Search This Blog

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA ANAK TK MELALUI PENGGUNAAN MEDIA BONEKA TANGAN

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA ANAK TK MELALUI PENGGUNAAN MEDIA BONEKA TANGAN

(KODE : PTK-0082) : SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA ANAK TK MELALUI PENGGUNAAN MEDIA BONEKA TANGAN




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Anak usia taman kanak-kanak adalah anak yang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang mempunyai karakteristik yang unik. Salah satu karakteristik yang unik tersebut yaitu mempunyai rasa ingin tahu yang besar serta antusias terhadap sesuatu yang ada di sekelilingnya. Pada usia ini anak akan selalu banyak bertanya, memperhatikan, dan membicarakan semua hal yang didengar maupun yang dilihatnya. Ketika akan melihat suatu yang menarik perhatiannya, maka secara spontan anak akan langsung bertanya. Rasa ingin tahu dan antusias terhadap sesuatu tersebut akan diungkapkan melalui kata-kata atau yang disebut berbicara.
Kemampuan berbicara merupakan anugerah yang sangat berharga dari Tuhan Yang Mahakuasa. Iqra, itulah firman Allah Swt, yang pertama disampaikan melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw, hal ini memberi makna bahwa manusia harus memiliki kemampuan untuk membaca agar dapat memaknai kehidupan, sebagai khalifah di muka bumi.
Berbicara merupakan salah satu aspek dari keterampilan berbahasa yang sangat diperlukan bagi perkembangan bahasa anak. Pada usia ini perkembangan bahasa anak akan tumbuh dengan cepat, menyebabkan anak aktif berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya, anak tertarik pada kata-kata baru, hal ini akan menambah kosa kata anak, kemampuan mengungkapkan isi pikiran melalui bahasa lisan, dan pada usia ini anak sudah dapat menceritakan pengalamannya yang sederhana kepada guru, teman sebaya maupun orang lain.
Anak yang dapat berbicara atau berkomunikasi dengan lancar mempunyai kemampuan yang dapat dibanggakan, seperti seorang presenter anak di tv, atau ketika kita menyaksikan seorang anak perempuan Palestina yang begitu lancar bercerita tentang kejadian yang menimpa dirinya dan seorang anak perempuan imigran Srilanka yang akan menuju ke Australia begitu lancar bercerita tentang, mengapa dia meninggalkan negaranya menuju negara baru dengan harapan untuk masa depan. Contoh yang paling sederhana adalah bagaimana anak di lingkungan sekitar kita bisa berkomunikasi dengan lancar sesuai tahapan perkembangannya.
Anak yang memiliki kemampuan berbicara telah menunjukkan kematangan dan kesiapan dalam belajar, karena dengan berbicara anak akan mengungkapkan keinginan, minat, perasaan, dan menyampaikan isi hati secara lisan kepada orang lain. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Suhendar (1992 : 16) :
"Berbicara sebagai suatu proses komunikasi, proses perubahan wujud ujaran atau bunyi bahasa yang bermakna, yang disampaikan kepada orang lain.Berbicara merupakan suatu peristiwa penyampaian maksud (ide, pikiran, perasaan) seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan (ujaran) sehingga maksud tersebut dapat dipahami orang lain."
Pendapat tersebut diperkuat oleh Endang dan Maliki (2009 : 36), yang mengatakan bahwa keterampilan verbal dalam berbicara lisan merupakan kemampuan mengekspresikan bahan pembicaraan dalam bahasa kata-kata yang dimengerti banyak orang dan mudah dicerna. Demikian juga, menurut Elizabeth Hurlock (1995 : 176), bahwa bicara adalah bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud.
Begitu banyak peranan berbicara pada aspek perkembangan anak. Selain berperan pada kemampuan individunya, anak yang memiliki kemampuan berbicara ini pun berpengaruh pada penyesuaian diri dengan lingkungan sebaya, agar dapat diterima sebagai anggota kelompok. Kemampuan berbicara anak juga akan berdampak pula pada kecerdasan. Biasanya anak yang memiliki kecerdasan yang tinggi akan belajar berbicara dengan mudah, cepat memahami pembicaraan orang lain dan mempunyai kosa kata yang lebih banyak. Namun, kemampuan untuk menguasai keterampilan berbicara ini tidak akan tumbuh dengan sendirinya, tetapi harus melalui proses pembelajaran dan stimulus dari lingkungan terdekat anak.
Berbicara erat kaitannya dengan lingkungan sekitar anak, dimulai dari lingkungan keluarga terutama orang tua. Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dapat menumbuhkan kemampuan berbicara anak, dan merupakan pembelajaran bahasa yang alamiah serta model atau contoh yang pertama ditiru. Masitoh, at.al. (2005) memaparkan bahwa anak memperoleh pengetahuan dan keterampilan tidak hanya dari kematangan, tetapi lingkungan memberikan kontribusi yang berarti dan sangat mendukung proses belajar anak.
Pendapat tersebut diperkuat oleh Yusuf (Hartini, 2005 : 19), yang menjelaskan bahwa kemampuan menyebutkan kata-kata merupakan hasil belajar melalui imitasi (peniruan) terhadap suara-suara yang didengar anak dari orang lain (terutama orang tua).
Setelah memasuki taman kanak-kanak, peran teman sebaya sangat berperan membantu perkembangan bahasa anak. Melalui interaksi dalam kegiatan belajar maupun bermain, anak secara tidak langsung belajar untuk mengembangkan kemampuan berbicaranya. Hal ini akan terus berlangsung sesuai dengan kemampuan bicara anak seusianya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Isah Cahyani (2004 : 65), bahwa "Anak belajar berbicara dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya, selain itu lingkungan memberikan pelajaran pula terhadap tingkah-laku, ekspresi, dan menambah perbendaharaan kata".
Pendidik atau guru seyogyanya memfasilitasi dengan cara menggunakan model kegiatan yang dapat merangsang minat anak untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Pendidik atau guru mengidentifikasi dan mengeksplorasi sumber belajar untuk dijadikan media bagi peningkatan keterampilan berbicara anak, dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, karena guru yang kreatif akan senantiasa mencari pendekatan baru dalam memecahkan masalah, tidak terpaku pada media atau sumber belajar yang monoton, melainkan memilih media pembelajaran yang menarik, bermakna dan menyenangkan sesuai dengan kebutuhan anak.
Sejak masih bayi, seorang manusia telah mulai belajar untuk berkomunikasi dengan orang sekelilingnya. Hal ini terlihat ketika bayi mengungkapkan keinginannya, bayi akan menangis. Ketika menangis, hal ini menunjukkan bahwa bayi tersebut lapar, haus, atau kedinginan. Kemudian bentuk komunikasi bayi diteruskan melalui bahasa isyarat, celotehan, dan ekspresi emosional. Sulit diketahui sejak kapan bayi memulai untuk belajar berbicara, namun berawal dari celotehan bayi memulai belajar berbicara.
Seiring dengan bertambahnya usia anak, dapat mengucapkan beberapa kata, pada usia dua tahun kosa kata anak lebih dari 1.500 buah dan kemampuan berbicaranya akan berkembang pesat ketika anak memasuki taman kanak-kanak. Pada usia ini, hasrat anak untuk belajar menjadi dorongan yang kuat untuk mempelajari kata-kata baru dan tentunya melalui stimulasi dari lingkungan taman kanak kanak.
Taman kanak-kanak dianggap sebagai tempat yang tepat untuk menumbuhkan kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa anak TK terlihat dari minat yang tinggi pada huruf-huruf dan angka-angka, sudah dapat mengingat kembali pengertian berdasarkan kata-kata, kosa kata anak lebih dari 2.500. Dan, program pengembangan keterampilan berbicara di taman kanak-kanak banyak memberi kesempatan anak untuk berbicara, menceritakan pengalamannya secara sederhana. Anak dibiasakan untuk bertanya, menjawab pertanyaan, dan mengekspresikan keinginannya.
Sesuai dengan tujuan pengembangan berbahasa anak TK, menurut Soemantri (Hartini : 2005), yaitu agar anak mampu mengungkapkan melalui bahasa yang sederhana secara tepat, mampu berkomunikasi secara efektif dengan lingkungan dan membangkitkan minat untuk dapat berbahasa Indonesia dengan baik.
Kenyataannya pengembangan keterampilan berbicara anak di taman kanak-kanak belum maksimal dan cenderung mendapat hambatan. Tidak semua anak mampu menguasai keterampilan berbicara. Ketidakmampuan anak berkomunikasi secara lisan ini dikarenakan beberapa alasan, salah satu alasan tersebut, yaitu kegiatan pembelajaran yang kurang memperhatikan aspek aspek perkembangan anak.
Rendahnya kemampuan berbicara anak terlihat dari kemampuan anak yang sulit berkomunikasi dengan bahasa lisan, sulit mengemukakan pendapat dengan sederhana, sulit memberi informasi, sulit menjawab pertanyaan, malu untuk bertanya, sulit untuk menceritakan pengalaman yang sederhana, dan kemampuan kosa kata anak pun masih terbatas.
Berdasarkan pengamatan yang terjadi di lapangan khususnya di TK X. Dalam beberapa aktivitas di kelas terlihat adanya kegiatan yang kurang memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan kemampuan berbicara. Demikian pula pemanfaatan media pembelajaran yang kurang memperhatikan aspek-aspek perkembangan anak, bahkan hampir tidak pernah digunakan. Sementara itu, anak hanya duduk diam mendengarkan ceramah guru, anak hanya melaksanakan tugas yang diberikan dan jika ada anak yang bersuara, maka guru langsung menegurnya.
Berkaitan dengan media pembelajaran untuk meningkatkan keterampilan berbahasa anak, Isah Suryani (2004 : 99) memaparkan bahwa kemampuan guru dalam mendekatkan anak pada bahasa yaitu kemampuan guru dalam mencari cara atau media komunikasi yang sesuai dengan karakteristik anak. Biasanya, cara yang dapat diterima anak, yaitu cara-cara yang paling menyenangkan bagi anak, alamiah, dan tidak banyak intervensi orang dewasa. Dengan cara-cara tersebut di samping pembelajaran yang tampak alamiah dan merangsang minat anak, juga keterlibatan anak dalam pembelajaran bahasa semakin tinggi. Demikian pula, Menurut Suhartono, (2005 : 143), kegiatan pengembangan berbicara anak pada umumnya dilakukan dalam bentuk interaksi belajar mengajar. Kegiatan itu dapat berjalan dengan baik jika didukung oleh adanya media atau sarana prasarana. .
Media pembelajaran berfungsi sebagai alat yang menarik perhatian dan untuk menumbuhkan minat anak berperan serta dalam proses pembelajaran dan media pembelajaran juga berfungsi sebagai alat untuk menghindari verbalisme. Salah satu media pembelajaran yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan media boneka tangan.
Boneka adalah media yang sangat akrab dengan dunia bermain anak. Menurut Gallahue (Cahaya, S.I : 2007), bermain adalah suatu aktivitas langsung dan spontan di mana seorang anak menggunakan orang lain atau benda-benda di sekitarnya dengan senang, sukarela, dan dengan imajinatif, menggunakan perasaannya, tangannya, atau seluruh anggota tubuhnya. Dengan melalui penggunakan media boneka tangan secara tidak langsung anak akan belajar mengenai keterampilan berbicara tanpa disadari.
Dengan melalui boneka tangan diharapkan anak akan lebih tertarik untuk mencoba menggunakan dan senang memainkannya secara langsung dengan jari-jari tangannya. Boneka tangan sangat populer bagi dunia bermain anak, seperti yang ditampilkan di media elektronik, yaitu boneka si unyil pada acara "Laptop si Unyil". Dengan menggunakan media boneka tangan diharapkan akan meningkatkan minat anak untuk berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
Dalam rangka mengembangkan persoalan tersebut di atas, penulis mencoba untuk melakukan penelitian tentang bagaimana meningkatkan keterampilan berbicara anak taman kanak-kanak melalui penggunakan media boneka tangan, yang penulis rumuskan dalam judul penelitian, "UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA ANAK TK MELALUI PENGGUNAAN MEDIA BONEKA TANGAN".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang dikemukakan di atas, maka perlu adanya suatu penelitian bagaimana cara meningkatkan keterampilan berbicara anak taman kanak-kanak melalui penggunakan media boneka tangan, yang secara khusus dapat dipaparkan dalam bentuk pertanyaan di bawah ini :
1. Bagaimana kondisi obyektif keterampilan berbicara anak di TK X?
2. Bagaimana implementasi penggunaan media boneka tangan dalam meningkatkan keterampilan berbicara anak di TK X ?
3. Bagaimana keterampilan berbicara anak TK X setelah melalui penggunakan media boneka tangan ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Tujuan Umum dari penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan keterampilan berbicara anak taman kanak-kanak melalui penggunaan media boneka tangan.
b. Tujuan khusus
1) Untuk mengetahui kondisi obyektif tentang kemampuan berbicara anak taman kanak-kanak di TK X.
2) Untuk mengetahui implementasi penggunaan media boneka tangan dalam meningkatkan keterampilan berbicara anak di TK X.
3) Untuk mengetahui keterampilan berbicara anak setelah menggunakan media boneka tangan.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi semua pihak, seperti guru, lembaga pendidikan, orang tua, dan bagi peneliti selanjutnya. Untuk lebih spesifik penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut :
a. Bagi guru
Guru lebih mudah mengajarkan keterampilan berbicara anak , karena memakai media yang menarik, menyenangkan, dan bermakna bagi anak. Memotivasi peranan guru dalam meningkatkan kemampuan berbicara anak untuk menciptakan media yang menarik, menyenangkan, dan bermakna agar anak banyak terlibat dalam kegiatan aktivitas berbicara.
b. Bagi lembaga pendidikan
Hasil penelitian diharapkan maenjadi sumbangsih kepada seluruh lembaga pendidikan pada umumnya, dan khususnya bagi TK X dalam rangka meningkatkan kualitas belajar, terutama keterampilan berbicara anak taman kanak-kanak.
c. Bagi orang tua
Penelitian ini diharapkan menjadi alternatif dalam meningkatkan keterampilan berbicara sebagai bahan bacaan dan pengetahuan yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari hari.
d. Bagi peneliti selanjutnya
Dapat dijadikan sebagai acuan untuk kajian pendidikan selanjutnya dan menjadi inspirasi serta motivasi bagi kemajuan pengembangan pendidikan bagi anak usia dini.
SKRIPSI PTK UPAYA GURU MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI MELALUI PERMAINAN KARTU KATA

SKRIPSI PTK UPAYA GURU MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI MELALUI PERMAINAN KARTU KATA

(KODE : PTK-0081) : SKRIPSI PTK UPAYA GURU MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI MELALUI PERMAINAN KARTU KATA




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Taman Kanak-Kanak merupakan salah satu bentuk Pendidikan anak usia dini yaitu anak yang berusia empat sampai dengan enam tahun. Pendidikan TK memiliki peran yang sangat penting untuk mengembangkan kepribadian anak serta mempersiapkan mereka untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. Dengan kata lain, Pendidikan usia dini Khususnya TK sangat mengutamakan pendidikan yang berpusat pada anak atau "child centre". Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (2003) pada pasal 1 ayat (14) menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan agar anak memasuki pendidikan lebih lanjut. Tugas utama TK adalah mempersiapkan anak dengan memperkenalkan berbagai pengetahuan, sikap/perilaku, keterampilan dan intelektual agar dapat melakukan adaptasi dengan kegiatan belajar yang sesungguhnya di sekolah dasar.
Pandangan ini mengisyaratkan bahwa TK merupakan lembaga Pendidikan pra-skolastik dan pra-akademik. Dengan demikian TK tidak mengemban tanggung j awab utama dalam membina kemampuan skolastik atau akademik anak seperti kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Namun alur pemikiran tersebut tidak selalu sejalan dan terimplementasikan dalam praktek kependidikan di Indonesia. Pergeseran tanggung jawab pengembangan kemampuan skolastik (akademik) dari sekolah dasar ke Taman Kanak-Kanak terjadi dimana-mana baik secara terang-terangan maupun terselubung, dengan mengajarkan anak cali stung dan beberapa TK yang memberikan bentuk penugasan "pekerjaan rumah" pada anak-anak.
Hal tersebut terjadi karena banyak sekolah dasar (umumnya swasta dan sebagian negeri) sering kali mengajukan persyaratan atau tes masuk dengan menggunakan konsep akademik, salah satunya adalah kemampuan anak dalam membaca, menulis dan menghitung (calistung). Gejala ini mendorong lembaga Pendidikan TK maupun orang tua berlomba membimbing kemampuan akademik anak dengan mengadopsi pola-pola pembelajaran di sekolah dasar. Akibatnya tidak jarang Taman Kanak-Kanak tidak lagi menjadi taman yang indah tempat bermain tetapi beralih fungsi menjadi "pesekolahan dini". Sehingga pembelajaran membaca di TK lebih merupakan pembelajaran membaca seperti di SD demikian halnya dengan menulis, tidak mengindahkan aspek alami anak.
Kondisi demikian menjadikan masyarakat yang telah menyekolahkan anak-anaknya di TK berharap, bahkan mengharuskan agar kelak setelah selesai mengikuti program di TK, anak-anak mereka terampil membaca dan menulis. Namun pada kenyataannya masih banyak anak-anak lulusan TK yang belum mampu membaca dan menulis dengan baik. Pada akhirnya TK yang bertujuan untuk meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang di perlukan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perkembangan selanjutnya berubah menjadi sekolah baca tulis dengan metode yang sering kali mengenyampingkan aspek-aspek perkembangan dan pertumbuhan anak.
TK yang harusnya berfungsi sebagai tempat bermain yang indah, nyaman, gembira dan menarik bagi anak untuk mewujudkan berbagai aktifitasnya dalam masa bermain, bersosialisasi dengan teman sebaya, beradaptsi dengan lingkungan baru setelah rumah, dan mengembangkan potensi dasar yang anak miliki, menjadi tempat yang kurang nyaman bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Anak-anak merasa tertekan, dan merasakan beban yang berat, sehingga keceriaan mereka berkurang, dan mengalami ketidakseimbangan perkembangan pada aspek keterampilan dan kreatifitasnya.
Berdasarkan temuan Orstein Bateman, (1990) dalam Solehudin (1997) seorang guru besar di University of California menunjukan bahwa :
Masing-masing belahan otak manusia menangani aktivitas mental yang berbeda. Belahan otak kiri menangani aktivitas-aktivitas mental yang berhubungan dengan matematika, bahasa, logika, analisis, menulis dan aktivitas-aktivitas lain yang sejenis, sedangkan belahan otak kanan menangani aktivitas-aktivitas mental yang berhubungan dengan imajinasi, warna, musik, irama, berkhayaldan aktivitas-aktivitas lain yang sejenis. temuan Orstein tersebut menjelaskan bahwa orang-orang yang sudah dilatih untuk menggunakan suatu belahan otak secara eksklusif relatif tidak mampu menggunakan belahan otak lainnya. Selain itu temuan juga bahwa jika bagian otak yang lebih lemah dirangsang dan didorong untuk bekerja bersama-sama dengan bagian yang lebih kuat , maka hasilnya adalah adanya suatu peningkatan dalam keseluruhan kecakapan.
Berdasarkan temuan Orstein di atas, bisa ditafsirkan bahwa kegiatan pembelajaran yang hanya menitikberatkan kepada penguasaan baca tulis, dan hitung merupakan suatu yang tidak lengkap dan dapat berdampak negatif terhadap perkembangan anak karena hanya mengembangkan sebagian aspek dari kecakapan individu sembari "mematikan" pengembangan sebagian kecakapan lainnya. Dengan demikian, yang lebih dikehendaki adalah suatu pendekatan dan strategi pendidikan bagi anak yang lebih integratif dan komprehensif serta sesuai dengan dunia dan kebutuhannya.
Berkenaan dengan kenyataan di atas, maka National Assosiation for the Education of Young Children Amerika Serikat (NAEYC) dalam Solehudin (1997 : 77) menerbitkan suatu panduan pendidikan bagi anak usia dini (usia 8 tahun ke bawah) yang salah satunya menekankan penerapan bermain sebagai alat utama belajar anak. Sejalan dengan itu, kebijakan Pemerintah Indonesia dibidang pendidikan prasekolah (1994/1995) juga menganut prinsip "bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain".
Beberapa para ahli (Hughes dan Fergus P, 1995) dalam buku "Children, play & Development" mengatakan bahwa bermain sangat bermanfaat bagi perkembangan anak, baik secara fisik maupun psikis. Berbagai teori pun menyorotinya. Misalnya Teori Surplus Energy dari H. Spencer, mengatakan bahwa bermain bermanfaat untuk mengisi kembali energi anak yang telah melemah. Teori Practice for Adulthood dari K.Groos (1991) mengatakan bahwa bermain merupakan peluang bagi pengembangan keterampilan dan pengetahuan anak, yang sangat penting fungsinya bagi mereka pada saat menjelang dewasa. Teori Psychoanalytic dari Sigmund Freud mengatakan bahwa bermain berguna untuk mengurangi kecemasan anak dengan mencoba mengekspresikan berbagai dorongan impulsifnya dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan. Sementara Jean Piaget melalui teori Cognitive-developmental mengemukakan bahwa bermain amat penting bagi perkembangan kognitif seorang anak dengan melatih kemampuan adaptasi terhadap lingkungannya dalam suasana yang menyenangkan. Kemudian Weininger dan Fitzgerald melalui teori Neuropsycological mengemukakan peranan penting bermain bagi upaya mengintegrasikan fungsi belahan kanan dan kiri otak anak secara seimbang.
Bermain merupakan suatu kegiatan yang melekat pada dunia anak. Bermain adalah kodrat anak. Solehudin (1997) menyatakan bahwa : "Pada intinya bermain dapat dipandang sebagai suatu kegiatan yang bersifat voluntir, spontan terfokus pada proses, memberi ganjaran secara instrinsik, menyenangkan aktif dan fleksibel" hal yang tidak bisa dipungkiri lagi bermain memang merupakan bagian utama dari kehidupan anak, dan sebagian aktifitas kehidupan anak adalah bermain.
Berdasarkan kondisi awal di TK X hasil observasi dan wawancara dengan guru kelas kelompok B, kemampuan anak dalam kegiatan membaca dini masih rendah dan masih belum menunjukan taraf membaca kata. Anak baru memasuki pengenalan huruf, beberapa anak belum bisa mengenal perbedaan huruf, anak belum bisa merangkai huruf menjadi kata dan belum bisa membaca kata sederhana. Kegiatan yang selama ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan membaca dini di TK X adalah melalui pemberian tugas seperti kegiatan mewarnai huruf abjad dan membuat huruf mengikuti garis titik (dotline). Dalam mengerjakan tugas yang diberikan anak duduk diam dikursi dengan sangat tertib. Guru memberikan tugas mewarnai huruf dan membuat huruf mengikuti garis titik, anak terkesan hanya mengerjakan tugas dari guru tanpa mengenal bentuk humf yang diwarnainya. Kegiatan membaca dini belum terlihat pencapaian yang maksimal karena para guru belum menemukan cara yang terbaik untuk meningkatkan kemampuan membaca yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan anak, agar anak tidak tertekan dalam kegiatan membaca, sehingga anak dapat menyenangi kegiatan membaca dini. Berdasarkan kondisi tersebut untuk membuat anak menyenangi kegiatan membaca dini tanpa membuat anak tertekan maka disepakati bersama untuk meningkatkan kemampuan membaca dini di TK X akan dilaksanakan kegiatan melalui permainan kartu kata.
Permainan kartu kata mempakan permainan yang menyenangkan bagi anak tanpa membuat anak tertekan didukung oleh pernyataan Betty Root (2004) Permainan kartu kata dapat memberikan situasi belajar yang santai dan informal, bebas dari ketegangan dan kecemasan. Anak- anak dengan aktif dilibatkan untuk memberikan tanggapan dan keputusan. Langkah ini akan membiasakan anak untuk lebih mudah mengekspresikan gagasan dan idenya, serta memperkuat daya imjinasi anak. Langkah ini bermanfaat ketika anak- anak belajar menulis, yaitu kemampuan untuk menuangkan gagasan. Kartu kata dapat menjadi sarana untuk mengakrabkan anak dengan huruf.
Mampu membaca lebih awal sebelum anak masuk sekolah dasar (SD), juga menjadi sebuah kebutuhan tersendiri, karena pada kenyataannya sekolah dasar-sekolah dasar saat ini seakan mensyaratkan agar ketika anak masuk sekolah dasar (SD) mereka harus sudah bisa membaca dan menulis. Hal ini dapat kita lihat pada buku-buku pelajaran kelas satu SD yang tidak lagi berisi tentang belajar membaca dan menulis, tetapi sudah berisi tentang hal-hal yang dapat dipahami dan dilakukan oleh anak (bila anak telah mampu membaca dan menulis)
Dalam rangka menghadapi era globalisasi, program pendidikan harus mampu memberikan bekal kepada anak untuk memiliki daya saing yang tinggi dan tangguh. Daya saing yang tangguh dapat terwujud jika anak memiliki kretivitas, kemandirian, kemampuan dasar dan mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada dunia pendidikan. Untuk memenuhi kebutuhan dan masa peka anak pada aspek membaca dini dapat disusun, dikembangkan dan dikemas menarik dalam berbagai kegiatan bermain.
Dalam mengimplementasikan kegiatan bermain sebagai wahana belajar anak di kelas, ada dua cara utama yang dapat digunakan oleh guru (Solehudin, 1997 : 81). Pertama bermain di implementasikan secara tidak langsung, yaitu dengan cara melengkapi ruang bermain (play center) atau ruang kelas dengan alat permainan pendidikan. Kedua, bermain diimplementasikan secara langsung sebagai suatu metode pembelajaran. Untuk meningkatkan kemampuan membaca dini peneliti memilih cara yang kedua, yaitu guru menggunakan langsung aktivitas bermain sebagai metode pembelajaran bagi anak. Dalam hal ini guru dan peneliti berkolaborasi menyajikan suatu permainan (game) dengan menggunakan permainan kartu huruf, kartu kata, dan kartu kalimat diharapkan kegiatan membaca dini dengan cara bermain dapat meningkatkan kemampuan anak dalam membaca dini sehingga kegiatan membaca dini menjadi cara yang menyenangkan bagi anak.
Berdasarkan latar belakang masalah merupakan sebagaian dari gambaran yang perlu diteliti kebenarannya sehingga mendapatkan perubahan dan peningkatan ke arah yang lebih baik. Berangkat dari permasalahan maka peneliti bermaksud mengadakan penelitian tindakan kelas dengan judul. "Upaya Guru meningkatkan kemampuan membaca dini melalui permainan kartu kata".

B. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas maka permasalahan pokok yang akan dipaparkan dan dirumuskan melalui beberapa pertanyaan penelitian untuk meningkatkan kemampuan membaca dini di TK X adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi objektif pembelajaran membaca dini di TK X saat ini ?
2. Bagaimana langkah-langkah pelaksanaan permainan kartu kata untuk meningkatkan kemampuan membaca dini pada anak di TK X ?
3. Bagaimana Kemampuan membaca dini anak TK X setelah melalui kegiatan permainan kartu kata ?

C. Tujuan Penelitian
Perumusan tujuan dalam suatu penelitian merupakan hal yang paling penting, karena tujuan yang jelas akan mengarahkan penelitian dalam mencapai sasaran yang tepat. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui kondisi objektif tentang kemampuan membaca dini di TK X yang saat ini dilaksanakan.
2. Untuk mengetahui bagaimana langkah-langkah pelaksanaan permainan kartu kata untuk meningkatkan kemampuan membaca dini pada anak di TK X ?
3. Untuk mengetahui bagaimana perubahan yang terjadi setelah anak mengalami pembelajaran membaca dini melalui permainan kartu kata ?

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan banyak manfaat bagi semua pihak khususnya guru TK, Program pendidikan guru pendidikan anak usia dini (PGPAUD), bagi peneliti selanjutnya, dan umumnya bagi orang tua didik dan semua pihak yang memerlukan sehingga dapat memberikan nilai positif untuk meningkatkan kualitas Pendidikan yang baik. Lebih spesifik manfaat yang diharapkan tersebut diantaranya :
1. Bagi guru TK, hasil penelitian ini dapat membuka cakrawala dunia anak dan menambah pengetahuan dan wawasan sehingga termotivasi untuk menjadi guru yang inisiator
2. Bagi jurusan PGPAUD, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan memberikan inspirasi dalam peningkatan kemampuan pengembangan bahasa dalam kemampuan membaca dini bagi anak TK usia dini
3. Bagi peneliti sendiri dapat memberikan kontribusi dalam mengembangkan pengetahuan dan wawasan sehingga dapat memanfaatkan dan mengembangkan suatu cara dalam pembelajaran membaca dini pada anak.
4. Bagi orang tua, penelitian ini diharapkan dapat menjadikan para orang tua mengerti bagaimana pembelajaran yang semestinya di Taman Kanak-Kanak.
Sehingga kebebasan anak untuk berkarya dan menikmati dunia anak yang sesungguhnya sangat menyenangkan menjadi lebih terbentang luas dalam kegiatan bermain melalui permainan kartu kata.
SKRIPSI PTK PENINGKATAN KREATIVITAS ANAK TK DALAM KEGIATAN BERMAIN RAGAM BENTUK GEOMETRI

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KREATIVITAS ANAK TK DALAM KEGIATAN BERMAIN RAGAM BENTUK GEOMETRI

(KODE : PTK-0080) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KREATIVITAS ANAK TK DALAM KEGIATAN BERMAIN RAGAM BENTUK GEOMETRI




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan mengemban tugas untuk dapat mengembangkan potensi kreatif yang dimiliki setiap anak. Anak perlu mendapat bimbingan yang tepat, sehingga memungkinkan mereka untuk dapat mengembangkan potensi dan kemampuan secara optimal. Pada akhirnya kemampuan tersebut diharapkan dapat berguna baik bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat luas pada umumnya. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 ayat 14 yang menyatakan bahwa "Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam pendidikan lebih lanjut" (Hamid,2003 : 14). Dalam hal ini kreativitas merupakan bakat yang secara potensial dimiliki setiap orang, dapat diidentifikasi dan dipupuk melalui pendidikan yang tepat, diantaranya pada Taman Kanak-Kanak sebagai salah satu tempat diselenggarakannya Pendidikan Anak Usia Dini.
Kreativitas salah satu potensi yang dimiliki setiap individu, penting untuk dikembangkan sejak usia dini (Rachmawati & Kurniati, 2003 : 8). Karena masa ini individu memiliki peluang yang sangat besar untuk dapat mengembangkan potensi tersebut (Munandar,1995 : 1). Perkembangan kecerdasan anak usia empat sampai enam tahun, sedang mengalami peningkatan dari 50% menjadi 80% (Maryana,2005 : 9). Hal ini menunjukkan pentingnya upaya pengembangan seluruh potensi anak, salah satunya kreativitas.
Dengan berkembangnya kreativitas pada anak Taman Kanak-Kanak : anak memperoleh kesempatan sepenuhnya untuk memenuhi kebutuhan berekspresi menurut caranya sendiri (manfaat baik terhadap perkembangan kognitif); dapat menjadi alat untuk menyeimbangkan emosi anak sehingga perkembangan kepribadian anak kembali harmonis (manfaat baik terhadap kesehatan jiwa); dan anak akan memperoleh kecakapan untuk merasakan, membeda-bedakan, menghargai keindahan yang akan mengantar dan mempengaruhi kehalusan budi pekertinya (manfaat baik terhadap perkembangan estetika), demikian yang disampaikan Munandar (Montolalu,2007 : 3.5).
Selain itu pengembangan kreativitas bagi anak Taman Kanak-Kanak memiliki tujuan : mengenalkan cara mengekspresikan diri melalui hasil karya dengan menggunakan teknik-teknik yang dikuasainya; mengenalkan cara dalam menemukan alternatif pemecahan masalah; membuat anak memiliki sikap keterbukaan terhadap berbagai pengalaman dengan tingkat kelenturan dan toleransi yang tinggi terhadap ketidakpastian; membuat anak memiliki kepuasan diri terhadap apa yang dilakukannya dan sikap menghargai kasil karya orang lain; membuat anak kreatif, yaitu yang memiliki kelancaran untuk mengemukakan ide, kelenturan untuk mengemukakan berbagai alternatif pemecahan masalah, orisinalitas dalam menghasilkan pemikiran-pemikiran, elaborasi dalam gagasan, keuletan dan kesabaran atau kegigihan dalam menghadapi rintangan dan situasi yang tidak menentu (Munandar,1995 : 34).
Di TK X berdasarkan pengamatan sehari-hari anak kelompok B, dalam hal kreativitas belum terlihat optimal, hal tersebut nampak seperti saat menyelesaikan pekerjaan, anak belum memiliki keberanian dalam hal bereksplorasi dan berekspresi, anak ragu, takut, tidak percaya diri, lebih sering meniru cara Guru atau teman lain, anak masih tergantung pada contoh yang diberikan Guru, atau anak masih meniru cara Guru menyelesaikan pekerjaannya. Dalam hal ini anak belum memiliki keberanian dalam hal berekspresi dan bereksplorasi. Seperti halnya yang dikemukakan Munandar (1995 : 46), tentang teori Wallas, bahwa proses berfikir kreatif memiliki ciri-ciri :
(1) mampu mengemukakan ide-ide yang serupa untuk memecahkan suatu masalah (fluency/kelancaran);
(2) mampu menghasilkan berbagai macam ide guna memecahkan suatu masalah di luar kategori yang biasa (flexibility/keluwesan);
(3) mampu memberikan respon yang unik atau luar biasa (originality/keaslian);
(4) mampu menyatakan pengarahan ide secara terperinci utuk mewujudkan ide menjadi kenyataan (keterperincian);
(5) memiliki kepekaan menangkap dan menghasilkan masalah sebagai tanggapan terhadap suatu situasi (sensitivity/kepekaan).
Aktivitas pembelajaran dalam hal pengembangan kreativitas anak di TK X, belum terlihat tepat guna/efektif, dengan menggunakan alat permainan bermacam bentuk geometri : (1) fasilitas yang disediakan masih terbatas banyaknya, sehingga anak kurang semangat, dan mudah bosan. padahal sumber dan bahan untuk dibentuk geometri ini sangatlah mudah disiapkan, bisa dari kertas lipat berwarna, kertas majalah atau kalender yang sudah lewat tahunnya, maupun dari kertas lainnya, dengan digunting menjadi bermacam-macam bentuk geometri diantaranya segitiga, lingkaran, bujur sangkar atau segiempat. (2) metode atau teknik yang digunakan Guru masih sangat terbatas atau sedikit, sehingga anak merasa tidak tertantang, sedangkan anak TK umumnya selalu bergerak, mempunyai rasa ingin tahu, senang bereksperimen dan menguji, mampu mengekspresikan diri secara kreatif, mempunyai imajinasi dan senang berbicara, metode akan lebih bermakna, jika lebih bervariasi lagi, atau kegiatan dilakukan dengan prinsip bermain sambil belajar sehingga lebih menggairahkan lagi bagi anak dengan mengeksplorasi berbagai bentuk geometri.
Sudono (1995 : 54) mengemukakan bahwa "Melalui kegiatan bermain menggunakan ragam bentuk geometri memberikan kesempatan bagi anak untuk menyatakan sikapnya, minat dan masalah-masalah yang mereka hadapi, membicarakan tujuan dan aspirasinya, memperbincangkan kepercayaan, menyatakan apa yang mereka pikirkan, membagi perasaan yang mereka rasakan, menjelaskan apa saja yang mereka lakukan, memberikan kesempatan kepada anak untuk membandingkan, mengamati, mengklasifikasikan, menafsirkan, menganalisa, mengkritik, membantu mereka menemukan berbagai asumsi serta memberikan kesempatan untuk berfikir atau mencipta". Sama halnya seperti yang dikemukakan Sriningsih (2008 : 97), yang menyatakan bahwa "Permainan mencipta dari bentuk geometri dapat menstimulasi perkembangan kreativitas dan imajinasi anak".
Dengan bermain kotak warna-warni berbagai bentuk, anak akan belajar mengenai bentuk-bentuk yang saling cocok dan tidak cocok, mengenai struktur yang mantap dan tidak mantap, mengenai keseimbangan. Selain itu pada saat bermain ragam bentuk geometri, fantasi atau imajinasi yang dimiliki anak dapat berkembang. Anak akan refleks menyampaikan hasil pemikirannya, baik dengan bentuk bahasa, motorik atau fisik, hasil kerja atau ciptaannya, sosial seperti bekerjasama dalam kelompok, emosional saat membagi dan menghargai hasil kerja, menemukan penyelesaian atas masalah yang dihadapinya, mendorong berfikir dengan logika, pemahaman mengenai konsep-konsep ruang (seperti di atas, samping, bawah, tinggi, rendah, lebar, sempit, besar, kecil), pengetahuan dan kemampuan matematik, serta seni (Sudono, 1995 : 58).
Ol eh karenanya salah satu kegiatan pembelajaran dengan bermain ragam bentuk geometri di Taman Kanak-Kanak, untuk mengembangkan kreativitas anak, sangatlah sesuai. Untuk itu agar kreativitas anak di kelompok B TK X terealisasi secara optimal, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan memanfaatkan bermacam bentuk geometri yang terbuat dari kertas warna-warni yang digunting, adapun kegiatan yang dilakukan sambil bermain, dan penelitian ini berjudul Peningkatan Kreativitas Anak di TK X Dalam Kegiatan Bermain Ragam Bentuk Geometri.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan pada latar belakang tersebut di atas, secara umum permasalahan pokok penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan, " Bagaimana meningkatkan kreativitas anak di TK X (kelompok B) dalam kegiatan bermain ragam bentuk geometri ? ". Secara rinci dijabarkan ke dalam rumusan pertanyaan penelitian berikut :
1. Bagaimana kondisi objektif kreativitas anak di TK X sebelum diterapkan kegiatan bermain ragam bentuk geometri ?
2. Bagaimana penerapan kegiatan bermain ragam bentuk geometri dalam meningkatkan kreativitas anak di TK X ?
3. Bagaimana tingkat kreativitas anak di TK X setelah penerapan kegiatan bermain ragam bentuk geometri ?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang peningkatan kreativitas anak TK X kelompok B dalam kegiatan bermain ragam bentuk geometri. Tujuan umum tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa tujuan khusus sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kondisi objektif tingkat kreativitas anak di TK X (kelompok B) sebelum diterapkan kegiatan bermain ragam bentuk geometri.
2. Untuk mengetahui langkah penerapan kegiatan bermain ragam bentuk geometri di TK X dalam meningkatkan kreativitas.
3. Mengetahui peningkatan atau perubahan yang terjadi pada kreativitas anak di TK X (kelompok B) setelah dilakukan penelitian dengan tindakan kelas melalui kegiatan bermain ragam bentuk geometri.

D. Manfaat Penelitian
Peneliltian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat bagi beberapa pihak, diantaranya :
1. Manfaat Teoretis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang cukup signifikan sebagai masukan pengetahuan atau literatur ilmiah yang dapat dijadikan bahan kajian bagi para insan akademik yang sedang mempelajari ilmu pendidikan anak, khususnya mengenai peningkatan kreativitas anak dalam kegiatan bermain ragam bentuk geometri.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah :
a. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang berkaitan dengan peningkatan kreativitas anak TK dalam kegiatan bermain ragam bentuk geometri.
b. Bagi Kepala Sekolah, dapat menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang keberhasilan peningkatan kreativitas pada anak TK dalam kegiatan bermain ragam bentuk geometri.
c. Bagi para guru, untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya meningkatkan kreativitas anak sejak usia dini dalam kegiatan bermain ragam bentuk geometri, dan menjadi masukan untuk memperbaiki proses pembelajaran dalam rangka meningkatkan kreativitas anak. d. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan dapat menjadikan masukan dan bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dalam mengkaji masalah-masalah yang sama dengan aspek yang berbeda.
SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGENAL WARNA MELALUI PENGGUNAAN METODE DISCOVERY PADA ANAK TK

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGENAL WARNA MELALUI PENGGUNAAN METODE DISCOVERY PADA ANAK TK

(KODE : PTK-0079) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGENAL WARNA MELALUI PENGGUNAAN METODE DISCOVERY PADA ANAK TK




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Masa kanak-kanak adalah masa dimana potensi-potensi dipotret. Usia ini merupakan usia perkembangan dan pertumbuhan yang sangat menentukan perkembangan masa selanjutnya. Berbagai studi yang dilakukan berbagai para ahli menyimpulkan bahwa pendidikan anak sejak usia dini dapat memperbaiki prestasi dan meningkatkan produktivitas kerja masa dewasanya. Begitu pentingnya masa usia dini, Santrock dan Yussen (Solehuddin, 2000 : 2) berpendapat bahwa usia dini adalah masa yang penuh dengan kejadian-kejadian penting dan unik (a highly eventful and unique period of life) yang meletakkan dasar bagi kehidupan seseorang di masa dewasa. Usia TK merupakan salah satu rentang umur pada anak usia dini, yaitu usia 4 sampai 6 tahun. Masa ini disebut masa keemasan, karena peluang perkembangan anak yang sangat berharga. Hurlock (1978 : 26) mengemukakan bahwa lima tahun pertama anak merupakan peletak dasar bagi perkembangan selanjutnya. Dengan demikian masa anak-anak sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian masa dewasa seseorang. Adapun aspek perkembangan itu meliputi perkembangan moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional, kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni. Aspek-aspek perkembangan tersebut tidak berkembang secara sendiri-sendiri, melainkan saling terintegrasi dan saling terjalin satu sama lainnya.
Dari berbagai aspek perkembangan di atas, perkembangan kognitif merupakan salah satu aspek yang penting untuk dikembangkan karena mempunyai tujuan mengembangkan kemampuan berpikir anak untuk dapat mengolah perolehan belajarnya, dapat menemukan berbagai alternatif pemecahan masalah, membantu anak untuk mengembangkan kemampuan logika matematikanya dan pengetahuan akan ruang dan waktu, serta mempunyai kemampuan mengelompokkan serta mempersiapkan pengembangan kemampuan berfikir teliti. Hal ini senada dengan pendapat Gunarsa (Dewi, 2005 : 11) bahwa kognitif adalah fungsi mental yang meliputi persepsi, pikiran, simbol, penalaran, dan pemecahan masalah.
Dalam kurikulum TK (2004) dijelaskan bahwa kompetensi dasar yang harus dikuasai dalam bidang pengembangan kognitif yaitu anak mampu mengenal konsep sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Adapun hasil belajar yang diharapkan yaitu anak dapat mengenal konsep-konsep sains sederhana yang salah satu indikatornya adalah anak mampu mengenal konsep warna.
Pengenalan warna bagi anak dapat merangsang indera penglihatan, otak, estetis dan emosi. Retina pada mata merupakan mediator antara dunia nyata dan otak, di mana terjadi proses yang membentuk suatu model realita dalam pikiran. Dengan proses kerjasama antara otak dan mata maka akan timbul emosi bahkan estetis. Hal ini sesuai dengan penelitian Becker (Luscher, 1984 : 16) yang membuktikan bahwa ada satu jaringan syaraf yang langsung mengarah dari titik pusat retina ke pusat otak (mesencephalon) dan bagian yang mengeluarkan hormon (pituitary system). Hal ini menunjukkan bahwa persepsi visual tergantung pada interprestasi otak terhadap suatu rangsangan yang diterima oleh mata. Daivd (Prawira, 1989 : 40) mengemukakan :
Warna digolongkan menjadi dua, yaitu warna eksternal dan warna internal. Warna eksternal adalah warna yang bersifat fisika, sedangkan warna internal adalah warna sebagai persepsi manusia, bagaimana manusia melihat warna kemudian mengolahnya di otak dan bagaimana mengekspresikannya.
Warna dapat menciptakan kesan dan mampu menimbulkan efek-efek tertentu. J. Linschoten dan Mansyur (Sanyoto, 2005 : 8) menyatakan kaitan warna dengan aspek psikologis bahwa, "Warna-warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya dapat diamati saja, warna itu mempengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya kita akan bermacam-macam benda."
Pembelajaran mengenal warna kepada anak harus menggunakan metode yang sesuai dengan perkembangan anak. Penerapan metode pembelajaran yang tidak tepat khususnya metode pembelajaran klasikal, telah berdampak kepada menurunnya hasil belajar sebagian anak. Hal tersebut dianggap sebagai salah satu sumber kegagalan belajar, yang menjadikan anak untuk cenderung pasif, teacher oriented, dan berorientasi kepada hasil. Tuntutan kurikulum yang mengharuskan penyampaian materi secara total dengan target waktu tertentu mendorong timbulnya 'pemaksaan' tenaga kependidikan kepada anak untuk menyelesaikan materi dengan percepatan tanpa memikirkan pemahaman, pengertian dan pendalaman materi. Hal ini jelas berdampak pada hasil belajar anak, menjadikan anak kurang tertarik terhadap pembelajaran, menganggap sulit, tidak kreatif dan perkembangan anak menurun.
Selain itu, penerapan pembelajaran klasikal yang berorientasi kepada peningkatan pemahaman dan pendalaman materi akan berdampak kepada pembatasan materi yang disampaikan. Jika anak diberikan kebebasan untuk menentukan tahap penguasaan terhadap pembelajaran, maka target kurikulum tidak akan tercapai dan berdampak kepada dangkalnya pengetahuan anak terhadap bidang pengembangan yang disampaikan. Konteks seperti ini jelas menjadi dilema bagi para tenaga pengajar untuk memilih alternatif terbaik, jika metode klasikal masih tetap dipertahankan.
Fenomena dilema seperti diuraikan di atas terjadi di Taman Kanak-Kanak X di kelompok B. Keterbatasan sarana prasarana, dan anggaran pendidikan serta kemampuan tenaga pengajar dalam menerapan metode-metode pembelajaran menjadi salah satu penyebab dilema tersebut. Sebagai lembaga pendidikan yang belum berdiri lama dan sumber daya tenaga pendidikan yang masih harus dikembangkan menyebabkan beberapa tenaga pengajar masih menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat pada guru, sehingga pada salah satu bidang pengembangan yaitu kognitif, anak mengalami kesulitan dalam pemahaman materi.
Salah satu kelemahan yang terjadi pada bidang pengembangan ini adalah rendahnya pemahaman sebagian anak dalam mengenal warna. Selain itu, penerapan konsep warna dalam prakteknya sulit dilakukan anak. Ini sesuai dengan kondisi di lapangan bahwa anak hanya sebatas mengetahui warna yang telah ada, tanpa memahami dengan jelas warna secara konsep.
Anak cenderung tidak mengetahui dari mana warna-warna berasal. Hal ini disebabkan karena keterbatasan media pembelajaran. Anak mengenal warna hanya dari media seadanya, yaitu kertas warna. Oleh karena itu anak tidak dapat mengetahui dan memahami dengan pasti bagaimana konsep warna. Selain itu lemahnya kreatifitas guru menggunakan metode pembelajaran yang efektif dalam mengenalkan konsep warna sehingga anak sulit untuk memahami konsep warna dengan baik.
Kelemahan-kelemahan tersebut sangat tampak pada perkembangan anak tahun sebelumnya, sehingga telah mendorong peneliti untuk bisa memaksimalkan proses pengembangan potensi anak dengan penerapan metode pembelajaran yang inovatif.
Fenomena lainnya adalah ketergantungan terhadap tenaga pengajar yang masih mendominasi sikap anak. Khususnya dalam bidang pengembangan kognitif perlu diupayakan penerapan metode pembelajaran yang mendorong anak untuk lebih aktif, kreatif, tertantang dan menyenangkan dalam belajar. Salah satu metode pembelajaran yang dipandang cocok untuk mengembangkan potensi anak dalam mengenal konsep-konsep sederhana adalah metode discovery. Sund (Sudirman, 1992 : 3), menjelaskan bahwa "Discovery adalah proses mental, dan dalam proses itu individu mengasimilasi konsep dan prinsip-prinsip.
Melalui penggunaan metode discovery dalam pembelajaran, anak akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai warna dan akan lebih tertarik terhadap warna jika mereka dilibatkan secara aktif dalam "melakukan" penemuan warna. Investigasi yang dilakukan oleh anak merupakan tulang punggung metode discovery. Investigasi ini difokuskan untuk memahami konsep-konsep warna dan meningkatkan keterampilan proses berpikir ilmiah anak. Hal ini jelas bahwa peran guru dalam mendidik, tidak hanya memberikan pengetahuan kepada anak, melainkan membantu membangun pengetahuannya sendiri melalui pengalaman belajar yang bermakna.
Dari berbagai hasil penelitian, metode discovery efektif digunakan dalam proses pembelajaran. Widiyastuti (2003 : 75) dalam penelitianya yang berjudul Eksperimentasi Pengajaran Matematika dengan Metode Penemuan melalui Tanya Jawab pada Pokok Bahasan Teorema Pythagoras Ditinjau dari Aktivitas Belajar Anak, menyimpulkan bahwa (1) Ada dampak yang berarti antara metode mengajar guru terhadap prestasi belajar matematika, (2) Ada dampak yang berarti antara aktivitas belajar anak terhadap prestasi belajar matematika, (3) Tidak ada dampak yang berarti antara metode mangajar guru dengan aktivitas belajar dalam mempengaruhi prestasi belajar matematika. Penelitian Ernawati (2005 : 96) yang berjudul Upaya Peningkatan Hasil Belajar dengan Metode Discovery melalui Media Gambar, menyimpulkan (1) Ada peningkatan motivasi anak dalam proses pembelajaran matematika. Sebelum diadakan penelitian hanya 11 anak (33,33 %). Peningkatan persentase dari putaran I dan putaran II mencapai 12,5% dan pada akhir penelitian peningkatanya mencapai 27,75%. (2) Ada peningkatan keaktifan anak dalam proses pembelajaran matematika. Sebelum diadakan penelitian hanya tiga anak (9,09%), peningkatan persentase dari putaran I dan II mencapai 5,2% dan pada akhir penelitian peningkatanya mencapai 16,66%. (3) Ada peningkatan kreativitas anak pada percobaan yang dilakukan dalam proses pembelajaran matematika. Sebelum diadakan penelitian hanya delapan anak (24,24%). Peningkatan persentase dari putaran I dan II mencapai 16,87% dan pada akhir penelitian peningkatanya mencapai 23,63%. (4) Ada peningkatan kemampuan matematika anak selama proses pembelajaran matematika. Sebelum diadakan penelitian hanya tujuh anak (21,21%). Peningkatan persentase dari putaran I dan II mencapai 13,33% dan pada akhir penelitian peningkatanya mencapai 36,05%
Pengetahuan baru akan melekat lebih lama apabila anak dilibatkan secara langsung dalam proses pembelajaran dan mengkonstruksi sendiri konsep atau pengetahuan tersebut. Mulyasa (2005 : 110) menjelaskan bahwa metode discovery merupakan metode yang lebih menekankan pada pengalaman langsung. Pembelajaran dengan metode penemuan lebih mengutamakan proses dari pada hasil belajar.
Salah satu bentuk dari discovery yaitu Guided Discovery Lesson (pelajaran dengan penemuan terpimpin). Dalam penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator, guru membimbing anak dimana diperlukan. Dalam metode pembelajaran ini anak didorong untuk berpikir sendiri, sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang telah disediakan oleh guru. Proses pembimbingan tergantung pada kemampuan anak dan materi yang sedang dipelajari.
Dengan metode ini, anak dihadapkan kepada situasi yang memberikan kebebasan untuk menyelidiki dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error) hendaknya dianjurkan. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan dan membantu anak agar mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang bam. Pengajuan pertanyaan yang tepat oleh guru akan merangsang kreativitas anak dan membantu mereka dalam menemukan pengetahuan bam tersebut.
Dari paparan di atas, penggunaan metode discovery merupakan formula yang dipandang lebih efektif untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal warna. Penggunaan metode discovery dalam mengenal warna diharapkan anak dapat mengekspresikan dan mengembangkan bakat, minat dan kreativitasnya, sekaligus mendapatkan pengetahuan dan keterampilan serta mengembangkan sikap dan perilakunya. Selain itu diharapkan guru mampu menciptakan suasana pembelajaran yang mengasyikan supaya mendorong anak untuk belajar lebih aktif sehingga memberikan pengalaman belajar yang bam. Dalam metode pembelajaran ini anak dibiasakan untuk memecahkan masalah, bergelut dengan ide-ide dan menemukan sesuatu yang bam sehingga berguna bagi dirinya.
Pada kegiatan discovery guru hanya memberikan masalah dan anak disumh memecahkan masalah melalui percobaan. Dalam hal ini guru memberikan masalah dengan mengajukan pertanyaan, sehingga anak termotivasi untuk mencari jawabannya melalui percobaan. Hal ini mengantarkan anak untuk mengenal warna dengan cara menemukan sendiri. Selain itu tidak menutup kemungkinan anak akan menemukan warna-warna yang lain, sehingga pengetahuan anak menjadi semakin kaya. Adapun efektivitas metode discovery anak dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Prayitno (2008 : 1), menjelaskan : "Metode Discovery mempakan komponen dari praktek pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri dan reflektif”.
Dalam pembelajaran discovery, anak dihadapkan dengan objek langsung yang akan menuntut untuk menemukan informasi-informasi baru melalui pengalaman, sehingga pembelajaran akan lebih bermakna. Dengan demikian pembelajaran menjadi proses "menkonstruksi" bukan "menerima" pengetahuan. Anak membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran yang didasarkan pada pencapaian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis karena pengetahuan bukanlah sejumlah fakta hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan demikian anak menjadi pusat kegiatan dalam pembelajaran.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka peneliti mengadakan penelitian dengan judul "Peningkatan Kemampuan Mengenal Warna melalui Penggunaan Metode Discovery pada Anak TK (Penelitian Tindakan Kelas di TK Kelompok B Kabupaten X)"

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan metode discovery untuk meningkatkan kemampuan mengenal warna pada anak TK ?
Secara operasional rumusan masalah di atas dijabarkan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi objektif proses pembelajaraan dalam mengenal warna di TK X ?
2. Bagaimana kemampuan anak mengenal warna di TK X ?
3. Bagaimana pelaksanaan pembelajaraan dengan metode discovery untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal warna di TK X ?
4. Bagaimana kemampuan anak mengenal warna di TK X setelah pelaksanaan pembelajaran dengan metode discovery ?
5. Faktor-faktor apakah yang menghambat implementasi metode pembelajaraan discovery untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal warna di TK X ?
6. Faktor-faktor apakah yang mendukung implementasi metode pembelajaraan discovery untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal warna di TK X ?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan anak dalam mengenal warna dengan menggunakan metode discovery. Secara khusus penelitian tindakan ini bertujuan untuk :
1. Memperoleh gambaran kondisi objektif pelaksanaan pembelajaraan dalam mengenal warna di TK X.
2. Memperoleh gambaran tentang kemampuan anak dalam mengenal warna di TK X.
3. Memperoleh gambaran tentang pelaksanaan pembelajaraan metode discovery untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal warna di TK X.
4. Memperoleh gambaran peningkatkan kemampuan anak dalam mengenal warna di TK X setelah penerapan metode discovery.
5. Memperoleh gambaran tentang faktor-faktor yang menghambat implementasi metode pembelajaraan discovery untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal warna di TK X.
6. Memperoleh gambaran tentang faktor-faktor yang mendukung implementasi metode pembelajaraan discovery untuk meningkatkan kemampuan anak dalam mengenal warna di TK X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil pelaksanaan penelitian tindakan ini merupakan "self reflecting teaching" yang akan memberikan manfaat bagi para guru, anak, peneliti selanjutnya dan peneliti. Manfaat-manfaat yang diperoleh adalah sebagai berikut :
1. Bagi guru, pelaksanaan penelitian tindakan ini akan memberikan masukan tentang metode pembelajaran yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan mengenal warna bagi anak.
2. Bagi anak, metode discovery dapat melatih anak untuk berpikir lebih kritis. Diharapkan anak menjadi terbiasa dan dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
3. Bagi peneliti selanjutnya dapat mengembangkan metode discovery untuk meningkatkan pemahaman anak terhadap suatu materi sehingga diharapkan anak dapat lebih kreatif dan mampu berfikir lebih kritis terhadap suatu masalah.
4. Bagi peneliti, memberikan pengalaman dan wawasan pribadi dalam mengembangkan program pembelajaran khususnya kemampuan mengenal warna pada anak taman kanak-kanak.
SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS ANAK

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS ANAK

(KODE : PTK-0078) : SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KREATIVITAS ANAK




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang pesat, kita dihadapkan dengan berbagai tantangan dan tuntutan untuk menghadapi persaingan yang sangat ketat. Dengan fenomena tersebut dibutuhkan keterampilan dan kreativitas untuk menghadapi permasalahan, karena itu kreativitas harus dikembangkan sejak kecil khususnya pada anak usia dini. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kreativitas anak Indonesia saat ini cenderung kurang tumbuh dan berkembang. Hal ini didukung oleh laporan Supriadi (Rachmawati dan Kurniati, 2003 : 8) yang mengemukakan hasil studi yang dilakukan oleh Jellen dan Urban pada tahun 1987 berkenaan dengan tingkat kreativitas anak-anak usia 10 tahun di berbagai negara, termasuk di dalamnya Indonesia.
Data pada tabel 1.1 halaman 2 menunjukkan bahwa Indonesia menempati posisi terendah dibandingkan delapan negara lainnya, jauh di bawah Filipina, Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman, bahkan di bawah Negara India, Kamerun dan Zulu. Pendidikan yang dilaksanakan, baik oleh orang tua, guru, maupun masyarakat, masih berorientasi pada harapan-harapan orang tua, bukan keinginan anak. Anak dibiarkan tumbuh dalam situasi dan posisi yang lemah, di bawah orang tua ataupun guru.
Hasil survey nasional pendidikan di Indonesia (Tridjata, 1998 : 1) menunjukkan bahwa sistem pendidikan formal di Indonesia pada umumnya masih kurang memberi peluang bagi pengembangan kreativitas. Di sekolah yang terutama dilatih adalah ranah kognitif yang meliputi : pengetahuan, ingatan, dan kemampuan berpikir logis dan penalaran. Sementara perkembangan ranah afektif (sikap dan perasaan) dan ranah psikomotorik (keterampilan) serta ranah lainnya kurang diperhatikan dan dikembangkan. Hasil suatu penelitian seorang psikolog Amerika, Torrance (1974 : 4) menyimpulkan bahwa ada indikasi penurunan kemampuan berpikir kreatif pada anak usia 6 tahun, yaitu saat anak masuk kelas satu sekolah dasar.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa kreativitas pada anak usia dini belum dikembangkan secara optimal, oleh karena itu potensi dan kreativitas anak perlu dikembangkan melalui upaya pendidikan, baik pendidikan di lingkungan rumah, di sekolah, maupun di masyarakat luas. Sebagaimana yang disampaikan Hasan (Efendi, 2006 : 205) bahwa :
"Pendidikan adalah suatu proses pengembangan dasar atau pengembangan bakat/kreativitas anak, dan proses tersebut berjalan sesuai dengan hukum-hukum perkembangan. Bakat atau kreativitas anak tidak datang secara simultan atau tiba-tiba, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan hukum alam yang ada, bahwa manusia tumbuh dan berkembang setahap demi setahap".
Lebih jauh Mulyadi (2000 : 2) memaparkan bahwa :
"Sistem pendidikan Indonesia saat ini tidak menciptakan anak-anak yang kreatif. Murid yang baik selama ini adalah murid yang raj in, penurut, dan patuh serta bisa mengerjakan soal-soal sebagaimana yang telah diajarkan oleh guru, sampai pada titik komanya harus persis".
Keberhasilan akademis saja tidak menentukan keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan ke depannya, oleh karena itu kreativitas perlu dirangsang perkembangannya sejak masa kanak-kanak, dan kreativitas harus dikembangkan dalam pendidikan formal, informal maupun nonformal. Sampai pada usia 4 tahun seorang anak telah mencapai separuh dari kecerdasannya. Rangsangan yang diberikan pada tahap-tahap pertama kehidupannya akan memberikan hasil yang paling besar dalam peningkatan potensi kreatifnya.
Kreativitas merupakan salah satu potensi yang dimiliki anak yang perlu dikembangkan sejak usia dini. Setiap anak memiliki bakat kreatif dan ditinjau dari segi pendidikan, bakat kreatif dapat dikembangkan dan karena itu perlu distimulasi sejak dini. Bila bakat kreatif anak tidak distimulasi maka bakat tersebut tidak akan berkembang, bahkan menjadi bakat yang terpendam yang tidak dapat diwujudkan. Menurut Torrance (1974 : 1) peran orang tua penting sekali dalam menentukan cara untuk meningkatkan kreativitas pada anak kecil, karena kemampuan ini perlu dirangsang sejak bayi. Menurut ahli ini, kreativitas anak mulai meningkat pada usia 3 (tiga) tahun, mencapai puncaknya usia 4-4 ½ tahun, lalu menurun pada usia 5 tahun ketika anak masuk sekolah (mungkin karena tekanan guru dan teman yang menuntut dia agar menyesuaikan diri).
Melihat kenyataan tersebut, para guru sebagai tokoh yang paling berpengaruh pada anak didiknya khususnya di tingkat pendidikan Taman Kanak-kanak, hendaknya merasa lebih tertantang untuk membimbing anak didiknya mencapai kemampuan yang optimal. Rahmat (2000 : 6) berpandangan daya kreativitas anak sebenarnya dapat ditumbuhkan melalui pengkondisian suasana belajar.
Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan anak sangat penting, karena itu diperlukan strategi untuk menciptakan lingkungan tersebut dengan pengaturan lingkungan yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman, sehingga anak dapat meningkatkan daya imajinasi kreativitasnya.
Proses pembelajaran dengan kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak yaitu melalui bermain, dapat merangsang kreativitas anak sesuai dengan potensi yang dimilikinya sejak usia dini. Ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mulyasa (2005 : 164) bahwa : "Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar". Hasil penelitian di Baylor College Of Medicine (Nurlaily, 2006 : 12) "Menyatakan bahwa lingkungan memberi peran yang sangat besar dalam membentuk sikap, kepribadian dan pengembangan kemampuan anak secara optimal. Anak yang tidak mendapat lingkungan yang baik untuk merangsang pertumbuhan otaknya, misal jarang disentuh, jarang diajak bermain, jarang diajak berkomunikasi, maka perkembangan otaknya akan lebih kecil 20-30% dari ukuran normal seusianya". Oleh karena itu hak-hak anak usia dini harus lebih diperhatikan lagi termasuk hak akan pendidikannya. Hal ini menunjukkan bahwa anak-anak berhak mendapat pengajaran, baik yang diselenggarakan di jalur pendidikan formal, informal, maupun di jalur nonformal sesuai pasal 28 dari UU No 20 tahun 2003.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka pendidikan yang diberikan pada anak harus berorientasi pada perkembanganya. Menurut Nurlaily (2006 : 3) "Proses pendidikan yang berorientasi pada perkembangan adalah sebanyak mungkin melibatkan anak dalam kegiatan meneliti, menguji, memanipulasi dan bereksperimen dengan berbagai benda yang menarik bagi anak seusia mereka". Melakukan berbagai percobaan dengan berbagai benda adalah kegiatan yang disukai anak usia dini dan kegiatan ini mampu mengembangkan kreativitas anak. Nurlaily (2006 : 5) mengatakan :
"Pentingnya masa anak usia dini dan karakteristiknya, menuntut pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran yang memusatkan perhatiannya pada anak. Peran pendidik dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan berbagai kegiatan dengan mengeksplorasi lingkungannya dan melakukan interaksi yang aktif dengan orang dewasa dan lingkungannya".
Berdasarkan pendapat di atas, maka guru TK harus menciptakan situasi yang mengandung makna penting, yang memungkinkan berkembangnya kekuatan-kekuatan yang dimiliki anak dan perluasan minat anak serta pengembangan kreativitas dan tanggung jawab, baik secara perseorangan maupun secara kelompok.
Metode pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas anak yang dipilih adalah metode yang dapat menggerakkan anak untuk meningkatkan motivasi rasa ingin tahu dan mengembangkan imajinasinya. Di samping itu metode pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas anak, adalah yang mampu mendorong anak mencari dan menemukan jawabannya, membuat pertanyaan yang membantu memecahkan masalah, memikirkan kembali, membangun kembali dan menemukan hubungan-hubungan baru.
Terdapat berbagai metode yang dapat mengembangkan kreativitas anak di antaranya adalah metode karyawisata, metode eksplorasi, metode eksperimen, melalui permainan musik, melalui hasta karya dan metode proyek (Rachmawati dan Kurniati, 2003 : 71-86). Demikian pula Moeslichatoen (1999 : 27) menjelaskan :
Metode proyek adalah salah satu metode yang digunakan untuk melatih kemampuan anak memecahkan masalah yang dialami anak dalam kehidupan sehari-hari. Cara ini dapat menggerakkan anak untuk melakukan kerjasama sepenuh hati. Kerjasama dilaksanakan secara terpadu untuk mencapai tujuan bersama.
Nurlaily (2006 : 5) mengatakan metode proyek merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam memecahkan bersama masalah yang mempunyai nilai praktis yang sangat penting bagi pengembangan pribadi anak, serta mengembangkan keterampilan menjalani kehidupan sehari-hari. Metode proyek merupakan salah satu dari metode yang cocok bagi pengembangan terutama dimensi kognitif, sosial, motorik, kreatif dan emosional anak.
Metode proyek merupakan suatu metode pembelajaran yang dapat melatih anak menerima tanggung jawab dan prakarsa untuk mengembangkan kreativitas dalam menjelaskan pekerjaan yang menjadi bagian proyek secara tuntas. Selain itu menurut Nurlaily (2006 : 7) metode proyek memberikan peluang kepada anak untuk meningkatkan keterampilan yang telah dikuasai secara perseorangan atau kelompok kecil, dan menimbulkan minat anak terhadap apa yang telah dilakukan dalam proyek serta bagi anak untuk mewujudkan daya kreativitasnya, bekerjasama secara tuntas, dan bertanggung jawab atas keberhasilan tujuan kelompok, mempunyai pemahaman yang utuh tentang suatu konsep. Sayangnya, melihat kenyataan di lapangan masih terdapat guru-guru yang jarang menggunakan metode proyek karena metode proyek dalam pelaksanaannya cukup sulit untuk mencari sumber-sumber, sukar untuk memilih proyek-proyek yang sangat tepat, dan kurangnya guru-guru yang menguasai metode proyek tersebut. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Djamarah (2000 : 194) bahwa "Metode proyek cukup sukar dalam pelaksanaannya sehingga memerlukan keahlian khusus dari guru dan kurikulum yang berlaku di negara Indonesia saat ini, baik secara vertikal maupun horizontal, belum menunjang pelaksanaan metode ini ". Berkenaan dengan apa yang dikemukakan oleh Djamarah di atas, di sekolah yang mejadi tempat penelitian pengemban kurikulum TK 2004, maka tema dan materi yang diberikan kepada anak disesuaikan dengan kurikulum yang ada di TK tersebut.
Beranjak dari permasalahan yang telah dipaparkan di atas, penulis merasa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana penerapan metode proyek dalam mengembangkan kreativitas anak TK. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis merumuskan judul "Penerapan Metode Proyek untuk Meningkatkan Kreativitas Anak TK"

B. Rumusan dan Batasan Masalah
Dari paparan yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui pentingnya penerapan metode proyek dan teknik pembelajaran yang tepat dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan kreativitas anak. Hasil pengamatan sementara menunjukkan bahwa masih rendahnya kreativitas anak di TK X, atas dasar kondisi tesebut, maka masalahnya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi objektif pembelajaran kreativitas anak di TK X dilihat dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran ?
2. Bagaimana penerapan metode proyek di TK X untuk meningkatkan kreativitas anak ?
3. Bagaimana peningkatan kreativitas anak di TK X setelah diterapkannya metode proyek ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang penerapan metode proyek untuk meningkatkan kreativitas anak.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kondisi objektif pembelajaran kreativitas anak di TK X.
b. Untuk mengetahui penerapan metode proyek dalam rangka meningkatkan kreativitas anak di TK X.
c. Untuk mengetahui peningkatan kreativitas anak di TK X setelah diterapkannya metode proyek.

D. Manfaat Penelitian
Dari informasi yang didapat, diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi informasi bagi pengembangan karya tulis ilmiah khususnya dalam bidang penerapan metode proyek untuk meningkatkan kreativitas anak TK. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat merubah pembelajaran yang sudah ada ke arah yang lebih baik.
2. Secara Praktis
a. Bagi Peneliti
Sebagai penambah wawasan/ilmu pengetahuan tentang metode pembelajaran pada umumnya, dan metode proyek untuk meningkatkan kreativitas anak pada khususnya.
b. Bagi Guru Taman Kanak-kanak
Diharapkan dari penelitian ini akan memberikan masukan bagi guru TK dalam menerapkan metode proyek dalam meningkatkan kreativitas anak.
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti selanjutnya mengenai hal yang sama secara lebih mendalam.
SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS MELALUI KEGIATAN MENGGAMBAR DEKORATIF PADA ANAK DI TK X

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS MELALUI KEGIATAN MENGGAMBAR DEKORATIF PADA ANAK DI TK X

(KODE : PTK-0077) : SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MOTORIK HALUS MELALUI KEGIATAN MENGGAMBAR DEKORATIF PADA ANAK DI TK X




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Dunia pendidikan senantiasa diarahkan pada peningkatan mutu sumber daya manusia terutama anak TK. Anak sebagai peserta didik dipersiapkan untuk menjadi jiwa yang tangguh, mandiri, dan kreatif dalam memasuki era globalisasi yang penuh persaingan. Untuk itu penyelenggaraan program pendidikan akan lebih menitik beratkan pada perkembangan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Anak memerlukan kegiatan yang menyenangkan dalam proses pembelajaran. Bagi anak, bermain merupakan sarana belajar bagi mereka. Bermain merupakan proses mempersiapkan diri untuk memasuki dunia selanjutnya dan merupakan cara untuk mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak seperti aspek kognitif, sosial, emosi, dan fisik. Melalui kegiatan bermain dengan menggunakan alat permainan, anak terstimulasi untuk berkembang dengan baik perkembangannya.
Melalui bermain, gerakan motorik anak akan senantiasa terlatih dengan baik. Peningkatan keterampilan motorik seorang anak akan berdampak positif pada aspek perkembangan yang lain pula. Bagi anak usia prasekolah, gerakan-gerakan fisik tidak sekedar penting untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan fisik, melainkan juga dapat berpengaruh positif terhadap pertumbuhan rasa harga diri (self esteem) dan bahkan perkembangan kognisi (Bredekamp, 1987 dalam solehuddin 2000).
Perlu diketahui bahwa kemampuan motorik halus sangat penting karena berpengaruh pada segi pembelajaran lainnya. Keadaan ini sesuai dengan penelitian Mayke (2007) bahwa motorik halus penting karena ini nantinya akan dibutuhkan anak dari segi akademis. Kegiatan akademis tersebut seperti menulis, menggunting, menjiplak, mewarnai, melipat, menarik garis dan menggambar. Hal ini sejalan dengan pendapat Hurlock (1978) bahwa penguasaan motorik halus penting bagi anak, karena seiring makin banyak keterampilan motorik yang dimiliki semakin baik pula penyesuaian sosial yang dapat dilakukan anak serta semakin baik prestasi di sekolah.
Perkembangan motorik merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam perkembangan anak secara keseluruhan. Perkembangan fisik sangat berkaitan erat dengan perkembangan motorik anak. Motorik merupakan perkembangan pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara susunan saraf, otot, otak, dan spinal cord (Endah, 2008). Perkembangan motorik meliputi motorik kasar dan halus. Perkembangan ini akan berpengaruh pada kemampuan sosial emosi, bahasa, dan fisik anak.
Dalam perkembangan anak, biasanya kemampuan motorik kasar lebih dahulu berkembang daripada kemampuan motorik halus. Hal ini terbukti ketika anak sudah dapat berjalan dengan menggunakan otot-otot kakinya, kemudian anak baru mampu dapat mengontrol tangan dan jari-jarinya untuk menggambar atau menggunting. Keterampilan motorik halus pada umumnya memerlukan jangka waktu yang relatif lama untuk penyesuaiannya. Hal ini merupakan suatu proses bagi seorang anak untuk mencapainya. Maka diperlukan intensitas kegiatan yang syarat untuk meningkatkan kemampuan motorik halus.
Kemampuan motorik halus yang dimiliki setiap anak berbeda. Ada yang lambat dan ada pula yang sesuai dengan perkembangan tergantung pada kematangan anak. Namun sebaiknya selaku pendidik atau orang tua hendaknya mengetahui permasalahan dan memberikan solusi bagaimana meningkatkan kemampuan motorik halus pada anak.
Menurut Holts (2009), kemampuan motorik anak dikatakan terlambat, bila di usianya yang seharusnya ia sudah dapat mengembangkan keterampilan baru, tetapi ia tidak menunjukkan kemajuan. Terlebih jika sampai memasuki usia sekolah sekitar 6 tahun, anak belum dapat menggunakan alat tulis dengan baik dan benar. Anak-anak yang mengalami keterlambatan dalam perkembangan motorik halus mengalami kesulitan untuk mengoordinasikan gerakan tangan dan jari-jemarinya secara fleksibel. Adapun beberapa faktor yang melatarbelakangi keterlambatan perkembangan kemampuan motorik halus misalnya kurangnya kesempatan untuk melakukan eksplorasi terhadap lingkungan sejak bayi, pola asuh orangtua yang cenderung overprotektif dan kurang konsisten dalam memberikan rangsangan belajar, tidak membiasakan anak untuk mengerjakan aktivitas sendiri sehingga anak terbiasa selalu dibantu untuk memenuhi kebutuhannya, serta ada juga anak yang selalu disuapi sehingga fleksibilitas tangan dan jemarinya kurang terasah. Namun menurut Wing (2008), sebagian anak mengalami kesulitan dalam keterampilan motorik halus dilatarbelakangi oleh pesatnya kemajuan teknologi jaman sekarang seperti video games dan komputer, anak-anak kurang menggunakan waktu mereka untuk permainan yang memakai motorik halus. Ini bisa menyebabkan kurang berkembangnya otot-otot halus pada tangan. Keterlambatan perkembangan otot-otot ini menyebabkan kesulitan menulis ketika anak masuk sekolah. Beberapa anak menunjukkan keterlambatan dalam kemampuan motorik halus karena keterlambatan tumbuh kembang atau diagnosa medik seperti Down syndrome atau cerebral palsy (cacat mental).
Setelah mengetahui permasalahan secara umum di atas, jika melihat pada kenyataan di lapangan, sebagian Taman Kanak-kanak menerapkan pembelajaran yang dijadikan dasar peningkatan motorik halus terkadang kurang terencana dan terprogram. Guru masih menerapkan pembelajaran yang bersifat konvensional seperti pembelajaran yang kurang memunculkan minat anak dan masih kurangnya sarana prasarana pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan motorik halus anak.
Melihat fenomena yang terjadi di lapangan khususnya di TK X berdasarkan pengamatan awal dan hasil diskusi dengan guru kelas menunjukan bahwa anak-anak pada umumnya masih memiliki kemampuan motorik halus yang masih rendah terutama pada kegiatan pramenulis seperti cara memegang pensil yang belum benar, menjiplak bentuk/garis yang belum rapi, kesulitan membuat bentuk-bentuk tulisan dan mewarnai yang masih terlihat corat-coret serta kegiatan lainnya yang masih memerlukan bimbingan dari lingkungan terutama kemampuan motorik halus, yang mencakup penggunaan koordinasi otot-otot kecil/halus. Hal ini bisa disebabkan faktor kematangan anak dan stimulasi/latihan yang belum diterapkan secara konsisten seperti pembelajaran yang ada dalam program di sekolah tersebut. Menurut pengamatan TK ini belum terdapat program dalam meningkatkan kemampuan motorik halus anak secara khusus. Untuk itu masalah ini sebaiknya segera diantisipasi adanya faktor penghambat kemajuan segi pembelajaran yang lain ini, sehingga kekhawatiran anak mengalami kesulitan dalam kemampuan motorik halus dapat diminimalisir.
Proses pembelajaran awal yang menyenangkan sangat berpengaruh pada kemajuan dari segi pembelajaran akademik lain dan kreativitas. Brenner (1990) dalam Solehuddin (2000) menyatakan bahwa tak ada masa yang lebih potensial untuk belajar daripada masa tahun-tahun awal kehidupan anak. Sehingga akan lebih baik bagi anak pada masa ini untuk diberi stimulasi belajar yang efektif untuk mengembangkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Proses pembelajaran awal yang menyenangkan dalam meningkatkan kemampuan motorik halus dapat dioptimalisasikan pada awal kehidupan anak. Menurut Solehuddin (2000) berkenaan dengan pertumbuhan fisik, anak usia TK masih perlu aktif melakukan berbagai aktifitas. Oleh karena itu pihak sekolah selayaknya mengembangkan kegiatan belajar yang sesuai dengan perkembangan anak untuk dapat meningkatkan kemampuan motorik halus anak.
Para ahli pendidikan memandang bahwa usia prasekolah merupakan masa emas bagi penyiapan anak untuk menjalani proses perkembangan dan belajar selanjutnya. Pada usia ini pula terdapat "masa peka" yang sangat potensial sekali untuk dikembangkan secara optimal sebagai tuntutan perkembangan anak.
Usia emas dalam perkembangan motorik adalah middle childhood atau masa anak-anak. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional,konsep diri, disiplin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama.Oleh sebab itu dibutuhkan kondisi dan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan perkembangan anak tercapai secara optimal.
Pada usia ini, kesehatan fisik anak mulai stabil. Anak tidak mengalami sakit seperti usia sebelumnya. Hal ini menyebabkan perkembangan fisik jadi lebih maksimal dari pada usia sebelumnya.
Mengingat kemampuan motorik halus anak sangat penting, maka diperlukan kegiatan yang lebih ditingkatkan lagi, dapat memberikan kesenangan pada anak, memupuk jiwa kreatif serta merupakan dasar bagi keterampilan yang lainnya. Menurut Rachmawati dkk (2003) bahwa dengan potensi kreativitas, maka anak akan senantiasa membutuhkan aktivitas yang syarat dengan ide-ide kreatif.
Sedangkan para ahli konstruktivis mengasumsikan bahwa pada dasarnya anak itu memiliki kemampuan untuk membangun dan mengkreasi pengetahuan. Menurut pandangan ini (Schickedanz, et al, 1990), dalam Solehuddin (2002) pengetahuan pada dasarnya dibangun. Pengetahuan itu tidak terletak dimanapun, melainkan dibangun oleh anak dengan berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini diasumsikan bahwa keterlibatan, kreativitas, dan inisiatif anak dalam proses belajar merupakan hal yang esensial. Greenberg (1994) dalam Solehudin (2002) mengatakan bahwa anak akan terlibat dalam belajar secara lebih intensif jika ia membangun sesuatu daripada sekedar melakukan atau menirukan sesuatu yang dibangun oleh orang lain. Hal ini akan menciptakan suasana belajar yang bermakna.
Berkaitan dengan pembelajaran di sekolah, sebenarnya banyak pendekatan dan kegiatan pembelajaran yang dapat mendukung pengembangan aspek motorik halus anak. Pendekatan seni merupakan suatu proses pembelajaran yang dapat meningkatkan keterampilan motorik halus anak. Seni adalah kegiatan manusia dalam mengekspresikan pengalaman hidup dan kesadaran artistiknya yang melibatkan kemampuan intuisi, kepekaan indriawi dan rasa, kemampuan intelektual, kreativitas serta keterampilan teknik untuk menciptakan karya yang memiliki fungsi personal atau sosial dengan menggunakan berbagai media.
Pengembangan seni juga bertujuan mengembangkan keterampilan motorik halus anak didik dalam berolah tangan. Salah satu diantaranya adalah pembelajaran bidang seni rupa yaitu pada kegiatan menggambar dekoratif. Pembelajaran seni merupakan salah satu pendekatan pembelajaran di TK yang memiliki aspek bermain sambil belajar atau belajar seraya bermain.
Menggambar dekoratif merupakan kegiatan menggambar hiasan (ornamen) pada kertas gambar atau pada benda benda tertentu (Prawira : 2004). Menurut E. Muharam dkk (1992) menggambar dekoratif peranannya bisa meluas ke segala bidang, misalnya dipergunakan sebagai bagian dari perlengkapan hidup. Gambar dekoratif telah memasuki segala aspek kehidupan manusia. Dengan demikian menggambar dekoratif memiliki peranan pada semua bidang tergantung pada kebutuhan manusia, termasuk peranannya dalam bidang pendidikan untuk keperluan melatih kemampuan motorik halus pada suatu pembelajaran.
Kegiatan menggambar dekoratif ini melibatkan unsur otot, syaraf, otak, dan jari-jemari tangan. Anak selayaknya diberi motivasi, dorongan yang dapat memunculkan minat anak terhadap kegiatan tersebut. Anak dilatih memegang pensil dengan benar ketika membuat suatu gambar, mewarnai atau memulas dengan menggunakan krayon atau kuas, sehingga dapat meningkatkan kelenturan jari jemari anak. Disinilah unsur-unsur tersebut akan terkoordinasi jika dilakukan dengan intensif.
Tak ada seorang anak pun yang tidak gemar menggambar. Saat disodorkan secarik kertas, ia akan dengan sigap mencoret-coret apa yang ada dalam imajinasinya di atas kertas tersebut. Karena itu, menggambar dianggap dapat dijadikan sebagai ajang mengasah kreativitas anak. Selain itu, aktivitas ini juga bermanfaat dapat menstimulasi daya imajinasi, mengembangkan gagasan, menyalurkan emosi, menumbuhkan minat seni, sekaligus mengoptimalkan kemampuan motorik halus anak prasekolah (Gerda, 2008).
Menurut Ki Hadjar Dewantoro dalam Sofa (2003) setiap fungsi perkembangan dan kemampuan dasar/genetik dalam diri anak, khususnya usia TK mempunyai masa peka tersendiri, misalnya masa peka untuk menggambar adalah tahun ke-5. Sehingga "masa peka" yang sangat potensial di usia prasekolah ini baik untuk dikembangkan secara optimal sebagai tuntutan perkembangan anak.
Dengan demikian kemampuan motorik halus anak perlu untuk ditingkatkan untuk mengubah suatu keadaan dalam memecahkan persoalan pendidikan yang timbul dan memperbaiki suatu keadaan di bidang pendidikan. Oleh karena itu peneliti ingin mengetahui sejauh mana latihan kegiatan menggambar dekoratif dapat meningkatkan kemampuan motorik halus anak di TK X. Berdasarkan uraian yang yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti memilih judul "Upaya Meningkatkan Kemampuan Motorik Halus Melalui Kegiatan Menggambar Dekoratif".

B. Rumusan Masalah
Secara Umum penelitian ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut : "Bagaimana Upaya Meningkatkan Kemampuan Motorik Halus Melalui Kegiatan Menggambar Dekoratif ?"
Rumusan masalah di atas secara khusus dapat dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian, sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi kemampuan motorik halus anak di TK X sebelum mengikuti kegiatan menggambar dekoratif ?
2. Bagaimana proses kegiatan menggambar dekoratif dalam upaya meningkatkan kemampuan motorik halus anak di TK X ?
3. Bagaimanakah kemampuan motorik halus anak di TK X setelah mengikuti kegiatan menggambar dekoratif ?

C. Tujuan Penelitian
1. Secara umum tujuan penelitian ini adalah mengetahui upaya peningkatan kemampuan motorik halus anak melalui kegiatan menggambar dekoratif dalam pembelajaran di TK.
2. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran kondisi kemampuan motorik halus awal anak di TK X sebelum adanya kegiatan menggambar dekoratif.
2. Untuk mengetahui proses kegiatan menggambar dekoratif untuk meningkatkan kemampuan motorik halus pada anak di TK X.
3. Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan motorik halus setelah mengikuti kegiatan menggambar dekoratif pada anak di TK X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritik maupun praktis terhadap peningkatan kemampuan motorik halus anak melalui kegiatan menggambar dekoratif dalam pembelajaran di Taman Kanak-kanak.
Secara teoritik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pengembangan kajian keilmuan tentang dunia anak usia TK.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang kegiatan menggambar dekoratif dalam meningkatkan kemampuan motorik halus di TK.
2. Bagi guru TK dapat memberikan pengetahuan dalam proses pembelajaran agar lebih menerapkan prinsip pada bermain sambil belajar dan membimbing bagaimana agar kemampuan motorik halus anak dapat berkembang secara optimal.
3. Bagi anak akan memperoleh pembelajaran di bidang seni yang lebih menarik, menyenangkan dan memungkinkan bagi dirinya untuk meningkatkan kemampuan motorik halus yang sangat berguna untuk masa dewasa nanti.
4. Memberi bahan masukan kepada lembaga penyelenggaraan program PAUD pada umumnya dan untuk TK X untuk meningkatkan proses pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan motorik halus anak.

E. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kemampuan motorik halus anak di TK X melalui kegiatan menggambar dekoratif. Maka metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian tindakan (action research). Metode penelitian tindakan yang dapat dikembangkan terdapat 4 komponen pokok yang juga menunjukan langkah (Sukardi, 2003) yaitu : plan (perencanaan), act (tindakan), observe (pengamatan), dan reflect (perenungan) atau disingkat PAOR yang dilakukan secara intensif dan sistematis atas seseorang yang mengerjakan pekerjaan sehari-harinya. Keempat tahap tersebut adalah satu siklus atau daur, sehingga setiap tahap akan berulang kembali. Hasil refleksi terhadap tindakan yang dilakukan akan digunakan kembali untuk merevisi rencana jika ternyata tindakan yang dilakukan belum berhasil memecahkan masalah setelah siklus berlangsung beberapa kali diharapkan terjadi perbaikan yang diinginkan.
SKRIPSI PTK PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA INGGRIS ANAK TK MELALUI METODE SIMULATION GAME DENGAN MEDIA FLASHCARD (PGTK)

SKRIPSI PTK PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA INGGRIS ANAK TK MELALUI METODE SIMULATION GAME DENGAN MEDIA FLASHCARD (PGTK)

(KODE : PTK-0076) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN PENGUASAAN KOSAKATA BAHASA INGGRIS ANAK TK MELALUI METODE SIMULATION GAME DENGAN MEDIA FLASHCARD (PGTK)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sarana yang sangat penting dalam kehidupan anak, karena dengan berbahasa anak dapat berkomunikasi dengan orang lain. Akhadiah (Suhartono : 2005) menyatakan bahwa dengan bantuan bahasa, anak tumbuh dari organisme biologis menjadi pribadi di dalam kelompok. Belajar bahasa tidak akan terlepas dari belajar kosakata, penguasaan kosakata merupakan hal terpenting dalam keterampilan berbahasa, tanpa penguasaan kosakata yang memadai, maka tujuan pembelajaran bahasa tidak akan tercapai, karena semakin banyak kosakata yang dimiliki seseorang, semakin terampil pula ia berbahasa.
Penguasaan kosakata merupakan salah satu syarat utama yang menentukan keberhasilan seseorang untuk terampil berbahasa, semakin kaya kosakata seseorang semakin besar kemungkinan seseorang untuk terampil berbahasa dan semakin mudah pula ia menyampaikan dan menerima informasi baik secara lisan, tulisan, maupun menggunakan tanda-tanda dan isyarat. Dalam hal ini Tarigan (1985 : 85), menjelaskan bahwa kosakata dapat meningkatkan pertumbuhan kegiatan menulis, berbicara, membaca dan menyimak. Kridalaksana (1993 : 127) mendefinisikan kosakata sebagai komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa.
Jika dikaitkan dengan perkembangan bahasa anak, anak sebaiknya tidak hanya belajar bahasa ibu saja, tetapi juga bahasa asing lainnya. Hal ini disebabkan karena bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan agar terciptanya komunikasi yang lancar dan efektif.
Bahasa Inggris sebaiknya dikenalkan sejak dini, karena usia dini merupakan masa keemasan dimana segala sesuatu dapat diserap dengan mudah dan cepat. Kosasih (Hery, 2003) seorang pakar bahasa memiliki pandangan bahwa semakin dini anak belajar bahasa asing, semakin mudah anak menguasai bahasa itu. Para pakar yang lain seperti Me Laughlin dan Genesee (Hery, 2003) menyatakan bahwa anak-anak lebih cepat memperoleh bahasa tanpa banyak kesukaran dibandingkan dengan orang dewasa. Demikian pula Erik (Hery, 2003) seorang ahli neorologi berpendapat sebelum masa puberitas, daya pikir (otak) anak lebih lentur. Maka dari itu anak lebih mudah belajar bahasa, sedangkan sesudahnya akan semakin berkurang dengan pencapaiannya tidak maksimal Kosasih (Hery, 2003). Sesuai dengan pendapat di atas Purwo (2003) menyatakan bahwa usia 4-12 tahun merupakan masa emas atau paling ideal untuk belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa pertama) alasannya, anak masih plastis dan lentur sehingga proses penyampaian bahasa lebih mulus.
Gadner (1975 : 89) menyatakan : "Seorang anak jika diajarkan/dididik dari awal maka anak akan berhasil di masa depan dan sebaliknya, jika gagal mendidik anak maka awal dari kehidupan anak sekolah awal kehancuran". Dalam pembelajaran bahasa anak belum dapat belajar secara sempurna. Karena anak tidak boleh dipaksakan untuk belajar, sebaiknya guru dan orang tua memberikan metode pembelajaran bahasa Inggris yang bisa membuat anak merasa senang dan tidak merasa terpaksa untuk belajar. Senada dengan pernyataan di atas Moeslichatoen (2004) menyatakan bahwa metode-metode yang sesuai dengan karakteristik anak usia TK yaitu bermain, karyawisata, bercakap-cakap, bercerita.
Mar'at (2005 : 66) menyatakan bahwa penguasan kosakata anak 4-5 tahun berada pada periode diferensiasi, yaitu dapat menggunakan kata-kata dan sesuai dengan maknanya. Beberapa pengertian abstrak separti pengertian waktu dan ruang mulai muncul, menguasai kata benda dan kata kerja mulai terdiferensiasi.
Menurut Hurlock (1990 : 113) usia 4-5 tahun merupakan saat berkembang pesatnya penguasaan tugas pokok dalam berbicara yaitu menambah kosakata. Menguasai penambahan pengucapan kata dan menggabungkan kata menjadi kalimat. Penguasan kosakata anak meningkat pesat ketika ia belajar kata-kata baru dan arti-arti baru. Anak usia 4-5 tahun umumnya sudah dapat mengucapkan lebih dari 2500 koaskata, sedangkan menurut Tarigan (1993 : 3) lingkup kosakata yang diucapkan anak menyangkut kosakata dasar, diantaranya yaitu perbendaharaan kata benda universal, kata kerja pokok dan kata bilangan pokok.
Hurlock (1990 : 151), mengemukakan bahwa salah satu tugas utama dalam belajar berbicara adalah anak harus dapat meningkatkan jumlah kosakata. Anak harus dapat belajar meningkatkan arti dengan bunyi karena banyak kata yang memiliki arti yang lebih dari satu dan sebagian kata yang bunyinya hampir sama, tapi memiliki arti yang berbeda.
Peningkatan kosakata dapat dilakukan dengan berbagai macam cara melalui membaca, mendengarkan dan menonton. Peningkatan kosakata atau penguasaan kosakata tesebut lebih banyak dilakukan di dunia pendidikan, terutama dilembaga pendidikan prasekolah sepaerti lembaga PAUD, mengingat kosakata anak masih terbatas. Menurut Tarigan (1993 : 3) secara umum untuk memperkenalkan kosakata pada anak perlu diperkenalkan terlebih dahulu dengan kosakata dasar, diantaranya adalah perbendaharaan kata benda universal, kata kerja pokok dan kata bilangan pokok.
Umumnya peningkatan kosakata di lembaga pendidikan anak usia dini dilakukan dengan menciptakan situasi yang memberikan kesempatan pada anak untuk mengembangkan kemampuan bahasanya. Kesempatan ini dilakukan melalui kegiatan bercakap-cakap, bercerita dan tanya jawab. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan media pengajaran bahasa anak khususnya peningkatan kosakata anak. Penggunaan media pengajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi belajar anak. Selain itu menurut Arsyad (2002 : 26) "penggunaan media pengajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang dan waktu, serta dapat memberikan kesamaan pengalaman pada anak tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka".
Pengembangan kemampuan berbahasa di Taman Kanak-kanak bertujuan agar anak mampu mengungkapkan pikiran melalui bahasa yang sederhana secara tepat, mampu berkomunikasi secara efektif dan membangkitkan minat untuk dapat berbahasa dengan baik (Somantri, 2006 : 6). Namun dalam kenyataannya tujuan tersebut belum bisa dicapai secara maksimal. Sebagai contoh anak seringkali mendapat kesulitan mengungkapkan pendapatnya ketika pembelajaran berlangsung, sulit mendapatkan jawaban ketika guru bertanya, bahkan untuk berbicara pun anak masih perlu motivasi dan bantuan dari guru.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan khususnya di KT X, pembelajaran pada umumnya masih bersifat konvensional. Guru kurang kreatif dalam menyampaikan materi pelajaran, sehingga penyampaian pembelajarannyapun kurang menarik bagi anak, begitu pula dalam pelajaran pengembangan berbahasa khususnya dalam meningkatkan kemampuan kosakata bahasa Inggris masih terlihat kaku, karena pembelajaran bahasa Inggris dianggap sulit dan tidak menyenangkan. Dalam melakukan suatu kegiatan pembelajaran jarang sekali guru menggunakan metode dan menyediakan media yang menarik bagi anak, sehingga anak terlihat bosan.
Sujana dan Rivai (1992 : 26) mengemukakan manfaat media pegajaran dalam proses belajar siswa, yaitu "pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat memotivasi belajar dan siswa dapat labih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru tetapi juga aktifitas lainya seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, memerankan dan lain-lain".
Media sangat berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di TK termasuk meningkatkan penguasaan kosakata pada anak usia TK, media pendidikan dapat dipergunakan untuk membangun pemahaman penguasaan kosakata. Beberapa media pendidikan yang sering dipergunakan dalam pembelajaran diantaranya media cetak, elektonik model dan peta, Kreyenhbuhl (Mujianto, 2007 : 4)
Media yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Inggris khususnya penguasaaan kosakata adalah media kartu kata dan gambar atau sering juga disebut "flashcard" media ini merupakan media yang memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar.
Berdasarkan hasil penelitian yang terdapat dalam Ekopeum (2007 : 2), kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif dan mudah bila dibantu dengan sarana visual dimana 11% dari yang dipelajari melalui indera pendengara, sedangkan 83% lewat indera penglihatan.
Hal ini sejalan dengan penelitian Mustolih (2007) menunjukan bahwa kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif dan mudah bila dibantu dengan sarana visual yakni 11% dari yang dipelajari terjadi lewat indera pendengaran sedangkan 83% lewat indera penglihatan disamping itu dikemukakan bahwa individu hanya dapat mengingat 20% dari sesuatu yang didengar, namun meningkat 50% dari sesuatu yang didengar.
Gilispie (Ramli, 2007 : 31) permainan simulasi secara tidak langsung merupakan suatu rekayasa lingkungan yang realistis dalam mengembangkan solusi yang realistis untuk mencapai tujuan tertentu. Hal tersebut senada dengan pernyataan Joyce dan Weil (1985 : 296), permainan simulasi merupakan permainan yang menyenangkan, permainan dengan kombinasi unsur-unsur realitas dan mengembangkan pemecahan masalah yang realistis serta penuh dengan suasana kompetitif.
Berdasarkan uraian di atas salah satu upaya peningkatan penguasaan kosakata dapat dilakukan melalui pembelajaran dengan media kartu kata dan gambar (flashcard). Oleh karena itu penelitian peningkatan kosakata bahasa Inggris anak TK X diadakan dengan judul "Peningkatan Penguasaan Kosakata Bahasa Inggris Anak Taman Kanak-Kanak melalui Metode Simulation Game dengan Media FlashCard"

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana peningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris anak TK melalui metode simulation game dengan media flashcard ?
Adapun sub masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penguasaan kosakata bahasa Inggris anak Taman Kanak-kanak X ?
2. Bagaimana penggunaan metode simulation game dengan media flashcard dalam meningkatan kosakata bahasa Inggris anak Taman Kanak-kanak X ?
3. Bagamana peningkatan kosakata bahasa Inggris anak di TK X setelah menggunakan metode simulation game dengan media flashcard ?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini terbagi menjadi 2 :
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian yang dilaksanakan adalah untuk mengetahui melalui metode simulation game dengan media flashcard dalam meningkatkan kosakata bahasa Inggris anak TK.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui kondisi objektif kosakata bahasa Inggris di TK X.
2. Mengetahui proses penerapan metode simulation game dengan media flashcard dalam meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris anak TK X.
3. Mengetahui hasil penguasaan kosakata bahasa Inggris anak melalui metode simulation game dengan media flashcard.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya, dan dalam bidang bahasa Inggris khususnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti, memberikan pengalaman dan wawasan pribadi dalam mengembangkan program pengembangan bahasa khususnya peningkatan kosakata bahasa Inggris pada anak Taman Kanak-kanak.
b. Bagi Guru
1. Sebagai masukan bagi guru dalam peningkatan penguasan kosakata bahasa Inggris anak.
2. Memberikan informasi tentang peranan atau manfaat metode dan media dalam proses belajar anak khususnya dalam meningkatkan penguasaana kosakta bahasa Inggris anak.
c. Bagi Lembaga, diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi lembaga agar dapat meningkatkan dan mengembangkan program pembelajaran khususnya dalam pembelajaran bahasa Inggris anak.

1.5. Definisi Operasional
Untuk mempelajari fokus penelitian ini, maka penulis memberikan devinisi operasional mengenai hal-hal yang berkenaan dengan judul penelitian.
a. Media flashcard
Media flashcard dalam penelitian ini adalah sejenis kartu yang digunakan untuk membantu memperkenalkan kata-kata kepada anak. Flashcard ini biasanya terbuat dari kertas karton dan ukurannya sangat variatif disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan anak. Media flashcard dalam penelitian berupa kartu bergambar/tulisan. Kartu tersebut dibuat dengan menggunakan tangan, print atau menggunakan media yang dengan ukuran 9 x 13 Cm.
Media flashcard ini dipilih karena bentuknya sangat sederhana dan dapat diperoleh dengan mudah, tulisannya pendek, mudah diingat anak, mudah dibawa-bawa, menyenangkan dan praktis.
b. Kosakata
Kosakata dalam penelitian ini adalah kosakata yang telah dirancang oleh peneliti untuk mengetahui penguasaan kosakata Bahasa Inggris anak. dalam penelitan ini kosakata yang harus dikuasai oleh anak adalah sebanyak 50 kosakata yang menyangkut kosakata dasar seperti : kata benda, kata kerja sederhana, kata bilangan, warna, nama-nama bagian tubuh, dan lain sebagainya.
c Metode Simulation game
Simulation game dalam penelitian ini adalah suatu bentuk kegiatan yang melibatkan aktivitas kognitif, afektif, dan psikomotor dalam suasana yang menyenangkan dengan rekayasa lingkungan menyerupai kondisi nyata dalam suasana kelompok. Dalam pelaksanaannya setiap anak berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu melalui permainan dengan mematuhi peraturan yang telah ditentukan sebelumnya.

1.6.Metode dan Desain Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan pengusaan kosakata bahasa Inggris melalui penggunaan metode simulation game dengan media jlashcard. Permasalahan ini sesuai dengan hasil obsevasi awal di lapangan yang menemukan bahwa belajar bahasa Inggris itu sulit dan tidak menyenangkan, pemahaman anak tentang bahasa inggris masih rendah dan penggunaan media pada saat pembelajaran masih kurang optimal. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian tindakan kelas (PTK) dalam bahasa Inggris PTK disebut juga Classroom Action research (CAR), karena metode ini dianggap sesuai dengan tujuan yang dirumuskan yaitu untuk meningkatkan penguasaan kosakata bahasa Inggris anak melalui metode simulation game deangan media flashcard serta diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan proses belajar mengejar secara optimal. Pelaksanaan PTK dilakukan melalui siklus yang terdiri atas tahap perencanaan (planing), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting).

1.7. Teknik dan Alat Pengurupulan Data
Teknik pengurupulan data yang digunakan adalah observasi, yaitu dengan mengamati secara sistematis perilaku anak. Wawancara dan dokumentasi sebagai pelengkap data. Teknik pengurupulan data peneliti bersifat partisifatif kolaboratif, hal ini dilakukan untuk memperoleh data seobjektif mungkin.