Search This Blog

SKRIPSI PGSD KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU DALAM PEMBELAJARAN SENI MUSIK KELAS V

(KODE : PENDPGSD-0040) : SKRIPSI PGSD KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU DALAM PEMBELAJARAN SENI MUSIK KELAS V

contoh skripsi pgsd kelas v

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dunia berkembang begitu pesatnya. Segala sesuatu yang semula tidak dapat dikerjakan menjadi mudah dikerjakan oleh orang lain. Agar tidak tertinggal dan ditinggalkan oleh era yang berubah cepat, maka manusia sadar bahwa pendidikan itu sangat penting.
Banyak negara mengakui bahwa persoalan pendidikan merupakan persoalan yang pelik. Namun semuanya merasakan bahwa pendidikan merupakan salah satu tugas negara yang amat penting. Bangsa yang ingin maju, membangun, dan berusaha memperbaiki keadaan masyarakat. Dunia sudah mengakui bahwa pendidikan merupakan kunci keberhasilan suatu bangsa.
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia. Dengan pendidikan, manusia mempunyai sikap bertanggung jawab dan dapat mengembangkan kemampuan dan bakat secara optimal. Oleh karena itu kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi anak usia sekolah perlu ditingkatkan, terutama pada tingkat sekolah dasar. Sekolah dasar merupakan tahap awal yang harus dilalui seseorang untuk dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan sekolah dasar merupakan satuan pendidikan formal pertama yang mempunyai tanggung jawab untuk dapat mengembangkan sikap dan kemampuan dasar bagi siswa agar dapat menyesuaikan diri di lingkungan masyarakat. Sebagaimana tercantum pada PP No. 28 tahun 2005 tentang tujuan pendidikan dasar yaitu : "Pendidikan dasar memberikan bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan kehidupan sebagai pribadi, anggota, masyarakat, dan warga negara serta mempersiapkan siswa untuk mengikuti pendidikan menengah".
Proses pendidikan yang ada di sekolah pada umumnya berlangsung melalui kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang terjadi merupakan proses belajar mengajar yang terjadi antara guru dan siswa. Guru sangat berperan penting dalam kegiatan pembelajaran, sehingga proses belajar mengajar yang berlangsung dapat mencapai tujuan dari pembelajaran.
Proses belajar mengajar merupakan proses yang mengandung serangkaian tindakan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Interaksi inilah yang menjadi syarat utama dalam berlangsungnya proses belajar mengajar, sehingga kedudukan guru sangat penting dalam mencapai tujuan Pendidikan Nasional (Usman, 2006 : 4).
Sesuai dengan UU RI No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 1 ayat 1 yaitu : Guru adalah pendidik profesional yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah, termasuk pendidikan anak usia ini.
Guru merupakan jabatan atau profesi yang menuntut keahlian khusus. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-syarat khusus, guru profesional harus menguasai betul seluk beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan penjabatan. Sebutan guru profesional juga mengacu kepada pengakuan terhadap kompetensi penampilan unjuk kerja seorang guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya (Djam'an, 2007 : 1.3).
Guru harus memiliki 4 Kompetensi yang dikuasai, salah satunya yaitu kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pengenalan karakteristik peserta didik, penguasaan prinsip-prinsip belajar dan teori pembelajaran, pengembangan kurikulum, pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang mendidik, serta penilaian dan evaluasi (Antonius, 2015 : 115). Berdasarkan uraian tersebut, salah satu hal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah kompetensi pedagogik guru. Keberhasilan peserta didik dalam memahami pengetahuan dalam pembelajaran dan mengembangkan potensi yang dimilikinya sangat tergantung pada kompetensi yang dimiliki oleh guru dalam mengajar.
Pembelajaran seni musik merupakan salah satu bidang seni dalam mata pelajaran SBK yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan kreativitas seni pada siswa. Pembelajaran seni musik mencakup kemampuan untuk menguasai olah vokal, memainkan alat musik, apresiasi karya musik dengan menyesuaikan kemampuan sumber daya manusia dan fasilitas di sekolah tersebut. Dalam pembelajaran seni musik guru perlu merencanakan, memilih, serta mempersiapkan pembelajaran dengan baik agar kegiatan yang dilakukan dapat mengembangkan potensi seni yang ada dalam diri siswa. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran guru harus mampu menggunakan variasi mengajar yang sesuai dengan tujuan, materi, serta kebutuhan siswa sehingga guru dapat melakukan evaluasi pembelajaran yang telah dilaksanakan. Oleh karena itu, penguasaan kompetensi pedagogik guru sangat berperan dalam pembelajaran seni musik tersebut, guru harus mampu memahami potensi peserta didik untuk menciptakan pembelajaran seni musik yang menarik bagi siswa, menguasai materi pembelajaran yang tercakup dalam standar isi, dan mengelola pembelajaran sesuai dengan fasilitas yang tersedia di sekolah.
Peran guru sangat menentukan keberhasilan peserta didiknya, karena guru lah yang sehari-hari secara langsung berinteraksi sepenuhnya dengan siswanya dan mengetahui perkembangan peserta didiknya. Guru sebagai ujung tombak dalam melaksanakan pembelajaran di kelas semestinya mempunyai kompetensi mengajar yang mampu mengelola pembelajaran dengan baik.
Berdasarkan uraian diatas bahwa salah satu hal yang mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah kompetensi guru. Keberhasilan peserta didik dalam memahami pengetahuan dalam pembelajaran dan mengembangkan potensi yang dimilikinya sangat tergantung pada kompetensi yang dimiliki oleh guru dalam mengajar. Berdasarkan pemantauan implementasi standar nasional pendidikan yang dilakukan oleh BSNP (2009) mengenai standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru, guru yang sudah menguasai sub kompetensi pedagogik sebanyak 42%, guru telah menguasai kompetensi kepribadian sebanyak 76%, guru telah menguasai kompetensi sosial sebanyak 75%, dan guru yang telah menguasai kompetensi profesional sebanyak 39% guru.
Pentingnya seorang guru memiliki kompetensi pedagogik bertujuan agar guru mampu mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, penguasaan teori belajar dan prinsip pembelajaran, pengembangan kurikulum, pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang mendidik, pengembangan potensi peserta didik dan melakukan penilaian dan evaluasi pembelajaran. Selanjutnya guru dapat mengerti banyak model dan media pembelajaran serta dapat menguasai materi pelajaran yang akan diajarkan pada peserta didik seperti halnya dalam pembelajaran seni musik.
Berdasarkan jurnal penelitian yang dilakukan oleh Khoirul Ummah, dkk, pada tahun 2013 dengan judul penelitian "ANALISIS KOMPETENSI GURU MATEMATIKA BERDASARKAN PERSEPSI SISWA" hasil penelitian menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik yang dimiliki guru matematika termasuk dalam kategori baik sekali, begitu juga kompetensi profesional yang dimiliki guru matematika masuk pada kategori baik sekali. Sehingga kompetensi guru matematika tersebut sudah terpenuhi atau tercapai dengan kata lain guru matematika di sekolah tersebut kompeten dalam bidangnya.
Hasil jurnal penelitian yang dilakukan oleh Anik Widiastuti pada tahun 2012 dengan judul "KOMPETENSI MENGAJAR GURU IPS SMP DI KABUPATEN SLEMAN". Hasil penelitian menunjukkan kompetensi mengajar guru SMP di Kabupaten Sleman didominasi oleh guru yang memiliki kompetensi mengajar dalam kategori sedang. Sementara itu yang termasuk dalam kategori rendah hanya sebagian kecil dari seluruh responden yaitu sebanyak 10,96%. Hal tersebut menunjukkan bahwa guru IPS SMP di Kabupaten Sleman telah memiliki kompetensi yang memadai, karena yang tergolong dalam kategori rendah hanya sebagian kecil, yaitu 10,96% saja.
Hal tersebut dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Irma Febrianis, dkk, pada tahun 2014 dengan judul "PEDAGOGICAL COMPETENCE-BASED TRAINING NEEDS ANALYSIS FOR NATURAL SCIENCE TEACHERS". Hasil jurnal penelitian menunjukkan bahwa kompetensi pedagogik yang dikuasai guru IPA SMP di Pekanbaru di bawah standar. Tingkat penguasaan kompetensi pedagogik guru IPA SMP Pekanbaru masih dibawah standar ideal yang minimal harus mencapai 7,0.
Berdasarkan temuan tersebut, peneliti ingin mengkaji sejauh mana kompetensi pedagogik yang dimiliki guru dalam pembelajaran seni musik kelas V SD X. Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka peneliti akan melakukan penelitian deskriptif dengan judul "KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU DALAM PEMBELAJARAN SENI MUSIK KELAS V SD X".

SKRIPSI PGSD KINERJA GURU DALAM PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPS BERBASIS KTSP KELAS V

(KODE : PENDPGSD-0039) : SKRIPSI PGSD KINERJA GURU DALAM PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPS BERBASIS KTSP KELAS V

contoh skripsi pgsd kelas v

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan. Kualitas pendidikan suatu bangsa pun akan mempengaruhi maju dan tidaknya bangsa itu sendiri. Dalam Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 BAB I Pasal 1, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 menyebutkan bahwa fungsi dari pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu melalui perkembangan kurikulum. Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2015).
Pada tahun 2006 terdapat kurikulum baru yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang sering disebut dengan KTSP 2006 menurut Permendikbud No. 61 Tahun 2014 Pasal 1 adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang dikembangkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Karakteristik KTSP yaitu berbasis kompetensi dan karakter, proses pembelajaran menggunakan EEK (eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi), serta menggunakan penilaian berbasis kelas. Tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum (Mulyasa 2011 : 22).
Struktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi meliputi delapan mata pelajaran, muatan lokal, dan pengembangan diri.
Delapan mata pelajaran tersebut antara lain pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Umu Pengetahuan Sosial, seni budaya dan keterampilan, serta pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan.
Mengacu pada standar isi, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran terpadu yang diwajibkan pada tingkat pendidikan dasar. IPS merupakan mata pelajaran yang memberikan informasi baru seperti seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu-isu sosial yang bersumber dari kehidupan sosial masyarakat (Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Nasional, 2007). Dalam era globalisasi, IPS menjadi salah satu ilmu dasar untuk meraih informasi dari berbagai penjuru dunia. Tujuan pendidikan IPS berorientasi pada tingkah laku peserta didik, yaitu : 1) pengetahuan dan pemahaman, 2) sikap hidup belajar, 3) nilai-nilai sosial dan sikap, 4) keterampilan. Tercapai tidaknya tujuan tersebut ditentukan oleh kualitas pembelajaran dan guru sebagai faktor utama dalam proses pembelajaran (Hamalik dalam Hidayati 2008 : 1-24).
Dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Bab I Pasal 1 dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Dalam proses pembelajaran, kinerja guru merupakan faktor utama yang akan menentukan berhasil atau tidaknya suatu kegiatan pembelajaran. Menurut Rusman (2014 : 50), kinerja guru adalah kegiatan guru dalam proses pembelajaran, yaitu bagaimana seorang guru merencanakan pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar sesuai yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang standar proses. Apabila seorang guru telah membuat perencanaan pembelajaran yang matang namun tidak didukung dengan pelaksanaan pembelajaran yang optimal, maka pembelajaran tersebut belum dapat dikatakan berhasil.
Demikian pula dalam pelaksanaan pembelajaran IPS. Materi IPS yang banyak mengharuskan guru untuk menciptakan suasana pembelajaran yang mendukung. Guru harus dapat menghilangkan pandangan siswa mengenai pembelajaran IPS yang membosankan dan terkesan hanya transfer pengetahuan. Dengan demikian kinerja guru, terutama dalam pelaksanaan pembelajaran harus lebih ditingkatkan, yaitu menyesuaikan pembelajaran dengan RPP yang telah dibuat sehingga meminimalisir improvisasi, menggunakan metode dan media pembelajaran yang bervariasi, serta mengembangkan keterampilan dasar mengajar.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada SD Negeri X, bahwa kinerja guru dalam pelaksanaan pembelajaran tergolong baik. Kinerja guru dalam pelaksanaan pembelajaran IPS telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang standar proses, antara lain guru telah menggunakan metode dan media pembelajaran yang bervariasi dan sesuai dengan pembelajaran IPS, sumber belajar mata pelajaran IPS diambil dari berbagai sumber, serta guru telah mengembangkan keterampilan dasar mengajar.
Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji kinerja guru dalam pelaksanaan pembelajaran IPS di SD Negeri X. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk mengetahui kinerja guru yang ideal terutama dalam pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan standar proses yang telah ditetapkan.
Penelitian yang relevan dengan hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ida Waluyati pada tahun 2012 dengan judul "EVALUASI PROGRAM PEMBELAJARAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL SMP/MTS DI KOTA BIMA". Penelitian tersebut menggunakan analisis data dengan teknik deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk memberikan gambaran nyata tentang pelaksanaan pembelajaran IPS SMP/MTS di kota Bima. Berdasarkan hasil analisis data, kesesuaian antara pelaksanaan proses pembelajaran IPS di kota Bima dengan standar proses pendidikan berada pada kategori cukup baik atau cukup sesuai. Terdapat 27,27% guru IPS yang termasuk dalam kategori baik atau sesuai dan 9,09% termasuk dalam kategori kurang baik atau kurang sesuai.
Penelitian lain yang relevan dalam hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Riana Sri Palupi pada tahun 2013 yang membahas mengenai pembelajaran IPS. Judul penelitannya adalah "PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPS DI SMK NASIONAL PATI". Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran IPS di SMK Nasional Pati cukup baik, meskipun terdapat keterbatasan dana, sarana prasarana, dan jumlah guru. Pelaksanaan pembelajaran IPS dilakukan sesuai dengan rencana yang disusun. Media pembelajaran berbasis teknologi seperti LCD pun sudah digunakan dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti mengkaji permasalahan melalui penelitian deskriptif kualitatif dengan judul "KINERJA GURU DALAM PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPS BERBASIS KTSP KELAS V SD NEGERI X".

SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN TEKNIK QUICK ON THE DRAW TERHADAP MINAT DAN HASIL BELAJAR SUMBER DAYA ALAM SISWA KELAS IV

(KODE : PENDPGSD-0038) : SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN TEKNIK QUICK ON THE DRAW TERHADAP MINAT DAN HASIL BELAJAR SUMBER DAYA ALAM SISWA KELAS IV

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena pendidikan dapat mempengaruhi perkembangan manusia dalam seluruh aspek kepribadian dan kehidupannya. Pendidikan dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki manusia secara optimal, yaitu pengembangan potensi individu yang setinggi-tingginya dalam aspek fisik, intelektual, emosional, sosial, dan spiritual, sesuai dengan tahap perkembangan serta karakteristik lingkungan fisik dan lingkungan sosio-budaya dimana dia hidup (Taufiq 2010 : 1.2).
Crow and crow (1960) dalam Taufiq (2010 : 1.3) mengemukakan bahwa harus diyakini fungsi utama pendidikan adalah bimbingan terhadap individu manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya sehingga dia memperoleh kepuasan dalam seluruh aspek kehidupan pribadi dan kehidupan sosialnya. Pernyataan tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Dasar, Fungsi, dan Tujuan pasal 3 menyebutkan : 
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, maka perlu diwujudkan melalui pendidikan yang bermutu di setiap satuan pendidikan. Salah satu upaya untuk menciptakan pendidikan yang bermutu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab IV Standar Proses pasal 19 yaitu dengan menyelenggarakan proses pembelajaran pada satuan pendidikan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Rochman Natawidjaja (Taufiq 2010 : 5.21) mengemukakan lima unsur yang mempengaruhi kegiatan belajar siswa di sekolah, yaitu unsur tujuan, pribadi siswa, bahan pelajaran, perlakuan guru, dan fasilitas. Guru adalah faktor kunci dalam kegiatan belajar anak di sekolah. Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam keseluruhan program pendidikan di sekolah karena sebagai manajer pembelajaran, membuat rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran secara efektif, menguasai materi dan metode pembelajaran, mengevaluasi proses dan hasil belajar, memotivasi dan membantu tiap anak untuk mencapai prestasi belajar secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangan dan kesempatan yang dimiliki anak.
Guru harus mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga bisa membuat siswa merasa nyaman, aktif dan berminat mengikuti proses pembelajaran yang nantinya bisa berpengaruh terhadap perolehan hasil belajar siswa. Hal ini disebabkan karena hasil belajar siswa dipengaruhi oleh proses pembelajaran yang baik. Proses pembelajaran yang baik harus disesuaikan dengan karakteristik perkembangan dari siswa, sehingga siswa dapat menerima dan memahami materi dengan baik.
Sanjaya (2009 : 135) mengemukakan bahwa dalam standar proses pendidikan, pembelajaran didesain untuk membelajarkan siswa. Artinya, sistem pembelajaran menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dengan kata lain, pembelajaran ditekankan atau berorientasi pada aktivitas siswa. Pembelajaran yang berorientasi pada siswa ditegaskan pula oleh Silberman (2009 : 6) bahwa ketika belajar secara pasif, siswa mengalami proses tanpa rasa ingin tahu, tanpa pertanyaan, dan tanpa daya tarik pada hasil. Ketika belajar secara aktif, siswa mencari sesuatu. Siswa ingin menjawab pertanyaan, memerlukan informasi untuk menyelesaikan masalah, atau menyelidiki cara untuk melakukan pekerjaan. Dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran IPA guru harus mampu menggunakan model pembelajaran yang bisa mengaktifkan siswa sehingga siswa berminat untuk ikut serta dalam pembelajaran dan menjadi tertarik untuk belajar IPA.
Pembelajaran yang berorientasi pada siswa menuntut guru untuk kreatif dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Salah satu cara yang digunakan agar siswa terlibat aktif dalam pembelajaran yaitu dengan penggunaan model pembelajaran tertentu. Semua mata pelajaran membutuhkan penerapan model, metode dan teknik pembelajaran tertentu. Namun dalam penerapannya tetap perlu disesuaikan dengan materi yang akan diajarkan, karena tidak semua model, metode dan teknik dapat digunakan untuk semua materi. Salah satu mata pelajaran yang perlu menggunakan model pembelajaran yang sesuai yaitu mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
Sesuai dengan pendapat Darmodjo (1992) dalam Samatowa (2011 : 3) bahwa IPA secara singkat dapat diartikan sebagai pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta dan segala isinya. Maka dengan mata pelajaran IPA diharapkan dapat melatih siswa untuk berpikir kritis dan objektif. IPA merupakan mata pelajaran yang mempelajari alam dan lingkungan sekitar. IPA penting bagi siswa karena dengan IPA, diharapkan siswa dapat mengenal lingkungan alam dan sumber daya yang ada di sekitarnya, sehingga dapat menggunakan sumber daya alam tersebut dengan sebaik-baiknya serta dapat memelihara, menjaga dan melestarikannya. Maka salah satu materi IPA yang ada di SD kelas IV semester 2 yaitu materi tentang sumber daya alam. Dengan materi sumber daya alam siswa bisa menjadi mengetahui arti dari sumber daya alam, jenis-jenis sumber daya alam, dan cara memanfaatkannya.
Samatowa (2011 : 2) menjelaskan bahwa pembelajaran IPA di SD hendaknya membuka kesempatan bagi siswa untuk memupuk rasa ingin tahu siswa secara alamiah. Hal ini akan membantu mereka mengembangkan kemampuan bertanya dan mencari jawaban atas berdasarkan bukti serta mengembangkan cara berpikir ilmiah. Fokus pembelajaran IPA di SD ditujukan untuk memupuk minat dan pengembangan anak didik terhadap dunia mereka dimana mereka hidup. Selain itu, dalam pembelajaran IPA seorang guru dituntut untuk dapat mengajak siswa memanfaatkan alam sekitar sebagai sumber belajar.
Hurriyati (2010) berpendapat bahwa IPA tidak dapat diajarkan sebagai suatu materi pengetahuan, yang disampaikan dengan metoda ceramah melainkan melalui pembelajaran siswa aktif. Namun dalam kenyataannya guru belum banyak menerapkan model pembelajaran inovatif yang mampu mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran di sekolah. Guru masih lebih suka mengajar dengan model pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered instruction).
Philip R Wallace (Sunarto : 2009) mengatakan bahwa dalam pembelajaran yang berpusat pada guru, guru hanya mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa lebih banyak sebagai penerima. Pembelajaran model tersebut biasa disebut dengan pembelajaran konvensional. Hal ini diungkapkan oleh Brooks dan Brooks (1993) dalam Warpala (2009) penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih menekankan kepada tujuan pembelajaran berupa penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses "meniru" dan siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari melalui kuis atau tes standar.
Hamdani (2011 : 166) menyebutkan dalam pembelajaran konvensional juga dikenal adanya belajar kelompok, namun memiliki perbedaan yang prinsipil dengan kerja kelompok di pembelajaran kooperatif diantaranya yaitu memfokuskan pada prestasi individu, dalam proses belajar hanya sedikit terjadi proses diskusi antar siswa, kemampuan sosial diabaikan, pembentukan kelompok diabaikan bahkan tidak ada, yang ada berupa kelompok besar yaitu kelas.
Pembelajaran yang masih berpusat pada guru juga disampaikan oleh guru kelas IV SD X, bahwa pembelajaran IPA masih dilaksanakan secara konvensional, guru masih mendominasi proses pembelajaran dan menyajikan pembelajaran dengan metode pembelajaran yang monoton yaitu ceramah, pemberian soal latihan dan pekerjaan rumah serta jarang menggunakan media pembelajaran. Kurangnya variasi dalam proses pembelajaran ini akan berpengaruh terhadap partisipasi dan perhatian siswa terhadap materi pelajaran, padahal partisipasi dan perhatian merupakan beberapa tanda bahwa siswa memiliki minat untuk belajar pelajaran tersebut. Padahal minat memiliki peranan yang penting dalam proses belajar siswa.
Minat merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi belajar siswa. Menurut Sunarto (2009) apabila seseorang memiliki minat yang besar terhadap suatu hal maka akan terus berusaha untuk melakukan sehingga apa yang diinginkannya dapat tercapai sesuai dengan keinginannya. Apabila minat belajar siswa terhadap IPA kurang, maka bisa berdampak juga pada hasil belajar siswa kurang baik. Ini terbukti dari data yang peneliti peroleh di sekolah tempat penelitian, prosentase hasil belajar siswa yang mendapatkan nilai di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada mata pelajaran IPA masih kurang dari 75%. Hasil belajar tersebut menunjukkan guru perlu mengadakan variasi dalam pembelajaran yang dapat memudahkan pemahaman siswa serta dapat menumbuhkan bahkan meningkatkan minat siswa terhadap mata pelajaran IPA.
Alternatif yang sesuai dengan permasalahan tersebut yaitu menerapkan model pembelajaran kooperatif. Dengan model pembelajaran ini, keaktifan dan kemampuan interaksi siswa dapat meningkat. Suprijono (2012 : 54) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Menurut Johnson, Johnson and Holubec (2010), "Cooperative learning is the instructional use of small groups so that students work together to maximize their own and each other's learning". Pendapat tersebut bermakna bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil sehingga siswa bekerja sama untuk memaksimalkan diri mereka dan untuk belajar satu sama lain.
Model pembelajaran kelompok menurut Sanjaya (2009 : 241) yaitu rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Empat unsur penting dalam pembelajaran kooperatif yaitu adanya : (1) peserta dalam kelompok; (2) aturan kelompok; (3) upaya belajar setiap anggota kelompok; (4) tujuan yang harus dicapai. H. Karli dan Yuliariatiningsih dalam Hamdani (2011 : 165) juga menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif adalah strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri atas dua orang atau lebih.
Prinsip pembelajaran kelompok pada pembelajaran kooperatif menurut Hamdani (2011 : 166) diantaranya yaitu (1) memfokuskan pada prestasi kelompok. (2) Sesama anggota kelompok akan saling membantu, mendorong, dan saling memotivasi dalam proses belajar. (3) Setiap anggota kelompok akan saling bertanggung jawab demi tercapainya kerja kelompok yang optimal. (4) Kepemimpinan menjadi tanggung jawab semua anggota kelompok.
Selain itu, ada 5 bagian dasar dari kooperatif menurut Johnson and Johnson (2010 : 8-9) yaitu : (1) Harus ada rasa saling ketergantungan positif yang kuat, jadi setiap individu-individu percaya mereka berhubungan dengan yang lain sehingga mereka tidak dapat sukses kecuali dengan bekerja sama. (2) Setiap anggota kelompok harus menjadi pribadi yang bertanggung jawab untuk bekerja atas bagian pekerjaannya. (3) Teman bekerja sama harus berkesempatan untuk mengembangkan kesuksesan yang lain dengan saling membantu, mendorong, dan saling memuji dengan yang lainnya untuk berusaha agar berprestasi. (4) Kerjasama memerlukan keterampilan dalam berhubungan dan kelompok kecil, seperti kepemimpinan, membuat keputusan, membangun kepercayaan, dan keterampilan mengatasi permasalahan. (5) Kelompok kooperatif memerlukan proses berkelompok, yang mana keberadaannya ketika anggota kelompok berdiskusi bagaimana baiknya mereka mencapai tujuan mereka dan mempertahankan hubungan kerjasama.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa pembelajaran kooperatif selain memberikan aktivitas belajar yang menyenangkan bagi siswa dan bisa mengaktifkan siswa di kelas, pembelajaran kooperatif juga ternyata memiliki manfaat melatih kemampuan sosial siswa. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat dari Kagan bahwa "cooperative learning has a positive impact on the social skills of students" yang artinya yaitu pembelajaran kooperatif memiliki dampak positif pada keterampilan sosial siswa. Pembelajaran kooperatif membelajarkan siswa untuk bertanggung jawab dan bekerjasama dengan teman anggota sekelompok untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah secara bersama-sama.
Salah satu teknik dari model kooperatif yaitu teknik quick on the draw. Teknik quick on the draw merupakan salah satu teknik pembelajaran yang berlandaskan konsep pembelajaran kooperatif yang digagas oleh Paul Ginnis. Dalam teknik ini Ginnis menginginkan agar siswa bekerja sama secara kooperatif pada kelompok-kelompok kecil dengan tujuan untuk menjadi kelompok pertama yang menyelesaikan satu set pertanyaan yang telah disiapkan oleh guru (Syahrir 2012). Quick on the draw dapat diartikan berpikir cepat atau mengambil dengan cepat (Echols dan Shadily 2000 : 197).
Teknik quick on the draw termasuk dalam pembelajaran kooperatif karena jika dilihat dari langkah-langkah pelaksanaannya teknik quick on the draw ini memuat unsur-unsur penting yang ada dalam pembelajaran kooperatif. Langkah-langkah kegiatan pembelajaran teknik quick on the draw yaitu guru menyiapkan satu set pertanyaan. Tiap pertanyaan ditulis di kartu yang berbeda dengan warna kertas yang berbeda. Letakkan satu set pertanyaan tersebut di atas meja guru. Kelas dibagi menjadi 3 atau 4 kelompok. Berikan setiap kelompok materi sumber. Saat permainan mulai, satu orang dari kelompok lari ke meja guru mengambil pertanyaan pertama. Dengan menggunakan sumber materi, kelompok menjawab dan menulis jawaban di lembar terpisah. Jawaban dibawa ke guru oleh orang kedua, guru memeriksa jawaban, jika jawabannya akurat dan lengkap, pertanyaan kedua mereka ambil begitu seterusnya. Yang menjadi pemenang adalah kelompok yang pertama menjawab semua pertanyaan.
Teknik pembelajaran quick on the draw ini sangat sesuai dengan karakteristik anak sekolah dasar. Sesuai dengan pendapat Hurlock (2008 : 146) yang menyebutkan bahwa masa anak sekolah dasar merupakan masa berkelompok dan masa bermain. Selain itu, menurut Danim (2010 : 62) keterampilan motorik pada anak usia sekolah dasar, salah satu diantaranya bahwa anak-anak suka lari. Dengan menerapkan teknik pembelajaran quick on the draw maka guru sudah menerapkan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan harapannya dapat meningkatkan keaktifan siswa, minat dan hasil belajar siswa.
Sampai saat ini teknik pembelajaran quick on the draw belum banyak digunakan dalam proses pembelajaran khususnya materi sumber daya alam. Oleh karena itu, peneliti tertarik ingin mengetahui : KEEFEKTIFAN TEKNIK QUICK ON THE DRAW DALAM PEMBELAJARAN IPA KHUSUSNYA MATERI SUMBER DAYA ALAM DI KELAS IV.

SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN STRATEGI CARD SORT DALAM PEMBELAJARAN IPS KELAS III

(KODE : PENDPGSD-0037) : SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN STRATEGI CARD SORT DALAM PEMBELAJARAN IPS KELAS III

contoh skripsi pgsd

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam menjalani keberlangsungan pembangunan suatu bangsa. Pendidikan juga merupakan sebuah proses penting dalam kehidupan manusia, karena melalui proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan sebagai seorang manusia yang utuh dan sebenarnya. Menurut Munib, dkk (2011 : 34), pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi siswa agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 Ayat 1 pengertian pendidikan yaitu sebagai berikut : 
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual-keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.
Tujuan yang ingin dicapai setelah seseorang memperoleh pendidikan yaitu adanya perubahan dalam diri orang tersebut ke arah yang lebih baik seperti, dari belum tahu menjadi tahu dan yang sebelumnya tidak memiliki keterampilan kemudian memiliki keterampilan. Dalam Bab II Pasal 3 Undang-Undang tersebut, dinyatakan bahwa : 
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, pemerintah secara bertahap berusaha meningkatkan kualitas pendidikan pada setiap jenjang pendidikan. Salah satu usaha yang dilakukan yaitu dengan dicanangkannya program wajib belajar 9 tahun. Program tersebut ditempuh pada jenjang pendidikan dasar, yaitu Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Bab X Pasal 37 Ayat 1 dinyatakan bahwa "pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat". Untuk mewujudkan pendidikan wajib belajar 9 tahun yang berkualitas, pemerintah menentukan standar pelaksanaan pendidikan yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah, yang menyatakan bahwa : 
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran, serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.
Berdasarkan Permendikbud tersebut, pembelajaran harus dilakukan dengan efektif dan efisien guna mencapai hasil belajar yang optimal sesuai dengan kurikulum. Pada jenjang pendidikan dasar khususnya Sekolah Dasar, kurikulum yang digunakan yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang digunakan untuk mengatur proses pendidikan dan kegiatan pembelajaran di Sekolah Dasar. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terdapat beberapa mata pelajaran yang harus diberikan kepada siswa di tingkat Sekolah Dasar, salah satunya yaitu Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji beberapa disiplin ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang dikemas secara ilmiah. Menurut Nasution (1975) dalam Soewarso dan Widiarto (2009 : 2), IPS adalah suatu program pendidikan yang merupakan suatu keseluruhan yang pada pokoknya mempersoalkan manusia dalam lingkungan fisik maupun dalam lingkungan sosialnya, dan yang bahannya diambil dari berbagai ilmu-ilmu sosial meliputi geografi, sejarah, ekonomi, antropologi, sosiologi, politik, dan psikologi sosial. Kajian IPS yaitu tentang hubungan antarmanusia. Latar telaahnya yaitu kehidupan nyata manusia (Soewarso, 2013 : 3). Menurut Barth dan Shemis (1980) dalam Soewarso (2013 : 3), hal-hal yang dikaji dalam IPS yaitu : (1) pengetahuan, (2) pengolahan informasi, (3) telaah nilai dan keyakinan, dan (4) peran serta dalam kehidupan. Keempat butir bahan belajar tersebut menjadi jalan bagi pencapaian tujuan IPS. Menurut Sumaatmaja (2006) dalam Gunawan (2013 : 18), "tujuan Pendidikan IPS yaitu membina anak didik menjadi warga negara yang baik, yang memiliki pengetahuan, dan kepedulian sosial yang berguna bagi dirinya serta bagi masyarakat dan negara".
IPS juga merupakan ilmu sosial yang sangat penting untuk bekal dalam bermasyarakat, sehingga mampu menciptakan kehidupan yang serasi. Melalui pendidikan IPS di sekolah, diharapkan dapat membekali siswa dengan pengetahuan dan wawasan tentang konsep dasar ilmu sosial dan humaniora, memiliki kepekaan dan kesadaran terhadap masalah sosial di lingkungannya serta mampu memecahkan masalah sosial dengan baik, sehingga pada akhirnya siswa yang belajar IPS dapat terbina menjadi warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Namun, dalam proses pembelajaran dalam kelas sering kali ditemui beberapa kendala, baik dari faktor guru, siswa, maupun sarana dan prasarana yang kurang mendukung di sekolah. Hal ini mengakibatkan tujuan proses pembelajaran tercapai kurang maksimal.
Keadaan yang demikian juga terjadi dalam proses pembelajaran IPS di kelas III Sekolah Dasar Negeri X. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas III, diperoleh keterangan bahwa selama ini guru masih menggunakan model pembelajaran konvensional, dimana aktivitas kelas cenderung berpusat pada guru. Dalam proses pembelajarannya guru sangat mendominasi kelas, sedangkan siswa lebih banyak mendengarkan dan memperhatikan penjelasan guru, sehingga siswa cenderung bosan saat proses pembelajaran yang berakibat hasil belajar menurun. Hal inilah yang membuat rata-rata nilai UAS IPS di Sekolah Dasar Negeri X masih rendah. Dari 26 siswa kelas III, terdapat 10 siswa yang tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan yaitu 65. Dengan kata lain, hanya sekitar 61% siswa yang melampaui KKM.
Memperhatikan permasalahan di atas, perlu adanya solusi untuk menyelesaikan masalah pembelajaran di kelas tersebut. Dalam hal ini, guru dapat melakukan suatu inovasi baru terhadap pembelajarannya. Agar pembelajaran IPS terlaksana dengan baik, sedapat mungkin guru harus mampu membangkitkan minat belajar pada anak didiknya dengan menggunakan strategi pembelajaran yang disukai siswa. Menurut Sumantri dan Syaodih (2007 : 6.3-4), karakteristik siswa pada usia sekolah dasar masih senang bermain, bergerak, bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan/memperagakan sesuatu secara langsung. Melihat perkembangan anak usia SD yang masih senang dalam bermain, guru hendaknya merancang strategi pembelajaran yang melibatkan anak untuk aktif. Dalam hal ini, guru dapat menerapkan pembelajaran aktif dalam pembelajaran IPS. Pembelajaran aktif merupakan suatu pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar secara aktif. Dalam hal ini, yang mendominasi kegiatan pembelajaran yaitu siswa, sedangkan guru bertindak sebagai fasilitator saja. Salah satu strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan dalam pembelajaran IPS yaitu strategi card sort. 
Sebelumnya, strategi card sort telah diterapkan dalam pembelajaran pada jenjang sekolah dasar yang dilaksanakan oleh Widyawati (2012) dari Fakultas Ilmu Pendidikan STAIN Salatiga dengan judul "PENINGKATAN KEAKTIFAN DAN PRESTASI BELAJAR SISWA MELALUI METODE CARD SORT PADA MATA PELAJARAN IPS POKOK BAHASAN PENINGGALAN SEJARAH DARI MASA HINDU-BUDHA DAN ISLAM DI INDONESIA KELAS V DI MI MUHAMMADIYAH TEJOBANG KECAMATAN SIMO KABUPATEN BOYOLALI TAHUN PELAJARAN 2012/2013". Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang menerapkan strategi card sort lebih baik daripada pembelajaran konvensional. Hal tersebut dilihat dari rata-rata hasil tes formatif pada setiap siklus. Pada pra-siklus yaitu 48, siklus I menjadi 52, siklus II menjadi 58,67, dan siklus III menjadi 71,33. Hasil tersebut menjadi bukti empiris terhadap penerapan strategi card sort di kelas untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran.
Kajian empiris di atas, menjadi landasan peneliti untuk menguji keefektifan strategi card sort dalam pembelajaran IPS pada kelas III Sekolah Dasar Negeri X. Strategi card sort merupakan strategi pembelajaran yang berisi kegiatan untuk mengajarkan konsep, karakteristik, klasifikasi, fakta tentang objek, atau mereview informasi. Strategi card sort merupakan sebuah strategi pembelajaran yang membantu siswa untuk mendapat pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara aktif serta menjadikan belajar tidak terlupakan. Pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang didalamnya terdapat nuansa bermain (Zaini, Munthe, dan Aryani, 2008 : 50). Penerapan strategi card sort dalam proses pembelajaran diharapkan tidaklah menjemukan, karena strategi ini berpusat pada siswa, sehingga menuntut siswa untuk lebih aktif dan guru sebagai fasilitator saja. Gerakan fisik yang dominan dalam strategi ini dapat membantu mendinamiskan kelas yang jenuh atau bosan, sehingga dapat membuat siswa tidak jenuh selama mengikuti pembelajaran IPS. Selain itu, penerapan strategi pembelajaran ini juga diharapkan siswa akan merasa nyaman dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, materi yang disampaikan guru akan mudah diterima oleh siswa. Kemudahan dan kesesuaian penerimaan materi ajar yang disampaikan oleh guru akan menjadikan prestasi baik akademik maupun interaksi dengan masyarakat dapat diraih.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti berminat untuk mengadakan penelitian eksperimen dengan judul "KEEFEKTIFAN STRATEGI CARD SORT DALAM PEMBELAJARAN IPS PADA SISWA KELAS III DI SEKOLAH DASAR NEGERI X”.

SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MODEL MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN IPS KELAS III

(KODE : PENDPGSD-0036) : SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MODEL MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN IPS KELAS III

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang sudah semakin modern harus diimbangi dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang berkualitas akan mampu memanfaatkan perkembangan IPTEK semaksimal mungkin. Pendidikan sebagai sarana dan wahana yang sangat baik dalam pembinaan SDM yang berkualitas perlu mendapat perhatian, penanganan, dan prioritas secara baik oleh pemerintah, pengelola pendidikan, dan masyarakat.
Pendidikan merupakan hak setiap manusia, dan merupakan kewajiban bagi manusia untuk mengikuti pendidikan. Berkaitan dengan hak dan kewajiban pendidikan bagi setiap manusia, di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) Pasal 31 Ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan, selanjutnya dalam Ayat 2 juga disebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Manusia dengan adanya pendidikan, akan mampu mengembangkan pola pikir, dan kemampuan yang dimiliki, sehingga bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa.
Hal tersebut sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 1 bahwa : “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Munib, dkk (2011 : 34) juga berpendapat : "Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat atau tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan". Lebih lanjut, Rusman (2012 : 201) menyatakan bahwa pendidikan hendaknya mampu mengkondisikan, dan memberikan dorongan untuk dapat mengoptimalkan dan membangkitkan potensi siswa, menumbuhkan aktivitas serta daya cipta atau kreativitas, sehingga akan menjamin terjadinya dinamika di dalam proses pembelajaran. Pendidikan di Indonesia dapat ditempuh melalui 3 jalur, yakni pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I Pasal 1 Ayat 2, pendidikan formal adalah "jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi". Pendidikan formal tersebut dapat diselenggarakan melalui sekolah.
Pada hakikatnya, sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang menyediakan banyak kegiatan belajar, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman pendidikan. Pendidikan diharapkan tidak hanya membentuk manusia yang bermartabat saja, tetapi juga mampu menjadi pilar peradaban bangsa yang bermartabat. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab II Pasal 3 yaitu : 
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demi tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan tersebut, maka pendidikan di Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan. Kurikulum dibentuk agar tujuan pendidikan dapat terlaksana dan tercapai tepat sasaran. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab I Pasal 1 Ayat 19 menyatakan bahwa : 
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum pendidikan dasar (SD/MI/SLB) dan menengah menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X Pasal 37 Ayat 1, wajib memuat 10 mata pelajaran, salah satunya yakni Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Susanto (2013 : 137) menyatakan bahwa, IPS merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji berbagai disiplin ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang dikemas secara ilmiah dalam rangka memberi wawasan dan pemahaman yang mendalam kepada siswa, khususnya di tingkat dasar dan menengah.
IPS dikenal sebagai mata pelajaran yang memiliki cakupan materi yang luas, sehingga pembelajaran IPS harus dikemas dalam pembelajaran yang menarik. Proses pembelajaran IPS yang masih berpusat pada guru dan memonopoli peran sebagai sumber informasi, sudah sepantasnya diubah dengan menerapkan metode atau model pembelajaran yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan proses pembelajaran yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses yang menjelaskan bahwa : Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kenyataannya, masih banyak guru yang melaksanakan pembelajaran IPS dengan menggunakan metode pembelajaran yang cenderung monoton, yaitu masih menggunakan pembelajaran konvensional berupa metode ceramah dan tanya jawab yang berpusat pada guru. Dalam situasi tersebut, maka peran guru dan buku-buku teks masih merupakan sumber belajar yang sangat utama. Siswa hanya berperan sebagai objek belajar yang harus bisa menghafal semua materi yang telah disampaikan oleh guru. Cara-cara yang demikian cenderung membuat siswa lebih bersikap apatis, baik terhadap mata pelajaran itu sendiri maupun terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Metode ceramah memang memudahkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran, tetapi di sisi lain kurang dapat mengaktifkan siswa dan dapat membuat siswa cepat bosan terhadap proses pembelajaran. Terlebih lagi, pembelajaran yang menggunakan metode ceramah cenderung mengarahkan siswa untuk mencatat materi yang telah atau akan disampaikan oleh guru. 
Kegiatan pembelajaran yang demikian, menurut Windura (2013 : 21-3) hanya melibatkan satu belahan otak saja, yaitu belahan otak kiri. Padahal pada kenyataannya, otak mempunyai sifat untuk selalu menyeimbangkan kedua belahannya. Sifat menyeimbangkan otak ini ditunjukkan saat keadaan sedang jenuh. Ketika siswa yang sudah kelebihan beban otak kirinya saat belajar di kelas, maka otak kanan juga akan menyeimbangkannya dengan beberapa hal, yaitu : (1) menggambar atau mencoret-coret apa saja yang sesuai dengan lamunannya; (2) melamunkan sesuatu, kemudian mengajak bercerita teman di sebelahnya mengenai lamunannya; (3) tidak konsentrasi; (4) bosan; (5) mengantuk; dan (6) tidur. Oleh karena itu, guru perlu menggunakan metode atau model pembelajaran lain yang dalam proses pembelajaran mampu melibatkan kedua belahan otak dalam berpikir, sehingga dapat mengingat informasi jauh lebih mudah dan pembelajaran menjadi lebih kondusif.
Permasalahan yang berkaitan dengan pembelajaran IPS juga dialami Sekolah Dasar (SD) Negeri X khususnya kelas III. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas III SD Negeri X diperoleh informasi bahwa hasil belajar siswa pada Ulangan Akhir Semester (UAS) semester gasal kurang optimal, dari 27 siswa, 33% diantaranya masih mendapatkan nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan yaitu 70. Setelah dianalisis, keadaan demikian didasarkan oleh beberapa penyebab, yaitu : (1) model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran IPS masih menggunakan metode konvensional, dan berpusat pada guru; (2) penggunaan metode pembelajaran lebih menitikberatkan pada aspek kognitif saja, sehingga pengembangan aspek afektif, dan psikomotorik siswa belum optimal; dan (3) pada pelaksanaan pembelajaran IPS, guru jarang menerapkan model pembelajaran yang inovatif, dan masih terfokus pada kegiatan siswa yang berupa mencatat, serta menghafal materi pelajaran.
Berdasarkan permasalahan yang ada pada kelas tersebut, guru dituntut harus mempunyai kombinasi metode atau model pembelajaran lainnya, agar suasana pembelajaran menjadi lebih baik. Hal tersebut dikarenakan guru merupakan subjek yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Rusman (2012 : 58) menyatakan bahwa pada umumnya guru merupakan faktor penentu yang sangat dominan dalam proses pendidikan, karena guru memegang peranan dalam proses pembelajaran yang merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan. Dengan demikian, guru dituntut untuk menguasai berbagai kompetensi, salah satunya yaitu kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap siswa, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya (Chatib, 2013 : 28). Guru harus mengerti dan bisa mempraktikkan konsep pedagogik yang efektif agar tujuan pendidikan tercapai.
Berdasarkan permasalahan dalam proses pembelajaran IPS yang terjadi pada kelas III SD Negeri X maka diperlukan suatu upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran IPS. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu dengan berinovasi menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik perkembangan siswa, dan materi pembelajaran. Model pembelajaran tersebut tentunya yang mampu melibatkan kedua belahan otak selama proses pembelajaran berlangsung. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, akan diujicobakan dengan menerapkan model pembelajaran Mind Mapping.
Mind Mapping menurut Buzan (2013 : 4) merupakan "cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak". Melalui Mind Mapping, siswa memetakan konsep-konsep ilmu yang diperoleh dari buku pada selembar kertas dalam bentuk simbol-simbol, kata-kata, gambar, serta garis-garis dengan berbagai warna sehingga dalam hal ini siswa menciptakan media belajar sendiri. 
Swadarma (2013 : 7) menyebutkan bahwa Mind Mapping bekerja dengan memadukan dan mengembangkan potensi kerja kedua belahan otak dalam proses belajar, sehingga menjadi mudah untuk mengatur dan mengingat segala bentuk informasi, baik melalui tulisan maupun lisan. Mind Mapping memadukan dan mengembangkan potensi kerja otak yang terdapat dalam diri seseorang. Dengan adanya keterlibatan kedua belahan otak, maka akan memudahkan seseorang untuk mengatur dan mengingat segala bentuk informasi. Adanya kombinasi warna, simbol, bentuk, dan sebagainya, memudahkan otak dalam menyerap informasi yang diterima. Hal tersebut menyebabkan siswa dapat memahami materi pelajaran secara lebih mendalam dan mengingatnya lagi dengan mudah. Selain itu, melalui model pembelajaran Mind Mapping, siswa mampu berperan aktif dan bekerjasama dalam membangun pengetahuannya. 
Dengan demikian, model pembelajaran Mind Mapping diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk menggunakan model pembelajaran Mind Mapping pada pembelajaran IPS materi sejarah uang dan penggunaan uang sesuai kebutuhan agar dapat membuat siswa mampu memahami materi serta mengingat materi pembelajaran dengan mudah. Melalui model pembelajaran Mind Mapping, diharapkan siswa dapat membangun pengetahuan dan pemahaman terhadap materi sejarah uang dan penggunaan uang sesuai kebutuhan yang sebagian besar berisi tentang hafalan.
Keberhasilan penggunaan model pembelajaran Mind Mapping telah dibuktikan oleh penelitian terdahulu. Setyaningrum dari Universitas Negeri Yogyakarta telah membuktikan keefektifan Mind Mapping pada tahun 2012 dengan judul penelitian "Penerapan Metode Mind Map untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Tunarungu Kelas 3 di SLB As-Syifa Lombok Timur". Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan Mind Mapping terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa kelas 3 SLB As-Syifa Lombok Timur. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswi dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Subiyati (2012) dengan judul "Perbedaan Pengaruh Penggunaan Metode Mind Map dan Metode Ceramah terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas IV SD Negeri Keputran A Yogyakarta Tahun Ajaran 2011/2012", yang menyatakan bahwa penerapan Mind Mapping terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar IPS siswa. Hasil tersebut menjadi bukti empiris terhadap penerapan model pembelajaran Mind Mapping di kelas untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran.  
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti bermaksud untuk melaksanakan penelitian dengan judul "KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MODEL MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN IPS PADA SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR NEGERI X". Dengan harapan, peneliti dapat membandingkan hasil belajar siswa antara pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran Mind Mapping dan pembelajaran konvensional.

SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN MODEL TWO STAY TWO STRAY BERBASIS TEORI VAN HIELE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS V

(KODE : PENDPGSD-0035) : SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN MODEL TWO STAY TWO STRAY BERBASIS TEORI VAN HIELE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS V

contoh skripsi pgsd

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah pada umumnya. Pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidak dapat terlepas dari kurikulum. Kurikulum merupakan program pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) bagi siswa (Hamalik, 2015 : 65). Kurikulum dijadikan pedoman dalam melaksanakan pembelajaran di semua jenjang pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 19 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan : “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu". Kurikulum disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Jenjang pendidikan formal yang paling mendasar yaitu Sekolah Dasar (SD). Pendidikan di sekolah dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar baca, tulis hitung, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya (Susanto, 2015 : 89). Salah satu mata pelajaran yang diajarkan yaitu mata pelajaran matematika. Matematika diajarkan di jenjang sekolah dasar mulai dari kelas I-VI. Matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol, sehingga konsep matematika harus dipahami dahulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu (Susanto, 2015 : 183).
Abdurrahman (2012 : 253) menyatakan mata pelajaran matematika yang diajarkan di SD mencakup tiga cabang, yaitu aritmetika, aljabar, dan geometri. Maryunis (1989) dalam Abdurrahman (2012 : 204) menyebutkan salah satu cabang matematika yang diajarkan pada sekolah dasar yaitu geometri. Geometri merupakan cabang matematika yang berkenaan dengan titik dan garis. Tujuan materi geometri salah satunya yaitu menguasai bentuk dan sifat yang mencakup pembelajaran sifat-sifat dari bentuk-bentuk baik dua maupun tiga dimensi dan pembelajaran tentang hubungan yang terbangun dari sifat-sifat tersebut (Walle, 2008 : 150). Cabang geometri tersebut terwujud dalam beberapa materi, salah satunya yaitu materi sifat-sifat bangun datar. Materi sifat-sifat bangun datar merupakan materi mengenai pemahaman konsep. Siswa dapat mengembangkan konsep apabila mampu mengklasifikasikan atau mengelompokkan benda-benda atau ketika siswa dapat mengasosiasikan suatu nama dengan kelompok benda tertentu (Abdurrahman, 2012 : 204-5).
Susanto (2015 : 189) menyatakan salah satu kompetensi pembelajaran matematika di sekolah dasar yaitu menentukan sifat dan unsur berbagai bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas, dan volume. Pembelajaran matematika merupakan proses belajar dan pemberian pengalaman kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga siswa memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari (Muhsetyo, 2008 : 26). Guru mempunyai peran penting dalam merencanakan pembelajaran di sekolah dasar dengan baik agar tercapai tujuan pembelajaran yang optimal.
Burden & Byrd (1999) dalam Anitah (2009 : 2.19) mengemukakan perencanaan pembelajaran berkenaan dengan keputusan yang diambil guru dalam mengorganisasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Guru menyiapkan perencanaan pembelajaran yang matang sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai apabila guru mampu menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif membentuk, menemukan, dan mengembangkan pengetahuan (Susanto, 2015 : 190).
Berdasarkan observasi awal yang dilakukan di kelas V, pembelajaran matematika di sekolah dasar ini memiliki kekurangan yang menyebabkan tujuan pembelajaran tercapai kurang optimal. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru berpedoman pada model pembelajaran konvensional yaitu menggunakan metode ceramah, pemberian tugas dan pekerjaan rumah. Pembelajaran konvensional berpusat kepada guru sehingga membuat siswa tidak aktif berpartisipasi dalam pembelajaran.
Guru memiliki kesulitan dalam pembelajaran matematika. Kesulitan yang pertama yaitu rendahnya aktivitas yang dimiliki siswa pada saat mengikuti pembelajaran matematika. Siswa cenderung pasif dan kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran. Guru sudah memberikan kesempatan untuk aktif dalam pembelajaran yaitu dengan cara mengerjakan soal di depan kelas, namun siswa tidak berpartisipasi jika belum ditunjuk oleh guru. Perilaku tersebut menunjukkan masih rendahnya aktivitas dalam diri siswa untuk belajar matematika. Kesulitan kedua yaitu masih banyak siswa yang sulit memahami materi yang diajarkan. Hal ini dikarenakan pembelajaran hanya berpusat pada guru tanpa adanya timbal balik dari siswa.
Siswa hanya menerima informasi yang sampaikan oleh guru. Kebanyakan siswa menerima informasi yang disampaikan oleh guru tanpa dipahami terlebih dahulu. Metode yang digunakan oleh siswa dalam belajar yaitu dengan cara menghafal. Jadi, guru menyampaikan informasi dan siswa hanya menghafal serta menelan mentah-mentah informasi tersebut tanpa memahami terlebih dahulu. Siswa dapat memahami contoh soal yang disampaikan oleh guru di papan tulis, namun ketika diberikan soal yang berbeda siswa tidak dapat mengerjakan soal tersebut. Kondisi yang demikian membuat siswa menjadi bosan dan kurang tertarik pada pembelajaran. Pembelajaran yang menggunakan model konvensional menyebabkan hasil belajar tidak tercapai secara maksimal karena tidak berlangsung secara efektif.
Berdasarkan wawancara dengan guru kelas VA dan VB, menjelaskan siswa kurang aktif dalam pembelajaran matematika. Terdapat siswa yang tidak memperhatikan penjelasan guru, berbicara dengan teman sebangku, dan bermain sendiri. Hal tersebut menjadi hambatan dalam pembelajaran matematika, sehingga belum bisa mencapai hasil pembelajaran yang maksimal.
Faktor lain yang menjadi hambatan pembelajaran matematika yaitu tingkat kemampuan dan kecerdasan siswa yang beraneka ragam. Hal ini menuntut siswa untuk belajar lebih giat daripada siswa yang sudah memiliki kemampuan di atas rata-rata. Beberapa siswa juga beranggapan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang menakutkan, membosankan, dan cenderung tidak menyenangkan dibandingkan mata pelajaran yang lain. Hal ini berdampak kepada aktivitas belajar siswa menjadi rendah baik aktivitas fisik maupun mental sehingga berdampak pada hasil belajar matematika yang kurang maksimal.
Berdasarkan hasil dokumentasi, nilai ulangan akhir semester pembelajaran matematika pada kelas V masih tergolong rendah. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk mata pelajaran matematika adalah 65. Jumlah siswa kelas V SD Negeri X yaitu sebanyak 50 dan terdapat 30 siswa yang nilainya belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) atau 60%. 
Depdikbud (1996) dalam Trianto (2011 : 241) menjelaskan, suatu kelas dikatakan tuntas belajar secara klasikal apabila dalam kelas tersebut terdapat 85% siswa yang tuntas belajarnya. Berdasarkan nilai yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa siswa masih memiliki kemampuan yang rendah dalam pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan guru belum menerapkan model pembelajaran yang tepat sehingga aktivitas dan hasil belajar siswa masih rendah.
Berdasarkan permasalahan di atas perlu adanya alternatif pemecahan masalah, yaitu dengan menciptakan pembelajaran yang efektif. Pembelajaran efektif dapat tercapai dengan cara menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain (Hamruni, 2012 : 29). Pembelajaran yang menyenangkan dapat terlaksana apabila siswa terbebas dari rasa takut dan ketegangan. Suasana yang demikian dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa.
Penerapan pembelajaran yang efektif dilaksanakan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan (Andayani, 2014 : 193). Tujuan pembelajaran kooperatif tidak hanya meningkatkan potensi akademik, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan sosial siswa.
Pembelajaran kooperatif memiliki berbagai macam model di dalamnya. Model pembelajaran merupakan suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas (Ngalimun, 2014 : 27). Model pembelajaran yang diterapkan harus disesuaikan dengan karakteristik siswa.
Siswa pada jenjang sekolah dasar memiliki karakteristik senang bermain, bergerak, bekerja dalam kelompok, dan melakukan sesuatu secara langsung. Guru perlu mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan dan mengusahakan siswa berpindah atau bergerak. Belajar dalam kelompok dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk terlibat langsung dalam pembelajaran (Desmita, 2014 : 35).
Salah satu model pembelajaran yang menjadi alternatif pemecahan masalah pada mata pelajaran matematika yaitu model pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS). Model pembelajaran ini dilaksanakan dengan cara berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Huda (2014b : 207) menyatakan model Two Stay Two Stray mempunyai tujuan agar siswa dapat bekerja sama, bertanggung jawab, saling membantu memecahkan masalah dan melatih siswa untuk bersosialisasi dengan baik.
Peneliti memilih model pembelajaran Two Stay Two Stray dengan alasan prosedur dalam model pembelajaran tersebut dapat mengaktifkan siswa dalam pembelajaran. Setiap siswa mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas masing-masing meskipun dilaksanakan secara berkelompok. Model pembelajaran Two Stay Two Stray dapat meningkatkan keterampilan sosial karena setiap siswa berinteraksi dengan berkunjung ke kelompok yang lain ataupun menerima tamu dari kelompok lain.
Pelaksanaan model pembelajaran harus didukung oleh perangkat yang lain, salah satunya yaitu penggunaan teori belajar. Salah satu teori yang dapat digunakan guru dalam pembelajaran matematika yaitu teori Van Hiele. Alasan pemilihan teori Van Hiele yaitu karena teori tersebut mempunyai fase-fase yang dapat memberi kemudahan bagi siswa untuk memahami materi geometri. Pemilihan teori Van Hiele disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan yaitu materi geometri tentang bangun datar. Terdapat lima fase dalam melaksanakan pembelajaran teori Van Hiele yaitu fase informasi, orientasi, penjelasan, orientasi bebas dan integrasi (Aisyah, 2007 : 4-9-10).
Model pembelajaran Two Stay Two Stray pernah diterapkan dalam pembelajaran pada jenjang sekolah dasar yang dilaksanakan oleh Dwitantra (2011) yang berjudul "Efektivitas Pembelajaran Misi Kebudayaan Internasional melalui Model Two Stay Two Stray terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD Negeri Kaligangsa Kulon 1 Brebes". Penerapan teori belajar Van Hiele telah dilakukan dalam penelitian eksperimen oleh Safrina dkk (2014) dari Universitas Syiah Kuala dengan judul "Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Geometri melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis Teori Van Hiele".
Beberapa kajian empiris di atas, menjadi landasan peneliti untuk menerapkan model pembelajaran Two Stay Two Stray berbasis teori Van Hiele dalam mengatasi permasalahan pembelajaran matematika pada siswa kelas V SD Negeri X. Diharapkan melalui penerapan model pembelajaran Two Stay Two Stray berbasis teori Van Hiele pembelajaran matematika dapat berlangsung secara efektif sehingga tujuan pembelajaran tercapai dengan optimal. Penerapan model pembelajaran Two Stay Two Stray berbasis teori Van Hiele sebagai bentuk pengujian keefektifan model dan teori pembelajaran pada mata pelajaran matematika kelas V SD.

SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN MODEL TIPE COURSE REVIEW HORAY TERHADAP HASIL BELAJAR IPS PESERTA DIDIK KELAS IV

(KODE : PENDPGSD-0034) : SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN MODEL TIPE COURSE REVIEW HORAY TERHADAP HASIL BELAJAR IPS PESERTA DIDIK KELAS IV

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas manusia dengan segala upaya secara sadar untuk mengubah tingkah laku seseorang dalam keberlangsungan pembangunan bangsa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 menyebutkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melaksanakan proses pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.
Selaras dengan pernyataan di atas, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar tingkat SD/MI dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang terkait dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS mengarahkan peserta didik untuk menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga yang cinta damai. Oleh sebab itu, mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan untuk menyesuaikan terhadap kondisi sosial di masyarakat dalam memasuki kehidupan masyarakat yang dinamis.
Pembelajaran IPS yang dilakukan seorang guru harus interaktif dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Keberhasilan dari kegiatan pembelajaran dapat dicapai apabila guru melaksanakan pembelajaran yang efektif bagi peserta didik. Keefektifan pembelajaran bagi peserta didik di kelas dapat dicapai dengan perencanaan yang tepat, pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang baik, pengalaman pembelajaran bermakna, indikator dan penilaian proses pembelajaran. Untuk menciptakan keefektifan pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran, maka diperlukan model dan strategi pembelajaran agar menunjang proses pembelajaran dan memberikan pengalaman pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik (Trianto, 2014 : 19).
Model pembelajaran Course Review Horay adalah salah satu model pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik. Model pembelajaran Course Review Horay merupakan model pembelajaran inovatif yang menciptakan pembelajaran yang efektif dengan suasana yang meriah, menyenangkan dan menarik. Model pembelajaran ini juga melatih peserta didik untuk saling menghargai, berdiskusi dan kerjasama dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Sehingga model pembelajaran Course Review Horay dapat menciptakan kelas dengan pembelajaran yang efektif yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia (Huda, 2014 : 229-230).
Berbeda dengan pernyataan di atas, pembelajaran yang terjadi di Indonesia masih rendah. Supardi (2012 : 114) menyatakan model kegiatan pendidikan di Indonesia lebih banyak menyeragamkan pola pengajaran secara klasikal dengan slogan "masuk bareng keluar bareng" yang menyalahi dari konsep pendidikan yang sesungguhnya. Pembelajaran di sekolah sebagai salah satu bentuk model pendidikan, seharusnya dilakukan dengan azas demokrasi yang disesuaikan dengan potensi dan kecepatan daya tangkap masing-masing peserta didik. Selain itu, faktor proses dan hasil dari pembelajaran juga mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dalam laporan UNESCO pada tahun 2012 yang mengungkapkan bahwa Indonesia berada diperingkat ke-64 dari 120 negara berdasarkan Education Development Index (EDI) atau Indeks Pembangunan Pendidikan. Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan gender, angka bertahan siswa hingga kelas V Sekolah Dasar (Jakaria, 2014 : 500). Dari permasalahan diatas, maka harus dilakukan peningkatan kualitas pendidikan dengan meningkatkan kualitas pembelajaran, penggunaan model inovatif pembelajaran, sarana dan prasarana pembelajaran sekolah.
Rendahnya kualitas pembelajaran di Indonesia juga terjadi di SDN Gugus X. Hasil pembelajaran IPS untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan peserta didik masih rendah. Pada proses pembelajaran IPS di SDN Gugus X, guru masih menerapkan model pembelajaran expository didominasi metode ceramah. Proses pembelajaran yang tidak menggunakan model pembelajaran inovatif dan berpusat pada guru mengakibatkan peserta didik menjadi pasif dan tidak tertarik dengan materi yang diberikan guru. Hal ini sangat mempengaruhi hasil belajar peserta didik.
Berdasarkan hasil wawancara terstruktur didapatkan informasi bahwa proses pembelajaran IPS guru menggunakan model pembelajaran ekspositori yang didominasi metode ceramah, dan tidak ada model pembelajaran inovatif yang digunakan dalam pembelajaran. Saat pembelajaran berlangsung, peserta didik diberi penjelasan materi yang banyak sehingga materi tidak dikuasai peserta didik dengan optimal. Peserta didik juga kurang giat mengulang pelajaran IPS, kurang fokus dalam pelajaran, rasa kantuk yang menular ke peserta didik lain dan rasa bosan terhadap pembelajaran sehingga terkadang guru mengambil langkah untuk bernyanyi bersama sambil tepuk tangan untuk mengembalikan semangat belajar peserta didik. Rasa senang yang dirasakan peserta didik dapat mengembalikan pembelajaran yang kondusif Ditemukan hasil belajar beberapa peserta didik belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan, yaitu 67. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian yang memberikan inovasi pembelajaran dengan suasana belajar yang lebih menarik, interaktif, menyenangkan karena peserta didik dapat bermain dan bernyanyi bersama serta memberikan ruang untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang efektif.
Belajar efektif mempunyai arti penting bagi setiap peserta didik. Belajar adalah bentuk kegiatan psikologis, fisik, dan sosial menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Belajar akan mengolah kegiatan jiwa dan raga untuk mendapatkan suatu perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku dari belajar bersifat permanen sebagai hasil dari interaksi pengalaman dengan lingkungannya (Suprijono, 2013 : 3).
Model pembelajaran sebagai suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori melalui pengalaman belajar dan praktik empirik. Pembelajaran Course Review Horay (CRH) merupakan cara pembelajaran yang dapat menciptakan suasana kelas menjadi meriah dan menyenangkan karena setiap siswa yang dapat menjawab benar diwajibkan berteriak 'hore!!' atau yel-yel lainnya. Metode ini menguji pemahaman siswa dalam menjawab soal, di mana soal tersebut dituliskan pada kartu atau kotak yang telah dilengkapi nomor (Huda, 2014 : 229).
Model Course Review Horay (CRH) termasuk model pembelajaran kooperatif yang merupakan bagian dari strategi pembelajaran inovatif dan dapat mendorong peserta didik menjadi aktif. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang diyakini sebagai praktik pedagogis untuk meningkatkan proses pembelajaran, gaya berpikir tingkat tinggi, perilaku sosial sekaligus kepedulian terhadap peserta didik yang memiliki latar belakang kemampuan, penyesuaian, dan kebutuhan yang berbeda-beda. Aktivitas pembelajaran kelompok bahwa setiap peserta didik bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan meningkatkan pembelajaran anggota dalam kelompoknya (Huda, 2015 : 27).
Proses pembelajaran model Course Review Horay dapat memacu peserta didik untuk selalu berinteraksi dengan tim, berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah bersama, munculnya ide-ide kreativitas, dan menjaga kekompakan tim. Keunggulan dari model ini adalah strukturnya yang menarik, tidak monoton karena diselingi dengan hiburan sehingga suasana tidak menegangkan, semangat belajar yang meningkat karena suasana pembelajaran berlangsung menyenangkan dan skill kerja sama antar siswa yang semakin terlatih (Huda, 2014 : 231).
Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Course Review Horay terhadap pembelajaran IPS materi masalah sosial dengan Standar Kompetensi 2. Mengenal sumber daya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan kab/kota dan provinsi dan Kompetensi Dasar 2.4 Mengenal permasalahan sosial di daerahnya akan menciptakan keefektifan pembelajaran, pengalaman yang bermakna, dan tercapainya tujuan pembelajaran IPS. Pembelajaran IPS yang mengkaji konsep kehidupan nyata dan masalah sosial di masyarakat akan terbantu dengan penerapan model pembelajaran Course Review Horay. Pembelajaran IPS dengan model pembelajaran Course Review Horay dapat mendorong peserta didik dalam menerapkan bimbingan oleh tim, meningkatkan motivasi belajar, menggali makna pengetahuan, mengungkap sudut pandang pengetahuan yang berbeda, menciptakan pemahaman yang bermakna, menghargai pendapat antara anggota, dan memberikan ruang untuk berpartisipasi dalam pembelajaran. Penggunaan model inovatif ini memotivasi peserta didik untuk lebih aktif dan giat dalam proses pembelajaran serta menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif dan ideal. Selain itu, pembelajaran model pembelajaran Course Review Horay secara tidak langsung akan meningkatkan hasil belajar IPS peserta didik.
Keunggulan dari model Course Review Horay dalam pembelajaran tersebut menjadi bahan menarik bagi peneliti dalam meningkatkan hasil belajar peserta didik. Penelitian model pembelajaran Course Review Horay pernah dilakukan beberapa peneliti, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Widyani Made dkk pada tahun 2014 dengan judul "PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE COURSE REVIEW HORAY (CRH) BERBANTUAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP HASIL BELAJAR IPA PESERTA DIDIK KELAS V SD SARASWATI 2 DENPASAR". Hasil penelitian menunjukkan uji-t diperoleh t hitung = 8,35 dan taraf signifikan 5%, sehingga terdapat perbedaan hasil belajar IPA dengan model Course Review Horay (CRH) dengan rata-rata sebesar 76,43 sedangkan pembelajaran konvensional dengan rata-rata 70,75. Pada tahun 2013 Liliana dkk telah melakukan penelitian dengan judul "EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA MATA PELAJARAN EKONOMI". Hasil penelitian menunjukan nilai kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Penelitian dengan judul "KEFEKTIFAN MODEL COURSE REVIEW HORAY TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPS" yang dilakukan oleh Meidian Kusumahati memberikan hasil thitung > ttabel (5,1311 > 2, 373). Hal ini menyatakan bahwa pembelajaran yang menggunakan model Course Review Horay lebih tinggi dengan rata-rata 81,25 dibanding pembelajaran konvensional dengan rata-rata nilai 68,55.
Pada penelitian di atas terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan dalam penelitian tersebut terletak pada model pembelajaran, fokus terhadap hasil belajar dan instrument observasi serta tes dalam melaksanakan penelitian. Persamaan lain yang terlihat yaitu hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran yang menggunakan Course Review Horay mengalami peningkatan yang signifikan. Sedangkan perbedaan pada penelitian tersebut terletak pada media penelitian, mata pelajaran yang akan diteliti, subyek penelitian dan rancangan desain penelitian.
Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian kuasi eksperimen. Penelitian menggunakan metode eksperimen dan nonequivalent control group design. Penelitian ini mencari pengaruh perlakuan model Course Review Horay terhadap hasil belajar IPS peserta didik. Pada penelitian terdahulu, diketahui bahwa model Course Review Horay dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik sehingga penelitian tersebut dapat sebagai acuan dan memperkuat teori dalam penelitian ini. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan variabel yang sama dan lokasi penelitian yang lebih luas dibanding dengan penelitian sebelumnya. Peneliti juga menggunakan instrument yang mencakup wawancara terstruktur, observasi, tes dan dokumentasi. Adanya indikator hasil belajar yang lebih jelas dalam aspek kognitif mencakup pengetahuan, pemahaman, penerapan, dan analisis sehingga proses pencapaian hasil belajar peserta didik terlihat dengan jelas. Kejelasan dari hasil belajar tercermin dari tujuan instruksional yang berisi rumusan kemampuan yang dikuasai peserta didik sebagai dasar penilaian. Sehingga, hasil belajar menandakan hasil tercapainya tujuan dari proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti memandang penting penelitian ini untuk menambah kajian tentang model pembelajaran Course Review Horay dan hasil belajar. Dengan demikian, judul penelitian yang peneliti laksanakan adalah "KEEFEKTIFAN MODEL TIPE COURSE REVIEW HORAY TERHADAP HASIL BELAJAR IPS PESERTA DIDIK KELAS IV SDN DI GUGUS X".

SKRIPSI PGSD IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK BERBASIS KTSP PADA KELAS RENDAH

(KODE : PENDPGSD-0033) : SKRIPSI PGSD IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK BERBASIS KTSP PADA KELAS RENDAH

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia. Melalui pendidikan, manusia akan memiliki kemampuan dan kepribadian yang berkembang. Pendidikan juga mampu membimbing generasi muda untuk mencapai suatu generasi yang lebih baik. Pendidikan nasional berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem dalam pengajaran nasional yang diatur melalui undang-undang. Hal ini sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional dapat diraih dengan mengembangkan kurikulum yang mengacu pada standar nasional pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 160 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum 2013 Pasal 1 menyatakan bahwa satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang melaksanakan kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan kurikulum tahun 2006 mulai semester kedua tahun pelajaran 2014/2015 sampai ada ketetapan dari kementerian untuk melaksanakan kurikulum 2013. Berdasarkan Peraturan Menteri tersebut, sebagian besar satuan pendidikan dasar yang baru melaksanakan kurikulum 2013 di semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan kurikulum tahun 2006 (KTSP) pada semester kedua tahun pelajaran 2014/2015 hingga saat ini.
Kurikulum yang berlaku, diatur melalui standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Menurut Peraturan Menteri Nomor 22 tahun 2006 mengenai standar isi, pembelajaran pada kelas I s.d. III dilaksanakan melalui pendekatan tematik dengan pedoman standar proses sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 41 tahun 2007 dan standar penilaian sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 20 tahun 2007. Standar proses dikembangkan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi yang telah ditetapkan. Standar proses memuat perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan proses pembelajaran, sedangkan standar penilaian mengatur evaluasi pembelajaran.
Sejak diberlakukannya KTSP, pelaksanaan pembelajaran pada kelas awal (kelas 1, 2, dan 3) MI/SD lebih tepat jika dikelola dengan pembelajaran terpadu/terintegrasi melalui pendekatan pembelajaran tematik untuk semua mata pelajaran sesuai dengan standar proses dan standar penilaian.
Depdiknas (dalam Kadir dan Asrohah, 2014 : 9) mengemukakan guna memberikan gambaran konkret tentang pembelajaran untuk menjadi acuan, maka perlu disiapkan model pembelajaran tematik bagi MI/SD kelas 1 sampai dengan kelas 3. Selain itu, pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menetapkan pendekatan tematik sebagai pendekatan pembelajaran yang harus dilakukan pada peserta didik Sekolah Dasar (SD) terutama untuk peserta didik kelas rendah (Majid, 2014 : 6).
Pembelajaran dengan pendekatan tematik adalah program pembelajaran yang berangkat dari satu tema/topik tertentu dan kemudian dielaborasikan dari berbagai aspek atau ditinjau dari berbagai perspektif mata pelajaran yang biasa diajarkan di sekolah (Kadir dan Asrohah, 2014 : 1). Pada dasarnya pembelajaran tematik diimplementasikan pada kelas awal yakni kelas 1-3 sekolah dasar atau Madrasah Ibtidaiyah dengan titik tolak pencapaian kompetensi membaca, menulis, dan berhitung serta penanaman nilai-nilai moral. Menurut BSNP (dalam Majid, 2014 : 6), penetapan pendekatan tematik dalam pembelajaran di SD dikarenakan perkembangan peserta didik pada kelas rendah sekolah dasar pada umumnya berada pada tingkat perkembangan yang masih melihat segala sesuatu sebagai suatu keutuhan (holistic) dan baru mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana serta masih bergantung pada objek konkret dan pengalaman dalam proses pembelajarannya. Inilah alasan peserta didik kelas rendah (kelas 1-3) melaksanakan pembelajaran tematik. Hal ini sesuai dengan teori konstruktivisme dan behaviorisme. Teori konstruktivisme mengungkapkan bahwa belajar tidak dari sekadar mengingat namun juga memahami dan mampu menerapkan pengetahuan yang telah dipelajari, sedangkan teori behaviorisme mengungkapkan bahwa belajar merupakan proses perubahan perilaku yang tampak dan tidak tampak (Rifai, 2012 : 89 dan 114).
Pembelajaran tematik dirancang dalam rangka meningkatkan hasil belajar yang optimal dan maksimal dengan cara mengangkat pengalaman peserta didik yang mempunyai jaringan dari berbagai aspek kehidupan dan pengetahuannya. Secara efektif pembelajaran tematik akan memberikan nilai positif bagi guru dan peserta didik yakni : (1) memudahkan pemusatan perhatian pada satu tema tertentu, (2) peserta didik dapat mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar isi mata pelajaran dalam tema yang sama, (3) pemahaman materi mata pelajaran lebih mendalam dan berkesan, (4) kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi peserta didik, (5) lebih dapat dirasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas, (6) peserta didik lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam suatu mata pelajaran dan sekaligus dapat mempelajari mata pelajaran lain, dan (7) guru dapat menghemat waktu sebab mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan dan waktu selebihnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan remidial, pemantapan, atau pengayaan materi (Panduan KTSP dalam Kadir dan Asrohah, 2014 : 7). 
Berdasarkan faktor positif  yang telah disebutkan, maka dorongan untuk melaksanakan pembelajaran tematik dari berbagai pihak baik dari pendidik maupun dari pengambil kebijakan kependidikan menjadi semakin menguat.
Implementasi pembelajaran tematik berbasis KTSP memiliki ciri sesuai dengan ciri KTSP, yakni berbasis kompetensi dan karakter, proses pembelajaran menggunakan EEK (Eksplorasi, Elaborasi dan Konfirmasi), dan menggunakan penilaian berbasis kelas. Implementasi pembelajaran tematik yang ideal meliputi 3 hal yakni penyusunan perencanaan, penerapan atau pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran tematik (Hajar, 2013 : 82). Langkah awal dalam merencanakan pembelajaran tematik adalah mengenal standar kompetensi dan kompetensi dasar sesuai dengan standar isi, menentukan tema, membuat jaring tema, menyusun silabus, dan merancang RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) sesuai dengan standar proses yang mencakup komponen-komponen berikut : (1) standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian hasil belajar, (2) tujuan pembelajaran, (3) materi pembelajaran, (4) pendekatan dan metode pembelajaran, (5) langkah-langkah kegiatan pembelajaran, (6) alat dan sumber belajar, dan (7) evaluasi pembelajaran. Melalui perencanaan pembelajaran tematik, pelaksanaan pembelajaran akan lebih mudah. Pelaksanaan pembelajaran tematik menggunakan pendekatan tematik dengan memperhatikan karakteristik pembelajaran tematik sebagai pembeda dengan pembelajaran lainnya. Menurut Prastowo (2013 : 401), penilaian pembelajaran tematik bertujuan untuk mendapatkan berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan, serta menyeluruh tentang proses dan hasil pertumbuhan maupun perkembangan yang telah dicapai, baik berkaitan dengan proses maupun hasil pembelajaran. Oleh karena itu, sesuai standar penilaian, evaluasi pembelajaran tematik dilakukan dengan dua hal, yaitu penilaian terhadap proses kegiatan dan hasil kegiatan.
Hasil kajian lapangan implementasi standar isi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum pada tahun 2007 menyebutkan pelaksanaan pembelajaran tematik di kelas I s.d III tidak berjalan sesuai dengan ketentuan standar isi, karena guru-guru mengalami kesulitan dalam menyusun silabus sesuai dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang ditetapkan dalam standar isi. Selain itu guru-guru mengalami kesulitan dalam mengalokasikan waktu yang harus dipergunakan dalam seminggu, karena tidak ada ketentuan alokasi waktu untuk setiap tema yang ditetapkan. Hal ini disebabkan guru-guru belum memahami esensi dan praktek pembelajaran tematik. Pada umumnya guru-guru belum mendapat pelatihan yang cukup memadai dalam pelaksanaan pembelajaran tematik (Depdiknas Badan Penelitian dan Pengembangan Puskur, 2007 : 12).
Fenomena tersebut juga terjadi di SD negeri di Gugus X yang menjadi sampel pada penelitian ini. Peneliti melalui data observasi dan wawancara menemukan masalah yang berkaitan dengan implementasi pembelajaran tematik pada kelas rendah yang belum optimal. Hal ini terbukti dengan ditemukannya berbagai masalah antara lain, guru kelas rendah sudah membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan pendekatan tematik namun pada saat pelaksanaan pembelajaran terlihat pengotakan mata pelajaran sehingga antar mata pelajaran tidak tematik. Karakteristik pembelajaran tematik belum muncul dalam pembelajaran. Selain masalah tersebut, evaluasi pembelajaran hanya dilihat dari hasil belajar peserta didik melalui kegiatan tes lisan dan tertulis, sedangkan penilaian proses seperti pengamatan, sikap, kinerja, dan portofolio belum dilakukan secara maksimal.
Penelitian yang relevan dengan hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Nur Ain dan Mans Kurniawati tahun 2013 dengan judul "IMPLEMENTASI KURIKULUM KTSP : PEMBELAJARAN TEMATIK DI SEKOLAH DASAR". Hasil penelitian tersebut, meskipun lebih dari enam tahun setelah diberlakukannya kurikulum KTSP, sekolah dasar di Kecamatan Klojen dan Kecamatan Sukun belum melaksanakan pembelajaran tematik. Belum terlaksananya pembelajaran tematik karena guru kurang menguasai konsep pembelajaran tematik, sehingga guru kurang dapat merancang pembelajaran tematik yang sesuai dengan konsep pembelajaran tematik yang sebenarnya. Pembelajaran di sekolah dasar pada kedua kecamatan baru mengembangkan keterampilan pada ranah kognitif, sedangkan keterampilan dalam ranah afektif dan psikomotorik belum dilaksanakan secara maksimal. Ranah kognitif yang diajarkan kepada peserta didik antara Cl-C3, dan belum sampai pada C4-C6 (Jurnal Inspirasi : 2013).
Penelitian lain yang mendukung hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan Sadri tahun 2012 dengan judul "STUDI EVALUASI IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK PADA SEKOLAH DASAR GUGUS I DENPASAR TIMUR DI DENPASAR". Hasil penelitian tersebut implementasi pembelajaran tematik pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur di Denpasar tergolong tidak efektif dilihat dari variabel konteks, input, proses dan produk. Dengan demikian, implikasi praktisnya adalah pembelajaran tematik yang ada pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur di Denpasar perlu disempurnakan baik dari segi konteks, input, proses maupun produk agar implementasi pembelajaran tematik pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur di Denpasar menjadi efektif. (Jurnal Penelitian Pascasarjana Undiksa : 2012).
Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik ingin mengkaji implementasi pembelajaran tematik berbasis KTSP pada kelas rendah di SD negeri Gugus X karena pembelajaran tematik sesuai dengan karakteristik peserta didik kelas rendah. Dengan pembelajaran tematik peserta didik kelas rendah dapat melihat segala sesuatu sebagai suatu keutuhan dan mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana.
Manfaat dalam penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara akurat bagaimana implementasi pembelajaran tematik berbasis KTSP pada kelas rendah di sekolah dasar. Berdasar ulasan latar belakang tersebut, maka peneliti telah mengkaji melalui penelitian deskriptif kualitatif dengan judul "IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK BERBASIS KTSP PADA KELAS RENDAH DI SD NEGERI GUGUS X".