A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu dasar bagi sebuah Negara untuk dapat berkembang. UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 10 ayat 1 mengatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui 2 (dua) jalur, yaitu: Jalur Pendidikan Sekolah dan Jalur Pendidikan Luar Sekolah.
Pendidikan Luar sekolah adalah salah satu jalur pendidikan nasional yang turut bertugas dan bertanggungjawab untuk mengantar bangsa agar siap menghadapi perkembangan jaman dan mampu meningkatkan kualitas hidup bangsa dimasa mendatang.
Pendidiakan luar sekolah diprioritaskan ke dalam beberapa progam, antara lain pemberantasan buta aksara, kejar paket, pendidikan anak usia dini, pendidiakan berkelanjutan, dan lain sebagainya. Dari beberapa program pendidikan luar sekolah tersebut penulis memutuskan untuk menyoroti tentang pemberantasan buta huruf. Karena penulis merasa bahwa program ini berhubungan dengan masyarakat golongan bawah. Jika program ini berhasil diimplementasikan maka dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat golongan bawah.
Di Negara Ghana Program Keaksaraan Fungsional terbentuk sekitar tahun 1987, saat terjadi krisis ekonomi. Seperti yang ditulis oleh Aya Aoki tentang tentang Ghana's national functional literacy program dalam Australian Journal of Adult Learning Volume 45, Number 1, April 2005, menyebutkan "Between 1968 and 1986, in the midst of an economic decline in the country, adult literacy programs were left in the hands of various religious and secular organisations. Realizing the significance of nonformal learning approaches and the need to coordinate different nonformal education activities in the country, the government under the Rawlings administration created the Non-Formal Education Division in the Ministry of Education (NFED/MOE) in 1987. Motivation for the National Functional Literacy Program (NFLP) heightened after the 1989 census showed an adult illiteracy rate of 67% (The World Bank 1992, 1998)." Bahwa diantara tahun 1968-1986, ditengah-tengah krisis ekonomi di Ghana, Program Keaksaraan dijalankan oleh beraneka ragam organisasi-organisasi keagamaan dan duniawi. Dalam merealisasikan pendekatan pendidikan non formal dan kebutuhan untuk mengkoordinasi aktivitas pendidikan non formal yang berbeda di Ghana, pemerintah melalui The Rawlings administration membentuk divisi pendidikan non formal di dalam kementrian pendidikan (NFED/MOE) pada tahun 1987. Program Keaksaraan Fungsional Nasional (NFLP) semakin digencarkan setelah sensus menunjukkan bahwa tahun 1989 penyandang buta aksara di Negara Ghana menunjukkan angka 67% (The World Bank 1992, 1998).
Berbeda dengan di Indonesia, upaya pemberantasan buta huruf di Indonesia sudah dimulai sebelum kemerdekaan atau semasa perang kemerdekaan. Pada waktu itu para pejuang di samping bergerilya, juga memberikan pelajaran membaca dan menulis kepada rekan pejuang lainnya yang masih buta aksara dan kepada masyarakat luas. Setelah kemerdekaan ada program pemberantasan buta aksara yang diselenggarakan melalui kursus-kursus PBH, yang lazim disebut "Kursus ABC".
Kemudian pada tahun 1964 dilakukan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) secara tradisional dan tahun 1965 Indonesia menyatakan bebas buta huruf, akan tetapi berdasarkan sensus tahun 1970 ternyata jumlah buta huruf masih mencapai 31 %. Oleh karena itu, mulai permulaan dekade tahun 70-an, dirintis program pemberantasan buta huruf gaya baru yang dikenal dengan Kejar Paket A, dan pada tahun 1995 mulai dikembangkan program Keaksaraan Fungsional (KF) yang sekarang ini menurut UU Nomor 20 tahun 2003 diistilahkan dengan Pendidikan Keaksaraan.
Program Pemberantasan Buta Huruf atau yang sekarang disebut dengan Program Keaksaraan Fungsional, merupakan suatu program yang dimaksudkan untuk melayani warga masyarakat yang tidak sekolah dan atau putus sekolah dasar sehingga memiliki kemampuan keaksaraan. Program ini memiliki tujuan untuk memberdayakan warga belajar agar mampu membaca, menulis, berhitung dan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Program Keaksaraan Fungsional merupakan bagian integral pengentasan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan dalam kerangka makro pengembangan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Pemberantasan buta huruf menjadi sangat penting dan strategis mengingat pendidikan penduduk Indonesia masih rendah.
Sampai sekarang status tingkat keaksaraan di Indonesia masih belum menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya daerah yang masyarakatnya masih menyandang status buta aksara. Sebagai contoh, rekapitulasi data di Kecamatan X Kabupaten X bawah ini, menggambarkan bahwa masih banyak kepala keluarga yang tidak tamat SD, dimana hal ini akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan hidup.
Upaya mengatasi tantangan diatas, Direktorat Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda berusaha untuk mengintensifkan pelaksanaan program Keaksaraan Fungsional. Dengan peningkatan program tersebut, diharapkan dapat menekan laju tingkat kebutaaksaraan di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Dakar pada tahun 2000, dimana pada tahun 2015 tingkat keaksaraan harus mencapai 50% untuk usia 15 sampai 44 tahun. Sementara tekad pemerintah sekarang, yakni menetapkan kebijakan pengurangan penduduk buta aksara 15 tahun ke atas hingga tinggal 5% pada tahun 2009, sedangkan penyandang buta aksara di Indonesia saat ini mencapai 12, 8 juta orang (8, 07%).
Program Keaksaraan Fungsional diharapakan mampu menekan tingkat kebutaaksaraan diatas. Adapun tujuan Program keaksaraan fungsional yaitu:
a. Warga belajar diharapkan dapat menggunakan hasil belajar untuk mengatasi masalah kehidupan sendiri.
b. Warga belajar termotifasi untuk menemukan jalan sumber-sumber kehidupannya.
c. Warga dapat menjalani kehidupan yang efektif.
d. Warga mampu memanfaatkan sumber-sumber penghidupan yang dimiliki.
e. Warga mampu menggali, mempelajari pengetahuan, ketrampilan dan sikap sehingga memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat dan bangsa.
Sedangkan sasaran Program Keaksaraan Fungsional yaitu:
a. Warga belajar yang tidak bisa membaca, menulis dan berhitung murni.
b. Warga belajar yang DO kelas 1 sampai kelas 3 SD.
c. Warga belajar yang tidak mempunyai ketrampilan.
Program Keaksaraan Fungsional dibagi ke dalam 3 tahap pembelajaran, yaitu:
1. Tahap Pemberantasan
Pada tahap ini, diperuntukkan bagi mereka yang belum memiliki ketrampilan dasar calistung (membaca, menulis dan berhitung), belum mengenal huruf, belum bisa merangkai kata lancer, dan belum mengerti arti sebuah kalimat dengan jelas. Tahap ini adalah bagaimana membantu warga belajar buta huruf murni agar dapat menulis, membaca dan berhitung sebdiri secara sederhana, dengan menggunakan teknik-teknik yang telah ditentukan bersama.
2. Tahap Pembinaan
Pada tahap ini, warga belajar sudah dapat membaca, menulis serta memiliki pengetahuan dan pengalaman, namun mereka belum memiliki kemampuan fungsional. Mereka jarang menggunakan ketrampilan calistung dalam kehidupan sehari-hari. Ketrampilan mereka juga belum cukup untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, sehingga pada tahap ini tutor (guru) dapat membantu mereka dengan menggunakan bahan belajar dari kehidupan sehari-hari dan membantu mereka dalam mengembangkan kemampuan fungsionalnya untuk memecahkan masalah yang ada di sekelilingnya.
3. Tahap Pelestarian
Pada tahap pelestarian dimaksudkan untuk membentuk sikap warga belajar agar terus lestari belajar. Untuk itu perlu diupayakan bahan belajar yang memadahi dan sesuai dengan minat dan kebutuhan warga belajar. Tahap ini warga belajar dapat memilih topic belajar dan membuat rencana belajar, menilai kemampuan kelompok belajar, menulis laporan, menulis proposal, membuat jaringan kerja dengan instansi lain dan membuat pusat belajar masyarakat, serta dapat memanfaatkan keaksaraan dalam kehidupan sehari-hari.
Sampai saat ini pelaksanaan Program Keaksaraan Fungsional masih berlangsung. Namun tahap pertama telah selesai bulan Januari tahun 2007 silam. Oleh karena itu, penulis mengambil judul "EVALUASI IMPLEMENTASI PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL TAHAP PEMBERANTASAN DI DESA X KECAMATAN X KABUPATEN X". Penulis memutuskan untuk mengambil judul tersebut karena, penulis melihat bahwa program ini perlu dievaluasi untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diberikan tahap pemberantasan dari Program Keaksaraan Fungsional tersebut bagi para sasaran program. Apakah tahap pertama Program Keaksaraan Fungsional memberikan dampak sesuai dengan apa yang diinginkan, apakah tujuan yang ingin dicapai program tersebut telah sesuai dengan hasil nyata yang terjadi di masyarakat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis merumuskan perumusan masalah, yaitu:
- Bagaimana proses pelaksanaan Program Keaksarran Fingsional Tahap Pemberantasan di Desa X Kecamatan X Kabupaten X?
- Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Pelaksanaan Program Keaksaraan Fungsional di Desa X Kecamatan X Kabupaten X?
- Bagaimana kemanfaatan Program Keaksaraan Fungsional terhadap sasaran program?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui keberhasilan program Keaksaraan Fungsional Tahap Pemberantasan di Desa Xpandeyan
2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan Program Keaksaraan Fungsional Tahap Pemberantasan di Desa X
3. Untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan (S-1) Ilmu Administrasi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Pendidikan Luar Sekolah
Diharapkan dapat menjadi masukan dan evaluasi terhadap pemberantasan buta aksara yang telah dilakukan
2. Bagi Pembaca
Karya ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan informasi tentang pemberantasan buta aksara
3. Bagi Penulis
Karya ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memberikan informasi tentang pemberantasan buta aksara. Serta merupakan syarat kelulusan S-1.