Search This Blog

TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN BUDAYA SEKOLAH TERHADAP MUTU MENGAJAR GURU

TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN BUDAYA SEKOLAH TERHADAP MUTU MENGAJAR GURU

(KODE : PASCSARJ-0127) : TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN BUDAYA SEKOLAH TERHADAP MUTU MENGAJAR GURU (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Kemajuan-kemajuan dalam kehidupan seperti bidang ekonomi, dan ilmu pengetahuan hanya dapat dicapai melalui proses pendidikan. Dari proses pendidikan ini diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu "mencerdaskan kehidupan bangsa". Dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kemudian diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang menyatakan bahwa :
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sedangkan yang dimaksud pendidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah :
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Melalui pendidikan diharapkan bangsa Indonesia segera mencapai kemajuan. Departemen Pendidikan Nasional dalam merealisasikan tujuan tersebut membuat kebijakan, yaitu melaksanakan usaha peningkatan mutu pendidikan yang berpedoman pada azas persatuan.
Usaha peningkatan mutu pendidikan oleh pemerintah telah nampak dengan diadakannya upaya pembaharuan dan penyempurnaan kurikulum, sarana, tenaga pendidik, pelatihan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat.
Berbagai fakta empirik telah membuktikan, bahwa tingkat kemajuan yang dicapai oleh suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia bangsa itu. Seberapapun besarnya sumber daya alam, modal serta sarana dan prasarana, pada akhirnya ditangan sumber daya manusia yang handal terletak kemajuan yang ingin dicapai. Hal ini sesuai dengan pendapat (Sedarmayanti ; 288) :
Keberhasilan manajemen dalam suatu organisasi, baik organisasi yang bergerak dalam bidang pemerintahan, maupun organisasi yang bergerak dalam bidang usaha (bisnis), sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang ada pada organisasi tersebut. Artinya manusia yang memiliki daya, kemampuan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam setiap pelaksanaan kegiatan organisasi sehingga terwujud kinerja sebagaimana diharapkan.
Dalam perspektif berpikir seperti itu, rasanya tidak mungkin suatu organisasi atau suatu bangsa dapat mencapai kemajuan dibidang apapun tanpa mempersoalkan kesiapan sumber daya manusia yang telah diyakini sebagai faktor diterminan keberhasilan pembangunan.
Pembangunan di bidang pendidikan merupakan bagian integral dari keseluruhan aktifitas pembangunan nasional, karena pembangunan itu sendiri ingin memanfaatkan kemajuan yang dicapai di bidang pendidikan untuk mempercepat berbagai upaya pembangunan yang tengah dan akan berkelanjutan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, guru mempunyai peranan sentral. Hal ini sesuai dengan pendapat Syaodih (1998) mengemukakan bahwa guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Yang dimaksud dengan guru, seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 74 tentang guru, Pasal 1 ayat 1 adalah :
Pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menyadari hal tersebut, betapa pentingnya untuk meningkatkan aktivitas, kreatifitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Guru sebagai tenaga profesional harus memiliki kemandirian dalam keseluruhan kegiatan pendidikan baik dalam jalur sekolah maupun luar sekolah, guru memegang posisi yang paling strategis. Dalam tingkatan operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial (Surya, 2005 ;4). Guru merupakan sumber daya manusia yang mampu mendayagunakan faktor-faktor lainnya sehingga tercipta pembelajaran yang bermutu dan menjadi faktor utama dalam menentukan mutu pendidikan.
Tugas guru sebagai profesi menurut Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut, seorang guru dituntut memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan tertentu. Kemampuan dan keterampilan tersebut sebagai bagian dari kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik.
Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, diantaranya kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi :
a. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
b. pemahaman terhadap peserta didik;
c. pengembangan kurikulum atau silabus;
d. perancangan pembelajaran;
e. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
f. pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g. evaluasi hasil belajar; dan
h. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
(Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, Pasal 3 ayat 4)
Tugas guru erat kaitannya dengan peningkatan sumber daya manusia melalui sektor pendidikan, oleh karena itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan mutu mengajar guru untuk menjadi tenaga profesional, agar peningkatan mutu pendidikan dapat berhasil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tilaar (1999), mengatakan bahwa : "peningkatan kualitas pendidikan tergantung banyak hal, terutama mutu gurunya".
Guru, murid, dan bahan ajar merupakan unsur yang dominan dalam proses pembelajaran di kelas. Ketiga unsur ini saling berkaitan, saling mempengaruhi serta saling menunjang antara satu dengan yang lainnya. Jika salah satu unsur tidak ada, kedua unsur yang lain tidak dapat berhubungan secara wajar dan proses pembelajaran tidak akan berlangsung dengan baik. Jika proses belajar mengajar ditinjau dari segi kegiatan guru, maka akan terlihat bahwa guru memegang peranan strategis. Menurut Majid (2005 : 91) dalam konteks ini guru berfungsi sebagai pembuat keputusan yang berhubungan dengan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Ketiga hal tersebut merupakan indikator dari mutu mengajar guru. Apabila ketiga hal tersebut; perencanaan pembelajaran (input), pelaksanaan pembelajaran (proses), dan evaluasi pembelajaran (output) dilakukan oleh guru dengan baik, maka mutu mengajar guru bisa dikatakan baik.
Untuk menjadikan guru sebagai tenaga profesional maka perlu diadakan pembinaan secara terus-menerus dan berkesinambungan, dan menjadikan guru sebagai tenaga kerja perlu diperhatikan, dihargai dan diakui keprofesionalannya. Dengan demikian pekerjaan guru bukan semata-mata pekerjaan pengabdian namun guru adalah pekerja profesional seperti pekerjaan yang lain misalnya, dokter, pengusaha, pengacara, akuntan dan sebagainya. Memandang guru sebagai tenaga kerja profesional maka usaha-usaha untuk membuat mereka menjadi profesional tidak semata-mata hanya meningkatkan kompetensinya baik melalui pemberian penataran, pelatihan maupun memperoleh kesempatan untuk belajar lagi, namun perlu juga memperhatikan guru dari segi yang lain seperti peningkatan disiplin, pemberian motivasi, pemberian bimbingan melalui supervisi, pemberian insentif, gaji yang layak dengan keprofesionalannya sehingga memungkinkan guru untuk meningkatkan kinerja mengajarnya sebagai pendidik.
Proses pendidikan tidak akan terjadi dengan sendirinya melainkan harus direncanakan, diprogram, dan difasilitasi dengan dukungan dan partisipasi aktif guru sebagai pendidik. Tugas dan tanggung jawab guru adalah mengubah perilaku peserta didik ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pencapaian tujuan pendidikan sangat bergantung kepada pelaksanaan tugas dan kinerja guru di samping kemampuan peserta didik itu sendiri serta dukungan komponen system pendidikan lainnya. Posisi strategis guru merupakan salah satu faktor penentu kualitas proses dan hasil pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan akan ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mengarahkan peserta didiknya melalui kegiatan pembelajaran. Ketika pembelajaran berlangsung, guru tidak sekedar menyampaikan pelajaran akan tetapi juga menciptakan suasana belajar yang dialami setiap siswa. Komunikasi antara guru dan siswa sebaiknya berjalan dengan lancar. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan siswa sehingga kelas menjadi tempat yang menyenangkan dan siswa lebih mudah memahami pelajarannya. Menurut Satori (2002; 1) pembelajaran di kelas merupakan core business, jantung kegiatan sekolah dan pendidikan pada umumnya karena disanalah peserta didik seharusnya mendapatkan layanan belajar dan jaminan mutu hasil pendidikan.
Akan tetapi masih banyak permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah belum optimalnya sumber daya manusia yang terdapat pada guru. Fakta empirik yang sulit terbantahkan saat ini adalah kesulitan untuk mendapatkan guru yang benar-benar mengabdikan diri dan mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk melaksanakan tugas profesionalnya sebagai tenaga pendidik. Menurut Mulyasa (2005) bahwa :
Sedikitnya terdapat tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran. Kesalahan tersebut adalah mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, menunggu peserta didik berperilaku negative, menggunakan destruktif discipline, mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik, merasa diri paling pandai di kelasnya, tidak adil (diskriminatif), serta memaksa hak peserta didik.
Alasan klasiknya guru belum melaksanakan tugas profesionalnya sebagai tenaga pendidik adalah gaji dan kesejahteraan guru yang rendah membuat para guru seakan-akan tak mampu untuk menghadapi tuntutan yang berat yang dibebankan kepadanya. Mereka selalu terpuruk dan seakan-akan tak berdaya menghadapi hempasan badai keras globalisasi yang melunturkan semangat pengabdian mereka.
Paradigma metodologi pendidikan saat ini disadari atau tidak telah mengalami suatu pergeseran dari behaviourisme ke konstruktivisme yang menuntut guru dilapangan harus mempunyai syarat dan kompetensi untuk dapat melakukan suatu perubahan dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas. Guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan, bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.
Sejalan dengan pendapat diatas, pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme adalah :
Pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi Pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata. (Depdiknas, 2003 : 11)
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Center). Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa, sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong (cooperative learning).
Untuk menciptakan situasi yang diharapkan pada pernyataan diatas seoarang guru harus mempunyai syarat-syarat apa yang diperlukan dalam mengajar dan membangun pembelajaran siswa agar efektif dikelas, saling bekerjasama dalam belajar sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan saling menghargai (demokratis), diantaranya :
1. Guru harus lebih banyak menggunakan metode pada waktu mengajar, variasi metode mengakibatkan penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa, mudah diterima siswa, sehingga kelas menjadi hidup, metode pelajaran yang selalu sama (monoton) akan membosankan siswa.
2. Menumbuhkan motivasi, hal ini sangat berperan pada kemajuan, perkembangan siswa. Selanjutnya melalui proses belajar, bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran akan meningkatkan kegiatan belajar, dengan tujuan yang jelas maka siswa akan belajar lebih tekun, giat dan lebih bersemangat. (Slamet, 1987 : 92)
Pada saat ini banyak guru yang telah melaksanakan teori konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas tetapi volumenya masih terbatas, karena kenyataan dilapangan masih banyak dijumpai guru yang dalam mengajar masih terkesan hanya melaksanakan kewajiban. Ia tidak memerlukan strategi, metode dalam mengajar, baginya yang penting bagaimana sebuah peristiwa pembelajaran dapat berlangsung.
Disisi lain menurut Hartono Kasmadi (1993 : 24) bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dimana pengajar masih memegang peran yang sangat dominan, pengajar banyak ceramah (telling method) dan kurang membantu pengembangan aktivitas murid.
Dari uraian diatas, tidak dipungkiri bahwa dilapangan masih banyak guru yang masih melakukan cara seperti pendapat diatas, dan diakui bahwa banyak faktor penyebabnya sehingga dapat dilihat akibat yang timbul pada peserta didik, sering dijumpai siswa belajar hanya untuk memenuhi kewajiban pula, masuk kelas tanpa persiapan, siswa merasa terkekang, membenci guru karena tidak suka gaya mengajarnya, bolos, tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru, takut berhadapan dengan mata pelajaran tertentu, merasa tersisihkan karena tidak dihargai pendapatnya, hak mereka merasa dipenjara, terkekang sehingga berdampak pada hilangnya motivasi belajar, suasana belajar menjadi monoton, dan akhirnya kualitas pun menjadi pertanyaan.
Dari permasalahan tersebut, guru mempunyai tanggung jawab terhadap peningkatan mutu mengajar di sekolah karena guru sebagai ujung tombak dilapangan (di kelas) dan bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pembelajaran.
Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat terhadap kemajuan dan peningkatan kompetensi siswa, dimana hasilnya akan terlihat dari jumlah siswa yang lulus dan tidak lulus. dengan demikian tangung jawab peningkatan mutu pendidikan di sekolah, selalu dibebankan kepada guru.
Demikian halnya, dengan guru-guru di SMA Negeri se-Kabupaten X, dimana masih banyak guru yang belum optimal dalam menjalankan profesinya sebagai guru terutama dalam melaksanakan proses pembelajaran, seperti : belum memahaminya wawasan atau landasan kependidikan, belum memahami berbagai keadaan peserta didik, belum melakukan pengembangan kurikulum atau silabus, belum sempurnanya membuat perancangan pembelajaran, belum optimal dalam melaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, belum memanfaatkan teknologi pembelajaran, belum optimal dalam melakukan evaluasi hasil belajar, dan belum optimal dalam pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Hal ini mengakibatkan mutu pendidikan belum optimal.
Fenomena masih belum optimalnya mutu mengajar guru (proses pembelajaran) di SMA Negeri se-Kabupaten X diperoleh melalui hasil studi pendahuluan (survei) dan diskusi yang dilakukan oleh penulis terhadap teman sesama guru di Kabupaten X.
Melihat kenyataan ini, kalau dibiarkan akan mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan khususnya di Kabupaten X. Oleh karena itu permasalahan tersebut harus segera diatasi.
Ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan mutu mengajar guru meningkat, namun penulis mencoba mengkaji masalah supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala sekolah dan budaya sekolah.
Supervisi dalam hal ini adalah mengenai tanggapan guru terhadap pelaksanaan pembinaan atau bimbingan yang diberikan oleh kepala sekolah, apakah ada pengaruhnya terhadap peningkatan mutu mengajarnya.
Supervisi akademik merupakan salah satu tugas kepala sekolah dalam membina guru melalui fungsi pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah pada intinya yaitu melakukan pembinaan, bimbingan untuk memecahkan masalah pendidikan termasuk masalah yang dihadapi guru secara bersama dalam proses pembelajaran dan bukan mencari kesalahan guru.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, dinyatakan bahwa salah satu kompetensi Kepala Sekolah adalah memiliki kompetensi supervisi, yaitu :
1. Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
2. Melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat.
3. Menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
Adapun indikator-indikator dari supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadap guru menurut Suharsimi Arikunto (1990) adalah sebagai berikut :
1. Tujuan supervisi
2. Hubungan guru dengan supervisor
3. Bimbingan perencanan mengajar
4. Prosedur pelaksanaan supervisi
5. Bantuan dalam memecahkan masalah
6. Hasil dan tindak lanjut supervisi
Guru yang mempunyai persepsi yang baik terhadap supervisi akademik, maka guru akan mengajar dengan baik, karena supervisi itu berarti pembinaan kepada guru ke arah perbaikan dalam mengajar. Begitu sebaliknya jika saran dan advis dari supervisor (pengawas) dari kepala sekolah diabaikan oleh guru maka bisa berdampak pada kegiatan mengajarnya kurang baik.
Kegiatan supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah akan berpengaruh secara psikologis terhadap peningkatan mutu mengajar guru apabila guru menerima supervisi tersebut sebagai masukan dan motivasi untuk meningkatkan mutu mengajarnya sehingga ia akan bekerja dengan sukarela yang akhirnya dapat membuat produktivitas kerja guru menjadi meningkat. Tetapi jika guru tidak menerima supervisi akademik sebagai suatu hal yang dapat mengakibatkan peningkatan mutu mengajar dan motivasi atau dijadikan beban maka ia akan bekerja karena terpaksa dan kurang bergairah yang ditunjukkan oleh sikap-sikap yang negative sehingga mengakibatkan pruduktivitas kerja guru menjadi menurun.
Selain supervisi akademik yang dilakukan oleh kepalas sekolah hal lain yang dapat mempengaruhi mutu mengajar guru adalah budaya sekolah.
Budaya sekolah yang kerap disebut dengan iklim kerja menggambarkan suasana dan hubungan kerja antara sesama guru, antara guru dengan kepala sekolah, antara guru dengan tenaga kependidikan lainnya serta antara dinas di lingkungannya merupakan wujud dari lingkungan kerja yang kondusif. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan guru dan kepala sekolah untuk melaksanakan pekerjaannya dengan lebih efektif. Budaya sekolah dapat digambarkan melalui sikap saling mendukung (supportive), tingkat persahabatan (collegial), tingkat keintiman (intimate) serta kerja sama (cooperative). (Hasanah; 2008; 12). Kondisi yang terjadi atas keempat dimensi budaya sekolah tersebut berpotensi meningkatkan mutu mengajar guru.
Budaya sekolah yang kondusif akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh-contoh budaya sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Budaya sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif demi produktivitas sekolah.
Menurut Miller (1987 ; 56-57) indikator dari budaya sekolah adalah :
Budaya yang ada di sekolah dibagi dua, yaitu budaya yang mempunyai nilai-nilai primer, yaitu : (1) tujuan organisasi sekolah; (2) konsensus dan komitmen terhadap tugas; (3) keunggulan, (4) kesatuan kepentingan, (5) integritas. Sedangkan budaya yang bernilai sekunder, yaitu : (1) penerima layanan, (2) pengendalian yang disiplin, (3) kemandirian, (4) pengambilan keputusan yang cepat, (5) visioner, (6) pengembangan.
Dari hasil wawancara dan diskusi informal dengan teman sejawat sesama guru di SMA Negeri se-Kabupaten X menunjukkan bahwa pada umumnya guru-guru di SMA Negeri se-Kabupaten X motivasi kerja, kreativitas, kinerja, dan produktivitas kerja yang belum optimal dan belum sesuai dengan yang diharapkan, apalagi jika mengacu kepada standar kerja minimal yang dituntut kepada para guru, khususnya guru-guru di SMA Negeri se-Kabupaten X. Tanpa mengabaikan berbagai faktor yang berhubungan dengan perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah seperti faktor tingkat kesejahteraan (gaji) yang diterima masih jauh dari standar kebutuhan yang layak, iklim sosial, dan budaya di lingkungan sekolah kurang mendukung, kesibukan lain di luar jam mengajar di sekolah, dan yang lainnya, maka faktor supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah dan budaya sekolah diduga berpengaruh yang signifikan terhadap mutu mengajar guru di SMA se-Kabupaten X. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang : "Pengaruh Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Budaya Sekolah Terhadap Mutu Mengajar Guru" (Studi Analisis Tentang Mutu Mengajar Guru di SMA Negeri se-Kabupaten X).

1.2. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang penelitian dan identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu "Seberapa besar pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?". Rumusan masalah penelitian tersebut, dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana gambaran supervisi akademik kepala sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
b. Bagaimana gambaran budaya sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X?
c. Bagaimana gambaran mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
d. Apakah ada korelasi antara supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
e. Seberapa besar pengaruh supervisi akademik sekolah terhadap mutu megajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
f. Seberapa besar pengaruh budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
g. Seberapa besar pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah secara bersamaan terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?

1.3. Variabel dan Definisi Operasional
1.3.1.Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu :
1) Variabel bebas/independent variable (X) :
a. Supervisi akademik kepala sekolah (X-1).
Variabel supervisi akademik kepala sekolah diuraikan lagi menjadi subvariabel- subvariabel sebagai berikut : tujuan supervisi, hubungan guru dengan supervisor, bimbingan perencanan mengajar, prosedur pelaksanaan supervisi, dialog profesional dalam superisi, bantuan dalam memecahkan masalah, hasil dan tindak lanjut supervisi.
b. Budaya sekolah (X-2)
Variabel budaya sekolah diuraikan lagi menjadi subvariabel- subvariabel sebagai berikut : budaya yang mempunyai nilai-nilai primer, dan budaya yang bernilai sekunder.
2) Variabel terikat/dependent variable (Y) : mutu mengajar guru SMA Negeri se-Kabupaten X. Variabel mutu mengajar guru dijabarkan lagi menjadi subvariabel-subvariabel : perencanaan pembelajaran (input), pelaksanaan pembelajaran (prose), dan evaluasi pembelajaran (output).
1.3.2. Definisi Operasional
Definisi Operasional variabel bertujuan untuk menjelaskan makna variabel yang sedang diteliti. Masri. S (2003;46-47) memberikan pengertian tentang definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel, dengan kata lain definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama. Lebih lanjut beliau mengatakan : "dari informasi tersebut akan mengetahui bagaimana caranya pengukuran atas variabel itu dilakukan". Dengan demikian peneliti dapat menentukan apakah prosedur pengukuran yang sama akan dilakukan prosedur pengukuran baru.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi operasional itu harus bisa diukur dan spesifik serta bisa dipahami oleh orang lain. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Supervisi akademik kepala sekolah (X-1) adalah upaya seorang kepala sekolah dalam pembinaan guru agar guru dapat meningkatkan kualitas mengajarnya dengan melalui langkah-langkah perencanaan, penampilan mengajar yang nyata serta mengadakan perubahan dengan cara yang rasional dalam usaha meningkatkan hasil belajar siswa.
2. Budaya sekolah (X-2) adalah pola dasar atau aturan yang diciptakan oleh kepala sekolah, guru, siswa, masyarakat, stakeholders, dan lingkungannya untuk mencapai tujuan
3. Mutu mengajar guru (Y) adalah seperangkat perilaku yang ditunjukkan oleh guru pada saat menjalankan tugas dan kewajibannya dalam bidang pengajaran yang dapat memuaskan kebutuhan siswa sehingga menghasilkan pendidikan yang baik.

1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :
1. Mendapatkan gambaran empirik supervisi akademik kepala sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X.
2. Mendapatkan gambaran empirik budaya sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X.
3. Mendapatkan gambaran empirik mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.
4. Menganalisis korelasi antara supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X
5. Menganalisis pengaruh supervisi akademik kepala sekolah terhadap mutu megajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.
6. Menganalisis pengaruh budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.
7. Menganalisis pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah secara simultan terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.

1.5. Kegunaan Penelitian
1.5.1 Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan studi lanjutan yang relevan dan bahan kajian ke arah pengembangan konsep-konsep pengembangan guru yang mendekati pertimbangan-pertimbangan kontekstual dan konseptual, serta kultur yang berkembang pada dunia pendidikan dewasa ini. Pembahasan tentang pengaruh supervisi akademik dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen pendidikan yang akan menjadi suplemen bahasan dalam memperkuat validitas dan reliabilitas pelaksananan manajemen sekolah sebagai sebuah nilai budaya institusi, disamping sebagai sebuah konsep operasional.
1.5.2. Kegunaan Praktis
Secara praktis kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan sebagai berikut :
a. Bagi kepala sekolah sebagai supervisor, bisa mengambil manfaat dari hasil penelitian ini, dan mereka bisa melakukan supervisi akademik terhadap guru lebih baik lagi sehingga dapat memotivasi dan meningkatkan mutu mengajar guru, yang pada gilirannya mampu meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya.
b. Bagi penulis, menambah wawasan dalam bidang penelitian sehingga mengetahui bagaimana pengaruh supervisi akademik dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X sebagai bekal peningkatan profesionalisme pada masa yang akan datang.
c. Bagi para peneliti, sebagai masukan untuk dapat melakukan penelitian lebih akurat dengan populasi dan sampel yang berbeda, sehingga bisa menguatkan simpulan.

1.6. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan hasil penelitian ini dibuat dalam bentuk tesis dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
BAB II Landasan Teoritis
BAB III Metode Penelitian
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
BAB V Kesimpulan, Implikasi, dan Rekomendasi
TESIS PENGARUH SUPERVISI KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU DI SMAN KABUPATEN X

TESIS PENGARUH SUPERVISI KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU DI SMAN KABUPATEN X

(KODE : PASCSARJ-0126) : TESIS PENGARUH SUPERVISI KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI BERPRESTASI GURU TERHADAP KINERJA MENGAJAR GURU DI SMAN KABUPATEN X (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara.
Guru dituntut memiliki beberapa kemampuan dan ketrampilan tertentu. Kemampuan dan ketrampilan tersebut sebagai bagian dari kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik.
Tugas guru erat kaitannya dengan peningkatan sumber daya manusia melalui sektor pendidikan, oleh karena itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan mutu guru untuk menjadi tenaga profesional. Agar peningkatan mutu pendidikan dapat berhasil. Peningkatan kualitas pendidikan tergantung banyak hal, terutama mutu gurunya.
Guru sebagai tenaga professional maka perlu diadakan pembinaan secara terus menerus dan berkesinambungan, dan menjadikan guru sebagai tenaga kerja perlu diperhatikan, dihargai dan diakui keprofesionalannya. Untuk membuat mereka menjadi professional tidak semata-mata hanya meningkatkan kompetensinya baik melalui pemberian penataran, pelatihan maupun memperoleh kesempatan untuk belajar lagi namun perlu juga memperhatikan guru dari segi yang lain seperti peningkatan disiplin, pemberian motivasi, pemberian bimbingan melalui supervisi, pemberian insentif, gaji yang layak dengan keprofesionalnya sehingga memungkinkan guru menjadi puas dalam bekerja sebagai pendidik.
Kepuasan kerja bagi guru sebagai pendidik diperlukan untuk meningkatkan kinerjanya. Kepuasan kerja berkenaan dengan kesesuaian antara harapan seseorang dengan imbalan yang disediakan. Kepuasan kerja guru berdampak pada prestasi kerja, disiplin, kualitas kerjanya. Pada guru yang puas terhadap pekerjaannya maka kinerjanya akan meningkat kemungkinan akan berdampak positif terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Kinerja guru atau prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu (Hasibuan, 2007 : 94). Kinerja guru akan baik jika guru telah melakukan unsur-unsur yang terdiri dari kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran, kedisiplinan dalam mengajar dan tugas lainnya, kreativitas dalam pelaksanaan pengajaran, kerjasama dengan semua warga sekolah, kepemimpinan yang menjadi panutan siswa, kepribadian yang baik, jujur dan objektif dalam membimbing siswa, serta tanggung jawab terhadap tugasnya. Oleh karena itu tugas kepala sekolah selaku manager adalah melakukan penilaian terhadap kinerja guru. Penilaian ini penting untuk dilakukan mengingat fungsinya sebagai alat motivasi bagi pimpinan kepada guru maupun bagi guru itu sendiri.

B. Masalah Penelitian
Temuan sementara yang penulis dapat kemukakan pada kesempatan ini adalah bahwa secara kedinasan, dalam arti sesuai dengan tugasnya sebagai kepala sekolah, para kepala sekolah SMA Negeri di Kabupaten X telah atau selalu melaksanakan tugasnya melakukan supervisi kepada para guru. Tetapi menurut para guru, kegiatan supervisi tersebut bam sampai pada tataran pelaksanaan tugas saja, belum mencapai apa yang diharapkan dari fungsi supervisi itu sendiri yakni membantu para guru memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pelaksanaan pembelajaran.
Guru dalam melaksanakan tugasnya dituntut memiliki motivasi kerja yang tinggi supaya tugas dan tanggungjawabnya dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran sehingga akan melahirkan kinerja yang baik. Guru yang memiliki motivasi kerja yang tinggi selalu bemsaha untuk meningkatkan kemampuan dirinya dengan jalan mencari celah terobosan yang bam dalam mewujudkan strategi pembelajaran dan mempunyai komitmen yang tinggi untuk memperoleh hasil kerja yang sebaik-baiknya.
Kinerja guru SMA Negeri di Kabupaten X tampaknya dari segi kedinasan, dalam arti sebagai PNS bila ditinjau dari tingkat kehadiran mengajar cukup baik. Tapi pada sisi lain, penulis juga menemukan bahwa hampir di setiap sekolah para guru tidak mempersiapkan perangkat pengajaran dengan lengkap.
Jadi dengan demikian masalah yang dihadapi dalam penelitian ini adalah :
1. Pelaksanaan supervisi yang harus dibenahi
2. Motivasi berprestasi guru harus terns ditingkatkan
3. Kinerja guru yang harus ditingkatkan

C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian di atas tadi, penulis dapat mengemukakan pertanyaan penelitian :
1. Seberapa besar pengaruh supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X.
2. Seberapa besar pengaruh motivasi berprestasi guru terhadap kinerja mengajarnya.
3. Seberapa besar pengaruh supervisi kepala sekolah dan motivasi berprestasi terhadap kinerja guru.

D. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh Supervisi kepala sekolah terhadap kinerja guru SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X
2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh Motivasi Berprestasi guru terhadap kinerja guru SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X.
3. Untuk mendapatkan besarnya pengaruh supervisi kepala sekolah dan motivasi berprestasi guru secara bersama-sama terhadap kinerja guru SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memperluas kajian disiplin ilmu administrasi pendidikan dan mengembangkan pengetahuan serta wawasan mengenai peran guru sebagai tenaga pendidik dalam melakukan pembelajaran di sekolah, sehingga tenaga pendidik dapat melakukan pekerjaannya secara efektif dan efisien.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi :
a. Guru umumnya dan khususnya guru SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X untuk dijadikan pertimbangan secara kontekstual dan konseptual operasional dalam memmuskan pola pengembangan kinerja guru yang akan datang, dan memberi dorongan bagi para guru untuk meningkatkan kinerjanya dengan melalui motivasi kerja dan supervisi kepala sekolah yang nantinya dapat meningkatkan mutu pendidikan.
b. Kepala sekolah SMA Negeri Kabupaten X Propinsi X sebagai masukan untuk lebih meningkatkan perhatiannya terhadap kualitas pendidikan dan kinerja guru melalui kegiatan supervisi sehingga memberikan dorongan kepada guru untuk lebih giat bersama-sama dalam meningkatkan kinerja guru.
c. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten X Propinsi X sebagai masukan dan bahan pemikiran mengenai mated motivasi kerja pada guru dan supervisi kepala sekolah dalam upayanya meningkatkan mutu pendidikan dan peningkatan kinerja bagi para guru.
d. Peneliti, hasil penelitian dapat sabagai bahan informasi untuk melakukan penelitian selanjutnya di bidang yang sama.

F. Definisi Operasional
Variabel bebas (independent variables) dalam penelitian ini adalah : Supervisi Kepala sekolah (X1), dan Motivasi berprestasi guru (X2), sedangkan variabel terikat (dependent variable) adalah kinerja guru (Y).
1. Supervisi
Yang dimaksud dengan pelaksanaan supervisi dalam penelitian ini adalah kegiatan supervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah mencakup (1) Materi supervisi, terdiri dari (a) sikap guru, (b) Kerapian tempat belajar, (c) Pengelolaan kelas dan Pelaksanaan kurikulum.
2. Motivasi Berprestasi Guru
Motivasi kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu proses yang dilakukan untuk menggerakkan, untuk melakukan pekerjaan dalam mencapai tujuan yang diharapkan yang ditampilkan dalam bentuk skor. Indikator dari motivasi berprestasi ini adalah : 1) Berhubungan dengan diri sendiri, 2) Berhubungan dengan orang lain
3. Kinerja Guru
Kinerja guru yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses kerja guru yang didukung oleh kemauan dan kemampuan untuk mencapai hasil atau prestasi kerja yang diinginkan dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Dalam hal ini, tugas-tugas rutin sebagai seorang guru adalah mengadakan perencanaan, pengelolaan, dan pengadministrasian atas tugas-tugas pembelajaran, serta melaksanakan pengajaran.
Dimensi dan indikator dari kinerja guru ini adalah : 1) perencanaan, 2) pelaksanaan pembelajaran, dan 3) pelaksanaan evaluasi hasil pembelajaran.
TESIS HUBUNGAN KUALITAS PERENCANAAN DAN PENGAWASAN KEPALA SEKOLAH DENGAN EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI LESSON STUDY

TESIS HUBUNGAN KUALITAS PERENCANAAN DAN PENGAWASAN KEPALA SEKOLAH DENGAN EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI LESSON STUDY

(KODE : PASCSARJ-0125) : TESIS HUBUNGAN KUALITAS PERENCANAAN DAN PENGAWASAN KEPALA SEKOLAH DENGAN EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI LESSON STUDY (PRODI : ADMINISTRASI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 menyatakan pendidikan nasional Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Demi tercapainya tujuan itu dibentuklah suatu sistem pendidikan nasional Indonesia yang dilandaskan kepada akar budaya dan filsafat bangsa dengan berorientasi kepada persaingan global dalam kemajuan peradaban dunia melalui manajemen pendidikan nasional.
Manajemen pendidikan nasional menata setiap komponen sistem pendidikannya, yaitu tenaga pendidikan, peserta didik, kurikulum dan sarana prasarana, secara sistematis agar dapat menghasilkan output pendidikan sesuai dengan tujuan tersebut. Dalam pelaksanaannya, Fattah, N. (2008 : 1) mengungkapkan pengelolaan setiap komponen sistem pendidikan tidak terlepas dari fungsi-fungsi manajemen, yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pemimpinan (leading) dan pengawasan (controlling). Fungsi-fungsi tersebut bertujuan untuk mengatur proses kegiatan pendidikan, termasuk di sekolah sebagai wahana pendidikan, agar dapat berjalan dengan baik sehingga pada gilirannya tercapai efektivitas dan efisiensi.
Peningkatan efektivitas dan efisiensi kualitas pendidikan harus terus menerus dilakukan melalui berbagai upaya untuk memenuhi perkembangan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan dan hasil pendidikan. Bicara masalah pelayanan dan hasil pendidikan selalu diidentikkan dengan profesionalisme dan kinerja guru. Guru, sebagai ujung tombak keberhasilan pendidikan, seyogianya menguasai 4 kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10.
Keempat kompetensi tersebut bersifat holistik dan integratif yang ditunjukkan dalam kinerja guru. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi pemahaman wawasan atau landasan kependidikan, pemahaman terhadap peserta didik, pengembangan kurikulum/silabus, perancangan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, pemanfaatan teknologi pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Sedangkan kompetensi kepribadian sekurang-kurangnya mencakup kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan bijaksana, berwibawa, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, secara obyekif mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara mandiri dan berkelanjutan. Pengembangan kompetensi sosial juga tak kalah penting karena merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat yang mengharuskan seorang guru dapat berkomunikasi dengan baik dan mampu bergaul dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali dan masyarakat sekitar secara santun. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam.
Secara khusus tugas dan fungsi tenaga pendidik didasarkan pada Undang-Undang no 14 tahun 2007, yaitu sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pengembang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta mengabdi kepada masyarakat. Oleh karena itu guru dalam proses belajar mengajar harus memiliki kompetensi tersendiri guna mencapai harapan yang dicita-citakan dalam melaksanakan pendidikan pada umumnya dan proses belajar mengajar khususnya. Agar memiliki kompetensi tersebut guru perlu membina dan mengembangkan kemampuan peserta didik secara profesional di dalam proses belajar mengajar.
Berkaitan dengan peran dan tugas guru, Cooper (Satori, D. et al 2007 : 2.2) membagi kemampuan dasar guru ke dalam empat komponen, yakni (a) mempunyai pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (b) mempunyai pengetahuan dan menguasai bidang studi yang dibinanya, (c) mempunyai sikap yang tepat tentang diri sendiri, sekolah, teman sejawat dan bidang studi yang dibinanya, dan (d) mempunyai keterampilan dalam teknik mengajar.
Berdasarkan Undang-Undang no 20 tahun 2003 Pasal 39 ayat 2 pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dari pandangan tersebut peranan dan tugas guru dapat diidentifikasi dalam dua bagian pokok yaitu sebagai pengelola dan sebagai pelaksana pendidikan dan pengajaran di kelas. Artinya guru sebagai pengelola harus memiliki kemampuan manajerial yaitu menguasai perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian. Lalu, sebagai pelaksana, guru harus mampu memiliki kemampuan teknis yang terkait dengan bagaimana menggunakan segala sumber daya pendidikan yang ada dalam kegiatan belajar mengajar di kelas, dalam hal ini guru harus mampu mengelola kegiatan belajar mengajar yang baik melalui berbagai strategi dan metode sekaligus menjadi sumber belajar bagi siswa.
Kenyataannya mutu pendidikan Indonesia dinilai secara rendah. Dalam laporan Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 diantara 130 negara di dunia.
Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0,935, dibawah Malaysia (0,945) dan Brunei Darussalam (0,965), Jawa Pos, edisi 12 Desember 2007 (Pujianto, W. 2008 : 1). Fakta tentang rendahnya mutu pendidikan Indonesia ini tentunya tidak terlepas dari masih lemahnya aspek manajemen pendidikan di Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkinan dari rendahnya kemampuan guru sebagai ujung tombak pendidikan dalam mengejawantahkan keempat kompetensinya tersebut. Oleh karena itu pengembangan keprofesionalan guru harus selalu ditingkatkan, karena peningkatan keprofesionalan guru akan diikuti oleh peningkatan efektivitas kegiatan belajar mengajar dan secara tidak langsung peningkatan keprofesionalan guru juga akan berdampak pada peningkatan mutu pendidikan secara luas.
Lesson Study dipercaya sebagai salah satu upaya menciptakan guru yang profesional. Lesson Study memang bukan suatu strategi atau metode dalam pembelajaran, tetapi lebih merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru secara kolaboratif dan berkesinambungan dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi, dan melaporkan hasil pembelajaran. Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning community) yang secara konsisten dan sistematis melakukan untuk perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial. Mulyana, S. (2007 : 2) memberikan pandangan tentang Lesson Study yaitu sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar.
Lesson Study dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan keprofesionalan guru karena memungkinkan guru selain untuk memikirkan dengan cermat mengenai tujuan pembelajaran jangka pendek dan jangka panjang terhadap materi pokok, strategi dan metode pembelajaran, Lesson Study juga membuat guru merancang pembelajaran yang kolaboratif. Hal ini menyebabkan terjadinya saling koreksi antar pelaksana Lesson Study demi perbaikan pembelajaran berikutnya.
Dalam pelaksanaannya program Lesson Study memerlukan fungsi-fungsi manajemen, terutama perencanaan yang kuat. Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang menempati posisi pertama dan utama di antara fungsi-fungsi manajemen lainnya. Ini berarti bahwa perencanaan merupakan titik pangkal berbagai program dalam manajemen atau organisasi. Perencanaan adalah proses menentukan tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dan menetapkan jalan dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu seefisien dan seefektif mungkin.
Sejalan dengan pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah fakta mengenai pentingnya peran Kepala Sekolah dinyatakan dalam http://yberlantai.1971.multiply.com/jounal/item/26 dalam International Conference of Lesson Study awal Maret 2009 di SMPN 4 X dinyatakan bahwa : "Lesson Study di X diakui ada yang gagal dan ada yang berhasil. Berhasil karena ada dukungan dari pengawas, Kepala Sekolah, dan Dinas setempat. Jadi ternyata agar berhasil Lesson Study ini perlu dukungan bottom up dan top down. Petunjuk teknis tetap di perlukan. Ujung tombak keberhasilan Lesson Study ternyata ada di Kepala Sekolah sebagai leader of innovation and motivator. Kepala Sekolah ternyata kunci keberhasilan sekolah dan juga guru".
Dari pernyataan tersebut bisa diindikasikan bahwa pengawasan dari Kepala Sekolah menduduki peran yang sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan program Lesson Study ini. Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktivitas yang terlaksana sesuai dengan yang telah direncanakan. Pengawasan yang dilakukan Kepala Sekolah merupakan sebuah pengawasan internal yang pada hakikatnya meliputi pengujian dan evaluasi terhadap kecukupan dan keefektifan sistem pengendalian intern yang dimiliki oleh sekolah dan kualitas dari pelaksanaan program Lesson Study.
Perencanaan dan pengawasan yang efektif dapat melahirkan pelaksanaan program yang efektif pula. Menciptakan suasana kondusif agar semua guru mampu melaksanakan tugas bukan hanya sekedar tanggung jawab kesupervisian Kepala Sekolah, tetapi lebih sebagai akuntabilitas, yang tarafnya lebih tinggi dari tanggung jawab. Kepala Sekolah bertanggungjawab membangun sekolahnya sebagai tempat pembelajaran yang kondusif demi terciptanya sekolah yang efektif. Lunenburg (2008 : 14) dalam bukunya The Principalship : Vision to Action, menyatakan "The role of instructional leader helps the school to maintain a focus on why the school exists, and that is to help all students learn ". Hal ini berarti Kepala Sekolah sebagai pimpinan sekolah berperan sangat penting dalam membuat sekolah tetap fokus kepada mengapa sekolah tersebut ada, dan sekolah ada hanyalah untuk membantu siswa belajar. Kepala Sekolah merupakan the key person keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan di sekolah. Kegagalan dan keberhasilan sekolah banyak ditentukan oleh kepala sekolah, karena kepala sekolah merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh sekolah menuju tujuannya.
Salah satu alasan utama penelitian ini dilakukan, yaitu sejalan dengan pendapat para ahli tentang peran Kepala Sekolah sebagai key person dalam organisasinya tersebut. Secara kontekstual peranan kepala sekolah sangat menentukan keefektifan implementasi program di sekolahnya termasuk Lesson Study, namun kenyataan di lapangan keberlangsungan Lesson Study perlu mendapat perhatian. Melalui beberapa kali pengamatan di beberapa sekolah, sebagian kepala sekolah tidak memiliki pengetahuan kepemimpinan, tidak hadir di hari efektif belajar mengajar, belum mampu menyusun program kerja tahunan, belum mampu merumuskan dan menjabarkan visi dan misi sekolahnya, dan belum melakukan pengawasan internal secara efektif terutama pada program Lesson Study. Hal ini tentu saja mempengaruhi keberlangsungan Lesson Study sebagai upaya perbaikan mutu pembelajaran, mutu lulusan dan mutu sekolah.
Terkait dengan penyelenggaraan Lesson Study, ada dua tipe penyelenggaraan Lesson Study, yaitu Lesson Study berbasis sekolah dan Lesson Study berbasis MGMP. JICA (Japan International Cooperation Agency) bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama Republik Indonesia membuat suatu program peningkatan kualitas SMP/MTs. Program ini baik mendukung terlaksananya Lesson Study berbasis MGMP maupun berbasis sekolah. Lesson Study berbasis MGMP merupakan pengkajian tentang proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh kelompok guru mata pelajaran tertentu, dengan pendalaman kajian tentang proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu, yang dapat dilaksanakan pada tingkat wilayah, kabupaten atau mungkin bisa lebih diperluas lagi. Sedangkan Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS) dilaksanakan oleh semua guru dari berbagai bidang studi dengan kepala sekolah yang bersangkutan dengan tujuan agar kualitas proses dan hasil pembelajaran dari semua mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan dapat lebih ditingkatkan.
Program Lesson Study Berbasis Sekolah menjadi menarik untuk dipelajari karena keterlibatan Kepala Sekolah yang sangat kuat dalam menciptakan iklim sekolah yang nyaman demi terlaksananya program tersebut. Beberapa penelitian menemukan beberapa fakta betapa sulitnya seorang Kepala Sekolah membangun iklim sekolah yang efektif. Beberapa diantaranya adalah :
1. masih tingginya tingkat ketidakhadiran guru dengan berbagai alasan, 45% tanpa alasan yang jelas, 36% karena sakit, dan 19% karena mendapat tugas resmi secara kedinasan (Usman, Ahmadi, dan Suryadarma, 2004, dalam Koesoema, 2009 : 194)
2. masih terjadinya mismatch teaching karena ketidakmerataan ketersediaan guru yang memungkinkan pengajaran yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahlian guru (Koesoema, 2009 : 194)
3. masih adanya kultur sekolah yang negatif seperti senioritas dan bias gender (Kauffman and Liu, 2001, dalam Koesoema, 2009 : 195)
4. masih adanya norma privasi dalam kultur dalam profesi guru yang mengutamakan individualisme, meyakini bahwa pekerjaan guru merupakan urusan pribadi guru dan murid di dalam kelas di mana rekan kerja atau orang lain di luar kelas tidak berhak ikut campur (Fullan, 2007, dalam Koesoema, 2009 : 195)
5. dinamika, struktur, dan rutinitas pekerjaan guru yang cenderung sama setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, setiap tahun yang membuat guru terjerumus dalam kebosanan, kehilangan gairah dalam mengajar, terlalu terfokus pada mengajar tanpa memperkaya dirinya untuk belajar, mengakibatkan guru sulit menerima dan melakukan perubahan terutama dalam cara membelajarkan anak didiknya (Huberman, 1983; Hargreaves, 2005, dalam Koesoema 2009 : 82).
Masalah tersebut menjadi dasar bagi Kepala Sekolah dalam membuat kebijakannya dalam program Lesson Study yang menuntut guru untuk mau melakukan perubahan. Oleh karena itu perencanaan bersama dan pengawasan program Lesson Study oleh Kepala Sekolah adalah suatu keharusan demi terwujudnya keefektifan implementasi program.

B. Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dalam penelitian ini maka berikut ini adalah beberapa variabel yang akan menjadi fokus penelitian.
1. Efektivitas implementasi Lesson Study di sekolah pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah (LSBS)
2. Perencanaan Lesson Study sebagai langkah awal pelaksanaan program Lesson Study yang dilakukan tim guru-guru yang bersangkutan dengan Kepala Sekolahnya
3. Pengawasan Lesson Study sebagai tindakan penilaian Kepala Sekolah sebagai pengawas internal
Bertolak dari latar belakang penelitian yang telah diungkapkan di atas dan fenomena yang telah dipaparkan bahwa perencanaan dan pengawasan merupakan faktor yang dapat meningkatkan efektivitas implementasi Lesson Study, maka fokus penelitian ini didasari oleh beberapa permasalahan yang muncul dalam manajemen sekolah khususnya manajemen pelaksanaan program Lesson Study di sekolah pelaksana LSBS yang terjadi saat ini berkisar pada perencanaan, pengawasan dan pelaksanaannya. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam dengan judul : Hubungan Kualitas Perencanaan dan Pengawasan Kepala Sekolah dengan Efekti vitas Implementasi Lesson Study (Studi Analitik Terhadap Guru Sekolah Menengah Pertama Negeri Pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah di Kabupaten X). Adapun rumusan masalah tersebut dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana hubungan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study?
2. Bagaimana hubungan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study?
3. Bagaimana hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah secara simultan dengan efektivitas implementasi Lesson Study?

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasionalnya
Penelitian ini berjudul "Hubungan Kualitas Perencanaan dan Pengawasan Kepala Sekolah dengan Efektivitas Implementasi Lesson Study". Untuk memberikan arahan yang jelas tentang maksud dari judul penelitian tersebut, perlu dijelaskan operasionalisasi variabel penelitian sebagai berikut.
1. Variabel bebas (X) atau disebut juga variabel prediktor adalah "variabel penyebab atau yang diduga memberikan suatu pengaruh atau efek terhadap peristiwa lain" (Sudjana, N. & Ibrahim, 1989 : 12). Variabel bebas dalam penelitian ini ada dua, yakni kualitas perencanaan LSBS (X1) dan pengawasan Kepala Sekolah (X2).
Variabel kualitas perencanaan LSBS terdiri dari beberapa aspek berikut :
1. Penyusunan tujuan
2. Metode/Teknik
3. Tingkat prioritas
4. Alokasi sumber daya/dana
5. Perumusan kriteria keberhasilan
6. Pembuatan revisi program
Sedangkan variabel pengawasan Kepala Sekolah terdiri dari beberapa aspek berikut :
1. Relevansi, yaitu kesesuaian pengawasan dengan tujuan efektivitas, efisiensi dan produktivitas.
2. Ketepatan, kesesuaian hasil pengawasan dengan standar penilaian.
3. Kejelasan, yaitu kejelasan tujuan pengawasan demi perbaikan dan pemecahan masalah.
4. Keadilan, kesesuaian pengawasan dengan job description dan dengan jadwal.
5. Akses, kesesuaian tugas mengawas oleh pihak yang berwenang selain Kepala Sekolah.
2. Variabel terikat (Y) atau disebut juga variabel respon, yakni "variabel yang ditimbulkan oleh variabel bebas" (Sudjana, N. & Ibrahim, 1989 : 12).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah efektivitas implementasi Lesson Study berbasis sekolah yang meliputi aspek berikut.
1. Kuantitas pekerjaan
2. Mutu pekerjaan
3. Pengetahuan pekerjaan
4. Kreativitas
5. Kooperatif
6. Keterkaitan
7. Prakarsa
8. Kualitas Pribadi

D.Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data empirik tentang besaran hubungan perencanaan dan pengawasan terhadap implementasi Lesson Study khususnya di sekolah pelaksana LSBS. Selanjutnya dianalisis dan diinterpretasikan untuk membuktikan hipotesis. Penganalisaan informasi dan data yang diperoleh dapat dijadikan bahan untuk pengembangan akademis pada level sekolah lain baik pelaksana LSBS maupun LS berbasis MGMP.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fenomena tentang :
a. Hubungan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.
b. Hubungan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.
c. Hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study di SMP Negeri pelaksana LSBS di Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat dan kegunaan sebagai berikut :
a. Manfaat Teoretis
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah menambah wawasan keilmuan khususnya dalam bidang pendidikan yang berkenaan dengan manajemen pendidikan khususnya perencanaan dan pengawasan terhadap implementasi Lesson Study. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan studi lanjutan yang relevan terhadap pengembangan konsep peningkatan mutu tenaga pendidik dan pengembangan manajemen sekolah.
b. Manfaat Praktis
Hasil dari wawasan keilmuan tersebut dapat digunakan untuk upaya praktis diantaranya :
1. Perbaikan mutu implementasi Lesson Study di SMP terkait dalam menciptakan society learning yang berkesinambungan.
2. Perbaikan hubungan antara guru dan sesamanya, antara guru dan kepala sekolah dalam menuju iklim dan kultur sekolah yang kondusif.
3. Bahan perbandingan bagi para kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kinerja guru melalui Lesson Study dan pelaksanaan fungsi manajemen organisasi.
4. Bagi penulis sendiri, digunakan sebagai temuan awal untuk melakukan penelitian tentang model pengembangan kompetensi guru dan pelaksanaan fungsi manajemen organisasi.

F. Asumsi-Asumsi
Penelitian ini mempersoalkan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas implementasi Lesson Study khususnya di sekolah pelaksana Lesson Study Berbasis Sekolah. Awal dari pemikiran bahwa efektivitas implementasi Lesson Study ini akan berjalan dengan baik di sekolah yang efektif. Mengutip pendapat Edmonds (1979) dalam buku The Principalship karya Lunenburg (2006 : 103) setidaknya ada tujuh dimensi yang berkorelasi menciptakan keefektifan sekolah berdasarkan riset yang ia kembangkan. "Edmond sets forth what he believed the research concluded were six (then seven) correlates for an Effective School : (1) clear and focused mission, (2) instructional leadership, (3) high expectation, (4) opportunity to learn and time on task, (5) frequent monitoring of student progress, (6) safe and orderly environment, dan (7) positive home-school relation. Lunenburg (2006) sangat setuju dengan pendapat Edmond bahwa sekolah yang efektif memiliki misi yang jelas, kepemimpinan yang kuat, target yang tinggi, memberikan kesempatan pembelajaran dan penugasan yang luas, memonitor kemajuan siswa secara rutin, memiliki lingkungan yang teratur dan aman, dan memiliki hubungan dengan lingkungan dan rumah dengan baik. Sejalan dengan pendapat mereka, lebih jauh lagi Danim, S. (2007 : 61) mengungkapkan beberapa kriteria yang menjadi ukuran dasar bagi sekolah yang efektif diantaranya mempunyai standar kerja yang tinggi dan jelas, menggunakan metode pembelajaran yang berbasis pada hasil penelitian dan mempunyai instrumen evaluasi yang terkait dengan standar yang telah ditentukan.
Dari pendapat para ahli tersebut peneliti menganggap bahwa Lesson Study sebagai program sekolah membutuhkan wadah yang tepat, yaitu sekolah yang efektif. Sekolah yang efektif dibangun oleh kesamaan visi pemimpin sekolah dan gurunya sehingga mereka bersama-sama sebagai perencana yang berkualitas di sekolahnya tersebut. Lebih jauh lagi sekolah yang efektif selalu melakukan pengawasan dan penilaian yang berkesinambungan baik oleh pemimpin sekolah, maupun petugas yang berwenang. Efektivitas pelaksanaan Lesson Study Berbasis Sekolah dibangun oleh perencanaan yang berkualitas dan pengawasan Kepala Sekolah yang berkesinambungan.

G. Hipotesis
Didasari oleh kerangka berpikir dan asumsi penelitian tersebut, diajukan hipotesis yang menunjukkan tentang "hubungan kualitas perencanaan dan pengawasan Kepala Sekolah dengan efektivitas implementasi Lesson Study" sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan yang signifikan kualitas perencanaan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah
2. Terdapat hubungan yang signifikan pengawasan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas perencanaan dan pengawasan secara simultan dengan efektivitas implementasi Lesson Study Berbasis Sekolah

H. Metode dan Teknik Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan pendekatan korelasional, dimana metode ini digunakan untuk menemukan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survey, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitian terhadap sampel penelitian.
Bentuk studi yang akan dikembangkan dan teknik pengurupulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah : (1) studi kepustakaan, (2) studi lapangan yang akan dilakukan dengan menggunakan angket/kuesioner. Angket tersebut akan disebarkan kepada guru-guru Sekolah Menengah Pertama Negeri pelaksana LSBS di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten X yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini akan dilakukan secara acak (simple random sampling), yaitu sebuah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota sampel.
Adapun teknik analisis data yang digunakan, Sugiyono (2008 : 215) karena menguji hipotesis asosiatif/hubungan yang datanya berbentuk interval maka diperlukan Korelasi Product Moment untuk menguji hipotesis hubungan antara satu variabel independen dengan satu variabel dependen dan Korelasi Ganda untuk menguji hipotesis tentang dua variabel independen atau lebih secara bersama-sama dengan satu variabel independen.
SKRIPSI PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

SKRIPSI PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

(KODE : FISIP-AN-0018) : SKRIPSI PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 telah banyak membawa perubahan yang fundamental kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketidakpuasan masyarakat akan sistem pemerintahan yang sentralistik, buruknya kinerja pemerintah, kualitas pelayanan publik yang rendah dan praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tuntutan reformasi itu sendiri tertuju pada aparatur pemerintah. Rakyat mengharapkan lahirnya good governance dan mereka cukup paham bahwa pemerintahan yang baik itu antara lain dapat terwujud melalui kebijakan desentralisasi.
Namun, berbagai tuntutan itu tidaklah akan terbentuk secara otomatis. Banyak langkah yang mesti direncaanakan, dilakukan, dan dinilai secara sistematis dan konsisten. Dalam konteks ini, penataan sumber daya aparatur menjadi hal yang sangat penting dilakukan. Terlebih lagi di era otonomi daerah seperti sekarang. Penataan sumber daya aparatur yang profesional dalam manajemen otonomi daerah harus diprioritaskan, karena reformasi dibidang administrasi pemerintahan mengharapkan hadirnya pemerintah yang lebih berkualitas, lebih mampu mengemban fungsi-fungsi pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat, dan pembangunan sosial ekonomi.
Dengan adanya semangat otonomi daerah, Pemerintah Pusat telah mengeluarkan berbagai Peraturan Perundang-undangan dalam rangka desentralisasi kepegawaian, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 3 ayat 1 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Sejalan dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan desentralisasi bidang kepegawaian kepada daerah otonom tersebut diatas, maka unit pengelola sumber daya aparatur dalam hal ini Pegawai Negeri Sipil sudah selayaknya ditangani oleh sebuah lembaga teknis daerah berbentuk badan atau kantor, Selama ini daerah otonom hanya memiliki kewenangan terbatas dalam pengelolaan sumber daya aparatur, antara lain menyangkut usulan kenaikan pangkat, usulan mutasi, usulan pengisian jabatan kerja dan usulan pemberhentian, sedangkan keputusan terakhir tetap berada di tangan Pemerintah Pusat. Keberadaan Peraturan Pemerintah tersebut pemberian kewenangan dalam bidang kepegawaian perlu diimbangi dengan penataan manajemen dan kelembagaan yang mengelola sumber daya aparatur.
Untuk memberi landasan yang kuat bagi pelaksanaan desentralisasi kepegawaian tersebut, diperlukan adanya pengaturan kebijakan manajemen Pegawai Negeri Sipil secara nasional tentang norma, standar, dan prosedur yang sama dan bersifat nasional dalam setiap unsur manajemen kepegawaian. Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah merupakan Perangkat Pemerintah Daerah yang berwenang melaksanakan manajemen Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kinerja pegawai dalam rangka menunjang tugas pokok Gubernur, Bupati/Walikota. Kelancaran pelaksanaan tugas organisasi ini sangat tergantung pada kesempurnaan dari pegawai yang berada didalamnya yang mampu bekerja secara profesional, efektif dan efisien guna meningkatkan kelancaran roda pemerintahan.
Aparatur pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan bagi masyarakat sekaligus sebagai penanggung jawab fungsi pelayanan umum di Indonesia yang mengarahkan tujuannya kepada public service, memikirkan dan mengupayakan tercapainya sasaran pelayan kepada seluruh masyarakat dalam berbagai lapisan. Hal ini mengharuskan pihak pemerintah senantiasa mengadakan pembenahan menyangkut kualitas pelayanan yang dihasilkan. Pelayanan yang berkualitas berarti pelayanan yang mampu memberi kepuasan kepada pelanggan (masyarakat) dan mampu memenuhi harapan masyarakat. Sebab pelanggan adalah orang yang menerima hasil pekerjaan. Oleh sebab itu hanya pelanggan (masyarakat) yang dapat menentukan kualitas pelayanan dan mereka pula yang dapat menyampaikan apa dan bagaimana kebutuhan mereka.
Pelayanan publik merupakan tanggung jawab pemerintah atas kegiatan yang ditujukan untuk kepentingan publik atau masyarakat. Dengan demikian, kegiatan tersebut mengandung adanya unsur-unsur perhatian dan kesediaan serta kesiapan dari pegawai pemerintah. Rasa puas masyarakat dalam pelayanan publik akan terpenuhi ketika apa yang diberikan oleh pegawai sesuai dengan apa yang mereka harapkan selama ini, dimana dalam pelayanan tersebut terdapat tiga unsur pokok yaitu biaya yang relatif lebih murah, waktu untuk mengerjakan relatif lebih cepat dan mutu yang diberikan relatif lebih bagus.
Dalam hal ini Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten X, sebagai institusi pelayanan teknis mempunyai tugas kewenangan di bidang pelayanan publik antara lain: merumuskan perencanaan dan melaksanakan kebijakan teknis manajemen kepegawaian daerah, melaksanakan kegiatan penata usahaan Badan Kepegawaian Daerah, memberikan pertimbangan atau penetapan mutasi kepegawaian bagi PNS daerah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan memberikan pertimbangan pensiun PNS dan penetapan status kepegawaian diwilayah kerjanya.
Dari hasil pengamatan penulis, ada beberapa masalah yang ditemukan di Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) X diantaranya
1. BKPP X dinilai bobrok dan amburadul, terbukti dengan semrautnya administrasi penempatan tugas para CPNS formasi 2008, beberapa CPNS tenaga guru yang ditempatkan di sebuah sekolah sesuai yang tercantum dalam SK tapi ternyata ketika dicek oleh CPNS yang bersangkutan, ternyata sekolah yang tertera dalam SK pengangkatan tersebut tidak ada dilapangan.
2. Tidak ada lagi harmonisasi kerja, beberapa pegawai berjalan sendiri-sendiri, tidak ada lagi koordinasi.
3. Indikasi adanya oknum pejabat BKPP yang menerima suap dari beberapa oknum CPNS tertentu agar ditempatkan di instansi yang lebih refresentatif (basah) (www.harianglobal.com/12 September 2009).
Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya ketegasan dalam memberikan sanksi hukum terhadap oknum pejabat yang melakukan kecurangan. Selain beberapa masalah diatas terdapat juga kasus adanya tenaga honorer fiktif, banyak data tenaga honorer yang direkayasa oleh pihak-pihak tertentu dengan cara mengeluarkan surat keterangan mengabdi sebagai tenaga honorer, padahal oknum honorer itu tidak pernah mengabdi dan terdaftar sebagai tenaga bakti (http://www.harianberitasore.com/3 Maret 2009).
Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah ini terjadi akibat minimnya kinerja pegawai terhadap tanggung jawab mereka sebagai pekerja (PNS), rendahnya mutu pelayanan publik yang diberikan oleh pegawai tersebut menjadi citra buruk BKPP itu sendiri ditengah masyarakat. Bagi masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi selalu mengeluh dan kecewa terhadap tidak layaknya pegawai dalam memberikan pelayanan. Pelayanan kepada masyarakat tidak akan dapat terlaksana secara optimal tanpa adanya kesiapan pegawai yang professional untuk melaksanakan visi dan misi pemerintah kabupaten /kota. Contohnya seperti yang dialami oleh Ibu Herawati, seorang CPNS tenaga guru SD warga Meukek. Dalam SK pengangkatan ia ditugaskan di sebuah SD di kawasan Kecamatan Kluet Tengah. Ternyata ketika ia mendatangi SD tersebut tidak ada. Akhirnya ia belum tahu harus bekerja di mana, sementara SK pengangkatan menjadi CPNS telah didapatkannya. Herawati tidak sendiri, beberapa CPNS yang lainnya juga mengalami nasib yang serupa, kasusnya pun berbeda-beda. Berdasarkan investigasi Global di BKPP X, Jumat (11/9) terungkap, dari 242 CPNS formasi umum tahun 2008 yang telah diserahkan SK nya itu, mayoritas dari keseluruhannya disinyalir kuat tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.
Dalam kenyataannya pelayanan yang diberikan pegawai belum sesuai dengan yang diharapkan. Adanya anggapan bahwa di era otonomi daerah, kualitas pelayanan publik justru semakin buruk dari sebelumnya (Sherwod 1997:7 dalam Revida 2007:1) bahwa profesionalisme pelayanan pemerintah didaerah sedang mengalami kemunduran. Aparatur Negara atau pemerintah sebagai abdi negara dan abdi masyarakat diperlukan untuk melaksanakan kegiatan dan kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah dalam melakukan pembangunan nasional. Dalam hal ini diperlukan pegawai yang profesional agar mampu meningkatkan mutu, pengetahuan, keterampilan karena didorong dengan banyaknya tanggung jawab tugas pemerintah serta pengabdiannya kepada masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimiliki pegawai. Pegawai atau aparatur pemerintah yang profesional sangat berpengaruh secara signifikan dan positif terhadap kemajuan dan peningkatan kualitas pelayanan organisasi pemerintah. Hal ini disebabkan bahwa pegawai pemerintah sebagai penentu, perencana, pelaksana, dan pengawas administrasi pemerintahan.
Kurangnya profesionalisme aparatur dalam pengelolaan pelayanan publik mengakibatkan kurangnya kemauan untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan dan adanya rasa apatis masyarakat terhadap pemerintahan mengakibatkan masyarakat merasa tersisihkan dari proses pemerintahan.
Dari berbagai bidang pekerjaan yang digeluti aparatur pemerintah jelas sekali yang menjadi permasalahan adalah menyangkut kekurang-profesionalan pegawai dalam melaksanakan tugas-tugas penting yang dipercayakan kepadanya sehingga mengakibatkan banyak kerugian di pihak masyarakat yang sangat menginginkan hasil kerja pegawai yang optimal dalam memberikan pelayanan publik.
Mengingat pentingnya profesionalisme kerja sebagai persyaratan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka setiap pegawai dituntut untuk senantiasa meningkatkan profesionalismenya, berdasarkan asumsi saya terlihat bahwa profesionalisme kerja pegawai belumlah sesuai dengan kondisi yang diharapkan yaitu profesionalisme kerja yang dapat mendukung terlaksananya dan terwujudnya kualitas pelayanan yang lebih baik.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: "PENGARUH PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (Studi Pada Kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X)."

1.2 Perumusan Masalah
Dalam penelitian, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka peneliti harus merumuskan masalahnya dengan jelas, sehingga akan jelas pula darimana harus dimulai, kemana harus pergi dan apa yang akan dilakukan. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah meng-intepretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam penelitian, (Arikunto, Suharsimi, 1996: 19). Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: "Sejauh Mana Pengaruh Profesionalisme Kerja Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik di Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X?"

1.3 Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau apa yang menjadi tujuan penelitian tentunya jelas diketahui sebelumnya. Suatu riset khusus dalam ilmu pengetahuan empiris pada umumya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu ilmu pengetahuan itu sendiri.
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana profesionalisme kerja pegawai di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui bagaimana kualitas pelayanan publik yang diberikan di Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X kepada masyarakat.
3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh profesionalisme kerja pegawai terhadap kualitas pelayanan publik pada Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara subyektif Sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berpikir dalam menulis karya ilmiah tentang profesionalisme kerja pegawai dan kualitas pelayanan publik.
2. Secara praktis. Sebagai masukan/sumbangan pemikiran bagi Kantor Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten X dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara professional.
3. Secara akademis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik dalam bidang ini.
SKRIPSI PERANAN PEMBINAAN DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL

SKRIPSI PERANAN PEMBINAAN DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL

(KODE : FISIP-AN-0017) : SKRIPSI PERANAN PEMBINAAN DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL




BAB 1
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Setiap organisasi baik swasta maupun instansi pemerintahan, memiliki visi untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pelanggan. Hal itu dapat diwujudnyatakan melalui peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat pengguna jasa. Dalam pencapaian cita-cita tersebut di butuhkan beberapa strategi yang pada dasarnya di ejawantahkan dalam sasaran misi organisasi maupun Instansi pemerintahan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang pesat, secara langsung disadari maupun tidak disadari pasti memiliki dampak yang luar biasa terhadap perkembangan organisasi. Perubahan tersebut selain memiliki dampak positif di sisi lain dapat berdampak negatif terhadap organisasi. Dengan demikian di butuhkan sumber daya manusia yang mampu menyikapi perubahan yang tidak pernah berhenti. Sumber daya manusia di harapkan dapat mengolah sumber-sumber lain yang dapat mendukung pencapaian visi organisasi.
Uraian-uraian di atas dapat di perhatikan di setiap bidang organisasi atau instansi. Dengan demikian di butuhkan beberapa usaha atau strategi yang dapat mengembangkan beraneka ragam pengetahuan setiap elemen yang ada di dalam organisasi tersebut. Negara kita memiliki jumlah organisasi yang sangat banyak, baik yang diolah oleh pihak swasta maupun milik Negara. Setiap instansi ataupun badan pemerintahan yang berdiri di bawah pimpinan Negara merupakan sarana pendukung demi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang merupakan cita-cita bangsa yang tertuang dalam UUD 1945. Salah satu badan yang berada di dalam naungan pemerintahan Negara Kesatuan Repulik Indonesia adalah Badan Kepegawaian Negara. Badan inilah yang memiliki fungsi untuk memperhatikan kondisi kepegawaian Indonesia. Badan ini memiliki unit yang lain salah satunya adalah Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Pihak-pihak atau badan yang tersebut diatas memiliki peran yang besar dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Pegawai negeri sebagai unsur aparatur negara dan abdi masyarakat mempunyai peran sangat penting dalam pembangunan untuk menciptakan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk melaksanakan tugas mulia itu diperlukan pegawai negeri yang mempunyai kemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam kedudukan dan tugasnya, pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dalam praktek, Pegawai Negeri Indonesia pada umumnya masih banyak kekurangan yaitu kurang mematuhi peraturan kedisiplinan pegawai, sehingga dapat menghambat kelancaran pemerintahan dan pembangunan nasional, antara lain adalah masih adanya jiwa kepegawaian dengan berfikir mengikuti kebiasaan bagian, bukan terletak pada kesatuan yang harmonis melainkan kesatuan pada bagian tersendiri, mempunyai bentuk dan corak yang berbeda serta kurang menghargai ketepatan waktu. "Jiwa kepegawaian yang mempunyai sifat seperti tersebut di atas akan berakibat negatif terhadap prestasi kerja pegawai negeri yang bersangkutan karena tidak adanya pengembangan pola pikir kerja sama
Untuk lebih meningkatkan peran pegawai negeri agar lebih efisien dan efektif mengisi kemerdekaan dan pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, pegawai Republik Indonesia hams dibina sebaik-baiknya. Efektifitas dan efisiensi setiap pegawai negeri hams selalu berhasil melaksanakan tugas secara berdaya dan berhasil guna dengan mengedepankan pelayanan kepada masyarakat yang pada gilirannya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraannya. Maka, dibentuklah Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) pada 29 September 1971 sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971 sebagai satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina selumh pegawai Republik Indonesia di luar kedinasan, guna lebih meningkatkan pengabdian dalam mengisi kemerdekaan dan melaksanakan pembangunan. Anggota Korpri adalah pegawai negeri meliputi pegawai negeri sipil, pegawai BUMN, BUMD dan anak pemsahaannya, serta petugas yang menyelenggarakan umsan pemerintahan desa. Dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagai organisasi pegawai Republik Indonesia, Korpri mengalami pembahan-pembahan orientasi sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.
Berdasarkan Rubrik yang ditulis pada 4 September 2008 oleh Syahrizal pulungan dalam www.rubrik., menyatakan bahwa Gubernur X (Gubsu) H Syamsul Arifin, SE kembali melakukan inspeksi mendadak (Sidak) ke unit kerja, Rabu (3/9). Kali ini Gubsu mengunjungi Badan Kepegawaian Daerah (BKD), yang berkantor masih di lingkungan Kantor Gubernur Jl Diponegoro X. Saat Sidak, bukan saja PNS BKD Provinsi X yang terkejut karena tidak menyangka bahwa Gubsu akan melakukan inspeksi mendadak. Syamsul Arifin sendiri juga terperanjat karena mendapati kantor itu kosong melompong. Hanya ada beberapa PNS di instansi yang tugas utamanya melakukan pembinaan kepegawaian itu.
Gubsu menyatakan kecewa karena pegawai di lingkungan Badan Kepegawaian Daerah yang harusnya menjadi contoh dan teladan, malah tidak mengikuti disiplin jam masuk kerja. Ketika Gubernur menanyakan ketidakhadiran PNS yang lain kepada staf yang hadir, staf tersebut menyatakan sebagian pegawai ke lapangan. "Itu lagu lama. Lebih baik terus terang," kata Gubsu yang merasa tidak puas mendengar jawaban staf tersebut. Gubernur X meminta pembinaan dan disiplin bisa ditingkatkan. Dalam hal ini, BKD harus menjadi contoh dan teladan, mulai soal kehadiran, disiplin, cara berpakaian dan hal-hal lainnya yang menyangkut kepegawaian. "Lakukan pendataan dengan cermat, buat terobosan dalam memberikan aspek jera terhadap PNS supaya jangan bolos. Kita butuh PNS yang disiplin, karena dengan kedisiplinanlah kinerja yang profesional bisa ditegakkan," kata Gubernur.
Selain masalah di atas peneliti juga memperhatikan bahwa para pegawai banyak yang keluar masuk kantor pada jam kerja bahkan ada yang hadir tidak tepat waktu. Melihat dan menimbang masalah yang tercantum di atas sangat di harapkan adanya perubahan yang semakin baik, supaya kualitas pelayanan publik bagi para pegawai di BKD X memberikan kualitas pelayanan yang baik.
Dengan demikian perlu di tegakkan dan ditingkatkan kualitas pembinaan di BKD Provinsi X. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologi, meningkatkan produktifitas dan kwalitas kerja dan lain sebagainya, Mangkunegara (2003 : 52)
Karena menyadari pentingnya di terapkan pembinaan dalam peningkatan kwalitas kinerja pegawai maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimana "PERANAN PEMBINAAN DALAM MENINGKATKAN PROFESIONALISME KERJA PEGAWAI PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH PROVINSI X”.

B. Perumusan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas, maka perlu adanya pembatasan masalah. Maka pembatasan masalah tersebut adalah :
1. Bagaimanakah Pembinaan pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Provinsi X?
2. Bagaimanakah Profesionalisme kerja pegawai Badan Kepegawaian Daerah Provinsi X?
3. Bagaimana peranan pembinaan dalam meningkatkan Profesionalisme Kerja Pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Provinsi X?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui model pembinaan Pegawai pada Badan Kepegawaian Daerah Provinsi X.
2. Untuk mengetahui bagaimana Profesionalisme kerja pegawai pada Badan Kepegawaian Provinsi X.
3. Untuk mengetahui bagaimana peranan pembinaan dalam meningkatkan profesionalisme kerja Pegawai Badan Kepegawaian Daerah Provinsi X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penulisan adalah :
1. Bagi pihak BKD, diharapkan dapat menjadi masukan untuk meningkatkan profesionalisme kerja pegawai dengan diterapkannya model pembinaan yang akan dibahas.
2. Bagi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik diharapkan dapat memperkaya ragam penelitian Mahasiswa Jurusan Administrasi Negara.
3. Bagi Peneliti/penulis akan sangat bermanfaat untuk mengembangkan potensi yang ada selama maupun sesudah proses penelitian berlangsung, bahkan dapat mengaplikasikan Ilmu yang telah di peroleh selama perkuliahan pada tempat kerja mendatang.

E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari 6 (enam) bab dan masing-masing bab dibagi lagi menjdi beberapa sub bab. Sistematika tersebut digambarkan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, defenisi operasional, hipotesa, sistematika penulisan.
BAB II : METODE PENELITIAN
Bab ini akan menguraikan bentuk penelitian,lokasi penelitian,populasi dan sampel, pengumpulan data, dan teknik analisa data.
BAB III : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini memuat gambaran umum kantor BKD X, Sejarah berdirinya BKD X , tugas dan fungsi bagian-bagian di dalam organisasi.
BAB IV : PENYAJIAN DATA
Bab ini berisikan seluruh rangkaian hasil penelitian yang dirangkum dan memuat hasil penelitian serta distribusi jawaban responden.
BAB V : ANALISIS DATA
Bab ini berisikan analisa dan implementasi data yang diperoleh peneliti selama penelitian
BAB VI : PENUTUP
Penutup adalah Bab terakhir yang memuat kesimpulan serta saran yang dianggap penting.
SKRIPSI PERANAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

SKRIPSI PERANAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA

(KODE : FISIP-AN-0016) : SKRIPSI PERANAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah akan sangat bergantung pada kesiapan Pemerintah Daerah dalam menata sistem pemerintahannya agar tercipta pembangunan yang efektif, efesien, transparansi, dan akuntabel serta mendapat partisipasi dari masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
Sesuai dengan amanat Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipandang perlu untuk menekankan pada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (Good Governance) dan pemerintahan yang bersih (Clean Governance) dalam mewujudkan pembangunan daerah yang desentralistik dan demokratis.
Maka dalam penyelenggaraan pembangunan desa diperlukan pengorganisasian yang mampu menggerakkan masyarakat untuk mampu berpatisipasi dalam melaksanakan pembangunan desa serta melaksanakan administrasi pembangunan desa. Dengan demikian diharapkan pembangunan dan pelaksanaan administrasi desa akan berjalan lebih rasional, tidak hanya didasarkan pada tuntutan emosional yang sukar dipertanggungjawabkan kebenarannya (Suwignjo, 1982 : 1).
Hal ini mengisyaratkan bahwa keikutsertaan masyarakat di dalam perencanaan pembanguanan desa memang benar-benar sangat dibutuhkan untuk mensinkronkan rencana pembangunan desa yang akan dilaksanakan dengan apa yang dibutuhkan masyarakat dalam meningkatkan kehidupan dan penghidupannya di desa. Karena bila tidak demikian, bisa saja pembangunan tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan sehingga pembangunan yang dilaksanakan sia-sia belaka dan masyarakat sendiripun akan bersifat apatis terhadap pelaksanaan perencanaan pembangunan desa itu.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan Kecamatan, karena Kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan kelurahan, desa memiliki hak untuk mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.
Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa yang meliputi Kepala Desa, Perangkat Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala Desa merupakan pimpinan penyelengaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Badan Permusyawaratan Desa (BPD) merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah. Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Masa jabatan anggota BPD adalah 6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfiingsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Dari keterangan dan paparan di atas terlihat bahwa perencanaan pembangunan desa adalah sesuatu yang sangat penting. Karena dari perencanaan pembangunan inilah arah pembangunan desa ditentukan. Karena itu sudah menjadi kewajiban pemerintahan desa untuk menampung aspirasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa. Aspirasi masyarakat dapat tertampung dengan cara melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dalam perencanaan pembangunan tersebut. Karena pada dasarnya merekalah yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang merupakan sarana bagi Kantor Kepala Desa di Desa X Kecamatan X dan masyarakat guna merencanakan pembanguanan desanya. Di sini dibutuhkan prakarsa dan swadaya masyarakat untuk ikut serta dalam merencanakan pembangunan di desanya sendiri. Berarti masyarakat dapat dikatakan harus berpartisipasi dan sebagai subjek dalam perencanaan pembangunan di desanya.
Sebagai subjek pembangunan tentunya warga masyarakat hendaknya sudah dilibatkan untuk menentukan perencanaan pembangunan sesuai dengan kebutuhan objektif masyarakat yang bersangkutan. Dalam arti bahwa perencanaan pembangunan yang akan dilaksanakan dapat menyentuh langsung kebutuhan masyarakat sehingga program perencanaan pembangunan desa yang akan dicanangkan, masyarakat dapat berpartisipasi seoptimal mungkin. Ide-ide pembangunan harus berdasarkan pada kepentingan masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhannya yang menunjang terhadap pembangunan nasional. Ide-ide pembangunan desa demikian inilah yang akan ditampung dalam Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan akan dimufakatkan bersama dalam musyawarah pembangunan desa sehingga dapat direncanakan dengan baik antara pemerintah dengan masyarakat. Hal ini pada akhirnya akan menumbuhkan prakarsa dan swadaya masyarakat serta partisipasi aktif nantinya pada saat pelaksanaan pembangunan desa.
Oleh karena itu, perencanaan pembangunan desa akan dilaksanakan pada musyawarah pembangunan desa antara pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupannya. Seperti kita ketahui bersama baik di media massa maupun media elektronik memberitakan bahwa perencanaan pembangunan desa sering tertunda. Oleh karena itu yang menjadi persoalan dalam hal ini adalah apakah BPD benar-benar telah melaksanakan peranannya dalam perencanaan pembangunan desa sesuai dengan yang telah disepakati bersama.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian ilmiah dengan judul "Peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Perencanaan Pembangunan Desa (Suatu Studi Deskriptif Tentang Proyek Desa Melalui APBD Di Desa X Kecamatan X)".

1.2. Perumusan Masalah
Perumusan masalah ini berfiingsi untuk membatasi studi dan mengacu pada pelaksanaan panelitian secara objektif terhadap objek penelitian. Selain itu dengan perumusan masalah yang jelas, akan memenuhi kriteria untuk memasukkan dan mengeluarkan data yang diperoleh dari objek penelitian. Jadi berdasarkan pemikiran ini dan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah yang akan dibahas adalah : Bagaimanakah peranan Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) dalam perencanaan pembangunan desa di Desa X Kecamatan X.

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang penulis harapkan dapat dicapai melalui penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peranan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam perencanaan pembangunan desa di Desa X Kecamatan X.

1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan penulis dengan dilakukannya penelitian ini adalah :
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir melalui karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang telah penulis terima selama perkuliahan di Departeman Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X.
2. Sebagai kontribusi bagi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam perencanaan pembangunan desa di Desa X Kecamatan X.

1.5. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teori, defenisi konsep, definisi operasional, serta sistematika penulisan.
BAB II METODE PENELITIAN
Dalam bab ini bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Dalam bab ini disajikan gambaran umum lokasi penelitian seperti batas-batas wilayah, penduduk, mata pencaharian, pendidikan, agama, pemerintahan desa dan badan permusyawaratan desa serta rekapitulasi usulan proyek melalui APBD.
BAB IV PENYAJIAN DATA PENELITIAN
Bab ini memuat penyajian data dan analisa data secara mendalam yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir yang memuat kesimpulan dan saran.
SKRIPSI PENGARUH PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH TERHADAP PRESTASI KERJA (STUDI PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X)

SKRIPSI PENGARUH PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH TERHADAP PRESTASI KERJA (STUDI PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X)

(KODE : FISIP-AN-0015) : SKRIPSI PENGARUH PEMBERDAYAAN APARATUR PEMERINTAH TERHADAP PRESTASI KERJA (STUDI PADA BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH KABUPATEN X)




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional tergantung dari kesempurnaan aparatur negara. Pegawai negeri merupakan aparatur negara sehingga kalau kita berbicara mengenai kedudukan pegawai negeri dalam Negara Republik Indonesia berarti kita berbicara mengenai kedudukan aparatur negara secara umum. Dalam posisi aparatur negara sebagai alat untuk melaksanakan pembangunan, diperlukan adanya pegawai yang benar-benar mampu, berdaya guna, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Pegawai Negeri Sipil mempunyai peran yang menentukan, yaitu sebagai pemikir, pelaksana, perencana, dan pengendali pembangunan. Dengan demikian, PNS mempunyai peranan yang sangat penting dalam memperlancar jalannya roda pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan nasional.
Mengingat pentingnya peranan tersebut, PNS perlu dibina dengan sebaik-baiknya agar diperoleh PNS yang setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah, serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, kuat, berdaya guna, berhasil guna, bersih, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggung jawabnya sebagai unsur aparatur Negara.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam paradigma baru mengenai orientasi pelayanan para aparatur/birokrat adalah pemberdayaan (empowerment). Pemberdayaan dalam hal ini dimaksudkan sebagai proses transformasi dari berbagai pihak yang mengarah pada saling menumbuhkembangkan, saling memperkuat, dan menambah nilai daya saing global yang saling menguntungkan. Tujuan dari pemberdayaan itu sendiri adalah untuk meningkatkan mutu, keterampilan, serta memupuk kegairahan dalam bekerja sehingga dapat menjamin terwujudnya kesempatan berpartisipasi dan melaksanakan pembangunan secara menyeluruh, dalam hal ini pemberdayaan terhadap aparatur pemerintah disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang No.43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Usaha pemberdayaaan aparatur pemerintah harus ditingkatkan demi tercapainya tujuan organisasi/pemerintahan. Pemberdayaan yang dilakukan terhadap aparatur pada akhirnya akan meningkatkan prestasi kerja yang lebih baik. Untuk meningkatkan prestasi kerja maka perlu diadakan peningkatan sumber daya manusia selaku tenaga kerja melalui usaha-usaha pemberdayaan. Berkaitan dengan hal itu maka seorang aparatur perlu mendapatkan pemberdayaan. Didasarkan pada adanya pemberdayaan aparatur pemerintah maka kemungkinan prestasi kerja meningkat atau sebaliknya adanya pemberdayaan tetapi prestasi kerja tetap atau bahkan menurun.
Namun, ternyata tidak seluruhnya dari para pegawai negeri sipil yang mampu menyadari akan tugas dan peranannya sebagai seorang aparatur Negara. Sebuah penelitian dari Lembaga Manajemen Publik Indonesia (LMPI) menyatakan bahwa kinerja atau prestasi kerja pegawai negeri sipil masih sangat rendah. Penelitian itu menunjukkan hanya 20% total jam kerja yang dijalankan, sisanya 80% digunakan untuk santai dan berleha-leha (Pikiran Rakyat, 13 Juni 2006).
Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis pada saat pra penelitian juga ditemukan fakta-fakta yang mengindikasikan minimnya prestasi kerja para pegawai negeri sipil di Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X yang semakin menguatkan hasil penelitian dari LMPI tersebut yaitu banyaknya pegawai yang terlambat masuk kerja, pulang sebelum waktunya, dan minimnya semangat untuk melaksanakan tugas. Tidak jarang juga terlihat pegawai yang berada di luar kantor padahal jam kerja masih berjalan, sehingga menyebabkan sulit menemui pegawai, lambatnya dalam menyelesaikan suatu pekerjaan yang dibebankan kepadanya padahal pekerjaan itu seharusnya dapat diselesaikan secepat mungkin, ini kemungkinan disebabkan oleh pegawai tersebut tidak memahami pekerjaan yang diberikan kepadanya, ada juga pegawai yang melimpahkan pekerjaannya kepada orang lain dengan berbagai alasan, padahal itu merupakan tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya.
Dengan berbagai permasalahan tersebut, hal ini mendorong penulis untuk mengkaji dan meneliti secara ilmiah tentang prestasi kerja aparatur pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X dalam sebuah kegiatan penelitian yang berjudul : "Pengaruh Pemberdayaan Aparatur Pemerintah Terhadap Prestasi Kerja (Studi pada kantor Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X)".

1.2 Perumusan Masalah
Untuk dapat memudahkan penelitian ini dan agar penelitian memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahannya. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
"Adakah Pengaruh Pemberdayaan Aparatur Pemerintah terhadap Prestasi Kerja pada Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten X".

1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pemberdayaan aparatur pemerintah pada kantor Badan Kepegawaian Pemerintahan Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui prestasi kerja pada kantor Badan Kepegawaian Pemerintahan Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui pengaruh pemberdayaan aparatur pemerintah terhadap prestasi kerja pada kantor Badan Kepegawaian Pemerintahan Kabupaten X.

1.4 Manfaat Penelitian
Yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berpikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis telah terima selama perkuliahan di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas X.
2. Bagi pihak Pemerintahan Kabupaten X, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pelaksanaan pemberdayaan aparatur pemerintah terhadap prestasi kerja pemerintahan kabupaten X.
3. Bagi Departemen Ilmu Administasi Negara, penelitian ini akan melengkapi ragam peneltian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan dan atau referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.

1.5 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, definisi konsep, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
BAB II METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, teknik penentuan skor, dan teknik analisa data.
BAB III (DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN)
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini memuat gambaran umum tentang lokasi penelitian, data atau karakteristik objek penelitian yang relevan dengan topik penelitian.
BAB V ANALISA DAN INTERPRETASI DATA
Bab ini memuat penyajian data-data yang diperoleh selama penelitian di lapangan atau berupa dokumen-dokumen yang akan dianalisis.
Bab ini memuat pembahasan dari data-data yang telah diperoleh, kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan korelasi hubungan antar variabel.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memuat tentang kesimpulan dari hasil-hasil penelitian dan saran-saran yang dianggap penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
SKRIPSI PENGARUH PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PT. PLN

SKRIPSI PENGARUH PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PT. PLN

(KODE : FISIP-AN-0014) : SKRIPSI PENGARUH PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PT. PLN




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Pada setiap organisasi besar maupun organisasi kecil dapat dikatakan bahwa salah satu sumber daya yang penting adalah manusia yang berkedudukan sebagai karyawan, buruh ataupun pekerja. Bagaimanapun majunya teknologi dewasa ini yang mampu menggantikan sebagian besar tenaga kerja manusia, namun masih banyak kegiatan yang tidak dapat menggunakan alat perlengkapan mekanis dan sepenuhnya otomatis tersebut. Dikatakan paling berharga karena dari semua sumber yang terdapat dalam suatu organisasi, hanya sumber daya manusialah yang mempunyai harkat dan martabat yang harus dihargai dan dijunjung tinggi. Selain itu, hanya sumber daya manusialah yang memiliki kemampuan berpikir secara rasional. (Notoadmodjo, 1998 : 5)
Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh kualitas orang-orang yang bekerja di dalamnya. Perubahan lingkungan yang begitu cepat menuntut kemampuan mereka dalam menangkap fenomena perubahan tersebut, menganalisa dampaknya terhadap organisasi dan menyiapkan langkah-langkah guna menghadapi kondisi tersebut. Menyimak kenyataan diatas maka peran manajemen sumber daya manusia dalam organisasi tidak hanya sekedar administratif tetapi justru lebih mengarah pada bagaimana mampu mengembangkan potensi sumber daya manusia agar menjadi kreatif dan inovatif.
Seperti yang dilansir dari www.elektroindonesia.com, pembangunan instalasi tenaga listrik dari tahun ke tahun semakin kompleks sejalan dengan perkembangan teknologi ketenagalistrikan. Kini, tenaga listrik tidak hanya harus memenuhi kualitas dan keandalan sistem, tetapi juga harus berwawasan lingkungan. Tuntutan akan kualitas, keandalan dan berwawasan lingkungan tersebut mengharuskan teknologi ketenagalistrikan berkembang dari tahun ke tahun dan sebagai salah satu negara berkembang, Indonesia masih pada tahap pemakai teknologi ketenagalistrikan tersebut, walaupun dalam skala kecil sudah memiliki industri peralatan tenaga listrik. Program pengembangan sumber daya manusia diperlukan untuk setiap pegawai/petugas baik pada saat awal memasuki sebuah perusahaan maupun secara berkelanjutan mengikuti tuntutan pekerjaan. Pelatihan diawal pekerjaan bertujuan meningkatkan kompetensi yang harus dimiliki tenaga teknik, yang merupakan persyaratan yang ditetapkan oleh perusahaan. Pelatihan lanjutan dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensinya ke jenjang keahlian yang lebih tinggi dibidangnya atau penyesuaian apabila ada teknologi baru yang harus ditangani dibidangnya atau membentuk kemampuan baru jika pindah bidang kerjanya.
Dengan profil sumber daya manusia di bidang ketenagalistrikan yang beraneka ragam, maka masalah yang menonjol saat ini adalah tidaklah mungkin suatu lembaga pendidikan formal secara spesifik dapat menyediakan sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Lulusan dari lembaga pendidikan formal tidak mungkin dapat langsung mampu bekerja sesuai dengan jenjang kualifikasi tenaga teknik. Mutu atau kualitas lulusan dari berbagai lembaga pendidikan yang setingkat juga masih sangat bervariasi sehingga pada saat awal memasuki pekerjaan sering dijumpai kesenjangan yang dapat menghambat tercapainya sasaran yang diinginkan.
Di bidang pekerjaan instalatur, masalah menonjol adalah sampai saat ini belum mempunyai sertifikasi keahlian atau keterampilan yang standar. Sedangkan masalah menonjol di bidang pembangkit tenaga listrik adalah perlu adanya sertifikasi kemampuan dan keahlian bagi sumber daya manusia kontraktor atau sub kontraktor pada proyek pembangunan pembangkit listrik. Sehubungan dengan itu, maka diperlukan program pengembangan sumber daya manusia baik dari dalam organisasi maupun dari luar organisasi itu sendiri, misalnya melalui lembaga pendidikan non formal untuk dapat menunjang program pendidikan formal. Program tersebut dirancang berorientasi kepada peningkatan/pengembangan kompetensi dari lulusan pendidikan formal agar dapat memasuki lapangan kerja atau melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tuntutan jenjang keahliannya.
Maka jelaslah bahwa dalam setiap organisasi peranan sumber daya manusia sangatlah penting. Namun demikian, tentulah yang diharapkan adalah sumber daya manusia yang berkualitas, dalam artian memiliki kemampuan dan kecakapan serta keterampilan dalam melaksanakan tugas sehingga pelayanan dapat diselenggarakan dengan tertib dan lancar. Sorotan terhadap sumber daya manusia yang dimiliki organisasi tidak hanya ditujukan pada pemanfaatannya secara optimal, akan tetapi juga pada pengembangannya, perlakuannya, serta estafet penggantiannya. Maka dalam rangka peningkatan efisiensi kerja, perhatian utama ditujukan pada pengembangannya. Pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi merupakan hal yang perlu mendapat perhatian, karena melalui pengembangan sumber daya manusia maka diharapkan kinerja daripada orang-orang yang berada di dalam organisasi tersebut tercapai dengan baik.
Seiring dengan persaingan yang semakin tajam karena perubahan teknologi yang cepat dan lingkungan yang begitu drastis pada setiap aspek kehidupan manusia maka setiap organisasi membutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai kompentensi agar dapat memberikan pelayanan yang prima dan bernilai. Dengan kata lain organisasi tidak hanya mampu memberikan pelayanan yang memuaskan (customer satisfaction) tetapi juga berorientasi pada nilai (customer value). Sehingga organisasi tidak sematamata mengejar pencapaian produktifitas kerja yang tinggi tetapi lebih pada kinerja dalam proses pencapaiannya. Kinerja setiap kegiatan dan individu merupakan kunci pencapaian produktivitas. Karena kinerja adalah suatu hasil dimana orang-orang dan sumber daya lain yang ada dalam organisasi secara bersama-sama membawa hasil akhir yang didasarkan pada tingkat mutu dan standar yang telah ditetapkan. Konsekuensinya, organisasi memerlukan sumber daya manusia yang memiliki keahlian dan kemampuan yang unik sesuai dengan visi dan misi organisasi.
Dengan kata lain, penilaian kinerja adalah merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dengan perusahaan. Dukungan dari tiap manajemen yang berupa pengarahan, dukungan sumber daya seperti, memberikan peralatan yang memadai sebagai sarana untuk memudahkan pencapaian tujuan yang ingin dicapai dalam pendampingan, bimbingan, pelatihan serta pengembangan akan lebih mempermudah penilaian kinerja yang obyektif.
Namun demikian, dalam beberapa organisasi masih sering ditemukan masalah yang berkenaan dengan kinerja pegawai. Pertama, kurangnya kecakapan yang dimiliki para pegawai. Hal ini terlihat dari masih seringnya terdapat pekerjaan yang tidak selesai tepat pada waktunya dan adanya keluhan pelanggan yang menyatakan kurang puas terhadap pelayanan yang diberikan. Misalnya : pembuatan laporan operasional dari setiap bagian yang ada terkadang tidak selesai tepat pada waktunya. Kedua, rendahnya motivasi para pegawai pelaksana. Indikasinya antara lain loyalitas, tanggung jawab, disiplin serta komitmen pegawai terhadap pekerjaan terlihat masih rendah. Pada PT. PLN (Persero) Cabang X sendiri walaupun jumlahnya relatif sedikit, namun masih terdapat pegawai yang kurang disiplin berkenaan pada masalah jam pulang kantor. Selain itu, motivasi bekerja pegawai pada bagian pengukuran dan proteksi secara umum masih rendah. Sehingga masalah yang kemudian muncul adalah maraknya aksi 'pencurian arus listrik' di tengah-tengah masyarakat kota X. Hal ini juga yang menimbulkan berbagai implikasi sehingga PT. PLN (Persero) Cabang X mengalami kerugian. Padahal dengan menyandang status sebagai salah satu Badan Usaha Milik Negara maka PT. PLN (Persero) Cabang X seharusnya bisa memberikan keuntungan untuk menambah kas negara. Ketiga, kurangnya personil yang terlatih. Hal ini terlihat dari masih adanya pegawai yang menunggu perintah dalam mengerjakan pekerjaannya serta masih sering terdapat pekerjaan yang tertunda. Pada sub-bagian perencanaan distribusi, tampak para pegawai masih menunggu perintah dari atasan untuk membuat rencana-rencana kerja ke depan. Keempat, sedikitnya pegawai yang memiliki keterampilan pengelolaan. Masih ada pegawai yang tidak bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang telah dilaksanakan serta tidak konsisten dalam mengerjakan tugas. Pada PT. PLN (Persero) Cabang X masalah ini secara umum dialami oleh para pegawai, namun masih dapat diatasi oleh pihak manajemen perusahaan, diantaranya melalui pelaksanaan program pengembangan sumber daya manusia. (Siagian 2003)
Pengelolaan sumber daya manusia terkait diperlukan untuk mempengaruhi kinerja organisasional dan tidak hanya terbatas pada pegawai operasional semata, namun juga meliputi tingkatan manajerial. Perumusan wewenang dan tanggung jawab yang harus dicapai pegawai harus ditetapkan dengan standar atau tolak ukur yang telah disepakati oleh bawahan dan atasan. Bawahan bersama atasan masing-masing dapat menetapkan sasaran kerja dan standar kinerja yang harus dicapai serta menilai hasil-hasil yang sebenarnya dicapai pada akhir kurun waktu tertentu. Peningkatan kinerja karyawan secara perorangan akan mendorong kinerja sumber daya manusia secara keseluruhan, yang direkflesikan dalam kenaikan produktifitas.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Pengaruh Pengembangan Sumber Daya Manusia Terhadap Kinerja Pegawai PT. PLN (Persero) Cabang X."

1.2. Perumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut : "Seberapa besar Pengaruh Pengembangan Sumber Daya Manusia terhadap Kinerja Pegawai pada Kantor PT. PLN (Persero) Cabang X?"

1.3. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pengembangan sumber daya manusia pada kantor PT. PLN (Persero) Cabang X.
2. Untuk mengetahui bagaimana kinerja pegawai pada kantor PT. PLN (Persero) Cabang X.
3. Untuk memperoleh kejelasan bagaimana pengaruh pengembangan sumber daya manusia terhadap kinerja pegawai pada kantor PT. PLN (Persero) Cabang X.

1.4. Manfaat Penelitian.
Manfaat yang diharapkan oleh penulis dengan adanya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi penulis, sebagai usaha untuk melatih, meningkatkan, mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui penulisan karya ilmiah.
2. Bagi PT. PLN (Persero) Cabang X sebagai masukan dalam meningkatkan kinerja pegawai.
3. Bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik , sebagai penambahan kualitas dan kuantitas referensi di bidang ilmu sosial lainnya khususnya dalam bidang Ilmu Administrasi Negara.

1.5. Sistematika Penulisan.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, definisi konsep, definisi operasional dan sistematika penulisan.
BAB II METODE PENELITIAN
Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sample, teknik pengumpulan data, teknik penentuan skor dan teknik analisa data.
BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Bab ini berisi gambaran umum tentang objek atau lokasi penelitian yang relevan dengan topik penelitian.
BAB IV PENYAJIAN DATA
Bab ini berisi hasil data yang diperoleh dari lapangan dan atau berupa dokumen yang akan dianalisis.
BAB V ANALISA DATA
Bab ini berisi tentang uraian data-data yang diperoleh setelah melaksanakan penelitian.
BAB VI PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan yang dianggap penting bagi pihak yang membutuhkan.