Search This Blog

SKRIPSI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAN UPAH TERHADAP KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA

SKRIPSI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAN UPAH TERHADAP KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA


(KODE : PEND-IPS-0037) : SKRIPSI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI DAN UPAH TERHADAP KESEMPATAN KERJA DI INDONESIA




BAB I 
PENDAHULUAN


1.1. LATAR BELAKANG
Setiap negara akan melaksanakan usaha-usaha pembangunan terutama oleh negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Usaha-usaha pembangunan tersebut dilakukan dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya, memperbaiki taraf hidup sehingga mendapat tempat di antara negara-negara yang ada di dunia serta dapat sejajar dengan kedudukan negara-negara maju. Pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan tentunya bersifat ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi ini dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup segala aspek dan kebijaksanaan yang komprehensifbaik ekonomi dan non-ekonomi.(Suryana,2000 : 6)
Salah satu permasalahan pembangunan di semua negara tanpa terkecuali Indonesia dalam hal ini adalah pengangguran. Pengangguran ini timbul antara lain karena jumlah lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Yang artinya kesempatan kerja sedikit sehingga tidak dapat menampung jumlah pekerja (angkatan kerja). Disebutkan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional adalah untuk memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat, berarti pengangguran merupakan tugas besar yang harus dituntaskan segenap pemerintah Indonesia. Pasal 27 ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan"6a/wa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaari\ dengan demikian kesempatan kerja meruipakan masalah yang mendasar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Setiap upaya pembangunan harus diarahkan pada penciptaan lapangan kerja, sehingga setiap warga negara dapat memperoleh pekerjaan dan menempuh kehidupan yang layak.
Salah satu yang memicu timbulnya permasalahan sentral dalam ketenagakerjaan adalah tidak seimbangnya demand dan supply tenaga kerja. Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab ketidakseimbangan pasar kerja tersebut adalah ketidakcocokan keinginan atau kebutuhan antar pasar kerja dan penggunaan tenaga kerja. Implikasinya masih banyak angkatan kerja yang tidak terserap dalam lapangan pekerjaan yang ada dengan kata lain terjadi angka pengangguran.
Berikut ini tabel yang memberikan gambaran bahwa pengangguran di Indonesia setiap tahunnya mengalami pertambahan dan diiringi dengan tingkat kesempatan kerja yang semakin menurun.
Terlihat dari tabel angka pengangguran bertambah setiap tahunnya, dimana antara jumlah angkatan kerja dan angkatan bekerja tidak seimbang dimana angkatan kerja lebih banyak daripada jumlah angkatan kerja yang bekerja. Kemudian TPAK menunjukkan angka yang berfluktuasi dan pada periode 1990 sampai 2005 TPAK hanya bisa mencapai rata-rata 63,62 persen. Hal itu menunjukkan angka TPAK yang masih kecil karena belum mendekati TPAK 100%. Angka TPAK rata-rata TPAK yang mencapai 63,62 persen tersebut mengindikasikan bahwa masih ada sebagian 36,38 penduduk usia bekerja yang belum bekerja. Sedangkan tingkat kesempatan kerja hampir mencapai 90 persen, namun jika diperhatikan dalam tabel angka kesempatan kerja menunjukkan penurunan presentase setiap tahunnya dan penurunan tingkat kesempatan kerja ini diikuti oleh kenaikan tingkat pengangguran. Pada periode antara tahun 1990 sampai tahun 1994 kenaikan pengangguran tidak terlalu tinggi kenaikannya karena pada periode tahun tersebut keadaan ekonomi dalam keadaan stabil. Namun mulai periode tahun 1995 kenaikan pengangguran semakin tinggi mencapai angka lima juta lebih. Dan tahun-tahun selanjutnya sampai tahun terakhir pada tabel pengangguran Indonesia mencapai 11 juta jiwa. Pengangguran disini adalah pengangguran terbuka. Berikut ini tabel yang menunjukkan bahwa pemenuhan tenaga kerja tidak mencukupi jumlah pencari kerja di Indonesia.
Berdasarkan tabel 1.2. terlihat antara pencari kerja dan pemenuhan tenaga kerja perbandingannya sangat tinggi atau mempunyai nilai gap yang jauh setiap tahunnya. Misalnya pada tabel terlihat pada tahun 1990 pencari kerja sebanyak 1.217.148 jiwa sedangkan pemenuhan tenaga kerja hanya menampung sebanyak 167.346 jiwa. Dan presentase pemenuhan tenaga kerja dari pencari kerja dari periode tersebut Indonesia tidak pernah mencapai angka 50 persen dan angka presentase penyerapannya berfluktuatif. Tetapi dari angka presentase tersebut menunjukkan angka yang kecil bagi Indonesia yang mempunyai angakatan kerja yang surplus.
Kunci permasalahan dari banyaknya pengangguran dari pembahasan sebelumnya yaitu kurangnya kesempatan kerja yang memadai. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa, Meski makro ekonomi sepanjang tahun 2003 terus mengalami perbaikan, ironisnya pemerintah gagal menyentuh masalah yang paling krusial, yakni penciptaan kesempatan kerja yang cukup dan pemberantasan kemiskinan yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.Hal ini diakibatkan rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih antara 3 sampai 4 persen. Dengan angka sebesar itu, tidak cukup memadai untuk menampung jumlah angkatan kerja baru yang masuk ke pasar. Dalam dua tahun terakhir ini jumlah pengangguran terbuka mengalami peningkatan drastis. (Imam Sugema : 2003)
Dari sudut pandang ekonomi makro, perluasan kesempatan kerja dapat terjadi melalui pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita secara konstan dalam j angka panjang. peningkatan output merupakan akibat dari peningkatan aktivitas produksi secara keseluruhan. Peningkatan aktivitas produksi merupakan bagian dari sisi penwaran perluasan kesmpatan kerja akan terjadi bila sisi permintaan juga mengalami peningkatan dengan kata lain, kesempatan kerja akan tercipta bila terjadi peningkatan pada sisi permintaan dan penawaran agregat. (Boediono : 1999).
Tabel 1.5. merupakan tabel yang menggambarkan mengenai PDB (Produk Domestik Bruto) atas dasar harga konstan 2000. Laju pertumbuhan perekonomian Indonesia diukur berdasarkan PDB atas dasar harga konstan. Dimana dilihat dari perkembangannya laju pertumbuhan ekonomi sebelum krisis moneter mengalami kenaikan setiap tahunnya dan kemudian pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar -13,13 %, kemudian tahun selanjutnya tahun 1999 mengalami kenaikan sebesar 0,79 %, namun kenaikan tersebut tidak banyak memberi arti apa-apa. Berkembangan selanjutnya tahun 2000 perkembangan pertumbuhan ekonomi mulai meningkat sebesar 4,90 % angka yang perkembangan yang bagus untuk awal yang baik dalam memperbaiki kondisi ekonomi. Tahun-tahun berikutnya perkembangan laju pertumbuhan ekonomi berfluktuasi.
Sementara itu pada kenyataannya, prospek perluasan lapangan kerja 2003 masih suram karena pertumbuhan ekonomi hanya 3-4 persen. Akibatnya, penyerapan tenaga kerja hanya sekitar 1,2 juta orang. Padahal, angkatan kerja yang masuk pasar kerja 2,5 juta orang. Hal ini berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran dari 38 juta menjadi 40,5 juta. Bila merujuk pada jumlah angkatan kerja yang pada tahun 2001 mencapai 98,8 juta orang, berarti persentase pengangguran telah mencapai 30 persen di tahun 2003. Sebab, tingkat pertumbuhan angka pengangguran mencapai 1,5 juta orang per tahun. Untuk dapat menampung angka pengangguran tersebut, ekonomi harus tumbuh paling sedikit lima persen untuk mencapai tingkat itu sangat sulit mengingat banyak keterbatasan dan kendala yang dihadapi oleh pemerintah. (kmb2.www.balipost.com)
Permasalahan yang perlu diperhatikan mengenai kesempatan kerja yaitu upah. Dimana upah merupakan landasan hubungan kerja yang perlu dikaji ulang, karena masih banyak pekerja yang belum mendapatkan upah sesuai dengan kebutuhan fisik minimum, kebutuhan hidup minimum. Ditengah krisis ekonomi presepsi pengusaha dengan pekerja sering berbeda, sehingga mempersulit dalam mencari jalan pemecahannya.(Prijono Tjiptoherijanto, 2001 : 1).
Bagi para pekerja upah merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kesejahteraan tinggi rendahnya upah yang diterima akan berpengaruh langsung terhadap kesejahteraan hidup yang dialami pekerja. Bagi perusahaan upah mempengaruhi biaya produksi dan tingkat harga yang akhirnya akan berakibat pada pertambahan produksi serta perluasan kesempatan kerja. (Prijono Tjiptoherijanto, 1993 : 3).
Dari catatan yang ada, upah minimum riil rata-rata meningkat jauh lebih tajam daripada pertumbuhan pendapatan nasional. Bila tingkat pendapatan nasional tumbuh di bawah 5 persen sepanjang 1998-2005, upah minimum meningkat 12-17% persen setiap tahun pada kurun waktu yang sama. Perbedaan antara kenaikan upah minimum dan pendapatan nasional riil menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja di sektor formal. Sebab, perusahaan menyiasati kenaikan ongkos produksi akibat tingginya upah melalui penambahan beban pekerjaan dan substitusi dengan mesin. Satu simulasi yang dilakukan tim SMERU menunjukkan, setiap kenaikan 10 persen upah minimum mengakibatkan penyempitan kesempatan kerja rata-rata sebesar 1 persen di sektor formal. Dari simulasi yang sama, setiap kenaikan 10 persen upah minimum meningkatkan jumlah kehilangan kerja lebih besar lagi, sebesar 2 persen, pada pekerja berpendidikan rendah. Padahal, data menunjukkan, sekitar 80 persen tenaga kerja di Indonesia berpendidikan rendah. (MJkhsan Modjo : 2006)
Upah buruh Indonesia di bawah upah buruh Internasional Di AS, upah minimum adalah US$ 5-8 per jam atau US$ 840-1.344 per bulan (Rp 7,8-12,6 juta per bulan).Di Singapura tidak ada UMR, tapi rata2 buruh manufaktur, gaji per bulannya adalah US$ 1.600 perbulan (Rp 15 juta). Bahkan TKW kita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Singapura, gajinya sekitar Rp 1,5 juta per bulan, sementara di Indonesia hanya Rp 250 ribu per bulan. UMR di Indonesia berkisar antara Rp 711.000 sampai Rp 300 ribu per bulan (US$ 32-75). Upah serendah itu pun sering dianggap terlalu besar, sehingga banyak pekerja yang gajinya di bawah UMR. (http://osdir.com/ml/culture.region.Ind.html)
Dari permasalahan yang telah di uraikan tersebut perluasan kesempatan kerja melalui kebijakan penentuan upah dan pertumbuhan ekonomi perlu dilakukan. Permasalahan kekurangan kesempatan kerja ini jika tidak ada tindak lanjut akan mempengaruhi perekonomian yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat. maka dari pembahasan tersebut penulis tertarik lebih jauh mengenai perluasan kesempatan kerja dalam rangka menuntaskan pengangguran. Sehingga penulis mengambil judul "Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi dan Upah Terhadap kesempatan Kerja Di Indonesia"

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH
Yang menjadi rumusan masalah sesuai dengan latar belakang dalam makalah ini akan membahas lebih lanjut mengenai :
1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesempatan kerja di Indonesia ?
2. Bagaimana pengaruh upah terhadap kesempatan kerja di Indonesia ?
3. Bagaimana pengaruh upah dan pertumbuhan ekonomi terhadap kesempatan kerja ?

1.3. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
1.3.1. Tujuan Penyusunan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesempatan kerja di Indonesia.
2. Untuk mengatahui bagaimana pengaruh upah terhadap kesempatan kerja.
3. Untuk mengatahui pengaruh pertumbuhan ekonomi dan upah terhadap kesempatan kerja.
1.3.2. Kegunaan Penyusunan Penelitian
1. Sebagai bahan informasi tambahan bagi para mahasiswa untuk mengetahui apakah besarnya pertumbuhan ekonomi dan upah mempengaruhi terhadap kesempatan kerja
2. Untuk memberikan sumbangan terhadap pemikiran dan perkembangan ilmu ekonomi khususnya masalah perkembangan kesempatan kerja.
3. Memberikan rangsangan dalam melakukan penelitian tindak lanjut mengenai kesempatan kerja.
SKRIPSI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SUB SEKTOR INDUSTRI

SKRIPSI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SUB SEKTOR INDUSTRI


(KODE : PEND-IPS-0036) : SKRIPSI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SUB SEKTOR INDUSTRI




BAB I 
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh negara-negara berkembang mempunyai tujuan antara lain untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang hasilnya secara merata dirasakan oleh masyarakat, meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, mengurangi perbedaan kemampuan antar daerah, serta struktur perekonomian yang seimbang. Salah satu indikator untuk menilai keberhasilan dari pembangunan ekonomi suatu negara adalah dilihat dari kesempatan kerja yang diciptakan dari pembangunan ekonomi (Suharsono Sagir, 2000 : 142).
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang yang masih dalam tahap membangun. Saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada berbagai problematika. Problematika dalam pembangunan Indonesia diantaranya adalah kependudukan, ketenaga kerjaan dan pengangguran. Permasalahan kependudukan indonesia, yaitu jumlah penduduk yang besar disertai dengan tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi dan tingkat persebaran penduduk yang tidak merata (Mulyadi, 2008 : 55).
Jumlah penduduk yang besar merupakan modal pembangunan yang cukup potensial dengan syarat semua penduduk memiliki soft skill yang tinggi dan tentunya dibekali oleh pendidikan yang tinggi. Sebaliknya penduduk merupakan beban dalam pembangunan jika tidak dibekali dengan pendidikan dan keterampilan yang memadai akibatnya kemiskinan meningkat, serta pengangguran yang tinggi. Oleh karena itu pembangunan nasional diarahkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk yang merata (Mulyadi, 2008 : 55)
Persoalan pokok yang dihadapi Indonesia dalam bidang ketenagakerjaan adalah kelebihan tenaga kerja serta kecilnya kesempatan kerja yang tercipta pada setiap sektor sehingga terjadi pengangguran. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 yang ditandai dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi sampai dengan minus 13,13% memberikan dampak buruk terhadap masalah penyerapan tenaga kerja.
Masalah tenaga kerja di Indonesia masih menjadi masalah ekonomi utama yang sampai saat ini belum bisa diatasi. Sebagaimana kita ketahui, bahwa terjadi perubahan sistem perekonomian pasca krisis dari usaha yang padat karya ke usaha yang lebih padat modal. Akibatnya pertumbuhan tenaga kerja yang ada sejak tahun 1998 sampai dengan 2003 terakumulasi dalam meningkatnya angka pengangguran. Dilain sisi, pertumbuhan tingkat tenaga kerja ini tidak diikuti dengan pertumbuhan usaha (investasi) yang dapat menyerap tenaga kerja. Akibatnya terjadi peningkatan jumlah pengangguran di Indonesia (Imamudin, 2009 : 177).
Permasalahan pembangunan yang cukup serius yaitu menyangkut tingginya angka pengangguran terbuka yang berpotensi menimbulkan permasalahan sosial lainnya. Sampai tahun 2008, tingkat pengangguran terbuka masih berada pada kisaran 9% dari jumlah angkatan kerja atau berada pada kisaran 9 juta orang. Sasaran yang ingin dicapai menyangkut bidang ketenagakerjaan menurut rencan kerja pembangunan (RKP) tahun 2006 adalah menurunkan jumlah angka pengangguran terbuka menjadi 9,6 juta orang atau 8,9% dari angkatan kerja. Namun dalam kenyataan jumlah pengangguran terbuka pada bulan februari 2006 mencapai angka 11,1 juta jiwa atau sebesar 10,4% dari angkatan kerja (Imamudin, 2009 : 177).
Salah satu usaha untuk meningkatkan kesempatan kerja adalah melalui pembangunan di sektor industri. Pembangunan di sektor industri merupakan bagian dari usaha jangka panjang untuk memperbaiki struktur ekonomi yang tidak seimbang karena bercorak pertanian kearah ekonomi yang lebih kokoh dan seimbang antara pertanian dan industri (Departemen Perindustrian, 1999 : 7)
Sebagaimana halnya banyak Negara yang sedang berkembang, Indonesia mempersiapkan sektor-sektor industri agar mampu menjadi sektor penggerak pembangunan sektor-sektor lain untuk menuju perubahan melalui transormasi ekonomi.
Menurut Dumairy (1995 : 233) menyatakan :
"perkembangan sektor industri dapat dilihat dari berbagai ukuran perbandingan seperti jumlah unit usaha atau pengusaha, jumlah tenaga kerja diserap, nilai keluaran (output) yang dihasilkan, sumbangan dalam perolehan devisa, kontribusi dalam pembentukan pendapatan nasional serta tingkat pertumbuhannya".
Sektor industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor-sektor lain dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Produk-produk industrial selalu memiliki dasar tukar {terms of trade) yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk sektor lain. Hal ini disebabkan karena sektor industri memiliki variasi produk yang sangat beragam dan mampu memberikan manfaat marjinal yang tinggi kepada pemakainya. Pelaku bisnis (produsen, penyalur, pedagang, dan investor) lebih suka berkecimpung dalam bidang industri karena sektor ini memberikan marjin keuntungan yang lebih menarik. (Dumairy, 1997 : 227).
Selama terjadinya krisis ekonomi, penyerapan tenaga kerja secara nasional mengalami penurunan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 memperlihatkan bahwa sektor industri yang selama ini diharapkan menjadi sektor andalan dalam memacu pertumbuhan ekonomi ternyata tidak mampu bertahan.
Berdasarkan rata-rata penyerapan jumlah tenaga kerja tahun 2002-2008, Sektor Industri pengolahan menduduki peringkat ke-4 di antara 10 sektor utama, dengan kontribusi sebanyak 12.440,14 ribu tenaga kerja dari total tenaga kerja nasional. Rata-rata kontribusi penyerapan tenaga kerja terbesar tahun 2002-2008 masih diberikan oleh Sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan sebesar 42.689,63 ribu tenaga kerja, diikuti Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 20.684,04 ribu tenaga kerja, dan Sektor Jasa Kemasyarakatan sebesar 12.778,15 ribu tenaga kerja dari total tenaga kerja nasional (Departemen Perdagangan, 2009).
Berikut adalah data perkembangan kontribusi tenaga kerja pada sektor industri terhadap tenaga kerja nasional di Indonesia berdasarkan catatan Bank Indonesia dari tahun 1989 hingga 2008. Dapat dilihat bahwa perkembangan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri dan kontribusinya terhadap tenaga kerja nasional mengalami fluktuatif. Pada tahun 1990 sampai 1995 perkembangan kontribusi penyerapan tenaga kerja sektor industri terhadap tenaga kerja nasional selalu meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 10,79%. Kemudian terjadi fluktuatif dari tahun 1996-2007. Pada tahun 1998, perkembangan penyerapan tenaga kerja pada sektor industri mencapai -5,24% dengan kontribusi terhadap tenaga kerja nasional 11,33%, yakni turun sebesar 0,71% dari tahun sebelumnya. Penurunan penyerapan tenaga kerja juga terjadi pada tahun 2003, tahun 2004 dan tahun 2006 dimana masing-masing mencapai-5,07%,-3,70% dan-0,53%. Namun, pada tahun terakhir yakni pada tahun 2008 penyerapan tenaga kerja pada sektor industri maupun kontribusinya terhadap tenaga kerja nasional mengalami penurunan sebesar 1,82% atau 12.594 ribu jiwa tenaga kerja yang terserap sektor industri pada tahun 2008 dengan kontribusi terhadap tenaga kerja nasional sebesar 12,34% yakni turun 0,33% dari tahun 2007.
Berikut adalah data perkembangan tenaga kerja pada sektor industri pengolahan berdasarkan International Standard of Industrial Classification (ISIC) 2 digit di Indonesia berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik dari tahun 1989 hingga 2008. Dapat dilihat bahwa perkembangan penyerapan tenaga kerja berdasarkan kelompok industri menurut ISIC 2 digit di Indonesia mengalami fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan masing-masing sektor sebesar -2,85% untuk Industri makanan, minuman, dan tembakau (31); 3,67% untuk Industri tekstil, pakaian jadi, dan kulit (32); 18,76% untuk Industri kayu dan barang-barang dari kayu, termasuk perabot rumah tangga (33); 6,09% untuk Industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan, dan penerbitan (34); 4,29% untuk Industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia, minyak bumi, batu bara, karet, dan plastic (35); -7,68% untuk Industri barang galian bukan logam, kecuali inyak bumi dan batu bara (36); 2,78% untuk Industri logam dasar (37); 6,07% untuk Industri barang dari logam, mesin dan peralatannya (38); 11,86% untuk Industri pengolahan lainnya (39).
Pada tahun 2007 dan 2008 pertumbuhan tenaga kerja hampir di semua sektor industri terjadi penurunan dari tahun sebelumnya seperti pada industri makanan, minuman, dan tembakau (31); Industri tekstil, pakaian jadi, dan kulit (32); Industri kertas dan barang-barang dari kertas, percetakan, dan penerbitan (34); Industri barang galian bukan logam, kecuali inyak bumi dan batu bara (36); Industri logam dasar (37); Industri barang dari logam, mesin dan peralatannya (38); dan Industri pengolahan lainnya (39). Sedangkan untuk Industri kayu dan barang-barang dari kayu, termasuk perabot rumah tangga (33); dan industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia, minyak bumi, batu bara, karet, dan plastik (35) mengalami kenaikan penyarapan tenaga kerja dengan masing-masing pertumbuhan tenaga kerja sebesar 1,27% untuk Industri kayu dan barang-barang dari kayu, termasuk perabot rumah tangga, dan 16,2% untuk dan industri kimia dan barang-barang dari bahan kimia, minyak bumi, batu bara, karet, dan plastik.
Kondisi ini juga berpengaruh pada kontribusi tenaga kerja masing-masing sektor industri terhadap tenaga kerja secara nasional yang juga mengalami penurunan pada tahun 2008 dari sebelumnya di tahun 2007 sebesar 12,67% menjadi 12,34% di tahun 2008. Berdasarkan perkembangan dari tahun 1990 sampai 2008 pertumbuhan tenaga kerja masing-masing sektor pada sektor industri berfluktuatif. Bahkan pada tahun terakhir yakni tahun 2008 pertumbuhan tenaga kerja secara keseluruhan terjadi penurunan.
Penyerapan tenaga kerja yang menurun setelah dilanda krisis tak dapat di sangkal, hal ini disebabkan antara lain karena perusahan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif bagi pengembangan usaha, peraturan yang menghambat investasi, serta hambatan dalam proses ekspor impor. Masalah lain, yang tak kalah pentingnya adalah pelaksanaan otonomi daerah yang dalam banyak hal seringkali tidak mendukung penciptaan lapangan kerja terhadap tenaga kerja.
Dalam hal ini pertumbuhan ekonomi memegang peranan yang sangat penting dalam penyerapan tenaga kerja. Berpijak dari latar belakang masalah diatas, maka penulis mengambil judul dalam penelitian ini yaitu "PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SUB SEKTOR-SUB SEKTOR INDUSTRI PENGOLAHAN DI INDONESIA"

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka lingkup permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja pada sub sektor-sub sektor Industri pengolahan di Indonesia berdasarkan International Standard of Industrial Classification (ISIC) 2 digit.

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja pada sub sektor-sub sektor Industri pengolahan di Indonesia berdasarkan International Standard of Industrial Classification (ISIC) 2 digit.
1.3.2 Kegunaan Penelitian
a. Sebagai informasi tambahan bagi para mahasiswa dan masyarakat untuk mengetahui seberapa besar pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja pada sub sektor-sub sektor industri pengolahan di Indonesia berdasarkan International Standard of Industrial Classification (ISIC) 2 digit.
b. Memberikan sumbangan terhadap pemikiran dan perkembangan ilmu ekonomi khusunya masalah penyerapan tenaga kerja pada sub sektor-sub sektor industri pengolahan di Indonesia berdasarkan International Standard of Industrial Classification (ISIC) 2 digit.
c. Memberikan rangsangan dalam melakukan penelitian tindak lanjut mengenai penyerapan tenaga kerja pada sub sektor-sub sektor industri pengolahan di Indonesia berdasarkan International Standard of Industrial Classification (ISIC) 2 digit.
SKRIPSI PENGARUH PENERAPAN TUTOR SEBAYA PADA INKUIRI TERBIMBING TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA PADA SUBKONSEP SISTEM PERNAPASAN HEWAN

SKRIPSI PENGARUH PENERAPAN TUTOR SEBAYA PADA INKUIRI TERBIMBING TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA PADA SUBKONSEP SISTEM PERNAPASAN HEWAN


(KODE : PENDMIPA-0028) : SKRIPSI PENGARUH PENERAPAN TUTOR SEBAYA PADA INKUIRI TERBIMBING TERHADAP KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA PADA SUBKONSEP SISTEM PERNAPASAN HEWAN




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dalam BNSP 2006, materi sistem pernapasan hewan di tingkat SMA memiliki kompetensi dasar yaitu menjelaskan keterkaitan antara struktur, fungsi, dan proses serta kelainan/penyakit yang dapat terjadi pada sistem pernapasan pada manusia dan hewan (misalnya burung). Kompetensi minimal dari kompetensi dasar tersebut adalah kemampuan menjelaskan. Berdasarkan kompetensi minimal menjelaskan tersebut, pada umumnya guru-guru menggunakan metode ceramah dalam penyampaian materi sistem pernapasan hewan. Selain penyampaian materi di kelas dengan metode ceramah, guru pun pada umumnya melakukan praktikum pernapasan hewan. Berkaitan dengan mata pelajaran biologi yang bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses, maka kemampuan keterampilan proses sains dianggap penting untuk ditingkatkan dalam pembelajaran biologi termasuk pada materi sistem pernapasan hewan.
Pada pembelajaran dengan pendekatan keterampilan proses, siswa diarahkan untuk terbiasa membangun pengetahuan lewat suatu proses yang harus dilaluinya sehingga mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep. Keterampilan proses sains yang dapat dikuasai oleh siswa diantaranya kemampuan observasi, interpretasi, klasifikasi, prediksi, berkomunikasi, berhipotesis, merencanakan percobaan, menggunakan alat/bahan, menerapkan konsep, mengajukan pertanyaan dan melaksanakan percobaan/eksperimentasi (Rustaman et al., 2003).
Dengan penggunaan metode ceramah dalam menyampaikan materi sistem pernapasan hewan yang umumnya dilakukan oleh guru-guru di lapangan, maka kemampuan keterampilan proses sains siswa tidak dapat tergali. Begitu juga dengan praktikum yang biasa dilakukan di lapangan, guru memberikan LKS (Lembar Kerja Siswa) yang telah ditentukan langkah kerjanya sehingga siswa melaksanakan praktikum hanya berdasarkan langkah-langkah kerja yang telah ada. Hal ini dapat menyebabkan kemampuan keterampilan proses sains siswa menjadi tidak berkembang dan tidak semua keterampilan proses sains dapat dimunculkan. Untuk itu perlu dilakukan suatu pendekatan dalam kegiatan praktikum agar dapat meningkatkan penguasaan keterampilan proses sains siswa. Salah satu pendekatan dalam kegiatan praktikum yang dapat digunakan untuk meningkatkan penguasaan keterampilan proses sains siswa adalah pendekatan inkuiri. Hal ini dikarenakan pendekatan inkuiri dapat mengarahkan siswa kepada penyelidikan dan penemuan yang dapat menciptakan kegiatan menjadi berpusat pada siswa, membentuk konsep diri, memperoleh pengalaman-pengalaman bam, serta menggunakan kemampuan yang dimiliki siswa untuk memecahkan masalah. Keinginan siswa akan terpacu sehingga memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaannya hingga menemukan jawaban.
Dettrick (Rustaman et al, 2003 : 110) menyatakan bahwa pendekatan inkuiri berarti membelajarkan siswa untuk mengendalikan situasi yang dihadapi ketika berhubungan dengan dunia fisik, yaitu dengan menggunakan teknik yang digunakan oleh para ahli penelitian. Dalam pendekatan inkuiri berarti guru merencanakan situasi sedemikian rupa sehingga siswa didorong untuk menggunakan prosedur yang digunakan para ahli penelitian untuk mengenal masalah, mengajukan pertanyaan, mengemukakan langkah-langkah penelitian, memberikan pemaparan yang ajeg, membuat ramalan, dan penjelasan yang menunjang pengalaman. Pendekatan inkuiri dapat dibedakan menjadi inkuiri terbimbing (guided inquiry) dan inkuiri bebas atau inkuiri terbuka (open-ended inquiry). Perbedaan antara keduanya terletak pada siapa yang mengajukan pertanyaan dan apa tujuan dari kegiatannya. Pada inkuiri terbimbing guru membimbing siswa melakukan kegiatan dengan memberi pertanyaan awal dan mengarahkan pada suatu diskusi. Inkuiri terbimbing dapat dilakukan pada awal suatu pelajaran untuk siswa yang belum terbiasa, untuk kemudian dapat diikuti oleh open-ended inquiry atau inkuiri terbuka (Rustaman et al, 2003 : 110-111). Pembelajaran inkuiri masih jarang diterapkan di SMA, maka penerapan pendekatan inkuiri dalam pembelajaran sebaiknya menggunakan inkuiri terbimbing, hal ini dikarenakan siswa masih membutuhkan bimbingan atau arahan dari guru.
Adapun dalam penelitian-penelitian sebelumnya telah diteliti mengenai keterampilan proses sains siswa pada praktikum berbasis inkuiri terbimbing pada konsep pencemaran dan sistem ekskresi (Suramiharja, 2005 dan Elvan, 2007). Penelitian yang telah dilakukan oleh Suramiharja (2005) didapatkan hasil bahwa belum semua keterampilan proses sains siswa muncul dalam pembelajaran, sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh Elvan (2007) didapatkan hasil bahwa semua aspek keterampilan proses sains telah muncul namun ada beberapa keterampilan proses sains yang belum dapat dicapai dengan baik. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk meningkatkan penguasaan keterampilan proses sains siswa agar menjadi lebih baik diperlukan adanya penerapan suatu strategi pembelajaran. Strategi pembelajaran yang dipilih dalam penelitian ini yaitu tutor sebaya. Hal ini dikarenakan dengan adanya penerapan tutor sebaya pada pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing diharapkan siswa yang lebih cekatan dan memiliki kemampuan yang lebih akan mengajarkan dan memberi arahan kepada teman sekelompoknya sehingga teman sekelompoknya akan lebih termotivasi dan tidak malu untuk bertanya jika ada yang kurang dipahami.
Tutor sebaya adalah suatu strategi pembelajaran yang dalam kegiatan belajar mengajar dilakukan oleh siswa seangkatan atau satu kelas yang ditunjuk oleh guru dengan berbagai pertimbangan. Adakalanya seorang siswa lebih mudah menerima keterangan yang diberikan oleh kawan sebangku atau kawan-kawan yang lain karena tidak adanya rasa enggan atau malu bertanya. Strategi pembelajaran ini dapat pula berperan mengungkap ketiga aspek tujuan belajar, yakni aspek kognitif, aspek afektif, aspek psikomotorik (Setianingsih, 2008). Strategi pembelajaran dengan tutor sebaya mampu memfasilitasi siswa yang kemampuannya berbeda-beda. Adanya perbedaan kemampuan tersebut dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang bersumber dari dalam individu seperti kecerdasan, perhatian, minat, bakat, motivasi, kematangan dan kesiapan. Sedangkan faktor eksternal adalah semua faktor yang bersumber dari luar seperti lingkungan sekolah meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah dan lain-lain (Slameto, 2003).
Tutor sebaya terkait dengan relasi siswa dengan siswa karena siswa yang mempunyai pengetahuan lebih tentang materi yang dipelajari dapat menjadi tutor dengan menunjukkan kepedulian dan tanggung jawabnya terhadap teman-temannya, sehingga siswa tersebut dapat mengaktualisasikan kemampuan lebihnya untuk bersikap peduli terhadap teman-temannya yang kurang mampu dan menyuburkan rasa bertanggung jawab bersama dalam belajar serta menumbuhkan rasa percaya diri. Dengan mekanisme belajar seperti ini, siswa dapat belajar dari teman sebayanya dan diharapkan akan meningkatkan prestasi belajar baik prestasi perorangan maupun klasikal (Arikunto, 1992). Dengan demikian, penerapan tutor sebaya pada pembelajaran dengan pendekatan inkuiri terbimbing diharapkan dapat meningkatkan penguasaan keterampilan proses sains siswa. Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh penerapan tutor sebaya pada inkuiri terbimbing terhadap keterampilan proses sains siswa pada subkonsep sistem pernapasan hewan.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : "Bagaimana pengaruh peranan tutor sebaya pada inkuiri terbimbing terhadap keterampilan proses sains siswa pada subkonsep sistem pernapasan hewan ?"
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dijabarkan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana keterampilan proses sains siswa pada pembelajaran sistem pernapasan hewan sebelum dilibatkannya tutor sebaya pada inkuiri terbimbing dibandingkan dengan tanpa tutor sebaya ?
2. Bagaimana keterampilan proses sains siswa pada pembelajaran sistem pernapasan hewan sesudah diterapkannya pembelajaran dengan penerapan tutor sebaya pada inkuiri terbimbing dibandingkan dengan tanpa tutor sebaya ?
3. Bagaimana pencapaian tiap aspek dari keterampilan proses sains siswa antara pembelajaran dengan penerapan tutor sebaya pada inkuiri terbimbing dibandingkan dengan tanpa tutor sebaya ?
4. Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap pembelajaran sistem pernapasan hewan dengan penerapan tutor sebaya pada inkuiri terbimbing ?

C. Batasan Masalah
Agar permasalahan tidak terlalu meluas dalam pelaksanaannya, maka permasalahan dibatasi dalam hal berikut ini :
1. Tutor sebaya yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa sekelas yang usianya sama yang dipilih berdasarkan nilai pada semester sebelumnya.
2. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan adalah kegiatan praktikum mengenai laju konsumsi oksigen pada hewan.
3. Pengaruh yang diukur dalam penelitian ini yaitu peningkatan keterampilan proses sains siswa yang menggunakan tutor sebaya pada inkuiri terbimbing dibandingkan dengan kelas kontrol yang tanpa tutor sebaya.
4. Keterampilan proses sains dalam penelitian ini adalah keterampilan proses sains yang terdiri atas observasi , interpretasi, klasifikasi, prediksi, berkomunikasi, berhipotesis, merencanakan percobaan, menggunakan alat/bahan, menerapkan konsep, mengajukan pertanyaan, dan melaksanakan percobaan.
5. Subjek penelitian adalah siswa kelas XI SMA X semester genap yang diambil sebanyak dua kelas.

D. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan tutor sebaya pada inkuiri terbimbing terhadap keterampilan proses sains siswa pada subkonsep sistem pernapasan hewan.

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada berbagai pihak, diantaranya :
1. Bagi siswa
a) Mengembangkan kemampuan keterampilan proses sains siswa dalam kegiatan praktikum, seperti observasi, interpretasi, klasifikasi, prediksi, berkomunikasi, berhipotesis, merencanakan percobaan, menggunakan alat/bahan, menerapkan konsep, mengajukan pertanyaan dan melaksanakan percobaan/eksperimentasi.
b) Memberikan pengalaman belajar mandiri dengan penerapan tutor sebaya pada inkuiri terbimbing.
c) Memberikan motivasi dan suasana baru pada siswa dalam belajar dengan penerapan tutor sebaya pada inkuiri terbimbing.
d) Meningkatkan interaksi sosial siswa dengan penerapan tutor sebaya pada inkuiri terbimbing.
e) Mengembangkan sikap ilmiah.
2. Bagi guru
a) Membantu guru untuk memperoleh gambaran dan informasi mengenai keterampilan proses sains yang dimiliki siswa dalam pembelajaran.
b) Dapat digunakan sebagai rujukan dalam mengembangkan keterampilan proses sains siswa.
c) Dapat digunakan sebagai rujukan dalam penentuan strategi dan pendekatan pembelajaran yang sesuai.
3. Bagi peneliti lain
a) Dapat dijadikan masukan dan bahan pertimbangan untuk penelitian yang sejenis pada konsep biologi lainnya.
SKRIPSI PENERAPAN PEMBELAJARAN THINK-TALK-WRITE (TTW) UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP FISIKA SISWA SMA

SKRIPSI PENERAPAN PEMBELAJARAN THINK-TALK-WRITE (TTW) UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP FISIKA SISWA SMA


(KODE : PENDMIPA-0027) : SKRIPSI PENERAPAN PEMBELAJARAN THINK-TALK-WRITE (TTW) UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP FISIKA SISWA SMA




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pada dasarnya kemajuan pendidikan salah-satunya tergantung dari apa yang dilakukan guru dalam pembelajaran di kelas. Guru diharapkan mampu lebih mengembangkan profesionalisme dalam membelajarkan siswa dalam fungsinya sebagai fasilitator pembelajaran. Terdapat banyak teori pembelajaran yang dikembangkan para ahli dalam upaya memberikan masukan serta pengetahuan bagi para guru yang bertujuan untuk menjadikan siswa didikannya unggul dan menjadi jaminan bagi masa depan siswa itu sendiri baik yang akan melanjutkan pendidikannya atau yang akan terjun ke masyarakat.
Proses pembelajaran di kelas adalah salah satu tahap yang sangat menentukan keberhasilan belajar siswa. Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran dapat dilakukan terhadap berbagai komponen seperti : siswa, guru, indikator pembelajaran, isi pelajaran, metode, media, dan evaluasi. Guru sebagai salah satu mediator dan komponen pengajaran mempunyai peranan yang sangat penting dalam mencapai tujuan pembelajaran dan sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan, karena guru terlibat langsung di dalamnya.
Dari penelitian yang dilakukan Wardiman Djojonegoro ternyata diketahui bahwa mata pelajaran fisika dirasa sebagai mata pelajaran paling sulit di sekolah sehingga kurang disenangi siswa (Fatimah, 2003 : 04). Ini adalah paradigma yang sudah tidak asing lagi bagi para guru fisika yang harus dipecahkan para guru.
Telah dilakukan wawancara dan observasi di salah satu SMA Negeri di X mengenai keterlaksanaan proses pembelajaran fisika di dalam kelas, yaitu :
1. Wawancara terhadap siswa tentang mata pelajaran fisika
Pendapat siswa tentang pembelajaran fisika umumnya sama yaitu : belajar fisika sangat sulit karena banyak mmusnya, banyak yang harus dihafal, belajarnya membosankan, soalnya susah dikerjakan, tidak mengerti konsepnya, tidak terbayangkan kejadiannya fisisnya, dan permasalahan lain. Berdasarkan jawaban siswa ini dapat dilihat bahwa pembelajaran fisika banyak dilakukan dengan memberi konsep-konsep fisika tanpa melalui pengolahan potensi yang ada pada diri siswa maupun yang ada di sekitarnya atau dengan kata lain siswa belajar menghafal konsep dan bukan menguasai konsep sehingga belajar fisika kurang bermakna dengan tidak terbentuk konstmksi konsep fisika yang benar. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Dahar (1996 : 115) bahwa salah satu keluhan dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan MIPA adalah siswa hanya menghafal tanpa memahami benar isi pelajaran.
2. Observasi pelaksanaan pembelajaran fisika
a. Pembelajaran fisika di kelas berpusat pada guru {teacher centre), siswa hanya memperhatikan dan mendengarkan penjelasan guru.
Pada prosesnya ada beberapa siswa yang bertanya, namun umumnya kurang dari 10 orang (kurang dari 25%) dan itu pun siswa yang itu-itu saja.
b. Pembelajaran dimulai dengan guru memberikan pertanyaan "Kita sudah sampai mana ?" atau dengan kata lain guru tidak mengetahui pencapaian pembelajaran di kelas dan tidak melakukan apersepsi ataupun penggalian konsep awal.
c. Pada kegiatan inti, siswa mengeksplorasi buku paket saja yang telah disediakannya, kemudian dilakukan latihan-latihan soal.
d. Pada kegiatan penutup tidak ada refleksi dan penguatan konsep sehingga tidak ada umpan balik untuk siswa maupun guru.
3. Wawancara dengan guru tentang hasil belajar mata pelajaran fisika
a. Nilai fisika selalu rendah jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Untuk semester ganjil nilai rata-rata pelajaran fisika kelas XII IPA adalah 4,06, nilai rata-rata ini lebih kecil dari rata-rata nilai mata pelajaran lain.
b. Motivasi belajar fisika siswa rendah dengan sedikitnya siswa yang berperan aktif dalam pembelajaran.
c. Waktu belajar yang relatif pendek (sedikit).
d. Kurangnya fasilitas laboratorium di sekolah.
e. Penguasaan konsep fisika siswa rendah, siswa hanya menghafal saja.
f. Jika meninjau indikator penguasaan konsep yang digunakan dalam penelitian ini siswa lemah dalam lima indikator yaitu : kemampuan menyimpulkan, kemampuan meramalkan, kemampuan mengelompokkan, kemampuan menjelaskan, dan kemamp;uan menghitung.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi tersebut, maka yang menjadi masalah utama adalah prosedur atau tahapan pembelajaran yang belum sistematis yang dilakukan guru dalam kelas, sehingga hasil belajar siswa kurang dari apa yang diharapkan. Untuk itu diperlukan sebuah model yang senantiasa digunakan dan dikembangkan oleh guru untuk mengkonstruksi konsep fisika siswa dengan benar. Confrey dalam Suherman, dkk. (2003 : 77) menyatakan bahwa dengan mengkonstruksi pemahaman, maka pada diri siswa akan terbentuk sesuatu yang cocok dengan pendapat para ahli (konsep) dan siswa akan memperoleh kemampuan untuk menjustifikasi dan mempertahankan pendapatnya.
Belajar siswa berkaitan dengan motivasi belajarnya, dalam hal ini hubungan antar siswa di kelas harus terjalin dengan baik. Siswa yang merasa tidak diterima oleh kelasnya akan merasa tidak betah berada dalam kelasnya itu, sehingga motivasi belajarnya pun berkurang (Karso, 1993-1994 : 108). Oleh karena itu, guru perlu melakukan tindakan pengkondisian dimana siswa dapat melakukan kerja sama dalam kelompok yang lebih kecil dan salah satu strateginya adalah dengan pembelajaran berkelompok atau kooperatif, misalnya dengan pemberian tugas dan kerja kelompok.
Motivasi belajar juga terpengaruh oleh keterlibatan siswa dalam proses belajar. Ketika siswa merasa telah terlibat dalam suatu proses pembelajaran, maka akan timbul kepercayaan diri dan semangat belajar lebih. Untuk itu, pembelajaran yang berpusat pada siswa sangat disarankan dilakukan para guru dalam proses pembelajaran di kelas.
Mengingat proses belajar siswa yang tergantung motivasi seperti yang telah diuraikan, maka penulis merasa perlu untuk memilih metode pembelajaran yang mencakup keduanya yaitu pembelajaran yang bersifat kooperatif dan pembelajaran yang berpusat pada siswa serta mampu mengkonstruksi pengetahuan konsep siswa. Untuk itu, penulis meneliti tentang penerapan pembelajaran think-talk-write yang termasuk pembelajaran kooperatif yang berpusat pada siswa. Selain itu, jika ditinjau dari langkah-langkah pembelajarannya model think-talk-write juga termasuk model pembelajaran yang beraliran konstruktivisme.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang model pembelajaran think-talk-write dalam upaya meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa SMA dengan judul "Penerapan Pembelajaran Think-Talk-Write untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Fisika Siswa SMA yang dilakukan pada pokok bahasan fluida statis pada kelas XI IPA.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang dikemukakan, maka dibuat perumusan masalah penelitian, yaitu :
1. Apakah penerapan pembelajaran think-talk-write dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa SMA ?
2. Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran think-talk-write ?

C. Batasan Masalah
Penelitian ini terbatas untuk meningkatkan kemampuan penguasaan konsep fisika saja yang dilakukan kepada siswa SMA dan bagaimana respon siswa terhadap model pembelajaran think-talk-write yang diterapkan ketika peneliatan dilaksanakan.
Indikator penguasaan konsep yang dievaluasi dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam, menjelaskan, menyimpulkan, mengelompokkan, meramalkan, dan menghitung dalam mata pelajaran fisika. Penguasaan konsep fisika diukur dengan menggunakan soal-soal yang telah disesuaikan indikatornya dengan indikator penguasaan konsep yang dibutuhkan.

D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui apakah model pembelajaran think-talk-write ini dapat meningkatkan penguasaan konsep fisika siswa SMA pokok bahasan Fluida Statis.
2. Mengetahui bagaimana respon siswa terhadap model pembelajaran think-talk-write ini.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak yaitu siswa, peneliti, dan guru.
Manfaat bagi siswa adalah dapat membantu meningkatkan penguasaan konsep siswa untuk dipergunakan dalam menyelesaikan permasalahan fisika dalam bentuk soal, dan sebagai gambaran bagi siswa dalam memahami cara-cara belajar dan dapat membandingkannya antara pembelajaran dengan prosedur pembelajaran think-talk-write dengan pendekatan atau model pembelajaran lainnya.
Manfaat bagi peneliti yaitu dapat memberikan pengalaman langsung dalam melakukan penelitian tentang model pembelajaran dan variasi model pembelajaran, memberikan wawasan baru bagi pengembangan ilmu pendidikan, khususnya dalam penyusunan atau pengembangan teori pendidikan bagi pelaksanaan pendidikan, dan memberikan alternatif model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran fisika.
Manfaat bagi guru yaitu dapat memberikan masukan dan gagasan tentang model pembelajaran, dan dapat mengetahui sejauh mana penguasaan konsep fisika yang diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran di kelas sehingga guru mampu melihat perkembangan kemampuan siswanya.
SKRIPSI EFEKTIVITAS MEDIA PRESENTASI MICROSOFT POWER POINT TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATERI BANGUN RUANG MATA PELAJARAN MATEMATIKA

SKRIPSI EFEKTIVITAS MEDIA PRESENTASI MICROSOFT POWER POINT TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATERI BANGUN RUANG MATA PELAJARAN MATEMATIKA


(KODE : PENDMIPA-0026) : SKRIPSI EFEKTIVITAS MEDIA PRESENTASI MICROSOFT POWER POINT TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATERI BANGUN RUANG MATA PELAJARAN MATEMATIKA




BAB I
PENDAHULUAN 


A. Latar Belakang Masalah
Matematika merupakan mata pelajaran yang dipelajari oleh semua siswa, mulai dari jenjang pendidikan dasar, menengah bahkan juga perguruan tinggi. Sebagai guru yang mengajarkan matematika, tentunya harus dapat meyakinkan siswa mengapa matematika dipilih untuk diajarkan di sekolah. Ada beberapa alasan tentang perlunya belajar matematika di sekolah. Dari bebagai alasan, para ahli (Russefendi,1991 ; Karso,1992 ; Abdurahman,1996) tentang perlunya sekolah mengajarkan matematika kepada siswa, dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan sarana yang sangat penting bagi manusia yang berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan symbol-simbol serta ketajaman penalaran yang dapat membantu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diketahui bahwa dalam tata kehidupan masyarakat saat ini, hampir tidak ada kegiatan yang tanpa melibatkan kemampuan dan keterampilan matematika.
Secara umum tujuan pembelajaran matematika di sekolah, selain menumbuhkembangkan kemampuan pengetahuan dasar matematika sebagai bekal belajar lebih lanjut, adalah membantu siswa dalam mengembangkan berbagai cara atau metode yang sesuai dalam memecahkan masalah yang berhubungan dengan konsep matematika yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berarti bahwa siswa tidak hanya mampu mendemonstrasikan kecakapan keterampilan tentang konsep-konsep matematika di kelas, melainkan siswa juga diberi kesempatan untuk menggunakan konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan tersebut dalam dunia nyata, sehingga konsep dan keterampilan yang dipelajarinya menjadi bermakna.
Berdasarkan prestasi belajar yang harus dicapai, pada dasarnya terdapat dua dimensi yang harus dipelajari siswa dalam belajar matematika sebagaimana dikemukakan oleh Lerner (Abdurahman,1996 : 219), yaitu dimensi kuantitatif dan dimensi kualitatif. Yang dimaksud dimensi kuantitatif adalah suatu pemahaman tentang konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan matematika yang meliputi aspek-aspek aritmatika (baik mengenai bilangan maupun operasinya); dan geometri (baik bangun datar, bangun ruang maupun pengukurannya) yang diperoleh siswa melalui pembelajaran. Pada dimensi ini hasil pembelajaran siswa belum mencapai yang sesungguhnya, karena apa yang dipelajarinya belum dapat difungsikan dalam kehidupannya.
Adapun dimensi kualitatif merupakan kemampuan siswa dalam mengaplikasikan konsep dan keterampilan yang diperolehnya dalam memecahkan persoalan (problem solving) matematika secara nyata didalam kehidupan mereka, sehingga konsep dan keterampilan tersebut menjadi fungsional. Dalam dimensi kualitatif, aplikasi konsep dan keterampilan tersebut temtama berkaitan dengan aspek mang, waktu, dan pengukuran. Operasionalisasi dari dimensi kualitatif ini diwujudkan dalam bentuk soal cerita.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan (wawancara dengan salah seorang guru matematika di Sekolah Menengah Pertama yang sekaligus sebagai Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran Matematika Kota X, diperoleh data sebagai hasil analisis evaluasi guru matematika dimana terdapat 50% dari siswa SMP kelas VIII, khususnya SMP 8 Kota X belum mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM yang diharapkan 7,1; sedangkan nilai yang diperoleh = 6,7); 25% dari mereka mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita temtama yang terkait dengan pengukuran bangun ruang; misalnya membaca gambar menentukan luas permukaan maupun volume limas atau prisma melalui gambar yang ditemukan. Apabila di Kota X terdapat 10 buah SMP Negeri yang masing-masing sekolah terdiri dari tujuh kelas VIII, setiap kelas terdiri dari 40 orang, dan 22 buah SMP Swasta yang tiap sekolahnya terdiri dari empat kelas VIII. Ini berarti ada 350 siswa SMP Negeri kelas VIII dan 440 siswa SMP Swasta kelas VIII (790 siswa) yang mengalami kesulitan dalam meyelesaikan soal-soal bangun ruang.
Sehubungan dengan situasi tersebut Nuriana (2007 : 1) dalam penelitiannya tentang pengamh model "Creative Problem Solving' dengan media Video Compact Disk dalam pembelajaran matematika mengemukakan bahwa : "sampai saat ini masih banyak ditemui kesulitan siswa untuk mempelajari konsep geometri temtama bangun ruang, khususnya pada siswa kelas VIII semester 2.
Berdasarkan situasi tersebut terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Disatu pihak, materi yang diajarkan sudah sesuai dengan perkembangan siswa, namun di pihak lain, prestasi yang diperoleh tidak seperti yang diharapkan. Banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian keberhasilan belajar siswa, misalnya faktor karakteristik materi atau bahan yang diajarkan, strategi pembelajaran dan atau media pembelajaran yang digunakan guru.
Ditinjau dari karakteristik materi atau bahan pelajaran, materi bangun ruang pada dasarnya merupakan materi yang besifat abstrak. Sehubungan dengan ini Fowler (Suyitno, 2000 : 37) mengemukakan bahwa :
"Matematika adalah ilmu yang mempelajari tentang bilangan dan ruang yang bersifat abstrak, sehingga untuk menunjang kelancaran pembelajaran disamping pemilihan metode yang tepat juga perlu digunakan suatu media pembelajaran yang sangat berperan dalam membimbing abstraksi siswa"
Pernyataan di atas mengimplikasikan bahwa dalam mengajarkan materi bangun ruang dituntut kemampuan guru untuk dapat mengupayakan media pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk memvisualisasikan konsep tersebut sehingga memudahkan pencapaian kompetensi dasar dan indikator pembelajaran yang ditentukan.
Banyak alternatif pilihan media yang dapat digunakan guru sebagai alat bantu dalam menyelenggarakan pembelajaran yang efektif dan efisien. Salah satunya adalah media komputer. Menurut Shute & Grandell (1994 : 177) bahwa dari tahun ke tahun pembelajaran dengan menggunakan komputer semakin meningkat, lebih dari tiga dekade komputer telah menunjukkan kemajuan yang sangat berarti dalam peranannya sebagai media pembelajaran. McDonough, et. al. (1989 : 155) mengemukakan tentang beberapa keuntungan penggunaan komputer dalam pembelajaran seperti memberikan stimulus untuk belajar, menciptakan efek audio dan visual, membantu recalling (pemanggilan kembali) konsep, mengaktifkan respon siswa, mendorong cara belajar interaktif, membebaskan guru dari tugas-tugas yang berulang dan menyediakan sumber belajar yang telah dimodifikasi.
Banyak jenis program komputer yang dapat dijadikan media penunjang untuk meningkatkan motivasi, atensi serta kemampuan (kognitif, afektif, psikomotor siswa) dalam pembelajaran di sekolah. Salah satu program di antaranya adalah Micrososft (MS) Power Point. Sebagai media aplikasi, MS Power Point merupakan sebuah program pendekatan persentasi dengan menggunakan sistem grafik dan gambar dengan cara menampilkan slide yang disertai penjelasan secara lisan dari topik-topik tertentu. Program ini biasanya digunakan secara luas dalam bisnis maupun dalam pembelajaran di sekolah, kampus, serta pelatihan-pelatihan yang dirasakan sangat efektif dan efisien jika dilakukan di kelas. Selain fungsi-fungsi tersebut program ini juga dapat dijadikan latihan-latihan bagi penguatan siswa dalam penguasaan materi.
Melalui program MS Power Point, di samping siswa mendapatkan materi yang mengandung unsur gabungan dari unsur-unsur audio-visual, program ini juga memberikan pilihan menu-menu yang dikemas secara menarik dengan adanya gabungan unsur grafis, animasi, dan sound. Hal ini dilakukan untuk menarik perhatian atau atensi serta motivasi belajar siswa dalam pembelajaran yang tentunya akan membuat siswa tertantang untuk mempelajarinya dan dapat memberikan pengalaman yang lebih, karena pada saat media ini digunakan ada dua indera yang berperan secara bersamaan yaitu indera penglihatan dan pendengaran. Hal ini dipertegas oleh Arsyad (2003 : 148) yang mengemukakan bahwa :
"Disamping menarik dan memotivasi siswa untuk mempelajari materi lebih banyak, media audio-visual dapat digunakan untuk : 1) mengembangkan keterampilan mendengar dan mengevaluasi apa yang telah didengar maupun apa yang dilihat; 2) mengatur dan mempersiapkan diskusi atau debat dengan mengungkapkan pendapat-pendapat para ahli yang beda jauh dari lokasi; 3) menjadikan model yang akan ditiru oleh siswa; 4) menyiapkan variasi yang menarik dan perubahan-perubahan tingkat kecepatan belajar mengenai suatu pokok bahasan atau sesuatu masalah".
Oleh karena itu dengan menggunakan bantuan media MS Power Point proses pembelajaran di kelas diharapkan tidak monoton dan dapat menarik atensi belajar siswa supaya lebih aktif dalam mendalami materi yang disampaikan sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai secara optimal.
Berdasarkan uraian di atas, maka muncul permasalahan apakah media MS Power Point dapat berpengaruh terhadap prestasi belajar matematika siswa kelas VIII SLTP khususnya dalam kemampuan memahami bangun ruang ?. Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu diadakan penelitian lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada penggunaan media MS Power Point untuk meningkatkan prestasi siswa SMP dalam belajar matematika khususnya materi bangun ruang. Masalah penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : "Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa SMP kelas VIII yang menggunakan pembelajaran melalui media presentasi Microsoft Power Point dengan siswa SMP kelas VIII yang belajar tanpa menggunakan media persentasi Microsoft Power Point ?" . Untuk lebih jelas, rumusan masalah tersebut dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa SMP kelas VIII yang menggunakan pembelajaran melalui media presentasi Microsoft Power Point dengan siswa SMP kelas VIII yang belajar tanpa menggunakan media persentasi Microsoft Power Point pada aspek pengetahuan tentang bangun ruang ?
2. Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa SMP kelas VIII yang menggunakan pembelajaran melalui media presentasi Microsoft Power Point dengan siswa SMP kelas VIII yang belajar tanpa menggunakan media persentasi Microsoft Power Point pada aspek pemahaman tentang bangun ruang ?
3. Apakah terdapat perbedaan prestasi belajar antara siswa SMP kelas VIII yang menggunakan pembelajaran melalui media presentasi Microsoft Power Point dengan siswa SMP kelas VIII yang belajar tanpa menggunakan media persentasi Microsoft Power Point pada aspek penerapan tentang bangun ruang ?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penggunaan media Microsoft Power Point terhadap peningkatan prestasi belajar bangun ruang pada siswa SMP. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran yang obyektif tentang :
1. Perbedaan prestasi belajar antara siswa SMP kelas VIII yang menggunakan pembelajaran melalui media Microsoft Power Point dengan siswa SMP kelas VIII yang menggunakan pembelajaran tanpa media persentasi Microsoft Power Point pada aspek pengetahuan tentang bangun ruang.
2. Perbedaan prestasi belajar antara siswa SMP kelas VIII yang menggunakan pembelajaran melalui media Microsoft Power Point dengan siswa SMP kelas VIII yang menggunakan pembelajaran tanpa media persentasi Microsoft Power Point pada aspek pemahaman tentang bangun ruang.
3. Perbedaan prestasi belajar antara siswa SMP kelas VIII yang menggunakan pembelajaran melalui media Microsoft Power Point dengan siswa SMP kelas VIII yang menggunakan pembelajaran tanpa media persentasi Microsoft Power Point pada aspek penerapan tentang bangun ruang.

D. Manfaat Penelitian
Hasil Penelitian ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam memahami teori-teori, khususnya yang terkait dengan media pembelajaran matematika dan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi guru dalam menentukan pilihan media pembelajaran matematika bagi siswa Sekolah Menengah Pertama yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan mereka.
SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MEMBACA BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI KELAS IV SDLB C1

SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MEMBACA BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI KELAS IV SDLB C1


(KODE : PEND-PLB-0016) : SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MEMBACA BAGI ANAK TUNAGRAHITA SEDANG DI KELAS IV SDLB C1




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Setiap anak harus memperoleh pengajaran membaca, tidak terkecuali anak tunagrahita sedang. Setelah memperoleh pengajaran membaca diharapkan anak akan mampu memahami informasi lewat tulisan dan mampu memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian tidaklah mudah pengajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang.
Pengajaran membaca untuk anak tunagrahita sedang terasa lebih sulit. Hal itu disebabkan hambatan yang dimiliki oleh anak tunagrahita. Seperti telah diketahui bersama bahwa salah satu hambatan siswa tunagrahita adalah dalam hal kemampuan intelektualnya yang berada di bawah rata-rata (normal). Hambatan intelektual ini berdampak pada kemampuan kognitifnya sehingga menyebabkan anak tunagrahita sedang kesulitan untuk menguasai pelajaran yang sifatnya akademik, diantaranya membaca. Astati (2001 : 8) menyatakan bahwa "Anak tunagrahita sedang hampir tidak dapat mempelajari pelajaran yang sifatnya akademik. Diantara mereka ada yang dapat menulis, berhitung, dan membaca sosial."
Berdasarkan kondisi tersebut artinya anak tunagrahita sedang masih dapat diajarkan membaca tapi pada tahap membaca permulaan. Dalam tahap membaca permulaan ini dapat diperkenalkan kepada mereka beberapa kata, terutama kata benda atau yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kata benda yang diajarkan adalah berkaitan dengan benda-benda kongkrit dan sudah dikenal oleh anak. Melalui pengajaran kata benda tersebut diharapkan dapat menjadi modal agar anak tunagrahita sedang dapat membaca meskipun kata-kata yang sederhana dan sudah dikenal oleh anak.
Oleh karenanya dibutuhkan upaya dari guru sehingga dapat membantu anak tunagrahita sedang lebih mudah dalam belajar membaca permulaan. Guru yang baik tentunya akan berupaya secara bersungguh-sunguh membantu anak tunagrahita sedang ketika belajar.
Berdasarkan hasil observasi pendahuluan (bulan Mei) ternyata pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang belum sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Pada saat mengajarkan membaca, guru menggunakan metode ceramah dan tanya jawab serta jarang menggunakan alat/media pembelajaran. Tampaknya guru lebih terpaku pada mengejar target pencapaian kurikulum sehingga guru lebih cepat beralih pada materi baru sedangkan anak belum menguasai materi sebelumnya.
Pelaksanaan pembelajaran seperti demikian akan menambah masalah belajar bagi anak tunagrahita sedang. Dengan kondisinya yang mengalami hambatan mental, seharusnya mereka ini memperoleh pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya, bukan harus sesuai dengan kurikulum. Bahkan dalam pembelajaran pun, agar mereka lebih mudah memahami materi seharusnya guru menggunakan berbagai metode pembelajaran yang inovatif dan menggunakan berbagai media/alat pembelajaran.
Berangkat dari pemikiran di atas, peneliti bermaksud untuk melakukan penelitian tentang pelaksanaan pembelajaran membaca pada siswa tunagrahita sedang di kelas IV SLB X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : "Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang ?"

C. Rincian Masalah
Secara umum penelitian ini fokus kepada upaya guru dalam melaksanakan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang di kelas IV SLB X. Rincian masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kegiatan guru dalam melaksanakan pembelajaran membaca pada anak tunagrahita sedang di kelas IV SLB X ?
2. Bagaimanakah kesulitan-kesulitan yang dihadapi guru dalam pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang di kelas IV SDLB C1 SLB X ?
3. Bagaimanakah upaya-upaya guru mengatasi kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang di kelas IV SDLB C1 SLB X ?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran data lapangan yang berkaitan dengan upaya guru dalam pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang di kelas IV SDLB C1 SLB X. Sedangkan tujuan khususnya adalah untuk memperoleh data lapangan yang berkaitan dengan :
1. Kegiatan yang dilakukan guru dalam pelaksanaan pembelajaran membaca pada anak tunagrahita sedang di kelas IV SDLB C1 SLB X.
2. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang.
3. Upaya-upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi kesulitan-kesulitan dalam pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang yang ada saat ini di kelas IV SDLB C1 SLB X.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Sebagai bahan kajian ilmiah mengenai pelaksanaan pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan sumbang saran bagi guru mengenai pembelajaran membaca yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak tunagrahita sedang.
b. Manfaat bagi sekolah adalah agar sekolah lebih memperhatikan dan menyediakan bebagai alat/media yang dapat menunjang pada pembelajaran khususnya pembelajaran membaca bagi anak tunagrahita sedang.
SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN


(KODE : KEPRAWTN-0010) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PASI IBU DENGAN PASIEN DIARE PADA ANAK USIA 1-24 BULAN




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
PASI adalah singkatan dari Pengganti Air Susu Ibu (PASI), dan umumnya berupa susu formula. PASI merupakan makanan bayi yang dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. (www.asuh.wikia.co. 2009). PASI dapat diberikan dalam keadaan dimana bayi harus dipisahkan dari ibunya, misalnya jika si ibu menderita sakit parah atau menular, bayi dapat diberi ASI sesuia petunjuk dokter atau tim kesehatan.
Berdasarkan rekomendasi dari WHO dan UNICEF di Geneva pada tahun 1979 menyusui merupakan bagian terpadu dari proses reproduksi yang memberikan makanan bayi secara ideal dan alamiah serta merupakan dasar biologik dan psikologik yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Susu formula mudah terkontaminasi oleh kuman dan dalam pemberian susu formula harus disesuaikan dengan takaran susu dan umur bayi. Apabila takaran susu tidak sesuai maka mengakibatkan diare (Sarwono, 1999).
Bayi yang diberi susu formula mengalami kesakitan diare 10 kali lebih banyak yang menyebabkan angka kematian bayi juga 10 kali lebih banyak, infeksi usus karena bakteri dan jamur 4 kali lipat lebih banyak, sariawan mulut karena jamur 6 kali lebih banyak. Penelitian di Jakarta memperlihatkan persentase kegemukan atau obesitas terjadi pada bayi yang mengkonsumsi susu formula sebesar 3,4% dan kerugian lain menurunnya tingkat kekebalan terhadap asma dan alergi (Dwinda, 2006).
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) (2003), angka kematian bayi di Indonesia sebesar 35/1000 kelahiran hidup. Angka kesakitan dan angka kematian bayi ditimbulkan salah satunya disebabkan dari dampak susu formula tersebut.
Menurut profil Dinkes Sumut 2005, pemberian ASI Eksklusif di 9 kabupaten Sumatera Utara yang tidak memberikan ASI eksklusif, Asahan 90%, Tanjung Balai 84%, Tobasa 81%, Tapsel 68,5%, Sibolga 68%, Taput 58,5%, Tapteng 46%, dan Labuhan Batu 39%.
Tidak semua bayi dapat menikmati ASI secara eksklusif dari ibu, hal ini dikarenakan oleh berbagai keadaan tertentu misalnya, keluarga ibu yang memutuskan untuk tidak menyusui bayi karena adanya suatu penyakit, misalnya: tuberculosis (TBC), atau Acuired Immunodeficiency Syndrom (AIDS). Dengan keadaan tersebut cara lain untuk memenuhi kebutuhan gizi pada bayi adalah dengan memberikan susu formula sebagai Pengganti Air Susu Ibu (PASI) (Roesli, 2000).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Cohen dan kawan-kawan di Amerika pada tahun 1995 diperoleh bahwa 25% ibu-ibu yang memberikan ASI secara eksklusif pada bayi dan 75% ibu-ibu yang memberikan susu formula pada bayi. Bayi yang mendapatkan ASI secara eksklusif lebih jarang terserang penyakit dibandingkan dengan bayi yang memperoleh susu formula, karena susu formula memerlukan alat-alat yang bersih dan perhitungan takaran susu yang tepat sesuai dengan umur bayi. Hal ini membutuhkan pengetahuan ibu yang cukup tentang dampak pemberian susu formula (Roesli, , 2000).
Angka kejadian dan kematian akibat diare pada anak-anak di negara-negara berkembang masih tinggi, lebih-lebih pada anak yang sedang mendapat susu formula dibandingkan dengan anak yang mendapat ASI. Meningkatnya penggunaan susu formula dapat menimbulkan barbagai masalah, misalnya kekurangan kalori protein tipe marasmus, moniliasis pada mulut, dan diare karena infeksi (Soetjiningsih, 1997).
Di Indonesia masih banyak ibu-ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayi, karena kaum ibu lebih suka memberikan susu formula dari pada memberikan ASI. Hal ini disebabkan oleh pekerjaan ibu, penyakit ibu serta ibu-ibu yang beranggapan bahwa apabila ibu menyusui maka payudaranya tidak indah lagi sehingga suami tidak sayang (Soetjiningsih, 1997).
Presentasi kaum ibu-ibu yang berada di pedesaan yang memberikan ASI pada bayinya sebesar 80-90% sampai bayi berumur lebih dari 1 tahun. Tetapi dengan adanya iklan dan sumber informasi tentang susu formula maka kecendrungan masyarakat untuk meniru gaya hidup modern. Di Jakarta lebih dari 50% bayi yang berumur 2 bulan telah mendapat susu formula karena pada awalnya calon ibu tidak diberikan penjelasan dan penyuluhan tentang pemberian ASI eksklusif (Soetjiningsih, 1997).
Berdasarkan profil kesehatan Kecamatan Sibolga Sambas tahun 2008 menunjukkan bahwa 54 bayi dinyatakan 32 bayi mendapatkan susu formula. Sedangkan dari hasil tersebut menunjukkan bahwa masih ada ibu-ibu di Kecamatan Sibolga Sambas yang memberikan susu formula kepada bayi.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku PASI Ibu Dengan Pasien Diare Pada Anak Usia 1-24 Bulan Di Di Rumah Sakit X.

B. Masalah Penelitian
Pada penelitian RISDAYATI, 2008, mengenai perbedaan lama hari rawat inap diare pada anak (7-24 bulan) yang diberi ASI eksklusif degan yang diberi PASI di RS. X. dengan jumlah sampel 48 orang. Hasil penelitian sebanyak 34 (70,8%) dirawat dengan Diare, diberi PASI.
Dari data diatas peneliti ingin menegtahuai sejauhmana kontribusi Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku PASI Ibu Dengan Pasien Diare Pada Anak Usia 1-24 Bulan. Secara khusus masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran karakteristik responden
a. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan usia ibu.
b. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan ibu.
c. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu.
d. Bagaimana gambaran karakteristik responden berdasarkan penghasilan keluarga..
2. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang Diare.
3. Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang PASI.
4. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang Diare dengan perilaku PASI.
5. Adakah hubungan antara pengetahuan ibu tentang PASI dengan perilaku PASI.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahuai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku PASI Ibu dengan klien diare pada anak 1-24 bulan Di Rumah Sakit X.
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden
1) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan usia ibu.
2) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan ibu.
3) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan ibu.
4) Memperoleh informasi tentang gambaran karakteristik responden berdasarkan penghasilan keluarga..
b. Memperoleh informasi tentang gambaran pengetahuan ibu tentang Diare.
c. Memperoleh informasi tentang gambaran pengetahuan ibu tentang PASI.
d. Memperoleh informasi hubungan antara pengetahuan ibu tentang Diare dengan perilaku PASI.
e. Memperoleh informasi hubungan antara pengetahuan ibu tentang PASI dengan perilaku PASI.

D. Manfaat penelitian
1. Bagi ibu
Penelitian ini akan menjadi informasi dan masukan dalam meningkatkan pengetahuan ibu mengenai perilaku pemberian susu formula pada anak dalam mencegah diare.
2. Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman berharga bagi peneliti dalam menerapkan ilmu metode penelitian dan menambah wawasan pengetahuan tentang perilaku PASI yang baik untuk mencegah diare.
3. Bagi institusi pendidikan
Penelitian ini dapat menjadi bahan referensi atau sumber informasi untuk penelitian berikutnya dan sebagai bahan bacaan di perpustakaan.
SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X

SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X


(KODE : KEPRAWTN-0009) : SKRIPSI HUBUNGAN SIKAP DAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DENGAN KECEMASAN ANAK PRASEKOLAH DI RUANG PERAWATAN RS X




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Sehat menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah keadaan baik pada seluruh badan serta bagian-bagiannya. Menurut UU no 36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. WHO mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan.
Menurut Kisanti (2008), kesehatan anak penting sekali artinya bagi keluarga, ibaratnya kesehatan anak merupakan kebahagiaan bagi orangtua. Jika anak sakit hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Kesehatan anak menentukan kualitas anak dikemudian hari, karena keberhasilan anak dimasa yang akan datang akan tergantung dari bagaimana anak menjalani tahap awal kehidupannya yaitu usia bayi, toddler, prasekolah dan sekolah. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam pemenuhan kebutuhan anak untuk pertumbuhan dan perkembangan anak (Supartini, 2004).
Dalam proses perkembangan anak usia prasekoah ada ciri- ciri yang melekat pada anak-anak tersebut. Menurut Snowman (dalam Patmonodewo, 2003) mengemukakan ciri-ciri anak prasekolah (3-6 tahun) yang meliputi aspek fisik, sosial, emosi dan kognitif anak. Pertama pada ciri fisik, anak prasekolah terlihat lebih aktif sehingga membutuhkan kontrol pada tubuhnya untuk istirahat yang cukup. Hal ini dikarenakan anak prasekolah seringkali tidak menyadari bahwa mereka harus beristirahat yang cukup. Kedua pada ciri sosial, pada tahap ini anak prasekolah lebih cepat bersosialisasi dengan teman-temannya. Ketiga pada ciri emosi, dimana pada tahap ini anak prasekolah cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka, sedangkan pada ciri perkembangan kognitif anak prasekolah umunya terampil dalam berbahasa.
Pertumbuhan dan perkembangan anak dapat dicapai secara optimal. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak diantaranya pemberian nutrisi yang adekuat, memfasilitasi kegiatan bermain, dan melakukan upaya pemeliharaan kesehatan untuk pencegahan penyakit. Salah satu upaya pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit adalah dengan pemberian imunisasi. Dimana imunisasi merupakan upaya yang dilakukan dengan sengaja, memberikan kekebalan pada anak prasekolah sehingga terhindar dari penyakit. Masalah kesehatan yang sering dijumpai pada anak prasekolah diantaranya adalah infeksi (Supartini, 2004).
Saat anak prasekolah dirawat di rumah sakit, kondisi ini memaksa anak untuk berpisah dari lingkungan rumah yang dirasakannya aman, penuh kasih sayang, dan menyenangkan serta hilangnya waktu bermain bersama teman-teman sepermainannya. Adapun reaksi terhadap perpisahan yang ditunjukkan anak usia prasekolah selama dirawat di rumah sakit adalah dengan menolak makan, sering bertanya kepada orang tuanya tentang hal-hal yang tidak dipahaminya, menangis dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan.
Dampak dari perpisahan yang dialami anak prasekolah saat dirawat di rumah sakit akan menimbulkan rasa kecemasan pada anak tersebut. Kecemasan adalah suatu penyerta yang normal dalam merespon sesuatu yang baru dan belum pernah dialami. Perawatan anak di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh dengan kecemasan bagi anak maupun orang tua. Faktor yang mempengaruhi kecemasan anak yang dirawat di rumah sakit antara lain lingkungan rumah sakit, bangunan fisik, bau khas rumah sakit, obat-obatan, alat-alat medis, petugas kesehatan, warna seragam, dan sikap petugas kesehatan seperti dokter dan perawat (Moersintowati, dkk 2008). Menurut Supartini (2004), perawatan di rumah sakit seringkali dipersepsikan anak prasekolah sebagai hukuman sehingga anak merasa malu, bersalah, cemas dan takut. Anak juga sering merasa takut pada hal-hal yang tidak logis, seperti takut gelap, monster, dll. Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak usia prasekolah yaitu cemas, marah, sedih, takut dan rasa bersalah. Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan serta lingkungan rumah sakit (Wong, 2000). Penelitian Isle of Wight yang dilaporkan oleh Rutter dan kawan-kawan (dalam Nelson, 2000) menemukan prevalensi gangguan kecemasan adalah 6,8%. Sekitar sepertiga anak ini adalah cemas berlebihan, dan sepertiga lainnya menderita ketakutan spesifik atau fobia yang merupakan cacat. Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Furi Seftiani yang berjudul Hubungan Antara Perilaku Caring Dengan Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Klien Anak di Ruang Perawatan Anak RS Sentra Medika Cimanggis (2008), didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap caring perawat dengan tingkat kecemasan akibat hospitalisasi pada klien anak di ruang perawatan anak.
Upaya untuk mengatasi kecemasan pada anak antara lain yang pertama melibatkan orang tua anak, agar orang tua berperan aktif dalam perawatan anak dengan cara membolehkan mereka untuk tinggal bersama anak selama 24 jam. Jika tidak mungkin, beri kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud untuk mempertahankan kontak antara mereka. Yang kedua melakukan modifikasi lingkungan rumah sakit, agar anak tetap merasa nyaman dan tidak asing dengan lingkungan baru. Upaya yang ketiga adalah peran dari petugas kesehatan rumah sakit (dokter, perawat), dimana diharapkan petugas kesehatan khususnya perawat harus menghargai sikap anak karena selain orang tua perawat adalah orang yang paling dekat dengan anak selama perawatan di rumah sakit. Sekalipun anak menolak orang asing (perawat), namun perawat harus tetap memberikan dukungan dengan meluangkan waktu secara fisik dekat dengan anak menggunakan suara bernada tenang, pilihan kata yang tepat, kontak mata dan sentuhan secara empati (Wong, 2008).
Komunikasi merupakan upaya individu dalam menjaga dan mempertahankan individu untuk tetap berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi adalah kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih, dalam bentuk pembagian ide, pikiran dengan menggunakan lambang, memiliki tujuan tejadi perubahan pada orang lain (Tamsuri, 2008). Effendy (2002) dalam Suryani (2004) menyatakan lima komponen dalam komunikasi yaitu komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Indrawati, 2003). Komunikasi terapeutik merupakan komunikasi yang mempunyai efek penyembuhan. Karena komunikasi terapeutik merupakan salah satu cara untuk memberikan informasi yang akurat dan membina hubungan saling percaya terhadap klien, sehingga klien akan merasa puas dengan pelayanan yang diterimanya. Apabila perawat dalam berinteraksi dengan klien tidak memperhatikan sikap dan teknik dalam komunikasi terapeutik dengan benar dan tidak berusaha untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi terapeutik, maka hubungan yang baik antara perawat dengan klienpun akan sulit terbina (Anggraini, 2009). Cara berkomunikasi pada anak berbeda dengan komunikasi terapeutik pada orang dewasa. Komunikasi terapeutik pada anak hendaknya selalu memperhatikan nada suara, jarak interaksi dengan anak, sentuhan yang diberikan kepada anak harus atas persetujuan anak (Mundakir, 2006).
Dalam komunikasi terapeutik ada beberapa sikap dan teknik komunikasi yang harus dipahami oleh perawat. Sikap komunikasi terapeutik pada anak prasekolah antara lain memberitahu apa yang terjadi pada dirinya, memberi kesempatan pada anak untuk menyentuh alat pemeriksa yang akan digunakan, bicara lambat, hindari sikap mendesak untuk dijawab, hindari konfrontasi langsung, salaman pada anak (untuk mengurangi kecemasan). Sedangkan teknik komunikasi terapeutik dengan anak yang harus dipahami oleh perawat antara lain teknik non verbal teknik orang ketiga, bercerita, dan teknik verbal menulis, menggambar, bermain (Tamsuri, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh A.Aziz A.Hidayat (2003) yang berjudul Hubungan Antara Pengetahuan dan Sikap Perawat Dalam Komunikasi Terapeutik Pada Anak Usia Prasekolah di RSUD Dr.Soetomo Surabaya (2003), didapatkan hasil penegetahuan perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah di RSUD Dr.Soetomo adalah 56,3% berpengetahuan baik dan 43,8% berpengetahuan kurang. Sikap perawat dalam komunikasi terapeutik pada anak usia prasekolah di RSUD Dr. Soetomo adalah 65,6% bersikap positif dan 34,4% bersikap negatif.
Berdasarkan survey awal peneliti yang dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 2009, peneliti mendapatkan informasi bahwa sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian di rumah sakit ini mengenai komunikasi terapeutik pada anak di rumah sakit X . Di rumah sakit X terdapat dua ruang perawatan anak (satu ruangan kelas satu dan dua, satu ruangan kelas tiga) dengan kapasitas 30 tempat tidur, data kunjungan ke rumah sakit X khususnya pasien anak setiap bulannya cukup banyak, tiga bulan terakhir sekitar 74 pasien anak yang dirawat di rumah sakit X. Hasil studi pendahuluan terhadap anggota keluarga dari anak yang dirawat mengungkapkan bahwa waktu kunjungan terbatas dan jumlah anggota keluarga yang boleh menunggu juga terbatas, kecemasan anak bertambah selama dirawat karena anak harus berpisah dengan orang-orang terdekatnya. Selain itu dari hasil wawancara dengan orang tua anak yang dirawat dua hari di ruang rawat anak rumah sakit X mengungkapkan dari sejak pertama kali masuk dan dirawat anak sering menangis, terlihat gelisah, juga takut jika didekati perawat dan jika akan diberikan suatu tindakan keperawatan. Sedangkan 3 dari 5 orang tua anak yang anaknya telah dirawat selama 5 hari mengungkapkan awal-awal dirawat anaknya juga sering menangis jika didekati perawat tetapi sekarang sudah tidak takut lagi kecuali jika akan diberikan tindakan tertentu (seperti dipasang infus). Menurut beberapa orang tua anak yang dirawat, komunikasi yang diterapkan perawat baik kepada anak maupun kepada orang tua sudah cukup baik, walaupun ada beberapa perawat yang dirasakan belum menerapkan cara-cara atau teknik komunikasi ke anak. Hasil wawancara kepada pihak managemen rumah sakit X yang dilakukan peneliti pada tanggal 16 Februari 2010 didapatkan data dari hasil angket yang diberikan pihak rumah sakit kepada pasien tingkat kepuasan pasien yang dirawat selama 3 bulan terakhir cukup bagus (85% pasien puas dengan pelayanan yang rumah sakit berikan). Selain itu penerapan komunikasi terapeutik di rumah sakit X sudah diterapkan, dan di rumah sakit X selalu dilaksanakan pelatihan tentang penerapan komunikasi terapeutik kepada semua karyawan termasuk kepada perawat.
Dari permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak prasekolah yang diruang perawatan rumah sakit X .

B. Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan permasalahan adalah apakah ada hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan tingkat kecemasan anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan sikap dan teknik komunikasi terapeutik dengan tingkat kecemasan pada anak prasekolah di ruang perawatan rumah sakit X
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran tentang karakteristik (jenis kelamin dan lama hari rawat) pasien anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X
b. Memperoleh gambaran tentang kecemasan pasien prasekolah anak di ruang perawatan anak rumah sakit X
c. Menganalisis hubungan antara sikap komunikasi terapeutik perawat dengan kecemasan pada anak prasekolah di ruang perawatan anak rumah sakit X
d. Menganalisis hubungan teknik komunikasi terapeutik perawat dengan kecemasan pada anak prasekolah yang di ruang perawatan anak rumah sakit X

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti : Dapat memperkaya ilmu keperawatan khususnya tentang komunikasi terapeutik agar dapat diterapkan dengan baik dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien di rumah sakit.
2. Bagi Perawat : Dapat menjadi pendorong agar memberikan komunikasi terapeutik kepada pasien khususnya pasien anak, sehingga masalah psikologis pada anak dapat teratasi juga dapat membantu proses penyembuhan.
3. Bagi Institusi Pendidikan : Dapat menjadi tambahan informasi tentang pentingnya komunikasi terapeutik bagi pasien anak pra sekolah dan sebagai bahan informasi perawat untuk meningkatkan kemampuan pengetahuan dan sikap dalam berkomunikasi secara terapeutik.
4. Bagi Rumah Sakit : Dapat menjadi masukan yang digunakan untuk penerapan komunikasi terapeutik kepada pasien anak prasekolah sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
5. Bagi Pasien : Dapat menjadi informasi sebagai pertimbangan memilih pelayanan kesehatan.
SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA DI DESA X

SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA DI DESA X


(KODE : KEPRAWTN-0008) : SKRIPSI PERAWATAN KELUARGA TERHADAP LANSIA DI DESA X




BAB 1 
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih (WHO, 1965). Menjadi tua (lanjut usia) merupakan peristiwa yang sangat alamiah dan normal terjadi pada setiap manusia. Setiap manusia tentunya berharap dapat menjalani masa tuanya dengan bahagia. Ketika memasuki masa tua tersebut, sebagian lansia dapat menjalaninya dengan bahagia, namun tidak sedikit dari mereka yang mengalami hal sebaliknya, masa tua dijalani dengan rasa ketidakbahagiaan, sehingga menyebabkan rasa ketidaknyamanan (Dana, 2007). Ketidakbahagiaan tersebut bisa disebabkan karena kondisi lingkungan, kurangnya perawatan, perhatian ataupun kepedulian dari orang-orang di sekitar lansia, .terutama keluarga. Sebagian lansia tinggal bersama dengan keluarga sendiri dan ada juga yang tinggal di Panti Werdha atau tempat lainnya, tetapi menurut Tachman (1999), tempat yang paling baik bagi lansia adalah tempat tinggalnya sendiri dengan anggota keluarga lainnya. Perawatan yang dilakukan oleh anak sendiri diduga memberikan rasa aman dan nyaman karena mereka lebih toleran terhadap lansia dibandingkan kerabat atau orang lain, sehingga kebutuhan fisik, psikis, sosial, ekonomi dan spiritual lansia bisa terpenuhi dengan baik.
Jumlah lansia setiap tahunnya mengalami peningkatan. Saat ini, di seluruh dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta, dengan usia rata-rata 60 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1, 2 milyar (Nugroho, 2000). Berdasarkan data penduduk mutakhir, jumlah lansia di Indonesia sekarang sekitar 16 juta jiwa (Sabdono, 2007). Pada tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 273 juta jiwa, dan hampir seperempat dari jumlah penduduk tersebut atau sekitar 62, 4 juta jiwa tergolong sekelompok penduduk lanjut usia. Bahkan, jika menggunakan model proyeksi penduduk PBB, jumlah lansia di Indonesia pada tahun 2050 menjadi dua kali lipat atau sekitar 120 juta jiwa lebih (Sardjunani, 2007). Sedangkan di Provinsi X berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2007, jumlah penduduk yang berumur 60 tahun ke atas mencapai 693.494 jiwa, atau 5,4% dari jumlah penduduk di Provinsi X (12.834.371 jiwa). Dan jumlah penduduk lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y sebanyak 213 jiwa (Laporan Kepala Desa Z, 2009).
Peningkatan persentase penduduk lanjut usia membawa implikasi terhadap berbagai sektor pembangunan lainnya. Pergeseran struktur penduduk dari muda ke tua tersebut antara lain berdampak terhadap perubahan kebijakan pemerintah, tidak saja di sektor kependudukan tetapi juga di sektor kesehatan, sosial dan bahkan ke sektor ekonomi. Hal ini tentunya membawa implikasi pada kebijakan yang dibuat harus dapat mengakomodasi keberadaan lanjut usia dengan segala karakteristiknya baik dari aspek demografi, sosial dan ekonomi. Faktor-faktor seperti demografi, sosial dan ekonomi banyak melatarbelakangi lanjut usia melakukan aktivitas yang beragam, baik yang bernilai ekonomi maupun yang tidak bernilai ekonomi (Mundiharno, 1997).
Masalah kesehatan lanjut usia tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses kemunduran yang panjang. Ketika kemunduran fisik dan mental terjadi secara perlahan dan bertahap, dan pada waktu kompensasi terhadap penurunan ini dapat dilakukan, dikenal sebagai "senescence", yaitu masa proses menjadi tua. Seseorang akan menjadi semakin tua pada awal atau akhir usia enam puluhan, tergantung pada laju kemunduran fisik dan mentalnya, dan juga tergantung pada masing-masing individu yang bersangkutan. Penyebab fisik dari kemunduran ini merupakan suatu perubahan pada sel-sel tubuh bukan karena penyakit khusus, tetapi karena proses menua. Akibatnya terjadi penurunan pada peranan-peranan sosial dan timbulnya gangguan dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, sehingga dapat meningkatkan ketergantungan yang memerlukan bantuan orang lain. Kemunduran juga bisa terjadi oleh karena faktor psikologis. Sikap tidak senang terhadap diri sendiri, orang lain, pekerjaan dan kehidupan pada umumnya dapat menuju ke keadaan seseorang yang menjadi eksentrik, kurang perhatian dan terasing secara sosial sehingga penyesuaian dirinya menjadi buruk, akibatnya orang menurun secara fisik dan mental sehingga mengalami penurunan dalam melakukan aktivitasnya. Seseorang yang mengalami ketegangan dan stres hidup akan mempengaruhi laju kemunduran tersebut. Demikian juga, bahwa motivasi memainkan peranan penting dalam kemunduran. Dengan adanya gangguan tersebut, menyebabkan lanjut usia menjadi tidak mandiri dan membutuhkan orang lain untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari (Hurlock, 2002).
Dalam menghadapi kemunduran, mereka membutuhkan bantuan untuk mencapai rasa tentram, nyaman, kehangatan dan perlakuan yang layak dari lingkungannya. Memberikan perhatian pada lanjut usia dan mengupayakan agar mereka tidak terlalu tergantung pada orang lain, mampu membantu diri sendiri, itu semua adalah kewajiban keluarga dan lingkungan (Supartondo, 2003).
Berdasarkan data dari Kantor Kepala Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y terdapat 213 jiwa lanjut usia di Desa Zi Kecamatan X Kabupaten Y dan jumlah keluarga yang memiliki lanjut usia sebanyak 173 keluarga. Dari data yang didapat, tidak semua kemunduran yang dialami lanjut usia sama, tetapi tergantung dari cara perawatan keluarga terhadap lanjut usia itu sendiri.
Berdasarkan kondisi di atas, peneliti menjadi tertarik untuk meneliti bagaimana perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y dalam mencegah atau menanggulangi kemunduran yang dialami oleh lanjut usia.

2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, adapun pertanyaan dari penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y?

3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi gambaran perawatan keluarga terhadap lansia di Desa Z Kecamatan X Kabupaten Y.

4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini ditujukan pada Praktek Keperawatan, Pendidikan Keperawatan, Penelitian Keperawatan dan Keluarga Lansia.
- Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi dalam memberikan intervensi keperawatan dengan mempertimbangkan berbagai aspek sebagai upaya meningkatkan kebutuhan perawatan keluarga terahadap lansia.
- Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi evidence base yang diintegrasikan dalam wahana pembelajaran keperawatan keluarga, khususnya perawatan gerontik tentang materi pembelajaran gambaran perawatan keluarga tehadap lansia, sehingga informasi ini dapat dikembangkan dalam praktek belajar lapangan.
- Penelitian Keperawatan
Hasil penelian ini dapat digunakan sebagai informasi lanjutan pada penelitian selanjutnya yang meneliti tentang perawatan keluarga terhadap lansia, baik lansia yang sehat maupun lansia dengan berbagai gangguan kesehatan.
- Keluarga Lansia
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi keluarga dalam merawat lansia untuk meningkatkan kualitas hidup lansia dan agar lansia dapat menjalani hari tua dengan rasa aman, nyaman dan menyenangkan.
SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TBC DI KELURAHAN X

SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TBC DI KELURAHAN X


(KODE : KEPRAWTN-0007) : SKRIPSI TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA YANG MENDERITA TBC DI KELURAHAN X




BAB I 
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, dan sebagian lagi dapat menyerang diluar paru-paru, seperti kelenjar getah bening (kelenjar), kulit, usus/saluran pencernaan.(Laban, 2008).
Kuman TBC telah menginfeksi sepertiga penduduk didunia, dan setiap tahunnya 8 juta orang menderita penyakit TBC, bahkan hampir 2 juta orang meninggal karena penyakit tersebut.(DepKes.RI, 2002).
Penyakit TBC pada tanggal 21 Oktober 2008 masih merupakan masalah utama masyarakat Indonesia. Jumlah penderita TBC di Indonesia mencapai 10% peringkat ke 3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina. TBC merupakan penyebab kematian tertinggi diantara penyakit menular lainnya. Penyakit TBC ini menyebabkan produktivitas orang yang mengidapnya menjadi menurun bahkan dapat menyebabkan kematian. Penurunan produktivitas penderita akan menyebabkan menurunnya aktivitas ekonomi sehingga pada akhirnya penyakit tuberculosis ikut menambah beban ekonomi. Menurut dokter Bondan, kepala dinas kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mengatakan berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2005 sebesar 107 / 100.000 penduduk (246.000 kasus baru setiap tahun), dan prevalensi 597.000 kasus (untuk semua kasus) TBC adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia, yang menyebabkan sekitar 300 orang setiap hari atau lebih dari 100.000 orang setiap tahun meninggal karena TBC. Dalam soal penagananya, pada tahun 2007 khususnya di DIY pelaksanaan pemberantasan penyakit TBC berhasil menemukan dan menngobati 1.136 penderita TBC masih dibawah target nasional sekitar 70%. sedangkan angka kesembuhan baru mencapai 79,30% dari target nasional sebesar 85%, dan angka kesuksesan 84,23% yang berarti juga di bawah target nasional sebesar 85%. http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?td=4970 diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
WHO memperkirakan setiap tahun terjadi 583.000 orang penderita TBC dengan jumlah kematian sebanyak 140.000 orang, hal ini di ungkapkan WHO pada tahun 1999. Secara kasar diperkirakan dari setiap 100.000 penduduk Indonesia terdapat 130 orang penderita baru TBC paru BTA positif. Penyakit TBC menjadi masalah sosial, karena sebagian besar penderitanya adalah kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah, dan tingkat pendidikan rendah. Selain itu masalah lainnya adalah pengobatan penyakit TBC yang memerlukan j angka waktu lama dan rutin yaitu 6-8 bulan. Dengan demikian, apabila penderita meminum obat secara tidak teratur/tidak selesai, justru akan mengakibatkan terjadinya kekebalan ganda kuman TBC terhadapm Obat Anti -Tuberkulosis (OAT), yang akhirnya untuk pengobatannya penderita harus mengeluarkan biaya yang tinggi/mahal serta dalam jangka waktu yang relatif lebih lama.(DepKes.RI, 2002).
TBC menyerang lebih dari 75% penduduk usia produktif, 20-30% pendapatan keluarga hilang per tahunnya akibat TBC. Selain itu, seorang penderita aktif TBC akan menularkan 10-15 orang disekitarnya per tahun, dan tanpa pengobatan yang efektif, 50-60% penderita TBC akan meninggal dunia.
Sejak tahun 1995, WHO merekomendasikan program pemberantasan penyakit TBC dengan srtrategi DOTS (Directly Observed Treatment Short course) yang menurut Bank Dunia merupakan strategi kesehatan yang paling Cost-effective yaitu memerlukan biaya pengobatan yang lebih murah, namun mampu menghasilkan angka penyembuhan yang lebih tinggi. Menurut WHO, pada tahun 1996, dari penderita TBC yang tidak diobati setelah 5 tahun, 50% meninggal, 25% kronik dan menular. (Laban, 2008).
TBC penyakit menular yang sudah sejak lama ada di negeri ini ternyata belum dipahami dengan benar oleh masyarakat. Hasil survei yang dilakukan Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS) yang dilakukan pada Oktober sampai Desember 2005 di 90 desa pada 15 kabupaten/kota X, dengan jumlah responden 3.677 menemukan sekitar 19,7% responden yang memberi jawaban yang benar tentang penyakit TBC. Hasil survei tersebut antara lain menemukan ada 11% responden tidak tahu TBC adalah penyakit menular, 11% responden tidak tahu TBC bukan penyakit guna-guna, 26% responden tidak tahu batuk berdahak > 3 minggu adalah gejala TBC, 58% responden tidak tahu bahwa TBC bisa disembuhkan dengan sempurna, 58% tidak tahu penderita TBC memerlukan pemantau minum obat (PMO), 38% responden tidak tahu bahwa obat TBC bisa diperoleh gratis di puskesmas. Hal ini dituturkan oleh ketua dewan eksekutif KuIS, dokter Firman Lubis MPH, dalam hasil survei TBC di RT 7/RW 7 kelurahan X. Beliau juga menuturkan bahwa TBC erat kaitanya dengan kondisi lingkungan seperti kelembaban, kepadatan penduduk. Kondisi ini mempermudah penularan kuman TBC. Menjadikan lingkungan yang sehat tidak hanya mengatasi TBC, tetapi juga penyakit lain.
Di sisi lain, pemahaman masyarakat terhadap TBC sangat kurang, penanggulangan TBC masih lebih berfokus pada pengobatan. Tingginya kasus TBC di Indonesia, antara lain karena penanggulanganya belum dilakukan dengan benar (masih menekankan kuratif). Perhatian terhadap TBC dari masyarakat dan swasta pun masih rendah. Sangat jarang kegiatan yang terkait dengan TBC, misalnya kegiatan pengumpulan dana. Di tengah masyarakat ada anggapan bahwa penyakit TBC adalah penyakit yang tidak elite. Di wilayah X, jumlah penderita TBC pada tahun 2008, seluruhnya terdapat 14.416 orang. http://www.gizi.net/cgi.bin/berita/fullnews.cgi?newsid diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
Di wilayah X sendiri, jumlah penderita TBC pada tahun 2000 berkisar 3700 orang dengan perkiraan suspect sebanyak 27889 orang dimana jumlah BTA positif sebanyak 701 orang dan angka konversinya sebesar 86.59%. Sedangkan pada tahun 2001, penderita TBC berkisar 4512 orang dengan BTA poositif 736 orang dan angka konversinya sebesar 91.40%. Angka konversi tersebut melebihi target yang ditetapkan secara nasional yaitu sebesar 80%. Sedangkan target nasional untuk angka kesembuhan adalah sebesar 85%, tetapi di wilayah X hanya dapat mencapai 79.88% pada tahun 2000. (Suku Dinas Kesehatan X, 2001).
Dalam penelitian Widagdo pada tahun 2003 di Puskesmas Kecamatan Y, ditemukan bahwa dari 71 orang, terdapat 50 penderita TBC yang bersikap positif dan patuh dalam pengobatan, dan 21 orang lainnya bersikap negatif dan pada umumnya tidak patuh dalam pengobatan.
Di wilayah Puskesmas kelurahan X jumlah penderita TBC yang di dapat dari data pasien yang berobat sepanjang tahun 2008-Februari 2009, adalah 72 orang yang terdiri dari : 16 orang merupakan pasien lama dari bulan Januari-Mei 2008. 56 orang merupakan pasien baru, dari 56 pasien, 20 orang di antaranya merupakan pasien yang berasal dari luar wilayah kelurahan X. Kemudian 6 orang sudah pindah tempat tinggal ke wilayah lain dan mulai tidak aktif berobat sejak bulan Desember. Jadi, pasien yang di ambil oleh peneliti adalah 30 orang, yang benar-benar bertempat tinggal di wilayah kelurahan X dan masih aktif berobat ke Puskesmas X dari bulan Desember 2008-Februari 2009. (Puskesmas X, 2009).
Peneliti tertarik mengambil penelitian ini karena penyakit TBC merupakan penyakit yang sering dialami di negara berkembang seperti di Indonesia. Sehingga di perlukan bagi kepala keluarga yang mempunyai anggota keluarga yang terkena TBC untuk mengetahui tentang TBC. Karena berdasarkan pengalaman pribadi, peneliti pernah menemukan tetangga yang meninggal dunia karena penyakit TBC yang sudah kronik. Jadi peneliti berharap semoga penelitian ini dapat berguna bagi keluarga yang memiliki anggota keluarga yang terkena TBC.

B. PERUMUSAN MASALAH
Pengetahuan tentang TBC merupakan salah satu langkah yang dibutuhkan dalam mengetahui pengertian tentang penyebab, pencegahan, dan cara merawat anggota keluarga yang terkena TBC. Cara merawat anggota keluarga yang tepat dapat dilaksanakan apabila adanya partisipasi kepala keluarga dan dukungan pemerintah sebagai penyedia dan pemberi informasi. (http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?td=4970 diperoleh tanggal 5 Desember 2008). Adanya kecenderungan fluktuasi penyakit TBC ini akan meningkat pertahun, karena di perkirakan 1 atau 2 orang yang menderita TBC dapat menularkan penyakit tersebut ke 10-15 orang di sekitarnya. Dan jika tanpa pengobatan yang efektif, 50-60% penderita TBC akan meninggal dunia. Menurut WHO, pada tahun 1996, dari penderita TBC yang tidak diobati setelah 5 tahun, 50% meninggal, 25% kronik dan menular. (Laban, 2008).
Di sisi lain, pemahaman masyarakat terhadap TBC sangat kurang, penanggulangan TBC masih lebih berfokus pada pengobatan. Tingginya kasus TBC di Indonesia, antara lain karena penanggulanganya belum dilakukan dengan benar (masih menekankan kuratif). Perhatian terhadap TBC dari masyarakat dan swasta pun masih rendah. Sangat jarang kegiatan yang terkait dengan TBC, misalnya kegiatan pengumpulan dana. Di tengah masyarakat ada anggapan bahwa penyakit TBC adalah penyakit yang tidak elite. Di wilayah X, jumlah penderita TBC pada tahun 2008, seluruhnya terdapat 14.416 orang. (http://www.gizi.net/cgi.bin/berita/fullnews.cgi?newsid diperoleh tanggal 5 Desember 2008).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti dapat merumuskan suatu masalah yaitu bagaimana tingkat pengetahuan kepala keluarga dalam merawat anggota keluarga yang menderita TBC di kelurahan X.

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan kepala keluarga dalam merawat anggota keluarga yang terkena TBC, di kelurahan X.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah kepala keluarga (KK) dapat :
a. Mengetahui definisi tentang TBC
b. Mengetahui etiologi / penyebab tentang TBC
c. Mengetahui patofisiologi terjadinya TBC
d. Mengetahui pengetahuan dan usaha pencegahan TBC
e. Mengetahui klasifikasi dan tipe penderita TBC
f. Mengetahui gejala penyakit TBC
g. Mengetahui pengobatan TBC
h. Mengetahui peran Pengawas Minum Obat (PMO)
i. Mengetahui pengobatan dan pencegahan TBC untuk anak
j. Mengetahui pengobatan TBC pada keadaan khusus
k. Mengetahui pemeriksaan-pemeriksaan apa saja yang perlu dilakukan.
l. Mengetahui komplikasi penyakit TBC.
m. Mengetahui cara merawat anggota keluarga dengan penyakit TBC.

D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat baik bagi institusi tempat melakukan penelitian maupun bagi peneliti sendiri.
1. Bagi FIKES Universitas X.
Secara akademik penelitian ini untuk menambah pengetahuan mahasiswa keperawatan untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat dalam merawat anggota keluarga yang terkena TBC.
2. Bagi Praktisi
Diharapkan petugas Puskesmas dapat memberikan penyuluhan tentang merawat anggota keluarga yang terkena TBC sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang ada di wilayah kerjanya.
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang merawat anggota keluarga yang menderita TBC, sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam melakukan pencegahan penularan TBC.