Search This Blog

SKRIPSI PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KASUS ILLEGAL LOGGING DALAM RANGKA MELESTARIKAN FUNGSI LINGKUNGAN

SKRIPSI PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KASUS ILLEGAL LOGGING DALAM RANGKA MELESTARIKAN FUNGSI LINGKUNGAN

(KODE : ILMU-HKM-0067) : SKRIPSI PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KASUS ILLEGAL LOGGING DALAM RANGKA MELESTARIKAN FUNGSI LINGKUNGAN




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Jutaan tahun yang lalu manusia hidup tanpa perlu khawatir akan terjadinya gangguan atau bahaya oleh pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dipermasalahkan sekarang, karena manusia percaya dan yakin pada kemampuan sistem alam untuk menanggulanginya secara alamiah.
manusia mempunyai daya penyesuaian diri atas perubahan yang terjadi pada lingkungan pada setiap waktu, tempat, dan keadaan tertentu secara evolusi atas dasar terapan ilmu dan teknologi ciptaannya sendiri.
Penyesuaian diri manusia terhadap perubahan-perubahan alam sekitarnya terlihat, antara lain melalui proses budaya yang lama, misalnya kemampuan manusia dalam menciptakan tekhnologi untuk melindungi dirinya sendiri dari pengaruh alam yang buruk.
Negara Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah,letak yang strategis dan sumber daya manusia yang banyak. Namun kekayaan alam yang dimiliki tidak akan ada artinya jika kita kurang mampu mengelola dan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Sehingga banyak masyarakat Indonesia yang tidak bisa menikmati kekayaan yang dimiliki. Padahal sudah jelas diatur dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang terdapat pada pasal 33 ayat (3) yang berbunyi : " Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kemakmuran tersebut haruslah dapat dinikmati baik oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang. Pembangunan tidak hanya mengejar kemakmuran lahiriah atau kepuasan kebatiniah saja akan tetapi keseimbangan antara keduanya. Oleh karena l penggunaan sumber daya alam harus seimbang dengan keselarasan dan keserasian lingkungan hidup agar generasi mendatang dapat menikmatinya.
Disisi lain, pembangunan industri-industri tidak dapat dihindarkan guna meningkatkan produksi dan menambah lapangan kerja. Namun industri dapat pula mengakibatkan pencemaran lingkungan hidup. Selain itu, sebagai akibat dari tekanan kepadatan penduduk yang disertai dengan masalah kemiskinan telah mendorong penduduk di beberapa bagian dari wilayah Negara, terutama pulau Jawa untuk menggunakan daerah hutan yang seharusnya dilindungi untuk kegiatan pertanian atau untuk kegiatan lainnya.
Sebagaimana tercantum pada Pasal 1 huruf b Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kehutanan, bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa hutan adalah penyangga bagi kehidupan manusia yang didalamnya terdiri dari berbagai komponen-komponen sumber daya alam terutama yang bisa dimanfaatkan manusia untuk mengoptimalkan aneka fungsi hutan dalam mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari.
Salah satu masalah yang sangat krusial dalam bidang lingkungan hidup pada sektor kehutanan ini adalah masalah penebangan liar atau yang dikenal dengan istilah illegal logging. Penebangan liar merupakan bentuk tindak kejahatan yang sampai sekarang masih banyak terjadi. Tidak adanya peraturan dan definisi khusus menegenai illegal logging merupakan salah satu faktor penyebab penebangan liar sulit diberantas di Indonesia meskipun dampak dari penebangan liar sudah terasa nyata.
Tindak pidana illegal logging disini menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Kehutanan adalah "perbuatan merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan, melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan, mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, merambah kawasan hutan, membakar hutan, menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin pejabat berwenang, menerima atau membeli atau menjual atau menerima tukar atau menerima titipan/menyimpan hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan serta melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin".
Illegal logging menurut penjelasan Pasal 50 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 adalah perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.
Kegiatan illegal logging yang makin marak tersebut menimbulkan kekhawatiran akan semakin parahnya kerusakan hutan di Indonesia dan besarnya kerugian yang ditanggung oleh negara.Untuk itu, Pemerintah melalui Departemen Kehutanan melakukan berbagai upaya nyata untuk menanggulangi sekaligus memberantas tindak pidana tersebut. Dalam pelaksanaanya di daerah diteruskan kepada Dinas Kehutanan sebagai instansi yang berwenang untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam bidang kehutanan serta melakukan aksi yang nyata dalam penanggulangan tindak pidana illegal logging (pencurian kayu) tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis bermaksud mengkaji lebih lanjut tentang pelaksanaan penanggulangan illegal logging dan dampaknya terhadap pelestarian lingkungan dalam bentuk penulisan hukum dengan judul : "PELAKSANAAN PENANGGULANGAN KASUS ILLEGAL LOGGING DALAM RANGKA MELESTARIKAN FUNGSI LINGKUNGAN DI KABUPATEN X"

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas dan agar pembahasan lebih terarah serta mendalam supaya sesuai dengan tujuannya, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan penanggulangan kasus illegal logging dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan di Kabupaten X ?
2. Bagaimanakah hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan penanggulangan kasus illegal logging terhadap pelestarian fungsi lingkungan di Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Agar suatu penelitian terarah dan mengenai sasaran maka harus mempunyai tujuan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan objektif
a. Untuk mengetahui pelaksanaan penaggulangan kasus illegal logging dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan di Kabupaten X.
b. Untuk mengetahui hambatan dalam pelaksanaan penanggulangan kasus illegal logging terhadap pelestarian fungsi lingkungan di Kabupaten X.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan untuk menyusun penulisan hukum dan sebagai persyaratan dalam mencapai derajat kesarjanaan.
b. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah diperoleh, khususnya hukum lingkungan agar dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan khasanah kepustakaan di bidang ilmu pengetahuan khususnya Hukum Administrasi Negara.
b. Memberikan gambaran nyata tentang pelaksanaan penaggulangan kasus illegal logging dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan di Kabupaten X.
2. Manfaat Praktis
a. Mengembangkan penalaran, pembentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemamuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Memberikan masukan dan tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah penelitian ini dan berguna bagi pihak yang berminat pada masalah yang sama.

E. Sistematika Penulisan Hukum
Dalam penelitian ini digunakan sistematika penulisan hukum untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai materi pembahasan dalam penulisan hukum, sehingga akan memudahkan pembaca mengetahui isi dan maksud penulisan hukum ini secara jelas. Adapun susunan sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan mengemukakan latar belakang masalah yaitu tentang berbagai masalah lingkungan yang dihadapi umat manusia pada saat ini serta maraknya kegiatan illegal logging atau pencurian kayu yang telah menyebabkan kerusakan hutan khususnya di Kabupaten X. Perumusan masalah yang akan diteliti yaitu pelaksanaan penanggulangan kasus illegal logging dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan di Kabupaten X, kendala-kendala yang muncul serta langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk memecahkan kendala tersebut. Tujuan dalam penelitian ini dibedakan menjadi tujuan subyektif dan tujuan obyektif. Adapun manfaat penelitian dibedakan menjadi manfaat teoritis dan manfaat praktis.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian yang mencakup tentang jenis penelitian, sifat penelitian, lokasi penelitian, jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, serta sub bab sistematika penulisan hukum yang menguraikan secara garis besar saja atau gambaran menyeluruh tentang hal-hal yang akan dibahas dalam penulisan hukum ini.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Bab tinjauan pustaka, berisi kajian-kajian teori yang berhubungan dengan masalah dan unsur-unsur pembahasannya. Dalam bab ini ada tiga sub bab yang akan dibahas yaitu sub bab kesatu membahas mengenai tinjauan umum tentang tindak pidana illegal logging dengan sub anak bab pengertian tindak pidana illegal logging,dasar hukum pengaturan tindak pidana illegal logging, sub bab kedua membahas tinjauan umum tentang hutan (kehutanan) dengan sub anak bab pengertian umum tentang kehutanan, jenis-jenis hutan di Indonesia, manfaat hutan dan sub bab ketiga yaitu tentang tinjauan umum tentang lingkungan hidup, dengan sub anak bab pengertian lingkungan hidup, hak, kewajiban dan peran serta masyarakat, masalah lingkungan di Indonesia.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang gambaran umum lokasi penelitian yaitu Dinas Kehutanan Kabupaten X, pelaksanaan penaggulangan kasus illegal logging dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan di Kabupaten X serta kendala-kendala dan penyelesaian yang dilakukan untuk menanggulangi permasalahan yang terjadi.
BAB IV : PENUTUP
Sebagai penutup dari penulisan hukum ini, maka akan dikemukakan adanya beberapa kesimpulan dan saran bagi para pihak yang terkait agar menjadi bahan pemikiran dan pertimbangan untuk menuju perbaikan sehingga bermanfaat bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
SKRIPSI PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN OLEH KANTOR PERTANAHAN

SKRIPSI PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN OLEH KANTOR PERTANAHAN

(KODE : ILMU-HKM-0066) : SKRIPSI PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN OLEH KANTOR PERTANAHAN




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Sejarah perkembangan dan kehancurannya ditentukan pula oleh tanah, masalah tanah dapat menimbulkan persengketaan dan peperangan dahsyat karena manusia-manusia atau suatu bangsa ingin menguasai tanah orang atau bangsa lain karena sumber-sumber alam yang terkandung di dalamnya (G. Kartasapoetra dkk, 1990 : 1).
Berkaitan dengan kenyataan bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang langka yang bersifat tetap serta digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia akan perumahan, pertanian, perkebunan maupun kegiatan industri yang mengharuskan tersedianya tanah, sebagai negara berkembang, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang banyak, juga mengalami masalah pertanahan yang biasanya menimbulkan konflik antara pemegang hak dengan orang lain. Konflik tersebut biasanya mengenai ganti rugi tanah yang akan digunakan untuk pembangunan, sengketa kepemilikan tanah dan masih banyak masalah-masalah yang kompleks.
Selama ini, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menangani masalah pertanahan masih bersifat pasif/menunggu keinginan para pihak yang bersengketa, sehingga terkesan kurang peduli terhadap kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi permasalahan pertanahan yang semakin kompleks dan untuk meminimalkan timbulnya konflik pertanahan dalam masyarakat, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk ke depannya dituntut lebih proaktif dalam penyelesaian konflik pertanahan sesuai dengan Sebelas Agenda BPN RI khususnya Agenda ke-5 "Menangani dan menyelesaikan perkara, masalah, sengketa, dan konflik pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis" serta TAP MPR RI No : IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Pasal 4 : "d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia" dan Pasal 5 : "d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana Pasal 4 Ketetapan ini", dengan harapan "kata-kata konflik pertanahan tidak akan terdengar lagi", sehingga masyarakat merasa lebih tenang terhadap kepemilikan hak atas tanahnya (http : //bpn-solo.com/files/bukuPPANISI.pdf).
Dalam melakukan tindakan penyelesaian sengketa/konflik pertanahan yang ada, Badan Pertanahan Nasional pun juga dituntut untuk tetap mengedepankan keadilan, sehingga diharapkan dalam mengambil suatu keputusan, tidak merugikan para pihak, bahkan mampu mewujudkan suatu penyelesaian secara damai diantara para pihak yang bersengketa, mengingat selama ini sengketa pertanahan cenderung diselesaikan melalui lembaga peradilan yang lebih bersifat win-lose solution.
Di Kota X, dari berbagai titik konflik pertanahan yang telah teridentifikasi oleh Kantor Pertanahan Kota X, salah satunya terletak di Kampung X. Di wilayah tersebut, konflik terjadi antara 15 orang pemegang sertifikat hak atas tanah dengan 54 orang okupusan terhadap lahan seluas + 3093 m2 yang terletak di Kampung X Rt 8, Rw 24, Kelurahan X, yang merupakan hak milik dari 15 orang pemegang sertifikat hak atas tanah.
Untuk melaksanakan Sebelas Agenda BPN RI, khususnya Agenda ke-5 serta amanat dari TAP MPR RI No : IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam tersebut dengan tetap mengedepankan keadilan, maka Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan Kota X sebagaimana Tugas Pokok dan Fungsinya dalam menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan, salah satunya ditempuh melalui jalur mediasi penyelesaian konflik beserta administrasinya.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN DI X OLEH KANTOR PERTANAHAN KOTA X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah penyelesaian sengketa pertanahan di X oleh Kantor Pertanahan Kota X sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota X ?
2. Apakah hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota X dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui apakah penyelesaian sengketa pertanahan di X oleh Kantor Pertanahan Kota X sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota X.
b. Untuk mengetahui apakah hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota X dapat dijadikan dasar pemberian hak milik kepada okupusan tanah di X.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis di bidang hukum, khususnya hukum agraria, terutama mengenai penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota X.
b. Sebagai strategi pemberdayaan mahasiswa melalui pengayaan wawasan dan peningkatan kompetensi dalam rangka peningkatan kualitas lulusan yang memiliki daya saing dan berkemampuan untuk tumbuh menjadi wirausaha mandiri.
c. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum agraria pada khususnya, terutama mengenai penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota X.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
b. Untuk dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang membutuhkan pokok bahasan yang dikaji, dengan disertai pertanggungjawaban secara ilmiah.

E. Sistematika
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan suatu sistematika dalam penyusunan penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu pendahuluan, tinjauan pustaka, hasil penelitian dan pembahasan, serta simpulan dan saran ditambah dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Dalam bab I, diuraikan mengenai gambaran awal penelitian ini, yang meliputi latar belakang penyelesaian sengketa pertanahan di X oleh Kantor Pertanahan Kota X, kemudian mengenai perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian yang dipergunakan dalam melakukan penelitian.
Dalam bab II, diuraikan mengenai landasan teori berdasarkan literatur-literatur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hal tersebut meliputi : tinjauan umum tentang sengketa pertanahan, tinjauan umum tentang mediasi, tinjauan umum tentang peraturan perundang-undangan mengenai pemberian hak milik dan pendaftarannya, serta tinjauan umum tentang Kantor Pertanahan. Hal tersebut ditujukan agar pembaca dapat memahami tentang permasalahan yang penulis teliti.
Dalam bab III, diuraikan mengenai hasil penelitian dan pembahasan. Dalam pembahasan dapat dianalisa bahwa penyelesaian sengketa pertanahan di X oleh Kantor Pertanahan Kota X sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota X. Dalam hal ini, berlandaskan Pasal 2 dan Pasal 3 huruf n Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Jo. Pasal 54 huruf c Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, dan juga berlandaskan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999 serta Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota X Nomor 570/724/2005. Dari hasil penyelesaian sengketa pertanahan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota X, dapat dijadikan dasar pemberian Hak Milik kepada okupusan tanah di X dengan ditindak lanjuti terlebih dahulu dalam bentuk pembuatan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah, selanjutnya dilakukan pendaftaran tanah sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Dalam bab IV, diuraikan mengenai simpulan dan saran. Adapun kesimpulannya, yaitu bahwa penyelesaian sengketa sengketa pertanahan di X oleh Kantor Pertanahan Kota X sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai fungsi Kantor Pertanahan Kota X, dan hasil penyelesaian sengketa pertanahan oleh Kantor Pertanahan Kota X dapat dijadikan dasar pemberian Hak Milik kepada okupusan tanah di X.
SKRIPSI PERAN MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

SKRIPSI PERAN MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

(KODE : ILMU-HKM-0065) : SKRIPSI PERAN MEDIATOR DALAM MENYELESAIKAN PERSELISIHAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sedang berkembang, sedang giat melaksanakan pembangunan, bangkit dari keterpurukannya akibat krisis multi dimensi yang menghantam bangsa Indonesia. Pembangunan nasional yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia bertujuan untuk melakukan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Tujuan pembangunan nasional tersebut dalam GBHN telah digariskan adalah sebagai berikut : Mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila didalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana peri kehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai.
Pembangunan di sektor perekonomian dilaksanakan berdasarkan jiwa dari pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 sebagai berikut :
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Berdasarkan pasal 33 UUD 1945 tersebut dikembangkan suatu sistem perekonomian yang kemudian dikenal dengan istilah demokrasi ekonomi, dimana dalam demokrasi ekonomi ini tidak dikenal adanya penguasaan perekonomian oleh negara sepenuhnya ataupun sebaliknya rakyat mempunyai kebebasan untuk mengusahakan seluruh cabang-cabang produksi yang ada di Indonesia.
Disini pelaku ekonomi berdasarkan demokrasi ekonomi terdiri dari tiga unsur yaitu negara, koperasi dan swsata. Negara menjalankan fungsi perekonomian melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan bentuk usaha yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak dapat diusahakan serta dikelola oleh orang perorangan atau badan swasta. Masyarakat harus memegang peranan aktif dalam kegiatan pembangunan. Sedangkan pemerintah berkewajiban memberikan pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan ekonomi serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia usaha. Sebaliknya dunia usaha perlu memberikan tangapan terhadap pengarahan dan bimbingan serta penciptaan iklim tersebut dengan kegiatan yang nyata.
Peran serta masyarakat dalam pembangunan perekonomian berbentuk koperasi dan usaha-usaha swasta. Jika kita perhatikan, usaha-usaha yang dilakukan swasta lebih berkembang dan memberikan konstribusi yang besar bagi pembangunan perekonomian. Usaha swasta berkembang sejalan dengan berkembangnya kebutuhan masyarakat yang semakin banyak jenis dan ragamnya. Perusahaan swasta lebih mudah berkembang dari pada perusahaan negara dan koperasi, karena dapat dikelola dan dimiliki perorangan. Suatu perusahaan swasta pada dasarnya terdapat dua unsur di dalamnya yaitu pengusaha sebagai pemilik usaha dan pekerja yang melakukan pekerjaan atas perintah pengusaha. Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja terjalin setelah diadakan perjanjian kerja yaitu : "Suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah" (Imam Soepomo, 1994 : 1).
Dalam usaha memberikan pengarahan, bimbingan terhadap dunia usaha serta penciptaan iklim yang sehat bagi perkembangan usaha, maka peran aktif pemerintah tercermin dari usaha-usaha pemerintah mengarahkan hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha sehingga terjalin Hubungan Industrial yang menempatkan pekerja sebagai partner kerja dan duduk sejajar dengan pengusaha di dalam proses barang dan jasa. Seperti dikemukakan Sendjun H. Manulang (1995 : 147) : "Bahwa antara pekerja dan pengusaha/pimpinan perusahaan wajib bekerja sama serta membantu dalam kelancaran usaha dalam meningkatkan dan menaikkan produksi".
Untuk mewujudkan Hubungan Industrial secara riil diperlukan suatu sikap sosial yang mencerminkan persatuan dan kesatuan, sikap kegotongroyongan, harga menghargai, tenggang rasa, keterbukaan, bantu membantu serta mampu mengendalikan diri.
Selain daripada sikap sosial diperlukan sikap mental di mana pelaku Hubungan Indusrial dituntut untuk saling menghormati dan saling mengerti kedudukannya serta peranannya dan memahami hak dan kewajiban di dalam keseluruhan proses produksi. Sikap sosial serta sikap mental tersebut diharapkan akan menciptakan suasana dan lingkungan kerja yang menggairahkan yang mampu menstabilkan jalannya roda perusahaan sehingga pada akhirnya akan memberikan sumbangan yang berarti bagi pembangunan nasional.
Dalam Hubungan Industrial tidak ada tempat bagi tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan dalam konteks hubungan kerja dan selalu dengan adanya pemerasan atau yang kuat akan memakan yang lemah. Akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya, ternyata masih sering terjadi pergesekan nilai-nilai Hubungan Industrial yang memungkinkan menjadi sebab timbulnya pertentangan di dalam pelaksanaan hubungan kerja. Suatu pertentangan antara pengusaha dan pekerja adalah sesuatu yang wajar mengingat latar belakang kepentingan yang berbeda-beda. Di satu pihak pengusaha akan selalu membuat pertimbangan-pertimbangan rasional demi efisiensi produksi. Sedangkan di pihak pekerja mempunyai kepentingan mensejahterakan kehidupan diri dan keluarga. Pertentangan tersebut secara alamiah dapat muncul suatu ketika. Pertentangan antara pengusaha dan pekerja dapat dikatakan wajar apabila pertentangan tersebut masih berada dalam batas toleransi kedua belah pihak yang berselisih. Lain halnya apabila tejadi kemacetan komunikasi dalam penyelesaian pertentangan. Dampak yang akan timbul akibat tidak lancarnya komunikasi tersebut adalah meruncingnya pertentangan antara pihak pengusaha dan pihak pekerja.
Pertentangan antara pengusaha dan pekerja dalam kaitan dengan hubungan kerja disebut dengan perselisihan hubungan industrial. Perselisihan yang terjadi dapat bersifat perorangan serta dapat pula bersifat kolektif yang melibatkan banyak pekerja. Perselisihan dapat dibedakan menjadi perselisihan mengenai hak (recht geschilin) dan perselisihan mengenai kepentingan (belangen geschilen). (Zainal Asikin, 1994 : 166).
Menurut Undang-Undang No 2 tahun 2004, pengertian perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.
Akibat perselisihan hubungan industrial akan menimbulkan banyak kerugian. Pihak perusahaan akan mengalami kerugian, karena dampak perselisihan hubungan industrial akan menyebabkan produksi tidak stabil sebagai akibat hilangnya jam kerja serta suasana kerja yang tidak menguntungkan. Pihak pekerja juga akan mengalami kerugian karena hilangnya jam kerja berkaitan dengan penurunan upah yang seharusnya mereka terima, bahkan jika pada akhirnya perselisihan semakin memuncak dan tidak terselesaikan, tidak tertutup kemungkinan perusahaan tersebut kemudian gulung tikar dan terpaksa menjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap seluruh buruh.
Pemutusan hubungan kerja menurut Pasal 1 Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 menyebutkan bahwa : "Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam proses pemutusan hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik swasta maupun pemerintah maupun badan usaha lain yang mempekerjakan orang dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Kondisi keuangan perusahaan yang kurang baik, pekerja yang sering tidak masuk, tidak mentaati peraturan perusahaan, melakukan tindakan kriminal, menciptakan suasna yang tidak harmonis dalam perusahaan serta hubungan yang tidak harmonis antara pekerja dengan pengusaha dapat mengakibatkan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Proses pemutusan hubungan kerja dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengankewajiban pengusaha untuk memberikan hak-hak pegawai berupa membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima
Berdasarkan kenyataan tersebut maka pemutusan hubungan kerja perlu diupayakan penyelesaiannya secara baik dan memenuhi rasa keadilan pihak-pihak yang bersengketa. Perlu dihindari dan dicegah terjadinya pertarungan bebas (free fight liberalism) yang biasanya dilakukan dengan mogok (strike), memperlambat pekerjaan (slow down) dan usaha penutupan perusahaan untuk menekan pihak pekerja (lock out). Karena bentuk pertarungan bebas bukan pemecahan yang baik, bahkan cenderung mengarah pada tindakan yang akan memperkeruh suasana sehinggga dapat merugikan banyak pihak.
Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja diatur dalam Pasal 8 Undang-undang No 2 tahun 2004 menyebutkan : "penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yang berada di setiap kantor instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota".
Menurut Undang-undang Pasal 1 No 2 tahun 2004 menyebutkan : "Mediator Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediator merupakan pegawai instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan".
Pemilihan lokasi di kantor Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Kabupaten X dipilih dengan pertimbangan :
1. Belum pernah dilakukan penelitian tentang topik ini
2. Di X banyak terdapat industri besar dan menengah yang sangat potensial terjadi perselisihan hubungan industrial, khususnya perselisihan pemutusan hubungan kerja dan pernah dilakukan penyelesaian ini melalui mediasi dengan melibatkan mediator
Berdasarkan pertimbangan diatas mendorong penulis untuk mengadakan penelitian mengenai : Peran Mediator Dalam Menyelesaian Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja Di Kabupaten X.

B. Pembatasan Masalah
Mengingat kemampuan penyusun dan agar terhindar dari kesimpangsiuran dan supaya skripsi lebih terarah serta sekaligus untuk menghindari kemungkinan pembahasan yang menyimpang dari pokok permasalahan yang hendak diteliti, maka perlu adanya suatu pembatasan masalah.
Adapun permasalahan yang hendak diteliti dalam skripsi ini terbatas pada peran mediator yang telah mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial untuk periode setelah berlakunya Undang -undang No 2 Tahun 2004 Di Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk Kabupaten X.

C. Perumusan Masalah
Dalam penyusunan skripsi ini penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peran mediator dalam memfasilitasi perselisihan tentang pemutusan hubungan kerja di Kabupaten X ?
2. Bagaimana tugas dan fungsi mediator dalam memfasilitasi perselisihan hubungan industrial di Kabupaten X?

D. Tujuan Penelitian
Adanya penelitian tentunya mempunyai maksud dan tujuan berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka peneliti mempunyai tujuan :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui peran mediator dalam memfasilitasi perselisihan tentang pemutusan hubungan kerja di Kabupaten X
b. Untuk mengetahui tugas dan fungsi mediator dalam memfasilitasi perselisihan hubungan industrial di Kabupaten X.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk meningkatkan dan menambah pengetahuan penulis mengenai cara-cara penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan teori-teori hukum lain yang didapat selama kuliah
b. Sebagai sarana menambah pengetahuan di bidang pengembangan kemampuan penelitian bagi penulis dan dapatlah memberikan sumbangan pengetahuan dan khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang hukum.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Diharapkan dalam penelitian ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dalam dunia ilmu hukum pada umumnya dan khususnya Hukum Ketenagakerjaan.
b. Untuk mengembangkan Ilmu Hukum Administrasi Negara khususnya yang menyangkut hukum ketenagakerjaan dan hasil penelitian ini dapat memperkaya wawasan kita.
2. Manfaat Praktis
a. Dalam penelitian ini diharapkan bermanfaat sekaligus sebagai referensi pada pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan penyelesaian pemutusan hubungan kerja.
b. Dalam penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penyelesaian pemutusan hubungan kerja.

F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini akan diuraikan tentang sistematika penulisan sebagai gambaran tentang penulisan ilmiah ini secara keseluruhan, artinya pada sub bab ini akan diuraikan secara sistematis keseluruhan isi yang terkandung dalam skripsi ini.
Adapun sistematika penulisannya sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan titik tolak dari penulisan skripsi dimana dipaparkan tema dan permasalahan, pada bab ini terdiri dari sub pokok yaitu latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini dikemukakan teori-teori yang mendasari masalah yang akan dibahas.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang analisis data yang terdiri dari jawaban dari permasalahan yang diungkapkan pada bab-bab sebelumnya, serta pembahasan sesuai dengan kajian teori maupun dalam praktek pelaksanaan.
BAB V PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran.
BEST SITE 2012

BEST SITE 2012

Mentalist Nuno
Website van Fakir Nuno..A world class entertainer, that do incredible acts, in an inspirational, fun and energetic show

Online Accountants

Ohio Health Insurance
Ohio Health Insurance

Pet classifieds
Free pet classifieds, pet forum, breeder directory and pet community. Buy and sell pets online.

Free Web Templates
Domainette offers you a large variety of fine flash and html website templates at reasonable prices.

Best Oscommerce Templates
E-commerce / oscommerce templates are prepared so it is easy to insert your personal products and content. The major benefits of E-commerce templates compared to custom design are that you save a lot of time & money as the design and the store ar

PaperMountains - Document Scanning, Microfilm Scanning and Data Captur
Free office space, save money and improve your productivity by removing the PaperMountain from your office using our Document Scanning Bureau. Whether you require standard office document scanning, Microfilm Scanning, Book Scanning or Plan Scannin

Promote your property in Russia
Advertise your property for rent or for sale in the Russian market for FREE. Click on the link to upload your listing.

Text Links Exchange - Search Engine Marketing
Get more unique visitors to your website. Create free account at linkalizer and find out how to increase website traffic and quality website visitors. Targeted visitors to your website Is the way to online sucess.

Business Links Directory
Web Directory organized by category, offers search engine, top sites and new added. Links are updated daily. Add your link to our directory, and get a better rank in google, msn, yahoo and other search engine. Permanent link only $10. 1 year Featured

Indiana Conventions of Jehovah's Witnesses 2012, Watchtower Kingd
Help for Jehovah's Witnesses

Puppies for sale
Free pet classifieds, pet forum, breeder directory and pet community. Buy and sell pets online.

Manufacturer and Exporters. Free B2B & B2C trade platform. Shopping online at atupapa.com
Find quality manufacturers, exporters, wholesalers, products and trade leads. From our innovative international B2B and B2C trade platform. Import and export business go atupapa.com. Buy and sell products at the very fast growing trade marketplace.

What is Personal Development
Personal development is a path that you take to better your family situation, career, spirituality, emotional health, and every other aspect of your life.

replica credit card processing
High risk merchant accounts for replica businesses.

Internet Merchant Account
Process credit cards online for .50% and $0.10/ a transaction. Top Rated Customer Service and Advanced Virtual Terminal programs. Call 1-800-315-5755.

Owner
Exotic Body Parts - Aftermarket & Custom Bumpers, Fenders, Quarter Panels, Air Box Covers For Your Harley, Ferrari, Lamborghini, Bentley. Aftermarket & Custom Body Panels / Parts, Bumpers, Fenders, Quarter Panels, Engine Bonnet Covers, Tr
SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PENDERITA DIABETES MELITUS (DM) DENGAN PEMANFAATAN KLINIK DIABETES MELITUS DI PUSKESMAS X

SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PENDERITA DIABETES MELITUS (DM) DENGAN PEMANFAATAN KLINIK DIABETES MELITUS DI PUSKESMAS X

(KODE : KES-MASY-0046) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PENDERITA DIABETES MELITUS (DM) DENGAN PEMANFAATAN KLINIK DIABETES MELITUS DI PUSKESMAS X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Masalah kesehatan adalah masalah kompleks yang merupakan hasil dari berbagai masalah lingkungan yang bersifat alamiah maupun buatan manusia. Datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak, meskipun kadang bisa dicegah atau dihindari. Konsep sehat sakit sesungguhnya tidak terlalu mutlak dan universal karena ada faktor-faktor di luar kenyataan klinis yang mempengaruhi terutama faktor sosial budaya. Jadi, sangat penting menumbuhkan pengertian yang benar pada benak masyarakat tentang konsep sehat dan sakit karena dengan konsep yang benar maka masyarakat pun akan mencari alternatif yang benar pula untuk menyelesaikan masalah kesehatannya (Foster, 2006).
Pengetahuan masyarakat tentang konsep sehat dan sakit yang benar akan membuat masyarakat mengerti bagaimana memberdayakan diri untuk hidup sehat dan kebiasaan mereka untuk mempergunakan fasilitas kesehatan yang ada. Hal ini merupakan dua dari empat grand strategy yang dilakukan Departemen Kesehatan untuk mewujudkan visinya yaitu "memandirikan masyarakat untuk hidup sehat" dengan misi "membuat masyarakat sehat" (Depkes RI, 2009).
Pemerintah sering dihadapkan pada berbagai masalah di bidang kesehatan, masalah yang cukup menjadi perhatian para ahli belakangan ini adalah assessment faktor risiko penyakit tidak menular. Salah satu penyebabnya adalah karena penyakit tidak menular sekarang ini memperlihatkan tendensi peningkatan. Peningkatan penyakit tidak menular ini banyak terjadi di negara berkembang karena perkembangan ekonominya mulai meningkat. Karena itulah maka terjadi peralihan bentuk penyakit yang hams dihadapi, yaitu dari penyakit menular dan infeksi menjadi penyakit tidak menular dan kronis. Proses tersebutlah yang kerap dikenal sebagai transisi epidemiologi (Bustan, 1997).
Transisi penyakit di Indonesia mulai ditandai dengan semakin meningkatnya kasus-kasus penyakit tidak menular yang dirawat inap di beberapa rumah sakit. Peningkatan ini menempatkan penyakit tidak menular menjadi penyakit utama rawat inap di berbagai fasilitas kesehatan. Karena itu seharusnya transisi epidemiologi juga menyebabkan terjadinya transisi kebijakan yang menyeluruh (Soegondo, 2004).
Penyakit tidak menular sering disebut sebagai penyakit kronis. Penyakit tidak menular memberikan kontribusi bagi 60 persen kematian secara global. Di berbagai negara yang termasuk negara berkembang, peningkatan penyakit ini terjadi secara cepat dan memberikan dampak yang sangat signifikan pada sisi sosial, ekonomi dan kesehatan. WHO sendiri memperkirakan bahwa pada tahun 2020, penyakit tidak menular akan menyebabkan 73 persen kematian secara global dan memberikan kontribusi bagi penyebab kematian secara global atau global burden of disease sebesar 60 persen. Permasalahannya adalah sekitar 80 persen dari penyakit tidak menular ini justru terjadi pada negara-negara dengan pendapatan rendah atau yang sering disebut sebagai low and middle income countries (Mirza, 2008).
Perubahan pola hidup manusia seperti gaya hidup, sosial ekonomi, urbanisasi dan industrialisasi pada akhirnya akan meningkatkan prevalensi penyakit tidak menular, khususnya penyakit degeneratif. Kecenderungan untuk beralih dari makanan tradisional menjadi makanan cepat saji dan berlemak, terutama di daerah urban mengakibatkan perubahan penyakit yaitu menurunnya penyakit infeksi dan meningkatnya penyakit non infeksi (degeneratif). Hal ini menunjukkan telah terjadi transisi epidemiologi. Tentu saja penyakit ini akan menimbulkan suatu beban bagi pelayanan kesehatan dan perekonomian suatu negara karena memerlukan biaya yang besar untuk perawatannya (Bustan, 1997).
Salah satu jenis penyakit tidak menular yang ternyata menimbulkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi adalah penyakit diabetes melitus. Penyakit ini bukanlah penyakit yang baru, hanya saja kurang mendapat perhatian di tengah-tengah masyarakat khususnya yang memiliki resiko tinggi untuk menderita penyakit tersebut. Ketidaktahuan akan gambaran penyakit diabetes melitus dan kurangnya perhatian masyarakat, serta minimnya informasi akan mempengaruhi perilaku serta anggapan yang salah akan penyakit ini (Mirza, 2008).
Berdasarkan Laporan WHO tahun 1995, prevalensi penyakit diabetes melitus di dunia adalah sebesar 4,0% dan diperkirakan pada tahun 2025 prevalensinya akan meningkat menjadi 5,4%. Di negara maju, jumlah penyakit diabetes melitus pada tahun 1995 adalah sebesar 51 juta orang dan diperkirakan pada tahun 2025 akan meningkat mencapai 72 juta orang. Sementara itu, di negara sedang berkembang jumlah penderita diabetes melitus akan meningkat dari 84 juta orang menjadi 228 juta orang. Diperkirakan jumlah tersebut akan naik melebihi 250 juta orang pada tahun 2025 (Wiyono, 2004).
Diabetes melitus yang dikenal sebagai non communicable dissease adalah salah satu penyakit yang paling sering diderita dan penyakit kronik yang serius di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus diabetes melitus tidak terdiagnosa karena pada umumnya diabetes tidak disertai gejala sampai terjadinya komplikasi. Penyakit tidak menular seperti diabetes melitus semakin hari semakin meningkat, dapat dilihat dari meningkatnya frekuensi kejadian penyakit tersebut di masyarakat (Soegondo, 2004).
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia jumlahnya sangat luar biasa. Pada tahun 2000 jumlah penderita 8.400.000 jiwa, pada tahun 2003 jumlah penderita 13.797.470 jiwa dan diperkirakan tahun 2030 jumlah penderita bisa mencapai 21.300.000 jiwa. Data jumlah penderita diabetes di Indonesia pada tahun 2005 sekitar 24 juta orang. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat pada tahun yang akan datang (Soegondo, 2005).
Berdasarkan data yang diperoleh dari laporan Data Surveilans Terpadu Penyakit (STP) tahun 2008 terlihat jumlah kasus yang paling banyak adalah penyakit diabetes melitus dengan jumlah kasus 1.717 pasien rawat jalan yang dirawat di rumah sakit dan puskesmas Kabupaten/Kota. Untuk rawat jalan penyakit diabetes melitus ini mencapai 918 pasien yang dirawat di 123 rumah sakit dan 998 pasien yang dirawat di 487 puskesmas yang ada di 28 Kabupaten/Kota seluruh X. Sedangkan pada tahun 2009 mencapai 108 pasien yang dirawat di rumah sakit dan 934 pasien dirawat di puskesmas selama Januari hingga Juni 2009. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa penderita diabetes melitus di X masih sangat tinggi (STPTM Dinas Kesehatan Propinsi X, 2008).
Penyakit diabetes melitus di X, sampai September 2009 merupakan penyakit dengan penderita terbanyak, yang terus mengalami peningkatan jumlahnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota X tahun 2009 terlihat jumlah kasus yang terbanyak setelah hipertensi adalah kasus diabetes melitus. Hingga September 2009 ada 10347 penderita diabetes melitus yang berobat ke 39 Puskesmas di kota X. Data tersebut menunjukkan bahwa penderita diabetes melitus di Kota X sangat tinggi (STPTM Dinas Kesehatan Kota X, 2009).
Dari data tersebut di atas, dapat dilihat trend penyakit diabetes melitus di Indonesia menunjukkan prevalensi yang meningkat. Prediksi yang diajukan oleh semua ahli epidemiologi menyebutkan angka prevalensi yang makin meningkat di masa yang akan datang, sehingga menempatkan diabetes melitus sebagai The Global Epidemy (PERKENI, 2009).
Diabetes melitus apabila tidak ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi dengan penyakit serius lainnya, diantaranya: jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal ginjal, dan kerusakan sistem syaraf. Jika positif menderita diabetes melitus, maka sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter dan mengikuti anjuran dokter dengan penuh disiplin. Selain itu cara yang efektif yang diterapkan pada diabetes melitus adalah perencanaan makan (diet), latihan (olahraga), pemantauan glukosa darah, terapi (bila diperlukan) dan lain-lain yang dapat diperoleh di klinik khusus diabetes melitus. Klinik khusus diabetes ini memberikan pelayanan khusus kepada setiap pasien diabetes melitus dan juga membantu pasien dalam merubah kebiasaan dan gaya hidupnya, melalui terapi perilaku, dukungan kelompok dan penyuluan gizi yang berkelanjutan (Soegondo, 2004).
Puskesmas X yang merupakan puskesmas satu-satunya yang memiliki klinik diabetes melitus di Kota X mencatat bahwa penderita diabetes melitus yang ada di wilayah kerjanya ada sekitar 105 orang, akan tetapi yang mau datang berobat dan mengikuti program-program yang ada di klinik tersebut hanya 12-15 orang (17-21%) tiap minggunya (klinik diabetes melitus buka pada hari Kamis saja), tidak sesuai dengan harapan petugas yaitu 45-50% dari jumlah penderita. Pihak klinik diabetes melitus sendiri merasa telah memberikan pelayanan yang baik, namun ternyata belum sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen (penderita diabetes melitus). Hal tersebut menyebabkan penanganan diabetes melitus tidak optimal sehingga faktor resiko diabetes melitus akan tetap tinggi di masa yang akan datang.
Kondisi ini membuat klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas X membuat visi yang terkait dengan kondisi kesehatan Indonesia yaitu memberikan pelayanan diabetes melitus yang berkualitas dan terjangkau ditingkat puskesmas. Untuk mencapai visi tersebut maka ditetapkan misi yaitu : 1. Memberikan edukasi agar pasien diabetes melitus dapat mengatur diet sendiri, 2. Mendidik pasien agar terhindar dari komplikasi diabetes melitus, 3. Memberikan penyuluhan kepada pasien dan masyarakat yang mempunyai faktor resiko penyakit diabetes melitus agar tidak tercetus penyakit diabetes melitus (Profil Puskesmas X, 2009).
Melalui survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada beberapa penderita diabetes melitus di lokasi penelitian alasan penderita diabetes tidak datang lagi berobat pada waktu yang ditentukan adalah karena pada pemeriksaan terakhir mereka memiliki kadar glukosa darah mendekati nilai normal dan akan kembali datang lagi berobat apabila merasa kadar glukosa darahnya sudah tidak normal lagi. Selain itu ada juga yang lupa minum obat karena cara minum obat diabetes harus sesuai dengan anjuran dokter, sehingga masih banyak obat yang tersisa dan mereka menunggu sampai obat tersebut habis.
Penelitian ini terfokus kepada Puskesmas X mengingat lokasi penelitian yang merupakan bagian dari Puskesmas X. Puskesmas X adalah puskesmas satu-satunya yang memiliki klinik diabetes melitus di Kota X. Sehingga dengan diadakannnya penelitian di wilayah kerja Puskesmas X ini akan memberikan gambaran tentang perilaku penderita diabetes melitus terhadap pelayanan klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas X Kecamatan X Tembung dan bagaimana cara mereka memandang klinik diabetes melitus tersebut sehingga bisa dilakukan tindakan preventif dan rehabilitatif terhadap kondisi di masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang perilaku penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X Kecamatan X Tembung sehingga dapat diketahui seberapa maksimal pelayanan yang dilakukan klinik diabetes melitus yang ada di Puskesmas X dan tindakan yang dilakukan oleh penderita diabetes melitus untuk memanfaatkan pelayanan yang seharusnya diterimanya dari Puskesmas.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan bahwa perumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Hubungan Pengetahuan dan Sikap Penderita Diabetes Melitus (DM) dengan Pemanfaatan Klinik Diabetes Melitus yang ada di Puskesmas X.

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap penderita diabetes melitus dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan) penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
2. Untuk mengetahui pengetahuan penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
3. Untuk mengetahui sikap penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
4. Untuk mengetahui tindakan penderita diabetes melitus terhadap pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
5. Untuk mengetahui hubungan antara umur dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
6. Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
7. Untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
8. Untuk mengetahui hubungan antara pekerjaan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
9. Untuk mengetahui hubungan antara pendapatan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
10. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.
11. Untuk mengetahui hubungan antara sikap dengan pemanfaatan klinik diabetes melitus di Puskesmas X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Puskesmas X dan Dinas Kesehatan Kota X dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan derajat kesehatan masyarakat.
2. Sebagai acuan bagi pihak lain yang ingin melanjutkan penelitian ini ataupun melakukan penelitian yang sehubungan dengan penelitian ini.
SKRIPSI PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KEPUASAN PELAYANAN RAWAT INAP DI RSUD X

SKRIPSI PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KEPUASAN PELAYANAN RAWAT INAP DI RSUD X

(KODE : KES-MASY-0045) : SKRIPSI PERSEPSI PASIEN JAMKESMAS TERHADAP KEPUASAN PELAYANAN RAWAT INAP DI RSUD X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Undang-undang Nomor 36 tahun 2009, Bab VI pasal 46 dan 47 bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan berkesinambungan. Untuk keberhasilan upaya pembangunan kesehatan tersebut maka masyarakat perlu diikuti sertakan agar berpartisipasi aktif dalam upaya kesehatan.
Dalam konsitusi dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Bab IV tentang rumah sakit bahwa pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk dalam hal ini menjamin pelayanan kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin, atau orang tidak mampu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara nasional agar subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang menyeluruh bagi masyarakat miskin (Mukti, 2008).
Peserta Program JAMKESMAS adalah setiap orang miskin dan tidak mampu selanjutnya disebut peserta JAMKESMAS sejumlah 76,4 juta jiwa bersumber dari data Badan Pusat Statisti (BPS) tahun 2006 yang dijadikan dasar penetapan jumlah sasaran peserta secara Nasional oleh Menteri Kesehatan RI (Menkes), Jumlah masyarakat miskin dan tidak mampu di Indonesia untuk Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2009 sebesar 18.963.939 rumah tangga miskin, 76.400.000 jiwa anggota rumah tangga miskin sedangkan anak-anak terlantar, panti jompo dan masyarakat tidak memiliki KTP sebanyak 2.629.309 jiwa. Propinsi X sendiri 944.972 rumah tangga miskin dan 4.124.247 jiwa anggota rumah tangga miskin dan Kabupaten X 158.194 jiwa masyarakat miskin.
Indonesian Corruption Watch (ICW) menilai pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin melalui Program Jamkesmas belum optimal. Lembaga Swadaya Masyarakat itu menyatakan, meski hasil survei menunjukkan sebagian besar peserta Jamkesmas (83,2 persen) menyatakan puas dengan layanan yang diberikan namun masih ada peserta yang tidak puas dengan pelayanan dokter (5%), perawat (4,7 %) dan petugas kesehatan sebanyak 4,7%. Hasil observasi ICW juga menunjukkan bahwa kualitas pelayanan kesehatan bagi peserta Jamkesmas belum baik jika dilihat berdasarkan panjangnya antrian berobat, sempitnya ruang tunggu, dan lamanya peserta dalam menunggu waktu operasi. Beberapa pasien Jamkesmas mengeluhkan kekecewaan yang terkait dengan rumitnya proses administrasi untuk mengurus persyaratan Jamkesmas, sikap perawat dan dokter yang tidak ramah, lamanya waktu menunggu tindakan medis atau operasi dan fasilitas ruang rawat yang terbatas, bahkan berita penolakan terhadap pasien Jamkesmaspun sering terdengar.
Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Peran stategis ini diperoleh karena rumah sakit adalah fasilitas kesehatan yang padat teknologi dan padat pakar (Aditama, 2003).
Ada beberapa hal di rumah sakit yang berperan dalam kepuasan pasien antara lain adalah pelayanan dokter dan perawat, pelayanan administrasi, kualitas ruangan yang diberikan rumah sakit serta ketersediaan sarana penunjang medis dan non medis. Kepuasan pasien adalah tingkat kepuasan pelayanan pasien dan persepsi pasien/keluarga terdekat. Kepuasan pasien akan tercapai apabila diperoleh hasil yang optimal bagi setiap pasien dan pelayanan kesehatan memperhatikan kemampuan pasien/keluarganya, ada perhatian terhadap keluhan, kondisi lingkungan fisik dan tanggap kepada kebutuhan pasien. sehingga tercapai keseimbangan yang sebaikbaiknya antara tingkat puas atau hasil dan derita-derita serta jerih payah yang harus dialami guna rnempeoleh hasil tersebut (Awinda, 2004).
Menurut Imbalo (2003), Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja pelayanan kesehatan yang diperoleh setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkannya. Sedangkan Junaidi (2002) berpendapat bahwa kepuasan konsumen atas suatu produk dengan kinerja yang dirasakan konsumen atas poduk tersebut. Jika kinerja produk lebih tinggi dari harapan konsumen maka konsumen akan mengalami kepuasan (Denipurnama, 2009).
Tuntutan pasien terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas bukan hanya berkaitan dengan kesembuhan dari penyakit, tetapi juga menyangkut persepsi pasien terhadap kualitas keseluruhan proses pelayanan yang termasuk ke dalamnya ketersediaan sarana dan prasarana rumah sakit guna guna memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. Dengan demikian keberhasilan suatu rumah sakit tidak hanya ditentukan oleh kemampuan medis tetapi juga ditentuka oleh fasilitas pelayanan rumah sakit dan non medis (Andriani, 2005).
Hasil penelitian Ferdinand (2006) di RSU F.L.Tobing bahwa 80 % responden JPKMM menyatakan puas terhadap pelayanan perawatan. Penelitian Gita Ardina (2008) menunjukkan bahwa pelayanan Jaminan Kesehatan masyarakat (Jamkesmas) di RSD. Ryacudu Kotabumi dilaksanakan sesuai dengan pedoman pelaksanaan Jamkesmas 2008, baik itu mengenai syarat dan prosedur pelayanan, pemberian obat-obatan, serta pelayanan dari petugas medis. Namun dalam pelayanan Jamkesmas di RDS. Ryacudu Kotabumi masih terdapat hambatan-hambatan dalam pelayanannya, antara lain terbatasnya sarana dan prasarana penunjang pelayanan medis, kemudian kurangnya sosialisai pemerintah terhadap masyarakat mengenai syarat dan prosedur pelayanan Jamkesmas di RSD. Ryacudu Kotabumi. Sehingga masih dibutuhkan penyempurnaan agar tercapai derajat kesehatanmasyarakat yang optimal secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuan penyelenggaraan program Jamkesmas.
Penelitian di RSU dr.Zainoel Abidin Banda Aceh pada tanggal 13 April 2009 melalui survey dengan menggunakan kuesioner kepada 30 responden (pasien umum) yang dirawat di Instalasi rawat inap (ruang penyakit dalam dan ruang rawat bedah) mengungkapkan dokter sering telat masuk sebesar 53%, perawat kurang ramah sebesar 46%, perawat jaga sering tidak mengontrol pasien setiap pergantian jaga sehingga pasien sering terbengkalai sebesar 16%, perawat lamban dan kurang tanggap dalam melayani pasien sebesar 63% dan pemberian obat kepada pasien sering tidak tepat waktu 36% (Tuti, 2010).
Keputusan Menteri Kesehatan RI No 228/MENKES/SK/III/2002, Bahwa rumah Sakit sesuai dengan tuntutan daripada kewenangan wajib yang hams dilaksanakan oleh rumah sakit propinsi/kabupaten/kota, maka hams memberikan pelayanan untuk keluarga miskin dengan biaya ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
Rumah Sakit Umum Daerah X Kabupaten X mempakan mmah sakit tipe C dengan kapasitas 105 tempat tidur dan pusat rujukan dari empat Kabupaten. Rumah Sakit X telah banyak mengalami pembahan terlihat dari bangunan begitu mewah dan fasilitas yang sudah memenuhi standart. Sampai saat ini pasien rawat inap yang datang menggunakan kartu JAMKESMAS semakin meningkat jumlahnya. Hal ini menunjukkan bahwa mmah sakit ini sudah melaksanakan tujuannya sebagai mmah sakit mjukan.
Berdasarkan survei awal di RSUD X Kabupaten X dapat diketahui indikator pelayanan rawat inap berikut yaitu pada tahun 2009 BOR (88,17%), AvLOS (4,12%), BTO (6,53%), TOI (0,58%), GDR (51,68%) dan NDR (36,03%) dan pada tahun 2010 mulai dari januari sampai juni BOR (78,40%), AvLOS (3,61%), BTO (6,77% ), TOI (0,98%), GDR (54,73%) dan NDR (13,86%). Pasien JAMKESMAS yang dirawat inap pada tahun 2009 adalah 2565 orang dan pada tahun 2010 sampai bulan juni sebesar 1034 orang. Pasien rawat inap biasanya dirawat antara 3-7 hari dengan keluhan yang berbeda-beda.
Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan, penulis menemukan beberapa permasalahan yang menyangkut pelayanan kesehatan yang diberikan oleh RSUD X Kabupaten X kepada pasiennya. Hal ini terungkap karena penulis sering kali mendengar keluhan dari beberapa pasien umum bahwa belum memuaskannya pelayanan yang diberikan baik dari segi kualitas perlengkapan maupun kualitas pelayanan lainnya seperti pelayanan medik, pelayanan obat-obatan, dan pelayanan administrasi.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa RSUD X Kabupaten X selaku lembaga yang melaksanakan pelayanan kesehatan terindikasi kurang memberikan pelayanan kesehatan yang memuaskan kepada pasien umum yang menanggung biaya rumah sakit sendiri. Bila pasien yang Non JAMKESMAS saja pelayanan yang diberikan kurang memuaskan bagaimana lagi layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien yang termasuk pengguna JAMKESMAS.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana persepsi pasien JAMKESMAS terhadap kepuasan pelayanan rawat inap di RSUD X.

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi pasien JAMKESMAS terhadap kepuasan pelayanan rawat inap di RSUD X Kabupaten X.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui faktor internal yang mempengaruhi persepsi pasien JAMKESMAS (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan dan jenis penyakit) yang dirawat inap di RSUD X Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui persepsi pasien JAMKESMAS terhadap kepuasan meliputi tangibles/nyata, reliability/keandalan, responsveness/ketanggapan, assurance/jaminan dan empaty/sikap peduli pelayanan rawat inap di RSUD X Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan kepada RSUD X Kabupaten X dalam menanggulangi dan meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap pasien JAMKESMAS.
2. Sebagai bahan masukan bagi penulis dalam menambah kemampuan dan pengetahuan selama menempuh pendidikan.
3. Sebagai bahan masukan untuk peneliti-peneliti yang akan datang.
SKRIPSI PENGETAHUAN DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) TENTANG INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI DESA X

SKRIPSI PENGETAHUAN DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) TENTANG INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI DESA X

(KODE : KES-MASY-0044) : SKRIPSI PENGETAHUAN DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) TENTANG INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DI DESA X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Kesehatan reproduksi merupakan keadaan seksualitas yang sehat yang berhubungan dengan fungsi dan proses sistem reproduksi. Seksualitas dalam hal ini berkaitan erat dengan anatomi dan fungsional alat reproduksi atau alat kelamin manusia dan dampaknya bagi kehidupan fisik dan biologis manusia. Termasuk dalam menjaga kesehatannya dari gangguan seperti IMS dan HIV/AIDS (Herbaleng, 2001).
Dahulu kelompok penyakit ini dikenal sebagai penyakit kelamin yang hanya terdiri dari 5 jenis penyakit yaitu gonoroe (kencing nanah), sifilis (raja singaj, ulkus mole, limfogranuloma inguinale (bungkul) dan granuloma inguinale. Namun pada akhir abad ke-20 dapat dibuktikan bahwa pada waktu mengadakan hubungan seksual dapat terjadi infeksi oleh lebih dari 20 jenis kuman, sehingga muncullah istilah Penyakit Menular Seksual (PMS). Pada tahun 1997 pada Kongres IUVDT {International Union of Venereal Diseases and Treponematosis) di Australia, istilah tersebut diubah menjadi IMS, oleh karena semua penyakit yang termasuk dalam kelompok tersebut merupakan penyakit infeksi (Djajakusumah, 2008).
Sexually Transmitted Infection (STI) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) mencerminkan masalah terbesar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang. Pada seorang individu, penyakit IMS membuat individu tersebut rentan terhadap infeksi HIV. Penularan IMS melalui hubungan seksual diikuti dengan perilaku yang menempatkan individu dalam risiko mencapai HIV, seperti mereka berperilaku bergantian pasangan seksual, dan tidak konsisten menggunakan kondom (BNN, 2004).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, dampaknya mulai terasa sejak awal tahun 1998. Selain langsung pada kehidupan ekonomi bangsa, juga berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Krisis ekonomi mengakibatkan turunnya pendapatan nyata penduduk akibat hilangnya kesempatan kerja. Dampak kelanjutan adalah kerawanan yang menyangkut berbagai hal, salah satu diantaranya adalah bidang ekonomi dan sosial. Krisis ekonomi dapat meningkatkan jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK). Karena sifat pekerjaan dan perilaku mereka, para PSK berpotensi tertular dan menularkan Infeksi Menular Seksual (IMS) (Kasnodihardjo, 2010).
Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah suatu pekejaan atau profesi dengan melacurkan diri, penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran, dengan alasan komersial mereka siap melakukan apa saja untuk kepuasan pelanggan sampai pada perilaku seks yang tidak sehat, sehingga kelompok ini beresiko untuk terkena infeksi menular seksual (IMS) (Kartono, 2003).
Berdasarkan data WHO yang dikutip Jain (2008) negara dengan prevalensi IMS tertinggi di dunia yaitu Papua New Guinea, dimana kurang lebih 1 juta infeksi menular seksual (IMS) didiagnosis setiap tahun. Dengan gonoroe sebanyak 21%, klamidia 19%, sifilis 24% dan trichomoniasis 51%. Dengan 74% orang mempunyai sedikitnya satu jenis IMS dan 43% mempunyai lebih dari satu tetapi kurang dari 1% yang menerima pengobatan.
Kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) pada Pekerja Seks Komersial (PSK) cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil estimasi tahun 2006 menunjukkan bahwa Pekerja Seks Komersial (PSK) sebesar 221.000 orang dan pelanggan 3.160.000 orang dengan prevalensi IMS sangat tinggi di wilayah Bandung yaitu : gonoroe 37,4%, klamidia 34,5%, dan sifilis 25,2%. Selanjutnya diikuti kota Surabaya yaitu : klamidia 33,7%, sifilis 28,8%, dan dan gonoroe 19,8%. Lalu kota Jakarta yaitu : gonoroe 29,8%, sifilis 25,2% dan klamidia 22,7% dan Medan 5,3% klamidia dan 2,4% sifilis (Adhitama, 2008).
PSK lebih berisiko menimbulkan IMS karena mereka sering bertukar pasangan seks. Semakin banyak jumlah pasangan seksnya semakin besar kesempatan terinfeksi IMS dan menularkan ke orang lain. Peran serta masyarakat dalam mengontrol IMS sangat penting, selama kelompok ini belum terjangkau dengan pencegahan dan layanan pengobatan yang berkualitas baik. Jangkauan yang efektif, pendidikan sebaya serta layanan klinik untuk pekerja seks telah dikembangkan dengan menggunakan klinik berjalan atau dengan menyediakan waktu khusus di klinik. Pelayanan seperti ini memberikan kontribusi untuk mengurangi prevalensi IMS di masyarakat (Depkes RI, 2006).
Seorang PSK seharusnya menyadari bahwa pekerjaannya beresiko terhadap penularan IMS, dan dengan resiko tersebut seharusnya sesering mungkin melakukan pemeriksaan, karena kelompok resiko tinggi seperti PSK harus selalu melakukan pemeriksaan sesering mungkin baik dilakukan dengan sendiri ataupun dengan bantuan pelayanan kesehatan (Daili, 2001).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Reta (2009), diperoleh hasil bahwa pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang bermakna dengan tindakan pencegahan penyakit menular seksual dengan nilai p<0,05.
Sedangkan menurut hasil penelitian Silalahi, R (2009), ternyata pengetahuan dan sikap PSK ada hubungan yang bermakna terhadap tindakan untuk menggunakan kondom dengan hasil p<0,05. Artinya pengetahuan dan sikap yang baik akan mempengaruhi pelanggan menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual.
Menurut Data Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan SP2S (Solidaritas Perempuan Pekerja Seks) tahun 2009 yang selama ini memfasilitasi pemberian informasi tentang IMS di Desa X mengatakan bahwa pekerja seks komersial pada tahun 2010 berjumlah sekitar 50 orang. Lokasi X terletak ± 24 km dari Kecamatan X dengan luas ± 1 ha. Untuk menuju lokasi X tersebut dapat dicapai melalui jalan darat dengan menggunakan alat tranportasi roda dua atau roda empat. Seiring dengan berjalannya waktu lokalisasi ini mengalami perubahan baik dari aspek bangunan, sarana atau fasilitas maupun dari jumlah PSK. Berdasarkan data LSM SP2S sampai dengan akhir tahun 2010 jumlah rumah (barak) ±13 buah dengan rata-rata 4 PSK per rumah dengan jumlah PSK sekitar 50 PSK. Pada umumnya bangunan sudah permanen, walaupun sebagian kecil saja bangunan masih berlantai tanah. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan penulis jumlah PSK terbanyak di Kabupaten X terdapat di Desa X sebanyak 50 orang PSK, dari 50 orang PSK tersebut ditemukan sekitar 35 kasus IMS dan 1 kasus HIV (Yayasan SP2S, 2009).
Desa X adalah salah satu desa di Kecamatan X Kabupaten X merupakan desa yang mempunyai resiko tinggi terhadap penularan infeksi menular seksual. Hal ini dikarenakan adanya daerah lokalisasi terselubung berupa warung bubur.

1.2. Perumusan Masalah
Warung bubur di Desa X Kecamatan X merupakan salah satu tempat praktek prostitusi. Banyaknya pekerja seks komersial di lokalisasi yang terselebung merupakan peluang membuat semakin meningkatnya kasus IMS sekarang ini., karena mereka tidak mengetahui resiko dari pekerjaannya.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melihat sejauh mana pengetahuan dan sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kebupaten X.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengetahuan dan sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengetahuan Pekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
2. Mengetahui sikapPekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.

1.4.Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan bagi komunitas PSK mengenai kesehatan reproduksi khususnya perilaku seksual dan perilaku pemeliharaan organ reproduksi dalam mencegah IMS.
2. Memberikan masukan bagi tenaga kesehatan agar lebih memperhatikan komunitas PSK dalam mengantisipasi berjangkitnya IMS di kalangan masyarakat dengan meningkatkan penyuluhan tentang IMS.
SKRIPSI PENGARUH FAKTOR PEMUDAH, PENDUKUNG DAN PENDORONG TERHADAP TINDAKAN KEPALA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X

SKRIPSI PENGARUH FAKTOR PEMUDAH, PENDUKUNG DAN PENDORONG TERHADAP TINDAKAN KEPALA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X

(KODE : KES-MASY-0043) : SKRIPSI PENGARUH FAKTOR PEMUDAH, PENDUKUNG DAN PENDORONG TERHADAP TINDAKAN KEPALA KELUARGA DALAM PENCEGAHAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di dunia termasuk Indonesia. Penyakit malaria menjadi salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas terhadap kualitas hidup dan ekonomi bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia.
Penyebaran penyakit malaria di dunia sangat luas yakni antara garis lintang 60° di utara dan 40° di selatan yang meliputi lebih dari 100 negara beriklim tropis dan subtropis (Erdinal, 2006). Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2010, penyakit malaria menyerang 108 negara dan kepulauan di dunia pada tahun 2008. Penduduk dunia yang berisiko terkena penyakit malaria hampir setengah dari keseluruhan penduduk di dunia, terutama negara-negara berpenghasilan rendah.
Berdasarkan data WHO (2010), terdapat sebanyak 247 juta kasus malaria di seluruh dunia dan menyebabkan lebih dari 1 juta kematian pada tahun 2008. Sebagian besar kasus dan kematian malaria ditemukan di Afrika dan beberapa negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah serta Eropa. Setiap 45 detik seorang anak di Afrika meninggal dunia akibat penyakit malaria.
Penyakit malaria merupakan salah satu penyakit menular yang upaya pengendalian dan penurunan kasusnya merupakan komitmen internasional dalam Millenium Development Goals (MDGs) (Profil Kesehatan RI, 2008). Target yang disepakati secara internasional oleh 189 negara adalah mengusahakan terkendalinya penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus malaria pada tahun 2015 dengan indikator prevalensi malaria per 1.000 penduduk.
Penyakit malaria juga dapat membawa dampak kerusakan ekonomi yang signifikan. Penyakit malaria dapat menghabiskan sekitar 40% biaya anggaran belanja kesehatan masyarakat dan menurunkan sebesar 1,3% Produk Domestik Bruto (PDB) khususnya di negara-negara dengan tingkat penularan tinggi (WHO, 2010).
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang masih berisiko terhadap penyakit malaria. Daerah endemis malaria sebanyak 73,6% dari keseluruhan daerah di Indonesia (Depkes RI, 2008).
Kabupaten endemis malaria di Indonesia pada tahun 2007 sebanyak 396 kabupaten dari 495 kabupaten yang ada. Penduduk Indonesia yang berdomisili di daerah berisiko tertular malaria sekitar 45%. Jumlah kasus malaria pada tahun 2006 sebanyak 2 juta kasus dan pada tahun 2007 menurun menjadi 1.774.845 kasus (Depkes RI, 2009).
Menurut perhitungan para ahli berdasarkan teori ekonomi kesehatan, dengan jumlah kasus malaria tersebut di atas, dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar mencapai sekitar 3 triliun rupiah lebih. Kerugian tersebut sangat berpengaruh terhadap pendapatan daerah (Depkes RI, 2009).
Penyakit malaria sering menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia. Pada tahun 2006 terjadi KLB malaria di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa KLB disebabkan terjadinya perubahan lingkungan oleh bencana alam, migrasi penduduk dan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan sehingga tempat perindukan potensial nyamuk malaria semakin meluas (Harijanto, 2010).
Kasus malaria yang tinggi berdampak terhadap beban ekonomis yang besar baik bagi keluarga yang bersangkutan dan bagi pemerintah melalui hilangnya produktivitas kerja, hilangnya kesempatan rumah tangga untuk membiayai pendidikan serta beban biaya kesehatan yang tinggi. Dalam jangka panjang, akan menimbulkan efek menurunnya mutu Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat Indonesia (Trihono, 2009).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Republik Indonesia (Riskesdas RI) tahun 2007, diketahui bahwa penyakit malaria tersebar merata di semua kelompok umur. Prevalensi malaria klinis di pedesaan dua kali lebih besar bila dibandingkan prevalensi di perkotaan. Prevalensi malaria klinis juga cenderung tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah, kelompok petani, nelayan, buruh dan kelompok dengan tingkat pengeluaran rumah tangga per kapita rendah.
Secara historis, dalam lima tahun terakhir jumlah kasus malaria di X menunjukkan angka yang relatif tidak stabil. Selama tahun 2004-2005 kasus malaria mengalami peningkatan dari 49.844 kasus menjadi 68.005 kasus, namun tahun 2006 mengalami penurunan menjadi 64.116 kasus. Jumlah kasus malaria mengalami peningkatan kembali menjadi 99.692 kasus pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 turun kembali menjadi 91.609 kasus (Dinkes Sumut, 2008).
Kabupaten X merupakan salah satu kabupaten endemis malaria di Provinsi X. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten X (Dinkes Kab. X) tahun 2007-2008, jumlah kasus malaria di Kabupaten X selama 2 tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Menurut data kunjungan ke puskesmas, pada tahun 2007 ditemukan sebanyak 949 kasus malaria klinis dan meningkat menjadi 1.075 kasus pada tahun 2008.
Beberapa upaya pencegahan penyakit malaria yang telah dilaksanakan di Kecamatan Lau Baleng adalah melalui program penyemprotan rumah dengan insektisida dan kelambunisasi. Hasil pelaksanaan program ini belum tercapai sepenuhnya seperti yang diharapkan, hal ini terlihat dari tingginya angka penyakit malaria.
Berdasarkan hasil survei pendahuluan, geografis daerah ini terdiri dari hutan lebat, rawa-rawa, sungai dan persawahan. Kondisi geografis seperti ini secara entomologi telah mengakibatkan semakin meluasnya tempat perkembangbiakan vektor malaria atau nyamuk anopheles. Jenis plasmodium yang umum dijumpai di daerah endemis ini adalah Plasmodium vivax dan Plasmodium falcifarum.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas malaria di Puskesmas X, salah satu faktor yang menyebabkan tingginya kasus malaria di daerah ini adalah karena letak geografis daerah ini berada di daerah endemis malaria dan masih adanya kepercayaan masyarakat yang menganggap bahwa malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh perbuatanjahat (guna-guna) yang sengaja dilakukan oleh orang lain.
Penyakit malaria dapat dicegah dan disembuhkan. Dengan demikian tindakan pencegahan merupakan salah satu tindakan yang penting untuk mengatasi penyakit malaria. Undang-Undang Kesehatan RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan bahwa upaya pencegahan penyakit menular adalah tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
Pencegahan penyakit malaria yang paling efektif adalah dengan melibatkan peran serta masyarakat melalui perubahan perilaku yang berhubungan dengan pemberantasan penyakit malaria. Tingkat pengetahuan tentang pencegahan, cara penularan serta upaya pengobatan penyakit malaria, sangat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap terjadinya penyakit malaria (Dalimunthe, 2008).
Upaya pencegahan penyakit malaria difokuskan untuk meminimalkan jumlah kontak manusia dengan nyamuk melalui pemakaian kelambu dan penyemprotan rumah. Beberapa daerah menekankan penggunaan kelambu yang telah direndam dengan insektisida. Salah satu hambatan utama penggunaan kelambu secara massal adalah faktor ekonomi (Utomo, 2007).
Menurut Daulay (2006), faktor perilaku sangat berkontribusi terhadap terjadinya penyakit malaria. Tingkat pengetahuan yang rendah, kebiasaan tidur tidak memakai kelambu, sikap yang kurang mendukung dalam penanggulangan penyakit malaria, tidak menggunakan alat atau bahan pelindung bila keluar rumah pada malam hari merupakan perilaku yang memiliki risiko terbesar terhadap terjadinya penyakit malaria. Faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap terjadinya penyakit malaria adalah dukungan petugas kesehatan dan faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian Kasnodihardjo (2008), tentang pola kebiasaan masyarakat dalam kaitannya dengan masalah malaria di daerah Sihepeng Kabupaten Tapanuli Selatan, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mengetahui bahwa malaria adalah penyakit menular dan nyamuk sebagai vektor penular. Mereka bahkan menganggap penyakit malaria berbahaya, namun kebanyakan mereka kurang mengetahui bagaimana cara penularan penyakit malaria. Hal ini memengaruhi tindakan masyarakat dalam pencegahan penyakit malaria. Berdasarkan hasil penelitian Afridah (2009), tentang pengaruh perilaku penderita terhadap angka kesakitan malaria di Kabupaten Rokan Hilir, menunjukkan bahwa pengetahuan dan sikap memengaruhi tindakan seseorang terhadap pencegahan penyakit malaria. Pengetahuan dan sikap responden yang berada dalam kategori baik berbanding lurus dengan tindakan dalam pencegahan.
Menurut Green yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor, yaitu: faktor pemudah (predisposing factor) yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya; faktor pendukung (enabling factor) mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan; dan faktor pendorong (reinforcing factor) mencakup sikap dan perilaku dari petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
Mengacu pada latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh faktor pemudah (meliputi: pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap dan kepercayaan), faktor pendukung (meliputi: ketersediaan dan jarak sarana kesehatan) dan faktor pendorong (meliputi: keterpaparan informasi tentang pencegahan penyakit malaria dari petugas kesehatan) terhadap tindakan kepala keluarga dalam pencegahan penyakit malaria di Desa X.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah penelitian adalah apakah ada pengaruh faktor pemudah (meliputi: pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap dan kepercayaan), faktor pendukung (meliputi: ketersediaan dan jarak sarana kesehatan) dan faktor pendorong (meliputi: keterpaparan informasi tentang pencegahan penyakit malaria dari petugas kesehatan) terhadap tindakan kepala keluarga dalam pencegahan penyakit malaria di Desa X.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pengaruh faktor pemudah (meliputi: pendidikan, penghasilan, pengetahuan, sikap dan kepercayaan), faktor pendukung (meliputi: ketersediaan dan jarak sarana kesehatan) dan faktor pendorong (meliputi: keterpaparan informasi tentang pencegahan penyakit malaria dari petugas kesehatan) terhadap tindakan kepala keluarga dalam pencegahan penyakit malaria di Desa X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi tenaga kesehatan, pemerintah/pengambil keputusan tentang permasalahan terkait sehingga dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria.
2. Sebagai bahan masukan untuk pengembangan Ilmu Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
3. Sebagai bahan informasi dan pengembangan bagi penelitian sejenis dan berkelanjutan.
SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KE JADIAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X

SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KE JADIAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X

(KODE : KES-MASY-0042) : SKRIPSI HUBUNGAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK RUMAH DENGAN KE JADIAN PENYAKIT MALARIA DI DESA X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang sangat dominan di daerah tropis dan sub tropis serta dapat mematikan atau membunuh lebih dari satu juta manusia di seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu Negara dengan Negara laindan dari satu kabupaten atau wilayah dengan wilayah lain. Pada peta di tunjukkan bahwa saat ini disribusi malaria endemic. Menurut WHO dalam Harijanto, P.N (2000), pada tahun 1990, 80% kasus di Afrika, dan kelompok potensial terjadinya penyebaran malaria indigenous di Sembilan Negara yaitu: India, Brazil, Afganistan, Sri Langka, Thailand, Indonesia, Vietnam, Cambodia dan China. Plasmodium Falciparum adalah spesies paling dominan dengan 120 juta kasus baru pertahun, dan lebih dari satu juta kematian pertahun secara global. Dalam tahun 1989 yang lalu WHO kembali mendeklarasikan penanggulangan malaria menjadi prioritas global. (Harijanto, P.N, 2000)
WHO menyatakan perlu pendekatan baru dalam pemberantasan malaria, walaupun upaya kemitraan global yang di kenal dengan Roll Back Malaria (RBM), di mana WHO selain memimpin prakarsa juga bertindak sabagai katalisator dalam kemitraan tersebut. Pada tanggal 8 April 2000, di Kupang Nusa Tenggara Timur dan di Kabupaten X pada tanggal 12 Agustus 2002 Menteri Kesehatan telah mencanangkan GEBRAK malaria sebagai gebrakan nasional dalam upaya pemberantasan malaria di Indonesia (Depkes, RI, 2001)
Di Indonesia malaria mempengaruhi angka kesakitan dan kematian bayi, anak balita, ibu melahirkan dan produktivitas sumber daya manusia. Saat ditemui 15 juta penderita malaria dengan angka kematian 30 ribu orang setiap tahun, sehingga pemerintah memprioritaskan penangulangan penyakit menular dan penyehatan Lingkungan (Depkes. RI, 2007)
Angka kejadian kasus malaria per seribu penduduk (API) di Jawa dan Bali sejak empat tahun terakhir menunjukkan kecendrungan menurun, dari 0,81 per 1000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 0,15 per 1000 penduduk pada tahun 2004. Di luar Jawa dan Bali angka klinis malaria per 1000 penduduk (AMI) juga menunjukkan kecendrungan menurun yaitu dari 31,09 per 1000 penduduk pada tahun 2000 menjadi 21,2 per 1000 penduduk pada tahun 2004. Proporsi kematian karena malaria hasil survey kesehatan Rumah Tangga Tahun 2001, adalah sebesar 2%. Jumlah kabupaten endemis di Indonesia adalah 424 kabupaten dari 576 kabupaten yang ada, dan diperkirakan 42,4% penduduk Indonesia berisiko tertular penyakit Malaria (Depkes RI, 2006)
Lingkungan fisik, lingkungan biologis dan sosial budaya masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit malaria, demikian pula dengan kondisi lingkungan Kabupaten X, merupakan daerah yang sangat potensial untuk tempat perindukan nyamuk Anopheles spp. Di beberapa kecamatan yang berada di daerah-daerah dataran rendah yang umumnya terletak di sepanjang Pantai Timur Kabupaten X berada di pinggiran laut dimana sering terjadi pasang laut yang mencapai daratan, sehingga meninggalkan genangan-genangan air bila pasang berakhir. Demikian juga dengan perilaku penduduk yang membiarkan sampah-sampah berserakan dan tidak membersihkan lingkungan disekitar rumahnya, sehingga mempermudah penularan penyakit malaria.
Program pengendalian Anopheles spp yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan diteruskan oleh pemerintah Daerah Kabupaten X dengan srategi penurunan kasus malaria Anopheles spp dengan berbagai upaya di antaranya dengan klambunisasi di 5 kecamatan, Indoor Residure Suplayer (Penyemprotan Rumah) sebanyak 5000 rumah, Larvaciding di 20 Lokasi (Dinkes Kabupaten X, 2007), namun angka kejadian malaria masih saja ditemukan tinggi. Adapun angka kesakitan malaria di Kabupaten X di ukur dengan angka Annual Malaria Index (AMI) dan Standard Positif Rate (SPR)
Di Kecamatan X Kabupaten X angka Annual Malaria Incidence (AMI) tahun 2002 adalah sebesar 66,20%o yaitu desa Suka Jaya sebesar 22,0%o, X 22,3%o Suka Makmur 15,9%o dan Air Dingin 11,8%0 .Di mana kasus positif paling tinggi pada tahun 2002 dan pada tahun 2004 mengalami peningkatan kasus yang sangat tinggi, sedangkan pada tahun 2004 terjadi penurunan kasus yaitu dari tahun 2005 sampai pada tahun 2008 mengalami penurunan kasus yang sangat signifikan, yaitu pada tahun 2005 sebesar 35,54%o dan pada tahun 2008 menjdi 25,07%o angka AMI tersebut sangan tinggi bila di bandingkan dengan standart nasional yaitu < 10,0%o (Depkes RI, 2005) dan Angka Standard Positif Rate (SPR) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X pada tahun 2009 adalah 93,8% (Dinkes Kabupaten X, 2009).

1.2. Perumusan Masalah
Tingginya kasus Malaria di Desa X Kecamatan X Kabupaten X sebagai salah satu Desa yang berada kecamatan X yang berpotensial terhadap terjadinya Malaria bila dibandingkan dengan desa di kecamatan lain karena banyak terdapat aliran sungai, lagun, hutan bakau (Mangrove), perbukitan, air terjun dan rawa-rawa serta kondisi fisik perumahan penduduk yang masih bisa dikatakan buruk. Hal inilah yang menjadi kontribusi bagi peneliti untuk melakukan penelitian di Desa X Kecamatan X Kabupaten X sehingga dapat dibuat suatu perumusan masalah yaitu belum diketahuinya hubungan faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian penyakit Malaria Desa X Kecamatan X Kabupaten X.

1.3. Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan faktor lingkungan fisik rumah dengan kejadian penyakit malaria di wilayah Kabupaten X Kecamatan X.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran kejadian penyakit Malaria di desa X Kecamatan X Kabupaten X.
2. Mengetahui karakteristik responden meliputi umur, pendidikan, pekerjaan di desa X Kecamatan X Kabupaten X.
3. Mengetahui kondisi perumahan penduduk seperti ventilasi, plafon rumah, pencahayaan, kelembaban, kerapatan dinding dan parit/selokan, semak-semak dengan kejadian penyakit Malaria di desa X Kecamatan X Kabupaten X.
4. Mengetahui hubungan faktor lingkungan fisik rumah penduduk seperti ventilasi, Plafon rumah, pencahayaan, kelembaban, kerapatan dinding, semak-semak dan parit/selokan dengan penyakit Malaria di Kecamatan X Kabupaten X.
5. Untuk mengetahui pH air pada Lagun dan Rawa-rawa di desa X Kecamatan X Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Berguna bagi Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam melaksanakan Program penurunan kasus malaria.
2. Hasil penelitian berguna bagi masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten X Kecamatan X untuk mengetahui lebih jelas tentang perkembangbiakan spesies nyamuk Anopheles spp.
3. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat memberikan masukan tentang pengetahuan penyakit malaria, pengendaliannya serta penangulanganya dalam menurunkan kasus malaria.
SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP PERILAKU GIZI SEIMBANG PADA LANSIA PANTI WREDA X

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP PERILAKU GIZI SEIMBANG PADA LANSIA PANTI WREDA X

(KODE : KES-MASY-0041) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP TERHADAP PERILAKU GIZI SEIMBANG PADA LANSIA PANTI WREDA X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Salah satu tolok ukur kemajuan suatu bangsa diukur dari harapan hidup penduduknya. Demikian juga dengan negara Indonesia sebagai suatu negara yang sedang berkembang dari waktu ke waktu mengalami peningkatan usia harapan hidupnya dan jumlah lanjut atau usia Lansia (Boedhi Darmojo, 2006:3). Seiring dengan peningkatan derajat kesehatan dan penurunan jumlah kelahiran, jumlah penduduk Lansia juga semakin meningkat. Peningkatan jumlah Lansia diperkirakan diikuti dengan peningkatan usia harapan hidup dari usia 59,8 tahun pada tahun 1990 menjadi 71,7 tahun pada tahun 2020. Berdasarkan data statistik Indonesia tahun 1993, diperkirakan meningkat 41,4% atau empat kali lipat pada tahun 2025 dibanding tahun 1990 dan jumlah ini tertinggi di dunia.
Pertumbuhan penduduk Lansia (umur >60 tahun) meningkat secara cepat pada abad 21 ini, yang pada tahun 2000 di seluruh dunia telah mencapai 425 juta jiwa (± 6,8%). Jumlah ini diperkirakan akan mengalami peningkatan hampir dua kali lipat pada tahun 2025. Di Indonesia, prosentase Lansia pada tahun 1995 mencapai 7,5%. Dengan meningkatnya angka harapan hidup, jumlah Lansia pun akan bertambah banyak (Reviana Cristijani, 2003:1).
Pada tahun 2006 jumlah penduduk Lansia kurang lebih 19 juta dengan usia harapan hidup 66,2 tahun, pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 23,9 juta (9,77%), dengan usia harapan hidupnya 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun (Anonim, 2008).
Jumlah penduduk Jateng sesuai dengan Susenas BPS 2005 sebanyak 32.908.850 orang. Dari jumlah tersebut, yaitu sebesar 3.371.196 atau 10,2% orang di antaranya adalah para Lansia. Di X jumlah penduduk lanjut usia dalam 25 tahun terakhir terjadi peningkatan, dari tiga juta jiwa pada tahun 1982 menjadi 17 juta orang pada tahun 2007 (Anonim, 2008).
Lansia seperti juga tahapan-tahapan usia yang lain dapat juga mengalami keadaan gizi baik dan gizi kurang. Lansia Indonesia yang berada dalam keadaan kurang gizi sebanyak 3,4%, berat badan kurang 28,3%, berat badan ideal berjumlah 42,4%, berat badan lebih sebanyak 6,7% dan obesitas 3,4% (Boedhi Darmojo, 2006:545).
Hasil observasi Januari 2009 pada 54 kelayan yang mencakup 3 (tiga) bangsal Lansia potensial, terdapat Lansia yang mengalami masalah gizi. Yaitu, 14,81% kekurangan berat badan tingkat berat, 16,67% kekurangan berat badan tingkat ringan, 7,41% kelebihan berat badan tingkat ringan, serta 12,96% Lansia potensial mengalami kelebihan berat badan tingkat berat. Dan dari hasil pengamatan, masih ada Lansia yang tidak mematuhi diet dari panti (jajan diluar).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sigit pada tahun 2003 yang dilakukan di Panti Wreda X, yang meneliti tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap asupan gizi dan status gizi. Menyebutkan bahwa sebanyak 37,8% sampel pengetahuan mengenai gizinya masih kurang.
Masalah gizi Lansia perlu diperhatikan seiring dengan meningkatnya jumlah warga Lansia. Perilaku yang meliputi pengetahuan, sikap dan praktek tentang gizi seimbang yang baik diharapkan dapat meningkatkan keadaan gizi lansia, sehingga usia produktif mereka dapat ditingkatkan agar tetap dapat ikut serta berperan dalam pembangunan (Direktorat Gizi Masyarakat, 2000:1).
Perilaku manusia mempunyai peranan terhadap derajat kesehatan individu maupun masyarakat selain lingkungan, pelayanan kesehatan dan genetik. Menurut Skinner perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang atau organisme terhadap stimulus atau obyek yang berkaitan dengan sakit penyakit sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Sedang menurut Lawrense W. Green, penyebab perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi (Predisposing), faktor pemungkin (Enabling) dan faktor penguat (reinforcing). Faktor predisposisi mencakup pengetahuan, sikap, keyakinan dan nilai. Faktor pemungkin mencakup peraturan-peraturan yang ada dan ketrampilan yang berkaitan dengan kesehatan. Faktor penguat mencakup keluarga, guru, teman dan petugas kesehatan (Soekidjo Notoatmodjo , 2007:136). Perilaku makan seseorang dapat memberikan gambaran konsumsi zat gizi seseorang (Hermina dkk, 2000:75).
Beriorentasi dari hal tersebut, tingkat pengetahuan dan sikap Lansia tentang gizi seimbang serta perilaku gizi Lansia yang harus mencerminkan pemenuhan gizi seimbang bagi Lansia merupakan masalah yang penting untuk dikaji lebih dalam. Oleh karena itu perlu diadakan suatu penelitian yang mengkaji tentang masalah tersebut dengan judul "Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap terhadap Perilaku Gizi Seimbang Pada Lansia Panti Wreda X"

1.2. Rumusan Masalah
1.2.1 Rumusan Masalah Umum
Adakah hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X?
1.2.2 Rumusan Masalah Khusus
1. Apakah ada hubungan pengetahuan Lansia dengan perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X?
2. Apakah ada hubungan sikap Lansia terhadap gizi seimbang dengan perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X?

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menganalisis hubungan antara pengetahuan gizi seimbang dengan perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X.
2. Menganalisis hubungan antara sikap gizi seimbang dengan perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X.

1.4. Manfaat Hasil Penelitian
1.4.1. Bagi Kepala Panti Wreda X
Manfaat dari penelitian yang bisa diambil oleh kepala Panti Wreda X terutama bagian pengatur dan pengelola konsumsi adalah :
1. Dapat mengetahui seberapa besar tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku Lansia tentang gizi seimbang untuk Lansia.
2. Dapat mengambil kebijakan dalam menangani pengetahuan, sikap dan perilaku Lansia tentang gizi seimbang untuk Lansia.
1.4.2. Bagi Kepala Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial Propinsi X
Manfaat penelitian bagi Kepala Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial adalah :
Penelitian dapat dijadikan sebagai bahan kajian dalam rangka menentukan kebijakan dalam langkah-langkah yang berkaitan dengan penanggulangan masalah pengetahuan gizi serta upaya perbaikan sikap dan perilaku gizi Lansia terutama Lansia di Panti Wreda.
1.4.3. Bagi Peneliti
1. Dapat menelaah sejauh mana teori yang diperoleh pada perkuliahan dan penerapannya dalam masyarakat, terutama ilmu gizi masyarakat pada Lansia.
2. Dapat mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku gizi seimbang pada Lansia Panti Wreda X.