMD berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
4. Apakah Lain-lain PAD yang Sah berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?
5. Apakah Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD, dan Lain-lain PAD yang Sah secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X?

C. Batasan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini akan dibatasi pada penerimaan Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD dan Lain-lain PAD Yang Sah.

D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pajak Daerah terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Retribusi Daerah terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Bagian Laba BUMD terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Lain-lain PAD yang Sah terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
5. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba BUMD dan Lain-lain PAD yang Sah secara bersama-sama terhadap Dana Alokasi Umum pada Pemkot X.
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat dalam menambah wawasan dan pengetahuan tentang analisis laporan keuangan daerah dalam era otonomi daerah.
2. Memberikan masukan kepada pihak yang berwenang di dalam pengambilan keputusan penetapan skala prioritas penggalian sumber pendapatan yang bersumber dari PAD.
3. Sebagai bahan pertimbangan bagi penulis lainnya yang akan melakukan atau melanjutkan penelitian yang sejenis dengan penelitian ini.
SKRIPSI PENGARUH SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA X

SKRIPSI PENGARUH SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA X

(KODE : EKONAKUN-0071) : SKRIPSI PENGARUH SELF ASSESSMENT SYSTEM TERHADAP PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PRATAMA X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pengadaan dana merupakan masalah yang penting bagi tercapainya tujuan pembangunan nasional. Sumber pembiayaan pembangunan berasal dari dalam negeri dan luar negeri. Namun demikian sumber dari dalam negeri lebih diutamakan dari pada luar negeri. Dalam peningkatan dana dalam negeri, pajak merupakan alternatif yang sangat potensial. Masalah perpajakan bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait didalamnya akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk mengetahui masalah perpajakan di Indonesia
Ditengah kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengalami berbagai permasalahan di berbagai sektor khususnya sektor ekonomi yang mana hal ini diperparah dengan adanya krisis ekonomi di Amerika Serikat yang berdampak terhadap terciptanya krisis ekonomi global yang makin memperburuk situasi ekonomi Indonesia. Berfluktuasinya harga minyak dunia, tingginya tingkat inflasi, naiknya harga barang-barang dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika, serta turunnya daya beli masyarakat telah menjadi masalah yang sangat rumit yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Kenyataanya ditengah situasi ekonomi Indonesia dewasa ini yang tidak stabil, pembangunan tetap harus berjalan dan permasalahan-permasalahan baik di bidang ekonomi ataupun di bidang lain harus segera diatasi dengan cepat dan tepat demi terciptanya kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Untuk tetap dapat bertahan dan memperbaiki kondisi ekonomi yang ada, pemerintah harus mengupayakan semua potensi penerimaan yang ada. Pada saat ini tengah digali berbagai macam potensi untuk meningkatkan penerimaan negara, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun seiring dengan berkembangnya kemampuan analisis para praktisi ekonomi yang menyatakan bahwa mengandalkan pinjaman dari luar negeri sebagai salah satu sumber penerimaan negara hanya akan menjadi bumerang dikemudian hari, potensi penerimaan dari pinjaman luar negeri akan semakin dikurangi.
Berdasarkan hal tersebut maka Indonesia akan bemsaha untuk lebih meningkatkan potensi penerimaan negara dari dalam negeri, dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pajak telah memberikan kontribusi terbesar dalam penerimaan negara. Menumt APBN sumber pendapatan terbanyak didapat dari sektor perpajakan meskipun masih banyak sektor lain seperti minyak dan gas bumi, serta bantuan luar negeri. Hal ini bisa dibuktikan saat negara kita dilanda krisis berkepanjangan sampai saat inipun masih diragukan apakah negara kita bisa menumbuhkan keadaan perekonomian, sektor pajak masih tetap memiliki nilai besar bahkan mengalami kenaikan serta menembus sampai pada prosentase terbesar dari sektor non migas sementara sektor non migas cendemng mengalami penumnan dan juga bantuan luar negeri yang bunganya bisa membesar seiring fluktuasi mata uang dolar terhadap mpiah. Diharapkan pemasukan dari pajak terns dinaikkan salah satunya dengan mengadakan kebijakan-kebijakan bam seperti ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan cara meningkatkan jumlah pajak dan obyek pajak baru sedangkan intensifikasi perpajakan dilaksanakan dengan berorientasi pada peningkatan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak, suatu misal dengan cara pengadaan penyuluhan langsung pada masyarakat, sunset policy, dan sebagainya.
Wilayah X khususnya ibukota Y memiliki potensi yang sangat besar dalam meningkatkatkan penerimaan negara khususnya dari sektor perpajakan. Y sebagai salah satu kota besar di Indonesia menyumbangkan lebih kurang 100 miliar setiap tahunnya dari sektor perpajakan saja. Dengan pertumbuhan jumlah penduduk serta berkembangnya perekonomian di kota Y, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi penerimaan negara.
Pajak merupakan iuran wajib yang diberlakukan pada setiap wajib pajak atas obyek pajak yang dimilikinya dan hasilnya diserahkan kepada pemerintah. Penerimaan dari sektor pajak terbagi menjadi dua golongan, yaitu dari pajak langsung contohnya pajak penghasilan dan dari pajak tidak langsung contohnya pajak pertambahan nilai, bea materai, bea balik nama.
Pajak penghasilan merupakan pajak yang dipungut pada obyek pajak atas penghasilannya. Pajak penghasilan akan selalu dikenakan terhadap orang atau badan usaha yang memperoleh penghasilan di Indonesia. Undang-undang yang dipakai untuk mengatur besarnya tarif pajak, tata cara pembayaran dan pelaporan pajak penghasilan adalah Undang-undang No. 36 Tahun 2008 yang merupakan penyempurnaan bagi Undang-undang No. 17 tahun 2000. Undang-undang pajak penghasilan telah menetapkan sistem pemungutan pajak penghasilan secara self assessment, dimana wajib pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab penuh dari pemerintah untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terhutang. Dengan sistem ini pemerintah berharap agar pelaksanaan pemungutan pajak penghasilan dapat berjalan dengan lebih mudah dan lancar.
KPP Pratama X adalah salah satu Kantor Pelayanan Pajak yang telah melaksanakan sistem adminisrasi, pelayanan, maupun situasi kerja yang baik dan memiliki wilayah kerja yang luas meliputi beberapa kecamatan. Berdasarkan berbagai kondisi yang ada, tampaknya wilayah X mempunyai potensi yang cukup bagus untuk meningkatkan penerimaan pajak sesuai dengan target penerimaan yang ingin dicapai, oleh karena itu keberadaan KPP di X sangatlah penting untuk dapat meyerap semua potensi penerimaan pajak yang ada.
Dengan argumen-argumen tersebut maka penulis menetapkan judul bagi penulisan skripsinya yaitu: "Pengaruh Self Assessment System Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X"

B. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : "Apakah NPWP dan SSP PPh Pasal 25 berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X ?"

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah NPWP dan SSP PPh pasal 25 berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dihaarapkan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis sehubungan dengan pengaruh self assessment system terhadap penerimaan Pajak Penghasilan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
2. Bagi instansi terkait, sebagai bahan informasi pelengkap atau masukan sekaligus pertimbangan bagi pihak-pihak yang berwenang yang
berhubungan dengan penelitian ini dalam penetapan kebijakan pada pelaksanaan atau penggunaan suatu sistem pemungutan yang diterapkan pada Pajak Penghasilan untuk dapat mengoptimalkan penerimaan pajak negara.
3. Bagi peneliti lainnya, sebagai bahan referensi dalam melakukan penelitian sejenis.

E. Batasan Penelitian
Untuk mengarahkan penelitian agar lebih terfokus serta sistematis maka peneliti membatasi penelitian ini pada batasan, yaitu :
1. Batasan Aspek
Aspek penelitian ini terbatas pada self assessment system yang dicirikan oleh NPWP dan SSP PPh Pasal 25 terhadap variabel penerimaan pajak penghasilan pada Wajib Pajak Orang Pribadi.
2. Batasan Lokasi
Batasan lokasi penelitian adalah pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama X.
SKRIPSI PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA KEUANGAN PADA PERUSAHAAN YANG TERMASUK KELOMPOK SEPULUH BESAR MENURUT CORPORATE GOVERNANCE PERCEPTION INDEX (CGPI)

SKRIPSI PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA KEUANGAN PADA PERUSAHAAN YANG TERMASUK KELOMPOK SEPULUH BESAR MENURUT CORPORATE GOVERNANCE PERCEPTION INDEX (CGPI)

(KODE : EKONAKUN-0070) : SKRIPSI PENGARUH GOOD CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP KINERJA KEUANGAN PADA PERUSAHAAN YANG TERMASUK KELOMPOK SEPULUH BESAR MENURUT CORPORATE GOVERNANCE PERCEPTION INDEX (CGPI)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan penting pendirian suatu perusahaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pemiliknya atau pemegang saham, atau memaksimalkan kekayaan pemegang saham melalui peningkatan nilai perusahaan (Brigham dan Houston, 2001). Peningkatan nilai perusahaan tersebut dapat dicapai jika perusahaan mampu beroperasi dengan mencapai laba yang ditargetkan. Melalui laba yang diperoleh tersebut perusahaan akan mampu memberikan dividen kepada pemegang saham, meningkatkan pertumbuhan perusahaan dan mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Hambatan-hambatan yang dihadapi perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan tersebut pada umumnya berkisar pada hal-hal yang sifatnya fundamental yaitu : (1) Perlunya kemampuan perusahaan untuk mengelola sumber daya yang dimilikinya secara efektif dan efisien, yang mencakup seluruh bidang aktivitas (sumber daya manusia, akuntansi, manajemen, pemasaran dan produksi), (2) Konsistensi terhadap sistem pemisahan antara manajemen dan pemegang saham, sehingga secara praktis perusahaan mampu meminimalkan konflik kepentingan yang mungkin terjadi antara manajemen dan pemegang saham dan (3) Perlunya kemampuan perusahaan untuk menciptakan kepercayaan pada penyandang dana ekstern, bahwa dana ekstern tersebut digunakan secara tepat dan seefisien mungkin serta memastikan bahwa manajemen bertindak yang terbaik untuk kepentingan perusahaan. Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, maka perusahaan perlu memiliki suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, yang mampu memberikan perlindungan efektif kepada para pemegang saham dan pihak kreditur, sehingga mereka dapat meyakinkan dirinya akan memperoleh keuntungan investasinya dengan wajar dan bernilai tinggi, selain itu juga harus dapat menjamin terpenuhinya kepentingan karyawan serta perusahaan itu sendiri.
Kondisi yang dihadapi perusahaan-perusahaan publik di Indonesia masih lemah dalam mengelola perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh masih lemahnya standar-standar akuntansi dan regulasi, pertanggungjawaban terhadap para pemegang saham, standar-standar pengungkapan dan transparansi serta proses-proses kepengumsan perusahaan. Kenyataan tersebut secara tidak langsung menunjukkan masih lemahnya perusahaan-perusahaan publik di Indonesia dalam menjalankan manajemen yang baik dalam memuaskan stakeholders perusahaan.
Dalam upaya mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, maka para pelaku bisnis di Indonesia menyepakati penerapan good corporate governance (GCG) suatu sistem pengelolaan perusahaan yang baik, hal ini sesuai dengan penandatanganan perjanjian Letter of intent (LOI) dengan IMF tahun 1998, yang salah satu isinya adalah pencantuman jadwal perbaikan pengelolaan perusahaan di Indonesia (Sri Sulistyanto, 2003). Sulit dipungkiri, selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah GCG kian populer. Tak hanya populer, tetapi istilah tersebut juga ditempatkan di posisi terhormat. Hal itu, setidaknya terwujud dalam dua keyakinan.
Pertama, GCG merupakan salah satu kunci sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang, sekaligus memenangkan persaingan bisnis global-terutama bagi perusahaan yang telah mampu berkembang sekaligus menjadi terbuka. Kedua, krisis ekonomi dunia, di kawasan Asia dan Amerika Latin yang diyakini muncul karena kegagalan penerapan GCG. Di antaranya, sistem regulatory yang payah, standar akuntansi dan audit yang tidak konsisten, praktek perbankan yang lemah, serta pandangan Board of Directors (BOD) yang kurang peduli terhadap hak-hak pemegang saham minoritas.
Pada tahun 2001, Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) menerbitkan pedoman GCG. Pedoman ini bertujuan agar dunia bisnis memiliki acuan dasar mengenai konsep serta pola pelaksanaan GCG yang sesuai dengan pola internasional umumnya dan Indonesia khususnya. Melalui penerapan GCG tersebut diharapkan: (1) perusahaan mampu meningkatkan kinerjanya melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta mampu meningkatkan pelayanannya kepada stakeholders, (2) perusahaan lebih mudah memperoleh dana pembiayaan yang lebih murah sehingga dapat meningkatkan corporate value, (3) mampu meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dan (4) pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen.
Melihat akan harapan tersebut, maka kebutuhan akan pelaksanaan GCG sudah merupakan kebutuhan yang mendesak bagi suatu perusahaan. Sehingga menjadi keharusan bagi perusahaan-perusahaan untuk menerapkan dan melaksanakan GCG agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Manfaat perusahaan menerapkan praktek GCG adalah resources yang dimiliki pemegang saham perusahaan dapat dikelola dengan baik, efisien dan digunakan semata-mata untuk kepentingan peningkatan nilai perusahaan. Semua itu dilakukan perusahaan untuk dapat maju dan bersaing secara sehat. Hal ini berarti bahwa GCG tidak saja berakibat positif terhadap pemegang saham namun bagi masyarakat luas yang berupa pertumbuhan perekonomian nasional.
Beberapa bukti empiris yang menunjukkan bahwa penerapan GCG dapat memperbaiki kinerja perusahaan antara lain: (1) Penelitian yang dilakukan oleh Winda Putri (2006) terhadap perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ menunjukkan corporate governance secara statistik mempengaruhi kinerja perusahaan, (2) Penelitian yang dilakukan oleh Yudha Pranata (2007) terhadap perusahaan go public di BEJ yang termasuk dalam kelompok sepuluh besar perusahaan berdasarkan indeks GCG menunjukkan bahwa penerapan GCG secara signifikan dapat meningkatkan return on equity, net profit margin dan Tobin's Q, (3) Penelitian yang dilakukan oleh Ridwan Frediawan (2008) terhadap PT Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Persero) menunjukkan bahwa penerapan GCG yang dilakukan perusahaan tersebut mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan yang dapat dilihat dari meningkatnya rasio return on asset. Namun ada penelitian lain yang dilakukan oleh Irene Dumasi Siahaan (2008) terhadap sepuluh perusahaan sektor keuangan yang listing di BEI menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara penerapan GCG terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan economic value added.
Mengacu pada hasil-hasil penelitian empiris yang telah dilakukan, walaupun ada ketidakkonsistenan tampak bahwa bukti empiris tersebut menunjukkan betapa pentingnya penerapan GCG dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan. Dalam kaitan ini maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai "Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Kinerja Keuangan Pada Perusahaan Yang Termasuk Kelompok Sepuluh Besar Menurut Corporate Governance Perception Index (CGPI)". Kinerja keuangan perusahaan dalam penelitian ini diproksi dengan return on investment, return on equity dan net profit margin.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: apakah penerapan GCG berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan secara parsial?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan GCG terhadap kinerja keuangan perusahaan secara parsial.

D. Manfaat Penelitian
Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
1. bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pengaruh penerapan GCG di Indonesia; khususnya pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan,
2. bagi peneliti lainnya, dapat dijadikan bahan referensi guna penelitian selanjutnya yang sejenis,
3. bagi akademisi, dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan mengenai penerapan GCG di Indonesia, khususnya pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan (return on investment, return on equity, dan net profit margin),
4. bagi investor, dapat memberikan bahan masukan untuk pengambilan keputusan mengenai investasi pada perusahaan yang telah menerapkan GCG.