1.1 Latar Belakang Masalah
Sejak 1998 reformasi bergulir, kebijakan politik di tanah air mengalami perubahan. Yang paling nyata adalah perubahan model pemerintahan dari sistem sentralisasi menuju desentralisasi. Perubahan kebijakan tersebut sudah barang tentu menjadi harapan besar bagi masyarakat agar membawa 'angin segar' dalam rangka peningkatan kesejahtraan dan perkembangan demokratisasi di level lokal.
Memang sejak Orde Baru berkuasa, posisi lembaga-lembaga politik publik (DPR/DPRD), mengalami penurunan dari sisi peran dan fungsi. Ketidakberdayaan lembaga wakil rakyat saat itu, membuat keberadaannya tidak bisa berfungsi secara maksimal dalam menyuarakan kepentingan rakyat. Kondisi ini sudah tentu sangat tidak menguntungkan posisi rakyat secara keseluruhan, karena DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota lebih 'fasih' memainkan peran ideologi kekuasaan dari pada ideologi publik yang diwakilinya.
Sementara itu di era Otonomi Daerah yang sekarang diterapkan sesuai dengan UU No.32 taun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah memberi perubahan. Berbeda dengan berbagai undang-undang pemerintahan daerah yang pernah disusun, pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah maka era otonom memilih keseimbangan diantara keduanya. Oleh karena itu, UU No.32 Tahun 2004 dapat disebut sebagai UU yang menggunakan prinsip desentralisasi berkeseimbangan (equilibirium decentralization).
Adapun perbedaan itu adalah :
- UU Nomor 5 tahun 1974 memberikan peranan lebih dominan pada pemerintah daerah
- UU Nomor 22 tahun 1999 memberikan peranan lebih dominan pada DPRD
- UU Nomor 32 tahun 2004 memberikan peranan yang berimbang antara susunan pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) sebagai keseimbangan secara vertikal, maupun keseimbangan antara kepala daerah dan DPRD sebagai keseimbangan secara horisontal.
Prinsip desentralisasi berkeseimbangan sebenarnya justru yang paling sesuai dengan falsafah negara Pancasila menggunakan pendekatan "menang-menang" (win-win approach) dalam pengambilan keputusan ataupun memecahkan masalah, seperti tersirat pada sila keempat yakni "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Melalui desentralisasi berkeseimbangan dapat dilakukan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom secara proporsional dengan mempertimbangkan nilai-nilai efektifitas, efisiensi, keadilan dan kesetaraan, ekonomik serta nilai demokrasi. Dalam bidang urusan pemerintahan yang dialokasikan kepada setiap entitas pemerintahan, sudah tergambar adanya tugas, wewenang, serta tanggung jawab.
Melalui desentralisasi berkeseimbangan, dilakukan pembagian fungsi yang jelas antara kepala daerah dan DPRD. Dalam pengertian desentralisasi terkandung adanya penyerahan kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah. Kewenangan mengatur yang diwujudkan dalam bentuk membuat peraturan daerah sudah seharusnya lebih banyak dijalankan oleh DPRD, sedangkan kepala daerah lebih banyak menjalankan kewenangan mengurus yang bersifat implementasi dari kewenangan mengatur. Oleh karena itu sekarang ada perubahan yang cukup signifikan dimana keberadaan legislatif tidak bisa dipandang sebelah mata oleh jajaran pihak eksekutif, terutama dalam perumusan kebijakan publik. Legislatif (DPRD) sebagai bagian dari sistem pemerintahan daerah merupakan representasi yang mewakili kepentingan publik seharusnya dan sewajarnya lebih terlibat dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan.
Keterlibatan legislatif dalam perumusan kebijakan publik harus dimulai dari proses identifikasi masalah dan kebutuhan masyarakat yang perlu diprioritaskan penanganannya. Perencanaan, penganggaran, proses monitoring dan evaluasi hasil-hasilnya. Namun, sekalipun era Otonomi Daerah membuka keleluasaan yang cukup besar bagi para anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan, akan tetapi tanpa diikuti oleh kualitas sumber daya manusia yang bermutu, maka kualitas produk yang dihasilkan DPRD belum tentu mencerminkan kehendak dan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan, bahkan bisa 'berseberangan' dengan aspirasi masyarakat. Apalagi seperti yang kita ketahui bahwa persyaratan menjadi anggota DPRD adalah pendidikan minima SLTA dan atau sederajat. Karena itulah ada tuntutan dari masyarakat agar para anggota DPRD mampu meningkatkan kualitasnya, baik dari segi pendidikan dan pengalaman yang tentunya akan berdampak terhadap daya kritis, dan sensitifitas terhadap kasus-kasus publik. Dimana hal ini akan berujung ke unsur yang kita sebut kedewasaan atau kematangan.
Pendidikan minimal SLTA atau sederajat diharapkan bisa menjadi salah satu syarat yang membuktikan tingkat kematangan seorang anggota DPR/DPRD baik secara intelektual dan emosional. Kematangan /kedewasaan yang diperoleh lewat adayana pendidikan akan mempengaruhi cara seorang anggota legislatif menyikapi permasalahan/isu publik serta bagaimana mereka menerjemahkan ke dalam suatu kebijakan publik.
Jika dikaitkan antara kinerja anggota legislatif dan kematngan mereka, kita mungkin masih teringat apa yang pernah dikatakan oleh Aim. Gusdur yang mengatakan bahwa anggota DPR itu seperti Taman Kanak-kanak. Namun ternyata ucapan Gusdur tersebut saat ini bukan hanya cocok untuk pernyataan terkait suap tapi juga dalam hal pandai bertengkar dan adu jotos dalam ruang sidang. Anggota DPR saling adu jotos dan bertengkar bukan satu-dua kali terjadi, tapi terlalu sering kita lihat dalam berbagai kesempatan. Dan terakhir adalah kemarin saat dilaksanakanya sidang paripurna terkait kasus Bank Century yang terjadi kericuhan karena banyaknya hujan interupsi dan kemudian ditambah lagi dengan sikap otoriter dari pimpinan sidang yang menutup sidang secara sepihak.
Sebagai wakil rakyat, anggota legislatif diminta punya dan memperlihatkan empati pada rasa keadilan masyarakat. Namun fenomena kemarin menunjukkan mindset dan paradigma para anggota legislatif itu masih jauh dari yang kita harapkan. Jika kondisi seperti itu terus terulang dan terjadi, masyarakat akan pesimis anggota legislatif periode 2009-2014 ini akan menghasilkan sesuatu yang berarti bagi rakyat Indonesia. Padahal rakyat punya harapan besar agar anggota legislatif mampu mendahulukan kepentingan rakyat dengan cara yang pantas dan ber-attitude yang baik.
Sama seperti yang terjadi di Kabupaten X, masyarakat menaruh harapan besar pada DPRD X untuk menunjukkan kinerja yang lebih baik. Harapan semua pihak dan kalangan masyarakat Kabupaten X yang baru saja menyaksikan wakilnya dilantik tanggai 1 Oktober 2009 pada Sidang Paripurna Istimewa DPRD X adalah hasil seleksi ketat dari suara rakyat masyarakat Kabupaten X. Dari 34 anggota DPRD yang terpilih dapat dilihat bahwa 20 orang diantaranya sudah bergelar sarjana (Sl), baik dari jurusan ekonomi, pertanian, dokter gigi, teknik dan hukum. Lebih dari 50% telah memiliki pendidikan sampai jenjang pendidikan formal perguruan tinggi4. Maka implementasi dari suara masyarakat itu, diharapkan tentunya pembangunan menjadi berpihak pada masyarakat. Hal ini adalah sangat penting didengar dan dilaksanakan para wakil rakyat yang telah terpilih kemarin dan merupakan perwakilan rakyat yang dinilai representative sebagaimana suara terbanyak. Mengingat sepertinya terlupakan di masa lampau, bahwa pembangunan di Kabupaten X terkesan berpihak kepada skala yang bukan menjadi hal yang menjadi prinsip penting bagi masyarakat X yang menggantungkan harapan hidupnya 85% di sektor pertanian. Padahal, semua kita ketahui infrastruktur di daerah ini hampir 75% dalam kondisi memprihatinkan khususnya di sentra-sentra produksi pertanian, irigasi dan peternakanDengan kondisi sumber daya alam daerah ini yang memiliki potensi pertanian dan pariwisata, maka seharusnya pembangunan diarahkan ke potensi-potensi ini. Disinilah DPRD dituntut untuk mampu tanggap, kritis dan sensitif menanggapi kebutuhan masyarakat.
Misalnya pada Realisasi Proyek APBD tahun 2009 yang pada umumnya digunakan untuk proyek infrastruktur jalan dan irigasi TA 2009 di sejumlah kecamatan yang jaraknya jauh dari ibukota kabupaten X. Masyarakat menuntut agar DPRD hendaknya turut mengawasi pembangunan di X, khususnya kecamatan-kecamatan yang jauh dari ibukota kabupaten X. Dalam hal ini kinerja anggota DPRD tidak hanya diukur dari PERDA yang mereka keluarkan tapi bagaimana DPRD mampu menggunakan hak inisiatif dewan untuk menunjukkan kapabilitas dan keseriusan dewan memperjuangkan kepentingan masyrakat. Persoalannya, latar belakang anggota DPRD saat ini memainkan peran yang tidak sedikit. Dengan pendidikan dan pengalaman terbatas maka potensi terjadinya distorsi pemahaman dan juga pelaksanaan fungsi dewan memang terbuka lebar.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Hubungan Tingkat Pendidikan dan Kedewasaan dengan Kinerja Anggota DPRD Kabupaten X".
1.2 Perumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah : bagaimanakah hubungan tingkat pendidikan dan kedewasaan dengan kinerja anggota DPRD Kabupaten X?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah pernyataan mengenai ruang lingkup dan kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan masalah yang telah dirumuskan.
Tujuan penelitian ini adalah :
1. untuk mengetahui tingkat pendidikan anggota DPRD Kabupaten X
2. untuk mengetahui kinerja anggota DPRD Kabupaten X
3. untuk menguji apakah ada hubungan tingkat pendidikan dan kedewasaan dengan kinerja anggota DPRD Kabupaten X.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dimaksud mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X mengenai hubungan tingkat pendidikan dan kedewasaan dengan kinerja anggota DPRD.
2. Secara praktis penelitian ini dapat:
a) Sebagai bahan pertimbangan bagi DPRD Kabupaten X untuk dipertimbangkan dalam rangka peningkatan kualitas anggota DPRD.
b) Sebagai penelitian awal yang dapat dimanfaatkan bagi penelitian di masa yang akan datang.